You are on page 1of 31

LAPORAN PENDAHULUAN MAHASISWA PROFESI KEPERAWATAN MEDIKAL

BEDAH
CKD / GGK
(Chronic Kidney Disease / Gagal Ginjal Kronik)

NAMA : ENGLA DIRSA PUTRI


NIM : 18091015
RUANGAN : HD

A. Konsep Dasar
1. Definisi
Gagal ginjal kronik atau penyakit ginjal tahap akhir adalah gangguan fungsi ginjal yang
menahun bersifat progresif dan irreversibel. Dimana kemampuan tubuh gagal untuk
mempertahankan metabolism dan keseimbangan cairan dan elektrolit yang menyebabkan
uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer dan Bare, 2013).
Chronic kidney disease (CKD) adalah suatu kerusakan pada struktur atau fungsi ginjal
yang berlangsung ≥ 3 bulan, dengan atau tanpa disertai penurunan glomerular filtration rate
(GFR). Selain itu, CKD dapat pula didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana GFR < 60
mL/menit/1,73 m2 selama ≥ 3 bulan dengan atau tanpa disertai kerusakan ginjal
2. Etiologi
Penyebab tersering terjadinya CKD adalah diabetes dan tekanan darah tinggi, yaitu sekitar
dua pertiga dari seluruh kasus (National Kidney Foundation, 2015).

Penyebab gagal ginjal kronik menurut Andra & Yessie, 2013 :


a. Gangguan pembuluh darah : berbagai jenis lesi vaskuler dapat menyebabkan iskemik ginjal
dan kematian jaringan ginjal. Lesi yang paling sering adalah aterosklerosis pada arteri
renalis yang besar, dengan konstriksi skleratik progresif pada pembuluh darah. Hiperplasia
fibromuskular pada satu atau lebih arteri besar yang juga menimbulkan sumbtan pembuluh
darah. Nefrosklerosis yaitU suatu kondisi yang disebabkan oleh hipertensi lama yang tidak
di obati, dikarakteristikkan oleh penebalan, hilangnya elastisitas system, perubahan darah
ginjal mengakibatkan penurunan aliran darah dan akhirnya gagal ginjal.
b. Gangguan imunologis : Seperti glomerulonefritis
c. Infeksi : Dapat disebabkan oleh beberapa jenis bakteri terutama E.Coli yang berasal dari
kontaminasi tinja pada traktus urinarius bakteri. Bakteri ini mencapai ginjal melalui aliran
darah atau yang lebih sering secara ascenden dari traktus urinarius bagi. Bawah lewat
ureter ke ginjal sehingga dapat menimbulkan kerusakan irreversibel ginjal yang disebut
pielonefritis.
d. Gangguan metabolik : Seperti DM yang menyebabkan mobilisasi lemak meningkat
sehingga terjadi penebalan membrane kapiler dan di ginjal dan berlanjut dengan disfungsi
endotel sehingga terjadi nefropati amiloidosis yang disebabkan oleh endapan zat-zat
proteinemia abnormal pada dinding pembuluh darah secara serius merusak membrane
glomerulus.
e. Gangguan tubulus primer : terjadinya nefrotoksis akibat analgesic atau logam berat.
f. Obstruksi traktus urinarius: oleh batu ginjal, hipertrofi prostat, dan konstriksi uretra.
g. Kelainan kongenital dan herediter : penyakit polikistik = kondisi keturunan yang
dikarakteristik oleh terjadinya kista/kantong berisi cairan di dalam ginjal dan organ lain,
serta tidak adanya jar.ginjal yang bersifat kongenital ( hipoplasia renalis) serta adanya
asidosis.

3. Klasifikasi
Menurut Corwin, 2009, penyakit ginjal kronik dibagi menjadi beberapa stadium
berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG), yaitu
1. Stage 1 : kelainan ginjal yang ditandai dengan albuminaria persisten dan LFG yang
masih normal ( > 90 ml / menit / 1,73 m2
2. Stage 2 : Kelainan ginjal dengan albuminaria persisten dan LFG antara 60-89
mL/menit/1,73 m2
3. Stage 3 : kelainan ginjal dengan LFG antara 30-59 mL/menit/1,73m2
4. Stage 4 : kelainan ginjal dengan LFG antara 15-29mL/menit/1,73m2
5. Stage 5 : kelainan ginjal dengan LFG < 15mL/menit/1,73m2 atau gagal ginjal terminal.
Untuk menilai GFR ( Glomelular Filtration Rate ) / CCT ( Clearance Creatinin Test )
dapat digunakan dengan rumus :
Clearance creatinin ( ml/ menit ) = (( 140-umur ) x berat badan ( kg ))
( 72 x creatini serum )
Pada wanita hasil tersebut dikalikan dengan 0,85.
Menentukan keseimbangan cairan tubuh
Rumus : Intake - Output
Intake : air minum, air dalam makanan, air metabolisme,
cairan intravena/injeksi
Output : urine, IWL, feses dan muntah
Rumus Insesible Water Loss (IWL) : 15/Kg BB/Hari
Jika ada kenaikan suhu badan : IWL + 200 (suhu badan sekarang - 36,8)
Air metabolisme dewasa : 5 ml/Kg BB/Hari

4. Patofisiologi

Gagal ginjal kronik disebabkan oleh berbagai kondisi, seperti gangguan metabolic
(DM), Infeksi (Pielonefritis), Obstruksi Traktus Urinarius, Gangguan Imunologis, Hipertensi,
Gangguan tubulus primer (nefrotoksin) dan Gangguan kongenital yang menyebabkan GFR
menurun.
Pada waktu terjadi kegagalan ginjal sebagian nefron (termasuk glomerulus dan tubulus
) diduga utuh sedangkan yang lain rusak ( hipotesa nefron utuh ). Nefron-nefron yang utuh
hipertrofi dan memproduksi volume filtrasi yang meningkat disertai reabsorpsi walaupun
dalam keadaan penurunan GFR/daya saring. Metode adaptif ini memungkinkan ginjal untuk
berfungsi sampai ¾
dari nefron –nefron rusak. Beban bahan yang harus dilarut menjadi lebih
besar dari pada yang bisa direabsorpsi berakibat dieresis osmotic disertai poliuri dan haus.
Selanjutnya karena jumlah nefron yang rusak bertambah banyak oliguri timbul disertai
retensi produk sisa. Titik dimana timbulnya gejala-gejala pada pasien menjadi lebih jelas dan
muncul gejala-gejala khas kegagalan ginjal bila kira-kira fungsi ginjal telah hilang 80%-90%.
Pada tingkat ini fungsi renal yang demikian nilai kreatinin clearance turun sampai 15ml/menit
atau lebih rendah itu.
Fungsi renal menurun, produk akhir metabolisme protein ( yang normalnya
dieksresikan ke dalam urin) tertimbun dalam darah. Terjadi uremia dan mempengaruhi setiap
system tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah maka gejala akan semakin berat
(Smeltzer dan Bare, 2013).

5. Manifestasi Klinis
Menurut Suyono (200l) Tanda dan gejala Gagal ginjal kronik adalah :

a. Gangguan pada sistem gastrointestinal.


