You are on page 1of 32

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Mioma Uteri merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan

jaringan ikat yang menumpangnya. Oleh karena itu, dalam kepustakaan dikenal

juga istilah fibromioma, leimioma, ataupun fibroid. Matthew Baille adalah orang

pertama yang mendeskripsikan mioma pada 1793. Mioma terutama terdiri dari sel

otot polos dan mengandung jumlah jaringan fibrosa yang berbeda. Selama

pertumbuhannya, mioma menekan struktur di sekitarnya (miometrium dan jaringan

ikat), serta menyebabkan pembentukan progresif sejenis pseudokapsul, kaya akan

serat kolagen, serat saraf, dan pembuluh darah.

Mioma uteri terjadi pada 20%-25% perempuan di usia reproduktif, tetapi

oleh faktor yang tidak diketahui secara pasti. Mioma uteri belum pernah dilaporkan

terjadi sebelum menarke, sedangkan setelah menopause hanya kira-kira 10%

mioma yang masih bertumbuh. Penyebab pasti mioma uteri tidak diketahui secara

pasti. Mioma jarang sekali ditemukan pada usia pubertas, sangat dipengaruhi oleh
2

hormon reproduksi dan hanya bermanifestasi selama usia reproduktif. Umumnya

mioma terjadi di beberapa tempat. Pertumbuhan mikroskopik menjadi masalah

utama dalam penanganan mioma karena hanya tumor soliter dan tampak secara

makroskopik yang memungkinkan untuk ditangani dengan cara enukleasi.

Mioma Uteri berasal dari miometrium dan klasifikasinya dibuat

berdasarkan lokasinya, klasifikasi mioma uteri berdasarkan lokasinya yaitu :

Mioma Uteri Submukosa yang terletak dibawah endometrium, Mioma Uteri

Intramural atau interstisiel yang terdapat pada dinding uterus diantara serabut

miometrium, dan Mioma Uteri Subserosa yang terletak pada subserosa korpus uteri.

Terdapat faktor- faktor predisposisi terjadinya mioma uteri seperti umur,

riwayat keluarga, obesitas, paritas, dan kehamilan. Etiologi pasti terjadinya mioma

uteri belum diketahui, tetapi terdapat korelasi antara pertumbuhan tumor dengan

peningkatan reseptor estrogen-progesteron pada jaringan mioma uteri, serta adanya

faktor predisposisi yang bersifat herediter dan faktor hormon pertumbuhan dan

Human Placental Lactogen. Stimulasi estrogen diduga sangat berperan untuk

terjadinya mioma uteri. Hipotesis ini didukung oleh adanya mioma uteri yang

banyak ditemukan pada usia reproduksi dan kejadiannya rendah pada usia

menopause.

Pada penderita mioma uteri, gejala klinis hanya terjadi pada 35-50%

penderita mioma. Hampir sebagian besar penderita tidak mengetahui bahwa

terdapat kelainan di dalam uterusnya. Keluhan penderita sangat tergantung pula dari

lokasi atau jenis mioma yang diderita. Berbagai keluhan penderita dapat berupa
3

massa dibawah perut, perdarahan, nyeri, efek penekanan pada organ sekitar,

penurunan kesuburan dan abortus.

Pemeriksaan penunjang untuk diagnosis mioma uteri dapat melalui

pemeriksaan dengan USG ( Ultrasonografi ) transabdominal dan transvaginal,

histeroskopi, dan MRI ( Magnetic Resonance Imaging ). Penatalaksanaan mioma

uteri dapat dilakukan secara konservatif dengan pengawasan yang ketat,

medikamentosa, maupun tindakan operatif meliputi miomektomi, histerektomi dan

embolisasi arteri uterus.

Infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri yang

telah menikah selama minimal satu tahun, melakukan hubungan senggama teratur,

tanpa menggunakan kontrasepsi, tetapi belum berhasil memperoleh kehamilan.

Infertilitas dikatakan sebagai infertilitas primer jika sebelumnya pasangan suami

istri belum pernah mengalami kehamilan. Salah satu faktor organik yang dapat

menyebabkan infertilitas adalah masalah pada uterus, apabila terdapat kelainan

pada serviks, kavum uteri, maupun miometrium. Mioma uteri merupakan salah satu

kelainan pada miometrium yang dapat mempengaruhi fertilitas.


4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Mioma Uteri

Mioma Uteri merupakan neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan

jaringan ikat yang menumpangnya. Oleh karena itu, dalam kepustakaan dikenal

juga istilah fibromioma, leimioma, ataupun fibroid.(1) Mioma uteri berbatas tegas,

tidak berkapsul, dan berasal dari otot polos jaringan fibrous sehingga mioma uteri

dapat berkonsistensi padat jika jaringan ikatnya dominan, dan berkonsistensi lunak

jika otot rahimnya yang dominan.(2) Matthew Baille adalah orang pertama yang

mendeskripsikan mioma pada 1793. Mioma terutama terdiri dari sel otot polos dan

mengandung jumlah jaringan fibrosa yang berbeda. Selama pertumbuhannya,

mioma menekan struktur di sekitarnya (miometrium dan jaringan ikat), serta

menyebabkan pembentukan progresif sejenis pseudokapsul, kaya akan serat

kolagen, serat saraf, dan pembuluh darah. Kadang-kadang, permukaan kontinyu

pseudocapsule terganggu oleh jembatan serat kolagen dan pembuluh darah yang

menopang mioma ke miometrium. Hal ini menyebabkan pembentukan bidang atau

jarak yang jelas antara mioma dan pseudokapsul, dan antara pseudokapsul dan

miometrium sekitarnya. Pseudocapsule ini menyebabkan perubahan (yang tidak

merusak) pada miometrium; Namun, integritas dan kontraktilitas struktur uterus

dipertahankan.(5) walaupun mioma tidak mempunyai kapsul yang sesungguhnya

tetapi jaringannya dengan mudah dibebaskan dari miometrium sekitarnya sehingga

mudah dikupas (enukleasi). Mioma berwarna lebih pucat, relatif bulat, kenyal,
5

berdinding licin, dan apabila dibelah bagian dalamnya akan menonjol keluar

sehingga mengesankan bahwa permukaan luarnya adalah kapsul.(3)

