You are on page 1of 50

PRESENTASI KASUS BESAR

“CONGESTIVE HEPATOPATY EC CONGESTIVE


HEART FAILURE”

Pembimbing :
dr. Tiara Paramita Poernomo, Sp.PD

Disusun oleh:
Euis Maya Savira 1610221207

SMF ILMU PENYAKIT DALAM


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ‘VETERAN’ JAKARTA
2018

1
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS BESAR


“KONGESTIVE HEPATOPATY EC CONGESTIVE HEART FAILURE”

Disusun Oleh :
Euis Maya Savira 1610211207

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian


Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal : 2018

Dokter Pembimbing:

dr. Tiara Paramita Poernomo, Sp.PD

2
BAB I
PENDAHULUAN

Gagal jantung kongestif/Congestive Heart Failure (CHF) merupakan suatu


keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi
kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Gagal jantung merupakan suatu
sindroma klinik yang komplek yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak,
fatigue, baik dalam keadaan istirahat atau latihan, edema dan tanda objektif adanya
disfungsi jantung dalam keadaan istirahat (Maggioni, 2007).
Gagal jantung merupakan masalah kesehatan yang progresif dengan angka
mortalitas dan morbiditas yang tinggi di negara maju maupun negara berkembang
termasuk Indonesia. Di Indonesia, usia pasien gagal jantung relatif lebih muda
dibanding Eropa dan Amerika disertai dengan tampilan klinis yang lebih berat.
Pada gagal jantung terdapat abnormalitas fungsi jantung (baik dideteksi maupun
tidak), yang gagal memompa darah pada tingkat yang seharusnya dibutuhkan untuk
metabolisme jaringan, atau hanya mampu melakukan pemompaan darah sesuai
kebutuhan dengan syarat adanya peningkatan tekanan pengisian diastolik.
(perki,2015).
Gagal jantung, tidak hanya disebabkan oleh kegagalan miokard tapi juga
adanya fungsi jantung yang hampir normal dibawah kondisi kebutuhan yang tinggi.
Untuk mempertahankan fungsi pemompaan pada jantung, mekanisme kompensasi
seperti peningkatan volume darah, tekanan pengisian kardiak, detak jantung, dan
massa otot jantung. Meskipun terdapat berbagai mekanisme kompensasi terhadap
gagal jantung, terdapat penurunan progresif dari kemampuan jantung untuk
kontraksi dan relaksasi, sehingga memperburuk gagal jantungnya. Tanda dan gejala
dari gagal jantung diantaranya takikardia dan manifestasi dari kongesti vena
(edema) serta rendahnya curah jantung (fatigue). Sesak nafas merupakan tanda
kardinal dari kegagalan ventrikel kiri yang mungkin bermanifestasi dengan
tingginya proresifitas kearah perburukan. Gagal jantung dapat diklasifikasikan
menjadi empat kelas berdasarkan

3
The New York Heart Association (NYHA) classification for heart failure
yang membagi sesuai gejala dan jumlah usaha yang dibutuhkan untuk melakukan
aktifitas :
kelas 1 : pasien yang tidak memiliki batasan terhadap aktifitas fisik
kelas 2 : pasien yang memiliki sedikit batasan dalam aktifitas fisik
kelas 3 : pasien dengan aktifitas fisik terbatas yang jelas
kelas 4 : pasien yang memiliki gejala meskipun saat istirahat dan tidak mampu
melakukan aktifitas fisik dengan nyaman. (sharma,2018)

4
BAB II
LAPORAN KASUS

II.1 Identitas Pasien


Nama : ny. E
Umur : 49 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Agama : Islam
Alamat : Paningkaban, Rt 05/05 Gumelar
Tanggal masuk RSMS : 11 Mei 2018
Tanggal periksa : 14 Mei 2018
No. CM : 00915812

II.2 Anamnesis (14/05/18)


1. Keluhan utama : nyeri perut kanan atas
2. Keluhan tambahan : mata kuning, BAK seperti teh, sesak
nafas, dan batuk
3. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien mengeluhkan nyeri perut kanan atas sejak 3 hari SMRS. Nyeri
terjadi berangsur angsur dan semakin memburuk. Nyeri terjadi sepanjang
hari tanpa ada perubahan intensitas nyeri. Nyeri terasa seperti rasa pegal.
Nyeri bertambah apabila perut ditekan dan berkurang bila istirahat. Nyeri
terkadang merambat hingga ke punggung. Nyeri berskala 3-4/10 karena
meskipun nyeri, tidak sampai menganggu aktifitas sehari hari pasien.
Nyeri tidak dipengaruhi gerakan bernafas. Nyeri tidak bertambah ketika
makan terutama makanan berlemak. Nyeri tidak seperti terbakar maupun
ditusuk. tidak ada riwayat trauma pada daerah perut, tidak ada penurunan
berat badan yang drastis. Keluhan tidak disertai adanya demam. Keluhan
tidak disertai konstipasi maupun diare. Tidak nyeri saat BAK namun BAK
yang berwarna seperti gelap seperti teh. Keluhan ini terjadi bersamaan
dengan nyeri pada perut kanan atas. BAB Tidak ada darah, tidak ada
riwayat penggunaan antibiotik seperti metronidazole, obat untuk flek paru.

5
BAB tidak berwarna seperti dempul, dan tidak juga kehitaman maupun
berdarah. Keluhan disertai warna mata yang kekuningan yang terjadi
bersamaan dengan nyeri perut kanan atas. pasien tidak mengkonsumsi obat
penghilang nyeri jangka panjang maupun obat herbal tertentu. Keluhan
tidak disertai adanya gatal gatal pada kulit. Keluhan tidak disertai adanya
kebiruan pada kulit atau keluhan mudah berdarah pada gusi. Tidak ada
mual maupun muntah darah.Tidak ada keluhan berat badan yang turun
secara signifikan.
Keluhan juga disertai dengan sesak nafas yang memburuk sejak 5 hari
SMRS. Sesak napas terutama saat beraktifitas seperti berjalan tak kurang
dari 10 meter, sehabis menyapu dan hanya mampu menaiki 2 anak tangga
saja tanpa sesak. Sesak yang dirasakan biasanya akan berkurang saat
pasien beristirahat. Apabila terlalu lelah, kedua pergelangan kaki pasien
sering bengkak. Pasien tidur dengan menggunakan 1-2 bantal, pasien
tidak pernah terbangun tiba tiba setelah beberapa jam tertidur malam
karena sesak nafas. Pasien juga mengatakan sering merasa cepat lelah saat
beraktivitas walaupun aktivitas yang dilakukan tidak terlalu berat.
Selain sesak nafas, pasien juga mengeluhkan adanya batuk. batuk
berdahak sejak 1 minggu sebelum masuk ke RSMS. Menurut pasien dahak
tidak berwarna (bening) dan konsistensi dahak encer. tidak ada darah dan
tidak berbusa. Keluhan batuk berkurang jika pasien beristirahat.
Pasien mengaku tidak pernah menderita sakit kuning sebelumnya. tidak
ada riwayat nyeri dada seperti ditimpa dan menjalar ke tangan maupun
punggung. Pasien mengaku rutin kontrol ke poli jantung RSMS sejak 4
tahun yang lalu dengan obat yang biasa dikonsumsi adalah spironolakton
25 mg, furosemid 40 mg, digoxin, dan aspilet.

