Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh:
Amanda Nathania, S.Ked
04054821820149
Pembimbing:
dr. H. Masdianto Musa, Sp.PD., KAI., FINASIM
i
HALAMAN PENGESAHAN
Judul:
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) EKSASERBASI AKUT
Oleh:
Amanda Nathania, S.Ked
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bariperiode 19
November 2018 – 15 Desember 2018.
ii
KATA PENGANTAR
Salam sejahtera,
Segala puji bagi Allah SWT karena atas rahmat-Nya lah laporan kasus yang
berjudul “Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Eksaserbasi Akut” ini dapat
diselesaikan dengan baik.
Melalui tulisan ini, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:
1. dr. H. Masdianto Musa, Sp.PD., KAI., FINASIM sebagai dosen pembimbing.
2. Rekan-rekan seperjuangan yang turut meluangkan banyak waktu dalam membantu
proses penyelesaian laporan kasus ini.
3. Semua pihak yang telah ikut membantu proses penyusunan laporan kasus hingga
laporan kasus ini selesai.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis menyadari bahwa masih banyak
kekurangan, baik dari isi maupun teknik penulisan. Sehingga apabila ada kritik dan
saran dari semua pihak maupun pembaca untuk kesempurnaan laporan kasus ini,
penulis mengucapkan banyak terima kasih.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), PPOK
adalah penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya
reversible. Keterbatasan saluran napas tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan
respons inflamasi dikarenakan bahan yang merugikan atau gas. PPOK atau Penyakit Paru
Obstruksi Kronis merupakan penyakit yang dapat dicegah dan dirawat dengan beberapa
gejala ekstrapulmonar yang signifikan, yang dapat mengakibatkan tingkat keparahan yang
berbeda pada tiap individual. Asap rokok merupakan penyebab terpenting, jauh lebih penting
dari faktor penyebab lainnya. Faktor resiko genetik yang paling sering dijumpai adalah
defisiensi alfa-1 antitripsin, yang merupakan inhibitor sirkulasi utama dari protease serin.1,2
National Health Interview Survey, sebuah survei tahunan dari sekitar 40.000 rumah
tangga di Amerika Serikat menyatakan sekitar 10 juta orang dewasa di Amerika Serikat
didiagnosis PPOK berdasarkan diagnosis klinis dokter. Saat ini PPOK menduduki peringkat
nomor 4 dari penyakit yang paling sering menyebabkan kematian di Amerika Serikat, yaitu
5
sebesar 4,5% dari seluruh kematian. Saat ini, laki-laki masih memiliki tingkat mortalitas yang
lebih tinggi dibandingkan perempuan pada PPOK (83 vs 57 per 100.000 populasi). 3
Sedangkan mortalitas menduduki peringkat keempat penyebab terbanyak yaitu 18,6 per
100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat 32,9% dari tahun
1979 sampai 1991. Sedangkan prevalensi PPOK dinegara-negara Asia Tenggara diperkirakan
6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%).2
Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas, batuk kronis, dan
produktif. Penatalaksanaan bisa dibedakan berdasarkan derajat tingkat keparahan PPOK.
