You are on page 1of 40

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang

Menua merupakan suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia.

Proses menua bukanlah suatu penyakit. Menua merupakan proses kehilangan

kemampuan jaringan tubuh untuk mempertahankan struktur dan fungsi normal

(Darmojo, 2009). Proses ini ditandai dengan terjadinya kehilangan kemampuan

jaringan pada susunan saraf, otot, dan jaringan lain secara perlahan sehingga

tubuh mati sedikit demi sedikit (Mubarak, 2009; Nugroho, 2008). Lansia

merupakan tahapan akhir dari proses perkembangan tubuh yang tidak dapat

dipungkiri dan merupakan tahapan yang normal yang dialami oleh setiap individu

yang memasuki usia lanjut (Stanley, 2006).

Populasi orang berusia di atas 65 tahun sedunia sekarang berada ada 617

juta orang. Angka tersebut setara dengan 8,5 persen dari jumlah seluruh penduduk

dunia. Indonesia termasuk dalam lima besar negara dengan jumlah lanjut usia

terbanyak di dunia. Berdasarkan sensus penduduk pada tahun 2016, jumlah lanjut

usia di Indonesia yaitu 18, 27%, tahun 2006 meningkat menjadi 20.876 orang dan

pada tahun 2017 mencapai 48.320 orang. Dengan demikian disimpulkan bahwa

jumlah lansia di kota Pekanbaru juga mengalami perkembangan yang sangat cepat

setiap tahun (Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru,2017).

Tantangan yang dihadapi semakin berat ketika peningkatan jumlah

penduduk berpengaruh terhadap kemiskinan, keterbelakangan, tindak kekerasan

dan pelanggaran hukum yang dialami oleh lansia, sehingga hal ini mengakibatkan

semakin meningkatnya tingkat ketergantungan lansia terhadap penduduk usia

1
produktif dan tentunya lansia membutuhkan pelayanan yang tepat untuk

mengatasi permasalahan yang selama ini dihadapi oleh lansia (Rusdi,2009).

Pemerintah sudah melaksanakan beberapa program dalam mengatasi

masalah lansia. Berdasarkan UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan, upaya

pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap

hidup sehat dan produktif secara sosial maupun ekonomis. Selain itu, Pemerintah

wajib menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan dan memfasilitasi kelompok

lanjut usia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif. Upaya peningkatan

kesejahteraan lanjut usia, khususnya dalam bidang kesehatan tentu melibatkan

peran serta dari pemerintah, swasta, dan masyarakat. Selain itu, harus ada

koordinasi yang efektif antara lintas program terkait di lingkungan Kementerian

Kesehatan dan organisasi profesi dalam upaya peningkatan kesehatan lanjut usia.

Salah satunya adalah pengadaan panti werdha. Pelayanan sosial merupakan wujud

aktivitas pekerja sosial dalam praktik profesionalnya. Pelayanan sosial yang

diberikan sebagai wujud dari awaban terhadap tuntutan kebutuhan dan masalah

yang dialami masyarakat sebagai akibat perubahan masyarakat itu sendiri

(Santoso, 2010).

Kebutuhan hidup lansia berbeda dengan kebutuhan hidup yang lain sebagai

penduduk usia produktif, hal ini dipengaruhi oleh proses penuaan, perubahan, dan

kemunduran di dalam tahap kehidupan yang terjadi pada lansia sehingga

menyebabkan kebutuhan lansia lebih spesifik dibandingkan dengan yang lain.

Oleh karena itu, kehadiran panti werdha di tengah-tengah perubahan nilai dan

struktur yang terjadi di dalam keluarga menjadi pilihan yang terbaik untuk

2
membantu lansia dalam menjangkau sumber-sumber yang ada dalam rangka

memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai tingkat kesejahteraan bagi lansia itu

sendiri. Semakin bertambahnya usia yang terjadi melalui proses alamiah pada

lanjut usia, maka semakin banyak ketergantungan yang dialami oleh lanjut usia.

Hal tersebut disebabkan menurunnya kondisi fisik, psikis maupun sosial sehingga

penurunan yang dialami oleh para lanjut usia akan memperlambat proses interaksi

yang terjadi di dalam lingkungan (Rusdi, 2009; Santoso 2010).

Banyak kemunduran yang dihadapi oleh para lanjut usia baik itu dari segi

fisik, psikis, maupun sosial. Kemunduran yang dialami oleh lansia merupakan

proses alami yang disebut dengan proses degeneratif. Pada tahap ini lansia

mengalami kesulitan untuk melewati masa tuanya, karena sebagian orang

beranggapan bahwa lansia tidak dapat berbuat apa-apa atau tidak berguna

(Dwiguna, 2010).

Ketergantungan yang dialami oleh lansia terjadi karena menurunnya kondisi

fisik, psikis maupun sosial sehingga penurunan yang dialami oleh lansia akan

memperlambat proses interaksi yang terjadi di dalam lingkungan. Hal ini yang

menyebabkan lansia membutuhkan bantuan orang lain untuk menjangkau sumber-

sumber yang ada dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan mencapai

kesejahteraan lansia (Risman,2008).

Perubahan-perubahan yang terjadi pada lanjut usia salah satunya dapat

menimbulkan masalah yaitu meningkatnya risiko jatuh yang dapat menyebabkan

cidera bagi lansia (Stockslager, 2008). Jatuh pada lansia adalah suatu masalah

utama yang sering dialami lansia (Azizah, 2011). Survey yang dilakukan di

3
Indonesia oleh riset kesehatan dasar (RISKESDAS) menyatakan bahwa jumlah

kejadian jatuh pada lansia yang berusia 60 tahun atau lebih sekitar 70,2%

(Riyadina, 2009). Hal ini membuktikan bahwa lansia di Indonesia memiliki risiko

tinggi mengalami jatuh. Begitu juga pada Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul

Khotimah Pekanbaru yang melaksanakan pelayanan pada 120 lansia juga

mengatakan bahwa pada tahun 2016 ke 2017 mengalami peningkatan risiko jatuh,

pada tahun 2016 sebanyak 12 lansia (9,6%) mengalami jatuh dan pada tahun 2017

meningkat menjadi 20 lansia (16,6%) yang mengalami jatuh.

Jatuh merupakan suatu kejadian yang dilaporkan penderita atau saksi mata,

yang melihat kejadian mengakibatkan seseorang mendadak terbaring atau

terduduk di lantai atau tempat yang lebih rendah dengan atau tanpa kehilangan

kesadaran atau luka (Darmojo, 2010). Dwiguna (2010) menyatakan bahwa

kerusakan fisik yang paling ditakuti dari kejadian jatuh adalah patah tulang

panggul. Dampak psikologis adalah walaupun cedera fisik tidak terjadi, syok

setelah jatuh dan rasa takut akan jatuh lagi dapat memiliki banyak konsekuensi

termasuk ansietas, hilangnya rasa percaya diri, pembatasan dalam aktivitas sehari-

hari, falafobia atau fobia jatuh.

