You are on page 1of 112

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai negara yang beradab yang diproklamasikan pada

tanggal 17 Agustus 1945 yang menegaskan dirinya sebagai negara hukum.

Dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa

Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagai suatu negara hukum, sudah

selayaknya prinsip-prinsip dari suatu negara hukum harus dihormati dan

dijunjung tinggi. Salah satunya adalah setiap tindakan pemerintah selalu

harus didasarkan pada asas legalitas atau harus berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Artinya tindakan hukum pemerintah

dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan yang berlaku atau dalam rangka

mengatur dan melayani kepentingan umum yang dikristalisasikan dalam

ketentuan undang-undang yang bersangkutan. Ketentuan undang-undang

ini melahirkan kewenangan tertentubagi pemerintah untuk melakukan

tindakan hukum tertentu.1

Seiring dengan pilar utama negara hukum yaitu asas legalitas

(legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wet matigheid van bestuur),

maka berdasarkan prinsip ini bersifat tersirat bahwa wewenang

1
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006,
hal. 123.
1
pemerintahan berasal dari peraturan perundang-undangan, artinya sumber

wewenang bagi pemerintah adalah peraturan perundang-undangan.2

Dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan dalam suatu

negara hukum, kewenangan penyelenggaraan negara, agar negara dalam

keadaan bergerak (de staat in beweging), sehingga negara itu dapat

berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi dan berkinerja melayani

warganya, dipegang atau dilaksanakan oleh Presiden. Menurut Undang-

Undang Dasar 1945 sebagaimana diatur dalam pasal 4 menyatakan bahwa

Presiden adalah pemegang kekuasan pemerintah menurut Undang-undang

Dasar dan pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945 Presiden adalah

kepala kekuasaan eksekutif dalam negara. Dalam menjalankan tugas-tugas

pemerintahan negara, Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif

dibantu oleh menteri-menteri. Menteri diangkat dan diberhentikan oleh

presiden sesuai dengan kebijakan politik presiden.

Menteri melaksanakan tugas dan fungsinya serta bertanggung-

jawab penuh kepada presiden. Menteri memimpin lembaga departemen

dan non-departemen. Lembaga kementerian dibuat untuk melaksanakan

tugas-tugas pemerintahan. Landasan hukum kementerian adalah Bab V

Pasal 17 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa: pertama, Presiden dibantu

oleh menteri-menteri negara. Kedua, Menteri-menteri itu diangkat dan

diperhentikan oleh Presiden. Ketiga, Setiap menteri membidangi urusan

tertentu dalam pemerintahan, dan keempat, Pembentukan, pengubahan,

2
Ibid, hal. 103.
2
dan pembubaran kementerian negara diatur dalam Undang-Undang. Lebih

lanjut, kementerian diatur dalam Undang-Undang dan peraturan presiden

(Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dan

Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan

Organisasi Kementerian Negara, Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun

2011 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara, Peraturan

Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Organisasi

Kementerian Negara.

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, jabatan menteri adalah

jabatan yang bersifat politis. Dengan kata lain, menteri diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden sesuai dengan kebijakan politik Presiden.

Menteri melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan visi dan misi

yang diusung oleh Presiden serta bertanggung-jawab penuh kepada

Presiden. Menteri memimpin lembaga departemen dan non-departemen

sesuai dengan nomenklatur yang disusun oleh Presiden. Lembaga

kementerian dibuat untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.

Contoh, tugas pemerintah di bidang hubungan luar negeri diemban oleh

Kementerian Luar Negeri. Kementerian negara departemen dilengkapi

dengan struktur organisasi yang pada umumnya terdiri dari Sekretaris

Jenderal (Sekjen), Direktorat Jenderal (Dirjen), Inspektur Jenderal (Itjen)

dan Badan (Pasal 9 ayat 2 Undang-Undang No. 39 Tahun 2008).

3
Sedangkan kementerian negara non-departemen memiliki Sekretaris,

Inspektorat dan Deputi.3

Namun demikian, Struktur organisasi yang ada sebelumnya

dianggap belum mencukupi dan belum mampu mengcover semua tugas-

tugas kementerian negara, sehingga pemerintah menganggap perlu

mengangkat jabatan wakil menteri. Wakil menteri (vice minister atau

undersecretary) adalah pejabat pemerintahan eksekutif yang umumnya

merupakan pejabat karier pegawai negeri yang bertindak sebagai pejabat

senior utama atau kedua dalam kantor kementerian, yang ditunjuk dan

diangkat secara politik dengan kewenangan yang berbeda beberapa sistem

ketatanegaraan tiap-tiap negara.4

Di Indonesia, istilah wakil menteri pertama kali digunakan pada

Kabinet Presidensial, kabinet pemerintahan pertama Indonesia. Pada saat

itu, Presiden Soekarno mengangkat 2 orang sebagai wakil menteri, yaitu

wakil menteri Dalam Negeri Harmani dan wakil menteri Penerangan Ali

Sastroamidjojo. Setelah itu, wakil menteri hanya ada pada Kabinet Sjahrir

I, Sjahrir III, dan Kerja III. Pada kabinet-kabinet lainnya, beberapa kali

juga terdapat jabatan menteri muda yang dari beberapa sisi memiliki

kemiripan dengan wakil menteri.5

3
Wayu Eko Yudiatmaja, Jabatan Wakil Menteri Quo Vadis Reformasi Birokrasi di
Indonesia, makalah, hal. 3.
4
Ibid.
5
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas, dikunjungi pada tanggal 17 Oktober 2012
pukul 15. 40 WIB.
4
Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,

jabatan wakil menteri kembali diadakan. Pada reshuffle kabinet pada 18

Oktober 2011, Presiden memutuskan untuk mengangkat posisi wakil

menteri berjumlah 19 orang. Dasar hukum pengangkatan jabatan wakil

menteri ini adalah , Pasal 10 UU No 39 Tahun 1998 tentang Kementerian

Negara, yang menyebutkan bahwa “dalam hal beban kerja yang

memerlukan penanganan khusus, Presiden dapat mengangkat wakil

menteri pada kementerian tertentu”. Penjelasan pasal ini mengatakan

bahwa “Yang dimaksud wakil Menteri adalah pejabat karier dan bukan

merupakan anggota kabinet”. Kemudian dalam bagian penjelasan

disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “Wakil Menteri” adalah pejabat

karir dan bukan merupakan anggota kabinet. Dalam aturan lebih lanjut

dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009, disebutkan pula bahwa

yang dimaksud pejabat karier adalah pegawai negeri yang telah

menduduki jabatan struktural eselon 1A. Selanjutnya Pasal 70 ayat (1)

Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011 mengatakan bahwa “Wakil

Menteri berada di bawah dan bertanggungjawab kepada Menteri”. Inilah

aturan-aturan yang terkait dengan jabatan Wakil Menteri.

Pengangkatan Wakil Menteri memang menimbulkan pro dan

kontra. Dikalangan para ahli hukum tata negara, selain ahli hukum tata

negara seperti Yusril Ihza Mahendra yang menentang kebijakan

pemerintah ini, ada pula para ahli yang mendukung sikap yang diambil

oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono dalam hal pengangktan jabatan

5
Wakil Menteri ini. Pakar Hukum Administrasi Negara Philipus M. Hadjon

berpendapat meskipun tanpa UU No 39 Tahun 2008 tentang Kementerian

Negara, presiden tetap dimungkinkan membentuk jabatan wakil menteri

(Wamen) berdasarkan diskresinya menurut Pasal 17 jo Pasal 4 ayat (1)

UUD 1945. Inilah yang dinamakan diskresi dari kekuasaan (Presiden)

termasuk penerapan Pasal 10 UU Kementerian Negara yang memberi

kewenangan kepada presiden untuk membentuk jabatan wakil menteri

(wamen) pada kementerian tertentu sesuai beban kerja,”. Menurutnya,

Pasal 10 UU Kementerian Negara bukan persoalan konstitusionalitas,

tetapi menyangkut implementasi (pelaksanaan) pasal itu. “Kalau dikatakan

ada persoalan konflikasi aturan jabatan Wamen keliru, tetapi ini persoalan

legalitas. Karena itu, Pasal 10 UU Kementerian Negara menyangkut

persoalan legalitas terkait kebutuhan jumlah jabatan wakil menteri di

setiap kementerian yang bukan wewenang Mahkamah Konstitusi. “Jadi

Pasal 10 UU Kementerian Negara ini konstitusional, sehingga seharusnya

Mahkamah Konstitusi tak perlu membatalkan pasal itu.6

Sementara, ahli pemerintah lainnya, Miftah Toha berpendapat

posisi jabatan wakil menteri yang diamanatkan Pasal 10 Undang-undang

Kementerian Negara bukanlah jabatan baru dalam sejarah pemerintahan di

Indonesia. Ia menyebut kabinet presidensil pertama (Agustus- November

1945) dan Kabinet Syahrir pertama (November 1945-Maret 1946) pernah

memiliki wakil menteri dalam negeri, wakil menteri keamanan rakyat,

6
Kompas. com, konstitusionalitas jabatan wakil menteri, artikel
6
wakil menteri penerangan. Jabatan wakil menteri sekarang ini bukanlah

hal baru dalam sejarah susunan kabinet di bawah Undang-Undang Dasar

1945 yang penunjukan jabatan wakil menteri ini tergantung presiden,

apakah dia berasal partai politik, Pegawai Negeri Sipil , pengusaha, atau

mantan jenderal, semuanya tergantung diskresi presiden. Karena itu, dalam

konteks pengujian undang-undang ini, presiden tak bisa disalahkan yang

“dibenturkan” dengan konstitusi lantaran banyak menunjuk wakil menteri.

Sebab, diskresi presiden ini juga dalam konteks menjalankan Undang-

Undang Kementerian Negara.7

Keputusan Presiden mengangkat beberapa wakil menteri

mengundang polemik. Selain dianggap hanya sebagai pemborosan

anggaran negara, posisi wamen juga dinilai tidak efektif, tumpang tindih

dan membuat birokrasi kementerian semakin tambun. Pengangkatan

jabatan Wakil menteri ini dianggap memunculkan beberapa persoalan.

Pertama, apabila kita melihat kewenangan secara filosofis, Tak satu pun

ayat dari 4 ayat dalam Pasal 17 UUD 1945 yang mengatur jabatan wakil

menteri. Inilah kenyataan konstitusionalnya dan inilah yang memicu

munculnya pertanyaan tentang dasar konstitusional pembentuk undang-

undang yang menciptakan Pasal 10 UU Nomor 39 Tahun 2008 itu.8

Jika kita melihat sejarah terbentuknya Pasal 17 yang menjadi

Landasan hukum kementerian ini dimana Ayat (1) Pasal 17 dibuat dan

7
Ibid,
8
Margito kamis, konstitusionalitas jabatan wakil menteri, artikel, Koran Seputar
Indonesia tanggal, 27 Januari 2012.
7
diperdebatkan oleh BPUPKI secara luas pada tanggal 15 dan 16 Juli 1945,

begitu juga ayat (2) dan ayat (3). Tapi ayat (2) ayat (3) ini telah diubah

oleh MPR ketika mereka mengubah Undang-Undang Dasar 1945 untuk

pertama kalinya pada tahun 1999. Frase “diperhentikan” pada ayat (2)

diubah oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi “diberhentikan”.

Sementara ayat (3) diubah seluruhnya sehingga ketentuan ayat (3) yang

lama berubah menjadi setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam

pemerintahan.9

Pasal 17 Ayat (4) diubah pada perubahan UUD 1945 yang ketiga

kalinya oleh MPR pada 2012. Tapi itu tidak berarti bahwa MPR tidak

memperdebatkannya secara detail pada 1999. Dalam perdebatannya, MPR

menghendaki agar kewenangan Presiden mengangkat menteri dibagi

dengan DPR. Kenyataannya, pelibatan DPR dalam hal pengangkatan

menteri tidak disepakati MPR pada 1999.10

Hal ini disebabkan semata-mata oleh konsistensi mereka

mempertahankan sistem pemerintahan presidensial walau mereka tahu

betul bahwa di Amerika Serikat, nenek moyangnya sistem presidensial,

Presiden diharuskan memperoleh konfirmasi dari Senat dalam hal

pengangkatan menteri pertanahan, menteri luar negeri, dan jaksa agung.11

Jabatan wakil menteri juga tidak diatur secara rinci baik ditingkat

Undang-Undang maupun peraturan dibawahnya. Hanya ada satu pasal

9
Ibid.
10
Ibid.
11
Ibid.
8
yang mengatur wakil menteri ditingkat Undang-Undang. Begitupun

Peraturan Presiden, hanya ada tiga pasal yang menjelaskan wakil menteri.

Aturan tersebut tidak cukup menjawab persoalan-persoalan yang muncul

seputar Wakil menteri. Bahkan, pengaturan ditingkat Undang-Undang

cenderung menafikan posisi Wakil menteri. Dalam Pasal 9 Undang-

Undang Kementerian Negara terkait struktur organisasi kementerian,

hanya diatur posisi Menteri, Sekretaris, Direktorat, dan Inspektorat

Jenderal. Tidak ditemukan posisi wakil menteri.

Kenyataan konstitusional ini berujung pada permohonan pengujian

Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial Review) yang

diajukan oleh Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) ke

Mahkamah Konstitusi terkait Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang No 39

Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang dianggap bertentangan

dengan Undang-Undang Dasar. Mahkamah Konstitusi pada tanggal 5 Juni

Tahun 2012 memutus bahwa penjelasan penjelasan Pasal 10 UU No 39

Tahun 2008 tentang Kementerian Negara yang menyatakan bahwa Wakil

Menteri adalah pejabat karier dan bukan anggota kabinet, bertentangan

dengan UUD 1945. Dengan demikian, penjelasan itu tidak mempunyai

kekuatan hukum yang mengikat. Sementara norma Pasal 10 UU tersebut

yang menyatakan bahwa “dalam hal terdapat beban kerja yang

membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat

wakil menteri pada Kementerian tertentu” tetap dinyatakan konstitusional

dan tetap berlaku. Namun pasca putusan Mahkamah Konstitusi pun,

9
kedudukan wakil menteri dalam sistem ketatanegaraan serta

kedudukannya didalam organisasi kementerian tetap saja belum jelas.

Kedudukan wakil menetri yang tidak jelas berimplikasi pada

ketidakjelasan tugas, fungsi dan kewenangan. Ketidakjelasan tersebut

dapat memicu masalah koordinasi kerja di kementerian terutama antara

Menteri dan Wamen dan antara Wamen dengan jajaran pembantu menteri

(sekretaris dan dirjen). Kedua, apabila kita melihat pada struktur

organisasi kementerian, sebelum adanya jabatan wakil menteri, secara

umum struktur kementerian negara terdiri dari Sekjen, Irjen dan Dirjen.

Dalam menjalankan tugasnya menteri juga dibantu oleh staf ahli. Sejak

jabatan wakil menteri dibentuk, secara otomatis struktur organisasi

kementerian menjadi bertambah. Pertambahan struktur organisasi ini

berimplikasi pada struktur organisasi secara keseluruhan. Melihat kepada

tugas, fungsi dan kewenangannya maka jabatan wakil menteri merupakan

jabatan struktural yang berada satu tingkat di bawah menteri, tetapi berada

satu level di atas staf ahli. hal ini akan berdampak kepada struktur

organisasi kementerian secara keseluruhan. Bertambahnya unit organisasi

berarti bertambah pula sumber daya manusia, jabatan, anggaran dan

fasilitas serta sarana dan prasarana. Jelas ini menjadi beban bagi

organisasi. Apabila struktur yang baru dibentuk tersebut memiliki fungsi

yang sangat urgent maka tidak akan ada persoalan. Namun, jika unit

organisasi yang baru dibentuk kurang memiliki relevansi dan urgensitas

10
peranan maka akan menjadi beban yang akan menyedot anggaran

organisasi.12

Ketiga, Dilihat dari segi kewenangannya, jabatan wakil menteri

bukanlah jabatan yang strategis. Wakil menteri hanya berhak mewakili

menteri dan tidak punya hak mengambil keputusan serta hak suara dalam

sidang-sidang kabinet. Wakil menteri adalah subordinasi menteri karena

kewenangan utama tetap berada di tangan menteri. Wakil menteri

merupakan jabatan birokrasi tertinggi di Indonesia, tetapi tidak memiliki

kewenangan untuk membuat keputusan tanpa persetujuan menteri.

Fenomena ini semakin menguatkan tendensi dikotomi politik-birokrasi di

Indonesia. Jika pemerintah benar-benar ingin mengefektifkan kementerian

negara dengan membentuk jabatan wakil menteri seharusnya wakil

menteri juga diberi kewenangan untuk mengambil keputusan. Namun,

kewenangan ini tetap dipegang oleh menteri karena pembantu presiden

yang bertugas mengejawantahkan kebijakan politik presiden adalah

menteri bukan wakil menteri. Akibatnya, Jabatan wakil hanya menambah

beban keuangan negara, tetapi tidak memiliki fungsi dan peranan yang

signifikan.13

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka

penulis tertarik untuk melakukan penelitian kepustakaan yang berkaitan

dengan kedudukan Jabatan Wakil menteri dalam sistem ketatanegaraan di

12
Wayu Eko Yudiatmaja, Jabatan Wakil Menteri Quo Vadis Reformasi Birokrasi di
Indonesia, makalah, hal. 7.
13
Ibid, hal. 8.
11
Indonesia, sehingga judul yang diangkat oleh penulis dalam penelitian ini

adalah:

“TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KEDUDUKAN JABATAN

WAKIL MENTERI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN DI

INDONESIA”

B. Masalah Pokok

Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis

merumuskan permasalahannya sebagai berikut :

1. Bagaimanakah kedudukan jabatan wakil menteri dalam sistem ketata

negaraan di Indonesia pada era Presiden Susilo Bambang Yudoyono

pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011?

2. Apakah implikasi yang ditimbulkan oleh pengangkatan jabatan wakil

menteri tersebut pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-

IX/2011?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kedudukan jabatan wakil menteri dalam sistem

ketata negaraan di Indonesia pada era Presiden Susilo Bambang

Yudoyono pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-

IX/2011.

12
2. Untuk mengetahui implikasi yang ditimbulkan oleh pengangkatan

jabatan wakil menteri tersebut pasca Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 79/PUU-IX/2011.

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai

berikut:

1. Untuk mengembangkan ilmu hukum secara umum dan Hukum Tata

Negara pada khususnya terutama dalam kedudukan jabatan wakil

menteri dalam sistem ketata negaraan di Indonesia.

2. Untuk menambah pengetahuan penulis, terutama untuk

mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah penulis peroleh selama

perkuliahan.

3. Sebagai referensi bagi para peneliti berikutnya, khususnya yang

melakukan penelitian dalam masalah yang sama sehingga dapat

bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

4. Sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada setiap perguruan tinggi

yaitu sebagai syarat dalam menempuh ujian akhir untuk memperoleh

gelar Magister Hukum.

5. Untuk menambah referensi kepustakaan dan sebagai sumbangsih

penulis terhadap almamater serta terhadap seluruh pembaca.

D. Kerangka Teori

Adapun teori-teori yang berhubungan dengan masalah yang diteliti

adalah sebagai berikut:

13
a. Teori Konstitusi

Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis “constituer” yang

berarti membentuk. Dalam konteks ketatanegaraan istilah konstitusi

maksudnya ialah pembentukan suatu negara atau menyusun negara dan

menyatakan suatu negara. Istilah Undang-undang dasar adalah terjemahan

bahasa Belanda “Grondwet” (grond: dasar, wet: Undang-undang) dan

bahasa Jerman “Grundgesetz” (grund: dasar, gesetz: Undang-undang). Di

belanda di samping istilah “grondwet” digunakan pula istilah constitutie.