PPOK eksaserbasi didefinisikan sebagai peningkatan keluhan/gejala pada penderita PPOK
berupa 3P yaitu: 1. Peningkatan batuk/memburuknya batuk 2. Peningkatan produksi
dahak/phlegm 3. Peningkatan sesak nafas. Komplikasi bisa terjadi gagal nafas, infeksi
berulang dan cor pulmonal. Prognosa PPOK tergantung dari stage/derajat, penyakit paru
komorbid, penyakit komorboid lain.4,5
Kompetensi dokter umum untuk PPOK adalah 3B artinya dokter umum mampu
menegakkan diagnosis dan memberikan tatalaksana awal kegawatdaruratan berdasarkan
pemeriksaan yang sudah dilakukan. Kasus PPOK banyak ditemukan di Indonesia sehingga
dokter umum harus mengetahui dan memahami mengenai diagnosis dan tatalaksana PPOK.7
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI PASIEN
a. Nama : Sahnur bin Rohma
b. Umur : 76 tahun
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Agama : Islam
e. Pekerjaan : Petani
f. Alamat : Jl. Panca Usaha Lorong Halim 5 Ulu Palembang
g. No Registrasi : 10.33.18
h. Tgl masuk RS : 27 November 2018
II. ANAMNESIS
(Dilakukan autoanamnesis pada 28 November 2018 pukul 07.00 WIB)
Keluhan Utama
Sesak yang bertambah berat sejak 1 hari SMRS
Keluhan Tambahan
Batuk
Riwayat Penyakit Sekarang
6
± 6 bulan SMRS, pasien mengeluh sesak, sesak tidak dipengaruhi cuaca, emosi, dan
posisi. Sesak semakin berat saat aktivitas dan berkurang dengan istirahat, mengi tidak ada.
Pasien mengeluh batuk berdahak warna putih, tidak ada darah, keringat pada malam hari
tidak ada, penurunan nafsu makan dan berat badan tidak ada. Keluhan demam, mual, muntah,
dan nyeri dada tidak ada. Pasien tidak pernah terbangun malam hari karena sesak, pasien
tidur menggunakan satu bantal di kepala. BAK dan BAB seperti biasa. Pasien belum berobat
ke dokter.
Sejak 1 minggu SMRS, pasien mengeluh sesak, sesak tidak dipengaruhi cuaca, emosi,
dan posisi. Sesak semakin berat saat aktivitas namun tidak berkurang dengan istirahat, mengi
tidak ada. Pasien mengeluh batuk dan dahak sulit dikeluarkan. Dahak warna hijau, sebanyak
± ¼ sendok teh, tidak ada darah. Pasien mengeluh sulit tidur dan berkeringat malam hari.
Demam tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada. Nafsu makan seperti biasa, tidak ada
penurunan berat badan. BAK dan BAB seperti biasa.
Sejak 1 hari SMRS, pasien mengeluh sesak yang bertambah hebat. Sesak timbul saat
beristirahat. Sesak tidak dipengaruhi oleh cuaca, emosi, dan posisi. Mengi tidak ada. Pasien
mengeluh sulit tidur. Batuk ada, berdahak warna hijau, ± 1/2 sendok teh. Keringat malam hari
ada. Demam tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada. BAB dan BAK biasa. Kemudian os
dibawa ke IGD RSUD Bari Palembang.
7
- Riwayat kencing manis pada keluarga disangkal
- Riwayat penyakit TB paru pada keluarga disangkal
- Riwayat merokok pada keluarga disangkal
b. Keadaan Spesifik
1. Kepala
Normosefali, simetris, warna rambut hitam-putih, alopesia (-)
2. Mata
Edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-), exophthalmus (-),
pupil bulat, isokor, diameter 3 mm, refleks cahaya (+/+)
3. Hidung
Tampak luar tidak ada kelainan, septum deviasi (-), kavum nasi lapang, sekret (-),
epistaksis (-)
4. Mulut
Bibir kering (-), sianosis (-), sariawan (-), gusi berdarah (-), lidah berselaput (-), atrofi
papil (-), Tonsil T1-T1, faring hiperemis (-)
5. Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, kedua meatus acusticus eksterna lapang, keluar cairan
telinga (-), sekret (-), nyeri tekan mastoid (-)
6. Leher
JVP (5-2) cmH2O, pembesaran KGB (-), pembesaran kelenjar tiroid (-)
7. Thoraks
Inspeksi: simetris, barrel chest (+) retraksi (-), sela iga melebar (+/+)
Paru
Inspeksi : statis dan dinamis simetris
Palpasi : stem fremitus menurun di kedua paru, nyeri tekan (-)
8
Perkusi : hipersonor di kedua lapang paru, nyeri ketok (-), batas paru-hepar
ICS VII, peranjakan 1 sela iga