4. Riwayat penyakit dahulu


a. Riwayat penyakit yang sama : diakui
b. Riwayat hipertensi : diakui sejak usia 35 tahun (tidak
terkontrol)
c. Riwayat DM : disangkal

6
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat operasi : disangkal
f. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
g. Riwayat cuci darah : disangkal
h. Riwayat penyakit jantung : diakui
i. Riwayat penyakit paru : disangkal
j. Riwayat penyakit kelenjar tiroid : disangkal
5. Riwayat penyakit keluarga
a. Riwayat hipertensi : diakui
b. Riwayat DM : disangkal
c. Riwayat asma : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal
e. Riwayat penyakit ginjal : disangkal
f. Riwayat penyakit paru : disangkal
g. Riwayat penyakit jantung : diakui
h. Riwayat batu empedu : disangkal
6. Riwayat sosial dan exposure
a. Community
Pasien tinggal di rumah bersama suami dan anaknya. Hubungan
antara pasien dengan tetangga dan keluarga dekat dan baik.
b. Home
Rumah pasien terdiri dari 2 kamar tidur, satu ruang tamu, satu
ruang keluarga, satu dapur, dan satu kamar mandi. Satu kamar masing-
masing dihuni oleh 1-2 orang. Kamar mandi dan jamban di dalam
rumah.

c. Habit
Pasien tidak merokok.
d. Diet
Pasien mengaku makan sehari 3 kali sehari, dengan nasi, sayur dan
lauk pauk. Sering makan makanan bergaram tinggi. Pasien mengaku
tidak pernah mengkonsumsi alkohol, ataupun mengkonsumsi obat-
obatan terlarang.

7
II.3 Pemeriksaan Fisik (14/05/18)
1. Keadaan umum : tampak sakit sedang
2. Kesadaran : compos mentis
3. Vital sign
TD : 100/80 mmHg
N : 112x/menit
RR : 24x/menit
S : 36 oC
4. Tinggi Badan : 150 cm
5. Berat Badan : 62 kg
6. Status Gizi (IMT) : 27,5 (preobesse)

Status Generalis
1. Pemeriksaan Kepala
Bentuk Kepala : Mesochepal, simetris
Rambut : Warna hitam, tidak mudah rontok, distribusi merata
2. Pemeriksaan Mata
Palpebra : Edema (-/-), ptosis (-/-)
Konjunctiva : Anemis (-/-)
Sklera : Ikterik (+/+)
Pupil : Reflek cahaya (+/+), isokor Ø 3 mm
3. Pemeriksaan Telinga : Otore (-/-), deformitas (-/-), nyeri tekan (-/-)
4. Pemeriksaan Hidung : Nafas cuping hidung (-/-), deformitas (-/-), rinore (-/-)
5. Pemeriksaan Mulut : Bibir sianosis (-), tepi hiperemis (-), bibir kering (-),
lidah kotor (-), tremor (-).

6. Pemeriksaan Leher
Trakea : Deviasi trakea (-)
Kelenjar Tiroid : Tidak membesar
Kel. Limfonodi : Tidak membesar, nyeri tekan (-)

8
JVP : Meningkat (5+3 cm)

7. Pemeriksaan Dada
Paru-paru
Anterior
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi interkostal (-), ketinggalan gerak (-),
jejas (-), barrel chest (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan hemitoraks kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (+/+), RBK (-/-), wheezing (-/-)
Posterior
Inspeksi : Dinding punggung simetris, retraksi interkostal (-), ketinggalan
gerak (-), jejas (-), barrel chest (-), kelainan vertebre (-)
Palpasi : Vokal fremitus hemitoraks kanan sama dengan hemitoraks kiri
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), RBH (+/+), RBK (-/-), wheezing (-/-)

Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tampak di SIC VI 1 jari lateral
LMCS, P.Parasternal (-), P.Epigastrium (-)

Palpasi : Ictus cordis teraba di SIC VI 1 jari lateral


LMCS, kuat angkat (-)

Perkusi : Batas jantung


Kanan atas SIC II, 1 jari lateral LPSD
Kanan bawah SIC IV, 1 jari lateral LPSD
Kiri atas SIC II, 1 jari lateral LPSS
Kiri bawah SIC VI, 1 jari lateral LMCS
Auskultasi : S1 > S2 reguler, Gallop (+), Murmur diastolik
(+)

9
8. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi Kulit : tidak ada sikatriks, striae, vena terdilatasi
(caput medusae), spider navi
Tidak ada ruam dan lesi
Pada daerah umbilikus : tidak ada tanda imflamasi
dan hernia
Kontur rata, tidak skafoid dan buncit.
Abdomen simetris, tidak terlihat peristaltis maupun
pulsasi.
Auskultasi : Bising usus 5-7x/ menit
Tidak terdengar bruit
Tidak terdengar friction rubs pada hepar
Perkusi : Pekak sisi (-), pekak alih (-)
Palpasi : Undulasi (-), Nyeri tekan (-),
Nyeri lepas (-)
Hepar : Perkusi : peranjakan paru hepar (liver dullness)
normal.
Palpasi : Liver span meninggi sebesar 16 cm,
konsistensi kenyal, permukaan rata tidak berbenjol-
benjol, tepi lancip,suhu sama seperti suhu bagian
tubuh di sekitarnya, nyeri tekan (+)
Lien : Teraba tidak melampaui garis horizontal pertengahan
antara batas iga dan umbilicus

9. pemeriksaan extremitas

Ekstremitas Ekstremitas
superior inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - + +
Sianosis - - - -

10
Akral
+ + + +
hangat
Reflek
+ + + +
fisiologis
Reflek
- - - -
patologis

10.Pemeriksaan Limphonodi : Tidak teraba


11. Pemeriksaan turgor kulit :< 2 detik
12. Pemeriksaan Akral : Hangat

II.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Laboratorium tanggal 11 Mei 2018
Pemeriksaan Hasil Keterangan

Darah lengkap

Hb 10,8 menurun

Leukosit 7720 Normal

Hematokrit 35 Normal

Eritrosit 4.2 Normal

Trombosit 227.000 Normal

MCV 88.8 Normal

MCH 26 Normal

MCHC 30,8 Menurun

RDW 17.3 Meningkat

MPV 9.3 Menurun

Hitung jenis

11
Basofil 0.2 Normal

Eosinofil 1.9 Menurun

Batang 0.5 Menurun

Segmen 65 Normal

Limfosit 26.0 Normal

Monosit 5.8 Normal

Kimia klinik

Ureum 16.8 Normal

Kreatinin 0,70 Normal

Natrium 141 Normal

Kalium 4.6 Normal

Klorida 107 Normal

GDS 100 Normal

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 14 Mei 2018


Pemeriksaan Hasil Keterangan
Kimia klinik
Bilirubin total 4,20 meningkat
Biliruin direk 2.86 Meingkat
Bilirubin indirek 1.34 meningkat
Urine lengkap
Fisis warna kuning Kuning muda -kuning tua
Kejernihan jernih jernih
bau Khas khas
Urobilinogen 4.6 Normal
Glukosa 107 Normal

12
Bilirubin 100 Normal

Keton Negatif Negatif


Berat jenis 1.010 1.10-1.030
Eritrosit 2-5 negatif
PH 6,5 4,6-7,8
Protein Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Leukosit 2-4 Negatif
Epitel 0-1 negatif
Eritrosit 2-5 negatif
Silinder hialin Negatif Negatif
Silinder lilin Negatif Negatif
Silinder eritrosit Negatif Negatif
Silinder leukosit Negatif Negatif
Granuler halus Negatif Negatif
Granuler kasar Negatif Negatif
Kristal Negatif Negatif
Bakteri 0 Negatif
trikomonas Negatif Negatif
Jamur Negatif Negatif

1. Pemeriksaan rontgen thorax (14/05/18)

Gambar 1.1 Ro Thorax

13
Kesan: bronkhitis
Pan kardiomegali (LVH, LAH)

2. Pemeriksaan EKG
EKG tanggal 11/05/2018

3. Kesan : fibrilasi atrium

4. Hasil pemeriksaan USG tanggal 15 mei 2018


Kesan : mild hepatomegaly dengan pelebaran vena hepatika (ukuran +/- 1.26
cm) cenderung gambaran kongestif hepar
Tak tampak kelainan lain pada sonografi organ organ intraabdomen
tersebut di atas

II.5 Pemantauan Harian

Tanggal Subject & Object Assessment Plan


14-05-18 S : nyeri perut - abdominal - IVFD Nacl 0,9% 10 tpm
berkurang, tidak ada pain - inj. Furosemid 1 amp/24
mual dan muntah, - CHF jam
BAK warna seperti - Congestive - inj. Ranitidine 2x1 amp
teh, sesak nafas hepatopaty - spironolakton 25 mg 1-0-0
berkurang. - AF - valsatran 1x80 mg tunda