Sedang dalam bahasa Inggris dikenal “constitution”14 yang dalam bahasa

Indonesia disebut konstitusi.

Mencermati dikotomi antara istilah constitution dengan grondwet

(Undang-undang dasar), L.J Van Apeldoorn telah membedakan secara

jelas di antara keduanya, kalau grondwet (Undang-undang dasar) adalah

bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan constitution (konstitusi)

memuat baik peraturan yang tertulis maupun peraturan yang tidak tertulis.

Sementara Sri Soemantri, dalam disertasinya mengartikan konstitusi sama

dengan Undang-undang dasar.15 Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai

dengan praktik ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara dunia

termasuk Indonesia.

14
Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII Press,
Yogyakarta, 2001, hal. 13.
15
Sri Soemantri, prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi, Alumni,
Bandung, 1987, hal. 1. dalam Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum
Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006, hal. 8.
14
Secara umum konstitusi diartikan sebagai aturan dasar

ketatanegaraan yang setelah disarikan dari ajaran kedaulatan rakyat,

dipandang sebagai perjanjian masyarakat (contract social) yang berisi

pemberian arah oleh masyarakat dalam penyelenggaraan kekuasaan

pemerintahan negara.16 Perjanjian masyarakat harus melahirkan

pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat, dimana rakyat sebagai

warga negara memberi amanat kepada raja untuk memerintah berdasarkan

kontrak yang konstitusional. Di dalam kontrak yang kemudian dikristalkan

di dalam konstitusi itu, digariskan bahwa tugas penguasa yang utama

adalah melindungi hak asasi warganya melalui proses yang demokratis dan

dicantumkan dalam konstitusi.17 Tugas penguasa kemudian dibatasi

sedemikian rupa di dalam konstitusi melalui pengaturan infrastruktur yang

memungkinkan adanya pengendalian dan kontrol atas kekuasaan melalui

mekanisme check and balances.

Dalam lingkup yang sederhana, konstitusi dapat didefenisikan

sebagai sejumlah ketentuan hukum yang disusun secara sistematis untuk

menata dan mengatur pokok-pokok struktur dan fungsi lembaga-lembaga

pemerintahan termasuk dalam hal ikhwal kewenangan dan batas-batas

lembaga itu.18

16
Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi tentang Interaksi Politik
Kehidupan Ketatanegaraan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hal. 144.
17
Ibid.
18
Kunthi Dyah Wardani, Impeachment dalam Ketatanegaraan Indonesia, UII Press,
Yogyakarta, 2007, hal. 28.
15
Secara yuridis Sri Soemantri dan Dahlan Thaib, mengatakan

konstitusi adalah suatu naskah yang memuat suatu bangunan negara dan

sendi-sendi sistem pemerintahan negara. Apabila pengertian yuridis ini

kita pakai maka tidak dapat tidak, artinya menyamakan konstitusi dengan

Undang-Undang Dasar. Konstitusi sebagai naskah tertulis pada saat ini

lebih sesuai dengan paham modern.19

Sementara itu konstitusi menurut K.C. Wheare diartikan sebagai

keseluruhan sistem ketatanegaraan dari suatu negara berupa kumpulan

peraturan yang membentuk, mengatur, atau memerintah dalam

pemerintahan suatu negara. Peraturan di sini merupakan gabungan antara

ketentuan-ketentuan yang memiliki sifat hukum (legal) dan yang tidak

memiliki sifat non hukum (non-legal).

Pengertian konstitusi, dalam praktek dapat berarti lebih luas

daripada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang

menyamakan dengan pengertian Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana

Ilmu Politik istilah Constitusion merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu

keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak

tertulis mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu

pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.20

19
Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta:
2000, hal.14-15. Dalam Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945,
Yogyakarta, 2001, hal.13.
20
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Edisi Revisi,
cetakan.2, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta: 1983, hal.3, dalam Mexsasai Indra, Komisi
Konstitusi Indonesia: Proses Pembentukan dan Pelaksanaan Kewenangannya, UIR PRESS,
Pekanbaru, 2007, hal. 15.
16
Menurut Soehino, konstitusi adalah dokumen yang memuat aturan-

aturan hukum dan ketentuan-ketentuan hukum yang pokok-pokok atau

dasar-dasar yang sifatnya, baik tertulis maupun tidak tertulis yang

menggambarkan tentang sistem ketatanegaraan suatu negara dan

menurutnya,undang-undang dasar adalah suatu kitab atau dokumen yang

memuat aturan-aturan hukum dan ketentuan-ketentuan hukum yang

pokok-pokok atau dasar-dasar yang sifatnya tertulis yang menggambarkan

tentang sistem ketatanegaraan suatu negara.21

Pengertian konstitusi, dalam praktek dapat berarti lebih luas

daripada pengertian Undang-Undang Dasar, tetapi ada juga yang

menyamakan dengan pengertian Undang-Undang Dasar. Bagi para sarjana

Ilmu Politik istilah Constitusion merupakan sesuatu yang lebih luas, yaitu

keseluruhan dari peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun tidak

tertulis mengatur secara mengikat cara-cara bagaimana sesuatu

pemerintahan diselenggarakan dalam suatu masyarakat.22

Mencermati dikotonomi antara istilah constitution dengan gronwet

(Undang-Undang Dasar) di atas, L.J. Van Apeldoorn telah membedakan

secara jelas di antara keduanya, kalau gronwet (Undang-Undang Dasar)

adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan Constitution

(Konstitusi) memuat baik peraturan tertulis maupun yang tidak tertulis.

21
Soehino, Hukum Tata Negara, Sumber-sumber Hukum Tata Negara Indonesia,
Liberty, Yogyakarta, 1985, hal. 182.
22
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Edisi Revisi,
cetakan.2, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hal.3, dalam Mexsasai Indra, Komisi
Konstitusi Indonesia: Proses Pembentukan dan Pelaksanaan Kewenangannya, UIR PRESS,
Pekanbaru, 2007, hal. 15.
17
Sementra Sri Soemantri, dalam disertasinya mengartikan konstitusi sama

dengan Undang-Undang Dasar.23 Penyamaan arti dari keduanya ini sesuai

dengan praktik ketatanegaraan di sebagian besar negara-negara dunia

termasuk di Indonesia.

Ilmu konstitusi menorehkan catatan yang tegas bahwa konstitusi24

itu adalah resultante dari keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya

ketika konstitusi itu dibuat. Oleh sebab itu, konstitusi menggambarkan

kebutuhan dan jawaban atas persoalan yang dihadapi ketika itu. Mengingat

masyarakat selalu berubah dan mengikuti tantangan yang selalu berubah

pula, maka sebagai resultante poleksosbud tertentu konstitusi juga harus

membuka kemungkinan untuk diubah.25

Hanya saja berlakunya harus lebih lama dan perubahannya harus

lebih sulit daripada perubahan Undang-Undang biasa. Agar konstitusi itu

lebih lama berlakunya dan lebih sulit cara mengubahnya, maka ada dua hal

yang harus diperhatikan dalam membuat konstitusi. Pertama, isinya harus

bersifat umum dan memuat hal-hal yang prinsip saja sehingga ia lebih bisa

menampung perkembangan-perkembangan baru di dalam masyarakat

23
Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi, Alumni, Bandung:
1987, hal.1. dalam Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, op.cit., hal.8.
24
Istilah konstitusi sering digunakan dalam maksud yang sama dengan UUD meski secara
teoritis cakupan arti konstitusi lebih luas daripada arti UUD, dalam Mahfud, op.cit., hal. 20.
25
Seorang tokoh mazhab sejarah tentang hubungan hukum dan masyarakat, Von Savigny,
mengatakan bahwa hukum berubah jika perkembangan masyarakatnya berubah. Satjipto Rahardjo
mengatakan bahwa hukum tidak berada dalam vacuum melainkan harus melayani masyarakat
tertentu. Meskipun mazhab sejarah lebih cenderung ditfsirkan sebagai alat pembenar untuk
mempertahankan hukum adat yang berkembang dan hidup bersama masyarakat sebagai living law,
pendapat ini bisa juga dipergunakan untuk menjelaskan bahwa hukum (termasuk konstitusi
sebagai hukum yang tertinggi) dapat berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi di dalam
masyarakat, dalam Ibid.
18
dalam kurun waktu yang lama. Kedua, memuat ketentuan tentang cara

perubahan Undang-Undang Dasar dimuat di dalam Undang-Undang Dasar

itu sendiri dengan prosedur dan syarat-syarat yang lebih sulit daripada

mengubah Undang-Undang biasa. 26

Adapun Menurut Mr. J.G Stenbeek, materi muatan konstitusi yang

terdapat pada hampir semua konstitusi yang ada di belahan dunia ini

meliputi beberapa hal yang bersifat pokok, antara lain:27

1) adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia dan warga

negaranya;

2) susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental;

3) pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang juga bersifat

fundamental.

Menurut A.A.H Struycken Undang-undang dasar (grondwet)

sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah dokumen formal yang

berisi:28

1) hasil perjuangan politik bangsa di waktu yang lampau;

2) tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;

3) pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu

sekarang maupun untuk masa yang akan datang;

Menurut Miriam Budiarjo, setiap Undang-undang Dasar memuat

ketentuan-ketentuan mengenai:29

26
Ibid., hal. 20-21.
27
Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, op.cit., hal. 16.
28
Ibid, hal. 15.
19
1) organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan

legislatif, eksekutif dan yudikatif; pembagian kekuasaan antara

pemerintah federal dan pemerintah negara bagian; prosedur

menyelesaikan masalah penyelenggaraan yurisdiksi oleh salah satu

badan pemerintah dan sebagainya;

2) hak-hak asasi manusia;

3) prosedur mengubah Undang-undang dasar;

4) ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari

Undang-undang dasar;

Mahfud MD menyatakan bahwa semua konstitusi di dunia

mempunyai dua tujuan, yaitu:

1) mengatur lembaga-lembaga negara dan wewenangnya;

2) mengatur tentang perlindungan atas hak-hak asasi manusia.

Dari berbagai pendapat diatas, maka dapat disimpulkan bahwa,


konstitusi merupakan aturan ketatanegaraan atau hukum konstitusional
yang mengatur pokok-pokok ketatanegaraan dan penyelenggaraannya
dalam suatu negara. Apa saja yang merupakan aturan pokok
ketatanegaraan itu dapat dijumpai dalam materi muatan konstitusi. Apabila
materi muatan konstitusi dapat diartikan sebagai sejumlah ketentuan
(norma hukum) dimasukkan ke dalam suatu dokumen atau beberapa
dokumen yang dinamakan konstitusi sehingga konstitusi itu berisi
keterangan-keterangan atau penjelasan tentang norma hukum atau
ketentuan yang dimaksud tersebut, umumnya materi muatan yang terdapat
di dalam setiap konstitusi selalu diatur tentang:

29
Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991, hal. 101.
20
1) jaminan terhadap hak-hk asasi manusia;
2) susunan (struktur) ketatanegaraan suatu negara yang bersifat
mendasar; dan
3) pembagian dan pembatasan tugas dan wewenang ala-alat
perlengkapan negara (lembaga negara) yang juga bersifat
mendasar.30

b. Teori Pembagian dan Pemisahan Kekuasaan

Kekuasan merupakan adanya suatu hubungan dalam arti bahwa ada

satu pihak yang memerintah dan ada pihak lain yang diperintah (the ruler

and the ruled). Berdasarkan pengertian di atas, dapat terjadi kekuasaan

yang tidak berkaitan dengan hukum yang oleh Henc Van Marseveen

disebut sebagai “blote macht” dan kekuasaan yang berkaitan dengan

hukum yang oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional atau

legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum yang dapat

dipahami sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui dan dipatuhi oleh

masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh negara.31

Kekuasaan juga merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar

negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging), sehingga negara itu

dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi dan berkinerja melayani

warganya, oleh karena itu negara harus diberi kekuasaan. Menurut Miriam

Budiardjo, kekuasaan adalah: Kemampuan seseorang atau sekelompok

orang manusia untuk mempengaruhi tingkah laku seseorang atau

30
Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstiusi dan Implikasinya dalam Sistem
Ketatanegaraan Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 82-83.
31
Ibid, Hal. 207-208.
21
kelompok lain sedemikan rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai

dengan keinginan dan tujuan dari orang atau negara.32

Timbulnya pemikiran mengenai pemisahan kekuasaan merupakan

kritik atas kekuasaan absolut raja agar dalam menjalankan pemerintahan

tidak bersikap sewenang-wenang. Teori mengenai pemisahan kekuasaan

negara menjadi sangat penting artinya untuk melihat bagaimana posisi atau

keberadaan dalam sebuah struktur kekuasaan negara.33

Pentingnya pemisahan kekuasaan dalam suatu negara berarti pula

adanya batas-batas terhadap penggunaan kekuasaan. Pembatasan

kekuasaan meliputi: Pertama, jangka waktu kekuasaan itu dilakukan;

Kedua, perincian daripada kekuasaan yang diberikan kepada setiap

lembaga negara; Ketiga, seleksi pejabat publik yang berarti oleh rakyat;

Keempat, pelaksanaan pemerintahan oleh pejabat publik yang diseleksi

dengan cara yang menunjukkan tanggung jawab terhadap keinginan

rakyat.34

Gagasan pemisahan kekuasaan negara mendapat dasar pijakan dari

pemikiran John Locke dan Montesquieu.

1) John Locke

Locke dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government”

mengusulkan agar kekuasaan di dalam negara dibagi-bagi kepada

32
Ibid.
33
Bambang Sutiyoso, Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hal. 17
34
Abdul Rasyid Thalib, op.cit., hal.34.
22
organ-organ yang berbeda. Menurut John Locke, agar pemerintah

tidak sewenang-wenang harus ada pembedaan pemegang kekuasaan

negara ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu :35

1) kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat Undang-undang);

2) kekuasaan eksekutif (kekuasaan melaksanakan Undang-

undang);

3) kekuasaan federatif (kekuasaan melakukan hubungan diplomatik

dengan negara-negara lain).

Locke meletakkan kekuasaan pembentuk undang-undang

(legislatif) sebagai kekuasaan tertinggi (supreme power)36 dan

cenderung menyerahkan kekuasaan pembentuk undang-undang

kepada dewan atau mejelis. Kekuasaan pembentuk undang-undang

perlu dipisahkan dengan kekuasaan pelaksana undang-undang.

Kekuasaan pelaksana adakalanya memerlukan paksaan, sehingga

diperlukan adanya kekuasaan untuk melaksanakannya secara tetap.

Maka seyogianya kedua kekuasaan itu tidak berada di satu tangan.37

Untuk kekuasaan federatif, kekuasaan ini bertugas untuk

menyatakan perang atau melaksanakan perdamaian dengan negara

lain, ataupun mengadakan perjanjian kerja sama sejauh

35
Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, op. cit., hal. 18.
36
Sobirin Malian, op.cit., hal. 32.
37
Ibid., hal.33.
23
menyangkut keharmonisan dan kebaikan lembaga antarnegara.

Hubungan ini biasa disebut hubungan diplomatik.38

2) Montesquieu

Melalui bukunya “I’espirit des lois” (The Spirit of Law),

Montesquieu menawarkan alternatif yang agak berbeda dari yang

ditawarkan John Locke. Montesquieu mengembangkan lebih jauh

ajaran John Locke dengan menawarkan konsepsi monarki

konstitusional, dimana kekuasaan absolut dicegah dan menawarkan

konsep pemisahan kekuasaan.

Montesquieu berpendapat agar tidak terjadi pemusatan

kekuasaan pada satu orang/ satu organ lembaga, maka diadakan

pemisahan kekuasaan pemerintahan menjadi tiga jenis, dan

kekuasaan pemerintahan negara itu harus didistibusikan kepada

beberapaorgan/ lembaga negara, dan satu organ/ lembaga hanya

memiliki satu kekuasaan saja, kekuasaan-kekuasaan itu adalah:39

1) kekuasaan legislatif/ pembentuk undang-undang, dilaksanakan

oleh suatu badan perwakilan (parlemen);

2) kekuasaan eksekutif/ pelaksana undang-undang, dilaksanakan

oleh pemerintah (presiden atau raja dengan bantuan menteri-

menteri atau kabinet);

38
Ibid.
39
Rahimullah, Hubungan Antar Lembaganegara Versi Amandemen UUD 1945, PT.
Gramedia, Jakarta, 2007, hal. 3.
24
3) kekuasaan yudikatif/ peradilan atau kehakiman untuk

menegakkan perundang-undangan apabila terjadi pelanggaran,

dilaksanakan oleh badan peradilan (Mahkamah Agung dan

pengadilan bawahannya).

Kedudukan ketiga kekuasaan di atas seimbang, yang satu

tidak lebih tinggi daripada yang lain.40 Hal ini berbeda dengan John

Locke yang menempatkan legislatif lebih tinggi. Ketiga poros

kekuasaan terpisah satu sama lain, baik mengenai organ maupun

fungsinya. Immanuel Kant memberi nama ajaran Montesquieu ini

dengan “Trias Politica”.

Istilah Trias Politica berasal dari bahasa Yunani yang artinya

“Politk Tiga Serangkai”.41 Menurut ajaran Trias politica dalam tiap

pemerintahan Negara harus ada tiga jenis kekuasaan yang tidak

dapat dipegang oleh satu tangan saja, melainkan harus masing-

masing kekuasaan itu terpisah.42 Ajaran Trias Politica nyata-nyata

bertentangan dengan kekuasaan yang diktator pada zaman

Feodalisme dalam abad pertengahan. Pada zaman itu yang

memegang ketiga kekuasaan dalam Negara ialah seorang Raja yang

membuat sendiri Undang-Undang, menjalankannya dan menghukum

40
Sobirin Malian, op.cit., hal. 18.
41
C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Di Indonesia Untuk
Perguruan Tinggi, Sinar Grafika, Jakarta: 2009, hal: 110.
42
Ibid. hal. 111.
25
segala pelanggaran atas Undang-Undang yang dibuat dan dijalankan

oleh Raja tersebut. 43

Monopoli atas ketiga kekuasaan tersebut dapat dibuktikan

dalam semboyan Raja Louis XIV L” Etat Cest Moi. Kekusaan mana

berlangsung hingga permulaan abad XVII. Setelah pecah Revolusi

Francis pada tahun 1789, barulah paham tentang kekuasaan yang

tertumpuk ditangan Raja menjadi lenyap. Dan ketika itu pula timbul

gagasan baru mengenai pemisahan kekusaan yang dipelopori oleh

Montesquieu.44 Dimana pada pokoknya ajaran trias politica isinya

adalah sebagai berikut:

1) kekuasaan lgislatif (legislative Powers)


2) kekusaan eksekutif (eksekutif powers)
3) kekusaan yudikatif (judicative powers
Kekuasaan legislatif dapat diterangkan bahwa didalam

Negara demokrasi yang peraturan perundang-undangan harus

berkedaulatan raknyat, badan perwakilan raknyat yang harus

dianggap sebagai badan yang mempunyai kekuasaan tertinggi untuk

menyusun Undang-Undang dan ialah yang dinamakan “legislatif”.