Auskultasi : vesikuler (+/+), ekspirasi memanjang, ronkhi basah sedang (+/+),
wheezing (+/+) ekspirasi
Jantung
Inspeksi : iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung sulit dinilai
Auskultasi : HR = 90x/menit, irama reguler, BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)
8. Abdomen
Inspeksi : datar, venektasi (-), caput medusae (-), striae (-)
Palpasi : lemas, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan epigastrium (-), nyeri
tekan suprapubik (-), ballottement (-)
Perkusi : timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA (-)
Auskultasi : bising usus (+) normal
9. Genitalia : tidak diperiksa
10. Ekstremitas : akral hangat (+), palmar pucat (-), edema (-), sianosis (-), clubbing
finger (-)
9
Interpretasi:
Paru: corakan bronkovaskuler meningkat, infiltrat di lapang atas paru kanan
Jantung: CTR < 50%
Diafragma: sudut costofrenikus lancip
Kesan: bronkitis kronik
V. Diagnosis
PPOK eksaserbasi akut
VIII. Tatalaksana
Non Farmakologis
O2 3 L/menit via nasal cannule
Istirahat/tirah baring
10
Edukasi
Diet nasi biasa
Farmakologis
IVFD RL gtt xx/m
Nebulisasi Pulmicort 1 fls + Combivent 1 fls/8 jam
Teofilin 2 x 150 mg (PO)
Metilprednisolon 3 x 4 gr (PO)
Ambroxol syr 3 x 15 mg (PO)
Levofloxacin 2 x 500 mg (PO)
IX. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
X. Follow Up
Tanggal 29 November 2018
S Keluhan: sesak berkurang, batuk berkurang
O:
Keadaan umum Tampak sakit sedang
Kesadaran Compos mentis
Tekanan darah 130/80 mmHg
Nadi 90 x/menit
Pernapasan 24 x/ menit
Temperatur 36,5 oC
Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat (-), sklera ikterik (-), epistaksis (-),
atrofi papil lidah (-)
Thorax: Inspeksi: barrel chest (+), retraksi (-), sela iga melebar (+/+)
Paru Inspeksi: statis dan dinamis simetris
Palpasi: stem fremitus menurun di kedua paru
Perkusi: hipersonor di kedua lapang paru
Auskultasi: vesikuler (+/+), ekspirasi memanjang, ronkhi basah
sedang (+/+), wheezing (+/+) ekspirasi.
11
Jantung Inspeksi: iktus cordis tidak terlihat
Palpasi: iktus cordis tidak teraba
Perkusi: batas jantung sulit dinilai
Aukskultasi: BJ I & II normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Ekstremitas Palmar pucat (-), akral hangat (+), CRT < 2 detik, clubbing finger
(-), edema tungkai (-)
A PPOK eksaserbasi akut
P Non Farmakologis
O2 3 L/menit via nasal cannule
Istirahat/tirah baring
Edukasi
Diet nasi biasa
Farmakologis
IVFD RL gtt xx/m
Nebulisasi Pulmicort 1 fls + Combivent 1 fls/8 jam
Teofilin 2 x 150 mg (PO)
Metilprednisolon 3 x 4 gr (PO)
Ambroxol syr 3 x 15 mg (PO)
Levofloxacin 2 x 500 mg (PO)
Keadaan spesifik
Kepala Konjungtiva palpebra pucat (-), Sklera ikterik (-), epistaksis (-),
atrofi papil lidah (-)
12
Thorax: Inspeksi: barrel chest (+), retraksi (-)
Paru Inspeksi: statis dan dinamis simetris
Palpasi: stem fremitus menurun di kedua paru
Perkusi: hipersonor di kedua lapang paru
Auskultasi: vesikuler (+/+), ronkhi basah sedang (+/+), wheezing
(+) ekspirasi minimal
Ekstremitas Palmar pucat (-), akral hangat (+), CRT < 2 detik, clubbing finger
(-), edema tungkai (-)
A PPOK eksaserbasi akut
P Non Farmakologis
O2 3 L/menit via nasal cannule
Istirahat/tirah baring
Edukasi
Diet nasi biasa
Farmakologis
IVFD RL gtt xx/m
Nebulisasi Pulmicort 1 fls + Combivent 1 fls/8 jam
Teofilin 2 x 150 mg (PO)
Metilprednisolon 3 x 4 gr (PO)
Ambroxol syr 3 x 15 mg (PO)
Levofloxacin 2 x 500 mg (PO)
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
13
3.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
3.1.1. Definisi1
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progresif ireversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri
dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronik
Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan
dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut-turut, tidak disebabkan
penyakit lainnya.