Kebanyakan lansia yang memiliki risiko jatuh adalah lansia yang memiliki

aktivitas sehari-hari dengan rentang tingkat ketergantung atau lansia yang kurang

mempunyai aktivitas fisik (Tamher, 2009). Oleh sebab itu, untuk mengurangi

masalah kesehatan yang diantaranya risiko jatuh pada lansia harus dilakukan

tindakan pencegahan agar cidera yang diakibatkan jatuh dapat dikurangi dan lebih

diutamakan daripada mengobati komplikasinya (Darmojo, 2009). Salah satu

4
upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi gangguan pada lansia, khususnya

masalah keseimbangan dan kejadian jatuh adalah dengan melakukan latihan fisik

yang teratur dan terprogram.

Tobing (2011) berpendapat latihan fisik yang baik, benar, terukur, dan

teratur (BBTT) serta latihan yang sesuai dengan tingkat kesehatan, tingkat

aktivitas fisik, dan tingkat kebugaran masing-masing individu dapat mengurangi

risiko kelainan tulang yang menyebabkan risiko jatuh pada lansia. Latihan fisik

ditujukan untuk membantu meningkatkan kekuatan otot pada anggota bawah

(kaki) dan untuk meningkatkan sistem vestibular atau kesimbangan tubuh. Latihan

fisik sangat penting pada lansia karena latihan ini sangat membantu

mempertahankan tubuhnya agar stabil sehingga mencegah terjatuh yang sering

terjadi pada lansia.

Latihan fisik berguna untuk memandirikan para lansia agar mengoptimalkan

kemampuannya sehingga menghindari dari dampak yang terjadi yang disebabkan

karena ketidakmampuannya. Otak, otot dan tulang bekerja bersama-sama menjaga

keseimbangan tubuh agar tetap seimbang dan mencegah terjatuh. Ketiga organ ini

merupakan sasaran yang terpenting dan harus dioptimalkan pada latihan

keseimbangan, untuk itu program latihan integrasi yang lengkap harus

dipersiapkan oleh seorang fisioterapis (Dwiguna,2010).

Beberapa contoh olahraga atau latihan fisik yang dapat dilakukan oleh lansia

untuk meningkatkan dan memelihara kebugaran, kesegaran, dan kelenturan

fisiknya adalah sebagai mengerjakan pekerjaan rumah dan berkebun, berjalan-

jalan, jalan cepat, bersepeda dan senam. Aktivitas ini bagi lansia tentunya akan

5
memberikan manfaat khususnya bagi kesehatan. Kegiatan olahraga dapat

memberikan dampak positif apabila dilakukan secara teratur dan tentunya

mengurangi risiko jatuh akibat ketidak seimbangan badan pada lansia.

Pencapaian kesehatan lansia perlu motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.

Motivasi intrinsik yaitu motivasi yang berfungsi tanpa rangsangan dari luar tetapi

sudah dengan sendirinya terdorong untuk berbuat sesuatu misalnya dari dalam

dirinya lansia itu sendiri, sedangkan motivasi ekstrinsik yaitu motivasi yang

berfungsi karena adanya rangsangan dari luar seperti lingkungan, teman, keluarga,

dan informasi. Informasi senam lansia diberikan oleh kader posyandu atau

pemandu senam, informasi diharapkan dapat membantu dan memotivasi lansia

untuk melakukan senam lansia, selain motivasi dari diri sendiri diharapkan juga

dukungan dari keluarganya sendiri (Sugaray, 2012).

Cara lain untuk meningkatkan motivasi adalah dengan menggunakan

ancaman atau kekersan agar yang dimotivasi dapat melakukan apa yang harus

dilakukan, memotivasi dengan bujukan atau memberi hadiah agar melakukan

sesuatu sesuai harapan yang memberikan motivasi, dan yang terakhir yaitu

memotivasi dengan menanamkan kesadaran sehingga lansia berbuat sesuatu

karena adanya keinginan yang timbul dalam dirinya sendiri dalam mengikuti

latihan fisik untuk lansia dengan salah satu juannya adalah mengurangi resiko

jatuh pada lansia (Sulistyorini, 2013).

Berdasarkan survei awal peneliti terdapat penigkatan lansia juga terdapat

pada Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah Pekanbaru, pada saat ini

lanjut usia yang berada pada UPT Pelayanan Sosial Tresna Werdha Khusnul

6
Khotimah sebanyak 72 orang lansia. Berdasarkan uraian di atas maka peneliti

tertarik mengangkat penelitian dengan judul “ Hubungan risiko jatuh dengan

motivasi melakukan latihan fisik pada lansia pada Panti sosial Tresna Werdha

Khusnul Khotimah Pekanbaru”.

1.2 Rumusan Masalah

Jatuh merupakan suatu kondisi dimana seseorang tidak sengaja tergeletak di

lantai, tanah atau tempat yang lebih rendah Resiko jatuh dapat disebabkan oleh

kurangnya keseimbangan badan pada lansia. Hal ini dapat diatasi dengan cara

lathan fisik. Latihan fisik ini merupakan aktivitas fisik pada lansia yang diduga

dapat memperbaiki keseimbangan tubuh, yang merupakan risiko terjadinya jatuh.

Pada panti Sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah Pekanbaru memiliki

beberapa beberapa lansia yang beresioko jatuh. Beberapa lansia tidak mampu

melakukan aktivitas fisik, sebagian lainnya rentan akan resiko jatuh. Dengan

motivasi yang baik maka lansia akan memiliki keinginan yang tinggi untuk

melakukan latihan fisik dan terhindar dari resiko jatuh. Maka peneliti ingin

mengetahui “apakah ada hubungan antara Risiko Jatuh dan Motivasi melakukan

latihan fisik pada lansia pada Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah

Pekanbaru?”.

1.3 Tujuan penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Mengetahui hubungan antara risiko jatuh dan motivasi melakukan latihan

fisik pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah Pekanbaru.

7
1.3.2 Tujuan khusus

1.3.2.1 Diketahuinya gambaran risiko jatuh pada lansia di Panti Sosial Tresna

Werdha Khusnul Khotimah Pekanbaru

1.3.2.2 Diketahuinya gambaran motivasi melakukan latihan fisik di Panti Sosial

Tresna Werdha Khusnul Khotimah Pekanbaru

1.3.2.3 Diketahuinya hubungan antara risiko jatuh dan motivasi melakukan

latihan fisik pada lansia pada Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul

Khotimah Pekanbaru

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Bagi Tempat Penelitian

Sebagai informasi yang berhubungan dengan Risiko Jatuh dan Motivasi

melakukan latihan fisik pada lansia.