1) Anoreksia, mual, dan muntah yang berhubungan dengan gangguan metabolisme protein
dalam usus dan terbentuknya zat-zat toksik.
2) Fetor uremik : disebabkan ureum yang berlebihan pada air liur yang diubah menjadi
amonia oleh bakteri sehingga nafas berbau ammonia.
b. Gangguan sistem Hematologi dan kulit.
1) Anemia, karena berkurangnya produksi eritropoetin.
2) Kulit pucat karena anemia dan kekuningan karena penimbunan urokrom.
3) Gatal-gatal akibat toksin uremik.
4) Trombositopenia (penurunan kadar trombosit dalam darah).
5) Gangguan fungsi kulit (Fagositosis dan kemotaksis berkurang).
c. Sistem Syaraf dan otak.
1) Miopati, kelelahan dan hipertropi otot.
2) Ensepalopati metabolik : Lemah, Tidak bisa tidur, gangguan konsentrasi.
d. Sistem Kardiovaskuler
1) Hipertensi
2) Nyeri dada, sesak nafas
3) Gangguan irama jantung akibat sklerosis dini
4) Edema
e. Sistem endokrin
1) Gangguan seksual : libido, fertilitas dan penurunan seksual pada laki-laki, pada wanita
muncul gangguan menstruasi.
2) Gangguan metabolisme glukosa, retensi insulin dan gangguan sekresi insulin.
f. Gangguan pada sistem lain.
1) Tulang : osteodistrofi renal.
2) Asidosis metabolik akibat penimbunan asam organik.

6.Komplikasi
Menurut (Smeltzer dan Bare, 2013), komplikasi potensial gagal ginjal kronik yang
memerlukan pendekatan kolaboratif dalam perawatan, mencakup :
a. Hiperkalemia
Akibat penurunan eksresi,asidosis metabolic, katabolisme dan masukan diet berlebih
b. Pericarditis
Efusi pericardial, dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialysis
yang tidak adekuat
c. Hipertensi
Akibat retensi cairan dan natrium serta mal fungsi system rennin, angiotensin, aldosteron
d. Anemia
Akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, peradangan gastro
intestinal
e. Penyakit tulang serta klasifikasi metastatic akibat retensi fosfat.

7. Web of Caution
8. Penatalaksanaan Medis dan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan CKD dibagi tiga yaitu :
a) Konservatif
- Dilakukan pemeriksaan lab.darah dan urin
- Observasi balance cairan
- Observasi adanya odema
- Batasi cairan yang masuk
b) Dialysis
- Peritoneal dialysis
Biasanya dilakukan pada kasus – kasus emergency. Sedangkan
dialysis yang bisa dilakukan dimana saja yang tidak bersifat akut
adalah CAPD (Continues Ambulatori Peritonial Dialysis)
- Hemodialisis
Yaitu dialisis yang dilakukan melalui tindakan infasif di vena
dengan menggunakan mesin. Pada awalnya hemodiliasis dilakukan
melalui daerah femoralis namun untuk mempermudah maka
dilakukan:
AV fistule : menggabungkan vena dan arteri
Double lumen : langsung pada daerah jantung (vaskularisasi ke
jantung)
Tujuannya yaitu untuk menggantikan fungsi ginjal dalam tubuh
fungsi eksresi yaitu membuang sisa-sisa metabolisme dalam tubuh,
seperti ureum, kreatinin, dan sisa metabolisme yang lain.
c) Operasi
- Pengambilan batu
- Transplantasi ginjal

B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajiaan
1) Breathing
Tachipnea, dispnea, peninggkatan frekuensi dan kedalaman pernafasan (kussmaul),
nafas amonia, batuk produktif dengan sputum kental merah muda (edema paru)
2) Blood
Hipotensi/hipertensi, disritmia jantung, nadi lemah/halus, hipotensi orthostatik
(hipovolemia), hipervolemia (nadi kuat), oedema jaringgan umum, pucat,
kecenderungan perdarahan
3) Brain
Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang, gangguan status mental, penurunan
lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilanggan memori, kacau,
penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbanggan elektrolit/asam/basa),
kejang, aktivitas kejang
4) Bladder
Perubahan warna urine menjadi lebih pekat/gelap, merah, coklat, berawan, Oliguria (
bisanya 12-21 hari); poliuria (2-6 l/hari), Perubahan pola kemih : peninggkatan
frekuensi, poliuria (kegagalan dini) atau penurunan frekuensi/oliguria (fase akhir),
disuria, ragu-ragu berkemih, dorongan kurang, kemih tidak lampias, retensi
(inflamasi/obstruksi, infeksi),
5) Bowel
Adanya keluhan dari pasien mengenai mual, muntah, anoreksia, abdomen kembung,
diare atau konstipasi
6) Bone
Kulit berwarna pucat, Ekimosis, Urea frost, Bekas-bekas guratan karena gatal.
7) Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium :
- Urine :
Volume : oligouria atau anuria, warna keruh, berat jenis kurang dari 1,015,
osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg, klirens kreatinin mungkin agak menurun,
natrium > 40 mEq/L, proteinuria (3-4+).
- Darah :
BUN/Kreatinin meningkat (kreatinin 10 mg/dl), Hematokrit menurun, HB < 7-8
g/dL), Gas darah arteri : pH < 7,2 ,bikarbonat dan PCO2 menurun. Natrium
mungkin rendah atau normal, kalium, magnesium/ fosfat meningkat, kalsium
menurun, protein ( khususnya albumin) menurun, osmolalitas serum > 285
mOsm/kg.
b. Pemeriksaan Radiologi
- USG Ginjal : menentukan ukuran ginjal dan adanya masa, kista, obstruksi pada
saluran kemih atas.
- Biopsy ginjal : mungkin dilakukan secara endoskopik untuk menentukan sel
jaringan untuk diagnosis histologist.
- Endoskopi ginjal, nefroskopi : menentukan pelvis ginjal; keluar batu, hematuri,
pengangkatan tumor selektif.
- EKG : mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimbangan elektrolit dan asam
basa
- KUB foto : menunjukkan ukuran ginjal/ ureter/ kandung kemih dan adanya
obstruksi batu.
- Foto kaki, tengkorak, kolumna spinal dan tangan : menunjukkan demineralisasi
dan kalsifikasi.

2. Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Menurut Smeltzer (2009), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien CKD adalah:
1. Penurunan curah jantung
2. Kelebihan volume cairan
3. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
4. Perubahan pola nafas
5. Intoleransi aktivitas

3. Intervensi
1. Penurunan curah jantung berhubungan dengan beban jantung yang meningkat
Tujuan:
Penurunan curah jantung tidak terjadi dengan kriteria hasil : mempertahankan curah
jantung dengan bukti tekanan darah dan frekuensi jantung dalam batas normal, nadi
perifer kuat dan sama dengan waktu pengisian kapiler
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi jantung dan paru
R: Adanya takikardia frekuensi jantung tidak teratur
b. Kaji adanya hipertensi
R: Hipertensi dapat terjadi karena gangguan pada sistem aldosteron-
renin-angiotensin (disebabkan oleh disfungsi ginjal)
c. Selidiki keluhan nyeri dada, perhatikanlokasi, rediasi, beratnya (skala
0-10)
R: HT dan GGK dapat menyebabkan nyeri
d. Kaji tingkat aktivitas, respon terhadap aktivitas
R: Kelelahan dapat menyertai GGK juga anemia

2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan disfungsi ginjal


Tujuan: Mempertahankan berat tubuh ideal tanpa kelebihan cairan dengan
kriteria hasil: tidak ada edema, keseimbangan antara input dan output
Intervensi:
a. Kaji status cairan dengan menimbang BB perhari, keseimbangan
masukan dan haluaran, turgor kulit tanda-tanda vital
b. Batasi masukan cairan
R: Pembatasan cairan akn menentukan BB ideal, haluaran urin, dan
respon terhadap terapi
c. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang pembatasan cairan
R: Pemahaman meningkatkan kerjasama pasien dan keluarga dalam
pembatasan cairan
d. Anjurkan pasien / ajari pasien untuk mencatat penggunaan cairan
terutama pemasukan dan haluaran
R: Untuk mengetahui keseimbangan input dan output

3. Perubahan nutrisi: kurang dari kebutuhan berhubungan dengan anoreksia, mual,


muntah
Tujuan: Mempertahankan masukan nutrisi yang adekuat dengan kriteria
hasil: menunjukan BB stabil
Intervensi:
a. Awasi konsumsi makanan / cairan
R: Mengidentifikasi kekurangan nutrisi
b. Perhatikan adanya mual dan muntah
R: Gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat
mengubah atau menurunkan pemasukan dan memerlukan intervensi
c. Beikan makanan sedikit tapi sering
R: Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan makanan
d. Tingkatkan kunjungan oleh orang terdekat selama makan
R: Memberikan pengalihan dan meningkatkan aspek sosial
e. Berikan perawatan mulut sering
R: Menurunkan ketidaknyamanan stomatitis oral dan rasa tak disukai
dalam mulut yang dapat mempengaruhi masukan makanan

4. Perubahan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi sekunder: kompensasi


melalui alkalosis respiratorik
Tujuan: Pola nafas kembali normal / stabil
Intervensi:
a. Auskultasi bunyi nafas, catat adanya crakles
R: Menyatakan adanya pengumpulan sekret
b. Ajarkan pasien batuk efektif dan nafas dalam
R: Membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran O2
c. Atur posisi senyaman mungkin
R: Mencegah terjadinya sesak nafas
d. Batasi untuk beraktivitas
R: Mengurangi beban kerja dan mencegah terjadinya sesak atau
hipoksia

5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik


Tujuan: Pasien dapat meningkatkan aktivitas yang dapat ditoleransi
Intervensi:
a. Pantau pasien untuk melakukan aktivitas
b. Kaji faktor yang menyebabkan keletihan
c. Anjurkan aktivitas alternatif sambil istirahat
d. Pertahankan status nutrisi yang adekuat
DAFTAR PUSTAKA
Andra, S. W., & Yessie, M. P. (2013). KMB 1 Keperawatan Medikal Bedah Keperawatan
Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika.
Corwin, E. (2009). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Smeltzer & Bare (2013), Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Bruner & Suddarth Edisi 8.
Jakarta : EGC
Smeltzer, S. C., & Bare B. G. ( 2009). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &
Suddarth ( Edisi 8 Volume 1). Jakarta: EGC
Suyono, slamet. (2001). Buku ajar penyakit dalam II FKUI. Jakarta : Balai Pustaka.
MUHAMMAD HADYAN NUBLI. M
18091028

KONSEP DASAR HEMODIALISA

Konsep Dasar Hemodialisa


a. Pengertian Hemodialisa
Hemodialisa berasal dari kata hemo yang berarti darah, dan dialysis yang berarti
pemisahan atau filtrasi. Hemodialisa adalah proses pembersihan darah oleh akumulasi
sampah buangan. Hemodialisis digunakan bagi pasien dengan tahap akhir gagal ginjal
atau pasien berpenyakit akut yang membutuhkan dialysis waktu singkat (Nursalam,
2006).
Hemodialisa adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya melalui dialiser yang terjadi
secara difusi dan ultrafikasi, kemudian darah kembali lagi ke dalam tubuh pasien
(Baradero Mary, dkk., 2009).
Hemodialisis adalah tindakan mengeluarkan air yang berlebih ; zat sisa nitrogen yang
terdiri atas ureum, kreatinin, serta asam urat ; dan elektrolit seperti kalium, fosfor, dan
lain-lain yang berlebihan pada klien gagal ginjal kronik, khususnya pada gagal ginjal
terminal (GGT) (Hartono, 2013).

b. Tujuan Hemodialisa
Tujuan hemodialisa adalah untuk memindahkan produk-produk limbah yang
terakumulasi dalam sirkulasi klien dan dikeluarkan ke dalam mesin dialysis (Muttaqin &
Sari, 2011).

c. Prinsip Hemodialisa
Menurut Muttaqin & Sari (2011) disebutkan bahwa ada tiga prinsip yang mendasari kerja
hemodialisa, yaitu :
1) Difusi
Proses difusi adalah proses berpindahnya zat karena adanya perbedaan kadar di dalam
darah, makin banyak yang berpindah ke dialisat.
2) Osmosis
Proses osmosis adalah proses berpindahnya air karena tenaga kimiawi yaitu perbedaan
osmolalitas dan dialisat.
3) Ultrafiltrasi
Proses Ultrafiltrasi adalah proses berpindahnya zat dan air karena perbedaan
hidrostatik di dalam darah dan dialisat.

d. Dosis dan Kecukupan Dosis Hemodialisa


1) Dosis hemodialisa
Dosis hemodialisa yang diberikan pada umumnya sebanyak 2 kali seminggu dengan
setiap hemodialisa selama 5 jam atau sebanyak 3 kali seminggu dengan setiap
hemodialisa selama 4 jam (Suwitra, 2006).
2) Kecukupan dosis hemodialisa
Kecukupan dosis hemodialisa yang diberikan disebut dengan adekuasi hemodialisis.
Adekuasi hemodialisis diukur dengan menghitung urea reduction ratio (URR)
dan urea kinetic modeling (Kt/V). Nilai URR dihitung dengan mencari nilai rasio
antara kadar ureum pradialisis yang dikurangi kadar ureum pascadialisis dengan kadar
ureum pascadialisis. Kemudian, perhitumgan nilai Kt/V juga memerlukan kadar
ureum pradialisis dan pascadialisis, berat badan pradialisis dan pascadialisis dalam
satuan kilogram, dan lama proses hemodialisis dalam satuan jam. Pada hemodialisa
dengan dosis 2 kali seminggu, dialisis dianggap cukup bila nilai URR 65-70% dan
nilai Kt/V 1,2-1,4 (Swartzendruber et al., 2008).