2.2 Epidemiologi Mioma Uteri

Mioma uteri merupakan tumor jinak yang struktur utamanya adalah otot polos

rahim. Mioma uteri terjadi pada 20%-25% perempuan di usia reproduktif, tetapi

oleh faktor yang tidak diketahui secara pasti.(3) Mioma uteri belum pernah

dilaporkan terjadi sebelum menarke, sedangkan setelah menopause hanya kira-kira

10% mioma yang masih bertumbuh. Di Indonesia mioma uteri ditemukan 2,39-

11,7% pada semua penderita ginekologik yang dirawat. Selain itu dilaporkan juga

ditemukan pada kurang lebih 20-25% wanita usia reproduksi dan meningkat 40%

pada usia lebih dari 35 tahun.(4) Insidensinya 3-9 kali lebih banyak dari ras kulit

berwarna dibandingkan dengan ras kulit putih. Selama 5 dekade terakhir,

ditemukan 50% kasus mioma uteri terjadi pada ras kulit berwarna. (3)

Penyebab pasti mioma uteri tidak diketahui secara pasti. Mioma jarang sekali

ditemukan pada usia pubertas, sangat dipengaruhi oleh hormon reproduksi dan

hanya bermanifestasi selama usia reproduktif. Umumnya mioma terjadi di beberapa

tempat. Pertumbuhan mikroskopik menjadi masalah utama dalam penanganan

mioma karena hanya tumor soliter dan tampak secara makroskopik yang

memungkinkan untuk ditangani dengan cara enukleasi. Ukuran rerata tumor ini

adalah 15 cm, tetapi cukup banyak yang melaporkan kasus mioma uteri dengan

berat mencapai 45 kg (100lbs).(3)


6

2.3. Klasifikasi Mioma Uteri

Mioma Uteri berasal dari miometrium dan Klasifikasinya dibuat berdasarkan

lokasinya.

Mioma Uteri Submukosa

Terletak dibawah endometrium. Dapat pula bertangkai maupun tidak. Mioma

bertangkai panjang dapat menonjol keluar melalui kanalis servikalis menjadi polip,

dan pada keadaan ini mudah terjadi torsi serta nekrosis sehingga resiko infeksi

sangatlah tinggi. Tumor ini memperluas permukaan kavum uteri. Pengaruhnya pada

vaskularisasi dan luas permukaan endometrium menyebabkan terjadinya

perdarahan irregular. Dari sudut klinik mioma uteri submukosa mempunyai arti

yang lebih penting dibandingkan dengan jenis yang lain. Pada mioma uteri

subserosa ataupun intramural walaupun ditemukan cukup besar tetapi sering kali

memberikan keluhan yang tidak berarti. Sebaliknya pada jenis submukosa


7

walaupun hanya kecil selalu memberi keluhan perdarahan melalui vagina.

Perdarahan sulit berhenti sehingga sebagai terapinya dilakukan histerektomi.

Mioma Uteri Intramural atau interstisiel

Mioma yang terdapat pada dinding uterus diantara serabut miometrium. Sering

tidak memberikan gejala klinis yang berarti kecuali rasa tidak enak karena adanya

massa tumor di daerah perut sebelah bawah. Apabila masih kecil, tidak merubah

bentuk uterus, tapi bila besar akan menyebabkan uterus berbenjol-benjol, uterus

bertambah besar dan berubah bentuknya. Kadang kala tumor tumbuh sebagai

mioma subserosa dan kadang – kadang sebagai mioma submukosa. Di dalam otot

rahim dapat besar (jaringan ikat dominan), dapat lunak (jaringan otot rahim

dominan).

Mioma Uteri Subserosa

Lokasi tumor di subserosa korpus uteri dapat hanya sebagai tonjolan saja, dapat

pula sebagai satu masa yang dihubungkan dengan uterus melalui tangkai.

Pertumbuhan ke arah lateral dapat berada di dalam ligamentum latum dan disebut

sebagai mioma intraligamenter. Mioma yang cukup besar akan mengisi rongga

peritonial sebagai suatu massa. Perlengketan dengan usus, omentum atau

mensenterium disekitarnya menyebabkan sistem peredaran darah diambil alih dari

tangkai ke omentum. Akibatnya tangkai makin mengecil dan terputus, sehingga

mioma akan terlepas dari uterus sebagai massa tumor yang bebas dalam rongga

peritoneum. Mioma jenis ini dikenal sebagai jenis parasitik.

Menurut perkiraan frekuensi mioma uteri dalam kehamilan dan persalinan

berkisar sekitar 1% banyak mioma kecil tidak dikenal. Dalam banyak kasus
8

kombinasi mioma uteri dan kehamilan tidak mempunyai arti apa-apa. Dipihak lain

kombinasi itu dapat menyebabkan komplikasi obstetrik yang besar artinya. Hal itu

bergantung pada besar dan lokasinya.