1.4.2 Petugas Panti

Pekerja panti dapat mengantisipasi terjadinya resiko jatuh pada lansia dan

melaksanakan latihan fisik pada lansia agar lansia terhindar dari resiko jatuh.

1.4.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Penelitian ini dapat menjadi informasi bagi penelitan berikutnya dan bahan

pertimbangan untuk melakukan penelitian yang terkait

1.4.4 Bagi Perkembangan Ilmu Keperawatan

Penelitian ini diharapkan bisa meningkatkan perkembangan ilmu

keperawatan tentang motivasi melakukan latihan fisik terhadap risiko jatuh pada

lansia.

8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Telaah Pustaka
2.1.1 Lansia
2.1.1.1 Pengertian Lansia
Lansia dikelompokkan dalam tiga kelompok yaitu pertama, kelompok

lansia yang sudah uzur, pikun (senile) yaitu mereka yang sudah tidak mampu lagi

untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Kedua, kelompok lansia yang

produktif, yaitu mereka yang mampu memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan

tidak tergantung pada pihak lain. Ketiga, kelompok lansia yang miskin (destitute)

yaitu termasuk mereka yang secara relative tidak dapat memenuhi kebutuhannya

sendiri seperti pekerjaan atau pendapatan yang tidak dapat menunjang

kelangsungan kehidupannya (Wirakartakusumah, 2014).

Lansia adalah tahap akhir siklus hidup manusia, merupakan bagian dari

proses kehidupan yang tak dapat dihindarkan dan akan dialami oleh setiap

individu. Pada tahap ini individu mengalami banyak perubahan baik secara fisik

maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan kemampuan

yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik sebagian dari proses penuan

normal, seperti rambut yang mulai memutih, kerut-kerut ketuaan di wajah,

berkurangnya ketajaman panca indera, serta kemunduran daya tahan tubuh,

merupakan acaman bagi integritas orang usia lanjut. Lansia juga harus berhadapan

dengan kehilangan-kehilangan peran diri, kedudukan sosial, serta perpisahan

dengan orang-orang yang dicintai. Semua hal tersebut menuntut kemampuan

beradaptasi yang cukup besar untuk dapat menyikapi secara bijak (Soejono,

9
2010). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa lansia adalah kelompok umur

yang sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka.

2.1.1.2 Karakteristik Lansia

Ada beberapa pembagian lansia menurut Mubarak (2009):

a. Departemen Kesehatan RI membagi lansia sebagai berikut : kelompok

menjelang usia lanjut (45-54 tahun) sebagai masa vibrilitas, kelompok usia

lanjut (55-64 tahun) sebagai presenium, kelompok usia lanjut (kurang dari

65 tahun) sebagai senium.

b. Organisasi kesehatan dunia (WHO), usia lanjut dibagi menjadi empat

kriteria berikut : usia pertengahan (middle age) ialah kelompok usia 45

sampai 59 tahun, usia lanjut (elderly) antara 60-74 tahun, usia tua (old)

antara 75-90 tahun, usia sangat tua (very old) di atas 90 tahun.

Lansia adalah seseorang yang berusia 60 tahun ke atas baik pria maupun

wanita, yang masih aktif beraktivitas dan bekerja ataupun yang tidak berdaya

untuk mencari nafkah sendiri sehingga bergantung kepada orang lain untuk

menghidupi dirinya (Ineko, 2012). Dapat disimpulkan bahwa Lanjut Usia (lansia)

adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas dan sudah memiliki

keterbatasan fisik maupun non fisik.

2.1.2 Risiko Jatuh


2.1.2.1 Pengertian Resiko Jatuh
Risiko jatuh (risk for fall) merupakan diagnosa keperawatan berdasarkan

North AmericanNursing Diagnosis Association (NANDA), yang didefinisikan

sebagai peningkatan kemungkinan terjadinya jatuh yang dapat menyebabkan

cedera fisik (Wilkinson, 2005). Jatuh merupakan suatu kondisi dimana seseorang

10
tidak sengaja tergeletak di lantai, tanah atau tempat yang lebih rendah, hal tersebut

tidak termasuk orang yang sengaja berpindah posisi ketika tidur (WHO, 2007).

Dapat disimpulkan bahwa resiko jatuh adalah suatu peristiwa dimana seseorang

mengalami jatuh dengan atau tanpa disaksikan oleh orang lain, tidak sengaja/tidak

direncanakan, dengan arah jatuh ke lantai, dengan atau tanpa mencederai dirinya

a. Faktor Intrinsik

Faktor instrinsik adalah adalah akibat dari kelainan-kelainan akibat

proses menua misalnya karena mata kurang awas terhadap benda disekitar

sehingga benda-benda yang ada di rumah tertabrak, lalu jatuh dan menyebabkan

cedera. Kurangnya kemampuan otot juga mendajdi salah satu faktor penyebab

resiko jatuh.

Faktor intrinsik tersebut terjadi akibat gangguan muskuloskeletal

misalnya menyebabkan gangguan gaya berjalan, kelemahan ekstremitas bawah,

kekakuan sendi. Sinkope yaitu kehilangan kesadaran secara tiba-tiba yang

disebabkan oleh berkurangnya aliran darah ke otak dengan gejala lemah,

penglihatan gelap, keringat dingin, pucat dan pusing (Shobha, 2015).

b. Faktor Ekstrinsik

Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari luar (lingkungan sekitarnya)

diantaranya cahaya ruangan yang kurang terang, lantai yang licin, tersandung

benda-benda (Shobha, 2015). Faktor-faktor ekstrinsik tersebut antara lain

lingkungan yang tidak mendukung meliputi cahaya ruangan yang kurang terang,

lantai yang licin, tempat berpegangan yang tidak kuat, tidak stabil, atau tergeletak

11
di bawah, tempat tidur atau WC yang rendah atau jongkok, obat-obatan yang

diminum dan alat-alat bantu berjalan (Darmojo, 2009).

2.2.3 Pencegahan Jatuh pada Lansia

Menurut Shobha (2015), pencegahan jatuh yang dapat dilakukan oleh

lansia antara lain sebagai berikut;

a. Latihan Fisik

Tujuan melakukan aktivitas fisik adalah meningkatkan kekuatan tungkai dan

tangan, memperbaiki keseimbangan, koordinasi, dan meningkatkan reaksi

terhadap bahaya lingkungan. Latihan fisik yang dianjurkan adalah latihan

fisik yang melatih kekuatan tungkai, tidak terlalu berat dan semampunya.

Contohya adalah berjalan kaki, senam lansia, dan latihan keseimbangan.

b. Management obat-obatan

Mengurangi penggunaan obat yang sifatnya untuk waktu lama misalnya obat

tidur. Gunakan alat bantu berjalan jika memang diperlukan selama

pengobatan

c. Modifikasi Lingkungan

1) Atur suhu ruangan supaya tidak terlalu panas atau terlalu dingin untuk

menghindari pusing

2) Taruh barang-barang yang memang sering diperlukan berada dalam

jangkauan tanpa harus berjalan dulu.

