You are on page 1of 15

A.

KETUBAN PECAH DINI

2.1.Pengertian Ketuban pecah dini

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum inpartu yaitu bila

pembukaan serviks pada primipara kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang

dari 5 cm. Persalinan ketuban pecah dini ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor

yaitu kelainan letak janin, kehamilan ganda, kelainan bawaan dari selaput ketuban,

kelainan panggul 3

Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan /

sebelum inpartu, pada pembukaan <4 cm ( fase laten ). Hal ini dapat terjadi pada

akhir kehamilan maupun jauh sebelum waktunya melahirkan 2

2.2.Penyebab KPD 3

Penyebab KPD menurut Manuaba, 2009 meliputi antara lain:

1. Serviks inkompeten, menyebabkan dinding ketuban yang bawah

mendapatkan tekanan yang tinggi

2. Faktor keturunan, ion Cu rendah, vit C rendah dan kelainan genetik

3. Pengaruh dari luar yang melemahkan ketuban seperti infeksi genetalia dan

meningkatnya enzim proteolitik

4. Overdistensi uterus pada hidramnion, kehamilan ganda dan sevalopelvik

disporporsi. Hidramnion atau sering disebu polihidramnion adalah

banyaknya air ketuban melebihi 200 cc. Hidramnion dapat terjadi pada

kasus anensefalus, atresia esophagus, gemeli, dan ibu yang mengalami

diabetes mellitus gestasional. Ibu dengan diabetes mellitus gestasional akan


melahirka bayi dengan berat badan berlebihan pada semua usia kehamilan

sehingga kadar cairan amnion juga berlebihan.

5. Malposisi atau malpresentase janin,

6. Faktor yang menyebabkan kerusakan serviks,

7. Riwayat KPD sebelumnya dua kali atau lebih,

8. Faktor yang berhubungan dengan berat badan sebelum dan selama hamil,

9. Merokok selama kehamilan,

10. Usia ibu yang lebih tua mungkin menyebabkan ketuban kurang kuat dari

pada usia muda,

Usia untuk reproduksi optimal bagi seorang ibu adalah antara umur 20-35

tahun. Di bawah atau di atas usia tersebut akan meningkatkan resiko

kehamilan dan persalinan (Depkes, 2003). Usia seseorang sedemikian

besarnya akan mempengaruhi sistem reproduksi, karena organ-organ

reproduksinya sudah mulai berkurang kemampuannya dan keelastisannya

dalam menerima kehamilan

11. Riwayat hubungan seksual baru-baru ini,

12. Paritas,

Wanita yang telah melahirkan beberapa kali dan pernah mengalami KPD

pada kehamilan sebelumnya serta jarak kelahiran yang terlampau dekat

diyakini lebih beresiko akan mengalami KPD pada kehamilan berikutnya.

Multipara, grandemultipara, kehamilan yang terlalu sering akan

mengganggu proses embryogenesis sehingga selaput yang terbentuk akan


lebih tipis dan yang akan menyebablan selaput ketuban pecah sebelum tanda

tanda inpartu.

13. Anemia

Dampak anemia pada janin antara lain abortus, terjadi kematian intrauterin,

prematuritas, berat badan lahir rendah, cacat bawaan dan mudah infeksi.

Pada ibu, saat kehamilan dapat mengakibatkan abortus, persalinan

prematuritas, ancaman dekompensasikordis dan ketuban pecah dini. Pada

saat persalinan dapat mengakibatkan gangguan his, retensio plasenta dan

perdarahan post partum karena atonia uteri 3. Menurut Depkes RI (2005),

bahwa anemia berdasarkan hasil pemeriksaan dapat digolongkan menjadi

(1) HB > 11 gr %, tidak anemia, (2) 9-10 gr % anemia sedang, (3) < 8 gr %

anemia berat.

