You are on page 1of 49

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan istilah umum yang

digunakan untuk membedakan dua kelainan yang berhubungan dengan proses

idiopatik, kronik dan inflamasi di saluran pencernaan, yaitu penyakit Crohn dan

Colitis Ulserativa.1,2 penyebab dari kelainan ini belum diketahui secara pasti,

diduga ada faktor genetik, lingkungan dan imunologi yang dapat mempengaruhi

pada traktus gastrointestinal (Hopkins, 2013).

Crohn’s disease merupakan penyakit inflamasi usus yang diperantarai oleh

sistem imun, dengan meningkatnya insiden selama dekade terakhir. Hal ini

biasanya terjadi pada onset usia antara 15 dan 40 tahun dan memiliki insiden 3,1-

14,6 kasus per 100.000 orang/tahun di North America. Bangsa yahudi memiliki

risiko lebih tinggi, sedangkan orang Afrika-Amerika lebih rendah untuk terkena

penyakit crohn. Perbandingan risiko laki-laki dan perempuan umumnya

seimbang dan terlihat paling sering antar saudara laki-laki dan perempuan dan

kadang-kadang antara orang tua dan anak-anaknya (Aziz, 2011).

Crohn’s disease dapat bermanifestasi pada semua bagian dari traktus

gastrointestinal dari mulut sampai anus. Ileum terminalis dan colon adalah bagian

yang paling sering terkena. Manifestasi Ekstraintestinal juga dapat terjadi pada

kulit, sendi, hati, kandung empedu dan mata. Tanda dan gejala dari penyakit ini

tergantung dari lokasi dan proses patologi yang terjadi. Pasien biasanya datang

1
dengan keluhan nyeri perut, diare, faecal inkontinensia, perdarahan rectum,

penurunan berat badan dan fatigue (Hendy, 2013).

Sekarang telah diketahui bahwa penyakit Crohn adalah suatu penyakit

kronis, transmural dan proses inflamasi yang dapat mengenai berbagai segmen

saluran cerna, mulai dari mulut sampai anus, tetapi tidak secara kontinue. Usus

sebagai tempat utama yaitu 90% kasus, terutama terjadi pada ileum terminalis

(70%) dan bisanya kombinasi dengan kolitis, yaitu ileokolitis (50%). Penyakit

Crohn yang mengenai mulut, esophagus dan gaster frekuensinya jarang dan

biasanya tidak berdiri sendiri, tetapi disertai dengan kelainan pada tempat lain.

Secara klinis sangat sulit untuk diprediksi dengan berbagai variasi respon

terhadap terapi dan cenderung untuk berulang dan berakhir dengan tindakan

operasi (Juffrie, 2011).

Data mengenai penyakit crohn di Indonesia masih sangat minim, namun di

perkirakan kasusnya semakin meningkat dari tahun ke tahun karena erat

berkaitan dengan pola gaya hidup modern. Berdasarkan data yang dikumpulkan

oleh Tim Konsensus Nasional penatalaksanaan IBD (Inflammatory Bowel

Disease) di Indonesia. Pada awal tahun 2008, prevalensi penyakit crohn

berdasarkan hasil endoskopi di seluruh rumah sakit di Indonesia berkisar antara

1,0-3,3% (Aziz, 2011).

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI FISIOLOGI SALURAN PENCERNAAN

Pencernaan terdiri dari saluran pencernaan yaitu saluran panjang yang

merentang dari mulut sampai anus, dan organ – organ aksesoris seperti gigi,

lidah, kelenjar saliva, hati, kandung empedu, dan pancreas (Aziz, 2011).

Proses pencernaan melibatkan enzim – enzim sekretorik yang spesifik

untuk berbagai makanan dan bekerja untuk menguraikan karbohidrat menjadi

gula sederhana, lemak menjadi asam lemak bebas dan monogliserida, serta

protein menjadi asam amino (Aziz, 2011).

Gambar 2.1 Saluran Pencernaan

3
1. Mulut (oris)

Gambar 2.2 Mulut

Rongga mulut dibatasi oleh beberapa bagian, yaitu sebelah atas oleh

tulang rahang dan langit-langit (palatum), sebelah kiri dan kanan oleh otot-

otot pipi, serta sebelah bawah oleh rahang bawah (Aziz, 2011).

Merupakan suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air.

Mulut merupakan bagian awal dari sistem pencernaan lengkap dan jalan

masuk untuk system pencernaan yang berakhir di anus. Bagian dalam dari

mulut dilapisi oleh selaput lendir. Pengecapan dirasakan oleh organ perasa

yang terdapat di permukaan lidah. Pengecapan sederhana terdiri dari manis,

asam, asin dan pahit. Penciuman dirasakan oleh saraf olfaktorius di hidung,

terdiri dari berbagai macam bau (Aziz, 2011).

Makanan dipotong-potong oleh gigi depan (incisivus) dan di kunyah

oleh gigi belakang (molar, geraham), menjadi bagian-bagian kecil yang lebih

mudah dicerna. Ludah dari kelenjar ludah akan membungkus bagian-bagian

dari makanan tersebut dengan enzim-enzim pencernaan dan mulai

4
mencernanya. Ludah juga mengandung antibodi dan enzim (misalnya

lisozim), yang memecah protein dan menyerang bakteri secara langsung.

Proses menelan dimulai secara sadar dan berlanjut secara otomatis (Aziz,

2011).

2. Tenggorokan (Faring)

Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan.

Didalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe yang

banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap

infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan,

letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tulang

belakang keatas bagian depan berhubungan dengan rongga hidung, dengan

perantaraan lubang bernama koana, keadaan tekak berhubungan dengan

rongga mulut dengan perantaraan lubang yang disebut ismus fausium (Aziz,

2011).

Bagian superior disebut nasofaring, pada nasofaring bermuara tuba yang

menghubungkan tekak dengan ruang gendang telinga. Bagian media disebut

orofaring, bagian ini berbatas ke depan sampai di akar lidah. Bagian inferior

disebut laringofaring yang menghubungkan orofaring dengan laring (Price,

2005).

5
3. Lambung

Merupakan organ otot berongga yang besar, yang terdiri dari tiga bagian

yaitu kardia, fundus dan antrium. Lambung berfungsi sebagai gudang

makanan, yang berkontraksi secara ritmik untuk mencampur makanan dengan

enzim-enzim. (Aziz, 2011).

Gambar 2.3 Lambung

Sel-sel yang melapisi lambung menghasilkan 3 zat penting yaitu lendir,

asam klorida (HCL), dan prekusor pepsin (enzim yang memecahkan protein).

Lendir melindungi sel – sel lambung dari kerusakan oleh asam lambung dan

asam klorida menciptakan suasana yang sangat asam, yang diperlukan oleh

pepsin guna memecah protein. Keasaman lambung yang tinggi juga berperan

sebagai penghalang terhadap infeksi dengan cara membunuh berbagai bakteri

(Aziz, 2011).

6
4. Usus halus (usus kecil)

Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yang

terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pembuluh

darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena porta.

Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang

membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Dinding usus

juga melepaskan sejumlah kecil enzim yang mencerna protein, gula dan

lemak. Lapisan usus halus terdiri dari lapisan mukosa (sebelah dalam), lapisan

otot melingkar, lapisan otot memanjang dan lapisan serosa. Usus halus terdiri

dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus kosong (jejunum),

dan usus penyerapan (ileum) (Snell, 2006).

a. Usus Dua Belas Jari (Duodenum)

Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus

yang terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong

(jejunum). Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari

usus halus, dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum treitz.

Usus dua belas jari merupakan organ retroperitoneal, yang tidak terbungkus

seluruhnya oleh selaput peritoneum. pH usus dua belas jari yang normal

berkisar pada derajat sembilan. Pada usus dua belas jari terdapat dua muara

saluran yaitu dari pankreas dan kantung empedu. Lambung melepaskan

makanan ke dalam usus dua belas jari (duodenum), yang merupakan bagian

pertama dari usus halus. Makanan masuk ke dalam duodenum melalui

7
sfingter pilorus dalam jumlah yang bisa di cerna oleh usus halus. Jika

penuh, duodenum akan megirimkan sinyal kepada lambung untuk berhenti

mengalirkan makanan.

b. Usus Kosong (Jejenum)

Usus kosong atau jejunum adalah bagian kedua dari usus halus, di

antara usus dua belas jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Pada

manusia dewasa, panjang seluruh usus halus antara 2-8 meter, 1-2 meter

adalah bagian usus kosong. Usus kosong dan usus penyerapan

digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium. Permukaan dalam usus

kosong berupa membran mukus dan terdapat jonjot usus (vili), yang

memperluas permukaan dari usus.

c. Usus Penyerapan (Illeum)

Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus.

Pada sistem pencernaan manusia ileum memiliki panjang sekitar 2- 4 m

dan terletak setelah duodenum dan jejunum, dan dilanjutkan oleh usus

buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8 (netral atau sedikit basa) dan

berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam empedu.

5. Usus Besar (Kolon)

Usus besar atau kolon adalah bagian usus antara usus buntu dan rektum.

Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses. Usus besar terdiri dari

kolon asendens (kanan), kolon transversum, kolon desendens (kiri), kolon

8
sigmoid (berhubungan dengan rektum). Banyaknya bakteri yang terdapat di

dalam usus besar berfungsi mencerna beberapa bahan danmembantu

penyerapan zat-zat gizi (Price, 2005).

Gambar 2.4 Usus Besar

Bakteri di dalam usus besar juga berfungsi membuat zat-zat penting,

seperti vitamin K. Bakteri ini penting untuk fungsi normal dari usus. Beberapa

penyakit serta antibiotik bisa menyebabkan gangguan pada bakteri-bakteri

didalam usus besar. Akibatnya terjadi iritasi yang bisa menyebabkan

dikeluarkannya lendir dan air, dan terjadilah diare (Aziz, 2011).

6. Rektum dan Anus

Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar

(setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai

tempat penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena

9
tinja disimpan di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika

kolon desendens penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul

keinginan untuk buang air besar (BAB). Mengembangnya dinding rektum

karena penumpukan material di dalam rektum akan memicu sistem saraf yang

menimbulkan keinginan untuk melakukan defekasi. Jika defekasi tidak terjadi,

sering kali material akan dikembalikan ke usus besar, di mana penyerapan air

akan kembali dilakukan. Jika defekasi tidak terjadi untuk periode yang lama,

konstipasi dan pengerasan feses akan terjadi. Orang dewasa dan anak yang

lebih tua bisa menahan keinginan ini, tetapi bayi dan anak yang lebih muda

mengalami kekurangan dalam pengendalian otot yang penting untuk menunda

BAB (Price, 2005).

Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan

limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh

(kulit) dan sebagian lannya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diatur

oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi (buang

air besar) yang merupakan fungsi utama anus (Price, 2005).

2.2 CROHN’S DISEASE

2.2.1. Definisi

Crohn’s Disease adalah suatu penyakit inflamasi kronis dan

berulang pada saluran cerna dengan etiologi yang tidak diketahui.Crohn’s

disease dapat melibatkan setiap bagian dari saluran cerna mulai dari

10
mulut hingga anus tetapi paling sering menyerang usus halus, yakni ileum

sehingga sering juga disebut sebagai ileitis atau enteritis. Peradangan

dapat meluas dan melibatkan semua lapisan dinding usus mulai dari

mukosa sampai serosa (Aziz 2011; Hendy, 2013; Crohn’s & Colitis

Foundation of America. 2012.).

2.2.2. Etiologi

Penyebab pasti dari penyakit crohn belum sepenuhnya dapat

dipahami, diduga hal ini melibatkan interaksi antara genetik, sistem imun

dan faktor lingkungan (Behzadi, 2015; Crohn’s & Colitis Foundation of

America. 2012; Ray, 2015). Sistem imun akan memberikan respon pada

antigen seperti bakteri, virus, jamur dan mikroorganisme lainnya. Namun,

pada orang dengan penyakit crohn, sistem imun memberikan respon yang

tidak sesuai pada saluran usus, sehingga mengakibatkan peradangan

(Crohn’s & Colitis Foundation of America. 2012; Ray, 2015).

Reaksi sistem imun yang tidak normal terjadi pada orang yang telah

mewarisi gen yang membuat mereka rentan terhadap penyakit crohn.

faktor lingkungan berfungsi sebagai "pemicu" yang memulai respon imun

berbahaya dalam usus.9 Risiko faktor lingkungan meningkatkan gambaran

penyakit crohn hingga 40 kali pada indivu dengan regulasi sistem imun

yang abnormal (Behzadi, 2015).

Faktor lingkungan juga mencakup gaya hidup seperti merokok,

konsumsi makanan olahan, diet tinggi lemak serta, penggunaan obat-

11
obatan tertentu (termasuk kontrasepsi hormonal dan obat golongan

NSAID) (St James’s Hospital, 2015).

Selain itu, faktor endokrin dan psikologis juga mungkin secara

bersamaan dapat menyebabkan terjadinya penyakit crohn (Juffrie, 2011).

a. Observasi Genetik

Hubungan antara faktor familial dan IBD telah diketahui secara

luas. Pada saat diagnosis ditegakkan baik penyakit crohn maupun

kolitis ulseratif ditemukan adanya hubungan famili pada tingkat

pertama sebesar 5%-25%, sedangkan pada anak kembar kasus

penyakit crohn ditemukan 17-35 kali dibandingkan dengan populasi

umum (Juffrie, 2011).

Tidak ditemukan adanya marker (penanda) genetik yang spesifik

untuk penyakit crohn. Walaupun demikian di duga bahwa Human

Leukocyte Antigen (HLA) B 44 dan CW 5 mungkin berperan dalam

perkembangan penyakit crohn (Juffrie, 2011).

b. Infeksi

Pada awalnya penyakit crohn diduga disebabkan oleh infeksi,

karena banyaknya kesamaan dengan tuberkulosis usus. Dugaan ini

telah menetapkan infeksi mycobacterium kedalam patogenesis

penyakit crohn. Tetapi pada penelitian akhir-akhir ini secara serologis,

maupun kultur dan pemeriksaan imunologis tidak menyokong peran

mycobacterium pada penyakit crohn (Juffrie, 2011).