2.4. Faktor Predisposisi Mioma Uteri

a. Umur

Frekuensi kejadian mioma uteri paling tinggi antara usia 35-50 tahun yaitu

mendekati angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia dibawah 20 tahun.
(11)
Sedangkan pada usia menopause hampir tidak pernah ditemukan . Pada usia

sebelum menarche kadar estrogen rendah, dan meningkat pada usia reproduksi,

serta akan turun pada usia menopause.(12). Pada wanita menopause mioma uteri

ditemukan sebesar 10% .(13)

b. Riwayat Keluarga

Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma uteri

mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma dibandingkan dengan

wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri. (14)

c. Obesitas

Obesitas juga berperan dalam terjadinya mioma uteri. Hal ini mungkin

berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh enzim

aromatase di jaringan lemak.(10) Hasilnya terjadi peningkatan jumlah estrogen

tubuh, dimana hal ini dapat menerangkan hubungannya dengan peningkatan

prevalensi dan pertumbuhan mioma uteri.(14)

d. Paritas
9

Wanita yang sering melahirkan lebih sedikit kemungkinannya untuk terjadinya

perkembangan mioma ini dibandingkan wanita yang tidak pernah hamil atau satu

kali hamil. Statistik menunjukkan 60% mioma uteri berkembang pada wanita yang

tidak pernah hamil atau hanya hamil satu kali.(14)

e. Kehamilan

Angka kejadian mioma uteri bervariasi dari hasil penelitian yang pernah

dilakukan ditemukan sebesar 0,3%-7,2% selama kehamilan. Kehamilan dapat

mempengaruhi mioma uteri karena tingginya kadar estrogen dalam kehamilan dan

bertambahnya vaskularisasi ke uterus. Kedua keadaan ini ada kemungkinan dapat

mempercepat pembesaran mioma uteri. Kehamilan dapat juga mengurangi resiko

mioma karena pada kehamilan hormon progesteron lebih dominan.(15)

2.5. Etiologi Mioma Uteri

Etiologi pasti belum diketahui, tetapi terdapat korelasi antara pertumbuhan

tumor dengan peningkatan reseptor estrogen-progesteron pada jaringan mioma

uteri, serta adanya faktor predisposisi yang bersifat herediter dan faktor hormon

pertumbuhan dan Human Placental Lactogen. Para ilmuwan telah mengidentifikasi

kromosom yang membawa 145 gen yang diperkirakan berpengaruh pada

pertumbuhan fibroid. Beberapa ahli mengatakan bahwa mioma uteri diwariskan

dari gen sisi paternal. Mioma biasanya membesar pada saat kehamilan dan

mengecil pada saat menopause, sehingga diperkirakan dipengaruhi juga oleh

hormon-hormon reproduksi seperti estrogen dan progesteron. Selain itu juga jarang

ditemukan sebelum menarke, dapat tumbuh dengan cepat selama kehamilan dan

kadang mengecil setelah menopause.(7)


10

Apakah estrogen secara langsung memicu pertumbuhan mioma uteri atau

memakai mediator masih menimbulkan silang pendapat. Dimana telah ditemukan

banyak sekali mediator di dalam mioma uteri, seperti estrogen growth factor,

insulin growth factor-1, (IGF-1), connexin-43-Gapjunction protein dan marker

proliferasi.

Awal mulanya pembentukan tumor adalah terjadinya mutasi somatik dari

sel-sel miometrium. Mutasi ini mencakup rentetan perubahan kromosom baik

secara parsial maupun keseluruhan. Aberasi kromosom ditemukan pada 23-50%

dari mioma uteri yang diperiksa dan yang terbanyak (36,6%) ditemukan pada

kromosom 7 (del(7) (q 21) /q 21 q 32).

Hal yang mendasari tentang penyebab mioma uteri belum diketahui secara

pasti, diduga merupakan penyakit multifaktorial. Dipercayai bahwa mioma

merupakan sebuah tumor monoklonal yang dihasilkan dari mutasi somatik dari

sebuah sel neoplastik tunggal yang berada di antara otot polos miometrium. Sel-sel

mioma mempunyai abnormalitas kromosom. Faktor-faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan mioma, disamping faktor predisposisi genetik, adalah beberapa

hormon seperti estrogen, progesteron, dan human growth hormon.(8) Dengan

adanya stimulasi estrogen, menyebabkan terjadinya proliferasi di uterus , sehingga

menyebabkan perkembangan yang berlebihan dari garis endometrium, sehingga

terjadilah pertumbuhan mioma.

Analisis sitogenetik dari hasil pembelahan mioma uteri telah menghasilkan

penemuan yang baru. Diperkirakan 40% mioma uteri memiliki abnormalitas


11

kromosom non random. Abnormalitas ini dapat dibagi menjadi 6 subgrup sitogenik

yang utama termasuk translokasi antara kromosom 12 dan 14, trisomi 12,

penyusunan kembali lengan pendek kromosom 6 dan lengan panjang kromosom 10

dan delesi kromosom 3 dan 7. Penting untuk diketahui mayoritas mioma uteri

memiliki kromosom yang normal.(9)

Pengaruh-pengaruh hormon dalam pertumbuhan dan perkembangan

mioma:

a. Estrogen

Mioma uteri dijumpai setelah menarche. Seringkali terdapat pertumbuhan

tumor yang cepat selama kehamilan dan terapi estrogen eksogen. Mioma uteri akan

mengecil pada saat menopause dan pengangkatan ovarium. Mioma uteri banyak

ditemukan bersamaan dengan anovulasi ovarium dan wanita dengan sterilitas.

Selama fase sekretorik, siklus menstruasi dan kehamilan, jumlah reseptor estrogen

di miometrium normal berkurang. Pada mioma reseptor estrogen dapat ditemukan

sepanjang siklus menstruasi, tetapi ekskresi reseptor tersebut tertekan selama

kehamilan.

b. Progesteron

Reseptor progesteron terdapat di miometrium dan mioma sepanjang siklus

menstruasi dan kehamilan. Progesteron merupakan antagonis natural dari estrogen.