3) Gunakan karpet antislip di kamar mandi atau jaga kebersihan lantai agar

tidak licin

4) Penerangan atau cahaya memadai

12
5) Singkirkan barang-barang yang berserakan di lantai yang biasa untuk

melintas.

6) Jaga lantai agar tidak licin

7) Pasang pegangan tangan pada tempat yang diperlukan misalnya kamar

mandi

d. Memperbaiki Kebiasaan Lansia yang Buruk

1) Melakukan perubahan posisi dari posisi duduk atau jongkok ke posisi

berdiri jangan terlalu cepat

2) Jangan mengankat barang yang berat sekaligus

3) Ambil barang dengan cara yang benar dari lanti (dengan cara jongkok,

bukan membungkuk)

4) Hindari olahraga yang berat/berlebihan

e. Alas kaki

1) Hindari sepatu berhak tinggi, pakai sepatu berhak lebar

2) Jangan berjalan hanya dengan kaos kaki karena sulit untuk menjaga

keseimbangan

3) Pakai sepatu antislip (alasnya kasar)

f. Alat Bantu Jalan

Gunakan alat bantu berjalan yang sesuai

g. Memelihara fungsi penglihatan dan pendenganran dengan baik

h. Memelihara kekuatan tulang

1) Berhenti merokok

2) Hindari konsumsi alcohol

13
3) Makan-makanan yang bergizi seperti buah, sayur, dan susu untuk

memelihara kekuatan tulang.

2.1.2.2 Penanganan Jatuh Pada Lansia

Menurut Australian Government, Department of Health and Ageing

(2011) dalam jurnal (Nugroho,2012) ada beberapa penanganan jatuh pada lansia

antara lain:

a. Menolong diri sendiri jika jatuh

1) Tetap tenang

2) Periksa tubuh anda, apakah ada luka atau patah tulang

3) Jika anda terluka/mengalami cedera atau patah tulang maka jangan bergerak

dan tetaplah diam di tempat lalu teriak minta tolong. Tetap tenang dan

jangan panik

4) Jika tidak ada cedera/patah tulang, cari kursi/meja/tempat yang kokoh di

sekitar anda

5) Bergulinglah ke salah satu sisi

Gambar 2.1 Berbaring ke arah satu sisi

Sumber : Nugroho (2012)

14
6) Merangkaklah atau geser tubuh ke kursi/meja/furniture yang kokoh/kuat

Gambar 2.2 Merangkak

Sumber : Nugroho (2012)


7) Kemudia mengambil posisi berlutut, letakkan lengan pada kursi dan

pegang erat

Gambar 2.2 Merangkak

Sumber : Nugroho (2012)


8) Letakkan salah satu lutut di depan dan lutut yang lain pada lantai

Gambar 2.3 Meletakkan lutut

Sumber : Nugroho (2012)

15
9) Dorong ke atas dengan tangan dan kaki untuk mendekatkan diri ke kursi.

Putar bokong dan dekatkan ke kursi

Gambar 2.4 Mendorong Badan

Sumber : Nugroho (2012)

10) Duduk dan istirahatlah sebelum mencoba

bergerak/berpindah kembali

Gambar 2.5 Mendorong Badan

Sumber : Nugroho (2012)

2.1.2.3 Penilaian Resiko Jatuh

Pengukuran variabel resiko jatuh menggunakan Instrumen Dynamic Gait

Index atau DGI (2008) terdiri dari 8 penilaian skala yang di desain untuk menguji

delapan aspek dari gaya berjalan pada lansia. Data yang telah terkumpul diolah

16
secara manual dan dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabel dan narasi. Data

yang diperoleh diolah dan dianalisis secara deskriptif yaitu dengan menjabarkan

hasil yang ditemukan di lapangan. Adapun indikator Dynamic Gait Index (DGI)

terdiri dari

1. Kemampuan berjalan

2. Kecepatan lansia

3. Kemampuan lansia berjalan dengan melihat ke kanan dan ke kiri

4. Kemampuan lansia berjalan dengan melihat ke atas dan ke bawah

5. Kemampuan lansia berjalan dengan melakukan putaran 180o dan berhenti

6. Kemampuan lansia berjalan dengan melangkahi kotak sepatu

7. Kemampuan lansia berjalan disekitar kerucut

8. Kemampuan lansia menaiki dan menuruni tangga

Pengambilan data pada variabel resiko jatuh menggunakan Instrumen

Dynamic Gait Index atau DGI dilaksanakan denga cara mengobservasi

langsung lansia dengan alat dan ketentuan khusus.

2.1.3 Motivasi
2.1.3.1 Pengertian Motivasi

Motivasi berasal dari kata “motif” yang diartikan sebagai daya upaya yang

mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. Menurut Sardiman (2016) motif

merupakan daya penggerak dari dalam untuk melakukan kegaiatan untuk

mencapai tujuan. Definisi Motivasi adalah perubahan energi dalam diri (pribadi)

seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai

tujuan (Hamalik, 2008). Dalam Sardiman (2009) motivasi adalah perubahan

17
energi dalam diri seseorangyang ditandai dengan munculnya “felling” dan

didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan.

Menurut Mulyasa (2013) motivasi adalah tenaga pendorong atau penarik

yang menyebabkan adanya tingkah laku ke arah suatu tujuan tertentu. Peserta

didik akan bersungguh-sungguh karena memiliki motivasi yang tinggi. Seorang

siswa akan belajar bila ada faktor pendorongnya yang disebut motivasi. Dimyati

dan Mudjiono dalam Koswara (2012) mengatakan bahwa siswa belajar karena

didorong kekuatan mental, kekuatan mental itu berupa keinginan dan perhatian,

kemauan, cita-cita di dalam diri seorang terkadang adanya keinginan yang

mengaktifkan, menggerakkan, menyalurkan dan mengarahkan sikap dan perilaku

individu dalam belajar.

2.1.3.2 Fungsi Motivasi

Motivasi sangat diperlukan dalam proses belajar sebab seseorang yang

tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tidak akan mungkin melaksanakan

aktivitas belajar. Motivasi diperlukan dalam menentukan intensitas usaha belajar

bagi para siswa. Menurut Djamarah (2012) ada tiga fungsi motivasi:

1. Motivasi sebagai pendorong perbuatan. Motivasi berfungsi sebagai pendorong

untuk mempengaruhi sikap apa yang seharusnya anak didik ambil dalam

rangka belajar.