12
Walaupun bermacam-macam jenis bakteri (Salmonella, shigella,

Campylobacter, Yersinia, Aeromonas, Clostridium difficile,

Escherichia coli) dapat menyebabkan penyakit crohn, tidak satupun

yang dapat diisolisasi dari feses atau jaringan dari penderita IBD

(Juffrie, 2011).

c. Mekanisme Imunologi

Sistem imun telah lama diperkirakan berperan penting dalam

patogenesis IBD. Bukti yang menyokong berdasarkan pada gambaran

histopatologi lesi intestinal, respon dari penyakit terhadap terapi

imunosupressif, komplikasi sistemik yang diduga disebabkan oleh

faktor imunologi dan berbagai pemeriksaan laboratorium (Juffrie,

2011).

d. Faktor Lingkungan

Faktor lingkungan ikut berperan penting dalam pathogenesis

penyakit crohn. Beberapa diantaranya menjadi faktor resiko seperti

merokok, diet tinggi lemak, obat-obatan dan keadaan psikologis

(Zhang, 2014)

2.2.3. Patofisiologi

Teori yang paling populer untuk menjelaskan pathogenesis

penyakit crohn adalah bahwa system imunitas tubuh pada penderita

penyakit crohn (Sel limfoid T helper 1) bereaksi abnormal terhadap

bakteri, makanan dan substansi lain yang dianggap sebagai benda asing,

13
benda-benda asing tersebut dikenal dan dipresntasikan oleh Antigen

Presenting Cells (APC). Sistem imunitas tersebut memberikan respon

menyerang untuk setiap antigen pada APC (Aziz, 2011).

Selama proses ini, sel-sel darah putih (leukosit) berakumulasi di

sepanjang lapisan dalam usus (intestine) dan merangsang terjadinya

inflamasi kronis dengan akibat terjadinya ulserasi, perlukaan usus, dan

scar formation (pembentukan jejas) pada jaringan usus (Aziz, 2011).

Belum dapat dipastikan apakah abnormalitas fungsi sistem imun

pada penderita penyakit crohn ini merupakan suatu penyebab (cause) atau

akibat (result) dari penyakit ini. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

inflamasi pada enderita penyakit crohn yang terlihat disepanjang traktus

gastrointestinal melibatkan beberapa faktor: gen yang diturunkan, sistem

imunnnya sendiri dan faktor lingkungan. Satu hal yang penting sebagai

penyebab inflamasi adalah reaksi tubuh terhadap antigen ini, atau antigen

itu sendiri yang menyebabkan inflamasi. Umumnya para ilmuwan

memikirkan bahwa protein yang diproduksi oleh system imun, diebut

sebagai anti-tumor necrosis factor (anti-TNF) mungkin sekali menjadi

penyebab inflamasi yang dihubungakan dengan penyakit crohn (Aziz,

2011).

Dari hasil sebuah penelitian diketahui bahwa setelah reseksi

ileocolonic, penyakit crohn dapat berulang di ileum neoterminal hanya

ketika ia memiliki kontak dengan aliran luminal, isi kolon atau bakteri di

14
dalamnya. Sebaliknya, inflamasi berkurang ketika aliran feses dialihkan

atau usus yang di istirahatkan dengan diet elemental atau nutrisi parenteral

Total (TPN). Ada kemungkinan bahwa agen infeksi atau antigen dari

lumen berinteraksi dengan flora bakteri usus, membentuk sebuah respon

inflamasi dengan faktor genetik yang memiliki kecenderungan tidak

terkontrol (Johns Hopkins Medicine, 2013)

2.2.4. Diagnosis

Gold standar untuk diagnosis penyakit crohn sampai saat ini belum

tersedia. Oleh karena itu, diagnosis dikonfirmasi dengan evaluasi klinis

dan kombinasi endoskopi, histologis, radiologi dan pemeriksaan

laboratorium (Juffrie, 2011; Hendy, 2013; St James’s Hospital, 2015).

Karena penyakit Crohn dapat terjadi di seluruh bagian dari saluran

pencernaan, aktivitas penyakit dan tingkat keparahan dapat bervariasi dari

waktu ke waktu. Kebanyakan pasien memiliki penyakit aktif pada saat

penyakit Crohn didiagnosis (Colitis Foundation of America. 2012)

a. Gambaran Klinis

Gambaran klinis yang sering yaitu diare kronik dan nyeri perut

berulang. Hal ini seringkali diikuti oleh perdarahan rectum, penurunan

berat badan, artritis, ruam kulit, kadang-kadang disertai demam.

Perdarahan mungkin serius dan persisten sampai terjadi anemia.

Tetapi tingkat dan berat penyakit crohn sering bervariasi. Pasien juga

15
mungkin datang dengan salah satu dari banyak komplikasi atau

manifestasi ekstraintestinal (Aziz, 2011; Knipe, 2015)

Gambar 2.5 Distribusi anatomi pada crohn’s disease

Sekitar sepertiga pasien dengan penyakit Crohn, perubahan

patologis terbatas pada bagian ileum terminal. Sekitar 40 % dari

pasien memiliki ileocolitis, yang melibatkan ileum distal dan kolon

proksimal . Sekitar 5 % memiliki ileojejunitis, yang melibatkan secara

terus menerus sepanjang usus halus, atau yang lebih umum beberapa

gambaran skip lession berbatas tegas yang dipisahkan oleh usus

normal. Sebanyak sepertiga dari pasien muda dengan Penyakit Crohn

memiliki gambaran mikroskopis dan ulserasi makroskopik dari antrum

lambung dan duodenum. Dalam kasus ini , lesi jarang terjadi. Dan

16
sekitar 20 % dari pasien memiliki keterlibatan yang hanya terbatas

pada kolon (Johns Hopkins Medicine, 2013).

Penyakit Crohn sering dikaitkan dengan manifestasi

ekstraintestinal yang mungkin lebih bermasalah daripada penyakit

usus. arthritis kolitis adalah arthritis yang mempengaruhi lutut,

pergelangan kaki, pinggul, pergelangan tangan, dan siku yang dapat

menyertai penyakit Crohn (meskipun hal ini jarang terjadi ketika

penyakit crohn hanya terbatas pada usus halus) (Johns Hopkins

Medicine, 2013).

Gambar 2.6 Manifestasi ekstraintestinal pada crohn’s disease

17
Pericholangitis, biasanya berhubungan dengan primary

sclerosing cholangitis (PSC), adalah komplikasi hati yang paling

umum dari penyakit inflamasi usus. PSC dibuktikan melalui

endoscopic retrograde cholangiopancreatography (ERCP) atau hepatic

magnetic resonance imaging (MRI). Pericholangitis ditandai dengan

peradangan pada saluran Portal dengan infiltrat limfosit dan eosinofil

(Johns Hopkins Medicine, 2013).

Batu ginjal (batu kalsium oksalat) terlihat pada pasien dengan

penyakit crohn pada usus halus. Peradangan dari usus dapat

mengakibatkan komplikasi saluran kemih. Oklusi ureter, menyebabkan

obstruksi dan hidronefrosis, biasanya melibatkan ureter yang tepat

pada pasien Crohn. Fistula dapat terbentuk antara inflamasi usus dan

saluran kandung kemih yang menyebabkan infeksi (Johns Hopkins

Medicine, 2013).

b. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Dalam menilai dugaan penyakit crohn seringkali perlu

dilakukan beberapa pemeriksaan hematologi dan biokimia untuk

keperluan skrining sebelum dilanjutkan dengan pemeriksaan yang

lebih mahal dan invasive. Kelainan yang sering ditemukan adalah

anemia (70%), peningkatan laju sedimentasi eritrosit (80%),

hipoalbuminemia (60%) dan Guiaiac-positif stool (35%). Meskipun

18
trombositosis sering terjadi, jumlah leukosit pada umumnya normal.