14. Keadaan sosial ekonomi

2.3.Epidemiologi KPD3
Ketuban pecah dini premature terjadi pada 1% kehamilan. Pecahnya selaput

ketuban berkaitan dengan proses biokimia yan terjadi dalam kolagen matriks

ekstrasluler amnion, korion, dan apoptosis membrane janin. Membran janin dan

desidua bereaksi terhadap stimuli seperti infeksi dan peregangan selaput keuban

dengan membrane pereduksi mediator seperti prostaglandin, sitokini, dan protein

hormon yang merangsang aktivitas matriks degrading enzyme

Ketuban pecah dini dapat terjadi pada kehamilan aterm, preterm, dan pada

kehamilan midtrester. Frekuensiteradinya sekitar 8%, 1-3%, dan kurang dari 1% .

Secara umum insidensi KPD terjadi sekitar 7-12%. Insidensi KPD kira-kira 12%

dari semua kehamilan.

2.4.Patofisiologi KPD3

Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kotraksi uterus

dan peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu teradi

perubahan biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan

karena seluruh selaput ketuban rapuh. Terdapat keseimbangan antara sintesis dan

degenerasi ekstraseluler matriks. Perubahan struktur, jumlah sel, dan katabolisme

kolagen menyebabkan selaput ketuban pecah.

Dua belas hari setelah ovum dibuhi, terbentuk suatu celah yang dikelilingi

amnion primitive yang terbentuk dengan embryonic plate. Celah tersebut melebar

dan amnion disekelilingnya menyatu dengan mula-mula dengan body stalk

kemudian dengan korion yang akhirnya membentuk kantung amnion yang berisi

cairan amnion. Cairan amnion, normalnya berwarna putih, agak keruh serta
mempunyai bau yang khas agak amis dan manis. Cairan ini mempunyai berat jenis

1,008 yang seiring dengan tuanya kehamilan akan menurun dari 1,025 menjadi

1,010. Asal cairan amnion belum diketahui dengan pasti, dan masih membutuhkan

peneitian lebih lanjut. Diduga cairan ini berasal dari lapisan amnion sementara teori

lain menyebutkan berasal dari plasenta. Dalam satu jam didapatkan perputaran

cairan lebih kurang 500 mL

Amnion atau selaput ketuban merupakan bagian internal yang membungkus

janin dan cairan ketuban. Selaput ini licin, tipis, dan transparan. Selaput amnion

melekat erat pada korion (sekalipun dapat dilepas dengan mudah). Selaput ini

menutupi permukaan fetal pada plasenta sampai pada insertion tali pusat dan

kemudian berlanjut sebagai pembungkus tali pusat yang tegak lurus hingga

umbilicus janin. Sedangkan jkorion merupakan membrane eksternal berwarna putih

dan terbentuk dari vili-vili sel telur yang berhubungandengan desidua kapilaris.

Selaput ini berlanjut dengan tepi plasenta dan melekat pada lapisan uterus.

2.5.Penatalaksanaan KPD4,5

1. Evaluasi awal ketuban pecah dini harus mencakup pemeriksaan steril

Spekulum untuk rekam medis termasuk Chlamydia trachomatis dan

Neisseria gonorrhoeae dan anovaginal untuk streptokokus agalactiae harus

diperoleh. Tanda-tanda vital ibu harus didokumentasikan serta janin

pengawasan awalnya untuk menetapkan status janin. Dokumentasi

ultrasonographic usia kehamilan, berat janin, presentasi janin, dan indeks

cairan ketuban. Pemeriksaan digital harus dihindari, tetapi inspeksi visual

leher rahim dapat secara akurat memperkirakan dilatasi serviks.


Pemeriksaan digital leher rahim dengan PPROM telah terbukti untuk

memperpendek latency dan meningkatkan risiko infeksi tanpa memberikan

tambahan informasi klinis berguna.4.

2. Dalam keadaan tertentu, pengiriman janin dengan KPD ditunjukkan.

Keadaan ini termasuk chorioamnionitis, gawat janin, dan pendarahan

dengan pengawasan janin nonreassuring. Jika kedewasaan paru janin telah

didokumentasikan dengan baik amniosentesis atau koleksi cairan vagina,

pengiriman harus difasilitasi. Pada janin noncephalic dengan lanjutan

dilatasi serviks (lebih dari atau sama dengan 3 cm), risiko prolapse tali pusar

mungkin juga lebih besar daripada manfaat dari manajemen hamil dan

pengiriman harus dipertimbangkan.