14
O : Ku/Kes : - kodein 2x10 mg
Sedang/CM - N acetylsistein 3x1
TD : 100/80 mmHg - digoxin 1x1
N : 112 x/menit - miniaspi 1x80 mg bila
R : 24 x/menit tidak ada perdarahan
S : 36,6 oC Konsul jantung
Abd: NT (+) perut Cek bilirubin
kanan atas

15-05-18 S : Bak masih seperti - Dispepsia - IVFD nacl 0,9% 10 tpm


teh, nyeri perut - CHF - O2 3 LPM
berkurang, tidak ada - Congestive - Cefixime 2x100 mg
mual dan muntah, hepatopaty - sukralfat syrup 3x1
batuk berkurang - AFRVR - inj. Furosemid 1 amp/24
O: - ISK jam  1 amp/12 jam
Ku/Kes : Sedang/CM - spironolakton 25 mg 1-0-0
TD : 100/80 mmHg - inj. Ondansentron 1 amp/ 1
N : 120 x/menit jam
R : 20 x/menit - inj. Ranitidine 2x1 amp
S : 36,2 oC - valsatran 1x80 mg  tunda
Abd: NT (+) perut - N acetyl sistein 3x1
kanan atas - digoxin 1x1  1x1/2

16-05-18 S : BAK seperti teh - dispepsia - IVFD nacl 0,9% 10 tpm


sudah berkurang, - CHF - O2 3 LPM
nyeri perut - congestive - Cefixime 2x100 mg
berkurang, nafsu hepatopaty - sukralfat syrup 3x1
makan membaik, - AFRVR - inj. Furosemid 1 amp/24
batuk sudah sangat -ISK jam  1 amp/12 jam
berkurang -Bronkitis - spironolakton 25 mg 1-0-0
Pasien BLPL - inj. Ondansentron 1 amp/ 1
Anjuran : kontrol jam
rutin - inj. Ranitidine 2x1 amp
- valsatran 1x80 mg  tunda
O: - N acetyl sistein 3x1
Ku/Kes : Sedang/CM - digoxin 1x1  1x1/2
TD : 110/80 mmHg
N : 100 x/menit
R : 30 x/menit Obat yang dibawa pulang :
S : 36,4 oC - Concor 1x2,5 mg
Abd: NT (+) - Codein 2x10 mg
epigastrium - Miniaspi 1x80 mg

15
II.6 Diagnosa Kerja
- Diagnosis kerja : Congestive Heart Failure
Diagnosis etiologi : hipertensi
Diagnosis anatomi : LVH
Diagnosis fungsional : NYHA III
- Diagnosis kerja : Congestive Hepatopaty
Stenosis mitral
Fibrilasi atrium
Bronkhitis

II.7 Penatalaksanaan
a. Farmakologi :
- inj. Furosemid 1 amp/12 jam
- spironolakton 25 mg 1-0-0
- digoxin 1x1/2
- Cefixime 2x100 mg
- N acetyl sistein 3x1
b. Non-Farmakologi :
 IVFD nacl 0,9% 10 tpm (balance cairan negatif)
 Minum obat teratur
 Restriksi konsumsi garam
 Retriksi konsumsi minum
II.8 Prognosis
Ad vitam : Dubia
Ad fungsionam : Dubia ad Malam
Ad sanationam : Dubia ad Malam

II.9 usulan pemeriksaan


Pada pasien CHF, terdapat pemeriksaan penunjang sebagai usulan diantaranya
ekokardiografi untuk mengetahui fraksi ejeksi jantung sehingga pengobatan dapat
lebih disesuaikan, dan pemeriksaan SGOT SGPT untuk mengetahui derajat
kerusakan hepar karena congestive hepatopaty.

16
BAB III
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang, diagnosis pada pasien


adalah gagal jantung kongestif disertai kongestif hepatopati.
1. Anamnesis
A. Nyeri perut kanan atas
Ketika pasien mengeluhkan nyeri, penting untuk mengidentifikasi lebih dalam
tentang nyeri yang dialami pasien.
O = onset. Pasien mengatakan nyeri perut sejak 5 hari SMRS. Dimana nyeri
timbul berangsur angsur/bertahap dan semakin memburuk. Nyeri terjadi terus
menerus sepanjang hari. Tidak terjadi tiba tiba seperti pada emboli paru.
L=lokasi, nyeri berlokasi di perut kanan atas. yang terkadang terasa menjalar
hingga ke pinggang belakang. Dapat difikirkan penyakit pada billiary tree, hepar,
paru, maupun ginjal.

Keterangan : algoritma dalam mengevaluasi pasien dengan nyeri perut


kanan atas

17
D =duration, nyeri berlangsung terus menerus tanpa perubahan intensitas.
Nyeri tidak terjadi hanya beberapa saat seperti billiary colic yang biasanya
berlangsung kurang dari 6 jam dengan nyeri yang sesuai peristaltik kandung
empedu,.
C=characteristic. Pada pasien nyeri terasa tumpul seperti pegal. Tidak ada nyeri
tajam seperti ditusuk (pleuritic chest pain) seperti pada emboli paru. nyeri tidak
“cekot-cekot” seperti pada billiary colic atau kolesititis. Nyeri dengan sensasi
pegal biasanya terjadi pada kapsul hepar yang teregang, bisa karena kongesti atau
infeksi (karena virus atau drug-related). Bisa juga ditemukan pada kanker kaput
pankreas (dull pain).
A = Agravating factor. apa yang menambah dan mengurangi nyeri. Nyeri
bertambah saat aktifitas berat dan berkurang bila istirahat. Nyeri tidak dipengaruhi
gerakan bernafas (emboli paru), Nyeri tidak bertambah setelah makan makanan
berlemak (akut pankreatitis, kolelitiasis).
R = radiating. Pada pasien nyeri cenderung menetap namun terkadang seperti
menjalar ke pungung belakang. Nyeri yang menjalar ke belakang bisa terjadi
karena pankreatitis akut, atau bersumber dari masalah ginjal (pielonefritis,

18
nefrolitiasis) apakah ada nyeri ketok sudut costofrenikus apa tidak (konfirmasi
melalui pemeriksaan fisik).
S=severity, seberapa burukkah nyeri pada pasien? Menurut pasien, skala nyeri
yang dirasakan adalah 3/10

Keluhan yang ada bersamaan dengan nyeri juga penting untuk ditanyakan, dari
anamnesis nyeri perut kanan atas, beberapa yang dapat melemahkan diagnosis
banding adalah sebagai berikut :
- Emboli paru : tidak ada pleuritic chest pain, tidak ada batuk darah, meskipun
ada sesak nafas dan batuk berdahak.
- Akut pankreatitis : makan makanan berlemak tidak menambah nyeri, tidak
disertai mual dan muntah, tidak disertai demam, meskipun nyeri merambat ke
punggung (charcot sign)
- Nefrolitiasis, pielonefritis : tidak ada BAK berdarah, tidak ada disuria, tidak
ada urgensi, tidak disertai demam dan mengigil
- Colitis, divertikulitis (usus besar yang melewati daerah kanan atas) : keluhan
tidak disertai BAB berdarah, tidak ada diare maupun konstipasi tidak ada
penurunan berat badan yang signifikan.
- Akut hepatitis (drug induced) : tidak ada riwayat penggunaan obat obatan
penghilang nyeri atau penurun panas (Asetaminophen), NSAID, aspirin.
- Viral hepatitis : tidak ada riwayat sakit kuning sebelumnya  bisa juga
dicurigai apakah pasien memiliki sirosis hepatis.
- Alcohol-hepatitis : tidak ada riwayat minum alkohol
Anamnesis akan lebih diarahkan pada nyeri perut kanan atas akibat billiary tract
dan hepar.