Progesteron menghambat pertumbuhan mioma dengan dua cara yaitu:

Mengaktifkan 17-Beta hidroxydesidrogenase dan menurunkan jumlah reseptor

estrogen pada mioma.

c. Hormon Pertumbuhan
12

Level hormon pertumbuhan menurun selama kehamilan, tetapi hormon yang

mempunyai struktur dan aktivitas biologik serupa, terlihat pada periode ini memberi

kesan bahwa pertumbuhan yang cepat dari mioma selama kehamilan mungkin

merupakan hasil dari aksi sinergistik antara hormon pertumbuhan dan estrogen.(10)

2.6. Patogenesis Mioma Uteri

Terjadinya Mioma uteri diduga karena adanya sel – sel yang belum matang

dan pengaruh estrogen yang menyebabkan pecahnya pembuluh darah, sehingga

terjadi kontraksi otot uterus yang menyebabkan perdarahan pervaginan lama dan

banyak. Dengan adanya perdarahan pervaginan lama dan banyak akan terjadi resiko

kekurangan volume cairan dan gangguan peredaran darah ditandai dengan adanya

nekrosa dan perlengketan sehingga timbul rasa nyeri.(6)

Etiologi yang pasti terjadinya mioma uteri sampai saat ini belum diketahui.

Stimulasi estrogen diduga sangat berperan untuk terjadinya mioma uteri. Hipotesis

ini didukung oleh adanya mioma uteri yang banyak ditemukan pada usia reproduksi

dan kejadiannya rendah pada usia menopause. Ichimura mengatakan bahwa

hormon ovarium dipercaya menstimulasi pertumbuhan mioma karena adanya

peningkatan insidensi setelah menarke. Pada kehamilan pertumbuhan tumor ini

makin besar, tetapi menurun setelah menopause. Perempuan nulipara memiliki

resiko lebih tinggi untuk terjadinya mioma uteri sedangkan perempuan multipara

memiliki resiko relatif menurun untuk terjadinya mioma uteri. Pukka dan kawan-

kawan melaporkan bahwa jaringan mioma uteri lebih banyak mengandung reseptor

estrogen jika dibandingkan dengan miometrium normal. Pertumbuhan mioma uteri

bervariasi pada setiap individu, bahkan diantara nodul mioma pada uterus yang
13

sama. Perbedaan ini berkaitan dengan jumlah reseptor estrogen dan reseptor

progesteron. Meyer dan De Snoo mengemukakan patogenesis mioma uteri dengan

teori cell nest atau genitoblas. Pendapat ini lebih lanjut diperkuat oleh hasil

penelitian Miller dan Lipschutz yang mengatakan bahwa terjadinya mioma uteri

bergantung pada sel-sel otot imatur yang terdapat pada cell nest yang selanjutnya

dapat dirangsang terus menerus oleh estrogen.(1)

2.7. Gambaran Klinis Mioma Uteri

Gejala klinis hanya terjadi pada 35-50% penderita mioma. Hampir sebagian

besar penderita tidak mengetahui bahwa terdapat kelainan di dalam uterusnya,

terutama sekali pada penderita dengan obesitas. Keluhan penderita sangat

tergantung pula dari lokasi atau jenis mioma yang diderita. Berbagai keluhan

penderita dapat berupa:

a. Massa di Perut Bawah

Penderita mengeluhkan merasakan adanya massa atau benjolan di perut

bagian bawah.

b. Perdarahan abnormal Uterus

Perdarahan menjadi manifestasi klinik utama pada mioma dan hal ini terjadi

pada 30% penderita. Bila terjadi secara kronis maka dapat terjadi anemia defisiensi

zat besi dan bila berlangsung lama dan dalam jumlah yang besar maka sulit untuk

dikoreksi dengan suplemen zat besi. Perdarahan pada mioma submukosa seringkali

diakibatkan oleh hambatan pasokan darah endometrium, tekanan dan bendungan

pembuluh darah di area tumor (terutama vena) atau ulserasi endometrium diatas
14

tumor. Tumor bertangkai seringkali menyebabkan trombosis vena dan nekrosis

endometrium akibat tarikan dan infeksi (vagina dan kavum uteri terhubung oleh

tangkai yang keluar dari ostium serviks). Dismenorea dapat disebabkan oleh efek

tekanan, kompresi, termasuk hipoksia lokal miometrium.

c. Nyeri

Mioma tidak menyebabkan nyeri dalam pada uterus kecuali apabila kemudian

terjadi gangguan vaskuler. Nyeri lebih banyak terkait dengan proes degenerasi

akibat oklusi pembuluh darah, infeksi, torsi tangkai mioma atau kontraksi uterus

sebagai upaya untuk mengeluarkan mioma subserosa dari kavum uteri. Gejala

abdomen akut dapat terjadi bila torsi berlanjut dengan terjadinya infark atau

degenerasi merah yang mengiritasi selaput peritonium (seperti peritonitis). Mioma

yang besar dapat menekan rektum sehingga menimbulkan sensasi untuk mengedan.

Nyeri pinggang dapat terjadi pada penderita mioma yang menekan persyarafan

yang berjalan di atas permukaan tungkai pelvis.

d. Efek Penekanan

Walaupun mioma dihubungkan dengan adanya desakan tekanan, tetapi

tidaklah mudah untuk menghubungkan adanya penekanan organ dengan mioma.

