You are on page 1of 35

1

Edema paru

Definisi

Edema paru adalah akumulasi cairan di interstisial dan alveoulus paru yang terjadi

secara mendadak. Hal ini dapat disebabkan oleh tekanan intravaskular yang tinggi (edem

paru kardiak) atau karena peningkatan permeabilitas membran kapiler (edem paru non

kardiogenik) yang mengakibatkan terjadinya ekstravasasi cairan secara cepat sehingga

terjadi gangguan pertukaran udara di alveoli secara progresif dan mengakibatkan hipoksia

(Carpenito, Lynda Juall. 2016).

Tingkat oksigen darah yang rendah (hipoksia) dapat terdeteksi pada pasien-pasien

dengan edema paru. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan stethoscope, didapatkan

suara-suara paru yang abnormal, seperti rales atau crakles (suara-suara mendidih pendek

yang terputus-putus) yang berkoresponden pada muncratan cairan dalam alveoli selama

bernafas (Carpenito, Lynda Juall. 2016).

Patofisiologi

Pada tahap awal terjadinya edema paru terdapat peningkatan kandungan cairan di

jaringan interstisial antara kapiler dan alveoli. Pada edema paru akibat peningkatan

permeabilitas kapiler paru dipikirkan bahwa kaskade inflamasi timbul beberapa jam

kemudian yang berasal dari suatu fokus kerusakan jaringan tubuh. Neutrofil yang teraktivasi

akan beragregasi dan melekat pada sel endotel yang kemudian menyebabkan pelepasan

berbagai toksin, radikal bebas, dan mediator inflamasi seperti asam arakidonat, kinin, dan

histamin. Proses kompleks ini dapat diinisiasi oleh berbagai macam keadaan atau penyakit

dan hasilnya adalah kerusakan endotel yang berakibat peningkatan permeabilitas kapiler

alveolar. Alveoli menjadi terisi penuh dengan eksudat yang kaya protein dan banyak

mengandung neutrofil dan sel inflamasi sehingga terbentuk membran hialin. ( Mansjoer,

Arif. 2015).

Gejala klinis

Gejala paling umum dari edema paru adalah sesak nafas. Ini mungkin adalah
2

penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara perlahan, atau dapat

mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari edema paru akut. Gejala-gejala

umum lain mungkin termasuk mudah lelah, lebih cepat mengembangkan sesak nafas

daripada normal dengan aktivitas yang biasa (dyspnea on exertion), nafas yang cepat

(takipnea), kepeningan atau kelemahan ( Mansjoer, Arif. 2015).

Klasifikasi

Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan  non-


kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema
Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru
Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung  Kiri Akut. Tetapi dengan
adanya faktor presipitasi, dapat  terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri
Khronik(Guyton, Arthur C. dan John E. Hall. 2015).

»        Cardiogenic pulmonary edema

Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan pada
organ jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung memompa tidak
bagus atau jantung tidak kuat lagi memompa. Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari
tekanan yang tinggi dalam pembuluh-pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi
jantung yang buruk. Gagal

»        Non-cardiogenic pulmonary edema

Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan oleh hal
berikut:

 Acute respiratory distress syndrome (ARDS)

Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor yang
dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.

 kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah,
trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok kokain,
atau radiasi pada paru-paru.
 Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat
menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat pada
3

pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut, dialysis
mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
 High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan yang
cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.
 Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure yang
parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan di paru-
paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
 Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-expansion
pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru mengempis
(pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru (pleural effusion)
dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini dapat berakibat pada
pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh (unilateral pulmonary edema).
 Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary
edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat
menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin
menyebabkan pulmonary edema.
 Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary edema
mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah berjalan ke
paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau transfusion-related
acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus, atau eclampsia pada
wanita-wanita hamil(Guyton, Arthur C. dan John E. Hall. 2015).

Diagnosa

»        Pemeriksaan Fisik

 Sianosis sentral. Sesak napas dengan bunyi napas seperti mukus berbuih.
 Ronchi basah nyaring di basal paru kemudian memenuhi hampir seluruh lapangan
paru, kadang disertai ronchi kering dan ekspirasi yang memanjang akibat
bronkospasme sehingga disebut sebagai asma kardiale.
 Takikardia dengan S3 gallop.
 Murmur bila ada kelainan katup.

»        Elektrokardiografi. Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri atau fibrilasi
atrium, tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark, hipertrofi ventrikel kiri atau
aritmia bisa ditemukan.

»        Laboratorium
4

 Analisa gas darah pO2 rendah, pCO2 mula-mula rendah dan kemudian hiperkapnia.
 Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
 Darah rutin, ureum, kreatinin, , elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim jantung
(CK-MB, Troponin T), angiografi koroner.
 Foto thoraks Pulmonary edema secara khas didiagnosa dengan X-ray dada.
Radiograph (X-ray) dada yang normal terdiri dari area putih terpusat yang
menyinggung jantung dan pembuluh-pembuluh darah utamanya plus tulang-tulang
dari vertebral column, dengan bidang-bidang paru yang menunjukan sebagai bidang-
bidang yang lebih gelap pada setiap sisi, yang dilingkungi oleh struktur-struktur
tulang dari dinding dada.
 X-ray dada yang khas dengan pulmonary edema mungkin menunjukan lebih banyak
tampakan putih pada kedua bidang-bidang paru daripada biasanya. Kasus-kasus yang
lebih parah dari pulmonary edema dapat menunjukan opacification (pemutihan) yang
signifikan pada paru-paru dengan visualisasi yang minimal dari bidang-bidang paru
yang normal. Pemutihan ini mewakili pengisian dari alveoli sebagai akibat dari
pulmonary edema, namun ia mungkin memberikan informasi yang minimal tentang
penyebab yang mungkin mendasarinya.

»        Gambaran Radiologi yang ditemukan :

 Pelebaran atau penebalan hilus (dilatasi vaskular di hilus)


 Corakan paru meningkat (lebih dari 1/3 lateral)
 Kranialisasi vaskuler
 Hilus suram (batas tidak jelas)
 Interstitial fibrosis (gambaran seperti granuloma-granuloma kecil atau nodul milier)

»        Gambar hasil radiologi: Download disini

»        Ekokardiografi Gambaran penyebab gagal jantung : kelainan katup, hipertrofi ventrikel
(hipertensi), Segmental wall motion abnormally (Penyakit Jantung Koroner), dan umumnya
ditemukan dilatasi ventrikel kiri dan atrium kiri.

»        Pengukuran plasma B-type natriuretic peptide (BNP)

Alat-alat diagnostik lain yang digunakan dalam menilai penyebab yang mendasari
dari pulmonary edema termasuk pengukuran dari plasma B-type natriuretic peptide (BNP)
atau N-terminal pro-BNP. Ini adalah penanda protein (hormon) yang akan timbul dalam
darah yang disebabkan oleh peregangan dari kamar-kamar jantung. Peningkatan dari BNP
nanogram (sepermilyar gram) per liter lebih besar dari beberapa ratus (300 atau lebih) adalah
5

sangat tinggi menyarankan cardiac pulmonary edema. Pada sisi lain, nilai-nilai yang kurang
dari 100 pada dasarnya menyampingkan gagal jantung sebagai penyebabnya.