e. Terapi Hemodialisa
Selama tindakan hemodialisa dilakukan, darah yang kontak dengandialyzer dan selang
dapat menyebabkan terjadinya pembekuan darah. Hal ini dapat mengganggu cara
kerja dialyzer dan proses hemodialisis itu sendiri. Untuk mencegah terjadinya
pembekuan darah selama proses hemodialisis, maka perlu diberikan suatu antikoagulan
agar aliran darah dalam dialyzer dan selang tetap lancar. Terapi yang digunakan selama
proses hemodialisis, yaitu:
1) Heparin
Heparin merupakan antikoagulan pilihan untuk hemodialisa, selain karena mudah
diberikan dan efeknya bekerja cepat, juga mudah untuk disingkirkan oleh tubuh.
Ada 3 tehnik pemberian heparin untuk hemodialisa yang ditentukan oleh faktor
kebutuhan pasien dan faktor prosedur yang telah ditetapkan oleh rumah sakit yang
menyediakan hemodialisa, yaitu :
a) Routine continuous infusion (heparin rutin)
Tehnik ini sering digunakan sehari-hari. Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg
selama 2-3 menit sebelum hemodialisa dmulai. Kemudian dilanjutkan 750-1250
U/kg/jam selama proses hemodialisis berlangsung. Pemberian heparin dihentikan 1
jam sebelum hemodialisa selesai.
b) Repeated bolus
Dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg selama 2-3 menit sebelum hemodialisa
dimulai. Kemudian dilanjutkan dengan dosis injeksi tunggal 30-50 U/kg berulang-
ulang sampai hemodialisa selesai.
c) Tight heparin (heparin minimal)
Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan ringan sampai
sedang. Dosis injeksi tunggal dan laju infus diberikan lebih rendah daripada routine
continuous infusion yaitu 10-20 U/kg, 2-3 menit sebelum hemodialisa dimulai.
Kemudian dilanjutkan 500 U/kg/jam selama proses hemodialisis berlangsung.
Pemberian heparin dihentikan 1 jam sebelum hemodialisa selesai.
2) Heparin-free dialysis (Saline).
Tehnik ini digunakan untuk pasien yang memiliki resiko perdarahan berat atau
tidak boleh menggunakan heparin. Untuk mengatasi hal tersebut diberikan normal
saline 100 ml dialirkan dalam selang yang berhubungan dengan arteri setiap 15-30
menit sebelum hemodialisa.Heparin-free dialysis sangat sulit untuk dipertahankan
karena membutuhkan aliran darah arteri yang baik (>250 ml/menit), dialyzeryang
memiliki koefisiensi ultrafiltrasi tinggi dan pengendalian ultrafiltrasi yang baik.
3) Regional Citrate
Regional Citrate diberikan untuk pasien yang sedang mengalami perdarahan,
sedang dalam resiko tinggi perdarahan atau pasien yang tidak boleh menerima
heparin. Kalsium darah adalah faktor yang memudahkan terjadinya pembekuan,
maka dari itu untuk mengencerkan darah tanpa menggunakan heparin adalah
dengan jalan mengurangi kadar kalsium ion dalam darah. Hal ini dapat dilakukan
dengan memberikan infus trisodium sitrat dalam selang yang berhubungan dengan
arteri dan menggunakan cairan dialisat yang bebas kalsium. Namun demikian, akan
sangat berbahaya apabila darah yang telah mengalami proses hemodialisis dan
kembali ke tubuh pasien dengan kadar kalsium yang rendah. Sehingga pada saat
pemberian trisodium sitrat dalam selang yang berhubungan dengan arteri sebaiknya
juga diimbangi dengan pemberian kalsium klorida dalam selang yang berhubungan
dengan vena. (Swartzendruber et al., 2008).
f. Diet Pasien Hemodialisa
Menurut Suwitra 2006, diet pasien hemodialisa mengacu pada tingkat perburukan fungsi
ginjalnya. Sehingga, ada beberapa unsur yang harus dibatasi konsumsinya yaitu :
1) Asupan protein dibatasi 1-1,2 g/kgBB/hari,
2) Asupan kalium dibatasi 40-70 meq/hari, mengingat adanya penurunan fungsi sekresi
kalium dan ekskresi urea nitrogen oleh ginjal.
3) Jumlah kalori yang diberikan 30-35 kkal/kgBB/hari.
4) Jumlah asupan cairan dibatasi sesuai dengan jumlah urin yang ada ditambah
dengan insensible water loss, sekitar 200-250 cc/hari.
5) Asupan natrium dibatasi 40-120 meq/hari guna mengendalikan tekanan darah dan
edema.
Menurut Klinik Spesialis Ginjal Dan Hipertensi Rasyida Medan (2011), hal yang harus
diperhatikan pada diet pasien hemodialisis :
1) Diet Rendah Kalium (Potassium) Dan Natrium (Sodium)
Natrium banyak terkandung dalam garam dapur (natrium klorida). Bagi penderita gagal
ginjal, hindari makanan yang mengandung natrium tinggi. Terlalu banyak mengkonsumsi
makanan yang mengandung tinggi natrium menyebabkan kita menjadi banyak minum,
padahal asupan cairan pada pasien penyakit ginjal kronik perlu dibatasi. Asupan garam
yang dianjurkan sebelum dialysis antara 2,5-5 gr garam/hari. Nilai normal natrium
adalah 135-145 mmol/L.
Pantangan besar :
a) Makanan dan minuman kaleng (Na Benzoat)
b) Manisan dan asinan
c) MSG/ Vetsin/ Moto
d) Ikan asin dan daging asap
e) Garam (makanan tidak boleh terlalu asin).
Kalium adalah mineral yang ada dalam makanan dengan nilai normalnya adalah 3.5-5.5
mmol/L. Kalium banyak pada buah dan sayur. Kalium memiliki peran penting dalam
aktivitas otot polos (terutama otot jantung) dan sel saraf. Ginjal normal akan
membuang kelebihan kalium, namun pada pasien, kemampuan tersebut menurun,
sehingga dapat terjadi akumulasi/ penimbunan kalium dalam darah. Biasanya
konsentrasi kalium yang tinggi adalah lebih berbahaya daripada konsentrasi kalium yang
rendah.
Asupan kalium yang dianjurkan adalah 40 mg/kgBB/hari. Konsentrasi kalium darah yang
lebih dari 5.5 mEq/L akan mempengaruhi sistem konduksi listrik jantung. Kadar kalium
yang sangat tinggi akan membuat otot melemah, mengganggu irama jantung dan dapat
menyebabkan kematian. Pilih buah/sayur yang rendah kalium.
Makanan Yang Tinggi Kalium
a) Buah : pisang, alpukat, kurma, duku, pepaya, apricot, kismis, prune.
b) Sayuran : petersell, daun papaya muda, kapri, seledri batang, kembang kol.
2) Fosfor Dan Kalsium
Tubuh memerlukan keseimbangan fosfor dan kalsium, terutama untuk membangun
massa tulang. Jika ginjal sudah tidak berfungsi dengan baik maka kadar fosfor naik
sehingga kalsium menjadi turun. Agar aliran darah tetap stabil, pasokan kalsium diambil
dari tulang sehingga massa kalsium dalam tulang menjadi berkurang. Hal ini yang
menyebabkan tulang mudah retak atau patah. Jumlah fosfor yang dibutuhkan sehari 800-
1.200 mg, sedangkan kalsium 1.000 mg. Agar dapat menyeimbangkan jumlah keduanya,
sebaiknya perhatikan kandungannya dalam bahan makanan.
Dalam darah, nilai normal fosfor : 2,5-4,5 mg/dl, sedangkan kalsium : 8,4-10,2 mg/dl.
Fosfor adalah mineral yang dibutuhkan tubuh untuk tulang. Jika ginjal tidak berfungsi
baik, kelebihan fosfor tidak bisa dibuang. Kadar fosfor yang tinggi dapat menurunkan
kadar kalsium di tulang, melepaskannya ke darah, sehingga kadar kalsium dalam darah
meningkat. Ini akan menyebabkan tulang rapuh, gatal2, tulang nyeri dan mata merah.
Makanan Tinggi fosfor :
a) Produk susu : susu, keju, yoghurt, es krim.
b) Produk sereal : oatmeal, coklat, waffle, roti gandum.
c) Sayuran : kacang-kacanganan, biji bunga matahari, kedelai.
d) Daging, Ikan dan telur : hati, seafood (udang, kepiting), kuning telur, sarden, ikan
bilis.
Tips Untuk Diet Fosfor :
a) Batasi makanan yang banyak mengandung fosfor.
b) Mengkonsumsi obat pengikat fosfor/fosfat binder, seperti kalsium karbonat (CaCO3)
dan Aluminium hidroksida. Obat ini dikonsumsi di pertengahan makan agar efektif.
3) Cairan
Pada pasien hemodialisis mudah terjadi penumpukan cairan yang berlebih karena fungsi
ekskresi ginjal yang terganggu. Asupan cairan dalam 24 jam setara dengan urin yang
dikeluarkan 24 jam ditambah 500 cc (berasal dari pengeluaran cairan dari keringat dan
BAB). Ingat juga bahwa makanan berkuah tetap dihitung sebagai cairan.
Pantangan besar : Air kelapa dan minuman isotonik
Dengan perhatian khusus : kopi, susu, teh, lemon tea.
Tips mengurangi rasa haus :
a) Kurangi konsumsi garam.
b) Mengisap/mengkulum es batu.
c) Mengunyah permen karet
Menurut KEMKES RI (2011), hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pasien gagal ginjal
kronik dengan terapi hemodialisa :
1) Makanlah secara teratur,porsi kecil sering.
2) Diet Hemodialisis ini harus direncanakan perorangan, karena nafsu makan pasien
umumnya rendah sehingga perlu diperhatikan makanan kesukaan pasien.
3) Untuk membatasi banyaknya jumlah cairan , masakan lebih baik dibuat dalam
bentuk tidak berkuah misalnya: ditumis, dikukus, dipanggang, dibakar, digoreng.
4) Bila ada edema (bengkak di kaki), tekanan darah tinggi, perlu mengurangi garam
dan menghindari bahan makanan sumber natrium lainnya, seperti minuman bersoda,
kaldu instan, ikan asin, telur asin, makanan yang diawetkan, vetsin, bumbu instan.
5) Hidangkan makanan dalam bentuk yang menarik sehingga menimbulkan selera.
6) Makanan tinggi kalori seperti sirup, madu, permen, dianjurkan sebagai penambah
kalori, tetapi hendaknya tidak diberikan dekat waktu makan, karena mengurangi
nafsu makan.
7) Agar meningkatkan cita rasa, gunakanlah lebih banyak bumbu-bumbu seperti
bawang, jahe, kunyit, salam, dll
8) Cara untuk mengurangi kalium dari bahan makanan : cucilah sayuran, buah, dan
bahan makanan lain yang telah dikupas dan dipotong-potong kemudian rendamlah
bahan makanan dalam air pada suhu 50-60 derajat celcius (air hangat) selama 2 jam,
banyaknya air 10 kali bahan makanan. Air dibuang dan bahan makanan dicuci dalam
air mengalir selama beberapa menit. Setelah itu masaklah. Lebih baik lagi jika air
yang digunakan untuk memasak banyaknya 5 kali bahan makanan.