Mioma intramural sering dikaitkan dengan penekanan organ sekitar. Parasitik

mioma dapat menyebabkan obstruksi saluran cerna perlekatannya dengan omentum

menyebabkan strangulasi usus. Mioma serviks dapat menyebabkan sekret

serosanguinea vaginal, perdarahan, dispareunia, dan infertilitas.Bila ukuran tumor

lebih besar lagi, akan terjadi penekanan ureter, kandung kemih dan rektum.

e. Penurunan Kesuburan dan Abortus


15

Hubungan antara mioma uteri sebagai penyebab penurunan kesuburan masih

belum jelas. Dilaporkan sebesar 27-40% wanita dengan mioma uteri mengalami

infertilitas. Penurunan kesuburan dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau

menekan pars interstisialis tuba, sedangkan mioma submukosa dapat memudahkan

terjadinya abortus karena distorsi rongga uterus. Perubahan bentuk kavum uteri

karena adanya mioma dapat menyebabkan disfungsi reproduksi. Gangguan

implasntasi embrio dapat terjadi pada keberadaan mioma akibat perubahan

histologi endometrium dimana terjadi atrofi karena kompresi massa tumor. Apabila

penyebab lain infertilitas sudah disingkirkan dan mioma merupakan penyebab

infertilitas tersebut, maka merupakan suatu indikasi untuk dilakukan

miomektomi.(16)

2.8. Perubahan Sekunder Mioma Uteri

a. Atrofi

Tanda-tanda dan gejala berkurang dan menghilang karena ukuran mioma uteri

berkurang saat menopause atau setelah kehamilan.

b. Degenerasi Hialin.

Perubahan ini sering terutama pada penderita usia lanjut disebabkan karena

kurangnya suplai darah. Jaringan fibrous berubah menjadi hialin dan serabut otot

menhilang. Mioma kehilangan struktur aslinya menjadi homogen. Dapat meliputi

sebagian besar atau hanya sebagian kecil daripadanya seolah-olah memisahkan satu

kelompok serabut otot dari kelompok lainnya.

c. Degenerasi Kistik
16

Dapat meliputi daerah kecil maupun luas, dimana sebagian dari mioma menjadi

cair, sehingga terbentuk ruangan-ruangan yang tidak teratur berisi agar-agar, dapat

juga terjadi pembengkakan yang luas dan bendungan limfe sehingga menyerupai

limfangioma. Dengan konsistensi yang lunak tumor ini sukar dibedakan dari kista

ovarium atau suatu kehamilan.

d. Degenerasi Membatu ( Calsireus Degeneration )

Terutama terjadi pada wanita usia lanjut oleh karena adanya gangguan dalam

sirkulasi. Dengan adanya pengendapan garam kapur pada sarang mioma maka

mioma menjadi keras dan memberikan bayangan pada foto rontgen.

e. Degenerasi Merah

Perubahan ini terjadi pada kehamilan dan nifas. Patogenesis: Diperkirakan karena

suatu nekrosis subakut sebagai gangguan vaskulerisasi. Pada pembelahan dapat dilihat

sarang mioma seperti daging mentah berwarna merah disebabkan pigmen hemosiderin

dan hemofusin. Degenerasi merah tampak khas apabila terjadi pada kehamilan muda

disertai emesis, haus, sedikit demam, kesakitan, tumor pada uterus membesar dan nyeri

pada perabaan. Penampilan klinik ini seperti pada putaran yangkai tumor ovarium atau

mioma bertangkai.

f. Degenerasi Lemak

Jarang terjadi, merupakan kelanjutan degenerasi hialin. Pada mioma yang sudah

lama dapat terbentuk degenerasi lemak. Di permukaan irisannya berwarna kuning

homogen dan serabut ototnya berisi titik lemak dan dapat ditunjukkan dengn

pengecatan khusus untuk lemak.(13)


17

2.9. Diagnosis Mioma Uteri

a. Anamnesis

Dalam anamnesis dicari keluhan utama serta gejala klinis mioma lainnya, faktor

risiko serta kemungkinan komplikasi yang terjadi. Biasanya teraba massa menonjol

keluar dari jalan lahir yang dirasakan bertambah panjang serta adanya riwayat

pervaginam terutama pada wanita usia 40-an. Kadang juga dikeluhkan perdarahan

kontak.(7)

b. Pemeriksaan Fisik

Mioma uteri mudah ditemukan melalui pemriksaan bimanual rutin uterus.

Diagnosis mioma uteri menjadi jelas bila dijumpai gangguan kontur uterus oleh

satu atau lebih massa yang licin, tetapi sering sulit untuk memastikan bahwa massa

seperti ini adalah bagian dari uterus.

c. Pemeriksaan penunjang

1. Temuan Laboratorium

Anemia merupakan akibat paling sering dari mioma. Hal ini disebabkan

perdarahan uterus yang banyak dan habisnya cadangan zat besi. Kadang-kadang

mioma menghasilkan eritropoetin yang pada beberapa kasus menyebabkan

polisitemia. Adanya hubungan antara polisitemia dengan penyakit ginjal diduga

akibat penekanan mioma terhadap ureter yang menyebabkan peninggian tekanan

balik ureter dan kemudian menginduksi pembentukan eritropoietin ginjal.

2. Imaging

- Pemeriksaan dengan USG ( Ultrasonografi ) transabdominal dan

transvaginal bermanfaat dalam menetapkan adanya mioma uteri.


18

Ultrasonografi transvaginal terutama bermanfaat pada uterus yang kecil.

Uterus atau massa yang paling besar baik diobservasi melalui

ultrasonografi transabdominal. Mioma uteri secara khas menghasilkan

gambaran ultrasonografi yang mendemonstrasikan irregularitas kontur

maupun pembesaran uterus.

- Histeroskopi merupakan gold standard untuk mioma uteri. Histeroskopi

memberitahukan lokasi akurat mioma submukosa dan batas yang jelas

dari mioma bertangkai dan polip. Pemeriksaan ini juga dapat melihat

distorsi endometrium akibat mioma intramural. Manfaat pemeriksaan

ini meliputi visualisasi langsung, tindakan terapi yang terus menerus dan

komplikasi minimal. Mioma tersebut sekaligus dapat diangkat.

- MRI ( Magnetic Resonance Imaging ) sangat akurat dalam

menggambarkan jumlah, ukuran, dan likasi mioma tetapi jarang

diperlukan. Pada MRI, mioma tampak sebagai massa gelap berbatas

tegas dan dapat dibedakan dari miometrium normal. MRI dapat

mendeteksi lesi sekecil 3 mm yang dapat dilokalisasi dengan jelas,

termasuk mioma(17).