Sebagai badan pembentuk Undang-Undang, legislatif

hanyalah berhak untuk mengadakan undang-undang saja, tidak boleh

melaksanakannya. Untuk menjalankan Undang-undang itu haruslah

43
Ibid.
44
Ibid.
26
diserahkan kepada suatu badan lain. Kekuasaan untuk melaksanakan

Undang-undang adalah Eksekutif.

Kekuasan Eksekutif dapat dijelaskan bahwa kekuasaan

menjalankan Undang-Undang ini dipegang oleh kepala Negara.

Kepala Negara tentu tidak dapat dengan sendirinya menjalankan

segala Undang-Undang ini. Oleh karena itu kekuasaan dari kepala

Negara dilimpahkannya (didelegasikannya) kepada pejabat

pemerintah/Negara yang bersama-sama merupakan suatu badan

pelaksana Undang-Undang (badan eksekutif). Badan inilah yang

berkewajiban menjalankan kekuasaan eksekutif.

Dan penjelasan mengenai kekuasaan yudikatif dapat dilihat

bahwa kekuasaan yudikatif atau kekuasaan yustitusi (kehakiman)

ialah kekuasaan yang berkewajiban mempertahankan Undang-

Undang dan berhak untuk memberikan peradilan kepada raknyat.

Badan yudikatiflah yang berkuasa untuk memutuskan perkara,

menjatuhi hukuman terhadap setiap pelanggaran Undang-Undang

yang telah ditiadakan dan dijalankan.

Walaupun para hakim itu biasanya diangkat oleh kepala

Negara (eksekutif) tetapi mereka mempunyai kedudukan istimewa

dan mempunyai hak tersendiri, karena hakim tidak diperintah oleh

kepala Negara yang mengangkatnya dan yang mempunyai

kekuasaan dalam suatu Negara, bahkan hakim adalah badan yang

berhak menghukum kepala Negara, jika terbukti melanggar hukum

27
Kekuasaan merupakan adanya suatu hubungan dalam arti

bahwa ada satu pihak yang memerintah dan ada pihak lain yang

diperintah (the ruler and the ruled). Berdasarkan pengertian di atas,

dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum yang

oleh Henc Van Marseveen disebut sebagai “blote macht” dan

kekuasaan yang berkaitan dengan hukum yang oleh Max Weber

disebut sebagai wewenang rasional atau legal, yakni wewenang yang

berdasarkan suatu sistem hukum yang dapat dipahami sebagai

kaidah-kaidah yang telah diakui dan dipatuhi oleh masyarakat dan

bahkan yang diperkuat oleh Negara.45

Kendati demikian, dari teori Trias Politica terebut

berkembang banyak teori tentang pemisahan ataupun pembagian

kekuasaan, misalnya:46

a) Teori Catur Praja dari Van Vollenhoven yang membagi


kekuasaan dalam negara menjadi empat (4) jenis, yaitu:
1) tugas membuat Undang-Undang dalam arti formal dan
material (regeling) yaitu tugas Badan Legislatif;
2) tugas memelihara kepentingan umum yaitu tugas Badan
Eksekutif;
3) tugas menyelesaikan pertiakaian dalam peradilan perdata
yaitu tugas Badan Yudisial; dan

45
Ibid, Hal. 207-208.
46
Andi Mustari Pide, Pengantar Hukum Tata Negara, cetakan 2. (Jakarta: Griya Media
Pratama, 1999), 59 bandingkan Soehino, Asas-Asas Hukum Tata Pemerintahan (Yogyakart:
Liberty. 1984) 8-9, dalam Didit Hariadi Estiko, (Eds.), Mahkamah Konstitusi: Lembaga Negara
Baru Pengawal Konstitusi, Sekretariat Jenderal DPR-RI Pusat Pengkajian dan Pelayanan
Informasi (P3I), Jakarta, 2003, hal. 125.
28
4) tugas mengawasi pelaksanaan peraturan-peraturan hukum
secara preventif maupun represif, menyelesaikan pertikaian
dalam perkara pidana, memelihara ketentraman dan
keamanan merupakan tugas Polisionil oleh Badan Kepolisian.
b) Teori Panca Praja47 dari W.L.G Lemaire yang membedakan
kekuasaan dalam negara menjadi lima (5) yaitu:
1) bestuurzorg (penyelenggara kesejahteraan umum);
2) bestuur (pemerintahan dalam arti sempit);
3) perundang-undangan;
4) pengadilan; dan
5) kepolisian.
c) Teori Panca Praja48 yang lain dari Logeman membagi
kekuasaan negara menjadi lima (5) bagian yaitu:
1) fungsi Perundang-undangan (wetgeving);
a. fungsi pelaksana (eksekutif);
2) fungsi pemerintahan (dalam arti khusus, misalnya tindakan
Pemerintahan dalam keadaan darurat);
3) fungsi Peradilan; dan
4) fungsi Kepolisian.
d) Teori Dwi Praja49 dari A.M. Donner yang membagi
Pemerintahan negara menjadi dua (2) tungkatan yaitu:
1) kekuasan menentukan politik negara, menentukan tugas-
tugas alat-alat perlengkapan negara;
2) kekuasaan menyelenggarakan tugas-tugas tersebut di atas.
Teori dari A.M. Donner ini di dukung oleh Utrecth dan Hans
Kelsen dalam bukunya Allgemeine Staatslehre dengan istilah
Politik als Ethik dan Politik als Technik.50 Selain itu, di Amerika

47
Ibid., hal. 126.
48
Ibid.
49
Ibid., hal. 127.
50
Ibid.
29
Serikat Teori Dwi Praja tersebut dikenal dengan nama Dichotomy
Goodnow.51 Yang menurut teori yang diperkenalkan oleh
Goodnow tersebut membagi tugas negara menjadi dua yaitu:
1) politics atau policy making yang menentukan tugas dan
tujuan negara; dan
2) administration yaitu task-executing yang melaksanakan tugas
dan merealisasi tujuan negara yang telah ditetapkan.
Perkembangan doktrin Trias Poitica diawal abad ke-20 bagi

negara berkembang dalam bentuk “pemisahan kekuasaan” pada

umumnya sulit diterapkan. Pada negara berkembang, negara dituntut

ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh rakyat, sehingga

fungsi negara sudah melebihi tiga fungsi yang disebutkan

Montesquieu.52 Perkembangan pokok-pokok kenegaraan yang

sedemikian rupa mengakibatkan penafsiran doktrin Trias Politica

bergeser menjadi Division of Power (pembagian kekuasaan).

Kekuasaan yudikatif sangat ditekankan oleh Montesquieu,

karena pada titik inilah kemerdekaan individu dan jaminan terhadap

hak-hak asasi manusia. Montersquieu sangat menekankan kebebasan

kekuasaan yudikatif, karena ingin memberikan perlindungan

terhadap hak asasi warganya yang pada masa itu menjadi korban

kesewenang-wenangan raja-raja. Menurut C.F. Strong, kekuasaan

legislatif, eksekutif, dan yudikatif inilah yang secara teknis disebut

51
Ibid.
52
Ibid., hal. 51.
30
dengan istilah Government (Pemerintah) yang merupakan alat-alat

perlengkapan negara.53

Menurut teori Trias Politica, baik dalam pengertian

pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang

harus dipegang adalah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum

harus bebas dari campur tangan badan eksekutif. Hal ini

dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi secara wajar

demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi

manusia.

Melalui asas kebebasan yudikatif, diharapkan putusan yang

tidak memihak dan semata-mata berpedoman kepada norma-norma

hukum dan keadilan serta nurani hakim dapat diwujudkan. Dengan

demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman

mempunyai peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan

untuk menangani dan menyelesaikan konflik yang terjadi dalam

kehidupan suatu negara.54

c. Teori kewenangan

Dalam literatur ilmu politik, ilmu pemerintahan, dan ilmu

hukum sering ditemukan istilah kekuasaan, kewenangan, dan

wewenang. Kekuasaan sering disamakan begitu saja dengan

kewenangan, dan kekuasaan sering dipertukarkan dengan istilah

53
A. Ahsin Thohari, op. cit., hal. 45.
54
Ibid., hal. 46.
31
kewenangan, demikian pula sebaliknya. Bahkan kewenangan sering

disamakan juga dengan wewenang. Kekuasaan biasanya berbentuk

hubungan dalam arti bahwa “ada satu pihak yang memerintah dan

pihak lain yang diperintah” (the rule and the ruled).55

Berdasarkan pengertian tersebut di atas, dapat terjadi

kekuasaan yang tidak berkaitan dengan hukum. Kekuasaan yang

tidak berkaitan dengan hukum oleh Henc van Maarseven disebut

sebagai “blote match”56, sedangkan kekuasaan yang berkaitan

dengan hukum oleh Max Weber disebut sebagai wewenang rasional

atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum

ini dipahami sebagai suatu kaidah-kaidah yang telah diakui serta

dipatuhi oleh masyarakat dan bahkan yang diperkuat oleh Negara.57

Dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan

kekuasaan.58 Kekuasaan memiliki makna yang sama dengan

wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh Eksekutif, Legislatif

dan Yudikatif adalah kekuasaan formal. Kekuasaan merupakan

unsur esensial dari suatu Negara dalam proses penyelenggaraan

pemerintahan di samping unsur-unsur lainnya, yaitu:

55
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,
1998), hal. 35-36.
56
Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik
Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis Pertanggungjawaban Kekuasaan,
Surabaya: Universitas Airlangga, 1990, hal. 30.
57
A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan Masyarakat
Indonesia, Yogyakarta: Kanisius, 1990, hal. 52.
58
Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga,
Surabaya,hal. 1.
32
1) hukum;

2) kewenangan (wewenang);

3) keadilan;

4) kejujuran;

5) kebijakbestarian; dan

6) kebajikan.59

Kekuasaan merupakan inti dari penyelenggaraan Negara agar

Negara dalam keadaan bergerak (de staat in beweging) sehingga

Negara itu dapat berkiprah, bekerja, berkapasitas, berprestasi, dan

berkinerja melayani warganya. Oleh karena itu Negara harus diberi

kekuasaan. Kekuasaan menurut Miriam Budiardjo adalah

kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk

mempengaruhi tingkah laku seseorang atau kelompok lain

sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan

dan tujuan dari orang atau Negara.60

Agar kekuasaan dapat dijalankan maka dibutuhkan penguasa

atau organ sehingga Negara itu dikonsepkan sebagai himpunan

jabatan-jabatan (een ambten complex) di mana jabatan-jabatan itu

diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban

tertentu berdasarkan konstruksi subyek-kewajiban.61

59
Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, (Yogyakarta:Universitas Islam
Indonesia, 1998), hal. 37-38.
60
Miriam Budiardjo, Op Cit, hal. 35.
61
Rusadi Kantaprawira, Op Cit, hal. 39.
33
Dengan demikian kekuasaan mempunyai dua aspek, yaitu

aspek politik dan aspek hukum, sedangkan kewenangan hanya

beraspek hukum semata. Artinya, kekuasaan itu dapat bersumber

dari konstitusi, juga dapat bersumber dari luar konstitusi

(inkonstitusional), misalnya melalui kudeta atau perang, sedangkan

kewenangan jelas bersumber dari konstitusi.

Kewenangan sering disejajarkan dengan istilah wewenang.

Istilah wewenang digunakan dalam bentuk kata benda dan sering

disejajarkan dengan istilah “bevoegheid” dalam istilah hukum

Belanda. Menurut Phillipus M. Hadjon, jika dicermati ada sedikit

perbedaan antara istilah kewenangan dengan istilah “bevoegheid”.

Perbedaan tersebut terletak pada karakter hukumnya. Istilah

“bevoegheid” digunakan dalam konsep hukum publik maupun dalam

hukum privat. Dalam konsep hukum kita istilah kewenangan atau

wewenang seharusnya digunakan dalam konsep hukum publik.62

Ateng syafrudin berpendapat ada perbedaan antara pengertian

kewenangan dan wewenang.63 “Kita harus membedakan antara

kewenangan (authority, gezag) dengan wewenang (competence,

bevoegheid). Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan

formal, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan yang diberikan oleh

62
Phillipus M. Hadjon, Op Cit, hal. 20.
63
Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih dan
Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV,( Bandung, Universitas Parahyangan, 2000), hal.
22.
34
undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu

“onderdeel” (bagian) tertentu saja dari kewenangan. Di dalam

kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheden).

Wewenang merupakan lingkup tindakan hukum publik, lingkup

wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat

keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam

rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta

distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan

perundang-undangan”.

Secara yuridis, pengertian wewenang adalah kemampuan

yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk

menimbulkan akibat-akibat hukum.64

Pengertian wewenang menurut H.D. Stoud adalah:

Bevoegheid wet kan worden omscrevenals het geheel van

bestuurechttelijke bevoegdheden door publiekrechtelijke

rechtssubjecten in het bestuurechttelijke rechtsverkeer. (wewenang

dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan

dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintah oleh

subjek hukum publik dalam hukum publik).65

64
Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, dalam Paulus Efendie
Lotulung, Himpunan Makalah Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, (Bandung: Citra Aditya
Bakti, 1994), hal. 65.
65
Stout HD, de Betekenissen van de wet, dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan
Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung: Alumni, 2004, hal. 4.

35
Dari berbagai pengertian kewenangan sebagaimana tersebut

di atas, penulis berkesimpulan bahwa kewenangan (authority)

memiliki pengertian yang berbeda dengan wewenang (competence).

Kewenangan merupakan kekuasaan formal yang berasal dari

undang-undang, sedangkan wewenang adalah suatu spesifikasi dari

kewenangan, artinya barang siapa (subyek hukum) yang diberikan

kewenangan oleh undang-undang, maka ia berwenang untuk

melakukan sesuatu yang tersebut dalam kewenangan itu.

Kewenangan yang dimiliki oleh organ (institusi)

pemerintahan dalam melakukan perbuatan nyata (riil), mengadakan

pengaturan atau mengeluarkan keputisan selalu dilandasi oleh

kewenangan yang diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi,

maupun mandat. Suatu atribusi menunjuk pada kewenangan yang

asli atas dasar konstitusi (UUD). Pada kewenangan delegasi, harus

ditegaskan suatu pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan

yang lain. Pada mandat tidak terjadi pelimpahan apapun dalam arti

pemberian wewenang, akan tetapi, yang diberi mandat bertindak

atas nama pemberi mandat. Dalam pemberian mandat, pejabat yang

diberi mandat menunjuk pejabat lain untuk bertindak atas nama

mandator (pemberi mandat).

36
Dalam kaitan dengan konsep atribusi, delegasi, ataupun

mandat, J.G. Brouwer dan A.E. Schilder, mengatakan:66

1) with atribution, power is granted to an administrative

authority by an independent legislative body. The power is

initial (originair), which is to say that is not derived from a

previously existing power. The legislative body creates

independent and previously non existent powers and assigns

them to an authority.

2) Delegation is a transfer of an acquired atribution of power

from one administrative authority to another, so that the

delegate (the body that the acquired the power) can exercise

power in its own name.

3) With mandate, there is not transfer, but the mandate giver

(mandans) assigns power to the body (mandataris) to make

decision or take action in its name.

J.G. Brouwer berpendapat bahwa atribusi merupakan

kewenangan yang diberikan kepada suatu organ (institusi)

pemerintahan atau lembaga Negara oleh suatu badan legislatif yang

independen. Kewenangan ini adalah asli, yang tidak diambil dari

kewenangan yang ada sebelumnya. Badan legislatif menciptakan

kewenangan mandiri dan bukan perluasan kewenangan sebelumnya

dan memberikan kepada organ yang berkompeten.

66
Ibid.
37
Delegasi adalah kewenangan yang dialihkan dari

kewenangan atribusi dari suatu organ (institusi) pemerintahan

kepada organ lainnya sehingga delegator (organ yang telah memberi

kewenangan) dapat menguji kewenangan tersebut atas namanya,

sedangkan pada Mandat, tidak terdapat suatu pemindahan

kewenangan tetapi pemberi mandat (mandator) memberikan

kewenangan kepada organ lain (mandataris) untuk membuat

keputusan atau mengambil suatu tindakan atas namanya.

Ada perbedaan mendasar antara kewenangan atribusi dan

delegasi. Pada atribusi, kewenangan yang ada siap dilimpahkan,

tetapi tidak demikian pada delegasi. Berkaitan dengan asas legalitas,

kewenangan tidak dapat didelegasikan secara besar-besaran, tetapi

hanya mungkin dibawah kondisi bahwa peraturan hukum

menentukan menganai kemungkinan delegasi tersebut.

Delegasi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:67

1) delegasi harus definitif, artinya delegasn tidak dapat

lagi menggunakan sendiri wewenang yang telah

dilimpahkan itu;

2) delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-

undangan, artinya delegasi hanya dimungkinkan jika

67
Philipus M. Hadjon, Op Cit, hal. 5

38
ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu dalam

peraturan perundang-undangan;

3) delegasi tidak kepada bawahan, artinya dalam hierarki

kepagawaian tidak diperkenankan adanya delegasi;

4) kewajiban memberi keterangan (penjelasan), artinya

delegans berwenang untuk meminta penjelasan

tentang pelaksanaan wewenang tersebut;

5) peraturan kebijakan (beleidsregel), artinya delegans

memberikan instruksi (petunjuk) tentang penggunaan

wewenang tersebut.

Kewenangan harus dilandasi oleh ketentuan hukum yang ada

(konstitusi), sehingga kewenangan tersebut merupakan kewenangan

yang sah. Dengan demikian, pejabat (organ) dalam mengeluarkan

keputusan didukung oleh sumber kewenangan tersebut. Stroink

menjelaskan bahwa sumber kewenangan dapat diperoleh bagi

pejabat atau organ (institusi) pemerintahan dengan cara atribusi,

delegasi dan mandat. Kewenangan organ (institusi) pemerintah

adalah suatu kewenangan yang dikuatkan oleh hukum positif guna

mengatur dan mempertahankannya. Tanpa kewenangan tidak dapat

dikeluarkan suatu keputusan yuridis yang benar.68

68
F.A.M. Stroink dalam Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan
Aplikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti,
2006, hal. 219.

39
Kewenangan memiliki kedudukan penting dalam kajian

hukum tata negara dan hukum administrasi. Begitu pentingnya

kedudukan kewenangan ini, sehingga F.A.M. Stroink dan J.G.

Steenbeek menyebutkan sebagai konsep inti dalam hukum tata

negara dan hukum adminstrasi, kewenangan yang didalamnya

terkandung hak dan kewajiban (rechten en plichten).69

Menurut P. Nicolai adalah sebagai berikut: (kemampuan

untuk melakukan tindakan hukum tertentu yaitu tindakan-tindakan

yang dimaksud unutk menimbulkan akibat hukum, dan mencakup

mengenai timbul dan lenyapnya akibat hukum tertentu. Hak berisi

kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukan tindak tertentu

atau menuntut pihak lain melakukan tindakan tertentu, sedangkan

kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau tidak

melakukan tindakan tertentu).70

Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak

sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya mengambarkan

hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang

sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam

kaitannya dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian

kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelfregelen) dan mengelola

sendiri (zelfbesturen), sedangkan kewajiban secara horizontal berarti

69
Ridwan HR, op. cit, hal. 101.
70
Ibid, hal. 102.
40
kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana

mestinya. Vertikal berarti kekuasaan untuk menjalankan

pemerintahan dalam satu tertib ikatan pemerintahan negara secara

keseluruhan. Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal

dari peraturan poerundang-undangan yang berlaku. Menurut

R.J.H.M. Huisman:

“Organ pemerintahan tidak dapat menganggap bahwa ia

memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Kewenangannya

hanya diberikan oleh undang-undang. Pembuat undang-undang

dapat memberikan wewenang pemerintah tidak hanya kepada

organ pemerintahan, tetapi juga terhadap para pegawai

(misalnya inspektur paja, inspektur lingkungan, dan sebagainya)

atau terhadap badan khusus (seperti dewan pemilihan umum,

penegdilan khusus unutk perkara sewa tanah), atau bahkan

terhadap badan hukum privat”.71

Seiring dengan pilar utama negara hukum yaitu asas

legalitas (legaliteitsbeginsel atau het beginsel van wet matigheid

van bestuur), maka berdasarkan prinsip ini bersifat tersirat bahwa

wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-

undangan, artinya sumber wewenang bagi pemerintah adalah

peraturan perundang-undangan.72

71
Ibid, hal. 103
72
Ibid.
41
Secara teoritik, kewenangan yang bersumber dari peraturan

perundang-undangan tersebut diperoleh melalui tiga cara yaitu

atribusi, delegasi dan mandat. Mengenai hal ini H.D Van

Wijk/Willem Konijnenbelt mendefenisikan sebagai berikut:

1) Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh

pembuat undang-undang kepada organ pemerintah.

2) Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari

suatu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan

yang lainnya.\

3) Mandat: terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan

kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas

namanya.73

Berbeda dengan van wijk, F.A.M Stroink dan J.G

Steenbeek menyebutkan bahwa hanya dua cara organ pemerintahan

memperoleh wewenang, yaitu atribusi dan delegasi. Mengenai

atribusi dan delegasi disebutkan bahwa, atribusi berkenaan dengan

penyerahan suatu wewenang baru, sedangkan delegasi menyangkut

pelimpahan wewenang baru dan wewenang yang telah ada (oleh

organ yang telah memperoleh wewenang secara atributif kepada

organ lain; jadi dalam hal delegasi secara logis selalu didahului

oleh atribusi). Dalam hal mandat dikemukakan sebagai berikut:

73
Ibid, hal. 105.
42
“Pada mandat tidak dibicarakan mngenai penyerahan

wewenang, tidak pula pelimpahan wewenang. Dalam hal

mandat tidak terjadi perubahan wewenang apapun (setidak-

tidaknya dalam arti yuridis formal). Yang ada hanyalah

hubungan internal, sebagai contoh menteri dengan pegawai,

menteri mempunyai kewenangan dan melimpahkan kepada

pegawai unutk mengambil keputusan tertentu atas nama

menteri, sementara secara yuridis wewenang dan tanggung

jawab tetap berada pada organ kementerian. Pegawai

memutuskan secara faktual dan menteri secara yuridis”.74

Pengertian atribusi dan delegasi berdasarkan Algemene

Bepalingen van Adminstratif Recht (ABAR) adalah atribusi

wewenang dikemukakan bilamana undang-undang (dalam arti

materil) emnyerahkan wewenang tertentu kepada organ tertentu.

Dalam hal ini delegasi disebut (...berati pelimpahan wewenang

oleh organ pemerintah yang telah diberi wewenang, kepada organ

lain, yang akan melaksanakan wewenang yang telah dilimpahkan

itu sebagai wewenangnya sendiri). Didalam Algemene Wet

Bestuurrecht (Awb), mandat berarti pemberian wewenang oleh

organ organ pemerintahan kepada organ lainnya unutk mengambil

keputusan atas namanya., sedangkan delegasi diartikan sebagai,

pelimpahan wewenang oleh organ lain unutk mengambil keputusan

74
Ibid, hal. 106.
43
dengan tanggung jawab sendiri. Artinya dalam penyerahan

wewenang melalui delegasi ini, pemberi wewenang telah lepas dari

tanggung jawab hukum atau dari tuntutan pihak ketiga jika dalam

penggunaan wewenang itu menimbulkan kerugian pada pihak

lain.75

Mengetahui sumber dan cara memperoleh wewenang organ

pemerintahan ini penting karena berkenaan dengan pertanggung

jawaban yuridis dan penggunaan wewenang tersebut. Berdasarkan

keterangan tersebut diatas, tampak bahwa wewenang yang

diperoleh secara atribusi bersifat asli yang berasal dari peraturan

perundang-undangan. Dengan kata lain, organ pemerintahan

memperoleh kewenangan secara langsung dari redaksi pasal

tertentu dalam suatu peraturan perundang-undangan. 76

Dalam hal atribusi, penerima wewenang dapat menciptakan

wewenang baru atau memperluas wewenang yang telah ada,

dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang

yang diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang.

Pada delegasi tidak ada penciptaan wewenang, yang ada hanya

pelimpahan wewenang dari pejabat yang satu kepada pejabat yang

lainnya. Sementara pada mandat, penerima mandat hanya

bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat, tanggung jawab

75
Ibid, hal. 107.
76
Ibid, hal. 108.
44
akhir keputusan yang diambil mandataris tetap berada pada

pemberi mandat. Hal ini karena pada dasarnya, penerima mandat

ini bukan pihak lain dari pemberi mandat.77

Meskipun kepada pemerintah diberikan kewenangan bebas,

namun dalam suatu negara hukum pada dasarnya tidak terdapat

kebebasan dalam arti yang seluas-luasnya atau kebebasan tanpa

batas, sebab dalam suatu negara hukum, baik penyerahan

wewenang, sifat dan isi wewenang, maupun pelaksanaan

wewenang tunduk pada batasan-batasab yuridis. Mengenai

penyerahan wewenang dan sebaliknya, terdapat aturan-aturan

hukum tertulis dan tidak tertulis. Terlepas dari bagaimana

wewenang itu diperoleh dan apa isi dan sifat wewenang tersebut,

yang pasti bahwa wewenang merupakan faktor penting dalam

hubungannya dengan masalah pemerintahan dalam melakukan

berbagai tindakan hukum (rechthansdelingen).78

E. Konsep Operasional

Untuk tidak menimbulkan salah penafsiran terhadap judul

penelitian ini serta sebagai pijakan penulis dalam menyelesaikan penelitian

ini, maka penulis memberikan definisi-definisi atau batasan-batasan

terhadap istilah-istilah yang digunakan, yakni sebagai berikut:

77
Ibid, hal. 109.
78
Ibid, hal. 112.
45
a. Tinjauan yuridis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa hukum

untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya.79

b. Kedudukan adalah keadaan sebenarnya tentang suatu perkara.80

c. Jabatan wakil menteri adalah pejabat pemerintahan eksekutif yang

umumnya merupakan pejabat yang bertindak sebagai pejabat senior

utama atau kedua dalam kantor kementerian, yang ditunjuk dan

diangkat secara politik dengan kewenangan yang berbeda beberapa

sistem ketatanegaraan tiap-tiap negara.81

d. Sistem adalah perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan

sehingga membentuk suatu totalitas.82

e. Ketatanegaraan Indonesia adalah seperangkat prinsip dasar yg

mencakupi peraturan susunan pemerintah, bentuk negara, dsb yg

menjadi dasar pengaturan di Indonesia.83

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian/ pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah

penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum kepustakaan, 84 karena

menjadikan bahan kepustakaan sebagai tumpuan utama. Dalam penelitian

hukum normatif ini penulis melakukan penelitian terhadap asas-asas

79
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta: 2003, hal. 1198.
80
Ibid.
81
www.wikipediaindonesia.co.id, dikunjungi 20 agustus 2012 pukul 20.00 wib
82
Kamus Besar Bahasa Indonesia, op.cit.,, hal. 950.
83
Opcit, www.wikipedia.co.id
84
Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
PT. Raja Grafindo Jakarta, 2003, hal. 23.
46
hukum yang bertitik tolak dari bidang-bidang tata hukum tertentu, dengan

cara mengadakan identifikasi terlebih dahulu terhadap kaidah-kaidah

hukum yang telah dirumuskan di dalam perundang-undangan tertentu.85

Sebagai pendukung, penelitian ini juga menggunakan pendakatan

empiris yaitu mendapatkan informasi yang akurat dengan cara

mengadakan identifikasi hukum dan bagaimana efektifitas hukum itu

berlaku dalam masyarakat.86

Dalam konsep normatif, hukum adalah norma, baik yang

diidentikkan dengan keadilan yang harus diwujudkan (ius constituendum)

ataupun norma yang telah terwujud sebagai perintah yang eksplisit dan

yang secara positif telah terumus jelas (ius constitutum) untuk menjamin

kepastiannya, dan juga berupa norma-norma yang merupakan produk dari

seorang hakim (judgements) pada waktu hakim memutuskan suatu perkara

dengan memperhatikan terwujudnya kemanfaatan dan kemaslahatan bagi

para pihak yang berperkara.87 Sedangkan dilihat dari sifatnya penelitian ini

bersifat deskriptif analisis.

2. Objek Penelitian

Objek kajian dalam penelitian ini mengenai kedudukan jabatan dan

implikasi wakil menteri dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia pada era

Presiden Susilo Bambang Yudoyono pasca putusan Mahkamah Konstitusi.

85
Ibid. hal. 15.
86
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1982, hlm.33
87
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 33.
47
3. Data dan Sumber Data

Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah melalui studi

keputakaan/ studi dokumen, sehingga penelitian ini disebut penelitian

hukum normatif (legal research), sehingga data yang digunakan dalam

penelitian ini adalah data sekunder yang dibedakan menjadi 3 (tiga)

bagian, yaitu :

a) Bahan Hukum Primer, yakni bahan-bahan ilmu hukum yang

berhubungan erat dengan permasalahan yang diteliti, yaitu :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian

Negara.

3) Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan

dan Organisasi Kementerian Negara.

4) Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011 tentang Pembentukan

dan Organisasi Kementerian Negara.

5) Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Pembentukan

dan Organisasi Kementerian Negara.

6) Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil menteri.

7) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011.

b) Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan-bahan hukum yang memberikan

penjelasan atau membahas lebih hal-hal yang telah diteliti pada bahan-

bahan hukum primer yaitu :

48
1) Buku mengenai Undang-undang Dasar, pendapat-pendapat yang

relevan dengan masalah yang diteliti serta data tertulis yang terkait

dengan penelitian.

2) Berbagai makalah, jurnal, surat kabar, majalah, dokumen dan data-

data dari internet yang berkaitan dengan penelitian.

c) Bahan Hukum Tertier, yakni bahan-bahan yang memberikan

penjelasan terhadap bahan-bahan hukum Primer dan Sekunder,

yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.

4. Analis Bahan Hukum

Dalam penelitian ini analisis yang dilakukan adalah analisis

kualitatif merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data

deskriptif, yaitu apa yang dinyatakan secara tertulis.88 Selanjutnya, penulis

menarik suatu kesimpulan secara deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari

hal-hal yang bersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus. Dimana

dalam mendapatkan suatu kesimpulan dimulai dengan melihat faktor-

faktor yang nyata dan diakhiri dengan penarikan suatu kesimpulan yang

juga merupakan fakta dimana kedua fakta tersebut dijembatani oleh teori-

teori.89

88
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta:1983, hlm 32.
89
Aslim Rasyad, Metode Ilmiah; Persiapan Bagi Peneliti, UNRI Press, Pekanbaru, 2005,
hal. 20.
49
BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG SISTEM PENYELENGGARAAN

PEMERINTAHAN

A. Penyelenggaraan pemerintah

Pemerintahan adalah merupakan suatu sistem yang di dalamnya

terdapat para penyelenggara pemerintahan yang memiliki kewenangan dan

tugas yang telah ditetapkan dalam Peraturan perundang-undangan.

Pemerintah dalam arti luas adalah suatu pemerintah yang berdaulat sebagai

gabungan semua badan atau lembaga kenegaraan yang berkuasa dan

memerintah di wilayah suatu negara meliputi badan eksekutif, legislatif,

dan yudikatif.90

Pemerintah dalam arti sempit adalah suatu pemerintah yang

berdaulat sebagai badan atau lembaga yang mempunyai wewenang

melaksanakan kebijakan negara (eksekutif) yang terdiri dari presiden,

wakil presiden dan para menteri. Sistem pemerintahan negara dibagi

menjadi dua klasifikasi besar, yaitu:91

1) sistem pemerintahan presidensial;

2) sistem pemerintahan parlementer.

Pada umumnya, negara-negara didunia menganut salah satu dari

sistem pemerintahan tersebut. Adanya sistem pemerintahan lain dianggap

sebagai variasi atau kombinasi dari dua sistem pemerintahan diatas.

90
http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_pemerintahan, Wikipedia Ensiklopedia bebas,
Sistem Pemerintahan.
91
Ibid.
50
Negara Inggris dianggap sebagai tipe ideal dari negara yang menganut

sistem pemerintahan parlemen. Bahkan, Inggris disebut sebagai Mother of

Parliaments, sedangkan Amerika Serikat merupakan tipe ideal dari negara

dengan sistem pemerintahan presidensial.92

Kedua negara tersebut disebut sebagai tipe ideal karena

menerapkan ciri-ciri yang dijalankannya. Inggris adalah negara pertama

yang menjalankan model pemerintahan parlementer. Amerika Serikat juga

sebagai pelopor dalam sistem pemerintahan presidensial. Kedua negara

tersebut sampai sekarang tetap konsisten dalam menjalankan prinsip-

prinsip dari sistem pemerintahannya. Dari dua negara tersebut, kemudian

sistem pemerintahan diadopsi oleh negara-negara lain dibelahan dunia.93

Klasifikasi sistem pemerintahan presidensial dan parlementer

didasarkan pada hubungan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Sistem pemerintahan disebut parlementer apabila badan eksekutif sebagai

pelaksana kekuasaan eksekutif mendapat pengawasan langsung dari badan

legislatif. Sistem pemerintahan disebut presidensial apabila badan

eksekutif berada di luar pengawasan langsung badan legislatif.

a. Sistem pemerintahan presidensil

Sistem presidensil (presidensial), atau disebut juga dengan

sistem kongresional, merupakan sistem pemerintahan negara

92
Ibid.
93
Ibid.
51
republik di mana kekuasan eksekutif dipilih melalui pemilu dan

terpisah dengan kekuasan legislatif.

Menurut Rod Hague, pemerintahan presidensiil terdiri dari 3

unsur yaitu:94

1) Presiden yang dipilih rakyat memimpin pemerintahan dan

mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.

2) Presiden dengan dewan perwakilan memiliki masa jabatan

yang tetap, tidak bisa saling menjatuhkan.

3) Tidak ada status yang tumpang tindih antara badan

eksekutif dan badan legislatif.

Dalam sistem presidensial, presiden memiliki posisi yang

relatif kuat dan tidak dapat dijatuhkan karena rendah subjektif

seperti rendahnya dukungan politik. Namun masih ada mekanisme

untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan pelanggaran

konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah

kriminal, posisi presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan

karena pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil

presiden akan menggantikan posisinya.

Dalam sistem pemerintahan presidensil, badan eksekutif

dan legislatif memiliki kedudukan yang independen. Kedua badan

tersebut tidak berhubungan secara langsung seperti dalam sistem

94
http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_presidensial, Wikipedia Ensiklopedia bebas, sistem
presidensil.
52
pemerintahan parlementer. Mereka dipilih oleh rakyat secara

terpisah. Untuk lebih jelasnya, berikut ini ciri-ciri, kelebihan serta

kekurangan dari sistem pemerintahan presidensial. Ciri-ciri dari

sistem pemerintahan presidensial adalah sebagai berikut.95

1) Penyelenggara negara berada ditangan presiden. Presiden

adalah kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.

Presiden tidak dipilih oleh parlemen, tetapi dipilih langsung

oleh rakyat atau suatu dewan majelis.

2) Kabinet (dewan menteri) dibentuk oleh presiden. Kabinet

bertangungjawab kepada presiden dan tidak bertanggung

jawab kepada parlemen atau legislatif.

3) Presiden tidak bertanggungjawab kepada parlemen. Hal itu

dikarenakan presiden tidak dipilih oleh parlemen.

4) Presiden tidak dapat membubarkan parlemen seperti dalam

sistem parlementer.

5) Parlemen memiliki kekuasaan legislatif dan sebagai

lembaga perwakilan. Anggota parlemen dipilih oleh rakyat.

6) Presiden tidak berada dibawah pengawasan langsung

parlemen.

Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial :96

95
Ibid.
96
Ibid.
53
1) Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak

tergantung pada parlemen.

2) Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka

waktu tertentu. Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika

Serikat adalah empat tahun, Presiden Indonesia adalah lima

tahun.

3) Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan

jangka waktu masa jabatannya.

4) Legislatif bukan tempat kaderisasi untuk jabatan-jabatan

eksekutif karena dapat diisi oleh orang luar termasuk

anggota parlemen sendiri.

Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial :97

1) Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif

sehingga dapat menciptakan kekuasaan mutlak.

2) Sistem pertanggung jawaban kurang jelas.

3) Pembuatan keputusan atau kebijakan publik umumnya hasil

tawar-menawar antara eksekutif dan legislatif sehingga

dapat terjadi keputusan tidak tegas dan memakan waktu

yang lama.

Mengenai pengaturan kedudukan jabatan wakil menteri

Pada sistem pemerintahan Presidensil, sistem pemerintahan

pemerintahan presidensil juga mengenal jabatan wakil menteri

97
Ibid. Hal. 58
54
dalam penyelenggaraan pemerintahannya. Negara seperti Amerika

Serikat, terdapat 15 Kementerian. Hampir semua kementerian

tersebut memiliki jabatan wakil menteri (deputy secretary). Bahkan

untuk departemen luar negeri, terdapat 2 posisi Wamen.

Kewenangan mengangkat wakil menteri bukan sepenuhnya hak

prerogratif Presiden. Di Amerika Serikat, harus melalui persetujuan

Senat.98

b. Sistem pemerintahan parlementer

Sistem parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan di

mana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan.

Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat

perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan

pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi

tidak percaya. Berbeda dengan sistem presidensiil, di mana sistem

parlemen dapat memiliki seorang presiden dan seorang perdana

menteri, yang berwenang terhadap jalannya pemerintahan. Dalam

presidensiil, presiden berwenang terhadap jalannya pemerintahan,

namun dalam sistem parlementer presiden hanya menjadi simbol

kepala negara saja.99

Sistem parlementer dibedakan oleh cabang eksekutif

pemerintah tergantung dari dukungan secara langsung atau tidak

98
http://ocemadril.wordpress.com/2011/10/21/ihwal-wakil-menteri/, artikel.
99
http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_parlementer, Wikipedia bahasa Indonesia, sistem
pemerintahan parlementer, ensiklopedia bebas.
55
langsung cabang legislatif, atau parlemen, sering dikemukakan

melalui sebuah veto keyakinan. Oleh karena itu, tidak ada

pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang eksekutif dan

cabang legislatif, menuju kritikan dari beberapa yang merasa

kurangnya pemeriksaan dan keseimbangan yang ditemukan dalam

sebuah republik kepresidenan.100

Sistem pemerintahan parlementer dipuji, dibanding dengan

sistem pemerintahan presidensiil, karena kefleksibilitasannya dan

tanggapannya kepada publik. Kekurangannya adalah sistem

pemerintahan parlementer sering mengarah ke pemerintahan yang

kurang stabil, seperti dalam Republik Weimar Jerman dan

Republik Keempat Perancis. Sistem parlemen biasanya memiliki

pembedaan yang jelas antara kepala pemerintahan dan kepala

negara, dengan kepala pemerintahan adalah perdana menteri, dan

kepala negara ditunjuk sebagai dengan kekuasaan sedikit atau

seremonial. Namun beberapa sistem parlemen juga memiliki

seorang presiden terpilih dengan banyak kuasa sebagai kepala

negara, memberikan keseimbangan dalam sistem ini.

