You are on page 1of 5

Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi menjadi 3 tipe.

Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi, Tipe II yaitu kegagalan ventilasi , tipe III
adalah gabungan antara kegagalan oksigenasi dan ventilasi. 2

Gagal Nafas Tipe I (Kegagalan Oksigenasi; Hypoxaemia arteri)


Tekanan parsial O2 dalam arteri mencerminkan:
a) Tekanan parsial O2 gas inspirasi;
b) Ventilasi semenit;
c) Kuantitas darah yang mengalir melalui pembuluh kapiler paru;
d) Saturasi O2 dalam Hb darah yang mengalir dalam kapiler paru (dipengaruhi
metabolism jaringan dan cardiac output);
e) Difusi melalui membrane alveolar; dan
f) Ventilation-perfusion matching

Gagal nafas tipe I ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang abnormal
rendah. Mungkin hal tersebut diakibatkan oleh setiap kelainan yang menyebabkan
rendahnya ventilasi perfusi atau shunting intrapulmoner dari kanan ke kiri yang
ditandai dengan rendahnya tekanan parsial O2 arteri (PaO2 < 60 mm Hg saat
menghirup udara ruangan), peningkatan perbedaan PAO2 – PaO2, venous admixture
dan Vd/VT.

Patofisiologi mekanisme hipoksemia arterial:


A. Penurunan tekanan parsial O2 dalam alveoli
1. Hipoventilasi
2. Penurunan tekanan parsial O2 udara inspirasi
3. Underventilated alveoli (areas of low ventilation-perfusion)
B. Shunting intrapulmoner (areas of zero ventilation-perfusion)
C Penurunan mixed venous O2 content (saturasi haemoglobin yang rendah)
1. Peningkatan kecepatan metabolisme
2. Penurunan cardiac output
3. Penurunan arterial O2 content.

Penyebab gagal nafas tipe I (Kegagalan Oksigenasi):


1. Adult respiratory distress syndrome (ARDS)
2. Asthma
3. Oedem Pulmo
4. Chronic obstructive pulmonary disease (COPD)
5. Fibrosis interstitial
6. Pneumonia
7. Pneumothorax
8. Emboli Paru
9. Hipertensi Pulmonal

Gagal Nafas Tipe II (Kegagalan Ventilasi: Arterial Hypercapnia):


Tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan efesiensi mekanisme ventilasi yang
membuang (washes out) produksi CO2 dari hasil metabolism jaringan. Gagal nafas
tipe II dapat disebabkan oleh setiap kelainan yang menurunkan central respiratory
drive, mempengaruhi tranmisi sinyal dari CNS (central nervous system), atau
hambatan kemampuan otot-otot respirasi untuk mengembangkan paru dan dinding
dada. Gagal nafas tipe II ditandai dengan peningkatan tekanan parsial CO2 arteri yang
abnormal (PaCO2 > 46 mm Hg), dan diikuti secara simultan dengan turunnya PAO 2
dan PaO2, oleh karena itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak berubah.

Penyebab gagal nafas tipe II:


A. Kelainan yang mengenai central ventilatory drive
1. Infark atau perdarahan batang otak
2. Penekanan masa supratentoral pada batang otak
3. Overdosis obat, narkotik, Benzodiazepines, agen anestesi, dll.
B. Kelainan yang mengenai tranmisi sinyal ke otot-otot respirasi
1. Myasthenia Gravis
2. Amyotrophic lateral sclerosis
3. Gullain-Barrè syndrome
4. Spinal –Cord injury
5. Multiple sclerosis
6. Paralisis residual (pelumpuh otot)
C. Kelainan pada otot-otot pernafasan dan dinding dada
1. Muscular dystrophy
2. Polymyositis
3. Flail Chest

Gagal Nafas Tipe III (Gabungan kegagalan oksigenasi dan ventilasi):


Gagal nafas tipe III menunjukkan gambaran baik hipoksemia dan hiperkarbia
(penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2). Penilaian berdasarkan pada persamaan gas
alveolar menunjukkan adanya peningkatan perbedaan antara PAO2 – PaO2, venous
admixture dan Vd/VT. Dalam teori , seriap kelainan yang menyebabkan gagal nafas
tipe I atau tipe II dapat menyebabkan gagal nafas tipe III.2

Penyebab tersering gagal nafas tipe III:


1. Adult respiratory distress syndrome (ARDS)
2. Asthma
3. Chronic obstructive pulmonary disease

Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing masing mempunyai pengertian yang berbeda. Gagal nafas akut adalah
gagal nafas yang timbul pada pasien yang parunyanormal secara struktural maupun
fungsional sebelum awitan penyakit timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah
terjadi pada pasien dengan penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema
dan penyakit paru hitam (penyakit penambang batubara). Pasien mengalalmi toleransi
terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang memburuk secara bertahap. Setelah gagal
nafas akut biasanya paru-paru kembali kekeasaan asalnya. Pada gagal nafas kronik
struktur paru alami kerusakan yang ireversibel.3 Indikator gagal nafas telah frekuensi
pernafasan dan kapasitas vital, frekuensi penapasan normal ialah 16-20 x/mnt. Bila
lebih dari 20x/mnt tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena “kerja
pernafasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas vital adalah ukuran
ventilasi (normal 10-20 ml/kg). Gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi
yang tidak adekuatdimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang
mengendalikan pernapasan terletak di bawah batang otak (pons dan medulla). Pada
kasus pasien dengan anestesi, cidera kepala, stroke, tumor otak, ensefalitis,
meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai kemampuan menekan pusat
pernafasan. Sehingga pernafasan menjadi lambat dan dangkal. Pada periode
postoperatif dengan anestesi bisa terjadi pernafasan tidak adekuat karena terdapat
agen menekan pernafasan dengan efek yang dikeluarkanatau dengan meningkatkan
efek dari analgetik opiood. Pnemonia atau dengan penyakit paru-paru dapat mengarah
ke gagal nafas akut.3

Pada pernafasan spontan inspirasi terjadi karena diafragma dan otot


intercostalis berkontraksi, rongga dada mengembang dan terjadi tekanan negatif
sehingga aliran udara masuk ke paru, sedangkan fase ekspirasi berjalan secara pasif .
Pada pernafasan dengan ventilasi mekanik, ventilator mengirimkan udara dengan
memompakan ke paru pasien, sehingga tekanan selama inspirasi adalah positif dan
menyebabkan tekanan intra thorakal meningkat. Pada akhir inspirasi tekanan dalam
rongga thoraks paling positif.

Terdapat 2 mekanisme dasar yang mengakibatkan kegagalan pernafasan yaitu


obstruksi saluran nafas dan konsolidasi atau kolaps alveolus. Apabila seorang anak
menderita infeksi saluran nafas maka akan terjadi :

1) Sekresi trakeobronkial bertambah


2) Proses peradangan dan sumbatan jalan nafas
3) Aliran darah pulmonal bertambah
4) Metabolic rate bertambah

Akibat edema mukosa, lendir yang tebal dan spasme otot polos maka lumen
saluran nafas berkurang dengan hebat. Hal ini mengakibatkan terperangkapnya udara
dibagian distal sumbatan yang akan menyebabkan gangguan oksigenasi dan ventilasi.
Gangguan difusi dan retensi CO2 menimbulkan hipoksemia dan hipercapnea, kedua
hal ini disertai kerja pernafasan yang bertambah sehingga menimbulkan kelelahan dan
timbulnya asidosis. Hipoksia dan hipercapnea akan menyebabkan ventilasi alveolus
terganggu sehingga terjadi depresi pernafasan, bila berlanjut akan menyebabkan
kegagalan pernafasan dan akirnya kematian. Hipoksemia akan menyebabkan
vasokontriksi pembuluh darah pulmonal yang menyebabkan tahanan alveolus
bertambah, akibatnya jantung akan bekerja lebih berat, beban jantung bertambah dan
akirnya menyebabkan gagal jantung. Akibat bertambahnya aliran darah paru,
hipoksemia yang mengakibatkan permiabilitas kapiler bertambah, retensi CO2 yang
mengakibatkan bronkokontriksi dan ‘metabolic rate’ yang bertambah, terjadinya
edema paru. Dengan terjadinya edema paru juga terjadinya gangguan ventilasi dan
oksigenisasi yang akhirnya dapat menimbulkan gagal nafas.
Pada scenario diketahui bahwa pasien menderita batuk lama, maka dicurigai bahwa
pasien menderita penyakit paru yang lama dimana komplikasi dari penyakit tersebut
adalah sebagai berikut :4

 Hemoptisis masif (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat


mengakibatkan kematian karena sumbatan jalan napas, atau syok
hipo¬volemik,
 Kolaps lobus akibat sumbatan bronkus,
 Bronkietasis (pelebaran bronkus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan
ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru,
 Pneumotoraks (pnemotorak/ udara didalam rongga pleura) spontan: kolaps
spontan karena bula/ blep yang pecah,
 Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, sendi, ginjal dan
sebagainya,
 Insufisiensi kardio pulmoner (cardio pulmonary insufficiency).

Mekanisme Kompensasi pada Gagal Nafas:


Respon terhadap hipoksemia tergantung pada kemampuan pasien untuk
mengenali adanya keadaan hipoksemia dan kemudian untuk meningkatkan cardiac
output dan ventilasi semenit untuk memperbaiki situasi tersebut. Kemoreseptor perifer
yang berlokasi di arkus aorta dan bifurcation arteri carotis mengirim sinyal aferen ke
otak.2
Karena cardiac output (hemoglobin yang mengikat oksigen) menurun pada
jaringan perifer dan oksigen yang dialirkan ke membran mukosa sedikit sehingga
hipoksia jaringan dengan manifestasi pucat dan apabila berlangsung lama akan
menyebabkan sianosis.

You might also like