2.10. Penatalaksanaan Mioma Uteri

a. Konservatif
Penderita dengan mioma kecil dan tanpa gejala tidak memerlukan pengobatan,

tetapi harus diawasi perkembangan tumornya. Jika mioma lebih besar dari
19

kehamilan 10-12 minggu, tumor yang berkembang cepat, terjadi torsi pada tangkai,

perlu diambil tindakan operasi.

b. Medikamentosa

Terapi yang dapat memperkecil volume atau menghentikan pertumbuhan

mioma uteri secara menetap belum tersedia pada saat ini. Terapi medikamentosa

masih merupakan terapi tambahan atau terapi pengganti sementara dari operatif.

Preparat yang selalu digunakan untuk terapi medikamentosa adalah analog GnRHa

(Gonadotropin Realising Hormon Agonis), progesteron, danazol, gestrinon,

tamoksifen, goserelin, antiprostaglandin, agen-agen lain seperti gossypol dan

amantadine

c. Operatif

Pengobatan operatif meliputi miomektomi, histerektomi dan embolisasi arteri

uterus.

- Miomektomi, adalah pengambilan sarang mioma saja tanpa pengangkatan

uterus. Tindakan ini dapat dikerjakan misalnya pada mioma submukosa

pada mioma geburt dengan cara ekstirpasi lewat vagina.

- Histerektomi, adalah pengangkatan uterus, yang umumnya tindakan

terpilih. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan alasan mencegah

akan timbulnya karsinoma servisis uteri.

- Embolisasi arteri uterus (Uterin Artery Embolization / UAE), adalah injeksi

arteri uterina dengan butiran polyvinyl alkohol melalui kateter yang

nantinya akan menghambat aliran darah ke mioma dan menyebabkan

nekrosis. Nyeri setelah UAE lebih ringan daripada setelah pembedahan


20

mioma dan pada UAE tidak dilakukan insisi serta waktu penyembuhannya

yang cepat

2.11. Komplikasi Mioma Uteri

a. Degenerasi ganas

Mioma uteri yang menjadi leiomiosarkoma ditemukan ditemukan hanya 0,32-

0,6% dari seluruh mioma, serta merupakan 50-75% dari semua sarkoma uterus.

Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang telah

diangkat. Kecurigaan akan keganasan uterus apabila mioma uteri cepat membesar

dan apabila terjadi pembesaran sarang mioma dalam menopause.

b. Torsi (putaran tangkai)

Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan

sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis. Dengan demikian terjadilah sindrom

abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan-lahan, gangguan akut tidak terjadi. Torsi

tangkai mioma biasanya terjadi pada Mioma uteri subserosa dan Mioma uteri

submukosa

c. Pengaruh timbal balik mioma dan kahamilan:

Pengaruh mioma terhadap kehamilan: Infertilitas, Abortus, Persalinan prematuritas

dan kelainan letak , Inersia uteri, Gangguan jalan partum, perdarahan post partum, dan

Retensi plasenta. Pengaruh kehamilan terhadap mioma uteri: Mioma cepat membesar

karena rangsangan estrogen, dan Kemungkinan torsi mioma uteri bertangkai.(1)


21

2.12. Prognosis Mioma Uteri

Histerektomi dengan mengangkat seluruh mioma adalah kuratif.

Myomectomi yang extensif dan secara significant melibatkan miometrium atau

menembus endometrium, maka diharusken SC (Sectio caesaria) pada persalinan

berikutnya. Myoma yang kambuh kembali (rekurens) setelah myomectomi terjadi

pada 15-40% pasien dan 2/3nya memerlukan tindakan lebih lanjut.

2.13. Hubungan Mioma Uteri Dengan Terjadinya Infertilitas.

Infertilitas merupakan masalah yang dihadapi oleh pasangan suami istri

yang telah menikah selama minimal satu tahun, melakukan hubungan senggama

teratur, tanpa menggunakan kontrasepsi, tetapi belum berhasil memperoleh

kehamilan. Infertilitas dikatakan sebagai infertilitas primer jika sebelumnya

pasangan suami istri belum pernah mengalami kehamilan. Sementara itu, dikatakan

sebagai infertilitas sekunder jika pasangan suami istri gagal untuk mengalami

kehamilan setelah satu tahun pascapersalinan atau pascaabortus, tanpa

menggunakan kontrasepsi apapun. Infertilitas dapat disebabkan oleh faktor non

organik maupun faktor organik. Dibawah ini adalah faktor penyebab infertilitas :

Faktor Non Organik Faktor Organik


Masalah Vagina Masalah Uterus Masalah Masalah
Tuba Ovarium

Usia Dispareunia Faktor Serviks : Sumbatan Sindrom


- Servisitis Tuba Ovarium
- Trauma pada Polikistik
serviks
Pola hidup : Vaginismus Faktor Kavum uteri
- Alkohol - Kelainan anatomi
- Merokok - Faktor
- Berat badan endometriosis
22

Frekuensi senggama Vaginitis Faktor Miometrium


- Mioma Uteri
- Adenomiosis

Salah satu faktor organik yang dapat menyebabkan infertilitas adalah

masalah pada uterus, apabila terdapat kelainan pada serviks, kavum uteri, maupun

miometrium. Mioma uteri merupakan salah satu kelainan pada miometrium. Mioma

uteri merupakan tumor jinak uterus yang berasal dari peningkatan aktivitas

proliferasi sel-sel miometrium. Pengaruh mioma uteri terhadap kejadian infertilitas

hanyalah berkisar antara 30%-50%. Mioma uteri mempengaruhi fertilitas

kemungkinan terkait dengan sumbatan pada tuba, sumbatan pada kanalis servikalis

atau mempengaruhi implantasi.


