You are on page 1of 8

3.

Tuberkulosis Ekstraparu (Tuberkulosis Kelenjar)

3.1 Definisi

Limfadenitis tuberkulosis adalah kuman tuberkulosis yang menyerang kelenjar


getah bening yang dapat terjadi pada kelenjar getah bening perifer, mediastinal
dan mesentrik.
Tuberkulosis kelenjar (Limfadenitis tuberkulosis) adalah ekstrapulmonal
tuberkulosis yang paling sering ditemui. Infeksi limfadenitis tuberkulosis ini
disebabkan oleh kuman yang sama yang menyerang parenkim paru, yaitu M.
tuberculosis, M. bovis atau M. africanum.

3.2 Etiologi
Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacteria tergolong dalam famili Mycobactericeae dan ordo
Actinomyceales. Spesies patogen yang termasuk dalam Mycobacterium
kompleks, yang merupakan agen penyebab penyakit yang tersering dan terpenting
adalah Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong dalam Mycobacterium
tuberculosae complex adalah : M. tuberculosae, M. bovis, M. caprae, M.
africanum, M. Microti, M. Pinnipedii, M.canettii. Pembagian tersebut berdasarkan
perbedaan epidemiologi.

!26
3.3 Epidemiologi

Walaupun dapat mengenai semua usia, limfadenitis TB lebih sering menyerang


wanita muda dengan rasio wanita:pria = 2:1. Beberapa studi melaporkan puncak
usia terjadinya limfadenitis TB adalah usia 20-40 tahun. Prevalensi limfadenitis
TB pada pasien HIV lebih tinggi dibandingkan kelompok non HIV seiring dengan
penurunan kadar CD4. Pada kelompok ini diperkirakan terdapat 53-63% kasus
limfadenitis TB.

3.3 Patogenesis

Pada pasien limfadenitis servikalis TB pada orang dewasa didapatkan kurang


dari 30% abnormal pada foto toraks. Gambaran yang sering terjadi adalah
gambaran bekas TB yang mendukung kemungkinan limfadenitis TB yang
merupakan hasil dari reaktivasi infeksi TB sebelumnya. Karena itu ada postulat
yang menyatakan bahwa limfadenitis servikalis TB terjadi karena infeksi TB
pada tonsil, adenoid dan cincin Waldeyer yang kemudian menyebar ke kelenjar
limfatik servikal. Abdominal limfadenopati TB terjadi kemungkinan dari ingesti
sputum atau susu yang terinfeksi M. tuberculosis atau M. bovis. Walaupun
sebagian besar kasus limfadenitis TB terjadi dengan kejadian reaktivasi dari
infeksi laten, tetapi disseminasi miliar dengan keterlibatan kelenjar getah bening
yang dominan pada infeksi primer dapat juga terjadi.
Menurut Raviglione (2010), organ ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh
basil tuberkulosis adalah kelenjar getah bening, pleura, saluran kemih, tulang,
meningens, peritoneum, dan perikardium. TB primer terjadi pada saat seseorang
pertama kali terpapar terhadap basil tuberkulosis.
Basil TB ini masuk ke paru dengan cara inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB
ini akan difagosit oleh makrofag dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama,
basil TB akan mati difagosit oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan
hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar
secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen. Penyebaran basil
TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe regional di hilus,
dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan reaksi inflamasi di
sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe regional
!27
(limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3 – 4 minggu setelah
infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini akan membatasi
penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB dalam makrofag
membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon. Fokus Ghon bersama-
sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional disebut dengan kompleks
Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan dua hal penting. Pertama,
fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah terdapat imunitas seluler yang
spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon merupakan suatu lesi
penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam keadaan laten yang dapat
bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa tereaktivasi kembali menimbulkan
penyakit.
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah memiliki
imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya imunitas seluler
akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB primer disertai
dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti pada TB primer, basil
TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama melalui aliran limfe menuju
kelenjar limfe lalu ke semua organ. Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan
paratrakeal merupakan tempat penyebaran pertama dari infeksi TB pada
parenkim paru.
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu
menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah basil
TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan difagosit
oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke kelenjar limfe di
leher.