Emfisema
Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal
bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya cukup
banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema,
termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan napas yang tidak
reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.
3.1.2. Epidemiologi2,3,4,5
PPOK terjadi di seluruh dunia dan merupakan masalah kesehatan utama pada
populasi dimana merokok lazim ditemukan. Meskipun PPOK banyak terjadi pada
perokok, individu bukan perokok juga dapat menderita PPOK. Riwayat asma secara
signifikan berhubungan dengan kematian pada penderita PPOK bukan perokok.
Prevalensi PPOK pada populasi dewasa yang fungsi parunya sudah diukur adalah
sebesar 4-10%. Dalam National Health Interview Survey, sebuah survei tahunan dari
sekitar 40.000 rumah tangga di Amerika Serikat menyatakan bahwa sekitar 10 juta
orang dewasa di Amerika Serikat didiagnosis PPOK berdasarkan diagnosis klinis
dokter.
Tingkat kematian akibat PPOK di Amerika Serikat semakin meningkat pada
dekade belakangan ini dibandingkan tingkat kematian akibat penyakit jantung dan
serebrovaskuler yang menurun. Saat ini PPOK menduduki peringkat nomor 4 dari
penyakit yang paling sering menyebabkan kematian di Amerika Serikat, yaitu sebesar
4,5% dari seluruh kematian. Saat ini, laki-laki masih memiliki tingkat mortalitas yang
lebih tinggi dibandingkan perempuan pada PPOK (83 vs 57 per 100.000 populasi),
14
tetapi angka kematian ini semakin meningkat pada wanita dan stabil pada pria. Tingkat
kematian akibat PPOK pada wanita meningkat dua kali lipat dalam 20 tahun terakhir.
3.1.4. Patologi4
Saluran Napas Besar
Merokok seringkali menyebabkan pembesaran kelenjar mukosa dan hiperplasia
sel goblet yang kemudian menyebabkan batuk dan produksi mukus yang kemudian
berkembang menjadi bronkitis kronis. Pasien juga dapat mengalami hipertrofi otot
polos dan hiperreaktifitas bronkus yang berujung pada hambatan aliran udara.
15
juga terlihat. Kelainan-kelainan ini menyebabkan penyempitan lumen akibat fibrosis,
mukus yang berlebihan, edema, dan infiltrasi seluler.
Parenkim Paru
Emfisema ditandai dengan destruksi ruang pertukaran gas, contohnya pada
bronkiolus respiratorik, duktus alveolus, dan alveoli. Dinding-dinding ruang pertukaran
gas mengalami perforasi dan kemudian tersumbat oleh peleburan ruang udara kecil
menjadi ruang udara yang lebih besar dan abnormal. Makrofag berakumulasi pada
bronkiolus respiratorik pada seluruh perokok muda. Cairan bronkoalveolar pada
perokok mengandung makrofag 5 kali lebih banyak dibandingkan bukan perokok.