»        Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz)

Pulmonary artery catheter (Swan-Ganz)  adalah tabung yang panjang dan tipis
(kateter) yang disisipkan kedalam vena-vena besar dari dada atau leher dan dimajukan
melalui ruang – ruang sisi kanan dari jantung dan diletakkan kedalam kapiler-kapiler paru
atau pulmonary capillaries (cabang-cabang yang kecil dari pembuluh-pembuluh darah dari
paru-paru). Alat ini mempunyai kemampuan secara langsung mengukur tekanan dalam
pembuluh-pembuluh paru, disebut pulmonary artery wedge pressure. Wedge pressure dari 18
mmHg atau lebih tinggi adalah konsisten dengan cardiogenic pulmonary edema, sementara
wedge pressure yang kurang dari 18 mmHg biasanya menyokong non-cardiogenic cause of
pulmonary edema. Penempatan kateter Swan-Ganz dan interpretasi data dilakukan hanya
pada intensive care unit (ICU)(Harrison. 2012).

Penatalaksanaan

 Posisi ½ duduk.
 Oksigen (40 – 50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker.
 Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronchi bertambah, PaO2 tidak bisa
dipertahankan ≥ 60 mmHg dengan O2 konsentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2,
hipoventilasi, atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka
dilakukan intubasi endotrakeal, suction, dan ventilator.
 Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila ada.
 Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin peroral 0,4 – 0,6 mg tiap 5 – 10
menit. Jika tekanan darah sistolik > 95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena
mulai dosis 3 – 5 ug/kgBB.
 Jika tidak memberi hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitroprusid IV dimulai
dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan
sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan darah sistolik 85 – 90 mmHg
pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat
dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
 Morfin sulfat 3 – 5 mg iv, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya
dihindari).
 Diuretik Furosemid 40 – 80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4
jam atau dilanjutkan drip continue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
6

 Bila perlu (tekanan darah turun / tanda hipoperfusi) : Dopamin 2 – 5 ug/kgBB/menit


atau Dobutamin 2 – 10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis
dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
 Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
 Ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.
 Operasi pada komplikasi akut infark miokard, seperti regurgitasi, VSD dan ruptur
dinding ventrikel / corda tendinae(Simon, G. 2011).

Hipertensive Heart Disease


Definisi
Hipertensi heart disease (HHD) adalah istilah yang diterapkan untuk menyebutkan
penyakit jantung secara keseluruhan, mulai dari left ventricle hyperthrophy (LVH), aritmia
jantung, penyakit jantung koroner, dan penyakit jantung kronis, yang disebabkan kerana
peningkatan tekanan darah, baik secara langsung maupun tidak langsung(Panggabean
M,2012).        
  Penyakit jantung hipertensi atau Hipertensi heart disease (HHD) adalah istilah yang
diterapkan untuk menyebutkan penyakit jantung secara keseluruhan, mulai dari left ventricle
hyperthrophy (LVH), aritmia jantung, penyakit jantung koroner, dan penyakit jantung kronis
(CHF), yang disebabkan karena peningkatan tekanan darah, baik secara langsung maupun
tidak langsung.
         Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak
sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan.
Penyakit jantung hipertensi merujuk kepada suatu keadaan yang disebabkan oleh
peningkatan tekanan darah (hipertensi). Hipertensi yang berkepanjangan dan tidak terkendali
dapat mengubah struktur miokard, pembuluh darah dan sistem konduksi jantung. Perubahan-
perubahan ini dapat mengakibatkan hipertrofi ventrikel kiri, penyakit arteri koroner,
gangguan sistem konduksi, disfungsi sistolik dan diastolik miokard yang nantinya
bermanifestasi klinis sebagai angina (nyeri dada), infark miokard, aritmia jantung (terutama
fibrilasi atrium) dan gagal jantung kongestif(Panggabean M,2012).
Etiologi
         Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung,  dan seiring dengan
berjalannya waktu hal ini dapat menyebabkan penebalan otot jantung. Karena jantung
memompa darah melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah yang meningkat,
ventrikel kiri membesar dan jumlah darah yang dipompa jantung setiap menitnya (cardiac
output) berkurang. Tanpa terapi, gejala gagal jantung akan makin terlihat.
7

         Tekanan darah tinggi adalah faktor resiko utama bagi penyakit jantung dan stroke.
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung iskemik ( menurunnya suplai
darah untuk otot jantung sehingga menyebabkan nyeri dada atau angina dan serangan
jantung) dari peningkatan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot jantung yang menebal.
         Tekanan darah tinggi juga berpenaruh terhadap penebalan dinding pembuluh darah
yang akan mendorong terjadinya aterosklerosis (peningkatan kolesterol yang akan
terakumulasi pada dinding pembuluh darah). Hal ini juga meningkatkan resiko seangan
jantung dan stroke. Penyakit jantung hipertensi adalah penyebab utama penyakit dan
kematian akibat hipertensi(Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al,2013).
Patofisiologi
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu hal komplek yang
melibatkan banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu hemodinamik, struktural,
neuroendokrin, seluler, dan faktor molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor ini memegang
peranan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi lain peningkatan tekanan
darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor tersebut. Adapun patofisiologi berbagai efek
hipertensi terhadap jantung berbeda-beda dan akan dijelaskan berikut ini(Chobanian AV,
Bakris GL, Black HR, et al,2013).
1.      Hipertrofi ventrikel kiri
Hipertrofi ventrikel kiri (left ventricular hypertrophy / LVH)  terjadi pada 15-20%
penderita hipertensi dan risikonya meningkat dua kali lipat pada pasien obesitas. Hipertrofi
ventrikel kiri merupakan pertambahan massa pada ventrikel (bilik) kiri jantung. Hal ini
merupakan respon sel miosit terhadap stimulus yang menyertai peningkatan tekanan darah.
Hipertrofi miosit terjadi sebagai mekanisme kompensasi peningkatan tekanan afterload.
Stimulus mekanis dan neurohormonal yang menyertai hipertensi akan mengaktivasi
pertumbuhan sel miokard, ekspresi gen dan berujung kepada hipertrofi ventrikel kiri. Selain
itu aktivasi sistem renin-angiotensin akan menyebabkan pertumbuhan intestitium dan
komponen sel matriks.
Berbagai bentuk hipertrofi ventrikel kiri telah diidentifikasi, di antaranya hipertrofi
ventrikel kiri konsentrik dan hipertrofi ventrikel kiri ekstenstrik. Pada hipertrofi ventrikel kiri
konsentrik terjadi peningkatan massa dan ketebalan serta volume dan tekanan diastolik.
Pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri konsentrik umumnya memiliki prognosis yang lebih
buruk. Adapun pada hipertrofi ventrikel kiri eksentrik  terjadi peningkatan hanya pada lokasi
tertentu, misalnya daerah septal. Walaupun hipertrofi ventrikel kiri bertujuan untuk
melindungi terhadap stress yang ditimbulkan oleh hipertensi, namun pada akhirnya dapat
menyebabkan disfungsi miokard sistolik dan diastolik(Chobanian AV, Bakris GL, Black HR,
et al,2013).
8