Anemia yang paling sering ditemukan terjadi sekunder karena

defisiensi besi yang disebabkan oleh kehilangan darah dan kadar Fe

serum dan ferritin serum yang rendah. Makrositosis mengarah pada

defisiensi folat atau vitamin B12 (Juffrie, 2011).

2. Pemeriksaan Endoscopy

Ileocolonoscopy dengan biopsi adalah standar untuk

mendiagnosis Penyakit Crohn dalam menilai aktivitas penyakit dan

untuk surveilans terjadinya displasia dan kanker. Penilaian

endoskopik yang khas meliputi aphthous ulcers , cobblestoning, dan

ulserasi yang dalam. Adanya ulserasi yang dalam menunjukkan

penyakit yang parah pasca – inflamasi polip (pseudo - polip)

(Hendy, 2013; Lee, 2016)

Gastroskopy dianjurkan pada anak-anak atau orang dewasa

dengan gejala pencernaan bagian atas. Capsule endoskopy baik

digunakan penyakit crohn pada usus halus, dan digunakan ketika

modalitas yang lain belum memberikan diagnosis. Hal ini sensitif,

tetapi tidak spesifik, dan tidak dapat memberikan diagnosis

jaringan. Double balloon enteroscopy sensitif untuk lesi pada usus

halus dan dapat memperoleh sampel histologis. Namun

pemeriksaan ini mahal, memakan waktu, sering membutuhkan

anestesi umum, dan tidak tersedia di semua pusat (Hendy, 2013).

19
Gambar 2.7 Typical endoscopic pada crohn’s disease

(A) Longitudinal Ulcers, (B) Cobblestone appearance, (C) apthous

ulcers

3. Pemeriksaan radiologis

a. Foto polos abdomen / Foto X-Ray tanpa kontras

Peranan x-foto polos dalam mengevaluasi Crohn’s

disease adalah terbatas. Dua keunggulan utama x-foto polos

adalah (1) untuk memastikan adanya obstruksi usus dan

(2) untuk mengevaluasi adanya pneumoperitoneum

sebelum dilakukannya pemeriksaan radiologis lanjutan.

Melalui x-foto polos dapat pula diketahui adanya sacroiliitis

atau batu ginjal oksalat yang mungkin terjadi pada penderita

Crohn’s disease (Knipe, 2015).

20
Gambar 2.8 Tampak adanya penebalan dinding usus besar

dengan gambaran Thumb Printing pada pasien dengan

penyakit crohn aktif

Thumb Printing merupakan tanda radiografi pada dinding

usus besar yang mengalami penebalan, biasanya disebabkan

oleh edema, infeksi atau proses inflamasi (colitis). Haustra

normal menjadi tebal dengan interval regular dan memberikan

gambaran seperti proyeksi cetakan ibu jari pada lumen (Knipe,

2015).

21
b. Foto X-Ray dengan Kontras

- Pemeriksaan Barium Enema (Colon inloop)

Pemeriksaan barium enema double kontras bermanfaat

dalam mendiagnosis penyakit inflamasi usus dan untuk

membedakan antara Crohn’s disease dengan colitis ulcerativa,

khususnya pada tahap dini penyakit. Pada pemeriksaan double

kontras, Crohn’s disease tahap dini ditandai dengan adanya

ulkus aptosa yang tersebar, yang terlihat sebagai bintik-bintik

barium yang dikelilingi oleh edema yang radiolusen. Ulkus-

ulkus aptosa seringkali terpisah oleh jaringan usus yang normal

dan terlihat sebagai skip lesion (Malueka, 2006; Rasad, 2011).

Gambar 2.9 Pemeriksaan barium enema double kontras pada

Crohn’s disease menunjukkan sejumlah ulkus aptosa

22
Gambar 2.10 Pemeriksaan barium enema kontras ganda pada

Crohn’s disease menunjukkan ulserasi, inflamasi, dan

penyempitan lumen colon

- Small-bowel follow-through

Sejalan dengan makin parahnya penyakit, ulkus-ulkus

yang kecil akan membesar, lebih dalam, dan saling berhubungan

menjadi ulkus-ulkus yang berbentuk seperti bintang,

berpinggiran tajam, atau linear. Ulkus-ulkus ini paling sering

terlihat di daerah ileum terminal disepanjang perbatasan

mesenterium. Gambaran ini patognomonik dari Crohn’s disease.

Sebagaimana inflamasi menembus lapisan submukosa dan

muskularis, ulkus-ulkus tersebut terpisah satu sama lain oleh

edema pada dinding usus dan pada pemeriksaan dengan kontras

terlihat gambaran pola-pola “cobblestone” atau nodular, yaitu

23
pengisian kontras pada lekukan ulkus yang terlihat radioopaque

dikelilingi mukosa usus yang radiolusen (Knipe, 2015; Malueka,

2006)

Gambar 2.11 Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan

fokus pada ileum terminalis memperlihatkan ulserasi linear,

longitudinal dan transversal yang membentuk “cobblestone

appearance”

Kadang-kadang terjadi inflamasi transmural yang

berakibat pengecilan diameter lumen usus dan distensinya

menjadi terbatas. Hal ini tampak sebagai “string sign”.

24
Gambar 2.11 Pemeriksaan small-bowel follow-through dengan

fokus pada ileum terminalis memperlihatkan beberapa

penyempitan dan striktura, yang memberikan gambaran “string

sign”

Ulkus Aptoid dapat terdeteksi melalui pemeriksaan barium

enema pada 25 – 50% pasien dengan Crohn’s disease. Secara

umum, didapatkan hasil negatif palsu sebanyak 18 – 20% kasus.

25
Akan tetepi, barium enema mempunyai akurasi sebesar 95%

dalam membedakan antara Crohn’s disease dengan colitis

ulserativa.

c. CT Scan

Hasil pencitraan CT pada Crohn’s disease tahap dini

adalah penebalan dinding usus, yang biasanya melibatkan usus

halus bagian distal dan colon, meskipun setiap segmen pada

saluran cerna dapat terlibat. Biasanya, penebalan dinding usus

mencapai 5 – 15 mm (Knipe, 2015).

Gambar 2.12 Pemeriksaan CT Scan pada pasien dengan Crohn’s

disease, tampak penebalan dinding ileum dan inflamasi

mesenterium.

26
Gambar 2.13 Tampak fat halo sign yang terlihat dalam lumen

usus halus anterior di kedua penampang dan longitudinal,

mewakili penumpukan lemak pada submukosa karena

peradangan kronis.

Edema atau inflamasi jaringan lemak mesenterium

menimbulkan peningkatan hilangnya densitas lemak, yang

disebut “hazy fat” pada CT. Inflammasi atau fibrosis jaringan

lemak yang lebih besar menimbulkan menghilangnya densitas

pita linear jaringan lunak yang melintasi mesenterium.