23

BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas

Nama : Ny. AA

Umur : 35 tahun

Pekerjaan : Wiraswasta

Agama : Kristen Protestan

Status : Menikah

Alamat : Oesao

No. RM : 500220

3.2 Anamnesis

3.2.1 Keluhan utama

Pasien dengan Post SVH + SOS datang ke poli untuk kontrol luka operasi

3.2.2 Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang ke poli untuk kontrol luka bekas operasi.. Pasien sebelumnya

didiagnosa dengan Mioma uteri + Infertil Primer dan telah di operasi Supra Vaginal

Histerectomy di RSUD Prof. DR.WZ Johannes pada 21 Desember 2018,

sebelumnya rencana tindakan yang akan dilakukan pada pasien adalah

miomektomi, namun selama operasi berlangsung, dengan mempertimbangkan

kondisi pasien dan ukuran serta perlengketan dari tumor tersebut, operator

menyarankan untuk dilakukan histerektomi dan disetujui oleh keluarga pasien

sehingga tindakan selanjutnya adalah histerektomi. Setelah dilakukan histerektomi,


24

keluhan perdarahan terus menerus, nyeri pada perut bagian bawah, dan mual

muntah yang sering dialami pasien sudah tidak pernah terjadi sampai dengan

tanggal pasien memeriksakan diri di poli..

3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien di diagnosa Mioma uteri sejak tahun 2017 dan sudah dioperasi pada 21

Desember 2018. Pasien juga di diagnosa dengan infertil primer karena setelah

menikah dengan suami selama 6 tahun, pasien belum pernah memiliki anak

walaupun pasien tidak pernah menggunakan kontrasepsi, dan secara rutin

melakukan hubungan intim, pasien juga tidak merokok, dan tidak minum minuman

beralkohol.

Hasil Pemeriksaan Patologi Anatomi : Belum ada bacaan

Setelah Operasi ditemukan multiple mioma : Mioma Intramural dengan diameter

20cm, Mioma Subserosa (2) ukuran 5x2 cm

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat mioma uteri pada saudara/I kandung (-), riwayat infertil pada saudara/I

kandung (-)

3.2.4 Riwayat Obstetri:

Haid Terakhir : 3/12/2018

Menarche : usia 12 tahun, Siklus haid: tidak teratur, selama 30 hari, Keluhan

saat haid: Nyeri perut bagian bawah, haid berlangsung terlalu lama

Menikah sebanyak 1 kali, menikah sejak usia 29 tahun (6 tahun lalu).

Riwayat Pemakaian Kontrasepsi : -


25

3.3 Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sehat

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 110/80 mmHg

Nadi : 88 x/menit

Pernapasan : 18 x/menit

BB : 81 kg

TB : 157 cm

IMT : 32,9 kg/m2

Suhu : 36,50C

Mata : Konjungtiva anemis -|-, Sklera ikterik -|-

Leher : Masa (-), tiroid tak teraba

Jantung : S1S2 tunggal regular, Murmur (-) Gallop (-)

Paru : Vesikuler (+|+), Rhonki (-|-), Wheezing (-|-)

Abdomen :

- Auskultasi : Bising Usus (+) kesan normal,

- Inspeksi : Tampak datar, tampak luka bekas operasi (+)

kering.

- Palpasi : Supel, nyeri tekan minimal, masa (-)

- Perkusi : Timpani seluruh lap abdomen

Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik, edema (-|-)

3.4 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan USG belum dilakukan, hasil pemeriksaan PA belum diambil.


26

3.5 Diagnosis

Myoma Uteri Post Supra Vaginal Histerektomi


27

BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien merupakan pasien rawat jalan di Poliklinik RSUD Prof.

DR.WZ.Johannes Kupang. Pasien sudah menikah 6 tahun dan belum memiliki

anak. Pasien datang kontrol pada tanggal 3 Januari 2019. Kunjungan ini merupakan

kunjungan ke-2 dari pasien setelah operasi. Sebelumnya pasien pernah melakukan

operasi Supra Vaginal Histerektomi dengan indikasi Mioma Uteri di RSUD Prof.

DR.WZ.Johannes. Pasien mengatakan diagnosa mioma uteri pada pasien sudah

ditegakkan sejak tahun 2017 oleh dokter SpOG setelah dilakukan pemeriksaan ke

dokter dan dari hasil USG didapatkan ukuran mioma sebesar 7cm, saat itu pasien

mengeluhkan haid yang terlalu lama yaitu mencapai 2 minggu. Dokter kemudian

memberikan obat-obatan dan menyarankan dilakukannya operasi, namun pasien

memilih untuk meminum obat- obatan herbal dengan berharap mioma akan sembuh

dengan obat herbal, namun tidak membuahkan hasil. Pasien kemudian merasakan

gejala memberat pada september 2018, pasien mengeluhkan mual-muntah, haid

memanjang hingga 1 bulan, nyeri pada perut bagian bawah yang menjalar ke

belakang, serta rasa lemas seluruh tubuh. Pasien kemudian dibawa ke RSUD Prof.

DR.WZ.Johannes Kupang, didapatkan HB pasien menurun hingga 7gr/dl sehingga

pasien harus di transfusi dan sempat rawat inap selama 1 minggu. Saat itu menurut

keterangan pasien, hasil USG menunjukkan bahwa ukuran Mioma sudah mencapai

20cm. Setelah itu pasien rutin kontrol ke dokter SpOG dan direncanakan operasi

pada 3 Desember 2018, namun pasien kemudian haid lagi, sehingga harus
28

menunggu saat haid pasien berhenti baru dapat dilakukan operasi. Akhirnya pada

tanggal 21 Desember dilakukan operasi, rencananya hanya akan dilakukan

miomektomi namun mempertimbangkan kondisi pasien dan ukuran serta

perlengketan dari mioma, operator menyarankan untuk dilakukan histerektomi dan

disetujui oleh keluarga pasien sehingga tindakan selanjutnya adalah histerektomi.