2.      Abnormalitas atrium kiri


Abnormalitas atrium kiri meliputi perubahan struktural dan fungsional, sangat sering
terjadi pada pasien hipertensi. Hipertensi akan meningkatkan volume diastolik akhir (end
diastolic volume / EDV) di ventrikel kiri sehingga atrium kiri pun akan mengalami perubahan
fungsi dan peningkatan ukuran. Peningkatan ukuran atrium kiri tanpa disertai gangguan katup
atau disfungsi sistolik biasanya menunjukkan hipertensi yang sudah berlangsung lama /
kronis dan mungkin berhubungan dengan derajat keparahan disfungsi diastolik ventrikel kiri.
Pasien juga dapat mengalami fibrilasi atrium dan gagal jantung(Chobanian AV, Bakris GL,
Black HR, et al,2013).
3.      Gangguan katup
Hipertensi berat dan kronik dapat menyebabkan dilatasi pada pangkal aorta sehingga
menyebabkan insufisiensi katup. Hipertensi yang akut mungkin menyebabkan insufisiensi
aorta, yang akan kembali normal jika tekanan darah dikendalikan. Selain menyebabkan
regurgitasi (aliran balik) aorta, hipertensi juga akan mempercepat proses sklerosis aorta dan
regurgitasi katup mitral(Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al,2013).
4.      Gagal jantung
Gagal jantung merupakan komplikasi yang sering terjadi pada hipertensi kronis.
Pasien dengan hipertensi dapat menunjukkan gejala-gejala gagal jantung namun dapat juga
bersifat asimptomatis (tanpa gejala). Prevalensi (gagal jantung) disfungsi diastolik
asimptomatis pada pasien hipertensi tanpa disertai hipertrofi ventrikel kiri adalah sebanyak
33 %. Peningkatan tekanan afterload kronik dan hipertrofi ventrikel kiri dapat mempengaruhi
fase relaksasi dan pengisian diastolik ventrikel.
Disfungsi diastolik sering terjadi pada penderita hipertensi, dan terkadang disertai
hipertrofi ventrikel kiri. Hal ini disebabkan oleh peningkatan tekanan afterload, penyakit
arteri koroner, penuaan, disfungsi sistolik dan fibrosis. Disfungsi sistolik asimptomatis
biasanya mengikuti disfungsi diastolik. Setelah beberapa lama, hipertrofi ventrikel kiri gagal
mengkompensasi peningkatan tekanan darah sehingga lumen ventrikel kiri berdilatasi untuk
mempertahankan cardiac output. Dalam waktu yang lama, fungsi sistolik ventrikel kiri akan
menurun. Penurunan ini mengaktifkan sistem neurohormonal dan renin-angiontensin,
sehingga meretensi garam dan air dan meningkatkan vasokonstriksi perifer, yang akhirnya
malah memperburuk keadaan dan menyebabkan disfungsi sistolik.
Apoptosis (kematian sel terprogram yang dirangsang oleh hipertrofi miosit dan
ketidakseimbangan stimulus dan inhibitornya) diduga memainkan peranan penting dalam
peralihan fase “terkompensasi” menjadi fase “dekompensasi”. Peningkatan mendadak
tekanan darah dapat menyebabkan edema paru tanpa adanya perubahan fraksi ejeksi ventrikel
9

kiri. Secara umum dilatasi ventrikel kiri (asimtomatik atau simtomatik) dapat memperburuk
keadaan dan meningkatkan risiko kematian. Disfungsi ventrikel kiri serta dilatasi septal dapat
menyebabkan penebalan ventrikel kanan dan disfungsi diastolik(Chobanian AV, Bakris GL,
Black HR, et al,2013).
5.      Iskemia miokard
Pada pasien hipertensi dapat timbul iskemia miokard yang bermanifestasi sebagai
nyeri dada / angina pektoris. Hal ini dikarenakan hipertensi menyebabkan peningkatan
tekanan di ventrikel kiri dan transmural, peningkatan beban kerja yang mengakibatkan
hipertrofi ventrikel kiri. Suplai oksigen yang tidak sanggup memenuhi kebutuhan otot jantung
yang membesar akan menyebabkan nyeri dada. Hal ini diperparah jika terdapat penyulit
seperti aterosklerosis(Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al,2013).
6.      Aritmia jantung
Aritmia jantung yang sering ditemukan pada pasien hipertensi adalah fibrilasi atrium,
kontraksi prematur ventrikel dan takikardia ventrikel. Berbagai faktor berperan dalam
mekanisme arituma seperti miokard yang sudah tidak homogen, perfusi buruk, fibrosis
miokard dan fluktuasi pada saat afterload.
Sekitar 50% pasien dengan fibrilasi atrium memiliki penyakit hipertensi. Walaupun
penyebab pastinya belum diketahui, namun penyakit arteri koroner dan hipertrofi ventrikel
kiri diduga berperan dalam menyebabkan abormalitas struktural di atrium kiri. Fibrilasi
atrium dapat menyebabkan disfungsi sistolik dan diastolik serta meningkatkan risiko
komplikasi tromboembolik seperti stroke.
Kontraksi prematur ventrikel, aritmia ventrikel dan kematian jantung mendadak
ditemukan lebih sering pada pasien dengan hipertrofi ventrikel kiri. Penyebab aritmia seperti
ini diduga akibat proses penyakit arteri koroner dan fibrosis miokard yang berjalan
bersamaan(Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al,2013).
Manifestasi Klinis
Pada tahap awal, seperti hipertensi pada umumnya kebanyakan pasien tidak ada
keluhan. Bila simtomatik, maka biasanya disebabkan oleh:
1.      Peninggian tekanan darah itu sendiri seperti berdebar-debar, rasa melayang (dizzy) dan
impoten
2.      Cepat capek, sesak napas, sakit dada, bengkak kedua kaki atau perut. Gangguan
vaskular lainnya adalah epistaksis, hematuria, pandangan kabur karena perdarahan
retina, transient cerebral ischemic
3.      Penyakit dasar seperti pada hipertensi sekunder: polidipsia, poliuria, kelemahan otot
pada aldosteronisme primer, peningkatan berat badan cepat dengan emosi yang labil pada
sindrom Cushing. Feokromositoma dapat muncul dengan keluhan episode sakit kepala,
10

palpitasi, banyak keringat, dan rasa melayang saat berdiri (postural dizzy) (Kurt, Eugene, et
al,2014).
Pemeriksaan Penunjang
1.      Pemeriksaan Laboratorium
a.       Urinalisis: protein, leukosit, eritrosit dan silinder
b.      Pemeriksaan darah lengkap: hemoglobin / hematokrit, elektrolit darah: kalium, BUN /
kreatinin, Gula darah puasa, serta pemeriksaan total kolesterol
c.       Pemeriksaan TSH: bisa meningkat pada pasien dengan hipotiroidisme dan menurun
pada hipertiroidisme
2.      Pemeriksaan Radiologi
a.       EKG:  menunjukan hipertropi ventrikel kiri (LVH) pada sekitar 20 – 50% kasus
b.      Foto dada: memperlihatkan adanya kardiomegali, tambahan untuk dilatasi LVH, pada
penyakit dengan stadium lanjut, serta penumpulan sudut kostofrenikus pada pasien yang
mengalami efusi pleura
c.       CT scan, MRI, dan MRA (magnetic resonance angiografi) abdomen dan dada:
memperlihatkan adanya massa adrenal atau membuktikan adanya koarktasio aorta . CT scan
dan MRI jantung, walaupun tidak dilakukan secara rutin telah membuktikan secara
eksperimental terjadinya LVH
d.      TTE (transthoracic echocardiography) bisa sangat berguna dalam mengenali gambaran
penyakit jantung hipertensi, dengan indikasi konfirmasi gangguan jantung atau murmur atau
hipertensi dengan kelainan katup(Price, Sylvia A.Wilson, Lorraine M,2015).
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan (pencegahan dan pengobatan) Hipertensi secara garis besar dibagi menjadi
dua jenis, yaitu:
1.      Penatalaksanaan Non Farmakologis
Tabel Modifikasi gaya hidup untuk mengatasi hipertensi
Penurunan berat badan Memperoleh dan mempertahankan BMI ideal, dan
pencegahan obesitas
Reduksi garam < 5 gr NaCl / hari
Adaptasi rencana diet jenis-DASH Diet yang kaya buah-buahan, sayur-sayuran,
konsumsi makanan rendah asam lemak jenuh dan
kolesterol
Pengurangan konsumsi alkohol Mengurangi konsumsi alcohol bagi mereka yang
mengkonsumsi alcohol
Aktivitas fisik Aktivitas latihan fisik secara teratur, seperti jalan
cepat selama 30 menit / hari
11