2. Motivasi sebagai penggerak perbuatan. Dorongan psikologis melahirkan sikap

terhadap anak didik itu merupakan suatu kekuatan yang tak terbendung,yang

kemudian terjelma dalam bentuk gerakan psikofisik.

18
3. Motivasi sebagai pengarah perbuatan. Anak didik yang mempunyai motivasi

dapat menyeleksi mana perbuatan yang harus dilakukan dan mana perbuatan

yang diabaikan.

Menurut Hamalik (2013) fungsi motivasi adalah :

1. Mendorong timbulnya suatu kelakuan atau perbuatan. Tanpa adanya motivasi

maka tidak akan timbul perbuatan seperti belajar

2. Motivasi berfungsi sebagai pengarah. Artinya mengarahkan perbuatan ke

pencapaian tujuan yang diinginkan.

3. Motivasi berfungsi sebagai penggerak. Motivasi berfungsi sebagai mesin

dalam mobil. Besar kecilnya motivasi akan menentukan cepat lambatnya

suatu pekerjaan.

Menurut Sardiman (2009) ada 3 fungsi motivasi :

1. Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagai penggerak atau motor yang

melepaskan energi.

2. Menentukan arah perbuatan, yaitu kearah tujuan yang hendak dicapai

3. Menyeleksi perbuatan yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus

dikerjakan yang serasi guna mencapai tujuan dengan menyisihkan tujuan-

tujuan yang tidak bermanfaat bagi tujuan tersebut. Dengan adanya usaha yang

tekun dan didasari motivasi maka siswa akan belajar dengan baik dan prestasi

belajar akan optimal.

2.1.3.3 Jenis motivasi

Penelitian Soemargono (2009) motivasi di bagi menjadi dua yaitu

motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah dorongan-

19
dorongan yang berasal dari dalam diri sendiri, misalkan seseorang itu selalu

berusaha untuk makin meningkatkan kecakapan keterampilan, sehingga karena

usahanya tersebut memberi kepuasan pada dirinya.

Penelitian Singgih D.Gunarso (2009) menyatakan bahwa motivasi

intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsi akan tetapi tidak

perlu rangsangan dari luar, karena dalam setiap individu sudah memiliki

dorongan dari dalam yang menyebabkan individu berpartisipasi. Sedangkan

menurut Harsono (2008) motivasi intrinsik adalah dorongan yang berasal dari

dalam diri individu sendiri. Motivasi intrinsik yang sering disebut competence

motivation, karena orang dengan motivasi intrinsik biasanya sangat bergairah

untuk meningkatkan kompetensi dalam usaha untuk mencapai kesempurnaan.

Aktivitas dengan dorongan motivasi intrinsiklah yang harus ditumbuhkan

dalam setiap individu.

Motivasi ekstrinsik terjadi dorongan karena adanya rangsangan dari luar

dirinya. Menurut Darsono (2010) motivasi ekstrinsik adalah motifasi yang

timbul dalam diri seseorang karena pengaruh rangsangan dari luar. Tujuan yang

diinginkan dari tingkah laku yang digerakan oleh motivasi ekstrinsik terletak di

luar tingkah laku tersebut. Sedangkan menurut Irwanto (1994) motivasi

ekstrinsik adalah dorongan yang berasal dari luar individu.

2.1.3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Motivasi

Menurut Gunarso (2009) kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi

motivasi dalam kesegaran jasmani dan olahraga adalah:

20
1. Sehat fisik dan mental merupakan kesatuan organis yang

memungkinkan motivasi berkembang.

2. Lingkungan yang sehat dan menyenangkan merupakan lingkungan yang

dapat mendorong motivasi.

3. Olahraga yang disesuaikan dengan bakat dan naluri

4. Olahraga yang tepat disesuaikan dengan unsur-unsur naluri akan

mengembangkan motivasi secara baik.

5. Fasilitas lapangan dan alat yang baik untuk latihan.

6. Lapangan yang rata dan menarik, peralatan yang memadai akan

memperkuat motivasi, khususnya anak dan pemula untuk belajar dan

berlatih secara baik.

2.1.3.5 Motivasi pada Lansia

Orang lanjut usia pada umumnya menyadari bahwa mereka berubah

lebih lambat dan koordinasi gerakanya kurang begitu baik di banding masa

muda mereka. Perubahan dalam kemampuan motorik ini di sebabkan oleh

pengaruh fisik dan psikologis. Penyebab fisik yang mempengaruhi perubahan

perubahan dalam kemampuan motorik meliputi menurunya kekuatan dan

tenaga, biasanya menyertai perubahan fisik yang terjadi karena bertambahnya

usia. Menurunnya kekerasan otot, kekakuan pada persendian, gemetar pada

tangan kepala dan rahang bawah.

Berbagai penyebab psikologis yang mempengaruhi perubahan dalam

kemampuan motorik berasal dari kesadaran tentang merosotnya dan perasaan

akan rendah diri kalau di bandingkan dengan orang yang lebih muda dalam arti

21
kekuatan, kecepatan dan ketrampilan, tekanan emosional yang berasal dari

sebab-sebab spikologis dapat mempercepat perubahan kemampuan motorik

atau menurunnya motivasi untuk mencoba melakukan sesuatu yang masih

dapat di lakukan.

Menurut Dwiguna (2010) Latihan fisik dan kesibukan bekerja dapat

mencegah atau paling tidak menghambat kecepatan penurunan kemampuan

motorik bagi mereka yang masih terus melakukan latihan fisik secara

keseluruhan mempunyai koordinasi dan ketrampilan fisik yang lebih baik di

banding yang tidak melakukan hal itu.

2.1.4 Latihan fisik

Menurut Dwiguna (2010) Latihan fisik aalah segala upaya yang

dilaksanakan untuk meningkatkan kebugaran jasmani dan kondisi fisik lanjut usia.

Kebugaran jasmani (physical fitness) adalah suatu aspek fisik dari kebugaran

menyeluruh (total fitness). Kebugaran jasmani memberikan kesanggupan kepada

seseorang untuk melakukan pekerjaan sehari-hari tanpa adanya kelelahan yang

berlebihan dan masih mempunyai cadangan tenaga untuk menikmati waktu

senggangnya dengan baik ataupun melakukan pekerjaan mendadak. Tujuan dari

latihan fisik adalah untuk meningkatkan kekuatan, daya tahan kardiorespirasi,

kecepatan, kelenturan dan keterampilan. Kebugaran jasmani pada lanjut usia

adalah kebugaran yang berhubungan dengan kesehatan yaitu kebugaran jantung-

paru dan peredaran darah serta kekuatan otot dan kelenturan sendi.

Penurunan masa otot serta kekuatanya, laju denyut jantung maksimal,

toleransi latihan kapasitas aerobik dan terjadinya peningkatan lemak tubuh pada

22
lansia menyebabkan seseorang dengan aktifitas fisik rendah mempunyai risiko

yang lebih tinggi menghadapi kematian lebih awal (Santoso, 2010).