Ciri-ciri dari sistem pemerintahan parlementer adalah

sebagai berikut :101

100
Ibid.
101
Ibid.
56
1) Badan legislatif atau parlemen adalah satu-satunya badan

yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui

pemilihan umum. Parlemen memiliki kekuasaan besar

sebagai badan perwakilan dan lembaga legislatif.

2) Anggota parlemen terdiri atas orang-orang dari partai politik

yang memenangkan pemiihan umum. Partai politik yang

menang dalam pemilihan umum memiliki peluang besar

menjadi mayoritas dan memiliki kekuasaan besar di

parlemen.

3) Pemerintah atau kabinet terdiri dari atas para menteri dan

perdana menteri sebagai pemimpin kabinet. Perdana menteri

dipilih oleh parlemen untuk melaksakan kekuasaan

eksekutif. Dalam sistem ini, kekuasaan eksekutif berada

pada perdana menteri sebagai kepala pemerintahan. Anggota

kabinet umumnya berasal dari parlemen.

4) Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen dan dapat

bertahan sepanjang mendapat dukungan mayoritas anggota

parlemen. Hal ini berarti bahwa sewaktu-waktu parlemen

dapat menjatuhkan kabinet jika mayoritas anggota parlemen

menyampaikan mosi tidak percaya kepada kabinet.

5) Kepala negara tidak sekaligus sebagai kepala pemerintahan.

Kepala pemerintahan adalah perdana menteri, sedangkan

kepala negara adalah presiden dalam negara republik atau

57
raja/sultan dalam negara monarki. Kepala negara tidak

memiliki kekuasaan pemerintahan. Ia hanya berperan sebgai

symbol kedaulatan dan keutuhan negara.

6) Sebagai imbangan parlemen dapat menjatuhkan kabinet

maka presiden atau raja atas saran dari perdana menteri

dapat membubarkan parlemen. Selanjutnya, diadakan

pemilihan umum lagi untuk membentukan parlemen baru.

Kelebihan Sistem Pemerintahan Parlementer:102

1) Pembuat kebijakan dapat ditangani secara cepat karena

mudah terjadi penyesuaian pendapat antara eksekutif dan

legislatif. Hal ini karena kekuasaan eksekutif dan legislatif

berada pada satu partai atau koalisi partai.

2) Garis tanggung jawab dalam pembuatan dan pelaksanaan

kebijakan publik jelas.

3) Adanya pengawasan yang kuat dari parlemen terhadap

kabinet sehingga kabinet menjadi barhati-hati dalam

menjalankan pemerintahan.

Kekurangan Sistem Pemerintahan Parlementer :103

1) Kedudukan badan eksekutif/kabinet sangat tergantung pada

mayoritas dukungan parlemen sehingga sewaktu-waktu

kabinet dapat dijatuhkan oleh parlemen.

102
Ibid.
103
Ibid.
58
2) Kelangsungan kedudukan badan eksekutif atau kabinet

tidak bias ditentukan berakhir sesuai dengan masa

jabatannya karena sewaktu-waktu kabinet dapat bubar.

3) Kabinet dapat mengendalikan parlemen. Hal itu terjadi

apabila para anggota kabinet adalah anggota parlemen dan

berasal dari partai meyoritas. Karena pengaruh mereka yang

besar diparlemen dan partai, anggota kabinet dapat

mengusai parlemen.

4) Parlemen menjadi tempat kaderisasi bagi jabatan-jabatan

eksekutif. Pengalaman mereka menjadi anggota parlemen

dimanfaatkan dan manjadi bekal penting untuk menjadi

menteri atau jabatan eksekutif lainnya.

Terkait mengenai jabatan wakil menteri dalam sistem

pemerintahan parlementer, sebagai contoh negara jepang. Dalam

sistem pemerintahan di Jepang, terdapat posisi Wamen. Pasal 16-18

Undang-Undang No. 126/1948 tentang Organisasi Pemerintahan

Nasional Jepang mengatur ada 3 macam posisi, yakni Wakil

Menteri Senior (Senior Vice Ministry), Wakil Menteri (Vice

Ministry) dan Sekretaris Parlemen (Parliamentary Secretary).

Jumlahnya sudah ditetapkan UU untuk masing-masing

kementerian. Jumlahnya tidak sama, tergantung beban dan ruang

lingkup kerja kementerian. Misalnya, untuk Kementerian Dalam

Negeri dan Komunikasi, jumlah wakil menteri 2 orang dan 3 orang

59
Sekretaris Parlemen. Kemudian untuk Kementerian Hukum, Wakil

menteri 1 orang dan 1 orang Sekretaris Parlemen. Dalam proses

pengangkatannya, Wakil menteri diangkat oleh Kabinet atas usul

Menteri terkait.104

B. Penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia

a. Pada masa Orde Lama

Pada masa orde lama, istilah wakil menteri pertama kali

digunakan pada Kabinet Presidensial, kabinet pemerintahan

pertama Indonesia. Pada saat itu, Presiden Soekarno mengangkat 2

orang sebagai wakil menteri, yaitu wakil menteri Dalam Negeri

Harmani dan wakil menteri Penerangan Ali Sastroamidjojo. Setelah

itu, wakil menteri hanya ada pada Kabinet Sjahrir I, Sjahrir III, dan

Kerja III. Pada kabinet-kabinet lainnya, beberapa kali juga terdapat

jabatan "menteri muda" yang dari beberapa sisi memiliki kemiripan

dengan wakil menteri.105

b. Pada masa Orde Baru

Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) tahun 1966

merupakan dasar legalitas dimulainya pemerintahan Orde Baru di

Indonesia. Presiden Soeharto memimpin orde baru kurang lebih

selama kurun waktu 32 Tahun. Selama kurun waktu tersebut

diawali dengan Kabinet Pembangunan I yang mengawali masa

104
http://ocemadril.wordpress.com/2011/10/21/ihwal-wakil-menteri/, artikel.
105
http://id.wikipedia.org/wiki/Wakil_menteri, Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas.
60
baktinya pada tanggal 6 Juni 1968, hingga Kabinet Pembangunan

VII yang berakhir pada tanggal 21 Mei 1998. Pada masa Orde Baru

tidak ditemukan adanya jabatan wakil menteri setiap kabinetnya,

mulai kabinet pembangun I hingga kabinet Pembangunan VII.106

Namun pada masa orde baru pernah diadakan jabatan menteri

muda yang dalam beberapa hal juga memiliki kemiripan dengan

jabatan wakil menteri.

c. Pada masa Orde Reformasi

Mundurnya Presiden Soeharto dari jabatannya pada tahun

1998 dapat dikatakan sebagai tanda akhirnya Orde Baru, untuk

kemudian digantikan Era Reformasi. Presiden BJ. Habibie terpilih

menjadi Presiden ketiga Republik Indonesia.

Presiden BJ. Habibie mengawali masa jabatannya pada

tanggal 21 Mei 1998-26 Oktober 1999 dengan Kabinet bernama

Kabinet Reformasi Pembangunan yang beranggotakan 37 orang.

Setelah masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie berakhir, yang

terpilih menjadi Presiden ke empat RI adalah K.H. Abdurrahman

Wahid.107

Pada pemilu yang diselenggarakan pada 1999 , partai PDI-P

pimpinan Megawati Soekarno putri berhasil meraih suara

106
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281966-1998%29, Wikipedia
Indonesia, ensiklopedia bebas.
107
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kabinet_Indonesia, Wikipedia Indonesia,
ensiklopedia bebas.
61
terbanyak (sekitar 35%). Tetapi karena jabatan presiden masih

dipilih oleh MPR saat itu, Megawati tidak secara langsung menjadi

presiden. Abdurrahman Wahid, pemimpin PKB, partai dengan

suara terbanyak kedua saat itu, terpilih kemudian sebagai presiden

Indonesia ke-4. Megawati sendiri dipilih Gus Dur sebagai wakil

presiden. Masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid

dimulai pada tanggal 26 Oktober 1999 dengan Kabinet yang

bernama Kabinet Persatuan Pembangunan yang beranggotakan 37

orang personil. Masa jabatan Presiden Abdurrahman Wahid

berakhir pada Tahun 2001. Pada 29 Januari2001, ribuan

demonstran berkumpul di Gedung MPR dan meminta Gus Dur

untuk mengundurkan diri dengan tuduhan korupsi dan ketidak

kompetenan. Di bawah tekanan yang besar, Abdurrahman Wahid

lalu mengumumkan pemindahan kekuasaan kepada wakil presiden

Megawati Soekarnoputri. Melalui Sidang Istimewa MPR pada 23

Juli2001, Megawati secara resmi diumumkan menjadi Presiden

Indonesia ke-5. Masa pemerintahan Presiden Megawati secara

resmi dimulai pada tanggal 9 Agustus 2001-21 Oktober 2004

dengan Kabinet yang bernama Kabinet Gotong Royong yang

beranggotakan 34 orang. 108

108
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_%281998-sekarang%29,
Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas.
62
Baik pada masa Pemerintahan Presiden BJ. Habibie,

Presiden K.H. Abdurrahman Wahid, maupun era Presiden

Megawati Soekarno Putri, dalam setiap susunan Kabinet yang ada

pada masa pemerintahan masing-masing tidak ditemukan adanya

jabatan wakil menteri.

Namun, pada masa Pemerintahan Presiden Susilo Bambang

Yudoyono, jabatan wakil menteri kembali diadakan. Pada reshuffle

kabinet pada 18 Oktober 2011, Presiden memutuskan untuk

mengangkat posisi wakil menteri berjumlah 19 orang. Dasar

hukum pengangkatan jabatan wakil menteri ini adalah , Pasal 10

UU No 39 Tahun 1998 tentang Kementerian Negara.

63
BAB III

HASIL PENELITIAN TENTANG TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

KEDUDUKAN WAKIL MENTERI DALAM SISTEM

KETATANEGARAAN INDONESIA

A. Kedudukan Wakil Menteri dalam sistem ketatanegaraan Indonesia di

Era Presiden Susilo Bambang Yudoyono pasca putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011.

Wakil menteri (bahasa Inggris: vice minister atau undersecretary)

adalah pejabat pemerintahan eksekutif yang umumnya merupakan pejabat

yang bertindak sebagai pejabat senior utama atau kedua dalam kantor

kementerian, yang ditunjuk dan diangkat secara politik dengan

kewenangan yang berbeda beberapa sistem ketatanegaraan tiap-tiap

negara.109

Dalam sejarah Kabinet Presidensial di negara kita, jabatan wakil

menteri pernah diadakan dalam Kabinet RI yang pertama yang dibentuk

tanggal 5 September 1945 yang memiliki Wakil Menteri. Kabinet pertama

itu terdiri atas 12 menteri, 5 menteri negara dan 2 wakil menteri. Wakil

menteri yang ada pada waktu itu hanyalah Wakil Menteri Dalam Negeri

dan Wakil Menteri Penerangan. Kedudukan dua wakil menteri itu jelas,

karena namanya dicantumkan dalam daftar anggota kabinet yang

dipimpin oleh Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta.

109
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, wakil menteri, (dikunjungi pada
tanggal 26 Desember 2012 pukul 17.09 WIB).
64
Di era Pemerintahan Presidensial Soekarno setelah Dekrit Presiden (1959-

1966), jabatan Wakil Menteri tidak ada. Demikian pula dalam seluruh

kabinet yang pernah dibentuk oleh Presiden Soeharto, Habibie,

Abdurrahman Wahid, Megawati dan di awal kabinet pertama yang

dibentuk Presiden SBY (KIB I). Di zaman Presiden Soekarno dan

Presiden Soeharto, pernah ada jabatan menteri muda, di samping menteri,

yang menangani urusan-urusan tertentu yang berada di bawah kementerian

tertentu. Semua menteri muda itu adalah anggota kabinet. Mereka diangkat

dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggungjawab kepada Presiden,

bukan bertanggung-jawab kepada Menteri yang memimpin kementerian

itu.110

Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,

jabatan wakil menteri kembali diadakan. Pengangkatannya didasarkan

pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian

Negara. Didalam Konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945) landasan

hukum Kementerian adalah Bab V Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945

yang menyebutkan bahwa:

1. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara.

2. Menteri-menteri itu diangkat dan diperhentikan oleh Presiden.

3. Setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam

pemerintahan.

110
Yusril Ihza Mahendra, Ketidakjelasan posisi wakil menteri, artikel, Koran Seputar
Indonesia tanggal 31 Oktober dan 1 November 2011.

65
4. Pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian

negara diatur dalam undang-undang.

Lebih lanjut, kementerian diatur dalam Undang-Undang Nomor 39

Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, Peraturan Presiden Nomor 47

Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara,

Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011 dan Peraturan Presiden Nomor

91 Tahun 2011, dan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012. Tugas,

fungsi Menteri dapat kita lihat dalam ketentuan Pasal 7, dan Pasal 8

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008.

Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008

menyatakan; Kementerian mempunyai tugas menyelenggarakan urusan

tertentu dalam pemerintahan untuk membantu Presiden dalam

menyelenggarakan pemerintahan negara. Dalam Pasal 8 menyatakan: ayat

(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang melaksanakan

urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) menyelenggarakan

fungsi: a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan kebijakan di bidangnya;

b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung

jawabnya; c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya; dan d.

pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai ke daerah.

Ayat (2) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang

melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)

menyelenggarakan fungsi: a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan

kebijakan di bidangnya; b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara

66
yang menjadi tanggung jawabnya; c. pengawasan atas pelaksanaan tugas

di bidangnya; d. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas

pelaksanaan urusan kementerian di daerah; dan e. pelaksanaan kegiatan

teknis yang berskala nasional.

Ayat (3) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang

melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3)

menyelenggarakan fungsi: a. perumusan dan penetapan kebijakan di

bidangnya; b. koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di

bidangnya; c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi

tanggung jawabnya; dan d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di

bidangnya.

Khusus mengenai wakil menteri dapat kita lihat dalam ketentuan

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008, Peraturan Presiden

Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian

Negara yang kemudian diganti sebanyak dua kali dengan Peraturan

Presiden Nomor 76 Tahun 2011 dan Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun

2011, dan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 tentang wakil

menteri. Dalam Pasal 10 menyatakan: Dalam hal terdapat beban kerja

yang membutuhkan penanganan secara khusus, Presiden dapat

mengangkat wakil Menteri pada Kementerian tertentu. Sedangkan dalam

Pasal 11 menyatakan : Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, dan

susunan organisasi Kementerian diatur dengan Peraturan Presiden.

67
Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang

Kementerian Negara memperbolehkan presiden untuk mengangkat wakil

menteri pada kementerian tertentu yang memiliki beban tugas lebih.

Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa wakil menteri merupakan

pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet, berbeda dengan

menterinya. Dalam aturan lebih lanjut dalam Peraturan Presiden Nomor 47

Tahun 2009, disebutkan pula bahwa yang dimaksud pejabat karier adalah

pegawai negeri yang telah menduduki jabatan struktural eselon 1A.

Setelah Presiden SBY resmi mengumumkan reshuffle Kabinet

Indonesia Bersatu (KIB) II, satu hal yang menjadi perbincangan ialah

banyaknya wakil menteri yang diangkat dalam kabinet hasil resuffle ini.

Dari 34 menteri anggota kabinet, setelah reshuffle jumlah wakil menteri

kini bertambah dari 6 menjadi menjadi 19 orang. Ini berarti jumlah Wakil

Menteri melebihi separuh dari jumlah menteri.

Nama Wakil Menteri yang diumumkan oleh Presiden SBY pada

reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II adalah:111

1. Wakil Menteri Pertanian: Rusman Heriawan.

2. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang

Kebudayaan: Wiendu Nuryanti

3. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang

Pendidikan: Musliar Kasim

111
forum.detik.com/kabinet-indonesia-prihatin-jilid-ii-revisi-b-yang-sangat-
memprihatinkan-t299742.html, dikunjungi pada tanggal 3 januari 2013.
68
4. Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan

Reformasi Birokrasi: Eko Prasodjo

5. Wakil Menteri Keuangan: Mahendra Siregar (sebelumnya

menjabat sebagai Wakil Menteri Perdagangan)

6. Wakil Menteri Perdagangan: Bayu Krisnamurthi (sebelumnya

menjabat sebagai Wakil Menteri Pertanian)

7. Wakil Menteri BUMN: Mahmuddin Yasin (sebelumnya

menjabat sebagai Sekretaris Kementerian BUMN)

8. Wakil Menteri Kesehatan Ali Gufron

9. Wakil Menteri Luar Negeri Wardana

10. Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: Sapta

Nirwandar

11. Wakil Menteri ESDM: Widjajono Partowidagdo

12. Wakil Menteri Agama: Nasaruddin Umar

13. Wakil Menteri Hukum dan HAM: Denny Indrayana

Sebelumnya, Presiden juga telah menetapkan wakil menteri di

bawah ini:

1. Wakil Menteri Pertahanan: Sjafrie Sjamsoeddin

2. Wakil Menteri Perindustrian: Alex Retraubun

3. Wakil Menteri Perhubungan: Bambang Susantono

4. Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional: Lukita

Dinarsyah Tuwo

5. Wakil Menteri Keuangan: Anny Ratnawati

69
6. Wakil Menteri Pekerjaan Umum: Hermanto Dardak.

Keputusan Presiden mengadakan jabatan wakil menteri ini

menimbulkan masalah dalam sistem ketata negaraan kita. Tidak hanya

mengenai kedudukannya dalam sistem ketatanegaraan jika ditinjau secara

yuridis, tetapi juga terkait dengan kedudukannya dalam organisasi

kementerian, serta terkait efektifitas dari wakil menteri itu sendiri (ditinjau

dari segi aplikatif) . Secara yuridis, didalam Undang-Undang Dasar 1945

Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD 1945 mengatakan bahwa Presiden dibantu

oleh menteri-menteri negara. Menteri-menteri itu diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden. Jadi, dalam UUD 1945, tidak mengenai

adanya jabatan Wakil Menteri. Namun, Pasal 10 UU No 39 Tahun 1998

tentang Kementerian Negara, menyebutkan bahwa “dalam hal beban kerja

yang memerlukan penanganan khusus, Presiden dapat mengangkat wakil

menteri pada kementerian tertentu”. Penjelasan pasal ini mengatakan

bahwa “Yang dimaksud wakil Menteri adalah pejabat karier dan bukan

merupakan anggota kabinet”. Selanjutnya Pasal 70 ayat (1) Peraturan

Presiden No 76 Tahun 2011 mengatakan bahwa “Wakil Menteri berada di

bawah dan bertanggung-jawab kepada Menteri”. Inilah aturan-aturan yang

terkait dengan jabatan Wakil Menteri itu.112

Didalam Undang-Undang Dasar 1945 tak satu pun ayat dari 4 ayat

dalam Pasal 17 UUD 1945 yang mengatur jabatan wakil menteri. Inilah

112

70
kenyataan konstitusionalnya dan inilah yang memicu munculnya

pertanyaan tentang dasar konstitusional pembentuk undang-undang yang

menciptakan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 itu.113

Jabatan wakil menteri juga tidak diatur secara rinci baik ditingkat

Undang-Undang maupun peraturan dibawahnya. Hanya ada satu pasal

yang mengatur mengenai wakil menteri ditingkat Undang-Undang yakni

pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008. Begitupun Peraturan

Presiden, hanya ada tiga pasal yang menjelaskan wakil menteri. Aturan

tersebut tidak cukup menjawab persoalan-persoalan yang muncul seputar

wakil menteri. Bahkan, pengaturan ditingkat Undang-Undang, dalam Pasal

9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara

terkait struktur organisasi kementerian, hanya diatur posisi Menteri,

Sekretaris, Direktorat, dan Inspektorat Jenderal. Tidak ditemukan posisi

wakil menteri.