2.      Pentalaksanaan Farmakologis
Golongan obat-obatan yang diberikan pada klien dengan hipertensi seperti
obat diuretika, penyekat beta, antagonis kalsium, atau penghambat ACE, vasodilator
langsung, dapat digunakan dengan memperhatikan keadaan penderita dan penyakit lain yang
ada pada penderita (Price, Sylvia A.Wilson, Lorraine M,2015).
Acute Kidney Injury
Definisi
Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam hingga
minggu) laju filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel,
diikuti kegagalan ginjal untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/
tanpa gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit. Acute Dialysis Quality Initia-
tive (ADQI) yang beranggotakan para nefrolog dan intensivis di Amerika pada tahun
2002 sepakat mengganti istilah ARF menjadi AKI. Penggantian istilah renal menjadi
kidney diharapkan dapat membantu pemahaman masyarakat awam, sedangkan
penggantian istilah failure menjadi injury dianggap lebih tepat menggambarkan
patologi gangguan ginjal (KDIGO, 2012).
Evaluasi dan manajemen awal pasien dengan cedera ginjal akut (AKI) harus
mencakup: 1) sebuah assessment penyebab yang berkontribusi dalam cedera ginjal,
2) penilaian terhadap perjalanan klinis termasuk komorbiditas, 3) penilaian yang
cermat pada status volume, dan 4) langkah-langkah terapi yang tepat yang dirancang
untuk mengatasi atau mencegah memburuknya fungsional atau struktural abnormali
ginjal. Penilaian awal pasien dengan AKI klasik termasuk perbedaan antara prerenal,
renal, dan penyebab pasca-renal (USRDS, 2015).
Akut kidney injury (AKI) ditandai dengan penurunan mendadak fungsi ginjal
yang terjadi dalam beberapa jam sampai hari. Diagnosis AKI saat ini dibuat atas
dasar adanya kreatinin serum yang meningkat dan blood urea nitrogen (BUN) dan
urine output yang menurun, meskipun terdapat keterbatasan. Perlu
dicatat bahwa perubahan BUN dan serum kreatinin dapat mewakili tidak hanya
cedera ginjal, tetapi juga respon normal dari ginjal ke deplesi volume ekstraseluler
atau penurunan aliran darah ginjal (KDIGO, 2012).

Cedera ginjal akut didefinisikan ketika salah satu dari kriteria berikut
terpenuhi :

• Serum kreatinin naik sebesar ≥ 0,3 mg/dL atau ≥ 26μmol /L dalam


waktu 48 jam atau
12

• Serum kreatinin meningkat ≥ 1,5 kali lipat dari nilai referensi, yang
diketahui atau dianggap telah terjadi dalam waktu satu minggu atau

• Output urine <0.5ml/kg/hr untuk> 6 jam berturut-turut

ADQI mengeluarkan sistem klasifikasi AKI dengan kriteria RIFLE yang


terdiri dari 3 kategori (berdasarkan peningkatan kadar Cr serum atau penurunan LFG
atau kriteria UO) yang menggambarkan beratnya penurunan fungsi ginjal dan 2
kategori yang menggambarkan prognosis gangguan ginjal seperti terlihatdalam tabel
berikut.
Klasifikasi AKI dengan Kriteria RIFLE, ADQI Revisi 2007

Peningkatan Penurunan
Kategori Kriteria UO
SCr LFG

Risk >1,5 kali nilai dasar > 25% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>6 jam

Injury >2,0 kali nilai dasar > 50% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,
>12 jam

Failure >3,0 kali nilai dasar > 75% nilai dasar <0,5 mL/kg/jam,

atau >4 mg/dL >24 jam atau

dengan kenaikan
Anuria ≥12 jam
akut > 0,5 mg/dL

Loss Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 4 minggu

End Stage Penurunan fungsi ginjal menetap selama lebih dari 3 bulan

Pada tahun 2005, Acute Kidney Injury Network (AKIN), sebuah kolaborasi
nefrolog dan intensivis internasional, mengajukan modifikasi atas kriteria RIFLE.
AKIN mengupayakan peningkatan sensitivitas klasifikasi dengan
merekomendasikan. Dengan beberapa modifikasi, kategori R, I, dan F pada
kriteria RIFLE secara berurutan adalah sesuai dengan kriteria AKIN tahap 1, 2,
13

dan 3. Kategori L dan E pada kriteria RIFLE menggambarkan hasil klinis


(outcome) sehingga tidak dimasukkan dalam tahapan. Klasifikasi AKI menurut
AKIN dapat dilihat pada tabel berikut (USRDS, 2015).

Klasifikasi AKI dengan kriteria AKIN

Tahap Peningkatan SCr Kriteria UO

1 >1,5 kali nilai dasar atau <0,5 mL/kg/jam, ≥6 jam

peningkatan >0,3 mg/dL

2 >2,0 kali nilai dasar <0,5 mL/kg/jam, ≥12jam

3 >3,0 kali nilai dasar atau <0,5 mL/kg/jam, ≥24

jam atau
>4 mg/dL dengan kenaikan akut > 0,5

mg/dL atau Anuria ≥12 jam

inisiasi terapi pengganti ginjal

Dalam identifikasi pasien digunakan kedua kriteria ini, sehingga


memberikan evaluasi yang lebih akurat. Kemudian untuk penentuan derajat AKI
juga harus akurat karena dengan peningkatan derajat, maka risiko meninggal dan
TPG akan meningkat. Selain itu, diketahui risiko jangka panjang setelah
terjadinya resolusi AKI timbulnya penyakit kardiovaskuler atau CKD dan
kematian. Sehingga dalam penentuan derajat pasien harus diklasifikasikan
berdasarkan derajat tertingginya. Jadi jika SCr dan UO memberikan hasil derajat
yang berbeda, pasien diklasifikasikan dalam derajat yang lebih tinggi (KDIGO,
2012).
Epidemiologi
AKI menjadi penyakit komplikasi pada sekitar 5-7% acute care admission
patient dan mencapai 30% pada pasien yang di admisi di unit perawatan intensif
(ICU). AKI juga menjadi komplikasi medis di Negara berkembang, terutama
pasien dengan latar belakang adanya penyakit diare, penyakit infeksi seperti
malaria, leptospirosis, dan bencana alam seperti gempa bumi. Insidennya
14