3.1.5. Patogenesis4,6
PPOK hadir sebagai gejala klinis dari perubahan struktur dan fungsi dari jaringan
alveolus dan saluran napas kecil. Banyak proses yang terjadi pada tingkat jaringan dan
seluler, yaitu inflamasi, proliferasi sel, apoptosis, perubahan fenotip sel-sel paru, serta
remodeling dari matriks ekstraseluler.
Inflamasi
Merokok dan iritan inhalasi lainya menyebabkan pengumpulan sel-sel inflamasi
pada paru dan saluran napas dan produk-produknya yang mencederai jaringan paru dan
mengganggu mekanisme perbaikan paru yang normal. Indikator inflamasi lainnya
adalah peningkatan sel inflamasi pada cairan lavase bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage fluid/BALF) dan sputum dan peningkatan produk volatil dari sel inflamasi pada
napas ekshalasi.
Ketidakseimbangan Oksidan-Antioksidan
Oksigen reaktif dalam asap rokok atau yang dilepaskan oleh sel-sel inflamasi dan
sel struktural dari paru sebagai respon terhadap paparan asap dapat berujung pada
cedera paru. Oksidan dapat mengubah dan mengnonaktifkan protein inhibitor protease
(seperti α1-AT dansecretory leukoproteaseinhibitor [SLPI]), danhistone deacetylase 2
(HDAC2), yang termasuk dalam respon anti inflamasi yang dimediasi oleh
glukokortikoid. Oksidan dapat mencetuskan inflamasi dan menginduksi apoptosis.
Hipersekresi Mukus
Mukus merupakan pelindung protektif normal pada saluran napas yang secara
konstan dibersihkan. Glikoprotein musin merupakan komponen utama dari mukus
disekresikan oleh kelenjar submukosa dan sel goblet saluran napas. Pada PPOK terjadi
16
hiperplasia sel goblet dan hipertrofi kelenjar dengan peningkatan rasio sel mukus
terhadap sel serosa. Perubahan ini dihubungkan dengan perubahan protein mukus.
Anamnesis
Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah
(BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara
Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
Pemeriksaan Fisik
Inspeksi
Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
Penggunaan otot bantu napas
Hipertropi otot bantu napas
Pelebaran sela iga
Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan
edema tungkai
Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah,
hepar terdorong ke bawah
Auskultasi
Suara napas vesikuler normal, atau melemah
Terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa
17
Ekspirasi memanjang
Bunyi jantung terdengar jauh
*Pink puffer: Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan
dan pernapasan pursed – lips breathing
*Blue bloater: Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis,
terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
*Pursed - lips breathing: Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu
dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan
retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi: % VEP1(VEP1/VEP1 prediksi) < 80% VEP1% (VEP1/KVP)
< 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE
meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1
atau APE < 20% nilai awal dan < 200 ml
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil
2. Darah rutin
3. Radiologi
18
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
Pada emfisema terlihat gambaran:
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance).
Pada bronkitis kronik:
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21% kasus
3.1.7. Diagnosis Banding1
Asma
SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculosis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita
paskatuberkulosis denganlesi paru yang minimal.
Pneumotoraks
Gagal jantung kronik
Penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal : bronkiektasis, destroyed
lung.
Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan
di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan
prognosisnya berbeda.
3.1.8. Tatalaksana
19
Tabel 2. Penilaian Pasien PPOK7
20
- Aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK (hasil spirometri)
- Penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan
- Tidak ada penggunaan bronkodilator tambahan
21
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum
Eksaserbasi akut akan dibagi menjadi tiga:
a. Tipe I (eksaserbasi berat), memiliki 3 gejala di atas
b. Tipe II (eksaserbasi sedang), memiliki 2 gejala di atas
c. Tipe III (eksaserbasi ringan), memiliki 1 gejala di atas ditambah infeksi saluran
napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk,
peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau
frekuensi nadi > 20% baseline.
Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi
yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Penatalaksanaan
eksaserbasi akut ringan dilakukan dirumah oleh penderita yang telah diedukasi dengan
cara:
- Menambahkan dosis bronkodilator atau dengan mengubah bentuk bronkodilator
yang digunakan dari bentuk inhaler, oral dengan bentuk nebuliser
- Menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur
- Menambahkan mukolitik
- Menambahkan ekspektoran
Bila dalam 2 hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.
Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan
atau rawat inap.
22
- Eksaserbasi sedang dan berat
- Terdapat komplikasi
- Infeksi saluran napas berat
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
- Gagal jantung kanan
Edukasi
Berhenti merokok merupakan terapi yang paling efektif pada pasien PPOK.
Penelitian telah menunjukkan bahwa diskusi singkat (kurang dari 10 menit) oleh dokter
dapat memotivasi pasien untuk berhenti merokok. Rencana berhenti merokok
merupakan bagian penting dari rencana perawatan yang komprehensif. Meskipun
banyak yang percaya bahwa tingkat keberhasilan untuk berhenti merokok rendah
karena beberapa faktos seperti potensi adiktif zat nikotin, kenyamanan mulut,
kebiasaan, stress psikososial, dan promosi gencar oleh industri tembakau. Proses
berhenti merokok harus melibatkan beberapa intervensi.
Fase transisi dari merokok menjadi tidak merokok melibatkan 5 tahap. Tahap ini
(1) prekontemplasi, (2) kontemplasi, (3) persiapan, (4) aksi, dan (5) pemeliharaan.
Program intervensi merokok harus didukung oleh diri sendiri, kelompok, dokter, tempat
kerja, dan masyarakat. Menetapkan target untuk berhenti mungkin dapat membantu.
Dokter dan tenaga kesehatan lainnya harus berpartisipasi dalam menetapkan target dan
harus menindaklanjuti tahapan pemeliharaan. Program penghentian sukses dengan
menggunakan beberapa cara berikut:
a. Edukasi pasien
b. Target untuk berhenti
c. Dukungan tindak lanjut
d. Pencegahan kekambuhan
e. Perubahan gaya hidup sehat
23
f. Sistem dukungan sosial
Menurut pedoman Preventive Services Task Force USA, dokter harus
memberitahukan kepada semua orang dewasa tentang penggunaan produk tembakau
dan memberikan intervensi penghentian kepada pengguna saat ini. Pedoman tersebut
menggunakan pendekatan konseling yang meliputi:
a. Tanyakan tentang penggunaan tembakau.
b. Menyarankan untuk berhenti melalui pesan pribadi.
c. Menilai kemauan untuk berhenti.
d. Membantu dengan benar-benar berhenti merokok.
e. Mengatur tindak lanjut perawatan dan memberikan dukungan.
3.1.9. Komplikasi1,7
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah:
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
2. Infeksi berulang
3. Kor pulmonal
3.1.10. Prognosis1,7
Setelah PPOK menjadi jelas secara klinis, angka rerata masa hidupnya adalah
sekitar 10 tahun. Prognosis ini bervariasi secara luas, penyakit PPOK merupakan salah
satu penyakit yang masa perjalanan penyakitnya bervariasi, kematian biasanya
dikarenakan rentannya pasien terhadap penyakit penyerta dan penyakit lain yang
berhubungan dengan merokok seperti kanker paru dibandingkan kegagalan sistem
pernapasan.
Indeks prognosis yang menjadi indikator untuk prognosis PPOK adalah indeks
BODE (Body mass index (BMI), Obstructive ventilatory defect severity, Dypsnea
severity, dan Exercise capacity). Perhitungan indeks BODE dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Perhitungan Indeks BODE
24
Skor BODE > 7 dihubungkan dengan 2-year mortality sebesar 30%; sementara skor 5-6
sebesar 15%. Apabila skor BODE < 5, 2-year mortality < 10%.