3. Jika setelah evaluasi awal ibu dan janin, mereka berdua ditentukan secara

klinis, manajemen KPD dapat dianggap meningkatkan hasil janin. Risiko

utama manajemen ibu dengan hamil KPD adalah infeksi. Ini termasuk

chorioamnionitis (13-60%), endometritis (2-13%), sepsis (< 1%), dan

kematian ibu (1-2 kasus per 1000). Komplikasi yang berkaitan dengan

plasenta termasuk abruption (4-12%) dan mempertahankan plasenta atau

perdarahan pascamelahirkan memerlukan kuret rahim (12%). 5

4. Risiko dan potensi manfaat dari manajemen hamil harus didiskusikan

dengan pasien dan keluarganya, dan persetujuan yang harus diperoleh.


Status Ibu dan janin perlu reevaluated setiap hari, keselamatan dan potensi

manfaat dari manajemen hamil harus dikaji. Jika kondisi tetap stabil, janin

dewasa dapat mengambil manfaat dari manajemen hamil, bahkan jika untuk

jangka pendek, untuk memungkinkan diberikannya steroid dan antibiotik.

Setelah jatuh tempo tercapai, manfaat dari hamil manajemen KPD tidak

jelas dan resiko infeksi lebih besar daripada manfaat potensial.

5. Amniosentesis dapat memberikan informasi tentang kedewasaan paru-paru

keakuratan dan ketepatan diagnosis PROM dan infeksi. Namun, dalam

kebanyakan kasus KPD, jumlah cairan kurang; Justru, amniosentesis harus

dilakukan hanya oleh individu dengan pengalaman dalam melakukan

amniosentesis sulit dan risiko yang sesuai dengan potensi untuk komplikasi

janin.

Medical treatment PPROM

Setelah mendapatkan diagnosis pasti, dokter kemudian melakukan

penatalaksanaan berdasarkan usia gestasi. Hal ini berkaitan dengan proses

kematangan organ janin, dan bagaimana morbiditas dan mortalitas apabila

dilakukan persalinan maupun tokolisis (POGI, 2016).

A. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan <24 minggu

Pada saat ini, penelitian menunjukkan bahwa mempertahankan

kehamilan adalah pilihan yang lebih baik (POGI, 2016).

B. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 24 - 34 minggu.


Pada usia kehamilan antara 30-34 minggu, penelitian menunjukkan

bahwa persalinan lebih baik dibanding mempertahankan kehamilan

(POGI, 2016).

C. Ketuban Pecah Dini usia kehamilan 34-38 minggu

Pada usia kehamilan lebih dari 34 minggu, penelitian menunjukkan

bahwa mempertahankan kehamilan lebih buruk dibanding melakukan

persalinan (POGI, 2016).

Antibiotik profilaksis disarankan pada kejadian KPD preterm.

Dibuktikan dengan 22 uji meliputi lebih dari 6000 wanita yang mengalami

KPD preterm, yang telah dilakukan meta-analisis. Sehingga dapat

disimpulkan bahwa administrasi antibiotik mengurangi morbiditas maternal

dan neonatal. Pemberian eritromisin atau penisilin adalah pilihan terbaik

(POGI, 2016).

Pada kehamilan >= 37 minggu, lebih dipilih induksi awal. Induksi

persalinan dengan prostaglandin pervaginam berhubungan dengan

peningkatan risiko korioamnionitis dan infeksi neonatal bila dibandingkan

dengan induksi oksitosin. Sehingga, oksitosin lebih dipilih dibandingkan

dengan prostaglandin pervaginam untuk induksi persalinan pada kasus KPD

(POGI, 2016).
Pemberian kortikosteroid antenatal pada wanita dengan KPD

preterm telah dibuktikan manfaatnya dari 15 RCT yang meliputi 1400

wanita dengan KPD dan telah disertakan dalam suatu metaanalisis (POGI,

2016).