Menurut Sugianto dan Sudjarwo (2011) Sasaran latihan untuk lanjut usia

adalah fleksibilitas dan kekuatan otot salah satu contohnya adalah latihan senam

Tera. Dengan latihan senam maka kaum lanjut usia di harapkan dapat memelihara

kesehatan dan kesegaran jasmaninya.lanjut usia yang tetap aktif juga dapat

membangkitkan rasa kemampuan dan rasa percaya diri mereka untuk menunjang

hidup sehat.latihan olahraga pada lanjut usia sifatnya aerobik yang bertujuan

untuk meningkatkaan kesegaran Jasmani dengan ciri-ciri latihan :

1. Durasi waktu latihan lebih dari 12 menit.

2. Intensitas sedang DN 75% -80% dari DN maksimal.( 220- umur )

3. frekuensi 3 kali seminggu.

4. Melibatkan banyak otot badan.

Setiap orang mengharapkan agar kesehatan dan kebugaran jasmaninya

tetap baik dan terjaga. Salah satu usaha untuk mencapai harapan tersebut

adalah dengan cara melakukan olahraga yang teratur. Olahraga atau latihan

fisik salah satu cara untuk memperkuat fisik dan jiwa. Selain untuk kesehatan

dan kebugaran,adapula olahraga yang di lakukan untuk tujuan rekreasi,

ekonomi, politik, cinta, agama, atau sebagai daya tarik dan misi tertentu

(Rusman, 2010). Adapun bentuk latihan fisik adalah berjalan ditempat,

berjalan disekitar lingkungan panti, senam dan berolahraga ringan.

23
2.2 Penelitian Terkait

Tabel 2.1

Penelitian terkait

Keterangan Penelitian Ayu Indah T Deska Rianto


Wella
sekarang (2015) (2016)
Jayanti
(2017)
Judul Hubungan Pengaruh Pengaruh Pengaruh
risiko jatuh Latihan Fisik kegiatan Latihan Fisik
dengan Terhadap Terhadap Terhadap
motivasi Penurunan Penurunan Penurunan
melakukan Risiko Jatuh Risiko Jatuh Risiko Jatuh
latihan fisik Pada Lansia Pada Lansia Pada Lansia
pada lansia
Desain Cross Kuasi Kuasi Kuasi
Sectional Ekperimen Ekperimen Ekperimen
Variabel - Latihan - Latihan - Kegiatan - Latihan
Fisik fisik Fisik fisik
- Resiko - Resiko - Resiko - Resiko
Jatuh jatuh jatuh jatuh

Subjek Panti Sosial Lansia Pada Lansia Pada Lansia Pada


Tresna panti Werda Tresna Werda panti Werda
Werdha Bali Panca Sumatra
Khusnul Jogjakarta Utara
Khotimah
Pekanbaru
Tempat Pekanbaru Bali Jogjakarta Sumatra
Utara
Analisis Bivariat Bivariat Bivariat Bivariat

2.3 Kerangka Teori

Kerangka kerja teoritis merupakan dasar dari keseluruhan kelompok

proyek penelitian didalamnya dikembangkan, diuraikan dan dielaborasi

hubungan-hubungan diantara variabel-variabel yang telah diidentifikasi melalui

proses pengumpulan data awal, baik wawancara atau observasi, dan juga studi

literatur dalam kajian pustaka (Setiawan & Saryono, 2010)

24
Skema 2.1

Kerangka Teori

Lansia Resiko Jatuh


- Perubahan Fisik Pada lansia
- Perubahan Psikologis

Latihan Fisik

- Lentur dan konsisten


- Kemampuan fisik

 Motivasi
 Latihan Fisik

Sumber : Dwiguna (2010)

2.4 Kerangka Konsep

Skema 2.2

Variabel independen Variabel dependen

Motivasi melakukan Latihan Resiko jatuh


Fisik

25
2.5 Hipotesis

Adapun hipotesis pada penelitian ini adlah sebagai berikut:

Ha : Terdapat hubungan antara risiko jatuh dan motivasi melakukan latihan

fisik pada lansia pada Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah

Pekanbaru

Ho : Tidak Terdapat hubungan antara risiko jatuh dan motivasi melakukan

latihan fisik pada lansia pada Panti Sosial Tresna Werdha Khusnul

Khotimah Pekanbaru

26
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Desain Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah jenis kuantitatif, yaitu jenis

penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan hasil penemuan dengan

menggunakan cara-cara statistik (Sujarweni, 2014). Desain penelitian

menggunakan desain korelasional untuk mengetahui ada tidaknya hubungan

antara dua atau beberapa variabel. Penelitian ini merupakan penelitian korelasi

untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara Risiko Jatuh dengan Motivasi

melakukan latihan fisik pada lansia di Panti sosial Tresna Werdha Khusnul

Khotimah Pekanbaru

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Panti sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah

Pekanbaru dengan alasan: waktu, hemat biaya, data risiko jatuh yang menunjang,

data survey awal di tempat ini tersebut juga menunjang untuk dilakukan

penelitian.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian ini dimulai dari bulan Januari tahun 2018 sampai dengan

bulan April tahun 2018.

27
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian

3.3.1 Populasi

Populasi merupakan seluruh subjek atau objek yang memenuhi kriteria yang

telah ditetapkan dalam penelitian (Nursalam, 2011). Populasi dalam penelitian ini

adalah keselurahan Panti sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah Pekanbaru

yang berjumlah 72 orang.

3.3.2 Sampel penelitian

Sampel merupakan subjek atau objek yang diteliti dan dianggap mewakili

seluruh populasi (Notoatmodjo, 2012). Sampel dalam penelitian ini adalah Panti

sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah Pekanbaru yang berjumlah 25 orang.

3.4 Besar sampel

Besar sampel yang menjadi subjek penelitian adalah 25 orang lansia yang

diambil selama 4 hari waktu penelitian.

3.5 Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan purposive sampling. Purposive sampling

adalah pengambilan sampel sesuai kebutuhan penelitian (Sugiyono, 2008).

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh lansia pada Panti sosial Tresna

Werdha Khusnul Khotimah Pekanbaru yang berjumlah 25 orang dengan kriteria

sebagai berikut:

1. Berusia lebh dari 60 tahun

2. Mampu melakukan aktivitas fisik

3. Tingkat kemandirian Total Care kurang

28
3.6 Variabel dan Definisi Operasional

a. Variabel

Variabel didefinisikan sebagai atribut atau objek, yang mempunyai

“variasi” antara satu dengan yang lain atau satu objek dengan objek yang lain

(Sugiyono, 2012). Variabel dalam penelitian ini menggunakan 2 variabel yang

terdiri dari variabel independen (variabel bebas) dan variabel dependen (variabel

terikat). Variabel independen (variabel bebas) merupakan variabel yang menjadi

sebab perubahan atau timbulnya variabel dependen (terikat), variabel independen

pada penilitian ini (risiko jatuh). Sedangkan variabel dependen (variabel terikat)

merupakan variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena variabel bebas,

variael dependen dalam penelitian ini (motivasi melakukan aktivtas fisik)

(Hidayat, 2007).

b. Defenisi operasional

Definisi operasional adalah variabel penelitian dimaksudkan untuk memahami arti

setiap varibel penelitian sebelum dilakukan analisis (Sujarweni, 2014).