Menurut Pakar Hukum Tata Negara Yusril Ihza Mahendra

menegaskan satu-satunya jabatan wakil yang disebut dalam Undang-

Undang Dasar 45 hanya jabatan wakil presiden, tidak disebut adanya

wakil menteri. Menurut Yusril Ihza Mahendra jabatan wakil menteri tidak

sesuai dengan Konstitusi. Beliau menganalogikan kepada jabatan wakil

gubernur, wakil bupati dan wakil wali kota yang juga tidak diatur dalam

113

71
Undang-Undang Dasar. Didalam prakteknya wakil gubernur, wakil bupati

dan wakil wali kota juga tidak banyak manfaatnya.114

Beliau mengatakan, dalam Undang-Undang Kementerian Negara

mengatur tentang wakil menteri, padahal dalam Undang-Undang Dasar

1945 tidak menyebutkan adanya wakil menteri. Yang ada yakni dalam

menjalankan pemerintahan, Presiden dibantu oleh Wakil Presiden dan para

menteri. Keberadaan Wakil Menteri berpotensi besar menimbulkan

overlaping dan konflik internal. Karena beliau menilai bahwa jabatn wakil

menteri akan mengacaukan birokrasi pemerintahan, tidak efisien serta

menimbulkan kebingungan didalam organisasikementerian itu sendiri.115

Selanjutnya jika melihat kedudukan Wakil Menteri dalam kabinet

Presidensial yang pertama (1945) pada masa pemerintahan Presiden

Soekarno adalah jelas karena wakil menteri merupakan anggota kabinet,

namun tidak demikian halnya dengan kedudukan Wakil Menteri di dalam

KIB II Presiden SBY. Pasal 10 Undang-Undang No. 39 Tahun 2008

tentang Kementerian Negara yang menyebutkan bahwa jika ada beban

pekerjaan yang memerlukan penanganan khusus, Presiden dapat

mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu. Namun Penjelasan

pasal tersebut mengatakan bahwa Wakil Menteri itu adalah pejabat karir

dan bukan anggota kabinet. Penjelasan pasal inilah yang menimbulkan

114
Yusril ihza mahendra, Tak diatur didalam konstitusi wakil menteri kemungkinan di
PHK masal, artikel, rimanews, dikunjungi pada tanggal 3 januari 2013 pukul 13.42 WIB.
115
Ibid.
72
kerancuan terhadap kedudukan wakil menteri di era Presiden Susilo

Bambang Yudoyono ini.116

Penjelasan itu bukannya memperjelas makna norma yang

termaktub di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008,

malah membuatnya menjadi kabur dan tidak jelas. Keadaan konstitusional

wakil menteri ini direspon dengan permohonan pengujian Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar (Judicial Review) yang diajukan oleh

Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK) ke Mahkamah

Konstitusi terkait Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun

2008 tentang Kementerian Negara yang dianggap bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar.

Pada tanggal 5 Juni 2012, Mahkamah Konstitusi memutuskan

bahwa penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008

tentang Kementerian Negara yang menyatakan bahwa wakil Menteri

adalah pejabat karier dan bukan anggota kabinet, bertentangan dengan

UUD 1945. Dengan demikian, penjelasan itu tidak mempunyai kekuatan

hukum yang mengikat. Sementara norma Pasal 10 UU tersebut yang

menyatakan bahwa “dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan

penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil menteri pada

Kementerian tertentu” tetap dinyatakan konstitusional dan tetap berlaku.

116

73
Berikut ini adalah Ringkasan Putusan MK Nomor 79/PUU-

IX/2011:117

LEGAL STANDING118

Pemohon dalam hal ini adalah Gerakan Nasional Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) yang diwakili Adi Warman dan H. TB.

Imamudin, menurut Majelis Mahkamah Konstitusi memenuhi syarat Legal

Standing karena penerapan Undang-Undang yang terkait langsung dengan

kerugian konstitusionalnya.

Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi telah

menentukan tentang siapa subyek hukum yang memiliki legal standing

untuk dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-undang terhadap

UUD 1945, yaitu: a) perorangan warga negara Indonesia (WNI) termasuk

kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama; atau b) kesatuan

masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan

perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) yang diatur dalam undang-undang; c) badan hukum

publik atau privat; d) lembaga negara, yang menganggap hak dan/atau

kewenangan konstitusionalnya (menurut penjelasan, “hak konstitusional

adalah hak-hak yang diatur dalam UUD 1945”) dirugikan oleh berlakunya

undang-undang. Pemohon wajib menguraikan dengan jelas tentang hak

117
http://idehukum.blogspot.com/2012/06/ringkasan-putusan-mk-tentang-wakil.html,
Ringkasan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011.
118
Pemerintah memandang pemohon tidak memiliki legal standing karena tidak terbukti
bahwa pemohon menderita kerugian konstitusional akibat Wakil Menteri.
74
dan/atau kewenangan konstitusional yang dianggap dirugikan tersebut

dalam permohonannya (Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Mahamah

Konstitusi).

Berdasarkan ketentuan hukum mengenai Legal Standing pemohon

yang tercantum pada Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi maka pemohon memiliki legal standing.

Dasar Permohonan119

a) Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008

“Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan

secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri pada

Kementerian tertentu”.

Presiden seharusnya wajib menjelaskan kepada publik tentang

“penanganan secara khusus” apa yang membutuhkan pengangkatan wakil

menteri sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda oleh publik,

di samping hal tersebut di atas dalam Pasal 10 ini ada penekanan pada kata

"secara khusus", yang artinya tidak umum dan atau selektif tapi faktanya

Presiden mengangkat 20 wakil menteri dari 34 kementerian yang ada, atau

dengan kata lain pengangkatan wakil menteri bukan hanya untuk

kementerian tertentu, karena faktanya pengangkatan wakil menteri lebih

dari setengah kementerian yang ada, sehingga timbul pertanyaan, apakah

119
Dasar permohonan yang disampaikan oleh pemohon untuk perkara no 79/PUU-
IX/20011. Lihat revisi Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan
Organisasi Kementerian Negara pada tanggal 13 Oktober 2011 menjadi Peraturan Presiden Nomor
76 Tahun 2011, dengan tujuan agar orang dekat dengan Presiden yang tidak memenuhi
persyaratan dapat diangkat menjadi wakil menteri;
75
dapat dikatakan fakta (pengangkatan 20 wakil menteri) yang dilakukan

oleh Presiden masih memenuhi bunyi Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39

Tahun 2008 tentang Kementrian Negara. Jika tidak, maka dengan

demikian pengangkatan 20 wakil menteri oleh Presiden tersebut terbukti

tidak memiliki dasar hukum baik Undang-Undang maupun Undang-

Undang Dasar 1945.

b) Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008

“Yang dimaksud dengan "Wakil Menteri" adalah pejabat karir dan

bukan merupakan anggota kabinet.”

Sehingga hal ini menutup hak-hak konstitusional dari anggota-

anggota/Kader-kader Pemohon untuk memperoleh kesempatan yang sama

dalam penyelenggaraan negara khususnya untuk menjadi wakil menteri, di

mana hak Konstitusional Pemohon dalam hal ini kader-kader Pemohon

dijamin dalam Konstitusi yaitu dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945;

“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam

pemerintahan“ juncto Pasal 27 ayat (1) UUD 1945; Segala warga negara

bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib

menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.

c) Potensi Kerugian Konstitusional Lainnya

Dengan diangkatnya 20 wakil menteri juga berpotensi pemborosan

uang negara, karena dengan diangkatnya 20 wakil menteri pasti akan

mendapatkan fasilitas-fasilitas khusus dari negara yang dananya

bersumber dari APBN. Menurut pemohon kerugian bisa mencapai

76
1.848.198.800.000,- yang dibebankan dari pajak. Sementara pemohon

dalam hal ini juga salah satu wajib pajak.

Yang Dimohonkan Kepada Mahkamah Konstitusi120

1) Pengujian Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang

Kementerian Negara terhadap Pasal 17 dan Pasal 28D ayat (3) UUD

1945;

2) Menyatakan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang

Kementerian Negara tidak diatur di dalam UUD 1945;

3) Menyatakan pembentukan wakil menteri yang bersandar pada pasal

tersebut bertentangan dengan Pasal 51 Peraturan Presiden Nomor 47

Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara

yang seharusnya tersusun

i. pemimpin, yaitu Menteri;

ii. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat kementerian;

iii. pelaksana, yaitu deputi kementerian; dan

iv. pengawas, yaitu inspektorat kementerian;

4) Presiden seharusnya memegang kekuasaan pemerintahan menurut

Undang-Undang Dasar. Dalam hal ini Pasal 17 UUD 1945 mengenai

Kementerian Negara;

5) Menyatakan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang

Kementerian Negara beserta Penjelasannya juga bertentangan Pasal

28D ayat (3) UUD 1945;

120
Perihal yang dimohonkan oleh pemohon untuk perkara no 79/PUU-IX/20011..
77
6) Mempertimbangkan pengangkatan wakil menteri ini juga akan

melahirkan konflik kepentingan di organisasi kementerian, yakni

antara menteri dengan wakil menteri dan mengakibatkan pelayanan

publik akan semakin lambat;

7) Mempertimbangkan bahwa jabatan wakil menteri dapat diindikasikan

sebagai politisasi pegawai negeri sipil, dengan modus operandi

membagi-bagi jabatan wakil menteri dalam kalangan dan lingkungan

presiden.

8) Karena Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang

Kementerian Negara bertentangan dengan Pasal 17 dan Pasal 28D ayat

(3) UUD 1945. Maka patut pasal tersebut dinyatakan tidak memiliki

kekuatan hukum mengikat.

Saksi Ahli dari Pihak Pemohon

Yusril Ihza Mahendra121

Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 tidak ada norma yang menyebutkan

keberadaan wakil menteri, bahkan di draf RUU nya pun pada 2007 yang

diserahkan ke presiden tidak ada. Wakil menteri baru muncul pada Pasal

10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara,

Hal ini sama keadaannya dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang

normanya menyebutkan, “Gubernur, bupati, dan walikota masing-masing

sebagai kepala pemerintahan daerah, kabupaten, dan kota dipilih secara

121
Keterangan tertulis Yusril Ihza Mahendra sebagai saksi ahli dari pihak pemohon untuk
Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011.
78
demokratis”. Norma ini tidak menyebutkan adanya jabatan wakil

gubernur, wakil bupati, dan wakil walikota, namun pada Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan

keberadaan para wakil kepala daerah tersebut. Apakah dibenarkan jika

norma dalam UUD 1945 tidak menyebutkan adanya wakil kepala daerah

sementara dalam Undang-Undang kemudian menambahkannya dengan

keberadaan wakil menteri, wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil

walikota. Pembentukan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang

Kementerian Negara oleh Dewan Perwakilan Rakyat tidak sesuai dengan

perintah Pasal 17 ayat (4) UUD 1945. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39

Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, tidak memenuhi pula syarat

formil. Karena menambahkan sebuah norma baru yang sama sekali tidak

diperintahkan oleh norma Undang-Undang Dasar. Hal yang sama juga

berlaku pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah yang menambahkan norma yang tidak diperintahkan

oleh Undang-Undang Dasar yakni munculnya keberadaan para wakil

kepala daerah. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang

Kementerian Negara bertentangan dengan norma Pasal 17 ayat (1), ayat

(2), dan ayat (3) UUD 1945. Wakil menteri tidak mempunyai tugas yang

jelas sehingga adanya jabatan wakil menteri adalah tindakan yang mubazir

dan berlebihan dari Pemerintah. Pengangkatan wakil menteri memang

dinilai menimbulkan masalah. Baik permasalahan yuridis tentang

konstitusionalitas wakil menteri didalam sistem ketatanegaraan Indonesia,

79
juga permasalahan terkait aplikasi atau pelaksanaan dari wakil menteri itu

sendiri. Permasalahan terkait perlu tidaknya Presiden mengangkat wakil

menteri, yang dinilai hanya akan menambah beban keuangan negara tanpa

disertai dengan efektitas serta kejelasan mengenai beban tugas yang

memenuhi penanganan khusus dan spesifikasi tugas dari wakil menteri

yang nantinya akan berpengaruh kepada kinerja organisasi kementerian

(menteri, sekjen, dirjen, irjen) secara keseluruhan.

Di Indonesia saat ini terdapat 34 kementerian. Bandingkan dengan

Amerika serikat yang juga menggunakan jabatan wakil menteri dalam

ketatanegaannya yang hanya memiliki 15 kementerian, dan Jepang yang

memiliki 17 kementerian. Salah satu pertimbangan utama kenapa di

negara lain, seperti AS dan Jepang terdapat posisi Wamen karena jumlah

kementerian yang tidak terlalu banyak dan memiliki ruang lingkup kerja

yang luas. Jika melihat jumlah kementerian di Indonesia yang saat ini

terdapat 34 kementerian, dari sisi jumlah sebenarnya sudah sangat banyak

dan dari sisi bidang kerja sudah lebih spesifik, sehingga penambahan

jabatan wakil menjadi tidak relevan. Karena hanya akan membuat

birokrasi semakin tambun dan konsekuensinya, anggaran akan semakin

terkuras untuk birokrasi.

Margarito Kamis122

122
Keterangan tertulis Margarito Kamis sebagai saksi ahli dari pihak pemohon untuk
Perkara Nomor 79/PUU-IX/201.
80
Rumusan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang

Kementerian Negara kabur dan tidak berkepastian karena sekalipun beban

kerja satu kementerian berat. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun

2008 tentang Kementerian Negara bertentangan dengan Pasal 17 UUD

1945.

Keterangan tertulis dari Pemerintah123

Keterangan pemohon tentang kerugian keuangan yang disebabkan

wakil menteri adalah bukan keterangan yang terperinci. Wakil menteri

adalah merupakan hak yang melekat kepada Presiden dalam hal Presiden

merasa terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara

khusus dalam satu kementerian tertentu. Kedudukan wakil menteri dapat

pertanggung-jawabkan. Menteri merupakan anggota kabinet sedangkan

wakil menteri bukan merupakan anggota kabinet. Hak keuangan dan

fasilitas menteri adalah sebagai pejabat negara, sedangkan wakil menteri

fasilitasnya adalah setingkat dengan jabatan struktural eselon 1A.

Pemohon tidak konsisten dalam membangun argumentasi disatu sisi ia

menganggap wakil menteri mencegah hak konstitusinya dalam

pemerintahan namun di sisi lain ia menganggap wakil menteri adalah

pemborosan. Apakah yang menjadi kehendak sesungguhnya Pemohon,

apakah menghapuskan jabatan wakil menteri, apakah menginginkan

jabatan tertsebut terbuka bagi siapa saja. Pemerintah bersedia bila norma

yang tercantum dalam penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39

123
Keterangan tertulis dari pihak pemerintah untuk Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011.
81
Tahun 2008 tentang Kementerian Negara dibatalkan, terlebih norma

tersebut tidak jelas, tidak dalam. Dalil jabatan wakil menteri memboroskan

keuangan negara hanyalah asumsi semata dan bukan argumen

konstitusional. Keberadaan Wakil Menteri Hukum dan HAM amat sangat

memberikan dukungan yang sangat besar di dalam upaya meningkatkan

kinerja daripada yang bersangkutan pimpin. Pemerintah menjelaskan

bahwa tidak semua jabatan publik disebut atau diatur dalam Undang-

Undang Dasar 1945. Bahkan, hanya sebagian kecil dari banyak jabatan

publik/negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tidak

diatur atau disebutnya suatu jabatan publik dalam Undang-Undang Dasar

1945 tidak lantas menyebabkan jabatan dimaksud bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar 1945 bila diadakan.

Undang-Undang Dasar 1945 memang tidak mengatur tentang

kedudukan wakil menteri sebagai pembantu Presiden dalam

penyelenggaraan pemerintahan. Karena itu, sejak semula pembentuk

Undang-Undang (DPR bersama Presiden) memposisikan wakil menteri

berbeda dengan menteri. Argumen Pemohon yang menyatakan bahwa

hanya posisi atau jabatan yang disebut di dalam Undang-Undang Dasar

1945 sajalah yang sah dan sesuai dengan konstitusi adalah argumen yang

keliru. Karena beberapa di antaranya, misalnya: Jaksa Agung, Kapolri,

Pimpinan KPK, dan lain-lain. Masih banyak lagi jabatan atau posisi yang

tidak disebutkan di dalam konstitusi, namun tentu saja tetap sah dan sesuai

dengan UUD 1945. Lagi pula dalam sejarah Indonesia pernah wakil

82
menteri diterapkan yaitu pada Periode 2 September - 14 November 1945,

yakni Wakil Menteri Dalam Negeri dan Wakil Menteri Penerangan.

Wakil menteri adalah salah satu upaya pemerintah untuk

mengefisiensikan pemerintahan presidensil. Pengangkatan 20 orang wakil

menteri sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang

Pokok-Pokok Kepegawaian (selanjutnya disebut UU Kepegawaian),

Presiden dapat mengangkat pejabat karier, baik yang berasal dari dalam

maupun dari luar institusi yang bersangkutan, berdasarkan kemampuan

profesionalnya. Terlepas dari itu Wakil Meteri adalah hak Presiden.

Sehingga Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi agar:

1) Menerima keterangan Pemerintah secara keseluruhan;

2) Menyatakan Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal

standing);

3) Menolak permohonan Pemohon seluruhnya atau setidak-tidaknya

menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet

ontvankelijk verklaard);

4) Menyatakan ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun

2008 tentang Kementerian Negara tidak bertentangan dengan

ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945.