B. Ikterus
Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera atau jaringan lainnya (membran
mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat

19
kadarnya dalam sirkulasi darah. Ikterus sebaiknya diperiksa dibawah cahaya
terang saat siang hari, dengan melihat sklera mata.
“Pasien mengeluhkan mata berwarna kuning. Dapat diprediksi kadar bilirubin
pada pasien berkisar 2-2,5 mg/dl (34 sampai 43 umol/L)”
Dalam mengevaluasi pasien ikterus, harus dibedakan apakah hiperbilirubinemia
pada pasien merupakan tak terkonjugasi atau bilirubin terkonjugasi. Keluhan
pada pasien adalah air seni berwarna gelap seperti teh. Ginjal dapat
mengeluarkan diglukuronida tetapi tidak bilirubin unkonjugasi, oleh karena itu
masalah pada pasien adalah hiperbilirubinemia konjugasi.
Hiperbilirubinemia konjugasi dapat disebabkan oleh non kolestatik maupun
kolestatik. Penyebab non kolestatik seperti sindrom dubin-jhonson dan sindrom
rotor. Sedangkan penyebab kolestasis adalah intrahepatik (hepatitis, keracunan
obat, penyakit hati karena alkohol, hepatitis autoimun,sirosis hati bilier), dan
extrahepatik (batu duktus koledokus dan kanker pankreas, akut pankreatitis).
Manifestasi klinis dari kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik adalah urin
berwarna lebih kuning dan gelap, tinja pucat, gatal (pruritus) yang menyeluruh.

Pada pasien, dapat dirunut mengenai keluhan ikterusnya mulai dari :


- Onset : pada pasien onsetnya terjadi perlahan. Melemahkan kemungkinan
koledokolitiasis (tiba tiba). Ikterus yang perlahan juga bisa didapatkan pada
kanker kaput pankreas.
- Warna urin hitam : bisa ditemukan pada hepatitis, alcohol abuse pada hepar,
hepatotoxic, obstruksi bilier.
- Warna BAB pucat : bisa ditemukan pada keadaan obstruksi bilier. Pada pasien
tidak ditemukan BAB berwarna pucat atau dempul.
- Gatal pada kulit : pasien tidak mengeluhkan adanya gatal pada kulit. Gejala
ini biasa ada pada obstruksi bilier.
- Penurunan berat badan yang signifikan : biasanya terdapat pada kasus kanker
(kanker kaput pankreas, alcohol liver)
- Mudah bruishing : seperti pada kasus alkohol liver

20
Pendekatan pada pasien ikterus dapat juga dibedakan berdasarkan proses
metabolisme bilirubin. Karena keluhan pada pasien adalah warna urin yang gelap
seperti teh, kemungkinan masalahnya ada pada fase hepatik dan post hepatik
(setelah dibentuknya bilirubin konjugasi). Namun karena warna BAB tidak
pucat, masalah terbesar kemungkinan ada pada fase hepatik.
Beberapa diffrential diagnosis dari masalah pada hepatik = hepatitis virus,
alcohol liver, hepatotoxicity, hepatopaty,dll.

C. Sesak nafas
Menurut American Thoracic Society sesak nafas atau dispneu adalah pengalaman
subjektif dari ketidaknyamanan dalam bernafas yang terdiri dari sensasi kualitatif
yang berbeda-beda yang bervariasi dalam intensitas itu berasal dari interaksi
antara beberapa faktor fisiologis, psikologis, sosial, dan lingkungan, dan dapat
menyebabkan respon fisiologis dan perilaku sekunder. Empat penyebab mayor
dispneu adalah masalah pada cardiac, pulmo, campuran antara kardiak dan pulmo,
dan penyebab non kardiak/pulmo.
Cardiac
Congestive heart failure (right, left or biventricular)
Coronary artery disease
Myocardial infarction (recent or past history)
Cardiomyopathy
Valvular dysfunction
Left ventricular hypertrophy
Asymmetric septal hypertrophy
Pericarditis
Arrhythmias
Pulmonary
COPD
Asthma
Restrictive lung disorders
Hereditary lung disorders

21
Pneumothorax
Mixed cardiac or pulmonary
COPD with pulmonary hypertension and cor pulmonale
Deconditioning
Chronic pulmonary emboli
Trauma
Noncardiac or nonpulmonary
Metabolic conditions (e.g., acidosis)
Pain
Neuromuscular disorders
Otorhinolaryngeal disorders
Functional
Anxiety
Panic disorders
Hyperventilation

- Sesak nafas yang dialami pasien kemungkinan besar berasal dari masalah
jantung. Karena tidak ada riwayat mengi saat sesak nafas (meskipun pada
edema pulmo dapat terjadi asma cardiac yang mengeluarkan mengi), tidak
ada penyakit asma pada pasien dan keturunannya, tidak memiliki riwayat
alergi sebelumnya. Pasien juga tidak merokok maupun terpapar asap rokok
dirumahnya, dan dari pekerjaannya tidak berhubungan dengan polusi udara
sehingga melemahkan kemungkinan PPOK). Nyeri yang dirasakan pasien
hanya berskala 3-4/10 sehingga tidak sampai membuat pasien sesak nafas
untuk menahan nyerinya.
- Sesak nafas kemungkinan berasal dari masalah jantung karena pasien
mengeluhkan sesak nafas yang memburuk bila sedang beraktifitas berat,
seperti berjalan tak kurang dari 5-10 meter, sehabis menyapu dan hanya
mampu menaiki 1-2 anak tangga saja tanpa sesak. Intoleransi terhadap
aktifitas merupakan hal yang paling sering terjadi pada gagal jantung, namun
bukan gejala spesifik gagal jantung. Hal yang mendasari intoleransi pada
aktifitas adalah menurunnya curah jantung.

22
- Pasien harus tidur dengan 2 bantal karena akan sesak bila terlentang 
menandakan pasien memiliki ortopneu, yakni dispneu yang timbul ketika
pasien berbaring dan berkurang saat pasien bangkit ke posisi tegak atau
berdiri.
Apabila pasien melakukan aktifitas yang berat selain aktifitas sehari hari,
pergelangan kaki pasien akan membengkak. Edema adalah gejala klasik dari
gagal jantung. Edema mengacu kepada penimbunan cairan yang berlebihan
dalam jaringan interstisial dan tampak sebagai pembengkakan.

Pasien dapat dimasukkan pada klasifikasi gagal jantung NYHA II-III karena
memiliki keterbatasan aktifitas fisik karena sesak, dan berkurang bila
beristirahat.

23
2. Pemeriksan Fisik
A. General appearance : untuk menilai apakah pasien tampak kesakitan,
tampak tidak nyaman (“doesnt look good”) karena berkurangnya curah jantung,
tampak pucat/pallor karena anemia kronik akibat CHF, dll. Pasien tampak
sakit sedang, tidak tampak pucat, namun tampak kesakitan.
B. Tinggi badan, berat badan, BMI : perubahan berat badan dari hari ke hari
sangat baik digunakan untuk parameter status volume cairan pasien CHF.
Obesitas terutama meunjukkan adanya gangguan metabolik, dimana menjadi
faktor resiko dari penyakit terkait kardiovaskular dan gagal jantung.
C. Tanda vital. (pulse rate) merupakan gambaran kompensasi jantung dan
adekuatnya terapi beta bloker pada pasien. Regulasi dari nadi menunjukkan
bahwa pasien dalam sinum rhytm.
Pada pasien terdapat fibrilasi atrium, tidak adekuatnya kontrol terhadap
frekuensi ventrikel selama terjadi fibrilasi atrium bisa menimbulkan gagal
jantung dan memperburuk keadaan pasien terutama sesak nafas saat
aktifitas.
Perabaan pada arteri carotis dan femoral penting untuk mengetahui apakah
terdapat pulsus alternans atau pulsus paradoxus.
- Pulsus Alternans. Untuk mencurigai gagal jantung kiri, raba denyut nadi
khususnya untuk menemukan amplitudo yang berubah-ubah (alternans).
Biasanya pulsus alternans ini teraba paling jelas pada arteri radialis atau
femoralis. Manset tensimeter akan memberikan metode pemeriksaan yang
lebih sensitif. Sesudah menaikkan tekanan manset, turunkan tekanan