29
Tabel 3.1

Definisi operasional

Variabel Defenisi Alat Cara Skala Hasil


Operasional Ukur Ukur
Variabel Keinginan lansia Kuesioner Mengisi Ordinal Tinggi
Dependen : dalam melakukan (≥
Motivasi latihan fisik seperti mean/median)
melakukan berjalan, senam dan Rendah
lathan fisik bersepeda (<
Mean/median)

Variabel Kemungkinan jatuh Kuesioner Observasi Ordinal Tinggi /Resiko


independen yang dapat terjadi (≥ 19/24)
: pada lansia dengan Rendah/Tidak
Risiko Jatuh mengukur gaya risiko (< 19/24)
berjalan menurut ( Sumber:
DGI. Kecepatan Dynamic Gait
berjalan, Panjang Index /DGI,
langkah, Kemampuan 2000)
berjalan, Kemampuan
berjalan mengubah
kecepatan, Berjaan
dengan melihat kekiri
dan kekaan, Berjalan
dengan melihat keatas
dan kebawah,
Berjalan dengan
dengan melakukan
putaran 1800, Berjalan
disekitar kerucut

3.7 Jenis dan Cara Pengumpulan Data

3.7.1 Data primer

Data primer adalah pengambilan data yang dikumpulkan oleh

peneliti sendiri terhadap responden. Pengumpulan data primer dilakukan

dengan menggunakan alat ukur (kuesioner) yang diambil dari hasil survey

30
langsung dengan responden dengan menggunakan kuesioner yang peneliti

buat sendiri dengan acuan indikator masing-masing varibel. .

3.7.2 Data sekunder

Pengumpulan data sekunder berupa dokumen, laporan, jurnal

maupun arsip yang berhubungan dengan penelitian

3.7.3 Cara Pengumpulan Data

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat pengumpulan data

berupa lembar kuesioner. Peneliti melakukan penelitian dengan rangkaian

proses (1) Proses surat izin penelitian pada kantor Dinas Sosial yang akan

diajukan kepada Panti sosial Tresna Werdha Khusnul Khotimah

Pekanbaru , (2) Proses izin meneliti oleh Panti sosial Tresna Werdha

Khusnul Khotimah Pekanbaru, (3) Melakukan penelitian dengan

penyebaran. Responden akan memilih salah satu jawaban dengan

memberikan tanda checklist (√ ) pada pilihan salah satu kolom yang telah

diberi petunjuk dan nantinya akan diberi nilai.

Pengukuran resiko jatuh menggunakan alat ukur terstandar yang

disebut dengan DGI yang terdiir dari :

1. Kecepatan berjalan

2. Panjang langkah

3. Kemampuan berjalan

4. Kemampuan berjalan mengubah kecepatan

5. Berjaan dengan melihat kekiri dan kekaan

6. Berjalan dengan melihat keatas dan kebawah

31
7. Berjalan dengan dengan melakukan putaran 1800

8. Berjalan disekitar kerucut

Pengukuran motivasi melakukan latihan fisik menggunaka kusioner

dengan indiktaor motivasi eksternal dan internal yang diadopsi dari jurnal

Alisa (2009). Dalam alat ukur ini nilai diperoleh berdasarkan observasi

peneliti menggunakan alat alat tertentu untuk mengetahui rsiko jatuh

lansia. Pengukuran dilakukan dengan 3 penilaian dan skor sebagai berikut:

(3) Normal

(2) kerusakan Ringan

(1) Gangguan Sedang

(0) kerusakan Berat.

3.8 Pengolahan data

Notoadmodjo (2010) Proses pengolahan data ini melalui tahap-tahap

sebagai berikut :

a. Editing

Dalam proses editing, setelah lembar kuesioner diisi oleh responden,

semuanya akan dikumpulkan oleh peneliti. Setelah semua dikumpulkan,

peneliti melakukan pemeriksaan terhadap isi dari lembar kuesioner

terhadap kebenaran yang diisi oleh responden.

b. Pengkodean (coding)

Coding merupakan pengubahan satu data kalimat atau huruf menjadi

data berupa angka atau bilangan (Notoatmodjo, 2012). Coding bertujuan

untuk membedakan aneka karakter atau jawaban kedalam kategori. Setelah

32
semua lembar kuesioner diedit atau disunting, selanjutnya dilakukan

pengkodean, yakni mengubah data berbentuk kalimat, menjadi data angka

yaitu pilihan isi kuesioner untuk motivasi yatu:1 = rendah dan 2= tinggi

dan untuk resiko jatuh yaitu: 1= rendah dan 2= tinggi, sehingga mudah

ketika dilakukan pengolahan menggunakan komputer.

c. Memasukkan data (data entry) atau processing

Memproses data untuk analisis, proses data dilakukan dengan cara

memindahkan data dari kuesioner ke tabel yang telah disiapkan untuk

mengentri data dari kuesioner kedalam komputer.

d. Pembersihan data (cleaning)

Apabila sama data dari setiap sumber data atau responden selesai

dimasukkan, perlu dicek kembali untuk melihat kemungkinan-

kemungkinan adanya kesalahan-kesalahan kode, ketidaklengkapan, kalau

ditemukan kesalahan dalam memasukkan kode dapat diperbaiki.

3.9 Analisa data

3.9.1 Analisa univariat

Analisa dalam penelitian ini menggunakan analisa univariat. Analisa

univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan setiap variabel

penelitian (Notoadmodjo, 2012). Analisa ini ditampilkan dalam bentuk tabel

distribusi frekuensi dan dipresentasikan dari tiap-tiap variabel karakteristik risiko

jatuh yaitu, tinggi dan rendah, sedangkan akses motivasi melakukan aktivitas

fisik tinggi dan rendah serta tabulasi frekuensi untuk jenis kelamin subjek dan

tendensi untuk menampilkan jumlah umur subjek penelitian.

33
3.9.2 Analisa bivariat

Analisa bivariat digunakan terhadap dua variabel untuk mengetahui

apakah ada hubungan antara variabel independen dangan variabel dependen. Uji

statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji bivariate dengan

menggunakan uji chi square dengan derajat kepercayaan 95% (= 0,05) dan tabel

2x2. Analisa disimpulkan apabila p value <0,05 maka Ha diterima yang

menunjukkan ada hubungan antara variabel independen terhadap variabel

dependen.

