You are on page 1of 3

Mohon maaf sebelumnya, karena peminat Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) yang sangat tinggi

melalui Blog I-I, maka saya secara khusus menuliskan kritikan yang semoga dapat dipahami baik
secara akademik maupun strategis dalam proses pembinaan insan Intelijen Indonesia melalui STIN.

Bacalah baik-baik kritikan saya ini, dan jangan dipandang sebagai sebuah ancaman terhadap
eksistensi STIN, tetapi berpikirlah dalam jangka panjang demi kiprah Intelijen Indonesia yang
profesional.

Kritik saya adalah sbb:

Pertama, STIN bagi saya hanya sebuah jalan pintas perbaikan sumber daya insan intelijen yang
memiliki berbagai celah yang disebabkan kecerobohan pimpinan dalam memilih proses pembinaan
insan intelijen yang cenderung tersentral dan militeristik. Kelemahan yang dihadapi insan intelijen
alumni STIN adalah justru karena identitas background pendidikannya dari STIN, selama 4 tahun
berada didalam lembaga pendidikan formal setingkat strata I dengan gelar sarjana intelijen, apakah
hal ini masuk akal dalam teori-teori dasar intelijen? Saya sungguh-sungguh sangat kasihan dan
prihatin dengan gerak langkah adik-adik yang akan sangat berat karena terlalu lama terasingkan dari
sistem sosial pendidikan yang wajar misalnya di Universitas umum. Tidak ada satupun lembaga
intelijen di dunia yang melakukan kecerobohan sebagaimana di Indonesia dengan proyek STIN. Pada
akhir tahun 1970-an saya pernah dilatih CIA dan pada tahun 1980-an saya pernah menyaksikan
sistem pendidikan di Mossad, sangat jauh dari apa yang dirancang oleh LetJen (Purn) Hendropriyono
yang haus ilmu namun kebablasan karena kurang memperhitungkan masa depan lulusan STIN.
Belajar intelijen secara akademik akan selalu bersifat akademik dengan segala metode ilmiahnya,
mempraktekan intelijen adalah seperti profesi yang memerlukan latihan, praktek, yang kemudian
berproses dalam kematangan profesionalisme. Selamanya seorang insan intelijen bersifat tertutup
dengan jutaan cover yang melindunginya, lalu bila kita memperhatikan sarjana intelijen dari lembaga
pendidikan yang dikelola oleh lembaga resmi intelijen, dimana letak cover kehidupannya, track
recordnya, sejarahnya, dll. sangat sulit bukan? Itulah sebabnya saya kasihan, dan Blog I-I sangat
terbuka untuk menolong adik-adik STIN untuk dapat survive di dunia yang kejam, bukan hanya di
dalam institusi melainkan di dunia nyata baik di dalam maupun di luar negeri.

Kedua, karena nasi sudah menjadi bubur, dimana STIN sudah berdiri, dikenal luas dan mulai menjadi
sasaran cita-cita generasi muda Indonesia karena daya tariknya yang luar biasa, tentunya perlu
dipikirkan jalan pembinaan yang meyakinkan untuk menciptakan cover kehidupan yang akan
membangun profesionalisme lulusan STIN, sebuah tugas yang tidak mudah. Saya sendiri menduga,
betapapun beratnya lulusan STIN untuk membangun kredibilitas jutaan cover kehidupannya, semua
akan berpulang kepada individu masing-masing, dengan kata lain jangan mengharapkan institusi
akan terus-terusan memfasilitasi proses pengembangan insan intelijen alumni STIN. Akan beruntung
apabila adik-adik STIN berada dibawah pembinaan Spy Master yang kaya pengalaman, tetapi
bagaimana bila anda jatuh dibawah pembinaan bahkan oleh senior intelijen yang tidak
berkualitas....ya saya tegaskan tidak berkualitas. Anda akan hancur dalam singkat, mengalami
demoralisasi, menjadi frustasi, dan kecewa dengan kenyataan.

Ketiga, secara kualitas bolehlah saya katakan lulusan SMA yang diterima STIN adalah putra-putri
terbaik Indonesia. Kemudian mengalami proses pendidikan yang luar biasa, teori dan teknik yang
mutakhir. Namun saya menduga akan miskin inspirasi, kurang semangat, dan sering kehilangan arah,
bahkan muncul kecenderungan untuk semena-mena serta kurang menghayati makna menjadi insan
intelijen yang mengabdikan diri hanya untuk kepentingan rakyat, bangsa, negara, melalui
penyusunan produk intelijen untuk single client, the President. Saya hanya khawatir kualitas terbaik
tersebut akan terkooptasi oleh budaya pembusukan yakni menggunakan ilmu intelijen untuk
kepentingan pribadi, kelompok dan politik tertentu, serta terkungkung dalam paradigma ketakutan
dengan mengedepankan ancaman, sampai-sampai lupa bahwa tidak semua aspek dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara harus dilihat dari sisi ancaman. Benar bahwa waspada adalah kunci
keselamatan, tetapi intelijen sebagaimana artinya adalah kelompok manusia cerdas yang dapat
melihat, menilai dan memperkirakan serta memiliki alternatif jalan keluar yang tepat bagi negara.