meningkat hingga 4 kali lipat di United State sejak 1988 dan diperkirakan terdapat
500 per 100.000 populasi pertahun. Insiden ini bahkan lebih tinggi dari insiden
stroke (Lameire, 2006).
Beberapa laporan dunia menunjukkan insiden yang bervariasi antara 0,5-
0,9% pada komunitas, 7% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 36-
67% pada pasien yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dan 5-6% Pasien
ICU dengan AKI memerlukan Terapi Penggantian Ginjal ( TPG atau Replacement
Renal Therapy (RRT)) (Lameire, 2006).
Terkait dengan epidemiologi AKI, terdapat variasi definisi yang digunakan
dalam studi klinis dan diperkirakan menyebabkan variasi yang luas dari laporan
insiden dari AKI itu sendiri (1-31%) dan angka mortalitasnya (19-83%). Dalam
penelitian Hoste (2006) diketahui AKI terjadi pada 67 % pasien yang di rawat di
ruang intensif dengan maksimal RIFLE yaitu 12% kelas R, 27% kelas I dan 28%
kelas F. Hospital mortality rate untuk pasien dengan maksimal RIFLE kelas R, I
dan F berturut- turut 8.8%, 11.4% dan 26.3% dibandingkan dengan pasien tanpa
AKI yaitu 5.5%. Namun hasil penelitian Ostermann (2007) menunjukkan
Hospital mortality rate yang lebih tinggi yaitu 20.9%, 45.6% dan 56.8% berturut-
turut untuk maksimal kelas RIFLE R, I, dan F (Lameire, 2006).
Faktor Risiko AKI
Pemahaman terhadap faktor resiko yang dimilki individu dapat membantu
untuk mencegah terjadinya AKI. Hal ini terutama berguna di rumah sakit, dimana
bisa dilakukan penilaian faktor resiko terlebih dahulu sebelum adanya paparan
seperti operasi atau adiministrasi agen yang berpotensi nefrotoksik.

Faktor resiko AKI : Paparan dan susceptibilitas pada AKI nonspesifik


menurut KDGIO 2012
15

Paparan Susceptibilitas

Sepsis Dehidrasi dan deplesi cairan

Penyakit kritis Usia lanjut

Syok sirkulasi Perempuan

Luka bakar Black race

Trauma CKD

Operasi Jantung (terutama dengan CPB) Penyakit kronik (jantung, paru.


Liver)

Operasi major nonkardiak Diabetes Mellitus

Obat nefrotoksik Kanker

Agen Radiokontras Anemia

Racun tanaman atau Hewan

Akhirnya, sangat penting untuk menyaring pasien yang mengalami paparan untuk
mencegah AKI, bahkan disarankan untuk selalu menilai resiko AKI sebagai bagian dari
evaluasi awal admisi emergensi disertai pemeriksaan biokimia. Monitor tetap dilaksanakan
pada pasien dengan resiko tinggi hingga resiko pasien hilang.

Patofisiologi

Dalam keadaan normal aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerolus relatif
konstan yang diatur oleh suatu mekanisme yang disebut otoregulasi. Dua
mekanisme yang berperan dalam autoregulasi ini adalah:

• Reseptor regangan miogenik dalam otot polos vascular arteriol aferen

• Timbal balik tubuloglomerular


16

Selain itu norepinefrin, angiotensin II, dan hormon lain juga dapat
mempengaruhi autoregulasi. Pada gagal ginjal pre-renal yang utama disebabkan oleh
hipoperfusi ginjal. Pada keadaan hipovolemi akan terjadi penurunan tekanan darah,
yang akan mengaktivasi baroreseptor kardiovaskular yang selanjutnya mengaktifasi
sistim saraf simpatis, sistim rennin-angiotensin serta merangsang pelepasan
vasopressin dan endothelin-I -1), yang merupakan mekanisme tubuh untuk
mempertahankan tekanan darah dan curah jantung serta perfusi serebral. Pada
keadaan ini mekanisme otoregulasi ginjal akan mempertahankan aliran darah ginjal
dan laju filtrasi glomerulus (LFG) dengan vasodilatasi arteriol afferent yang
dipengaruhi oleh reflek miogenik, prostaglandin dan nitric oxide (NO), serta
vasokonstriksi arteriol afferent yang terutama dipengaruhi oleh angiotensin-II dan
ET1 (Osterman, 2007).

Ada tiga patofisiologi utama dari penyebab acute kidney injury (AKI) :

1. Penurunan perfusi ginjal (pre-renal)

2. Penyakit intrinsik ginjal (renal)

3. Obstruksi renal akut (post renal)

- Bladder outlet obstruction (post renal)

- Batu, trombus atau tumor di ureter

1. Gagal Ginjal Akut Pre Renal (Azotemia Pre Renal)

Pada hipoperfusi ginjal yang berat (tekanan arteri rata-rata < 70 mmHg)
serta berlangsung dalam jangka waktu lama, maka mekanisme otoregulasi
tersebut akan terganggu dimana arteriol afferent mengalami vasokonstriksi, terjadi
kontraksi mesangial dan penigkatan reabsorbsi natrium dan air. Keadaan ini
disebut prerenal atau gagal ginjal akut fungsional dimana belum terjadi kerusakan
struktural dari ginjal.
17

Penanganan terhadap hipoperfusi ini akan memperbaiki homeostasis


intrarenal menjadi normal kembali. Otoregulasi ginjal bisa dipengaruhi oleh
berbagai macam obat seperti ACEI, NSAID terutama pada pasien – pasien berusia
di atas 60 tahun dengan kadar serum kreatinin 2 mg/dL sehingga dapat terjadi
GGA pre-renal. Proses ini lebih mudah terjadi pada kondisi hiponatremi,
hipotensi, penggunaan diuretic, sirosis hati dan gagal jantung. Perlu diingat bahwa
pada pasien usia lanjut dapat timbul keadaan – keadaan yang merupakan resiko
GGA pre-renal seperti penyempitan pembuluh darah ginjal (penyakit
renovaskuler), penyakit ginjal polikistik, dan nefrosklerosis intrarenal. Sebuah
penelitian terhadap tikus yaitu gagal ginjal ginjal akut prerenal akan terjadi 24 jam
setelah ditutupnya arteri renalis (Osterman, 2007).

2. Gagal Ginjal Akut Intra Renal (azotemia Intrinsik Renal)

Gagal ginjal akut intra renal merupakan komplikasi dari beberapa penyakit
parenkim ginjal. Berdasarkan lokasi primer kerusakan tubulus penyebab gagal
ginjal akut inta renal, yaitu :

1. Pembuluh darah besar ginjal

2. Glomerulus ginjal

3. Tubulus ginjal : nekrosi tubular akut

4. Interstitial ginjal

Gagal ginjal akut intra renal yang sering terjadi adalah nekrosi tubular akut
disebabkan oleh keadaan iskemia dan nefrotoksin. Pada gagal ginjal renal terjadi
kelainan vaskular yang sering menyebabkan nekrosis tubular akut. Dimana pada
NTA terjadi kelainan vascular dan tubular. Pada kelainan vaskuler terjadi:

• peningkatan Ca2+ sitosolik pada arteriol afferent glomerolus yang


menyebabkan sensitifitas terhadap substansi-substansi vasokonstriktor dan
gangguan otoregulasi.
18

• terjadi peningkatan stress oksidatif yang menyebabkan kerusakan sel


endotel vaskular ginjal, yang mengakibatkan peningkatan A-II dan ET-1
serta penurunan prostaglandin dan ketersediaan nitric oxide yang berasal
dari endotelial NO-sintase.