24
tersebut secara perlahan hingga mencapai ketinggian sistolik dan kemudian
di bawah ketinggian ini. Ketika melakukan hal ini, pasien harus bernapas
tanpa suara atau menghentikan napasnya dalam posisi pertengahan
respirasi, jika gejala dispnea menghalangi pemriksaan ini, bantulah pasien
untuk duduk dan menjuntaikan tungakinya di samping tempat tidurnya'
- Pulsus Porodoksus. jika Anda menemukan denyut nadi yang amplitudonya
bervariasi menurut respirasi atau jika Anda mencurigai kemungkinan
tamponade jantung (misalnya karena lerjadi peningkatan tekanan vena
jugularis, denyut yg cepat, serta dispneu) gunakan manset tensimeter untuk
Ketika pasien bernapas jika mungkin tanpa suara, turunkan tekanan manset
perlahan hingga ketinggian sistolik. Perhatikan ketinggian tekanan ketika bunyi
jantung pertama terdengar. Kemudian turunkan tekanan dengan sangat perlahan
sampai bunyi tersebut dapat didengar di sepanjang siklus pernapasan Perbedaan
antara kedua ketinggian ini dalam keadaan normal tidak lebih besar daripada 3
atau 4 mmHG.
Tekanan darah. Pada CHF terjadi penurunan tekanan darah yang signifikan.
Biasanya tekanan sistolik akan turun saat tekanan diastolik tidak berubah.
Pada gagal jantung akut, TD digunakan sebagai guide untuk memilih terapi
yang tepat seperti vasodilator, agen inotropik positif, vasopresor, atau alat
mekanik pada jantung. Untuk gagal jantung kronik, fungsi TD digunakan
sebagai parameter untuk menilai apakah terapi sudah adekuat, dengan target
terapi adalah tekanan sistolik tidak boleh lebih dari 120 mmhg.
Tekanan darah pada pasien adalah 100/80 mmhg setelah pemberian
digoxin.
Respirasi. Pada dewasa, RR>18 = takipneu. Perhatikan apakah terdapat pola
nafas chyne stokes yang menandakan adanya penurunan berat curah jantung,
dan dekompensasi persisten.
Saat pemeriksaan, RR pasien normal, pasien mengaku sesak bila
melakukan aktifitas seperti berjalan dari tempat tidur ke kamar mandi.
Suhu. Pada CHF derajat berat, terdapat vasokontriksi kutaneus sehingga
membuat ujung jari tangan dingin. Sebaiknya mengukur suhu pada permukaan

25
tubuh seperti di kepala, atau telinga. Atau dapat juga pada bagian Core tubuh
yakni di rectal, sublingual, atau voiding urine pasien.
Pada pasien suhunya adalah 36.6 derajat (forehead via temp. Tembak)
D. Vena leher. Pemeriksaan JVP. Dalam menghitung JVP, temukan terlebih
dahulu titik tertinggi osilasi pada vena jugularis interna. Tekanan vena yang
diukur melebihi 3 cm atau mungkin 4 crn di atas angulus sterni, atau yang
melebihi jarak total 8 crn atau 9 cm di atas atrium kanan, dianggap sebagai
kenaikan di atas nilai yang normal.
Pada pasien nilai JVP adalah 8 cm.

26
E. Pemeriksaan paru
Tipe pernapasan : trakeobronkial
1. inspeksi
tidak ada deformitas
pengembangan dinding dada statis kanan dan kiri = tidak ada kelainan
pengembangan dinding dada statis kanan dan kiri = tidak ada kelainan
2. palpasi
tidak ada nyeri tekan
tidak teraba massa
tes ekspansi dada : mengembang simetris
fremitus taktil : tidak ada penurunan maupun peningkatan hantaran getaran 
dalam batas normal
3. Perkusi
sonor pada lapang paru, dengan intensitas keras, nada relatif rendah, durasi
relatif lama
4. Auskultasi
-bunyi nafas : vesikuler : bunyi inspirasi berlangsung lebih lama dari dari pad
bunyi ekspirasi, dengan intensitas sedang, nada bunyi ekspirasi sedang.
- bunyi nafas tambahan : ronkhi basah halus, berkurang setelah dibatukkan.
Kesan : ronkhi basah halus yang berkurang setelah dibatukkan
kemungkinan bronkhitis atau ateletaksis.

27
F. Pemeriksaan jantung
1. Inspeksi
- ictus cordis : lokasi : ics 6 linea axilaris anterior sinistra,diameter ± 1,5 cm,
amplitudo lemah dan cenderung terus menerus, durasi 2/3 sistole.
2. perkusi
- kanan atas: SIC II Linea Para Sternalis Dextra
- Kanan bawah: SIC IV Linea Para Sternalis Dextra
- Kiri atas: SIC III Linea Para Sternalis Sinistra
- Kiri bawah: SIC VI Linea axilaris anterior Sinistra
Kesan : pada pasien perkusi jantungnya melebar ke kaudolateral 
hipertrofi ventrikel kiri
3. Auskultasi
S1 > S2, terdapat murmur
-saat terjadinya : saat diastolik
- lokasi : terbatas pada apex
- bentuk :

- penjalaran : sedikit ke daerah sekitar apex


- intensitas : derajat 2
- nada : rendah
Kesan : stenosis mitral

G. Pemeriksaan abdomen
1. Inspeksi
kulit : jaringan parut (sikatriks), striae/stretch marks, vena berdilatasi, ruam
dan lesi
umbilikus : dilihat kontur dan lokasinya, tanda imflamasi, dan hernia
kontur abdomen : rata, bulat, buncit (protuberan) atau skafoid

28
Apakah abdomen simetris?, apakah terdapat massa atau organ yang dapat
diraba?
Peristalsis : kecurigaan obstruksi intestinal
Pulsasi : bisa saja terlihat pulsasi aorta normal pada daerah epigastrium
Pada pasien tidak terlihat adanya sikatriks, striae, venektasi, dan perut
terlihat bulat.

2. Auskultasi
bising usus normal 5-34 kali permenit.
bruits pada pembuluh darah.lokasi untuk mendengarkannya sebagai berikut

untuk penderita hipertensi, biasanya terdapat bruits pada daerah epigastrium.


Penderita tumor hepar biasanya terdapat bunyi gesekan/friction rubs pada daerah
hepar dan lien.
Pada pasien bising usus normal yakni 10x permenit, tidak terdapat bruits, dan
tidak terdapat friction rubs

29
3. Perkusi
berfungsi untuk menilai jumlah serta disribusi gas di dalam abdomen dan mengenali
kemungkinan adanya massa yang padat ataupun berisi cairan.
3.1 Hati

Cara : ukur rentang vertikal pekak hati pada linea midclavikularis kanan. Perkusi
pada daerah timpani dibawah umbilikus ke arah hati, bila telah ketemu bunyi redup,
artinya batas bawah hati ditemukan (margo inferior hepar) pada linea tersebut.
Lalu pada tepi atas pekak hati, perkusi mulai dari sonor paru ke bawah menuju
pekak hati.

Cara ukur liver dullness : setelah dilakukan perkusi, ukur dalam satuan sentimeter
hati pada linea midclavicularis dan linea midsternalis. Dengan jarak normal sebagai
pada gambar.
Pada pasien, terdapat perbedasaran ukuran hati dimana jarak pada linea
midcalavicularis sekitar 16 cm pada linea midclavicularis kanan dan 12 cm
pada linea midsternalis.

30
4. Palpasi
4.1 Palpasi Ringan
meraba abdomen dengan lembut untuk mengidentifikasi nyeri tekan, resistensi otot,
dan beberapa organ serta masa yang letaknya superfisial.
Pada pasien tidak ditemukan rigiditas muskular, dan terdapat rasa kurang
nyaman saat abdomen kanan atas pasien dilakukan palpasi ringan.
4.2 Palpasi Dalam
dilakukan untuk menentukan batas batas massa abdomen. Dilakukan pada keempat
kuadran abdomen.