Pada CT, sebuah massa yang berbatas kabur dengan densitas

campuran dapat menunjukkan adanya flegmon atau tahap

dini pembentukan abses. Pembesaran kelenjar limfe biasanya

terlihat proksimal terhadap dinding usus disepanjang sisi

mesenterium. Pada CT scan, abses-abses terlihat sebagai massa

27
berbentuk bulat atau oval dengan densitas rendah, berbatas jelas,

dan seringkali multilokus. Terlihatnya gambaran gelembung-

gelembung gas menunjukkan adanya hubungan fistula

dengan usus atau, lebih jarang, timbul dari infeksi oleh

mikroorganisme yang menghasilkan gas.

CT Scan merupakan prosedur radiologis pilihan

pertama pada pasien-pasien dengan gejala-gejala akut Crohn’s

disease. Kemampuan CT Scan dalam mencitrakan dinding

usus, organ-organ abdomen yang lokasinya berdekatan

dengan usus, mesenterium dan retroperitoneum

membuatnya lebih unggul terhadap pemeriksaan radiologi

konvensional dengan kontras barium dalam mendiagnosis

komplikasi-komplikasi yang menyertai Crohn’s disease.

CT Scan dapat secara langsung menunjukkan penebalan dinding

usus, edema mesenterika, limfadenopati, phlegmon dan abses.

Sensitivitas CT Scan untuk Crohn’s disease adalah sekitar 71%.

d. MRI

Secara tradisional, MRI hanya memberikan manfaat yang

terbatas dalam pemeriksaan abdomen karena banyaknya

artefak yang bergerak. Dengan adanya peningkatan

gradien dan pencitraan dengan menahan napas telah

memungkinkan pencitraan MRI terhadap abdomen dan pelvis

28
pada sebagian besar pasien. Serbagai tambahan, untuk

mencapai pencitraan yang optimal dengan MRI seringkali

membutuhkan penggunaan sejumlah besar volume zat kontras

positif atau negatif yang diberikan baik secara oral atau melalui

selang nasojejunal atau rectal.

Akan tetapi, pasien dengan penyakit akut mungkin

tidak dapat men-toleransi pemberian sejumlah besar cairan

per oral. Jika terjadi distensi usus suboptimal, akan

terjadi gangguan dalam mendeteksi segmen-segmen usus

yang ter-inflamasi.

Secara tradisional, MRI dapat mengevaluasi

komplikasi-komplikasi anorectal Crohn’s disease dengan baik.

MRI dengan teknik regular fast spin-echo dapat mendeteksi

adanya fistula, saluran sinus, dan abses pada regio anorectal.

Saluran sinus dan fistula sering terlihat hiperintense

pada pencitraan T1-weighted dan hiperintense pada T2-

weighted karena kandungan cairannya. Dengan supresi

lemak, sinyal cairan dapat di-intensifikasi dan dengan

mudah terlihat hiperintense pada pencitraan T2-weighted. Suatu

abses sering terlihat sebagai pengumpulan yang terisolasi dari

daerah-daerah dengan intensitas sinyal tinggi (high-signal-

29
intensity areas) pada pencitraan T2-weighted, khususnya pada

fossa ischioanal.

Parameter-parameter penyakit aktif mencakup penebalan

dinding, proliferasi fibrosa dan lemak, dan enhancement dinding

usus dengan zat kontras gadolinium-based. Selama fase

inflamasi aktif, enhancement gadolinium dinding usus dapat pula

terlihat pada pencitraan T2-weighted dan dapat dengan

mudah dibedakan dari usus yang normal. Pola

enhancement dideskripsikan oleh Koh et al sebagai “berlapis-

lapis” dan spesifik untuk Crohn’s disease.

Gambar 2.14 Pencitraan MRI pada pasien dengan Crohn’s

disease menunjukkan penebalan dinding colon kanan dengan

peningkatan sinyal intramural pada pencitraan T1-weighted. Hal

30
ini dipercaya sebagai gambaran adanya deposisi lemak

intramural.

e. USG

Hasil pemeriksaan USG mempunyai variabilitas yang

tinggi, yang tergantung pada keahlian pemeriksa dalam

mendeteksi perubahan- perubahan pada dinding usus.

USG dapat menjadi alternatif dari CT Scan dalam

mengevaluasi manifestasi-manifestasi intra dan ekstra

luminal dari Crohn’s disease. Dinding saluran cerna yang

normal terlihat sebagai 5 konsentris dari lapisan-lapisan

echogenic dan hypoechoic yang berseang-seling; gambaran ini

dikenal sebagai “the gut signature”. Dinding saluran cerna yang

normal mempunyai ketebalan kurang dari 5 mm.

Pada kasus Crohn’s disease aktif, ketebalan dinding usus

berkisar antara 5 mm hingga 2 cm dengan gambaran

lapisan-lapisan yang menghilang sebagian atau seluruhnya,

yang merefleksikan adanya edema transmural, inflamasi, atau

fibrosis. Jika terjadi inflamasi yang hebat, dinding usus

akan tampak hypoechoic merata dengan garis hyperechoic

ditengahnya yang berhubungan dengan penyempitan

lumen. Gerakan peristalsis menurun atau menghilang, dan

31
segmen usus yang sakit tidak dapat dikompresi dan kaku dengan

hilangnya haustra.

Gambar 2.14 A dan B, hasil pencitraan USG pada pasien dengan

Crohn’s disease terlihat adanya penebalan dinding usus yang

hypoechoic, hilangnya “gut signature”, dan garis hyperechoic

yang menunjukkan penyempitan lumen usus.

USG dapat mencitrakan adanya “ballooning” dari segmen-

segmen yang tidak terlibat, yang terlihat sebagai kantung-

32
kantung fokal. Hasil pemeriksaan ini merefleksikan “skip

lesions” pada Crohn’s disease. Akurasi USG dapat ditingkatkan

dengan menggunakan pencitraan berwarna Doppler, yang dapat

bermanfaat dalam mendeteksi dinding usus yang hiperemis atau

terinflamasi selama fase aktif penyakit.

Dengan adanya inflamasi transmural, terjadilah edema and

fibrosis dari mesenterium yang berhubungan, berakibat adanya

proyeksi jaringan lemak mesenterium yang terlihat sepertijari-

jari yang mencengkram permukaan serosa usus. Pada

ultrasonogram, gambaran ini tampak sebagai massa yang

hyperechoic, yang secara klasik terlihat pada batas cephalic

ileum terminal. Dengan penyakit yang telah berlangsung lama,

gambaran ini akan terlihat lebih heterogen atau bahkan

hypoechoic.

2.2.5. Diagnosis banding

Diagnosis banding dari crohn’s disease yang paling sering adalah

colitis ulceratif. Colitis Ulceratif merupakan inflamasi yang sebagian

besar terjadi pada rektum dan bersifat continue, sementara Crohn’s

disease merupakan inflamasi yang discontinuous dan sering pada daerah

ileocecal. Inflamasi yang hanya melibatkan mukosa, dengan edema dan

eritematosa di daerah sekitarnya biasa terjadi pada colitis ulceratif

sedangkan pada crohn’s disease dapat melibatkan tidak hanya usus besar

33
tetapi juga usus halus, dengan inflamasi mukosa yang dalam. Inflamasi

mukosa yang dalam memberikan gambaran cobblestone appearance,

sedangkan pada rectum dikenal dengan perianal disease, adanya striktur

dan fistula juga mengarahkan pada crohn’s disease (Lee, 2016)

Pemeriksaan serologi dapat membantu dalam diagnosis banding

antara crohn’s disease dan colitis ulceratif. Anti-Saccharomyces

cerevisiae anti-bodies (ASCA) dapat dideteksi pada 35% sampai 50%

padq pasien Crohn’s disease, tapi hanya 1% dari pasien dengan Colitis

ulceratif. Di sisi lain, peri-nuclear antineutrophil cytoplasmic antibodies

(pANCA) lebih sering terdeteksi pada pasien dengan colitis ulceratif.