Keempat, STIN tidak ubahnya sama dengan sekolah-sekolah milik Departemen seperti STAN, STIS,
STSN, STPDN, dll yang diharapkan dapat menjadi sumber dari tenaga-tenaga profesional untuk
memajukan organisasi. Hanya saja berbeda dengan lembaga yang lebih terbuka, akan sangat sulit
bagi seseorang yang menyandang keilmuan intelijen untuk membangun kerahasiaan dirinya yang
sesungguhnya, atau dengan kata lain sejak lahirnya sudah memiliki label intelijen. Berbeda dengan
yang dilakukan oleh Mossad dan FSB yang hampir seluruh operatornya adalah tentara pilihan dari
yang paling terpilih, kemudian membangun identitas baru yang disiapkan secara khusus dan benar-
benar lahir dalam suatu identitas baru. Berbeda juga dengan model pendidikan intelijen Barat
dengan dua contoh CIA dan MI6 yang merekrut lulusan terbaik dari universitas terbaik dari berbagai
bidang, kemudian memberikan bekal pendidikan intelijen khusus selama periode tertentu, mulai
dari 3 bulan untuk standar posisi clerical, hingga tahunan dan kekhususan yang dititipkan kepada
universitas terbaik di masing-masing negara (AS, Inggris). Saya pernah melakukan pengawasan
khusus dengan networking pemerhati Indonesia, bahwa sejumlah agen analis CIA dan MI6 belajar di
Indonesia dan Australia, semua sangat normal dan bahkan bersahabat dengan banyak orang
Indonesia. Perbedaan yang sangat mendasar adalah dalam melatih agen operasional yang tidak
terlalu membutuhkan pendidikan formal yang mendalam, yang diperlukan hanya dasar pengetahuan
yang kuat dan pelatihan khusus sehingga memiliki skill yang sangat tinggi dibidang keahliannya.
Sudahkan STIN memikirkan hal ini ?

Dalam era yang semakin terbuka, dan gelombang demokrasi yang terus bergerak dinamis di
Indonesia, Intelijen Indonesia perlu mengantisipasi masa depan yang sudah semakin dekat dengan
berbagai persiapan strategis termasuk dalam mempersiapkan tenaga-tenaga handal melalui
berbagai metode rekrutmen, STIN hanya salah satu model dengan berbagai kekuatan dan
kelemahannya.

Akhirnya saya ingin bertanya kepada pimpinan STIN, akankah siap untuk membuka diri dengan
sistem seleksi nasional yang dapat dipertanggungjawabkan, lebih jauh lagi bagaimana dengan
peningkatan kualitas pendidikan dari waktu ke waktu, dan bagaimana pula dengan rencana
pembinaan karirnya di masa mendatang.

Kepada ratusan (entah mungkin sudah mencapai ribuan) pengirim email kepada Blog I-I yang
menanyakan tentang STIN, perlu adik-adik pikirkan lagi secara serius apakah studi intelijen menjadi
menarik karena fantasi James Bond atau Jason Bourne? ataukah karena kesungguhan ingin
mendalami dan mengabdikan diri dalam dunia intelijen Indonesia? keduanya sangat berbeda.

Pada akhirnya perlu saya sampaikan bahwa seleksi masuk STIN saya dengar cukup ketat dan hanya
sedikit yang diterima (30 orang setiap tahun, mungkin sekarang sudah bertambah). Bila
menginginkan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan dapat menghubungi Kementerian
Pendidikan Nasional untuk menanyakan contact point, atau langsung ke Kantor BIN yang sangat
terkenal tertutup itu di kawasan Pasar Minggu. Apabila dari kedua pintu tersebut, adik-adik belum
berhasil maka saya menterjemahkan posisi STIN sebagai sekolah yang tertutup dengan sistem seleksi
yang tertutup pula, yang mungkin hanya dipahami oleh Tim yang melakukan rekrutmen dan lulusan
SMA yang telah direkrut. Tidak banyak yang dapat diinformasikan oleh Blog I-I, karena faktanya
ketertutupan merupakan ciri khas dunia intelijen.

Selamat mencoba.

You might also like