3.4 Gejala Klinik

a. Limfadenitis TB Perifer

Limfadenitis TB perifer pada orang dewasa paling sering menyerang


pada daerah servikal posterior, anterior dan fossa supraklavikula
walaupun juga dapat menyerang daerah aksila, inguinal, submandibular,
dan kadang-kadang preaurikula atau kelenjar sub mental dan kelenjar

!28
intramari. NTM limfadenitis jarang pada orang dewasa tapi relatif lebih
sering pada anak dan penderita HIV.
Limfadenitis TB bersifat indolent dan biasanya bilateral, tidak nyeri
tekan, elastis, terdpat kelenjar dengan beberapa di sekitarnya (satelit),
kulit sekitarnya normal dan umumnya perjalanan penyakit lambat/tidak
progresif. Jika kelenjar tersebut berkembang progresif dapat terjadi
inflamasi pada kulit di atasnya, dan dapat terjadi ruptur kelenjar sehingga
formasi yang membentuk suatu saluran yang susah sembuh. Gejala
konstitusional dapat ringan atau tidak ditemukan sama sekali, hanya
kurang 20% penderita yang mempunyai gejala penurunan berat badan,
peningkatan suhu badan, anoreksia, fatigue, lemah badan atau nyeri.
Limfadenopati general dan hepatosplenomegali ditemukan kurang dari
5% dari sebagian besar serial kasus.

b. Limfadenitis mediastinal TB

Limfadenopati mediastinal adalah gambaran TB primer dan umumnya


ditemukan pada gambaran foto toraks pada anak-anak. Jika terjadi pada
orang dewasa non HIV adanya limfadenopati mediastinal perlu dipikirkan
kemungkinan keganasan. Sebaliknya pada orang dewasa yang terkena HIV
dapat terjadi gambaran TB primer termasuk timbulnya limfadenopati
mediastinal karena TB. Pada limfadenopati mediastinal dapat timbul
keluhan sesak karena kompresi struktur vaskuler intratoraks seperti vena
atau arteri pulmonalis dan jarang ke vena cava superior. Adenopati
intratoraks dapat pula menekan bronkus sehingga menimbulkan atelektasis
yang berlanjut infeksi paru dan mungkin bronkiektasis. Walaupun jarang
terjadi dapat pula timbul obstruksi saluran napas atas akibat pembesaran
kelenjar servikal. Hal lain yang mungkin timbul adalah chylothoraks karena
obstruksi limfatiks dari duktus toraksikus.

c. Limfadenitis mesentrik TB

Pada pasien HIV negatif timbulnya limfadenopati mesentrik saja


jarang. Biasanya dengan peritonitis atau colitis TB. Limfadenopati
!29
peritoneal tuberkulosis paling sering mengenai kelenjar regio periportal,
peripankreatik dan kelenjar mesentrik. Jika terkena kelenjar hepatik dapat
menimbulkan ikterik, trombosis vena portal, dan hipertensi portal.
Kompresi a. renalis akibat limfadenopati abdominal tuberkulosis dapat
menyebabkan hipertensi renovaskular. Dapat pula terjadi ascites yang
bersifat chylous karena obstruksi limfatik retroperitoneal akibat penekanan
kelenjar getah bening daerah abdomen.
Adenopati mesentrik sering dijumpai pada pasien HIV karena infeksi
ke-2 kuman M. tuberculosis dan MAC. Pada negara industri tampaknya
MAC lebih sering menyebabkan adenopati mesentrik, berbeda dengan
negara berkembang yang lebih sering disebabkan M. tuberculosis pada
pasien dengan HIV. Peningkatan kasus limfadenopati mesentrik juga
merupakan salah satu menifestasi yang paling sering dari immune
restoration disease (IRD) pada pasien koinfeksi TB HIV yang mulai terapi
antiretroviral (ART).
Menurut Jones dan Campbell (1962) dalam Mohapatra (2004)
limfadenopati tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima
stadium yaitu:
1. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.
2. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan
sekitar
oleh karena adanya periadenitis.
3. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening) akibat
pembentukan abses.
4. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
5. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.