Sensitivitas dari pANCA + untuk colitis ulceratif dilaporkan sekitar

55,3%, dan ASCA + di kombinasi dengan pANCA- sekitar 54,6% sensitif

untuk deteksi Crohn’s disease. Mengingat sensitivitas yang relatif rendah,

tes serologis dapat menjadi alat adjuvan ketika sulit untuk membedakan

antara Crohn’s disease dan Colitis ulceratif secara klinis (Lee, 2016)

2.2.6. Penatalaksanaan

Sampai saat ini belum ada terapi secara kuratif untuk penyakit

crohn, terapi yang ada hanya untuk menghilangkan gejala dan

komplikasinya. Umumnya rangkaian pengobatan meliputi : terapi

farmakologis, nutrisi, bedah atau kombinasi dari semuanya (Juffrie, 2011;

Aziz, 2011).

34
Tujuan terapi adalah untuk mengontrol peradangan, mengoreksi

defisiensi nutrisi dan memperbaiki gejala-tanda seperti nyeri abdomen,

diare dan perdarahan rectum. Pengobatan dapat membantu dalam

menurunkan terjadinya serangan penyakit crohn, tetapi tidak

menyembuhkan. Pengobatan penyakit crohn tergantung pada lokasi dan

berat –ringannya serangan penyakit, komplikasi dan respon penderita

terhadap terapi untuk gejaa yang muncul sebelumnya (Aziz, 2011).

Kebanyakan penderita memiliki masaa remisi yang panjang, sampai

beberapa tahun bebas dari gejala. Namun penyakit ini biasanya akan

relaps atau muncul lagi beberapa waktu kemudian dalam setengah waktu

kehidupan penderita (Aziz, 2011).

1. Terapi Farmakologis

a. Aminosalicylates

Aminosalicylates merupakan senyawa anti - inflamasi yang

mengandung 5-aminosalicylic acid (5-ASA). Contohnya adalah

sulfasalazine, balsalazide, mesalamine , dan olsalazine . Obat-obat

ini (diberikan secara oral atau rektal) berfungsi untuk mengurangi

peradangan pada dinding usus. Obat ini hanya efektif untuk

penyakit crohn pada usus halus (Crohn’s & Colitis Foundation of

America. 2012).

b. Kortikosteroid

35
Obat-obat ini termasuk prednisone, prednisolone, dan

budesonide, mempengaruhi kemampuan tubuh untuk memulai dan

mempertahankan proses inflamasi . Obat ini menjaga sistem

kekebalan tubuh dan efektif untuk control jangka pendek. Obat ini

tidak dianjurkan untuk jangka panjang atau penggunaan

maintenance karena efek sampingnya yang dapat mencakup infeksi,

bone loss, penurunan berat badan, katarak, kerapuhan kulit ,

gangguan tidur, dan perubahan suasana hati (Crohn’s & Colitis

Foundation of America. 2012).

c. Imunomodulator

Obat ini di modifikasi untuk aktivitas sistem kekebalan tubuh

sehingga tidak dapat menyebabkan peradangan yang sedang

berlangsung . Contohnya azathioprine, 6-mercaptopurine (6-MP),

dan methotrexate. Obat ini biasanya digunakan untuk maintain

remission pada orang yang tidak berespon pada obat lain atau yang

hanya merespon pada steroid (Crohn’s & Colitis Foundation of

America. 2012).

d. Antibiotik

Antibiotik seperi ciprofloxacin dan metronidazole memiliki

sedikit manfaat pada orang dengan penyakit Crohn yang

mempengaruhi usus besar atau daerah sekitar anus . Obat ini dapat

36
digunakan ketika terjadi infeksi , seperti abses (Crohn’s & Colitis

Foundation of America. 2012).

e. Terapi biologis

Ini adalah pengobatan yang paling baru yang dikembangkan

untuk IBD. terapi biologis diindikasikan untuk orang dengan

moderat sampai severe yang aktif dan tidak merespon dengan baik

terhadap terapi konvensional . Empat agen ini (adalimumab ,

certolizumab pegol , Golimumab dan infliximab ) ditargetkan untuk

protein inflamasi yang disebut tumor necrosis factor ( TNF ) .

Natalizumab dan vedolizumab bekerja dengan memblokir jenis

tertentu dari sel darah putih dari masuk ke jaringan yang meradang

(Crohn’s & Colitis Foundation of America. 2012).

2. Terapi Nutrisi

Penderita penyakit crohn mengalami defisiensi makronutrien

maupun mikronutrien, sehingga peran terapi nutrisi menjadi sangat

penting. Penilaian status gizi dilakukan dengan mengukur berat badan ,

tinggi badan, data antropometrik dan kadar protein serum. Defisiensi

mineral dan vitamin (besi, asam folat, vitamin B12, kalsium,

magnesium dan seng) diterapi secara spesifik (Juffrie, 2011).

3. Terapi Bedah

Sekitar 50 – 70% pasien dengan Crohn’s disease membutuhkan

terapi bedah. Indikasi terapi bedah pada Crohn’s disease mencakup

37
kegagalan terapi medikamentosa dan/atau timbulnya komplikasi,

seperti obstruksi saluran cerna, perforasi usus dengan pembentukan

fistula atau abses, perforasi bebas, perdarahan saluran cerna,

komplikasi-komplikasi urologis, kanker, dan penyakit-penyakit

perianal (Juffrie, 2011).

Terapi bedah pada pasien dengan Crohn’s disease harus

ditujukan kepada komplikasinya, hanya segmen usus yang terlibat

dalam komplikasi saja yang direseksi dan tidak boleh lebih luas, untuk

menghindari terjadinya short bowel syndrome (Juffrie, 2011).

Anak-anak penderita Crohn’s disease dengan gejala-gejala

sistemik seperti gangguan tumbuh-kembang, akan mendapatkan

keuntungan dengan menjalani terapi bedah reseksi usus. Meskipun

komplikasi ekstraintestinal Crohn’s disease bukan merupakan indikasi

utama terapi bedah, namun sering mengalami perbaikan setelah reseksi

usus (Juffrie, 2011).

2.2.7. Prognosis

- Tingkat kekambuhan hingga 40 % setelah reseksi , biasanya di lokasi

ileum terminal yang baru dan biasanya dalam dua tahun pertama

pasca– Operasi

- Gambaran X-ray dari peningkatan enteritis regional sangat langka.

- Mortality rate sekitar 7 % pada 5 tahun dan 12 % pada 10 tahun setelah

reseksi pertama (Learning Radiologi, 2015).