Pada pasien tidak ditemukan adanya massa intraabdomen, namun teraba


nyeri tekan pada perut kanan atas yang tidak dipengaruhi pola nafas.

H. Pemeriksaan Asites
H.1 shifting dullness
langkah pertama adalah membuat peta antara bunyi timpani dan redup, kemudian
pasien disuruh untuk memutar tubuhya ke salah satu sisi, dan dilakukan perkusi lagi
untuk kembali menandai tanda perbatasan perubahan suara tersebut.

31
Pada pasien, tidak terdapat adanya perubahan suara selain timpani pada
seluruh lampang abdomen.

H.2 tes untuk gelombang cairan


penekanan kuat pada garis tengah abdomen dengan kedua tangan agar
menghentikan transmisi gelombang melalui jaringan lemak. Kemudian ketuk salah
satu pinggang pasien sembari meraba pada sisi pinggang pasien yang satunya. Bila
positif akan teraba transimsi getaran cairan.
Pada pasien, pemeriksaan ini negatif.

I. ekstremitas
Pada pasien terdapat edema pada kedua tungkai. Edema biasanya terjadi pada gagal
jantung karena volume overload, meskipun edema dapat disebabkan oleh banyak
faktor. Edema tergantung grativasi dan biasnaya dimulai pada kaki dan pergelangan
kaki. Umumnya edema pada gagal jantung terjadi pada pergelangan dan kaki kiri
terlebih dahulu, lalu mengenai seluruh kaki,bahkan hingga genitalia serta dinding
abdomen. Edema berkepanjangan apalagi bila bersamaan dengan insufisiensi vena,
akan membuat hiperpigmentasi dan penebalan pada kulit kaki. Edema dapat pula
disebabkan karena hipoalbuminemia, nutrisi yang tidak adekuat, protein-losing
nefropathy, atau enteropathy.
Pada pasien, kedua tungkai membengkak.

3. Pemeriksaan penunjang
3.1 Rontgen

32
- Apex pulmo bilateral tampak tenang  tidak ada kondisi patologis seperti
TB paru yang sering ditemukan pada apex
- Corakan vaskular meningkat kasar  dikatakan meningkat bila lebih dari
1/3 lateral.
- Sinus costrofrenikus dextra sinistra lancip -> tidak ada efusi pleura
- CTR, 0,81 , dimana CTR (Cardio Thoracic Ratio), normalnya pada orang
dewasa adalah 48%-50% Saja,
81% menandakan adanya kardiomegali. CTR dihitung dengan rumus a + b
/c

- Sistema tulang intak, tidak tampak lesi litik atau sklerotik.


Kesan pada pasien :
Bronkhitis
Pan kardiomegali (LVH, LAH)
Sistema tulang tervisualisasi baik

3.2 EKG
Langkah dalam pemeriksaan EKG adalah sebagai berikut :
- Frekuensi jantung

Gambar : lead II ada EKG pasien


Jarak dua puncak R pada lead II terdiri dari 3 kotak besar, sehingga 300/3 = 100
kali permenit

33
- Irama jantung
Jarak R ke R relatif tidak sama, menandakan ireguler
Gelombang P tidak normal
Gelombang P diikuti gel QRS
Interval PR tidak dapat dinilai
Kesan : aritmia atrium
- Aksis jantung
Aksis normal berada pada jarak antar -30 derajat s/d 110 derajat.

Untuk menentukan aksis jantung, cari terlebih dahulu sadapan yang


kompleks QRS nya hampir bifasik, yang artinya defleksi positif dan
negatifnya tampak setara.
Pada EKG pasien, identifikasi terlebih dahulu arah penjalaran listrik
jantung
Lead I = positif
Lead II = positif
Lead III = positif
Lead aVF = positif
Lead aVR = negatif
Lead aVL = bifasik
Karena lead aVL bifasik pada pasien, berarti aksis jantung berada pada -150
derajat s/d 30 derajat didepan lead aVL. Namun karena lead I dan avF
sampai lead III masih positif, berarti arah jantung masih ke kanan, namun
tidak lebih dari 180 derajat karena lead aVR nya negatif, berati menjauhi

34
arah aVR, kemungkinan besar aksisnya berada pada +90 hingga +180
derajat, yang artinya terdapat hipertrofi ventrikel kiri

3.3 hasil pemeriksaan USG


Hal-hal yang penting yang harus diperhatikan waktu melakukan
USG hati adalah:
- Permukaan hati : Parameter ini menurut penelitian paling besar artinya.
Permukaan hati dapat bersifat : Rata (smooth), Tidak rata lagi (fine
irrigular), Nodular
- Tepi dari hati (liver edge) : Tajam rata (sharp smooth), Tajam tidak rata (
sharp irrigular), Tumpul rata ( blunt smooth), Tumpul tidak rata ( blunt
irrigular)
- Ukuran hati : Normal, membesar atau mengkerut.
- Echolevel : Hypoechoic ( echo rendah ) atau sering disebut dark liver,
Isoecho (echo normal), Slight hyperechoic(echo agak meningkat),
Hyperechoic (echo tinggi) sering juga disebut bright liver. Dark
liver didapatkan pada hepatitis acut karena udema hati sehingga mudah
meneruskan gelombang suara.

35
- Dinding pembuluh darah : Tidak tampak, Tampak jelas, Reflektif (putih
mengkilat)
- Vena porta : Ukuran maksimal 12 mm, Pembuluhnya patent atau ada
trombus, Berkelok-kelok ?
- V. Hepatika : Melebar (kongestif) atau normal

Pada pasien  Hepar : ukuran membesar ringan, liver tip lancip,


parenkim homogen, ekogenistas parenkim normal, tak tampak nodul,
vena hepatika tampak melebar (ukuran +/- 1,26 cm= 12,6 mm) dan
vena porta tidak melebar.
Kesan : kongestif hepar, karena adanya dilatasi vena hepatika dan
ukurannya yang membesar. (Ukuran normal diameter vena hepatika
: 5.6 to 6.2 mm).

4. Diagnosis
- Diagnosis kerja : Congestive Heart Failure
Diagnosis etiologi : hipertensi
Diagnosis anatomi : LVH
Diagnosis fungsional : NYHA III
- Diagnosis kerja : Congestive Hepatopaty
Aritmia
ISK
Bronkhitis

5. Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan gagal jantung adalah untuk mengurangi morbiditas
dan mortalitas. tindakan pencegahan dan terapi preventif perburukan penyakit
jantung masih merupakan bagian penting dari alur tatalaksana penyakit
jantung.

36
Bedasarkan alur tatalaksana dibawah ini, pasien dengan gagal jatung NYHA
deraja II sampai IV yang simptomatik diberikan diuretik untuk gejala atau
tanda kongestinya, kemudian selanjutnya melihat respon terapi sebagai
berikut :

37
- Duretik

38
Pada pasien diberikan furosemid (diuretik loop) karena efisiensi nya yang lebih
baik dibanding thiazid, serta efek diuresis maupun natriuresisnya yang lebih
tinggi.

- Furosemid 1 amp/12 jam (dosis harian 20-40 mg)


1 amp ~ 2 ml ~ 20 mg
- Spironolakton (diberikan kombinasi untuk mengatasi edema yang resisten)
25 mg 1 kali sehari
- Digoxin 1x1/2
Diindikasikan untuk pasien gagal jantung dengan fibrilasi atrium. Dosis
awal 0,25 mg 1x/hari pada pasien dengan fungsi ginjal normal. Pada pasien
ini diberikan digoxin 1x1 tab ~ 0,25 mg

39
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

III.1 Congestif Heart Failure


III.1.1 Definisi
Gagal jantung didefinisikan sebagai kondisi dimana jantung tidak lagi dapat
memompakancukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan atau
tanpa penyakit jantung. Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan fungsi
diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian preload dan
afterload. Keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien. Gagal jantung
dapat dibagi menjadi gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan. Gagal jantung
juga dapat dibagi menjadi gagal jantung akut, gagal jantung kronis dekompensasi,
serta gagal jantung kronis (Maggiono, 2007).
III.2 Etiologi

Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi cukup
penting untuk mengetahui penyebab dari gagal jantung, di negara berkembang
penyakit arteri koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak sedangkan
di negara berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit jantung
katup dan penyakit jantung akibat malnutrisi. Pada beberapa keadaan sangat sulit
untuk menentukan penyebab dari gagal jantung. Terutama pada keadaan yang
terjadi bersamaan pada penderita. Penyakit jantung koroner pada Framingham
Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada
wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor
yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat
badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan
sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung. Hipertensi telah
dibuktikan meningkat-kan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian.
Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme,
termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan
disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya
infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial

40
maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel
kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung (Baker, 2005).