g. Komplikasi Tindakan Hemodialisa


Menurut Tisher dan Wilcox (1997) dalam Havens dan Terra (2005) selama tindakan
hemodialisa sering sekali ditemukan komplikasi yang terjadi, antara lain :
1) Kram otot
Kram otot pada umumnya terjadi pada separuh waktu berjalannya hemodialisa sampai
mendekati waktu berakhirnya hemodialisa. Kram otot seringkali terjadi pada
ultrafiltrasi (penarikan cairan) yang cepat dengan volume yang tinggi.
2) Hipotensi
Terjadinya hipotensi dimungkinkan karena pemakaian dialisat asetat, rendahnya
dialisat natrium, penyakit jantung aterosklerotik, neuropati otonomik, dan kelebihan
tambahan berat cairan.
3) Aritmia
Hipoksia, hipotensi, penghentian obat antiaritmia selama dialisa, penurunan kalsium,
magnesium, kalium, dan bikarbonat serum yang cepat berpengaruh terhadap aritmia
pada pasien hemodialisa.
4) Sindrom ketidakseimbangan dialisa
Sindrom ketidakseimbangan dialisa dipercaya secara primer dapat diakibatkan dari
osmol-osmol lain dari otak dan bersihan urea yang kurang cepat dibandingkan dari
darah, yang mengakibatkan suatu gradien osmotik diantara kompartemen-
kompartemen ini. Gradien osmotik ini menyebabkan perpindahan air ke dalam otak
yang menyebabkan oedem serebri. Sindrom ini tidak lazim dan biasanya terjadi pada
pasien yang menjalani hemodialisa pertama dengan azotemia berat.
5) Hipoksemia
Hipoksemia selama hemodialisa merupakan hal penting yang perlu dimonitor pada
pasien yang mengalami gangguan fungsi kardiopulmonar.
6) Perdarahan
Uremia menyebabkan ganguan fungsi trombosit. Fungsi trombosit dapat dinilai
dengan mengukur waktu perdarahan. Penggunaan heparin selama hemodialisa juga
merupakan faktor risiko terjadinya perdarahan.
7) Ganguan pencernaan
Gangguan pencernaan yang sering terjadi adalah mual dan muntah yang disebabkan
karena hipoglikemia. Gangguan pencernaan sering disertai dengan sakit kepala.
8) Infeksi atau peradangan bisa terjadi pada akses vaskuler.
9) Pembekuan darah bisa disebabkan karena dosis pemberian heparin yang tidak
adekuat ataupun kecepatan putaran darah yang lambat.
Menurut Rendy dan Margareth (2012), komplikasi dalam pelaksanaan hemodialisa yang
sering terjadi pada saat terapi seperti: hipotensi, kram otot, mual atau muntah, sakit
kepala, sakit dada, gatal-gatal, demam dan menggigil, kejang.