3.5 Diagnostik

Untuk penegakkan diagnostik limfadenopati perifer dapat dilakukan fine


needle aspiration biopsy (FNAB) atau biopsy jarum halus (BAJAH) dengan
sensitivitas antara 42-83%. Pemeriksaan FNAB relatif aman dan tidak mahal.
Spesimen dari FNAB sebaiknya dilakukan pemeriksaan mikroskopik, kultur,

!30
sitologi, dan PCR jika memungkinkan. Pemeriksaan diagnostik molekuler seperti
PCR jelas meningkatkan sensitivitas FNAB untuk diagnostik TB. Jika ada
perbedaan atau kesenjangan antara kesan klinis dengan hasil histologi maka
sebaiknya dilakukan pemeriksaan PCR.
Pada beberapa kasus diperlukan biopsi eksisi, jika dari biopsi jarum halus tidak
memberikan hasil. Biopsi eksisi akan memberikan hasil yang lebih tinggi
sensitivitasnya jika dilakukan pemeriksaan BTA dan kultur. Resistensi dilakukan
juga jika ada kecurigaan kemungkinan muti drug resistence (MDR TB).
Biopsi eksisi adalah pilihan utama pada pasien limfadenitis TB karena NTM
karena respon terapi yang sering suboptimal. Biopsi insisi sebaiknya dihinidari
karena cendderung menimbulkan formasi sinus yang komplikasi ini tidak terjadi
pada FNAB.
Pewarnaan BTA memberikan hasil positif kurang lebih dari 25-50% spesimen,
dan kultur kuman M. tuberculosis positif ditemukan pada 70% spesimen biopsy.
Kemungkinan BTA dan biakan lebih besar ditemukan pada pasien HIV positif
pada kelompok HIV positif dibandingkan dengan yang HIV negatif. Adanya
penampilan perkijuan makroskopik yang ditemukan dengan kasat mata juga
membantu menegakkan diagnostik.
Foto toraks dapat menunjukkan kelainan yang konsisten dengan TB paru pada
14-20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus.
USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik multilokular singular atau
multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh kapsul tebal. Pemeriksaan dengan USG
juga dapat dilakukan untuk membedakan penyebab pembesaran kelenjar (infeksi
TB, metastatik, lymphoma, atau reaktif hiperplasia). Pada pembesaran kelenjar
yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya ditandai dengan fusion tendency,
peripheral halo, dan internal echoes.
Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan lusensi sentral,
adanya cincin irregular pada contrast enhancement serta nodularitas didalamnya,
derajat homogenitas yang bervariasi, adanya manifestasi inflamasi pada lapisan
dermal dan subkutan mengarahkan pada limfadenitis TB.
Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret, konglumerasi, dan
konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering terjadi pada daerah perifer
!31
dibandingkan sentral, dan hal ini bersama-sama dengan edema jaringan lunak
membedakannya dengan kelenjar metastatik
Diferensial diagnosis pada tuberkulosis limfadenitis TB pada daerah colli di
anntaranya adalah kasus infeksi (NTM seperti M. scrofulaceum, M. avium
complex, M. kansasii, virus, Chlamydia, bakteri, fungi dan toksoplasma),
neoplasma (limfoma, sarcoma, adenoma, tumor Warthin, penyakit Hodgkin’s dan
metastasis karsinoma), reaksi obat (hidantoin), sarkoidosis, nonspesifik
hyperplasia reaktif dan non limfoid neck.
Tes tuberkulin adalah salah satu prosedur diagnostik non invasif dan
memberikan nilai positif pada lebih dari 90% pasien dengan limfadenitis
tuberkulosis.

3.6 Terapi

Belum banyak studi tentang lama pengobatan dan respon pengobatan


limfadenitis TB dibandingkan studi pada TB paru. Secara umum respon terhadap
standar pengobatan selama 6-9 bualn, dengan perincian 2 bulan pertama dengan
rifampisin, isnoiazid, etambutol dan pyrazinamid lalu diikuti 4-7 bulan dengan
rifampisin dan isoniazid. Dapat terjadi paradoksikal ekspansi limfadenopati, yakni
pembesaran kelenjar dan mungkin disertai penambahan jumlah kelenjar setelah
diobati terutama 2 bulan pertama dapat terjadi pada 20% kasus, tetapi hal ini
bukan berarti kegagalan terapi. Lama terapi limfadenitis TB yang disebabkan oleh
MDR TB tidak diketahui secara pasti.
Pada pasien koinfeksi TB HIV perburukan paradoksikal dihubungkan dengan
manifestasi dari immune reconstitution syndrome setelah pemberian obat ART
yang biasanya meliputi pembesaran kelenjar pada daerah abdominal, aksila dan
mediastinal. Kondisi klinis juga dapat memburuk dengan adanya immune
reconstitution syndrome tersebut.

3.7 Prognosis
Angka relaps dilaporkan pada pasien limfadenitis TB sekitar 3,5%. Sebagian
kecil saja (7-11%) yang pada akhir pengobatan masih ditemukan sisa kelenjar
getah beningnya.

You might also like