III.3 Patofisiologi

Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada


jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta
perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan
pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini
menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin –
Angiotensin – Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic
peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas
jantung dapat terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan padabaroreseptor
menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung,
meningkatkankontraktilitas serta vasokons-triksi perifer (peningkatan
katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan
pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan
terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem
RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan
aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol
eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat
saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron.
Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi
kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi
endotel pada gagal jantung (Hauser, 2009).

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng
memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial
Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan
menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide
(BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan
ANP. C-type natriureticpeptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan
saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain
natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan

41
kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus
vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena
peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitianyang
menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah
digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung. Vasopressin merupakan
hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang
berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan
menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh
darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek
vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi
natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan
derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary
arterycapillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah
dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja
menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin.
Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan
kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri
menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering
adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan
kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit
jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 – 40 % penderita
gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita
gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul
bersamaan meski dapat timbul sendiri (Braunwald et al., 2009).

III.4 Diagnosis
Kriteria Framingham adalah kriteria epidemiologi yang telah digunakan secara
luas. Diagnosis gagal jantung kongestif mensyaratkan minimal 2 kriteria mayor
atau satu kriteria mayor disertai 2 kriteria minor. Kriteria minor tersebut dapat
diterima jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan penyakit seperti
hipertensi pulmonal, ppok, sirosis hati atau sindroma nefrotik.
Tabel 1. Kriteria Framingham
Kriteria mayor Kriteria minor

42
-Paroxysmal nocturnal dyspnea -Edema malleolus bilateral
-Distensi vena leher -Dyspnea pada exersi biasa
-Krepitasi -Takikardia(120/min)
-S3 gallop -Batuk nocturnal
-Kardiomegali (rasio kardio toraks >50% -Hepatomegaly
pada rontgen torak)
-Edema pulmonal akut -Efusi pleura
-Reflux hepatojugular -Penurunan dalam kapasitas
vital dalam 1/3 dari maksimal
-Peningkatan tekanan vena sentral (16cm
pada atrium kanan)
-Penurunan berat badan 4,5kg dalam 5
hari sebagai respon terhadap pengobatan

Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda
seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali,
edema tungkai. Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis
adanya gagal jantung antara lain fotothorax, EKG 12 lead, ekokardiografi,
pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru
(Braunwald et al., 2009). Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya
pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongestivena
pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal. Dapat pula tampak gambaran
efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian
kanan (Braunwald et al., 2009).
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir
seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai
pada 10% kasus. Gambaran yangsering didapatkan antara lain gelombang
Q,abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi
atrium (Braunwald et al., 2009).

Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada


gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai

43
struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah,
semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan
dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita
dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak
terkontrol, atau aritmia) (Braunwald et al., 2009).Pemeriksaan darah perlu
dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan
untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung
yangberat akibat berkurangnya kemampuanmengeluarkan air sehingga dapat
timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan
adanya gagal jantung yang berat. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian
diuretic tanpa suplementasi kalium dan obat potassiumsparring. Hiperkalemia
timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-
inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati
(bilirubin,AST dan LDH) gambarannya abnormal karenakongesti hati.
Pemeriksaan profil lipid, albuminserum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan
(Braunwald et al., 2009).

III.5 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penatalaksanaan


secara nonfarmakologis dan secara farmakologis. Penatalaksanaan gagal jantung
baik itu akut dan kronik ditujukan untuk memperbaiki gejala dan prognosis,
meskipun penatalaksanaan secara individual tergantung dari etiologi serta beratnya
kondisi. Sehingga semakin cepat kita mengetahui penyebab gagal jantung akan
semakin baik prognosisnya (Braunwald et al., 2009).

Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain adalah


dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan serta
pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti pengaturan
nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita dengan kegemukan. Pembatasan
asupan garam,konsumsi alkohol, serta pembatasan asupan cairan perlu dianjurkan
pada penderita terutama pada kasus gagal jantung kongestif berat. Penderita juga
dianjurkan untuk berolahraga karena mempunyai efek yang positif terhadap otot
skeletal, fungsi otonom, endotel serta neurohormonal dan jugaterhadap sensitifitas

44
terhadap insulin meskipun efek terhadap kelangsungan hidup belum dapat
dibuktikan. Gagal jantung kronis mempermudah dan dapat dicetuskan oleh infeksi
paru, sehingga vaksinasi terhadap influenza dan pneumococal
perludipertimbangkan (Braunwald et al., 2009).

Penatalaksanaan gagal jantung kronis meliputi penatalaksaan non farmakologis


danfarmakologis. Gagal jantung kronis bisa terkompensasi ataupun dekompensasi.
Gagal jantung terkompensasi biasanya stabil, dengan tandaretensi air dan edema
paru tidak dijumpai. Dekompensasi berarti terdapat gangguan yangmungkin timbul
adalah episode udema paru akut maupun malaise, penurunan toleransi latihan
danuntuk menghilangkan gejala dan memperbaiki kualitas hidup. Tujuan lainnya
adalah untuk memperbaiki prognosis serta penurunan angka rawat (Braunwald et
al., 2009).

Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid dengan dosis 40 mg-80 mg


IV/24 jam. Hal ini akan menyebabkan venodilatasi yang akan memperbaiki gejala
walaupun belum ada diuresis. Loop diuretik juga meningkatkan produksi
prostaglandin vasodilator renal. Efek ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor
seperti obat antiflamasi nonsteroid, sehingga harus dihindari bilamemungkinkan.
Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin dengan dosis 2,5-5 mg IV / 24
jam,hal ini penting dalam penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat
menurunkankecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen.
Opiat juga menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru.
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi preload serta
tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasiendengan angina serta gagal
jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator vena dan pada dosis yang
lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri termasuk arteri koroner. Sehingga
dosis pemberian harus adekuat sehingga terjadi keseimbangan antara dilatasi vena
dan arteri tanpa mengganggu perfusi jaringan (Braunwald et al., 2009).Sodium
nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan pada gagal
jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai krisis
hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat dan gangguan
fungsi hati. Dosis 0,3 – 0,5 μg/kg/menit (Braunwald et al., 2009).

45
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator.
Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal, dapat
menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar epinefrin,
aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena menurunkan tekanan
pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung, meningkatkan stroke volume
karena berkurangnya afterload. Dosis pemberiannya adalah bolus 2 μg/kg dalam 1
menit dilanjutkan dengan infus 0,01 μg/kg/menit (Braunwald et al., 2009).

Bila penderita datang dengan hipertensi emergensi pengobatan bertujuan untuk


menurunkan preload dan afterload. Tekanan darah diturunkan dengan
menggunakan obat seperti loop diuretik intravena, nitrat atau nitroprusside
intravena maupun antagonis kalsium intravena (nicardipine). Loop diuretik yang
sering digunakan adalah furosemide dengan dosis diberikan dengan dosis 40-80 mg
/24 jam IV pada penderita dengan tanda kelebihan cairan (Braunwald et al., 2009).