h. Web Of Caution

B. Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul


Menurut NANDA International (2010)
a. Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan informasi mengenai
prosedur HD
b. Risiko infeksi berhubungan dengan akses langsung pada aliran darah sekunder akibat
akses vaskular
c. Mual berhubungan dengan gangguan biokimia (uremia)
d. Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan ultrafiltrasi, pembatasan cairan
e. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan pemasukan aliran dgn cepat selama
dialisa
f. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
gangguan GI (uremia), pembatasan diet, hilangnya protein selama dialisis
g. PK: Hipertensi/Hipotensi
h. PK: Hemoragi
i. PK: Ketidakseimbangan Elektrolit

j. Intervensi
a. Dx : Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang pajanan informasi
mengenai prosedur HD
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 20 menit diharapkan tingkat
pengetahuan pasien meningkat
Kriteria hasil :
· Pasien mampu menjelaskan secara benar pengertian, tujuan, prosedur, indikasi, dan
efek samping dilakukan HD
· Pasien tampak tidak bertanya-tanya
· Pasien tampak kooperatif
Intervensi :
(1) Kaji tingkat pengetahuan klien tentang tindakan yang akan diberikan
R/ Mempermudah dalam pemberian tindakan keperawatan
(2) Dorong dan berikan kesempatan untuk bertanya
R/ Meningkatkan proses belajar, meningkatkan pengambilan keputusan, dan menurunkan
ansietas
(3) Beikan informasi kepada pasien/orang terdekat tentang HD yang meliputi :
a) Pengertian HD
b) Tujuan HD
c) Prosedur HD
d) Indikasi HD
e) Efek samping selama dan sesudah dilakukan HD
R/ Memberikan dasar pengetahuan kepada pasien sehingga pasien dapat memperoleh
informasi untuk mengurangi ansietas, menghindari terjadinya kontaminasi serta
menurunkan risiko infeksi, pasien dapat mengevaluasi efek terapi/kebutuhan, mendukung
upaya perawatan diri
b. Dx : Risiko infeksi berhubungan dengan akses langsung pada aliran darah
sekunder akibat akses vaskular
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 2 jam diharapkan tidak terjadi
tanda-tanda infeksi.
Kriteria hasil :
· Suhu tubuh pasien normal (36,5-37,5˚C)
· Tidak teraba panas, tidak terdapat kemerahan, bengkak, dan terasa nyeri pada akses
vaskular
· WBC dalam batas normal (4, 5 – 10, 9 10e 3/µL)
Intervensi :
Mandiri
(1) Ukur tanda-tanda vital
R/ peningkatan suhu tubuh sebagai manifestasi awal terjadinya reaksi infeksi
(2) Lakukan teknik aseptik dan gunakan masker selama pemasangan kateter, ganti balutan
dan kapan pun sistem dibuka. Ganti selang sesuai indikasi.
R/ mencegah introduksi organisme dan kontaminasi lewat udara yang dapat menyebabkan
infeksi.
(3) Ganti balutan sesuai indikasi dengan hati- hati tidak mengubah posisi kateter. Perhatikan
kateter,warna,bau,drainase dari sekitar sisi pemasangan.
R/ lingkungan yang lembab meningkatkan pertumbuhan bakteri.
Kolaborasi:
(4) Awasi jumlah WBC dari keluaran
R/ adanya peningkatan WBC pada awal dapat menunjukkan respon normal terhadap substansi
asing; namun berlanjutnya peningkatan diduga terjadinya infeksi.
(5) Ambil spesimen darah, keluaran cairan, dan/atau drainase dari sisi pemasangan sesuai
indikasi untuk kultur/sensitivitas.
R/ mengidentifikasi tipe organisme.
(6) Awasi klirens ginjal /BUN,kreatinin
R/ antibiotik dan dosis pilihan akan dipengaruhi oleh fungsi ginjal.
(7) Berikan antibiotik secara sistemik atau dalam dialisat sesuai indikasi.
R/ mengatasi infeksi, mencegah sepsis.

c. Dx : Mual berhubungan dengan gangguan biokimia (uremia)


Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 2 jam diharapkan pasien tidak
mengalami mual dan muntah.
Kriteria hasil:
· Pasien tidak melaporkan adanya rasa mual atau sakit pada perut
· Tidak ada tanta-tanda peningkatan saliva (meludah / menelan)
· Pasien tidak melaporkan adanya rasa asam di mulut
· Pasien menunjukkan kemauan untuk makan
Intervensi:
Mandiri :
(1) Jauhkan pasien dari benda-benda yang berbau tajam, yang dapat merangsang mual dan
muntah.
R/ benda yang berbau dapat merangsang mual dan muntah
(2) Dorong pasien tirah baring dan/atau pembatasan aktivitas
R/ menurunkan kebutuhan metabolik untuk mencegah penurunan kalori
(3) Anjurkan pasien untuk memakan manisan
R/ mengurangi rasa asam di mulut
(4) Berikan lingkungan yang nyaman, ventilasi yang cukup
R/ lingkungan yang nyaman dapat menurunkan stres
(5) Beri pilihan makanan yang disukai pasien sesuai indikasi diit yang dianjurkan.
R/ makanan yang disukai akan merangsang pasien untuk makan
(6) Sediakan makanan/minuman dalam keadaan hangat
R/ makanan dan minuman dalam keadaan hangat akan merangsang nafsu makan dan
mengurangi rasa mual
Kolaborasi :
(7) Berikan obat antiemetik (antimual), ex: ondansentron
R/ untuk mengurangi mual

d. Dx : Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan ultrafiltrasi,


pembatasan cairan
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 2 jam diharapkan volume cairan
normal
Kriteria Hasil:
· TTV normal (Nadi= 60-100 x/menit, TD= 120/80-140/100 mmHg)
· BB sesuai dengan umur
· Turgor kulit elastis < 2 detik
· Mukosa lembab
· Tidak ada perdarahan
Intervensi:
Mandiri
(1) Awasi TD, nadi, dan tekanan hemodinamik bila tersedia selama dialisa
R/ Hipotensi, takikardia, penurunan tekanan hemodinamik menunjukkan kekurangan cairan
(2) Timbang tiap hari sebelum/sesudah dialisa dilakukan
R/ Penurunan berat badan waktu pengukuran dengan tepat adalah pengukuran ultrafiltrasi dan
pembuangan cairan
(3) Inspeksi membran mukosa dan evaluasi turgor kulit
R/ Membran mukosa kering, turgor kulit buruk adalah indikator dari dehidrasi dan
membutuhkan peningkatan pemasukan dalam kekuatan dialisis.
(4) Kaji adanya perdarahan terus menerus atau perdarahan besar pada sisi akses, membran
mukosa, insisi/luka. Hematemesis/guaiak feses, drainase gaster
R/ Heparinisasi sistemik selama dialisa meningkatkan waktu pembekuan dan menempatkan
pasien pada risiko perdarahan, khususnya selama 4 jam pertama setelah prosedur
(5) Ukur semua sumber pemasukan dan pengeluaran. Lakukan ini tiap hari
R/ Membantu mengevaluasi status cairan, khususnya bila dibandingkan dengan berat
badan. Catatan: Haluaran urine adalah evaluasi tidak akurat dari fungsi ginjal pada
pasien dialisa. Beberapa orang menunjukkan haluaran urine dengan sedikit klirens toksin
ginjal, yang lain menunjukkan oliguria atau anuria
(6) Tempatkan pasien pada posisi telentang/Trandelenburg sesuai kebutuhan
R/ Memaksimalkan aliran balik vena bila terjadi hipotensi
Kolaborasi :
Awasi pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi:
(7) Hb/Ht
R/ Menurun karena anemia, hemodilusi, atau kehilangan darah aktual
(8) Elektrolit serum dan Ph
R/ Ketidak seimbangan dapat memerlukan perubahan dalam cairan dialisa atau tambahan
pengganti untuk mencapai keseimbangan
(9) Waktu pembekuan, contoh ACT.PT/PTT, dan jumlah trombosit
R/ Penggunaan Heparin untuk mencegah pembekuan pada aliran darah dan hemofilter
mengubah koagulasi dan potensial perdarahan aktif
(10) Berikan cairan IV (contoh garam faal)/volume ekspander (contoh albumin) selama
dialisa sesuai indikasi
R/ Cairan garam faal/dekstrosa, elektrolit, dan NaHCO3 mungkin diinfuskan dalam sisi vena
hemovolter CAF, bila kecepatan uktrafiltraso tinggi digunakan untuk membuang cairan
ektraselular dan cairan toksik. Volume ekstapander mungkin dibutuhkan selama atau
setelah hemodialisa bila terjadi hipotensi tiba-tiba atau nyata