38
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. X

No. CM :-

Usia : 30 Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat :-

RS tempat dirawat : Rumah Sakit Atma Jaya (RSAJ)

Tgl masuk RS : 26 Mei 2009

3.2 ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK

Keluhan Utama : Nyeri perut bagian kanan bawah

Riwayat Penyakit Sekarang

Seorang wanita berusia 30 tahun datang ke Rumah Sakit Atma Jaya (RSAJ) pada

tanggal 26 Mei 2009 dengan keluhan nyeri perut terutama di bagian kanan bawah

sejak 2 hari sebelumnya. Rasa nyeri seperti diremas-remas dan hilang timbul.

Rasa nyeri pada mulanya di rasakan di perut bagian kanan bawah kemudian

menjalar ke bagian atas dan tengah. Selain itu penderita juga merasa mual dan

nyeri ulu hati. Frekuensi buang air besar meningkat, yaitu tiga kali sehari dengan

konsistensi feces yang lebih lunak dari biasanya. Riwayat tuberkulosa, diabetes

melitus, dan alergi obat disangkal.

39
Pemeriksaan fisik menunjukkan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 120/80

mmHg, laju jantung 80 kali/menit, frekuensi pernafasan 20 kali/menit. Pada

pemeriksaan mata tidak ditemukan konjungtiva anemis maupun sklera ikterik.

Pemeriksaan daerah leher, kelenjar getah bening tidak teraba, kelenjar tiroid

tidak membesar. Pada pemeriksaan paru-paru tidak ditemukan wheezing atau

ronki. Pemeriksaan jantung, tidak ditemukan kelainan. Pemeriksaan abdomen,

bentuk perut datar, tidak terlihat kaput medusae. Palpasi di kuadran kanan

bawah, tidak ada defense musculair, teraba massa lunak dan kelenjar getah

bening peritoneum. Ditemukan nyeri tekan pada McBurney, obturator sign, dan

psoas sign positif. Bloomberg sign negatif. Pada perkusi terdengar pekak di

kuadran kanan bawah, dan pada auskultasi terdengar bising usus 3-4 kali/menit.

Pada pemeriksaan rectal toucher ditemukan tanda-tanda hemoroid eksterna grade

I, yaitu teraba massa lunak pada pukul 12, tidak disertai darah, feses, maupun

nyeri tekan, serta tonus sfinkter ani baik.

3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan laboratorium (tanggal 26 Mei 2009)

Hemoglobin 11,4 g/dl, lekosit 10,8 ribu/ul, trombosit 364 ribu/ul, golongan darah

O Rh (+), waktu perdarahan 2 menit, dan waktu pembekuan 4 menit. Hasil

pemeriksaan urine, lekosit 2-4/lpb, eritrosit 0-1/lpb, epitel (+)/lpk,

silinder (-) /lpk, kristal (-), bakteri (-). Hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium

menunjukkan tanda-tanda adanya apendisitis akut.

40
Pemeriksaan USG (tanggal 27 Mei 2009)

Penebalan dinding caecum-colon ascenden hingga kolon transversum dan ileum

terminalis dengan dugaan adanya kolitis kronis dan ileitis terminal. Tampak juga

lesi tubuler berdiameter sekitar 8 mm pericaecal. Gambaran yang menunjukkan

kemungkinan adanya apendisitis akut. Tampak sedikit cairan bebas di pelvis

kanan. USG hepar, kandung empedu, limpa Pankreas, ginjal, kandung kemih,

uterus tak tampak kelainan.

Dilakukan laparotomi (27 Mei 2009) atas indikasi apendisitis akut dengan

kolitis. Diambil jaringan usus dengan diagnosis pasca operasi adalah tumor

sekum hingga kolon asendens.

Pemeriksaan histopatologi

Pemeriksaan histopatologi terhadap sepotong jaringan usus dengan panjang 40

cm yang secara makroskopis menunjukkan lamelasi ileum terminal sepanjang 12

cm, perbatasan 11 cm kolon tampak mukosa kasar, multipel papil, tebal dinding

2,5 cm sampai 4 cm dari ujung operasi. Ditemukan 15 kelenjar getah bening

dengan diameter 0,2 - 1 cm.

Pemeriksaan mikroskopis sediaan 1-2 dari kedua ujung sayatan tidak tampak

sarang tumor dan gambaran mukosa normal. Sediaan 3-6 dari lesi menunjukkan

permukaan ulserasi, erosi, dan fisura-fisura. Sel epitel normal dengan infiltrat

padat berisi limfosit dan eosinofil dan proses radang mencapai serosa. Terlihat

41
beberapa granuloma dengan sel raksasa Langhans dan tuberkel pada lapisan otot.

Pada beberapa tuberkel terlihat nekrosis sentral. Sediaan 7-8 terdiri dari lima

belas kelenjar limfe yang kesemuanya mengandung tuberkel yang sebagian juga

mengalami nekrosis sentral. Juga didapati sel-sel raksasa Langhans. Pewarnaan

Ziehl Neelsen tidak menemukan BTA (batang tahan asam).

3.4 DIAGNOSIS

Crohn Disease

3.5 RESUME

Seorang wanita berusia 30 tahun dengan keluhan nyeri perut terutama di

bagian kanan bawah sejak 2 hari sebelumnya. Rasa nyeri seperti diremas-remas

dan hilang timbul yang awalnya di rasakan di perut bagian kanan bawah dan

menjalar ke bagian atas dan tengah. Keluhan lain mual dan nyeri ulu hati.

Frekuensi buang air besar meningkat, yaitu tiga kali sehari dengan konsistensi

feces yang lebih lunak dari biasanya.

Pemeriksaan abdomen, palpasi di kuadran kanan bawah teraba massa lunak

dan kelenjar getah bening peritoneum. Ditemukan nyeri tekan pada Mc Burney,

obturator sign, dan psoas sign positif. Bloomberg sign negatif. Pada perkusi

terdengar pekak di kuadran kanan bawah, dan pada auskultasi terdengar bising

usus 3-4 kali/menit. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan lekosit 10,8

ribu/ul. Hasil pemeriksaan fisik dan laboratorium menunjukkan tanda-tanda

adanya apendisitis akut.

42
Pada pemeriksaan USG : Penebalan dinding caecum-colon ascenden

hingga kolon transversum dan ileum terminalis, lesi tubuler berdiameter sekitar 8

mm pericaecal. Gambaran menunjukkan kemungkinan adanya apendisitis akut.

Pemeriksaan histopatologi (sepotong jaringan usus dengan panjang 40 cm),

secara makroskopis menunjukkan lamelasi ileum terminal sepanjang 12 cm,

perbatasan 11 cm kolon tampak mukosa kasar, multipel papil, tebal dinding 2,5

cm sampai 4 cm dari ujung operasi. Ditemukan 15 kelenjar getah bening dengan

diameter 0,2 - 1 cm. Secara mikroskopis sediaan 1-2 dari kedua ujung sayatan

tidak tampak sarang tumor dan gambaran mukosa normal. Sediaan 3-6 dari lesi

menunjukkan permukaan ulserasi, erosi, dan fisura-fisura. Sel epitel normal

dengan infiltrat padat berisi limfosit dan eosinofil dan proses radang mencapai

serosa. Terlihat beberapa granuloma dengan sel raksasa Langhans dan tuberkel

pada lapisan otot. Pada beberapa tuberkel terlihat nekrosis sentral. Sediaan 7-8

terdiri dari lima belas kelenjar limfe yang kesemuanya mengandung tuberkel

yang sebagian juga mengalami nekrosis sentral. Juga didapati sel-sel raksasa

Langhans. Pewarnaan Ziehl Neelsen tidak menemukan BTA (batang tahan

asam).