Penderita gagal jantung yang datang dengan Aritmia jantung harus diterapi.
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra aorta,
pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator, ventricular assist
device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita gagal jantung berat atau
syok kardiogenik yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan, disertai
regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel. Pemasangan pacu jantung
bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan mempertahankan sinkronisasi
atrium dan ventrikel, diindikasikan pada penderita dengan bradikardia yang
simtomatik dan blok atrioventrikular derajat tinggi. Implantable cardioverterdevice
bertujuan untuk mengatasi fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular
Assist Device merupakan pompa mekanis yang mengantikan sebagian fungsi
ventrikel, indikasi pada penderita dengan syok kardiogenik yang tidak respon
terhadap terapi terutama inotropik (Braunwald et al., 2009).

Pada penderita gagal jantung konis obat – obat yang biasa digunakan antara
lain: diuretik (loop danthiazide), angiotensin converting enzyme inhibitors, beta
blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol),digoxin, spironolakton, vasodilator
(hydralazine/nitrat), antikoagulan, antiaritmia, serta obat positif inotropik. Obat-
obatan pada penanganan gagal jantung kronis:

46
 Diuretik
Bilamana digunakan sebagai monoterapi, tingkat keefektifan mencapai kira- kira
30-40% dari pasien- pasien dan paling membantu untuk menurunkan tekanan
darah sistolik. Harga murah dan berdasarkan hasil meta- analisa menunjukkan
terapi diuretic mampu menurunkan kadar mortalitas kardiak dan juga stroke.
Juga merupakan terapi antihipertensi efektif pada golongan tua (Braunwald et
al., 2009).
 Angiotensin- converting enzyme inhibitor
ACE-I bertindak sebagai agen pemblokir konversi angiotensin I inaktif menjadi
angiotensin II. Agen ini mempunyai kadar sukses 50% sebagaimonoterapi dan
bila digunakan sebagai terapi kombinasi dengan diuretic dosis rendah, beta
bloker atau calcium channel blocker. ACE-I amatlah berkesan dalam
mengontrol tekanan darah pada hamper 80% pasien (Braunwald et al., 2009).

 Beta-bloker
Penggunaan monoterapi beta- bloker efektif terhadap 50-60% pasien, terutama
di kalangan yang dengan system renin- angiotensin yang teraktivasi.Obat ini
menurunkan tekanan darah dengan menurunkan denyut jantung serta
menurunkan kontraktilitas jantung serta curah jantung (Braunwald et al., 2009).
 Mineralokortokoid/ aldosterone receptor antagonist
Spironolactone dan eplerenone menblok reseptor yang berikatan dengan
aldosterone dan kortikosteroid yang lain (Braunwald et al., 2009).
 Angiotensin receptor blocker
Agen ini secara selektif memblokir reseptor angiotensin II, memberikan efek
vasodilatasi yang mirip dengan ACE-I.agen ini sering digunakan jika pasien
tidak toleran terhadap ACE-I (Braunwald et al., 2009).
 Ivabradine
Ivabradine adalah obat yang meninhibisi kanal If di nodus sinus. Obat in hanya
menurukan denyut jantung pada pasien dengan ritme sinus (tidak menurunkan
denyut ventrikel pada fibrilasi atrial (Braunwald et al., 2009).

 Digoxin dan glikosida digitalis lainnya

47
Pada pasien dengan simptomatik gagal jantung dan fibrilasi atrial, digoxin
dapat membantu menurunkan kecepatan ventrikel. Digoxin juga dapat
digunakan pada pasien dengan gagal jantung dan ejeksi fraksi jantung kiri
<40% Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 – 2
l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring
jangka pendek dapat membantu perbaikan gejalakarena mengurangi
metabolisme sertameningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan
perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan
diberikan pada penderita dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik
berat dengan dilatasi ventrikel (Braunwald et al., 2009).

III.6 Prognosis
Prognosis gagal jantung yang tidak mendapat terapi tidak diketahui. Sedangkan
prognosis pada penderita gagal jantung yang mendapat terapi yaitu (Braunwald et
al., 2009).
 Kelas NYHA I : mortalitas 5 tahun 10-20%
 Kelas NYHA II : mortalitas 5 tahun 10-20%
 Kelas NYHA III : mortalitas 5 tahun 50-70%
 Kelas NYHA IV : mortalitas 5 tahun 70-90%

48
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Alvarez, A. & Mukherjee, D. 2011. Markedly increased serum aspartate


aminotransferase activity in congestive heart failure. Clin Biochem. Vol
16(2) 76-8
Baker, Keith. 2005. Congestive Heart Falure and its Pharmacological Management. HST.
151.1-7
Bongartz LG, Cramer MJ, Doevendans PA, Joles JA, Braam B. The severe cardiorenal
syndrome:’Guyton revisit-ed’. Eur Heart Jour 2004 Nov 30;26(1):11-7

Braunwald E, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, et.al.
2009. Cardiology. In: Harrison’s manual of medicine 17th ed. USA:
McGraw Hill.
Gray, H, dkk., 2007. Lecture Notes Kardiologi. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Hidayat S. Interaksi Kardiorenal : Implikasi Terapi. Dep Cardiology & Vascular Medicine.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2010. Available from:
http://www.kardiologi-ui.com/newsread.php?id=354.

Leman, Saharman. Regurgitasi Aorta. In: Ilmu Penyakit Dalam FK UI. Sudoyo, Aru W.
Ed.IV. Penerbitan IPD FK UI. Jakarta: 2006. 1578-1580

Maggioni AP. 2005. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological
management of chronic heart failure. European Heart Journal Vol 15.

Manurung, D. 2009. Regurgitasi Mitral. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta :
PAPDI, 1679-1679.

McNamara, DM. 2005. Neurohormonal and cytokineactivation in heart failure. In:


Dec GW, editors.Heart failure a comprehensive guide todiagnosis and
treatment. New York: MarcelDekker;.p.117-36.
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Nafas Pneumonia pada Anak, Orang Dewasa,
Usia Lanjut, Pneumonia Atipik dan Pneumonia Atipik Mycobacterium. Jakarta :
Pustaka Obor Populer.
Muttaqin, Arif. 2009. Pengantar Asuham Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem
Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika.

49
Otto CM. Clinical Practice: Evaluation and Management of Chronic Mitral Regurgitation.
NEJM [ cited 2001 September 6]. Available from :
URL:http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMcp003331. Accessed April 20,
2018.

PDPI (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia). 2003. Pneumonia Komuniti. Pedoman


Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta : PDPI.
PERKI (Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia). 2015. Pedoman
Tatalaksana Gagal Jantung. Jakarta : PERKI.

Price, Sylvia A 1994. Gangguan Fungsi Mekanis Jantung dan Bantuan Sirkulasi. Dalam
:Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit. EGC.Jakarta. 582 – 593)
dan(AHA.Heart disease and stroke 2004 update. Dallas: American Heart
Association, 2004.

Rahimtoola SH, Enriquez SM, Schaff HV. 2009.Mitral valve disease:mitral


regurgitation. In: Valentine F, Alexander RW. editors. Hurst’s the heart. 10th
ed New York : McGraw-Hill.Vol 23(7).
Rilantono, Lily Ismudiati. 2004. Buku Ajar Kardiologi. Jakarta: Gaya Baru.

Rodeheffer R. 2005. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and restrictive).


In: Dec GW, editor. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and
treatment. New York: Marcel Dekker

Ronco C, Haapio M, House AA, Anavekar N, Bellomo R.Cardiorenal syndrome. J. Am. Coll.
Cardiol2008;52:1527-39.

Thomas,J. & Tanya M. 2012. Buku Saku Oxford Pemeriksaan Fisik & Ketrampilan
Praktis. Jakarta: EGC

Udjianti, Wayan Juni. 2010. Keperawatan Kardiovaskuler. Jakarta: Salemba Medika

Walsh, RA. 2011. Molecular and cellular biology of the normal, hypertrophy, and
failing heart. In: Valentine F, Alexander RW. editors. Hurst’s the heart. 10th
ed. New York : McGraw-Hill. Vol 115 (23).
Widjaja, J. 2011. Mekanisme Terjadinya Nyeri Kepala Primer. Jurnal Ilmiah
Kedokteran Wijaya Kusuma. Vol 1(2).

50

You might also like