• peningkatan mediator inflamasi seperti tumor nekrosis faktor dan


interleukin-18, yang selanjutnya akan meningkatkan ekspresi dari
intraseluler adhesion molecule-1 dan P-selectin dari sel endotel, sehingga
peningkatan perlekatan sel radang terutama sel netrofil. Keadaan ini akan
menyebabkan peningkatan radikal bebas oksigen. Kesuluruhan proses di
atas secara bersama-sama menyebabkan vasokonstriksi intrarenal yang
akan menyebabkan penurunan GFR Salah satu Penyebab tersering AKI
intrinsik lainnya adalah sepsis, iskemik dan nefrotoksik baik endogenous
dan eksogenous dengan dasar patofisiologinya yaitu peradangan, apoptosis
dan perubahan perfusi regional yang dapat menyebabkan nekrosis tubular
akut (NTA). Penyebab lain yang lebih jarang ditemui dan bisa dikonsep
secara anatomi tergantung bagian major dari kerusakan parenkim renal :
glomerulus, tubulointerstitium, dan pembuluh darah.

Sepsis-associated AKI

Merupakan penyebab AKI yang penting terutama di Negara berkembang.


Penurunan LFG pada sepsis dapat terjadi pada keadaan tidak terjadi hipotensi,
walaupun kebanyakan kasus sepsis yang berat terjadi kolaps hemodinamik yang
memerlukan vasopressor. Sementara itu, diketahui tubular injury berhubungan
secara jelas dengan AKI pada sepsis dengan manifestasi adanya debris tubular dan
cast pada urin.Efek hemodinamik pada sepsis dapat menurunkan LFG karena
terjadi vasodilatasi arterial yang tergeneralisir akibat peningkatan regulasi sitokin
yang memicu sintesis NO pada pembuluh darah. Jadi terjadi vasodilatasi arteriol
eferen yang banyak pada sepsis awal atau vasokontriksi renal pada sepsis yang
berlanjut akibat aktivasi sistem nervus simpatis, sistem renin-angiotensus-
aldosteron, vasopressin dan endothelin. Sepsis bisa memicu kerusakan endothelial
yang menghasilkan thrombosis microvascular, aktivasi reaktif oksigen spesies
serta adesi dan migrasi leukosit yang dapat merusak sel tubular renal (Brady,
2005).
19

3. Gagal Ginjal Akut Post Renal

Gagal ginjal post-renal, GGA post-renal merupakan 10% dari keseluruhan


GGA. GGA post-renal disebabkan oleh obstruksi intra-renal dan ekstrarenal.
Obstruksi intrarenal terjadi karena deposisi kristal (urat, oksalat, sulfonamide) dan
protein ( mioglobin, hemoglobin). Obstruksi ekstrarenal dapat terjadi pada pelvis
ureter oleh obstruksi intrinsic (tumor, batu, nekrosis papilla) dan ekstrinsik
( keganasan pada pelvis dan retroperitoneal, fibrosis) serta pada kandung kemih
(batu, tumor, hipertrofi/ keganasan prostate) dan uretra (striktura). GGA post-renal
terjadi bila obstruksi akut terjadi pada uretra, buli – buli dan ureter bilateral, atau
obstruksi pada ureter unilateral dimana ginjal satunya tidak berfungsi (Osterman,
2007).

Pada fase awal dari obstruksi total ureter yang akut terjadi peningkatan
aliran darah ginjal dan peningkatan tekanan pelvis ginjal dimana hal ini
disebabkan oleh prostaglandin-E2. Pada fase ke-2, setelah 1,5-2 jam, terjadi
penurunan aliran darah ginjal dibawah normal akibat pengaruh tromboxane-A2
dan A-II. Tekanan pelvis ginjal tetap meningkat tetapi setelah 5 jam mulai
menetap. Fase ke-3 atau fase kronik, ditandai oleh aliran ginjal yang makin
menurun dan penurunan tekanan pelvis ginjal ke normal dalam beberapa minggu.
Aliran darah ginjal setelah 24 jam adalah 50% dari normal dan setelah 2 minggu
tinggal 20% dari normal. Pada fase ini mulai terjadi pengeluaran mediator
inflamasi dan faktor - faktor pertumbuhan yang menyebabkan fibrosis interstisial
ginjal (Brady, 2005).

Etiologi

Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI,


yakni (1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara
langsung menyebabkan gangguan pada parenkim ginjal (AKI
renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan obstruksi saluran kemih
(AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat tergantung dari
tempat terjadinya AKI.
20
21
22
23

Diagnosis

1. Pendekatan Diagnosis

Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI, pertama-tama harus


ditentukan apakah keadaan tersebut memang merupakan AKI atau merupakan
suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan umum yang dapat membedakan
kedua keadaan ini antara lain riwayat etiologi PGK, riwayat etiologi penyebab
AKI, pemeriksaan klinis (anemia, neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit
(pemulihan pada AKI) dan ukuran ginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat
dipakai. Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula
berukuran normal bahkan membesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit
ginjal polikistik. Upaya pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada
penentuan etiologi, tahap AKI, dan penentuan komplikasi (Mehta, 2007).
2. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan jasmani dan penunjang adalah untuk membedakan pre-renal, renal
dan post-renal. Dalam menegakkan diagnosis gagal ginjal akut diperiksa:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti untuk mencari penyebabnya
seperti misalnya operasi kardiovaskular, angiografi, riwayat infeksi
(infeksi kulit, infeksi tenggorokan, infeksi saluran kemih), riwayat
bengkak, riwayat kencing batu.
2. Membedakan gagal ginjal akut dengan kronis misalnya anemia dan ukuran
ginjal yang kecil menunjukkan gagal ginjal kronis.
24

3. Untuk mendiagnosis GGA diperlukan pemeriksaan berulang fungsi ginjal


yaitu kadar ureum, kreatinin atau laju filtrasi glomerulus. Pada pasien
rawat selalu diperiksa asupan dan keluaran cairan, berat badan untuk
memperkirakan adanya kehilangan atau kelebihan cairan tubuh. Pada
GGA berat dengan berkurangnya fungsi ginjal ekskresi air dan garam
berkurang sehingga dapat menimbulkan edema, bahkan sampai terjadi
kelebihan air yang berat atau edema paru. Ekskresi asam yang berkurang
juga dapat menimbulkan asidosis metabolic dengan kompensasi
pernapasan Kussmaul. Umumnya manifestasi GGA lebih didominasi oleh
factor-faktor presipitasi atau penyakit utamanya (Brady, 2005).

4. Assessment pasien dengan AKI

a. Kadar kreatinin serum. Pada GGA faal ginjal dinilai dengan memeriksa
berulang kali kadar serum kreatinin. Kadar serum kreatinin tidak dapat
mengukur secara tepat LFG karena tergantung dari produksi (otot),
distribusi dalam cairan tubuh, dan ekskresi oleh ginjal

b. Volume urin. Anuria akut atau oliguria berat merupakan indicator yang
spesifik untuk gagal ginjal akut, yang dapat terjadi sebelum perubahan
nilai-nilai biokimia darah. Walaupun demikian, volume urin pada GGA
bisa bermacam-macam, GGA prerenal biasanya hampir selalu disertai
oliguria (<400ml/hari), walaupun kadang tidak dijumpai oliguria. GGA
renal dan post-renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun poliuria.