Pada kasus Ny.X yang datang dengan keluhan utama nyeri perut terutama

kanan bawah menjalar ke bagian atas dan tengah dan pada pemeriksaan fisik

dijumpai massa yang lunak pada abdomen kanan bawah, nyeri tekan pada Mc

Burney (+), obturator sign (+) dan psoas sign (+) dan didukung hasil

43
pemeriksaan laboratorium mengarah kepada apendisitis akut dibandingkan

dengan penyakit Crohn.

Diagnosis penyakit Crohn pada pasien ini ditegakkan setelah dilakukan

pemeriksaan histopatologi dengan ditemukan adanya ulserasi dan erosi,

pembentukan fisura-fisura, mukosa usus kasar dan pene-balan dari dinding usus

serta ditemukan 15 kelenjar getah bening.

44
BAB IV

PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Crohn’s disease merupakan penyakit inflamasi kronis transmural pada

saluran cerna. Crohn’s disease dapat melibatkan setiap bagian dari saluran cerna

mulai dari mulut hingga anus tetapi paling sering menyerang usus halus.

Penyakit Crohn berupa kelainan idiopatik yang terbatas pada ileum

terminal oleh karena itu disebut sebagai ileitis terminalis. Dengan dijumpai skip

areas, yaitu ada daerah dengan mukosa normal yang berbatas jelas dengan

mukosa yang mengalami ulserasi maka dikenal istilah enteritis regionalis.

Adanya keterlibatan dari kolon yang lebih menonjol maka timbul istilah colitis

granulomatosa. Sekarang dengan diketahuinya bahwa setiap bagian dari traktus

digestivus dapat ter-libat maka lebih disukai istilah penyakit Crohn.

Pada kasus Ny.X dijumpai nyeri perut terutama kanan bawah menjalar ke

bagian atas dan tengah, massa yang lunak pada abdomen kanan bawah, nyeri

tekan pada Mc Burney (+), obturator sign (+) psoas sign (+) dan didukung hasil

pemeriksaan laboratorium dan USG mengarah kepada apendisitis akut

dibandingkan dengan penyakit Crohn. Diagnosis penyakit Crohn pada pasien ini

ditegakkan setelah dilakukan pemeriksaan histopatologi.

Pemeriksaan diagnostik yang baik pada penyakit crohn adalah pemeriksan

radiologi dengan kontras, namun pada kasus Ny.X tidak dilakukan. Dengan

pemeriksaan double kontras, dapat dilihat adanya ulkus aptosa, yang terlihat

45
sebagai bintik-bintik barium yang dikelilingi oleh edema yang radiolusen. Ulkus-

ulkus aptosa seringkali terpisah oleh jaringan usus yang normal dan terlihat

sebagai skip lesion. Pemeriksaan CT scan ditujukan untuk mendeteksi adanya

abses dalam ataupun fistula.

46
DAFTAR PUSTAKA

Aziz, Rani, Marcellus, S. K. dan Syam, Ari Fahrial, 2011, Buku Ajar

Gastroenterologi edisi 1, Jakarta : Internal Publishing

Behzadi, Payam, Elham Behzadi and Reza Ranjabar, 2015, The Incidence and

Prevalence of Crohn’s Disease in Global Scale. Iran : Symbiosis Group.

Crohn’s & Colitis Foundation of America, 2012, The Facts about Inflammatory

Bowel Diseases, New York : CCFA. Available from : www.ccfa.org (Accessed

16 Agustus 2018)

Hendy, Philip, Ailsa Hart, 2013, A Review of Crohn’s Disease, UK : European

Medical Journal. (Accessed 16 Agustus 2018)

Hendy, Philip, Ailsa Hart, 2013, A Review of Crohn’s Disease. UK : European

Medical Journal. (Accessed 17 Agustus 2018)

Hopkins, Johns, 2013, Crohn’s Disease, Baltimore, Maryland : John Hopkins

Medicine. Available from :

http://www.hopkinsmedicine.org/gastroenterology_hepatology/_pdfs/small_lar

ge_intestine/crohns_disease.pdf (Accessed 16 Agustus 2018)

Johns Hopkins Medicine, 2013, Crohn’s Disease, Baltimore, Maryland : John

Hopkins Medicine. Available from :

http://www.hopkinsmedicine.org/gastroenterology_hepatology/_pdfs/small_la

rge_intestine/crohns_disease.pdf (Accessed 15 Agustus 2018)

47
Juffrie, Mohammad, Sri Suoar yati Soenarto dkk, 2011, Buku Ajar Gastroenterologi-

Hepatologi jilid 1, Jakarta : Badan penerbit IDAI

Knipe, Henry, A. Prof Frank Gallard et al, 2015, Crohn’s Disease, Available from :

http://radiopaedia.org/articles/crohn-diseases-1 (Accessed 17 Agustus 2018)

Learning Radiologi, 2015, Crohn’s Diseaase; Regional enteritis. Available from :

http://learningradiology.com/archives2009/COW%20370-

String%20sign/stringcorrect.htm (Accessed 16 Agustus 2018)

Lee, Ji Min and Kang Moon Lee, 2016, Endoscopic Daignosis and Differentiation of

Inflammatory Bowel Disease, Korea : Clinical Endoscopy

Malueka, Rusdy Ghazali, 2006, Radiologi Diagnostik edisi ke-6, Yogyakarta :

Marvell Incorporation

Manuc, Teodora Ecaterina M, Mircea M Manuc, Mirce M Diculescu, 2016, Recent

insight into the molecular pathogenesis of crohn’s disease : A review of

emerging therapeutic targets.

Price, Sylvia Anderson, Lorraine M. Wilson, 2005, Patofisiologi : Konsep Klinis

Proses-Proses Penyakit edisi 6. Jakarta : EGC

Rani, Aziz, Marcellus Simadiberata K, Ari Fahrial Syam, 2011, Buku Ajar

Gastroenterologi edisi 1, Jakarta : Internal Publishing

Rasad, Sjahriar, 2011, Radiologi Diagnostik edisi kedua, Jakarta : Badan Penerbit

FKUI

Ray Boyapati, Ray, Jack Satsangi and Gwo-Tzer Ho, 2015, Pathogenesis of Crohn’s

disease. UK : F 1000 Prime Reports. Available from :

48
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4447044/pdf/biolrep-07-44.pdf

(Accessed 16 Agustus 2018)

Snell, Richard S., 2006, Anatomi Klinik untu mahasiswa kedokteran edisi 6. Jakarta :

EGC

St James’s Hospital, 2015, Management of Crohn’s Disease Vol.21 Number 3.

Dubin: National medicines Information Centre. (Accessed 17 Agustus 2018)

Zhang, Yi Zhen, Yong Yu Li, 2014, Inflammatory Bowel Disease : Pathogenesis Vol.

21 issue 1, Shanghai : Baishideng Publishing Group, Available from:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3886036/pdf/WJG-20-91.pdf

(Accessed 16 Agustus 2018).

49

You might also like