e. Dx : Kelebihan volume cairan berhubungan dengan pemasukan aliran dgn cepat


selama dialisa
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 2 jam diharapkan volume
cairan normal
Kriteria hasil :
· TTV normal (Nadi= 60-100 x/menit, TD= 120/80-140/100 mmHg)
· Tidak terjadi edema
· Kadar Natrium dalam batas normal ( 135 – 145 mEq/L)
· Turgor kulit baik
· Tidak terjadi dispneu
Intervensi :
Mandiri
(1) Awasi tekanan darah dan nadi, perhatikan hipertensi, nadi kuat, edema perifer
R/ Peninggian menunjukkan hipervolemia. Kelebihan cairan berpotensi gagal jantung
kongestif/edema paru
(2) Inspeksi membran mukosa dan evaluasi turgor kulit
R/ Membran mukosa kering, turgor kulit buruk adalah indikator dari dehidrasi dan
membutuhkan peningkatan pemasukan dalam kekuatan dialisis.
Kolaborasi
(3) Perubahan program dialisat sesuai indikasi
R/ Perubahan mungkin diperlukan dalam konsentrasi glukosa dan natrium untuk
memudahkan efisiensi dialisis.
(4) Awasi natrium serum
R/ Hipernatremia dapat terjadi meskipun kadar serum dapat menunjukkan efek pengenceran
dari kelebihan volume cairan.
(5) Pertahankan pembatasan cairan sesuai indikasi
R/ Pembatasan cairan dapat menurunkan kelebihan volume cairan
f. Dx : Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan gangguan GI (uremia), pembatasan diet, hilangnya protein selama dialisis
Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1 x 2 jam diharapkan nutrisi pasien
terpenuhi.
Kriteria hasil :
· BB mengalami peningkatan
· Tidak adanya mual muntah
· Pasien mengatakan nafsu makan bertambah
· Pasien tidak mengalami kesulitan menelan
Intervensi :
Mandiri
(1) Awasi konsumsi makanan/cairan dan hitung masukan kalori per hari
R/ mengidentifikasi kekurangan nutrisi/kebutuhan terapi
(2) Anjurkan pasien mempertahankan masukan makanan harian, termasuk perkiraan jumlah
konsumsi elekrolit (natrium, kalium, klorida, magnesium), dan protein
R/ membantu pasien untuk menyadari “gambaran besar” dan memungkinkan kesempatan
untuk mengubah pilihan diet untuk memenuhi keinginan individu dalam pembatasan
yang diidentifikasi
(3) Perhatikan adanya mual-muntah
R/ gejala yang menyertai akumulasi toksin endogen yang dapat mengubah/menurunkan
pemasukan dan memerlukan intervensi
(4) Kaji kemampuan untuk mengunyah,merasakan, dan menelan
R/ Lesi mulut, dan proses dialisis dapat menyebabkan disfagia, penurunan kemampuan pasien
untuk mengolah makanan dan mengurangi keinginan untuk makan.
(5) Timbang BB sesuai kebutuhan. Evaluasi BB dalam hal adanya BB yang tidak sesuai.
Gunakan serangkaian pengukuran BB dan antropometrik.
R/ Indikator pemenuhan nutrisi / pemasukan yang adekuat.
(6) Berikan makan sedikit dan frekuensi sering. Jadwalkan makan sesuai dengan kebutuhan
dialisis
R/ Porsi lebih kecil dapat meningkatkan masukan. Tipe dialysis mempengaruhi pola makan,
contoh pasien dengan hemodialisa mungkin tidak makan sebelum/selama prosedur,,
karena ini dapat mengubah pembuangan cairan
Kolaborasi
(7) Rujuk ke ahli gizi
R/ berguna untuk program diet individu untuk memenuhi kebutuhan budaya/pola hidup
meningkatkan kerjasama pasien.
(8) Berikan diet tinggi karbohidrat yang meliputi jumlah protein kualitas tinggi dan asam
amino essential dengan pembatasan natrium/kalium sesuai indikasi
R/ memberikan nutrien cukup untuk memperbaiki energy, mencegah penggunaan otot,
meningkatkan regenerasi jaringan/penyembuhan dan keseimbangan elektrolit
(9) Berikan multivitamin termasuk asam askorbat, asam folat, vitamin D, dan tambahan esi
sesuai indikasi
R/ menggantikan kehilangan vitamin karena malnutrisi/anemia atau selam dialisis
(10) Berikan tambahan parenteral sesuai indikasi
R/ hiperalimentasi mungkin diperlukan untuk meningkatkan regenerasi tubulus
ginjal/perbaikan proses penyakit dasar dan untuk memberikan nutrient bila makan per
oral atau enteral dikontraindikasikan
(11) Awasi kadar protein/albumin serum
R/ indikator kebutuhan protein
(12) Berikan antiemetik, contoh proklorperazin (Compazine)
R/ menurunkan stimulasi pada pusat muntah
(13) Masukkan/pertahankan selang nasogastrik sesuai indikasi
R/ untuk mempertahan intake nutrisi yang adekuat bila terjadi muntah menetap

g. Dx PK: Hipertensi/Hipotensi
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 2 jam diharapkan perawat dapat
meminimalkan komplikasi dari hipertensi/hipotensi
Kriteria hasil :
· TTV dalam batas normal :
· TD = 110-140/70-90 mmHG
· Nadi = 60-100 x/mnt
· RR = 16-24 x/mnt
· Klien melaporkan tidak mengeluh pusing
Intervensi
(1) Pantau tekanan darah dan bandingkan serta laporkan hasilnya dengan yang diambil
sebelumnya
R/ Mengetahui perubahan status tekanan darah sehingga dapat mengetahui apakah ada tanda
terjadinya syok
(2) Jamin klien mendapat sebanyak mungkin istirahat tanpa gangguan
R/ Istirahat adekuat meningkatkan relaksasi dan mungkin membantu menurunkan hipertensi
dan menurunkan risiko terjadinya kejang
(3) - Kolaborasi pemberian obat antihipertensi
R/ Medikasi antihipertensi berperan penting dalam penanganan hipertensi yang berhungan
dengan gagal ginjal akut
(4) Kolaborasi dengan ahli gizi dalam penentuan diet makanan
R/ makanan tertentu mampu meningkatkan tekanan darah