D.
2.6.Diagnosis3

Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

laboratorium

1. Anamnesis

Dari anamnesis dapat menegakkan 90% dari diagnosis. Kadang kala cairan seperti

urin dan vaginal discharge bisa dianggap cairan amnion. Penderita merasa basah

dari vaginannya atau mengeluarkan banyak cairan dari jalan lahir. Anamnesis

kejang kejang pada pasien juga perlu diperlukan untuk menentukan apakah pasien

sudah inpartu atau belum.

2. Inspeksi

Pengamatan biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban baru

pecah, dan jumlah airnya masih banyak, pemeriksaan ini akan makin jelas

3. Pemeriksaan Inspekulo

Merupakan langkah pertama untuk mendiagnosis KPD karena pemeriksaan dalam

merupakan langkah pertama untuk mendiagnosis KPD karena pemeriksaan dalam

seperti VT dapat meningkatkan resiko infeksi, caian yang keluar dri vagina perlu

diperiksa yaitu warna, bau, dan PHnya yang dinilai adalah

- Keadaan umum dari serviks, juga dinilai dilatasi dan perdarahan dari

serviks. Dilihat juga prolapsus tali pusat atau ekstremitas janin. Bau dari

amnion yang khas juga harus diperhatikan


- Pooling pada caian amnion dari forniks posterior mendukung diagnosis

KPD. Melakukan perasat valsava atau menyuruh pasien untuk batuk untuk

memudahkan melihat pooling

- Cairan amnion dikonfirmasikan dengan menggunakan tes nitrazin. Kertas

lakmus akan beruba menjadi biru jika PH 6-6,5. Sekret vagina ibu memiliki

PH 4-5, dengan kertas nitrazin initidak terjadi perubahan warna.Kertas

nitrazin ini dapat memberikan positif palsu jika tersamarkan dengan darah,

semen atau vaginis trichomoniasis

- Mikroskopis tes pakis. Jika terdapat pooling dan tes nitrazin masih samar

dapat dilakukan pemeriksaan mikroskopis dari cairan yang dambil dari

forniks posterior

- Dilakukan kultur bakteri

4. Pemeriksaan Lab

a. Pemeriksaan darah lengkap

b. Tes pakis

c. Tes lakmus

5. Pemeriksaan USG

Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihatjumlah cairan ketuban

dalam kavum uteri. Pada kasus KPD terlihat jumlah cairan ketuban sedkit

(Oligohidramnion atau anhidramnion). Oligohidramnion ditambah dengan hasil

anamnesis dapat membantu diagnosis tetapi bukan untuk menegakkan

diagnosis rupturnya membrane fetal. Selain itu dinilai amniotic fluid index

(AFI), presentasi janin, berat janin, dan usia janin.


B. RETENSIO PLACENTA

Diagnosis :

Penilaian klinis sulit untuk memastikan adanya sisa plasenta, kecuali apabila

penolong persalinan memeriksa kelengkapan plasenta setelah plasenta 18 lahir.

Apabila kelahiran plasenta dilakukan oleh orang lain atau terdapat keraguan akan

sisa plasenta, maka untuk memastikan adanya sisa plasenta ditentukan dengan

eksplorasi dengan tangan, kuret atau alat bantu diagnostik yaitu ultrasonografi.