3.10 Etika penelitian

Notoadmodjo (2010) penelitian kesehatan pada umumnya dan penelitian

kesehatan masyarakat pada khusunya menggunakan manusia sebagai objek yang

di teliti disatu sisi, dan sisi yang lain manusia sebagai peneliti atau yang

melakukan penelitian. Hal ini berarti ada hubungan timbal balik antara orang

sebagai peneliti dan orang sebegai yang diteliti. Oleh sebab itu sesuai dengan

prinsip etika atau moral seperti yang telah diuraikan tadi, maka dalam penelitian

kesehatan khususnya, harus diperhatikan hubungan antara kedua belah pihak ini

secara etika, atau yang disebut etika penelitian.

Setiawan dan Saryono (2010) secara rinci hak-hak dan kewajiban-

kewajiban peneliti dan yang diteliti (informan) adalah sebagai berikut :

a. Informed consent (lembar persetujuan responden)

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan

responden dengan memberikan lembar persetujuan sebelum penelitian

dilaksanakan. Tujuannya sebagai responden untuk mengetahui maksud

34
dari tujuan peneliti serta dampak yang diteliti selama pengumpulan data.

Jika subjek menolak maka peneliti tidak akan memaksa dan tetap

menghormati haknya. Jika responden bersedia diteliti, responden diminta

menandatangani peretujuan tersebut.

b. Tidak mencantumkan nama (anonymity)

Untuk menjaga kerahasian responden, peneliti tidak

mencantumkan nama responden pada lembar pengumpulan data, dalam

kuesioner yang diisi oleh Responden pada lembar observasi hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data.

c. Menjaga kerahasian responden

Kerahasian dan informasi yang diberikan oleh responden akan

dijamin peneliti, tetapi hanya data informasi atau kelompok data yang

dilaporkan sebagian hasil dalam penelitian.

35
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, Lilik Ma' rifatul, 2011. Keperawatan Lanjut Usia. Edisi 1. Yogyakarta :
GrahaIlmu

Bahri Djamarah,S. 2012. Psikologi Belajar, Jakarta: PT. Rineka Cipta

Boedhi, Darmojo, R. 2011.Buku Ajar Geriatic (IlmuKesehatanLanjutUsia)


edisike – 4.Jakarta :BalaiPenerbit FKU

Darmojo dan Martono. 2009. Geriatri. Jakarta : Yudistira.

Darsono Max, 2010. Belajar dan Pembelajaran, Semarang : IKIP Semarang Press

Dinkes Provinsi Riau 2017. Profil Kesehatan Provinsi Riau Tahun 2017,
Pekanbaru:Dinkes Provinsi Riau.

Dwiguna, 2010. Panduan Gereontologi. Jakarta:Gramedia

Hamalik, Oemar. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Sinar Grafika

Harsono, 2008, Model-model Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Irwanto.1994. Psikologi Umum. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama

Koswara, Deni. 2008. Teori Motivasi dengan Pendekatan hierarki Kebutuhan


Manusia. PT PBP, Jakarta

Mubarak, W, I & Chayatin, N. 2009. Ilmu Keperawatan Komunitas Pengantar


dan Teori. Jakarta : Salemba

Mulyasa, 2013, Pengembangan dan Implentasi Pemikiran Kurikulum. Rosdakarya


Bandung

Nugroho, W 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatrik, Edisi-3. Jakarta:EGC

Nursalam. 2011. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


keperawatan. Edisi 2. Jakarta : Salemba Medika

Notoatmodjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Rusdi,2009. Keperawatan Lanjut Usia. Jakarta:Graha Ilmu

Risman. 2008. Gizi dalam daur Kehidupan: Buku Ajar Ilmu Gizi. Edisi Ke-2.
Jakarta: EGC

36
Riyadina. 2009. “Cidera Akibat Jatuh Pada Penduduk Usia Lanjut (Usila) yang
mengalami Obesitas di Indonesia”. (ejournal.litbang.depkes.go.id.
Diakses pada 19 Januari 2018).

Rusman. 2010. Model Model Pembelajaran. Bandung: Rajawali Pers,

Santoso, 2010. Keterampilan Dasar Praktik Klinik Kebidanan. Jakarta: Salemba


Empat

Sardiman. 2016. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers.

Shoba, 2015. Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Setiawan, A. dan Saryono. 2010. Metodologi Penelitian kebidanan. Nuha.


Medika. Jakarta.

Singgih D, Gunarso dan Yulia Singgih D Gunarso. 2009. Psikologi Praktis: Anak,
Remaja dan Keluarga. Jakarta: Gunung Mulia

Soejono. 2010. Pedoman Pengelolaan Kesehatan Pasien Geriatric untuk Dokter


dan Perawat. Jakarta: FK UI.

Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D. Bandung.


Alfabeta

Sugiyanto. M,P,Sudjarwo. 1994. Perkembangan dan Belajar Gerak. Jakarta :


Universitas Terbuka

Sulistyorini. 2012. Belajar Pembelajaran. Meningkatkan Mutu Pembelajaran


Sesuai Standar Nasional. Yogyakarta: Perum

Soemargono. 2009. Pembelajaran Nilai Karakter. Jakarta: PT Raja Grafindo

Sujarweni, V. Wiratna. 2014. Metode Penelitian: Lengkap, Praktis, dan Mudah.


Dipahami. Yogyakarta: Pustaka Baru Press

Sudjarwo,2011 Perkembangan dan Belajar Gerak. Jakarta : Universitas Terbuka

Stanley, M. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik, Jakarta:EGC

Stockslager, L.2008. Asuhan Keperawatan Geriatrik Edisi 2. Jakarta.

37
Sugaray, Romario. 2012. http://.Jurnal/Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Motivasi Lansia Dalam Melakukan Senam Lansia Di UPT Pelayanan
Tresna Werdha Khusnul Khotimah Pekanbaru/.edu,com. Diakses pada
tanggal 12 Maret 2018

Tamher, S dan Noorkasiani. 2009. Kesehatan Usia Lanjutdengan pendekatan


asuhan keperwatan. Jakarta:Salemba Medika

Tobing, HG, 2011, Prinsip Ilmu Bedah Saraf, Sagung Seto, Jakarta

Wilkinson, J. M., 2005, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Jakarta: EGC

38
HUBUNGAN RISIKO JATUH DENGAN MOTIVASI MELAKUKAN
LATIHAN FISIK PADA LANSIA
DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA
KHUSNUL KHOTIMAH
PEKANBARU

PROPOSAL

Oleh
MUHAMMAD ZULFADHLI
NIM . 14031018

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


STIKes HANG TUAH PEKANBARU
PEKANBARU
2018

39
40

You might also like