Pemerintah telah mengajukan sepuluh orang saksi untuk

memperkuat argumennya yaitu Maruarar Siahaan menyatakan, Pasal 17

83
UUD 1945 cantelannya merupakan wewenang presiden dengan suatu

diskresi yang luas.124

Miftah Thoha menyatakan, pengisian atau penunjukkan jabatan

wakil menteri sangat tergantung presiden, apakah mau diisi oleh orang

politik atau dari PNS, pengusaha, dan mantan Jenderal tentara. Semua itu

karena diskresi dan kewenangan presiden dan kabinet presidensil.125

Philipus M. Hardjon, menyatakan yang dipermasalahkan adalah

legalitas maka permasalahan legalitas bukan wewenang Mahkamah

Konstitusi.126

Laica Marzuki menyatakan, Pasal 10 UU 39/2008, menunjukkan

pemberian kekuasaan diskresi kepada presiden guna dapat mengangkat

dan menempatkan wakil menteri pada suatu kementerian tertentu”.127

Arief Hidayat menyatakan, dalam hal tidak diatur secara eksplisit

tentunya presiden dalam rangka upaya untuk menjalankan roda

pemerintahan yang berdaya guna dan berhasil guna harus pula diberi

keleluasaan untuk membentuk jabatan-jabatan lain (jabatan wakil menteri)

asal tidak bertentangan dengan Pasal 17 itu sendiri.128

124
Keterangan tertulis Maruarar Siahaan sebagai saksi ahli dari pihak pemerintah untuk
Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011.
125
Keterangan tertulis Miftah Thoha sebagai saksi ahli dari pihak pemerintah untuk
Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011.
126
Keterangan tertulis Philipus M. Hardjon sebagai saksi ahli dari pihak pemerintah
untuk Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011.
127
Keterangan tertulis HM. Laica Marzuki, sebagai saksi ahli dari pihak pemerintah
untuk Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011.
128
Keterangan tertulis Arief Hidayat sebagai saksi ahli dari pihak pemerintah untuk
Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011.
84
Prijono Tjitoherijanto menyatakan, perpindahan Pegawai Negeri

Sipil antar jabatan fungsional atau antar fungsional dengan jabatan

struktural dimungkinkan sepanjang memenuhi persyaratan yanmg

ditetapkan untuk masing-masing jabatan tertsebut”.129

Eko Sutrisno menyatakan, presiden dapat mengangkat wakil

menteri pada kementerian tertentu.130

Zudan Arif Fakrulloh menyatakan, presiden berhak membentuk

organ-organ pemerintahan lain yang berada dalam tubuh birokrasi.131

Anhar Gonggong menyatakan , tidak sependapat dengan orang

yang mengatakan bahwa ada Undang-Undang yang dipertentangkan.132

Adnan Buyung Nasution menyatakan, tidak melihat kerugian

konstitusional Pemohon. Demikianlah pendapat kesepuluh ahli yang

dimajukan pemerintah ke hadapan Majelis Mahkamah Konstitusi.133

Presiden memang mempunyai hak eksklusif (hak prerogratif) untuk

mengangkat wakil menteri, sekalipun ada atau tidak ada UU yang

mengatur tentang wakil menteri. Juga mengenai kriteria penanganan

secara khusus, hanyalah presiden yang tahu. Namun, Mengapa

Pemerintah, dalam hal ini Presiden, tidak memikirkan, berapa banyak

129
Keterangan tertulis Prijono Tjitoherijanto sebagai saksi ahli dari pihak pemerintah
untuk Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011.
130
Keterangan tertulis Eko Sutrisno sebagai saksi ahli dari pihak pemerintah untuk
Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011.
131
Keterangan tertulis Zudan Arif Fakrulloh sebagai saksi ahli dari pihak pemerintah
untuk Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011.
132
Keterangan tertulis Anhar Gonggong sebagai saksi ahli dari pihak pemerintah untuk
Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011.
133
Keterangan tertulis Adnan Buyung Nasution sebagai saksi ahli dari pihak pemerintah
untuk Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011.
85
keuangan negara yang dianggarkan untuk satu departemen, apabila

memiliki wakil menteri sekaligus juga memiliki Sekretariat Jenderal/

sekretariat kementerian, yang sama-sama kedudukannya sebagai pembantu

Menteri.

Saksi ahli yang diundang oleh Mahkamah Konstitusi.

Agun Gunandjar Sudarsa (Mantan Ketua Pansus DPR-RI tentang

RUU Kementrian Negara) menyatakan, Pasal 10 dirancang bangun atas

tujuan penguatan sistem pemerintahan presidensial, di mana jumlah

kementerian dibatasi, jumlahnya maksimal 34. Sofian Effendi

menyatakan, Undang-Undang tersebut diciptakan di bawah jabatan

pimpinan departemen atau di dalam sistem kepegawaian ada 2 jabatan

yaitu jabatan karir dan jabatan negara untuk menghindari intervensi politik

yang besar dalam pemerintahan.134

Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi135

Permohonan Pemohon adalah menguji konstitusionalitas norma

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 terhadap UUD 1945,

sehingga Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo. Serta

Mahkamah menilai, keseluruhan syarat tentang kedudukan hukum prima

facie telah dipenuhi, sehingga oleh karenanya Pemohon dipandang

134
Keterangan tertulis Agun Gunandjar Sudarsa sebagai saksi ahli yang diundang oleh
Mahkamah Konstitusi untuk Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011.
135
Pertimbangan hukum Makamah Konstitusi dalam perkara Perkara Nomor 79/PUU-
IX/2011.
86
memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan pengujian

konstitusionalitas terhadap Undang-Undang a quo.

Ketentuan Pasal 17 UUD 1945 hanya menyebutkan menteri-

menteri negara, tanpa menyebutkan wakil menteri, maka menurut

Mahkamah kalau menteri dapat diangkat oleh Presiden, logikanya bahwa

Presiden pun tentu dapat mengangkat wakil menteri.

Tidak adanya perintah maupun larangan di dalam UUD 1945

memberi arti berlakunya asas umum di dalam hukum bahwa “sesuatu yang

tidak diperintahkan dan tidak dilarang itu boleh dilakukan” dan

dimasukkan di dalam Undang-Undang sepanjang tidak berpotensi

melanggar hak-hak konstitusional atau ketentuan-ketentuan lain di dalam

UUD 1945. Menurut Mahkamah, baik diatur maupun tidak diatur di dalam

Undang-Undang, pengangkatan wakil menteri sebenarnya merupakan

bagian dari kewenangan Presiden sehingga, dari sudut substansi, tidak

terdapat persoalan konstitusionalitas dalam konteks ini.

Adapun mengenai biaya yang dikeluarkan untuk suatu jabatan atau

suatu lembaga yang oleh Pemohon dianggap sebagai pemborosan

keuangan negara, tidak boleh dinilai sebagai kerugian semata, sebab selain

kerugian finansial ada juga keuntungan dan manfaatnya untuk bangsa dan

negara.

Karena pengangkatan wakil menteri itu boleh dilakukan oleh

Presiden, terlepas dari soal diatur atau tidak diatur dalam Undang-Undang,

maka mengenai orang yang dapat diangkat sebagai wakil menteri menurut

87
Mahkamah, dapat berasal dari pegawai negeri sipil, anggota Tentara

Nasional Indonesia, anggota Kepolisian Republik Indonesia, bahkan

warga negara biasa, sebab Presiden yang mengangkat wakil menteri

adalah pemegang kekuasaan pemerintahan.

Undang-Undang a quo yang tidak mencantumkan wakil menteri

dalam susunan organisasi Kementerian. Oleh karena Undang-Undang

tidak menjelaskan mengenai apa yang dimaksud “beban kerja yang

membutuhkan penanganan khusus” maka menurut Mahkamah hal tersebut

menjadi wewenang Presiden untuk menentukannya sebelum mengangkat

wakil menteri.

Kewenangan Presiden mengangkat wakil menteri tidak merupakan

persoalan konstitusionalitas, akan tetapi pengaturan yang terkandung

dalam Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang a quo dalam praktiknya telah

menimbulkan persoalan legalitas yakni ketidakpastian hukum karena tidak

sesuainya implementasi ketentuan tersebut dengan hukum kepegawaian

atau peraturan perundang-undangan di bidang pemerintahan dan birokrasi.

Dengan pembentukan wakil menteri yang terjadi berdasar fakta

hukum sekarang, yakni pembentukan yang tanpa job analysis dan job

specification yang jelas telah memberi kesan kuat bahwa jabatan wakil

menteri hanya dibentuk sebagai kamuflase politik dan membagi-bagi

hadiah politik. Hal ini nyata-nyata tidak sesuai dengan filosofi dan latar

belakang pembentukan Undang-Undang Nomor 39/2008 yang dalam

implementasinya menimbulkan persoalan legalitas.

88
Saat mengangkat wakil menteri Presiden tidak menentukan beban

kerja secara spesifik bagi setiap wakil menteri sehingga tak terhindarkan

memberi kesan kuat sebagai langkah yang lebih politis daripada

mengangkat pegawai negeri sipil (PNS) secara profesional dalam jabatan

negeri.

Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang a quo jabatan wakil menteri

adalah jabatan karier dari PNS tetapi dalam pengangkatannya tidaklah

jelas apakah jabatan tersebut merupakan jabatan struktural ataukah jabatan

fungsional.

Jika seorang wakil menteri akan diangkat dalam jabatan karier

dengan jabatan struktural (Eselon IA) maka pengangkatannya haruslah

melalui seleksi, dan penilaian oleh Tim Penilai Akhir (TPA) yang diketuai

oleh Wakil Presiden atas usulan masing-masing instansi yang

bersangkutan. sehingga prosedurnya menggunakan prosedur yang berlaku

bagi menteri, bukan prosedur yang berlaku bagi PNS yang menduduki

jabatan karier.

Nuansa politisasi dalam pengangkatan jabatan wakil menteri

tampak juga dari terjadinya perubahan Peraturan Presiden Nomor 47

Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara

sampai dua kali menjelang dan sesudah pengangkatan wakil menteri bulan

Oktober 2011 yang oleh sebagian masyarakat dipandang sebagai upaya

menjustifikasi orang yang tidak memenuhi syarat untuk diangkat menjadi

wakil menteri supaya memenuhi syarat tersebut.

89
Konklusi136

Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana

diuraikan di atas, Mahkamah Konstitusi berkesimpulan:

1) Mahkamah berwenang mengadili permohonan a quo;

2) Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk

mengajukan pemohonan a quo;

3) Pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Mahkamah Konstitusi menyatakan:137

1) Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

2) Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008

tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4916) bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

3) Penjelasan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008

tentang Kementerian Negara (Lembaran Negara Republik

Indonesia Tahun 2008 Nomor 166, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 4916) tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat;

136
Konklusi Makamah Konstitusi dalam perkara Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011.
137
Amar putusan Makamah Konstitusi dalam perkara Perkara Nomor 79/PUU-IX/2011.
90
4) Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara

Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

5) Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya.

Dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi ini sebenarnya

telah menjawab mengenai persoalan legalitas dan konstitusionalitas

keberadaan wakil menteri. Mahkamah Konstitusi dalam putusan diatas

menyatakan bahwa keberadaan wakil menteri adalah sah dan

konstitusional, sejalan dengan Pasal 17 UUD 1945. Mahkamah Konstitusi

berpendapat bahwa penjelasan Pasal 10 tersebut mengandung norma

tersendiri yang tidak sejalan dengan norma yang disebutkan di dalam pasal

yang ingin dijelaskan, sehingga penjelasan tersebut bertentangan dengan

Konstitusi. Tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor:

79/PUU-IX/2011 tanggal 5 Juni 2012 terkait pengujian UU Nomor 39

Tahun 2008 tentang Kementerian Negara (UU Kementerian Negara)

terhadap UUD 1945, dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono

(SBY) dengan mengeluarkan Keppres No 65 Tahun 2012 untuk

mengangkat kembali seluruh wakil menteri ke posisi semula. Untuk

mendasari pengangkatan wakil menteri tersebut Presiden mengeluarkan

Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil Menteri. Nama

wakil menteri versi baru setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi

91
Nomor 79/PUU-IX/2011 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun

2012 tentang Wakil Menteri adalah sebagai berikut:138

1. Wakil Menteri Perindustrian: Alex SW Retraubun

2. Wakil Menteri Perhubungan: Bambang Susantono

3. Wakil Menteri Pekerjaan Umum: Hermanto Dardak

4. Wakil Menteri Pertahanan: Sjafrie Sjamsoeddin

5. Wakil Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional: Lukita Dinarsyah

Tuwo

6. Wakil Menteri Keuangan: Anny Ratnawati

7. Wakil Menteri Luar Negeri: Wardana

8. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia: Denny Indrayana

9. Wakil Menteri Keuangan: Mahendra Siregar

10. Wakil Menteri Perdagangan: Bayu Krisnamurthi

11. Wakil Menteri Pertanian: Rusman Heriawan

12. Wakil Menteri Kesehatan: Ali Ghufron Mukti

13. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan:

H Musliar Kasim

14. Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Kebudayaan:

Wiendu Nuryanti

15. Wakil Menteri Agama: Nasarudin Umar

138
Kompas. com, susunan menteri dan wakil menteri terbaru, artikel, Selasa, tanggal 5
Februari 2013 pukul 11:51 WIB

92
16. Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: Sapta Nirwandar

Wakil

17. Wakil Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi

Birokrasi: Eko Prasojo

18. Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara: Mahmuddin Yasin.

19. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral: Rudi

Rubiandini (menggantikan Widjajono Partowidagdo yang

meninggal pada 21 April 2012)

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, wakil menteri kembali

diangkat oleh Presiden berdasarkan pada Keppres No 65 Tahun 2012

dengan dasar hukumnya Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi telah menyelesaikan

masalah terkait konstitusionalitas wakil menteri tersebut, namun ternyata

Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 tersebut masih memiliki

permasalahan yuridis serta pelaksanaan tugas dan wewenang wakil

menteri secara empiris (aplikatif). Wakil menteri versi baru pasca putusan

Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Penjelasan Pasal 10 UU

Kementerian Negara, sebagaimana diatur Perpres No 60/2012 kembali

mengalami ketidakjelasan. Penjelasan yang dibatalkan itu mengatakan

wakil menteri itu adalah pejabat karir dan bukan anggota kabinet. Kalau

Penjelasan Pasal 10 itu dipahami secara a-contrario, maka wakil menteri

itu bukan pejabat karir, tetapi anggota kabinet. Namun Perpres 60/2012

menyatakan bahwa kedudukan wakil menteri bukan pejabat struktural,

93
tetapi bukan pula anggota kabinet. Anehnya, wakil menteri itu diangkat

oleh Presiden tanpa usul Menteri, tetapi bertanggungjawab kepada

Menteri.139 Hal ini membuat kedudukan Wakil menteri itu dalam struktur

organisasi pemerintahan tetap tidak jelas. Dalam Perpres 60/2012 wakil

menteri berada (di bawah) dan bertanggung jawab kepada Menteri.

Tugasnya, membantu Menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas

Kementerian. Rincian tugas Wakil Menteri diuraikan secara rinci dalam

Pasal 3 Perpres Nomor 60 Tahun 2012 tersebut antara lain adalah: 140

a) membantu Menteri dalam proses pengambilan keputusan

Kementerian;

b) membantu Menteri dalam melaksanakan program kerja dan

kontrak kinerja;

c) memberikan rekomendasi dan pertimbangan kepada Menteri

berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian;

d) melaksanakan pengendalian dan pemantauan pelaksanaan tugas

dan fungsi Kementerian; dan

e) Membantu Menteri dalam penilaian dan penetapan pengisian

jabatan di lingkungan Kementerian.

f) Melaksanakan pengendalian reformasi birokrasi di lingkungan

Kementerian.

139
Yusril Ihza Mahendra, Wamen versi baru nabrak Undang-Undang Kementerian
negara, Artikel di Koran Sindo 11 Juni 2012.
140
Ibid.
94
g) Mewakili Menteri pada acara tertentu dan/atau memimpin rapat

sesuai dengan penugasan Menteri.

h) Melaksanakan tugas lain yang diberikan oleh Menteri; dan

i) Dalam hal tertentu, Wakil Menteri melaksanakan tugas khusus

yang diberikan langsung oleh Presiden atau melalui Menteri.

Kedudukan Wakil menteri yang disebutkan berada di bawah dan

bertanggungjawab kepada Menteri sebagaimana disebutkan dalam Perpres

60/2012 itu tidaklah sejalan dengan ketentuan Pasal 9 Undang-Undang No

39/2008 yang mengatur struktur organisasi kementerian. Disebutkan

dalam pasal itu bahwa struktur organisasi kementerian terdiri atas

pimpinan, yakni menteri, sekretariat jenderal sebagai pembantu

pimpinan, direktur jenderal sebagai pelaksana tugas pokok, dan

seterusnya. Keberadaan wakil menteri tidak ada dalam struktur organisasi

kementerian. Namun keberadaannya disebutkan dalam Pasal 10 yang

mengatakan “Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan

penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat wakil Menteri

pada Kementerian tertentu”. Karena itu, posisi wakil Menteri dalam

struktur organisasi kementerian pun menjadi tidak jelas.141

Sebelum adanya jabatan wakil menteri, secara umum struktur

kementerian negara terdiri dari Sekjen, Irjen dan Dirjen. Dalam

menjalankan tugasnya menteri juga dibantu oleh staf ahli. Jumlah Sekjen

dan Irjen pada setiap kementerian hanya satu unit, sedangkan besaran

141
Ibid.
95
Dirjen tergantung pada kompleksitas tugas dan fungsi masing-masing

kementerian. Sekjen adalah unit organisasi yang mengurus urusan rumah-

tangga kementerian, sedangkan Irjen berfungsi sebagai supervisi yang

mengawasi semua unit organisasi, termasuk menteri. Pelaksanaan tugas-

tugas teknis dan administratif kementerian dijalankan oleh Dirjen.

Misalnya, pada Kementerian Pendidikan Nasional, urusan perguruan

tinggi dilaksanakan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi. Sementara itu, jabatan

staf ahli dipegang oleh para pakar yang menguasai bidang tertentu dan

bertugas memberikan masukan dan analisis kepada menteri. 142

Gambar 1. Struktur Organisasi Kementerian Secara Umum143

Menteri

Staf Ahli

Sekretaris Jenderal Inspektur Jenderal Direktur Jenderal

142
Wayu Eko Yudiatmaja, Jabatan Wakil Menteri Quo Vadis Reformasi Birokrasi di
Indonesia, makalah, hal. 5
143
Ibid, hal 6.
96
Sejak jabatan wakil menteri dibentuk, secara otomatis struktur

organisasi kementerian menjadi bertambah. Pertambahan struktur

organisasi ini berimplikasi pada struktur organisasi secara keseluruhan.

Melihat kepada tugas, fungsi dan kewenangannya maka jabatan wakil

menteri merupakan jabatan struktural yang berada satu tingkat di bawah

menteri, tetapi berada satu level di atas staf ahli. Berikut ini gambar

susunan organisasi kementerian pascadibentuknya jabatan wakil menteri.

Gambar 2. Struktur Organisasi Kementerian144

Pascadibentuknya Jabatan Wakil Menteri

Menteri

Wakil Menteri
Staf Ahli

Sekretaris Jenderal Inspektur Jenderal Direktur Jenderal

Kebingungan mengenai kedudukan wakil menteri dalam organisasi

pemerintahan yang disebabkan oleh pengaturan yang tidak jelas dalam

Undang-Undang Kementerian Negara, dan Perpres Nomor 60 Tahun

2012. Wakil menteri ditempatkannya secara struktural berada “(di bawah)

144
Ibid.
97
dan bertanggung jawab kepada Menteri”. Tugasnya adalah “membantu

Menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas Kementerian”. Tugas Wakil

menteri dalam Perpres Nomor 60 Tahun 2012 ini amatlah luas, yakni

membantu menteri dalam memimpin dan melaksanakan hampir seluruh

tugas kementerian sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU Kementerian

Negara. Padahal Pasal 10 UU Kementerian Negara menyebutkan

keberadaan Wakil menteri itu hanya untuk melaksanakan beban kerja yang

memerlukan penanganan secara khusus pada kementerian tertentu. Bukan

untuk membantu Menteri dalam memimpin pelaksanaan tugas

Kementerian yang begitu luas sebagaimana diatur Pasal 8 UU

Kementerian Negara.145

Keberadaan wakil menteri yang tugasnya terbatas hanya untuk

melaksanakan beban kerja yang memerlukan penanganan khusus,

haruslah dirujuk pada Pasal 8, yakni apa sajakah tugas pokok kementerian

tertentu yang dirasakan memerlukan penanganan secara khusus itu. Secara

lebih rinci, beban tugas kementerian tertentu terdapat dalam Orta

(Organiasi dan Tata Laksana) Kementerian yang bersangkutan. Dari

rincian itulah dapat dipilah-pilah mana beban kerja yang memerlukan

penanganan secara khusus pada kementerian itu dan mana yang tidak.146

Pada Kementerian Hukum dan HAM misalnya, terdapat beban

kerja yang memerlukan penangan khusus yakni mempersiapkan dan

145
Yusril Ihza Mahendra, Wamen versi baru nabrak Undang-Undang Kementerian
negara, Artikel di Koran Sindo 11 Juni 2012
146
Ibid.
98
mengharmonisasikan rancangan peraturan perundang-undangan, serta

beban mewakili Presiden membahas RUU dengan DPR. Maka

Wamenkumham yang dilantik itu, tugasnya menangani bidang ini saja,

bukan yang lain. Menkumham tidak perlu menghabiskan sebagian besar

waktunya di DPR, sehingga kurang waktu mengerjakan tugas-tugas lain.