Setelah dioperasi pasien tidak pernah mengalami keluhan apapun seperti

sebelumnya.

Gejala klinis hanya terjadi pada 35-50% penderita mioma. Berbagai keluhan

penderita dapat berupa benjolan di perut bagian bawah, pada 30% penderita yang

bila terjadi secara kronis maka dapat terjadi anemia defisiensi zat besi dan bila

berlangsung lama dan dalam jumlah yang besar maka sulit untuk dikoreksi dengan

suplemen zat besi, nyeri terkait dengan proes degenerasi akibat oklusi pembuluh

darah, infeksi, torsi tangkai mioma atau kontraksi uterus sebagai upaya untuk

mengeluarkan mioma subserosa dari kavum uteri, penekanan organ sekitar, sekret

serosanguinea vaginal, dispareunia, dan penurunan kesuburan.

Temuan klinis mioma uteri yang beragam ataupun asimtomatis menyebabkan

mioma uteri sulit ditegakkan diagnosisnya hanya berdasarkan gejala klinis saja

karena gejala klinis yang dimiliki oleh mioma uteri juga dimiliki oleh penyakit lain.

Histeroskopi merupakan gold standard untuk mioma uteri. Histeroskopi

memberitahukan lokasi akurat mioma submukosa dan batas yang jelas dari mioma

bertangkai dan polip. Pemeriksaan ini juga dapat melihat distorsi endometrium

akibat mioma intramural. Manfaat pemeriksaan ini meliputi visualisasi langsung,


29

tindakan terapi yang terus menerus dan komplikasi minimal. Mioma tersebut

sekaligus dapat diangkat.

Penatalaksanaan mioma uteri ada tiga yaitu terapi konservatif, medika

mentosa dan bedah. Pengobatan operatif meliputi miomektomi, histerektomi dan

embolisasi arteri uterus. Miomektomi, adalah pengambilan sarang mioma saja

tanpa pengangkatan uterus. Histerektomi, adalah pengangkatan uterus, yang

umumnya tindakan terpilih. Histerektomi total umumnya dilakukan dengan alasan

mencegah akan timbulnya karsinoma servisis uteri. Embolisasi arteri uterus (Uterin

Artery Embolization / UAE), adalah injeksi arteri uterina dengan butiran polyvinyl

alkohol melalui kateter yang nantinya akan menghambat aliran darah ke mioma dan

menyebabkan nekrosis.

Komplikasi yang dapat disebabkan oleh mioma uteri adalah Degenerasi

ganas, Torsi tangkai mioma, dan efek terhadap kehamilan yaitu Infertilitas, Abortus,

Persalinan prematuritas dan kelainan letak , Inersia uteri, Gangguan jalan partum,

perdarahan post partum, dan Retensi plasenta. Myoma yang kambuh kembali

(rekurens) setelah myomectomi terjadi pada 15-40% pasien dan 2/3nya

memerlukan tindakan lebih lanjut.


30

BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan
Telah dilaporkan pasien Ny. AA umur 35 tahun dengan keluhan pasien post operasi

atas indikasi mioma uteri. Pasien sudah menikah 6 tahun menikah dan tidak memiliki anak,

dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang, pasien didiagnosis dengan Mioma

Uteri post SVH + SOS. Tindakan yang dilakukan pada pasien adalah perawatan luka bekas

operasi.
31

DAFTAR PUSTAKA

1. Sarwono.2009. Ilmu Kebidanan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo

2. Jones. Derek Llewellyn.2001. Dasar-dasar obstetric dan

ginekologi.Jakarta.Hipokrates

3. Sarwono.2009. Ilmu Kandungan. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka

Sarwono Prawirohardjo

4. Rayburn, W. F., Christopher C. 2001. Obstetri dan Ginekologi. Widya

Medika. Jakarta.

5. Baradero, Mary, dkk. 2005. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan

Sistem Reproduksi & Seksualitas. Jakarta: EGC

6. Price Sylvia A, Wilson Lorraine M. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit. Jakarta: EGC; 2012.

7. Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga Jilid

kedua . Media Aesculapius : Jakarta

8. Thomason,Philip (2008) Leiomyoma Uterus.http: // Emedicine.

Medscape/ Com/ Artikel/ 405676- overview.

9. Genetics and the development of fibroids. KL Gross, CC Morton -

Clinical obstetrics and gynecology, 2001.

10. Djuwantono, T. (2005) Terapi GnRH Agonis Sebelum Histerektomi

atau Miomektomi. Farmacia. Riau: Digillib FK Riau.

11. Wiknjosastro, H. (2005). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina

Pustaka Sarwono Prawirohardjo.


32

12. Ganong, Williams F (2008) Buku Ajar Fisiologi Kedokteranedisi 2.

Jakarta : EGC.

13. Joedosapoetro, MS. (2005) Ilmu Kandungan. Edisi kedua. Jakarta:

Yayasan Bina Pustaka. Pp: 38-41.

14. Parker, W. H. (2007) Etiology, Symptomatology and Diagnosis of

Uterine Myomas”.American Society for Reproduktif Medicine

15. Scott JR, Disala PJ, Hammond CB. 2002. Danforth Buku Saku Obstetric

dan ginekologi. Jakarta: Widya Medika

16. Uterine fibroids. Stewart EA. Lancet. 2001.Center for Uterine Fibroids,

Department of Obstetrics, Gynecology and Reproductive Biology,

Brigham and Women's Hospital, Harvard Medical School, Boston,

Massachusetts

17. DeCherney AH, Nathan L. Goodwin TM, Laufer N. Current .Diagnosis

and Treatements in Obstetrics and Gynecology : Benign Disorders of

the Uterine Corpus. 10th Ed. McGraw-Hill. 2007

You might also like