h. Dx PK: Hemoragi
Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 2 jam diharapkan perawat dapat
meminimalisir komplikasi dari perdarahan
Kriteria hasil :
· Tanda-tanda perdarahan (-)
· TTV normal ( N = 60-100 x/menit, TD = 110-140/70-90 mmHg, S = 36,5-37,50 c, dan
RR = 16-24 x/menit)
· Sianosis (-)
· CRT < 2 detik
· Akral hangat
· Konjungtiva tidak anemis
· Hb dalam batas normal
Intervensi:
(1) Pantau TTV dan laporkan
R/ mengidentifikasi kondisi pasien
(2) Pantau tanda-tanda perdarahan dan laporkan
R/ mengidentifikasi adanya perdarahan, membantu dalam pemberian intervensi yang tepat
(3) Pantau tanda-tanda perubahan sirkulasi kejaringan perifer (CRT dan sianosis) dan
laporkan
R/ mengetahui keadekuatan aliran darah
(4) Pantau hemoglobin, hematokrit, jumlah sel darah merah, trombosit, PT, PTT, dan nilai
BUN
R/ Nilai laboratorium ini menggambarkan keefektifan pengobatan
(5) Pemberian obat antikoagulan
R/ Berfungsi untuk proses pembekuan darah sehinggan perdarahan dapat diatasi
(6) Siapkan pasien untuk transfusi sesuai indikasi
R/ Untuk menanggulangi daripada perdarahan yang terjadi dan menghindari terjadinya syok
hipovolemik serta anemia

i. Dx PK: Ketidakseimbangan Elektrolit


Tujuan : Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1 x 2 jam diharapkan perawat dapat
mengurangi episodic ketidakseimbangan elektrolit
Kriteria hasil :
· Kadar kalium ( 3,40-4,80 mmol/L)
· Kadar natrium (135,00-147,00 mmol/L)
Intervensi :
Hiperkalemia
(1) Pantau tanda dan gejala hiperkalemia (lemah sampai paralisis flaksid,otot-otot peka
rangsang,parestesia,mual,kram abdomen atau diare ,oliguria,perubahan EKG)
R/ Hiperkalemia dapat diakibatkan oleh penuruna kemampuan ginjal dalam mengeksresikan
kalium atau pemasukan kalium yang berlebihan .Asidosis menyebabkan peningkatan
pelepasan kalium dari sel .Nilai kalium yang berfluktuasi akan berakibat pada transmisi
neurmuskuler dan menyebabkan irama jantung yang tidak teratur serta menurunkan kerja
otot –otot polos saluran pencernaan
(2) Batasi makanan dan cairan yang kadar kaliumnya tinggi serta batasi airan IV dengan
kalium
R/ Kadar kalium yang tinggi membutuhkan penrunan masukan cairan
(3) Lakukan latihan rentang gerak pada ektremitas
R/ Dengan rentang gerak meningkatkan kekuatan otot dan mengurangi kram
(4) Berikan obat-obatan untuk menurunkan nilai kalium serum sesuai dengan program
dokter atau protocol (Kalsium IV,Natriun bikarbonat, dan resin penukar kation
(kayexalate,hemodialisis)
R/ untuk memblok efek pada otot-otot jantung,untuk menekan kembali kalium ke dalam
sel,untuk memaksa eskresi kalium.
Hipokalemia
(1) Pantau tanda dan gejala hipokalemia( kelemahan ,reflex tendon dalam hilang atau
menurun,hipoventilasi,perubahan tingkat kesadaran,poiuria,hipotensi,ileus
paralitik,perubahan EKG: ada gelombang U,gelombang T datar atau menurun
,ketidakseimbangan irama,dan interval QT yang memanjang.,mual ,munta,anoreksia)
R/ hipokalemia disebabkan oleh kehilangan kalium yang berhubungan dengan
mual,muntah,diare,atau pengobatan diuretic atau dari masukan kalium yang tidak
adekuat.
(2) Dorong klien untuk meningkatkan masukan makanan yang kaya akan kalium
R/ peningkatan masukan kalium dalam makanan sehari-hari membantu dalam penggantian
kalium
(3) Jika pengobatan kalium diberikan secara parenteral ( selalu harus diencerkan ), pada
dewasa tidak boleh lebih dari 20 mEq /jam.Pantau nilai kalium serum selama
pengobatan.
R/ kadar berlebihan dapat menyebabkan disritmia jantung
(4) Observasi sisi IV terhadap infiltrasi
R/ Kalium sangat tajam terhadap jaringan
Hiponatremia
(1) Pantau tanda dan gejala dari hiponatremia ( dampak terhadap SSP bervariasi dari segi
letargi sampai koma sakit kepala,kelemahan,nyeri abdomen,otot-otot kedutan atau
kejang,mal,muntah,diare)
R/ Hiponatremia disebabkan oleh kehilangan natrium melalaui muntah, diare, atau
pengobatan dengan diuretic,pemasukan cairan yang berlebihan,atau pemasukan natrium
yang tidak mencukupi pada diet sehari-hari .edema seluler disebabkan oleh
osmosis,menyebabkan edema otak,kelemahan otot serta kram.
(2) Untuk klien yang mengalami hiponatremi ,berikan cairan natrium klorida secara IV dan
jangan teruskan pengobatan diuretic,sesuai program
R/ Intervensi ini mencegah kehilangan natrium berlanjut
(3) Pantau tanda dan gejala tanda hipenatremia dengan kelebihan beban cairan
(haus,penurunan haluaran urine,dampak pada SSP bervariasi dari agitasi sampai
kejang,evaluasi osmolaritas serum,pertambahan berat badan,edema,nilai tekanan darah
,takikardia
R/ Hipernatremia disebabkan oleh masukan masukan natrium yang berlebihan atau
peningkatan haluaran aldosteron.Air ditarik dari sel menyebabkan sel dehidrasi dan
menimbulkan gejala-gejala pada SSP.Haus merupakan respon kompensasi untuk
mengencerkan natrium
Hipernatremia :
(1) Berikan pengganti cairan sesuai dengan nilai osmolaritas serum
R/ penurunan osmolaritas serum yang cepat dapat menyebabkan edema otak dan kejang
(2) Pantau terhadap kejang
R/ kelebihan natrium menyebabkan odema serebral
(3) Pantau masukan dan haluaran seta berat badan
R/ hal ini akan mengevaluasi keseimbangan berat badan

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbangkes Kemenkes RI, 2011. Laporan Akhir Riset Fasilitas Kesehatan tahun 2011,
Jakarta.
Baradero, Mary, dkk, Perawatan Klien Gagal Ginjal, Jakarta: EGC, 2009
Hartono, A. (2013). Buku Saku Harrison Nefrologi. Jakarta : Karisma Publishing Group
Havens, L., Terra, R. P. 2005. Hemodialysis. Available from: http//www.kidneyatlas.org
Muttaqin, Arif & Sari, Kurmala. 2011. Gangguan Gastrointestinal : Aplikasi Asuhan
Keperawatan Medikal bedah. Jakarta : Salemba medika.
NANDA International. 2010. Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2009 -
2011. Jakarta : EGC.
Nursalam. (2006). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan.
Jakarta : Salemba Medika
Rendy, M Clevo dan Margareth TH. 2012.Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Penyakit
Dalam.Yogyakarta : Nuha Medika
Suwitra. K. (2006). Penyakit Ginjal Kronik. Dalam Sudoyo, A.W., dkk., Editor. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I. Edisi keempat. Penerbit Depertemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. Jakarta. Hal. 570-572.
Swartzendruber et.al (2008). Hemodialysis procedures and cmplication

You might also like