Pada umumnya perdarahan dari rongga rahim setelah plasenta lahir dan kontraksi

rahim baik dianggap sebagai akibat sisa plasenta yang tertinggal dalam rongga

rahim (Depkes, 2007).

a. Resusitasi. Pemberian oksigen 100%. Pemasangan IV-line dengan

kateter yang berdiameter besar serta pemberian cairan kristaloid

(sodium klorida isotonik atau larutan ringer laktat yang hangat,

apabila memungkinkan). Monitor jantung, nadi, tekanan darah dan

saturasi oksigen. Transfusi darah apabila diperlukan yang

dikonfirmasi dengan hasil pemeriksaan darah.

b. Drips oksitosin (oxytocin drips) 20 IU dalam 500 ml larutan

Ringer laktat atau NaCl 0.9% (normal saline) sampai uterus

berkontraksi.

c. Plasenta coba dilahirkan dengan Brandt Andrews, jika berhasil

lanjutkan dengan drips oksitosin untuk mempertahankan uterus.

d. Jika plasenta tidak lepas dicoba dengan tindakan manual plasenta.


Indikasi manual plasenta adalah: Perdarahan pada kala tiga

persalinan kurang lebih 400 cc, retensio plasenta setelah 30 menit

anak lahir, setelah persalinan buatan yang sulit seperti forsep tinggi,

versi ekstraksi, perforasi, dan dibutuhkan untuk eksplorasi jalan

lahir, tali pusat putus.

e. Jika tindakan manual plasenta tidak memungkinkan, jaringan

dapat dikeluarkan dengan tang (cunam) abortus dilanjutkan kuret

sisa plasenta. Pada umumnya pengeluaran sisa plasenta dilakukan

dengan kuretase. Kuretase harus dilakukan di rumah sakit dengan

hati-hati karena dinding rahim relatif tipis dibandingkan dengan

kuretase pada abortus.

f. Setelah selesai tindakan pengeluaran sisa plasenta, dilanjutkan

dengan pemberian obat uterotonika melalui suntikan atau per oral.

g. Pemberian antibiotika apabila ada tanda-tanda infeksi dan untuk

pencegahan infeksi sekunder.

Indikasi pemberian Injeksi Methergin (Methyl Ergomethrin)

Adalah obat yang digunakan untuk mencegah dan menangani kasus

perdarahan postpartum dan postabortal. Methylergometrine adalah

alkaloid ergot, yang secara langsung merangsang kontraksi otot polos

rahim dan vaskular. Methylergometrine adalah agonis / antagonis

parsial pada reseptor serotonergik, dopaminergik dan alfa-adrenergik.

Pola pengikatan dan aktivasi spesifik pada reseptor ini menyebabkan


kontraksi otot uterus yang sangat tinggi melalui reseptor serotonin 5-

HT2A. Pengaruhnya pada pembuluh darah lebih rendah dibandingkan

alkaloid ergot lainnya.

Kegunaan Methergin Injection (Methylergometrine) adalah untuk hal-

hal berikut :

 Methergin Injection diindikasikan untuk mencegah dan menangani

perdarahan postpartum dan postabortal.

 Digunakan dalam manajemen aktif pada tahap ketiga persalinan.

 Untuk menangani perdarahan rahim setelah pemisahan plasenta, atonia

uterin, subinvolusi rahim nifas, atau lochiometra.


DAFTAR PUSTAKA

1. Damarati & Pujiningsih, 2012, Analisis Tentang Paritas Dengan

Kejadian Ketuban Pecah Dini Pada Ibu Bersalin Di RSUD Sidoarjo.

Jurnal Kebidanan.[online] 1(1), 36 – 41.

http://digilib.unipasby.ac.id/download.php?id= 168 [diunduh : 16

April 2018]

2. Joseph HK, 2010, Catatan Kuliah Ginekologi dan Obstetri (Obgyn),

Yogyakarta, Muha Medika

3. Manuaba I., 2007, Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi &

KB, Jakarta, ECG

4. Simvan HN, Canavan TP, 2005, Preterm Premature Rupture of

Membranes: Diagnosis, evaluation, and management strategies,

BJOG, (1), 3-27

5. Mercer BM, Preterm premature of the membrane: diagnosis and

management,2004, Clin perinatol, 31(4), 765-82.

6. Prawirahardjo, Sarwono, 2014, Ilmu kbidanan edisi keempat,

penerbit PT. Bina Pustaka Sarwono Prawirahardjo

7. POGI, 2016, Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ketuban


Pecah Dini, Jakarta.

You might also like