Tetapi, dengan Perpres Nomor 60 Tahun 2012, Wamenkumham bukan

lagi berfungsi melaksanakan beban kerja yang memerlukan penanganan

secara khusus, melainkan membantu Menkumham melaksanakan hampir

semua tugas pokok kementerian. Bukan itu maksud ketentuan Pasal 10

UU Kementerian Negara.147

Sebagai sebuah perbandingan tugas wakil menteri dalam Pasal 10

UU Kementerian Negara hampir sama dengan kedudukan Menteri Muda

sejak Kabinet Amir Sjarifuddin sampai Kabinet Soeharto, yakni

membantu menteri untuk menangani tugas tertentu. Daoed Joesoef

misalnya menjadi Mendikbud dan Abdul Gafur menjadi Menmud Pemuda

dan Olah Raga. Tugas Gafur hanya menangani pemuda dan olahraga saja.

Dia tidak membantu Daoed Joesoef menangani kurikulum SD atau

pengadaan buku-buku di sekolah dan perguruan tinggi. Demikian pula

Menmud Sekkab Saadillah Mursyid yang membantu Mensesneg

Moerdiono. Tugasnya jelas hanya menangani bidang-bidang tertentu yang

memerlukan penanganan khusus, administrasi sidang kabinet dan

penanganan laporan dan arahan Presiden kepada para menteri. Semua

147
Ibid.
99
Menteri Muda, baik Kabinet Amir maupun Kabinet Soeharto adalah

anggota Kabinet. Dalam melaksanakan tugas tertentu itu, mereka

berkoordinasi dengan menteri, namun bertanggungjawab kepada Presiden.

Karena Presiden yang mengangkat Menteri Muda itu.148

Wakil menteri versi baru pasca putusan Mahkamah Konstitusi

kembali mengalami ketidak jelasan. Dari segi pengangkatan, Wamen itu

diangkat oleh Presiden tanpa usul Menteri, tetapi bertanggungjawab

kepada Menteri. Jika demikian, ketidak jelasan kedudukan dalam struktur

organisasi pemerintahan, juga kedudukannya dalam organisasi

kementerian. Terkait masalah hak keuangan wakil menteri, Peraturan

menteri keuangan Republik Indonesia Nomor 164/PMK.02/2012 tentang

hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi wakil menteri hanya mengatur hak

keuangan dan fasilitas bagi Wakil menteri, yang disebutkan dibawah hak

Menteri, tetapi diatas jabatan struktural Ia. Tapi Ini hanya soal teknis

pembayaran gaji belaka yang menjadi kewenangan Menteri Keuangan.

Namun apa sesungguhnya kedudukan Wakil menteri pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi tetaplah tidak jelas.149

Selain itu masalah lain seperti tugas dari wakil menteri yang tidak

jelas dan terlalu luas berakibat pada efektifitas kinerja organisasi

kementerian. Jabatan wakil menteri juga dianggap hanya menambah beban

keuangan negara, tetapi tidak memiliki fungsi dan peranan yang

148
Ibid.
149
Ibid.
100
signifikan. Pemerintahan presiden Susilo Bambang Yudoyono sebaiknya

mengevaluasi kinerja wakil menteri yang telah dilantik. Pemerintah juga

meninjau kembali kebijakan pengangkatan wakil menteri. Jabatan wakil

menteri belum memiliki signifikansi tugas dan kewenangan bagi

peningkatan efektivitas dan efisiensi organisasi kementerian, sehingga

belum tepat untuk diterapkan. Dalam perspektif reformasi birokrasi,

pengangkatan jabatan wakil menteri hanya menciderai semangat reformasi

birokrasi karena menambah beban negara akibat tambunnya organisasi

pemerintah.

B. Implikasi yang ditimbulkan oleh pengangkatan jabatan wakil menteri

pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang yudoyono pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011

Keputusan Presiden mengangkat beberapa wakil menteri

mengundang polemik. Selain dianggap hanya sebagai pemborosan

anggaran negara, posisi wakil menteri juga dinilai tidak efektif, tumpang

tindih dan membuat birokrasi kementerian semakin tambun, serta

ketidakjelasan akan kedudukan wakil menteri. Kedudukan yang tidak

jelas berimplikasi pada ketidakjelasan tugas, fungsi dan kewenangan.

Ketidakjelasan tersebut dapat memicu masalah koordinasi kerja di

kementerian terutama antara Menteri dan wakil menteri dan antara Wakil

menteri dengan jajaran pembantu menteri. Friksi akan makin tajam

101
manakala Menteri dan wakil menteri memiliki pandangan politik yang

berbeda.

Jika kita melihat implikasi yuridis terhadap pengangkatan wakil

menteri, dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 79/PUU-

IX/2011, maka telah mengakhiri permasalahn mengenai konstitusionalitas

wakil menteri tersebut. Keberadaan wakil menteri adalah sah dan sesuai

dengan konstitusi. Namun ternyata terdapat ketidak konsistenan antara

Putusan Mahkamah Konstitusi dengan Peraturan Presiden Nomor 60

Tahun 2012 tentang wakil menteri. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor: 79/PUU-IX/2011 penjelasan yang dibatalkan itu mengatakan

wakil menteri itu adalah pejabat karir dan bukan anggota kabinet. Kalau

Penjelasan Pasal 10 itu dipahami secara a-contrario, maka wakil menteri

itu bukan pejabat karir, tetapi anggota kabinet. Namun Peraturan Presiden

Nomor 60 Tahun 2012 menyatakan bahwa kedudukan wakil menteri

bukan pejabat struktural, tetapi bukan pula anggota kabinet. Selanjutnya,

wakil menteri itu diangkat oleh Presiden tanpa usul Menteri, tetapi

bertanggungjawab kepada Menteri. Hal ini membuat kedudukan Wakil

menteri itu dalam struktur organisasi pemerintahan tetap tidak jelas.

Selanjutnya, apabila kita melihat fenomena pengangkatan wakil

menteri dari sudut pandang aplikatifnya maka pengangkatan wakil menteri

menimbulkan impikasi terhadap struktur organisasi kementerian serta

implikasinya terhadap pengeluaran negara. implikasinya terhadap

organisasi kementerian, dalam Pasal 9 Undang-Undang Kementerian

102
Negara terkait struktur organisasi kementerian, hanya diatur posisi

Menteri, Sekretaris Jenderal, Direktorat Jenderal, dan Inspektorat Jenderal

dan tidak ditemukan posisi wakil menteri. Dalam menjalankan tugasnya

menteri juga dibantu oleh staff ahli. Pertambahan struktur organisasi ini

berimplikasi pada struktur organisasi secara keseluruhan. Bertambahnya

unit organisasi berarti bertambah pula sumber daya manusia, jabatan,

anggaran dan fasilitas serta sarana dan prasarana. Jelas ini menjadi beban

bagi organisasi kementerian.

Selanjutnya jabatan wakil menteri membuat birokrasi semakin

tambun dan boros. Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi (GNPK)

melansir kerugian finansial akibat pengangkatan 20 wakil menteri dalam

Kabinet Indonesia Bersatu II. GNPK adalah pihak yang melakukan uji

materi (judicial review) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Pasal 10

tentang Kementerian Negara ke Mahkamah Konstitusi.150

Gaji wakil menteri yang disebut pemerintah setara dengan eselon

1A itu jumlahnya sebanyak Rp 4,1 juta per bulan. Ini belum termasuk

tunjangan yang meliputi tunjangan istri/suami, tunjangan anak, beras,

jabatan, dan kinerja. Dengan potongan pajak, honor bersih setiap wakil

menteri perbulan mencapai Rp 51,62 juta. Dalam tiga tahun masa

pemerintahan SBY-Boediono, pendapatan wamen sekitar Rp 37,16 miliar.

Rinciannya adalah Rp 51,62 juta dikalikan 20 wakil menteri dan dikalikan

150
Okezone. com, Pengangkatan Wamen Rugikan Negara Rp 1,84 Triliun, artikel,
tanggal 26 Januari 2013.
103
36 bulan. Angka ini belum memperhitungkan tunjangan remunerasi yang

selama ini diatur oleh Kementerian Keuangan.151

Kalau ditambah gaji ke-13 dengan nominal yang sama, APBN

harus menganggarkan dana tambahan sekitar Rp 1,03 miliar untuk 20

wakil menteri. Bila mengacu pada APBN Tahun 2010, anggaran setiap

menteri atau wakil menteri beda-beda. Ada yang dapat Rp 15 miliar,

bahkan ada menteri yang mendapat Rp 19 miliar sampai Rp 21 miliar per

tahun. Estimasi pemakaian uang negara untuk seorang wakil menteri itu

sebesar Rp 15 miliar per tahun atau Rp 300 miliar per tahun bagi 20 wakil

menteri. Jumlah tersebut dikalikan sisa tiga tahun masa pemerintahan

sehingga total APBN terkuras Rp 900 miliar. Beban keuangan negara ini,

masih belum termasuk penganggaran mobil dinas sesuai Peraturan

Presiden (PP) Nomor 76 Tahun 2011 Pasal 70 tentang Hak Keuangan dan

Fasilitas wakil menteri yang dianggap setingkat pejabat eselon IA. Dimana

fasilitas kendaraan untuk 20 wakil menteri diperkirakan memerlukan Rp

10 miliar dari uang APBN. Belum lagi ada anggaran untuk jamuan tamu

dan pengadaan pelengkapan wakil menteri, operasional keprotokolan,

rapat-rapat kerja, pelayanan atau pengawalan, dan kegiatan tidak terduga

lainnya, bila diestimasikan, angggaran semua kegiatan tersebut sama

dengan anggaran menteri. Maka, beban defisit APBN sekitar Rp 900

151
Ibid.
104
miliar per tiga tahun. Sehingga, total biaya yang menambah beban defisit

APBN mencapai Rp 1,84 triliun.152

Sebagai sebuah perbandingan, salah satu pertimbangan utama

kenapa di negara lain, seperti AS dan Jepang terdapat posisi wakil menteri

karena jumlah kementerian yang tidak terlalu banyak dan memiliki ruang

lingkup kerja yang luas. Di AS hanya 15 Kementerian dan Jepang tak

lebih dari 17 Kementerian. Satu kementerian biasanya mengurus beberapa

bidang kerja, misalkan Kementerian Pendidikan, Sains, Teknologi, Budaya

dan Olahraga. Begitu luasnya bidang kerja, sehingga wajar kemudian

kementerian tersebut membutuhkan wakil menteri.153

Di Indonesia saat ini terdapat 34 kementerian. Dari sisi jumlah

sebenarnya sudah sangat banyak dan dari sisi bidang kerja sudah lebih

spesifik, sehingga penambahan jabatan wakil menteri menjadi tidak

relevan, karena hanya akan membuat birokrasi semakin tambun dan

konsekuensinya, anggaran akan semakin terkuras untuk birokrasi.

Pemerintahan presiden SBY sebaiknya mengevaluasi kinerja wakil

menteri yang telah dilantik. Pemerintah juga meninjau kembali kebijakan

pengangkatan wakil menteri. Jabatan wakil menteri belum memiliki

signifikansi tugas dan kewenangan bagi peningkatan efektivitas dan

efisiensi organisasi kementerian, sehingga belum tepat untuk diterapkan.

152
Ibid.
153
Ibid.
105
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian yang

telah dilakukan oleh penulis antara lain:

1. Dengan lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 79/PUU-

IX/2011 sebenarnya telah menyelesaikan permasalahan konstitusionalitas

jabatan wakil menteri. Namun wakil menteri versi baru pasca putusan

Mahkamah Konstitusi kembali menimbulkan permasalahan yuridis serta

permasalahan didalam aplikasinya. Secara yuridis, penjelasan yang

dibatalkan itu mengatakan wakil menteri itu adalah pejabat karir dan

bukan anggota kabinet. Kalau Penjelasan Pasal 10 itu dipahami secara a-

contrario, maka wakil menteri itu bukan pejabat karir, tetapi anggota

kabinet. Namun Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 menyatakan

bahwa kedudukan wakil menteri bukan pejabat struktural, tetapi bukan

pula anggota kabinet. selanjutnya, wakil menteri itu diangkat oleh

Presiden tanpa usul Menteri, tetapi bertanggungjawab kepada Menteri.

Hal ini membuat kedudukan wakil menteri itu dalam struktur organisasi

pemerintahan tetap tidak jelas. Begitu pula secara aplikatif, kedudukan

wakil menteri yang tidak jelas didalam organisasi kementerian, selain itu

tugas dari wakil menteri yang menjadi terlalu luas berakibat pada

efektifitas kinerja organisasi kementerian.

106
2. Fenomena pengangkatan jabatan wakil menteri menimbulkan implikasi

baik implikasi secara yuridis serta implikasi secara aplikatifnya. Secara

yuridis ketidak konsistenan antara Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor: 79/PUU-IX/2011 dengan Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun

2012 yang menjadi dasar pengangkatan kembali wakil menteri tersebut.

Selanjutnya, dari sudut pandang aplikatifnya pengangkatan wakil menteri

menimbulkan menimbulkan implikasi secara keseluruhan terhadap

organisasi kementerian terkait dengan efisiensi dan efektitas dalam

melaksanakan tugas di kementrian serta terhadap keuangan negara.

Birokrasi kementerian semakin tambun dan boros. Gerakan Nasional

Pemberantasan Korupsi (GNPK) melansir kerugian finansial akibat

pengangkatan 20 wakil menteri (wamen) dalam Kabinet Indonesia

Bersatu II mencapai 1,8 Triliyun. Di Indonesia saat ini terdapat 34

kementerian. Jika dibandingan dengan Amerika yang memiliki 15

kementerian dan Jepang yang memiliki 17 kementerian, Dari sisi jumlah

sebenarnya sudah sangat banyak dan dari sisi bidang kerja sudah lebih

spesifik, sehingga penambahan jabatan Wamen menjadi tidak relevan.

Karena hanya akan membuat birokrasi semakin tambun dan

konsekuensinya, anggaran akan semakin terkuras untuk birokrasi.

B. Saran

Adapun saran yang diberikan oleh penulis setelah melakukan

penelitian antara lain:

107
1. Ditujukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan

Presiden, sebaiknya dilakukan revisi terhadap Undang-Undang Nomor

39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara mengenai masalah

pengaturan terkait wakil menteri, baik pengaturangan mengenai struktur

organisasi kementerian, beban tugas dan fungsi, serta pengaturan lain

mengenai hal-hal yang dianggap penting terkait keberadaan jabatan wakil

menteri didalam sistem ketaanegaraan Indonesia.

2. Ditujukan kepada Presiden dan staff ahli kepresidenan, sebaliknya

dilakukan juga revisi terhadap peraturan Peraturan Presiden Nomor 60

tahun 2012, serta Keppres No 65 Tahun 2012 yang menjadi instrumen

yuridis dalam pengangkatan wakil menteri.

3. Pemerintahan presiden SBY sebaiknya mengevaluasi kinerja wakil

menteri yang telah dilantik. Pemerintah juga meninjau kembali kebijakan

pengangkatan wakil menteri. Jabatan wakil menteri belum memiliki

signifikansi tugas dan kewenangan bagi peningkatan efektivitas dan

efisiensi organisasi kementerian, sehingga belum tepat untuk diterapkan.

108
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

A. Ahsin Thohari, Komisi Yudisial dan Reformasi Keadilan, ELSAM, Jakarta,

2004.

Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam

Sistem Ketatanegaraan RI, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006.

A. Gunawan Setiardja, Dialektika Hukum dan Moral dalam Pembangunan

Masyarakat Indonesia, Kanisius, Yogyakarta, 1990.

Aslim Rasyad, Metode Ilmiah; Persiapan Bagi Peneliti, UNRI Press,Pekanbaru,

2005.

Bambang Sutiyoso, Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,

2003.

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1996.

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi, Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006.

Ichlasul Amal, Sistem Pemerintahan RI, Jakarta: Lembaga Administrasi Negara,

2004.

Inu Kencana Syaiie, 2004, Sistem Pemerintahan Indonesia, Gema Insani

Press,Jakarta.

Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan

Pemerintah, Alumni, Bandung, 2004.

109
Kunthi Dyah Wardani, Impeachment dalam Ketatanegaraan Indonesia, UIIPress,

Yogyakarta, 2007.

Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Studi tentang Interaksi

Politik Kehidupan Ketatanegaraan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2000.

Miriam Budiardjo, Dasar- Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991.

Paulus Efendie Lotulung, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Citra

Aditya Bakti, Bandung, 1994.

Rahimullah, Hubungan Antar Lembaganegara Versi Amandemen UUD1945, PT.

Gramedia, Jakarta, 2007.

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo Persada, 2006.

Sarwoto, Perbandingan Sistem pemerintahan, Galih Indonesia,Jakarta, 2000.

Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII

Press, Yogyakarta, 2001.

Soehino, Hukum Tata Negara, Sumber-sumber Hukum Tata Negara Indonesia,

Liberty, Yogyakarta, 1985.

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta, 1983.

------------------------, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, PT. Raja Grafindo Jakarta, 2003

Suwoto Mulyosudarmo, Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik

Indonesia, Suatu Penelitian Segi-Segi Teoritik dan Yuridis

Pertanggungjawaban Kekuasaan, Surabaya: Universitas Airlangga, 1990.

110
Makalah Jurnal:

Ateng Syafrudin, Menuju Penyelenggaraan Pemerintahan Negara yang Bersih

dan Bertanggung Jawab, Jurnal Pro Justisia Edisi IV, Universitas

Parahyangan, Bandung, 2000.

Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah, Universitas Airlangga,

Surabaya.

Rusadi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah, Universitas Islam

Indonesia, Yogyakarta, 1998.

Wayu Eko Yudiatmaja, Jabatan Wakil Menteri Quo Vadis Reformasi Birokrasi di

Indonesia, makalah.

Artikel:

Margito kamis, konstitusionalitas jabatan wakil menteri, artikel, Koran Seputar

Indonesia tanggal, 27 Januari 2012.

Pengangkatan Wamen Rugikan Negara Rp 1,84 Triliun, artikel, tanggal 26

Januari 2013, Okezone.com.

Yusril Ihza Mahendra, Ketidakjelasan posisi wakil menteri, artikel, Koran

Seputar Indonesia tanggal 31 Oktober dan 1 November 2011.

Kamus:

Departemen Pendidikan Nasional, 2003, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai

Pustaka, Jakarta.

Peraturan Perundang-Undangan:

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara.

111
Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan Organisasi

Kementerian Negara.

Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Organisasi

Kementerian Negara.

Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2011 tentang Pembentukan dan Organisasi

Kementerian Negara.

Peraturan Presiden Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil menteri.

Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 79/PUU-IX/2011.

Internet:

www.wikipediaindonesia.co.id.

www.kompas. com.

www.okezone.com.

www.forum.detik.com.

112

You might also like