BAB IV
ANALISA KASUS
25
Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan utama sesak
semakin berat sejak 1 hari SMRS. Keluhan sesak telah ada sejak 6 bulan yang lalu, namun
semakin hari sesak dirasakan semakin parah. Dapat disimpulkan bahwa sesak bersifat kronis.
Kemungkinan penyakit pada pasien dengan sesak kronis antara lain asma, TB, PPOK,
penyakit jantung, efusi pleura, dan gangguan ginjal. Pertimbangan klinis mengenai keluhan
sesak napas dapat dibagi menjadi beberapa gangguan pada organ tubuh. Gangguan pada
organ paru terutama menjadi petimbangan utama, diikuti gangguan jantung yang dapat
menimbulkan sesak napas apabila terjadi edema paru, gangguan pada ginjal juga dapat
menimbulkan retensi cairan dan berakibat pada edema paru.
Pasien adalah seorang laki-laki, berusia 76 tahun. Pada anamnesis dan pemeriksaan
fisik didapatkan sesak pada pasien ini tidak dipengaruhi oleh cuaca, emosi, dan debu, serta
tidak ada keluhan mengi. Sesak juga tidak muncul sejak pasien masih anak-anak, riwayat
asma dan alergi dalam keluarga juga disangkal sehingga kemungkinan asma dapat
disingkirkan.
Pasien tidak merasakan timbul sembab di kedua tungkai, perut maupun di muka.
Pasien tidak terbangun malam hari karena sesak dan tidur menggunakan satu bantal di kepala.
Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan peningkatan tekanan vena jugularis, pada
pemeriksaan laboratorium kadar ureum dan kreatinin pasien normal. Oleh karena itu, sembab
kemungkinan bukan disebabkan oleh gangguan ginjal atau penyakit jantung.
Dari anamnesis, pasien mengeluh sesak dan batuk kronis yang disertai dengan
produksi dahak. Selain itu terdapat faktor risiko PPOK yaitu riwayat merokok sejak pasien
berusia muda dan berhenti merokok sejak 10 tahun SMRS. Kira-kira pasien sudah merokok
selama ± 50 tahun, setiap hari sekitar 2 bungkus rokok.
Kemudian dari pemeriksaan fisik thorax, pemeriksaan paru didapatkan sela iga yang
melebar dan barrel chest. Pada perkusi didapatkan hipersonor di kedua hemithorax, dan batas
paru hepar menurun pada ICS VII, hal ini menandakan terjadinya penekanan diafragma
akibat PPOK. Auskultasi didapatkan suara nafas pokok vesikuler pada kedua hemithorax,
ekspirasi memanjang, ronkhi basah sedang, dan suara nafas tambahan berupa wheezing
ekspirasi di seluruh lapang paru. Pada foto rontgen thorax PA, didapatkan gambaran sela iga
melebar yang merupakan tanda tanda terjadinya PPOK. Pada kasus ini didapatkan keluhan
batuk dahak purulen yang disertai dengan leukositosis, hal ini menandakan terjadinya
kemungkinan terjadinya ISPA (PPOK eksaserbasi).
Pasien ini didiagnosis dengan PPOK eksaserbasi karena pasien memiliki gejala utama
berupa sesak napas yang semakin hebat, jumlah sputum yang lebih banyak dan sputum yang
26
purulen. Pasien ini didagnosis banding dengan asma karena adanya wheezing ekspirasi.
Namun diagnosis PPOK menjadi lebih mungkin dibandingkan asma karena pada pasien tidak
didapatkan riwayat alergi maupun atopi pada keluarga, keluhan sesak pertama kali
dikeluhkan pada usia tua, dan adanya paparan faktor risiko merokok pada pasien. Pasien ini
juga didiagnosis banding dengan SOPT karena pasien memiliki riwayat penyakit TB paru
yang sudah dinyatakan sembuh/selesai pengobatan. Diagnosis PPOK ditegakkan dari gejala
berupa sesak napas, batuk kronis dan sputum, disertai dengan adanya paparan terhadap faktor
risiko tembakau.