c. Petanda biologis (biomarker). Syarat petanda biologis GGA adalah


mampu mendeteksi sebelum kenaikan kadar kreatinin disertai dengan
kemudahan teknik pemeriksaannya. Petanda biologis diperlukan untuk
secepatnya mendiagnosis GGA. Petanda biologis ini adalah zat-zat yang
dikeluarkan oleh tubulus ginjal yang rusak, seperti interleukin 18, enzim
tubular, N-acetyl-B-glucosamidase, alanine aminopeptidase, kidney
injury molecule 1. Dalam satu penelitian pada anak-anak pasca bedah
jantung terbuka gelatinase-associated lipocain (NGAL) terbukti dapat
25

dideteksi 2 jam setelah pembedahan, 34 jam lebih awal dari kenaikan


kadar kreatinin (Mehta, 2007).
Evaluasi pada pasien dengan AKI

Prosedur Informasi yang dicari

Anamnesis dan pemeriksaan fisis Tanda-tanda untuk penyebab AKI

Indikasi beratnya gangguan metabolic

Perkiraan status volume (hidrasi)

Mikroskopik urin Petanda inflamasi glomerulus atau


tubulus

Infeksi saluran kemih atau uropati


Kristal

Pemeriksaan biokima darah Mengukur pengurangan LFG dan


gangguan metabolic yang
Diakibatkannya

Pemeriksaan biokimia urin Membedakan gagal ginjal pre-renal


dan renal

Darah perifer lengkap Menentukan ada tidaknya anemia,


Leukositosi
s dan kekurangan
trombosit akibat pemakaian

USG ginjal Menentukan ukuran ginjal, ada


tidaknya obstruksi, tekstur parenkim
ginjal yang abnormal

CT scan abdomen Mengetahui struktur abnormal dari


ginjal dan traktus urinarius

Pemindaian radionuklir Mengetahui perfusi Ginjal yang


abnormal

Pielogram Evaluasi perbaikan dari obstruksi


19

traktus urinarius

Biopsi ginjal Menentukan berdasarkan


pemeriksaan patologi penyakit ginjal

3. Pemeriksaan Penunjang

Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasi


glomerulus, tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI
prerenal, sedimen yang didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang
transparan. AKI postrenal juga menunjukkan gambaran sedimen inaktif,
walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan pada obstruksi intralumen atau
penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast yang dapat
mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown”
granular cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan pada
ATN; cast eritrosit pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial;
cast leukosit dan pigmented “muddy brown” granular cast pada nefritis
interstitial (Brady, 2005).

Hasil pemeriksaan biokimiawi darah (kadar Na, Cr, urea plasma) dan
urin (osmolalitas urin, kadar Na, Cr, urea urin) secara umum dapat mengarahkan
pada penentuan tipe AKI. Kelainan analisis urin dapat dilihat pada tabel berikut
(Brady, 2005).
Kelainan Analisis Urin

Indeks diagnosis AKI prerenal AKI renal

Urinalisis Silinder hialin Abnormal

Gravitasi spesifik >1,020 1,010

Osmolalitas urin (mmol/kgH.0) >500 300

Kadar natrium urin (mmol/L) >10 (>20) >20 (>40)

Fraksi ekskresi Na (%) <1 >1

Fraksi ekskresi urea (%) <35 >35

Rasio Cr urin dan Cr plasma >40 <20

Rasio urea urin/urea plasma >8 <3

Penatalaksanaan
Menurut definisi, AKI prerenal adalah reversibel pada koreksi kelainan
utama hemodinamik, dan AKI postrenal dengan menghilangkan obstruksi.
Sampai saat ini, tidak ada terapi khusus untuk mendirikan AKI intrinsik renal
karena iskemia atau nefrotoksisitas. Manajemen gangguan ini harus fokus pada
penghapusan hemodinamik kelainan penyebab atau toksin, menghindari gejala
tambahan, dan pencegahan dan pengobatan komplikasi. Pengobatan khusus dari
penyebab lain dari AKI renal tergantung pada patologi yang mendasari (Mehta,
2007).
AKI Prarenal

Komposisi cairan pengganti untuk pengobatan GGA prerenal akibat


hipovolemia harus disesuaikan sesuai dengan komposisi cairan yang hilang.
Hipovolemia berat akibat perdarahan harus dikoreksi dengan packed red cells,
sedangkan saline isotonik biasanya pengganti yang sesuai untuk ringan sampai
sedang perdarahan atau plasma loss (misalnya, luka bakar, pankreatitis). Cairan
kemih dan gastrointestinal dapat sangat bervariasi dalam komposisi namun biasanya
hipotonik. Solusi hipotonik (misalnya, saline 0,45%) biasanya direkomendasikan
sebagai pengganti awal pada pasien dengan GGA prerenal akibat meningkatnya
kehilangan cairan kemih atau gastrointestinal, walaupun salin isotonik mungkin
lebih tepat dalam kasus yang parah. Terapi berikutnya harus didasarkan pada
pengukuran volume dan isotonik cairan yang diekskresikan. Kalium serum dan
status asam-basa harus dimonitor dengan hati-hati. Gagal jantung mungkin
memerlukan manajemen yang agresif dengan inotropik positif, preload dan afterload
mengurangi agen, obat antiaritmia, dan alat bantu mekanis seperti pompa balon
intraaortic. Pemantauan hemodinamik invasif mungkin diperlukan untuk memandu
terapi untuk komplikasi pada pasien yang penilaian klinis fungsi jantung dan volume
intravaskular sulit (Mehta, 2007).

AKI intrinsic renal

AKI akibat lain penyakit ginjal intrinsik seperti glomerulonefritis akut atau
vaskulitis dapat merespon glukokortikoid, alkylating agen, dan atau plasmapheresis,
tergantung pada patologi primer. Glukokortikoid juga mempercepat remisi pada
beberapa kasus interstitial nefritis alergi. Kontrol agresif tekanan arteri sistemik
adalah penting penting dalam membatasi cedera ginjal pada hipertensi ganas
nephrosclerosis, toxemia kehamilan, dan penyakit pembuluh darah lainnya.
Hipertensi dan AKI akibat scleroderma mungkin sensitif terhadap pengobatan
dengan inhibitor ACE (Mehta, 2007).

AKI postrenal
Manajemen AKI postrenal membutuhkan kerjasama erat antara nephrologist,
urologi, dan radiologi. Gangguan pada leher uretra atau kandung kemih biasanya
dikelola awalnya oleh penempatan transurethral atau suprapubik dari kateter
kandung kemih, yang memberikan bantuan sementara sedangkan lesi yang
menghalangi diidentifikasi dan diobati secara definitif. Demikian pula, obstruksi
ureter dapat diobati awalnya oleh kateterisasi perkutan dari pelvis ginjal. Memang,
lesi yang menghalangi seringkali dapat diterapi perkutan (misalnya, kalkulus,
sloughed papilla) atau dilewati oleh penyisipan stent ureter (misalnya, karsinoma).
Kebanyakan pasien mengalami diuresis yang tepat selama beberapa hari setelah
relief obstruksi. Sekitar 5% dari pasien mengembangkan sindrom garam-wasting
sementara yang mungkin memerlukan pemberian natrium intravena untuk menjaga
tekanan darah.
Pada dasarnya tata laksana AKI sangat ditentukan oleh penyebab AKI dan
pada tahap apa AKI ditemukan. Jika ditemukan pada tahap prarenal dan inisiasi
(kriteria RIFLE R dan I), upaya yang dapat dilakukan adalah tata laksana optimal
penyakit dasar untuk mencegah pasien jatuh pada tahap AKI berikutnya. Upaya ini
meliputi rehidrasi bila penyebab AKI adalah prarenal/hipovolemia, terapi sepsis,
penghentian zat nefrotoksik, koreksi obstruksi pascarenal, dan meng- hindari
penggunaan zat nefrotoksik. Pemantauan asupan dan pengeluaran cairan harus
dilakukan secara rutin. Selama tahap poliuria (tahap pemeliharaan dan awal
perbaikan), beberapa pasien dapat mengalami defisit cairan yang cukup berarti,
sehingga pemantauan ketat serta pengaturan keseimbangan cairan dan elektrolit
harus dilakukan secara cermat. Substitusi cairan harus diawasi secara ketat dengan
pedoman volume urin yang diukur secara serial, serta elektrolit urin dan serum
(Osterman, 2007).
Terapi Nutrisi
Kebutuhan nutrisi pasien AKI bervariasi tergantung dari penyakit dasarnya
dan kondisi komorbid yang dijumpai. Sebuah sistem klasifikasi pemberian nutrisi
berdasarkan status katabolisme diajukan oleh Druml pada tahun 2005 dapat dilihat
pada table berikut (Osterman, 2007).
Klasifikasi Kebutuhan Nutrisi Pasien AKI
Katabolisme
Variabel
Ringan Sedang Berat

Contoh Toksik karena Pembedahan +/- Sepsis, ARDS,


keadaan klinis obat Infeksi MODS

Dialisis Jarang Sesuai Sering


Kebutuha
n

Rute pemberian Oral Enteral +/- Enteral +/-


Nutrisi Parenteral parenteral

Rekomendasi 20-25 25-30 25-30


Energy kkal/kg/BBari kkal/kg/BBari kkal/kg/BBari

Sumber energy Glukosa 3-5 Glukosa 3-5 Glukosa 3-5


g/kgBB/hari g/kgBB/hari g/kgBB/hari
Lemak 0,5-1 Lemak 0,8-1,2
g/kgBB/hari g/kgBB/hari

Kebutuhan 0,6-1 0,8-1,2 1,0-1,5


Protein g/kgBB/hari g/kgBB/hari g/kgBB/hari

Pemberian Makanan Formula enteral Formula enteral


Nutrisi Glukosa 50- Glukosa 50-
70% 70%
Lemak 10-20% Lemak 10-20%
AA 6,5-10 % AA 6,5-10 %
Mikronutrien Mikronutrien

A
Kriteria untuk memulai terapi pengganti ginal pada pasien kritis dengan
gangguan ginal akut adalah :
 Oliguria : produksi urin < 2000 ml dalam 12 jam

 Anuria : produksi urin < 50 ml dalam 12 jam


 Hiperkalemia : Kadar potassium > 6.5 mmol/L

 Asidemia (keracunan asam) yang berat : pH < 7.0

 Azotemia : kadar urea > 30 mmol/L

 Ensefalopati uremikum

 Neuropati / miopati uremikum

 Pericarditis uremikum

 Natrium abnormalitas plasma : konsentrasi > 155 mmol/L atau <120


mmol/L

 Hipertermia

 Keracunan obat

Komplikasi

Komplikasi metabolik berupa kelebihan cairan, hiperkalemia, asidosis metabolik,


hipokalsemia, serta peningkatan ureum yang lebih cepat pada keadaan hiperkatabolik.
Pada oligurik dapat timbul edema kaki, hipertensi dan edema paru, yang dapat
menimbulkan keadaan gawat. Hiperkalemia terjadi karena beberapa hal seperti ekskresi
melalui ginjal terganggu, perpindahan kalium keluar sel, kerusakan sel akibat proses
katabolik, trauma, sepsis, infeksi, atau dapat juga disebabkan karena asupan kalium yang
berlebih, keadaan ini berbahaya karena bisa menyebabkan henti jantung dalam keadaan
diastolik. Asidosis terjadi karena bikarbonat darah menurun akibat ekskresi asam
nonvolatile terganggu dimana juga meningkatkan anion gap. Hipokalsemia sering terjadi
pada awal GGA dan pada fase penyembuhan GGA.
Prognosis

Mortalitas akibat GGA bergantung keadaan klinik dan derajat gagal ginjal.
Perlu diperhatikan faktor usia, makin tua makin jelek prognosanya, adanya infeksi
yang menyertai, perdarahan gastrointestinal, penyebab yang berat akan
memperburuk prognosa. Penyebab kematian tersering adalah infeksi (30-50%),
perdarahan terutama saluran cerna (10-20%), jantung (10-20%), gagal nafas (15%),
dan gagal multiorgan dengan kombinasi hipotensi, septikemia, dan sebagainya.
Pasien dengan GGA yang menjalani dialysis angka kematiannya sebesar 50-60%,
karena itu pencegahan, diagnosis dini, dan terapi dini perlu ditekankan (Mehta,
2007).
Pencegahan
Pencegahan AKI terbaik adalah dengan memperhatikan status hemodinamik
seorang pasien, mempertahankan keseimbangan cairan dan mencegah penggunaan zat
nefrotik maupun obat yang dapat menggangg kompensasi ginjal pada seseorang
dengan gangguan fungsi ginjal. Dopamin dosis ginajl maupun diuretic tidak terbukti
efektif mencegah terjadinya AKI (Mehta, 2007).

DAFTAR PUSTAKA

Brady HR, Brenner BM. Acute renal failure. Dalam Kasper DL, Fauci AS, Longo DL,
Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL, edi-tor. Harrison’s principle of internal
medicine. Ed 16. New York: McGraw-Hill, Inc; 2005.p.1644-53.
Carpenito, Lynda Juall. 2016. Diagnosis Keperawatan. Jakarta: EGC
Chobanian AV, Bakris GL, Black HR, et al.(2013) The Seventh Report of the Joint National
Committee on Prevention, Detection and Treatment of High Blood Pressure: the JNC
7report.JAMA.May;289(19):2560-72
Kurt, Eugene, et al.(2014) Harrison’s: Principles of Internal Medicine. Singapore: McGrawHill.
Price, Sylvia A.Wilson, Lorraine M.(2015) Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit,
Jakarta:ECG.
Guyton, Arthur C. dan John E. Hall. 2015. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.
Harrison. 2012. Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit Dalam. Volume3. Yogyakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). KDIGO Clinical Practice Guideline
for Acute Kidney Injury. Kidney International Supplements 2012. Vol.2. 19-36
Lameire N, Biesen WV, Vanholder R. The rise of prevalence and the fall of mortality of
patients with acute renal failure: what the analysis of two databases does and does
not tell us. J Am Soc Nephrol. 2006;17:923-5.
 Mansjoer, Arif. 2015. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: FKUI
Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al. Acute
kidney injury network: report of an initiative to improve outcomes in acute
kidney injury. Critical Care. 2007,11:R31
Osterman M, Chang R: Acute Kidney Injury in the Intensive Care Unit according to RIFLE.
Critical Care Medicine 2007; 35:1837-1843.
Osterman M, Chang R: Acute Kidney Injury in the Intensive Care Unit according to
RIFLE. Critical Care Medicine 2007; 35:1837-1843
Panggabean M.(2012).  Dalam: Sudoyo A, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2. Jakarta: EGC
Simon, G. 2011. Diagnostik Rontgen untuk Mahasiswa Klinik dan Dokter Umum. Edisi kedua.
Jakarta: Penerbit Erlangga
Sinto, R. dan Nainngolan, G. Acute Kidney Injury : Pendekatan Klinis dan Tata Laksana.
2010. Maj Kedokt Indon. Vol 60 (2).
United State Renal Data System.USRDS Annual Data Report Chapter 5 : Acute Kidney
Injury. 2015. Vol. 1. 57-66

You might also like