Tatalaksana pada pasien ini dengan pemberian oksigen 3 L/m, nebulisasi Pulmicort 1
fls + Combivent 1 fls yang mengandung budesonide, ipratroprium bromide, dan salbutamol
sulfat setiap 8 jam. Teofilin 2 x 150 mg dan metilprednisolon 3 x 4 gr diberikan untuk
mengatasi sesak, ambroxol syr 3 x 15 mg juga diberikan untuk membantu pengeluaran dahak,
dan levofloxacin 2 x 500 mg juga diberikan sebagai antibiotik untuk ISPA. Namun, dari
semua terapi diatas, berhenti merokok merupakan terapi yang paling efektif pada pasien
PPOK. Proses berhenti merokok harus melibatkan beberapa intervensi dan harus didukung
oleh diri sendiri, kelompok, dokter, tempat kerja, dan masyarakat. Pasien juga harus memiliki
pola hidup yang baik dan sering berolahraga.
Follow up hari kedua perawatan, keluhan sesak dan batuk berdahak masih ada.
Dengan laju pernafasan 26 x/menit, auskultasi vesikuler (+), ronkhi basah sedang (+),
wheezing ekspirasi (+) masih ada. Terapi diteruskan. Hari ke-3, keluhan sesak berkurang,
batuk masih ada. Terapi diteruskan. Hari ke-4, keluhan sesak dan batuk berkurang, dengan
frekuensi pernapasan 24 x/menit. Ronkhi basah sedang (+), dengan wheezing ekspirasi (+)
minimal. Terapi diteruskan. Hari ke-5, keluhan sesak tidak ada lagi, batuk berkurang,
frekuensi pernapasan 20 x/menit. Pasien direncanakan rawat jalan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ario Patrianto Partodimulyo dan Faisal Yunus, Kualitas Hidup penderita PPOK, J Respir
Indo vol 25, no 2, April, 2006.
27
2. Buist AS, McBurnie MA, Vollmer WM, Gillespie S, Burney P, Mannino DM, Menezes
AM, Sullivan SD, Lee TA, Weiss KB, Jensen RL, Marks GB, Gulsvik A, Nizankowska-
Mogilnicka E; BOLD Collaborative Research Group,International variation in the
prevalence of COPD (the BOLD Study): a population-based prevalence study. Lancet.
2007 Sep 1;370(9589):741-50.
3. Heidy Agustin dan Faisal Yunus, Proses Metabolisme pada PPOK, J Respir Indo vol 28 no
3 Juli, 2008.
4. GOLD boards of directors. 2017. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease:
Pocket Guide to COPD Diagnosis, Management, And Prevention A Guide for Health Care
Professionals 2017 Edition. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease, Inc.
Diakses dari http://www.goldcopd.org.
5. MN Bustan Epidemiologi Penyakit Tidak Menular, PT Rineka Cipta, Jakarta 2007.
6. Mc Connell R, Bechame K, Yao L, et al, Traffic, Susceptibility and Childhoodism,
Envirron Health Perspect 2006:114;766-772.
7. National Institutes of Health, National Heart, Lung and Blood Institutes. Global Iniatiative
for Chronic Obstructive Lung Disease. NHLBI/WHO workshop report, 2001.
8. PPOK. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Asma Di Indonesia. Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia Edisi 2011.
9. Perez Padilla R, Regalado J, Vedal S, et al, Exposure to biomass smoke and chronic
airway disease, a case control study inMexican women , Am J Respir Crit Care Med
1996:154;701-706.
10. WHO, World Health Statistics 2008, Geneva .
11. Y Liu, K Lee, R Perez Padilla, NL Hudson, DM Mannino, Outdoor and in door air
pollution and COPD related disease in high and low income countries, Int J Tuberc Lung
Dis, 2008, 12(2); p.115-127.
28