You are on page 1of 3

WAKTU IDUL ADHA

Oleh: Yusuf Hidayat

Kejadian ini terjadi 25 tahun lalu. Kira-kira usiaku 13 tahun, sementara usia adikku 3 tahun.
Pada saat menjelang hari raya Idul Adha, aku dan adikku, Abdul, sangat berbahagia karena hari Idul
Adha sebentar lagi tiba. Namun, tiba-tiba wajah adikku terlihat bersedih. Dia barangkali teringat akan
abah, ayah kami. Abah sudah hampir enam bulan belum pulang. Beliau bekerja sebagai buruh di
sebuah pabrik di Batam. Abah berangkat ke Batam karena terpaksa harus membayar utang kepada
saudaranya untuk mengganti biaya ibu dirawat di rumah sakit tatkala melahirkan adik. Di samping itu,
abah juga harus membiayai sekolahku dan memenuhi nafkah keluarga.
Biasanya abah pulang setiap dua bulan atau paling tidak tiga bulan sekali. Akan tetapi kali ini
lain dari pada biasanya. Sudah hampir enam bulan abah belum pulang, sehingga kami sangat khawatir
akan keselamatannya. Ibu seringkali tidak henti-hentinya menyebut-nyebut abah begitu pula adikku.
Sebenarnya, ibu pernah beberapa kali menulis surat untuk abah, akan tetapi semua surat ibu tidak
pernah ada balasan. Waktu itu pesawat telepon masih langka tidak seperti saat ini. Oleh karenanya,
kami kehilangan kontak dengan abah hampir enam bulan.
Hari Jum’at tiba, seperti biasa aku mengingatkan adik untuk bersiap-siap pergi Jum’atan.
Seperti biasa, kami pergi ke masjid lebih awal. Setelah melaksanakan shalat tahiyatul masjid,
kemudian kami duduk bersila untuk mendengarkan khutbah. Kebetulan tema khutbah mengenai ibadah
kurban. Aku mendengarkan khutbah dengan seksama, sementara adikku hanya diam dan sesekali
mengangguk-anggukan kepalanya. Setelah selesai shalat Jum’at, kami pun pulang.
“Dik, ayo pulang.” Sembari ku pegang lengan kanannya.
“Tunggu sebentar, Kak.” Tanganku dipegangnya, “Boleh adik bertanya?” sergahnya dengan
wajah antusias. “Berkurban itu apa?” tanyanya polos.
Sesaat aku terdiam. Ku tatap wajahnya dalam-dalam. Kemudian aku tersenyum.
“Mari kakak jelaskan. Berkurban itu menyembelih hewan kurban dengan niat yang ikhlas
karena Allah. Hewan kurban itu bisa Unta, Sapi, Kerbau, Domba atau Kambing. Hewan-hewan itu
disembelih di hari raya Idul Adha. Dagingnya dibagikan kepada kerabat serta tetangga. Bagaimana
paham, Dik?” kataku balik bertanya.
“Ooo..., begitu ya kak. Hmm..., tapi kenapa kita harus berkurban?” adik kembali bertanya.
“Hmmm. Berkurban adalah ibadah yang sangat mulia di mata Allah. Ibadah kurban diwajibkan bagi
seorang muslim yang sudah mampu dari segi harta,” jelasku, sembari memegang tangannya.
Aku tatap kembali wajahnya. Dia menganggukan kepalanya perlahan. Kemudian dia
tersenyum. “Kak, kalau abah punya uang banyak, adik ingin berkurban,” sergahnya penuh harap.
“Tentu, Dik. In Syaa Allah. Ayo kita pulang,” jawabku datar.

[1]
Sesampai di rumah ibu menyambut dan memeluk kami dengan senyumannya yang khas.
Walau sebetulnya hati ibu sedang memendam kesedihan yang mendalam. Kemudian ibu mengajak
kami makan siang bersama.
***
Waktu berjalan dengan cepat. Hari Idul Adha telah tiba. Kami sekeluarga pergi ke masjid
tanpa abah. Idul Adha tahun ini terasa sepi. Batin kami pedih, manum kami hanya bisa pasrah terhadap
ketentuan Allah ini. Sesampainya di masjid aku mengajak adik duduk di shaf kedua. Adapun ibu
duduk di luar masjid bersama jamaah perempuan lainnya. Setelah melakukan shalat tahiyatul masjid,
aku duduk kembali sembari berdzikir dan mendo’akan abah.
15 menit kemudian, sholat Idul Adha dimulai. Kami melaksanakannya dengan khusu. Setelah
sholat selesai dilanjutkan dengan khutbah. Kami mendengarkannya dengan seksama. Mungkin karena
aku terlalu khusus, tidak terasa waktu begitu cepat berlalu. Khutbah selesai. Kami pun berdiri untuk
saling bersalaman kemudian pulang.
Kami menghampiri ibu. Mencium tangannya kemudian pulang bersama. Sesampainya di
rumah kami duduk tanpa berkata-kata. Aku lihat ibu berjalan dengan gontai. Ia kembali membawa air
putih, goreng singkong, dan sedikit nasi tanpa lauk pauk sisa makanan kemarin sore. Aku mengerti
perasaan ibu. Itulah makanan yang tersisa hari ini untuk kami, di hari lebaran Idul Adha. Dengan nada
sedih ibu mempersilakan aku dan adik untuk menyantapnya. Adik terdiam. Aku hanya minum karena
selera makanku mendadak lenyap tatkala melihat kesedihan di wajah ibu. Tiba-tiba adik memegang
tanganku. Ia mengajakku kembali ke masjid melihat hewan kurban yang akan disembelih. Lama kami
termenung. Tiba-tiba terdengar suara dari luar rumah.
“Assalamu’alaikum. Abdul, Salim, Bu.” Terdengar suara yang tidak asing bagi kami.
Sontak kami saling pandang. Dengan serempak kami lari keluar. Terlihat sosok lelaki yang
sedang berdiri di halaman rumah.
“Abah.... .” Aku dan adik berteriak, berlari, kemudian memeluk abah.
“Nak, maafkan abah. Abah baru bisa pulang. Coba lihat, ada hadiah untuk kalian,” terang
abah sembari menunjuk ke arah pohon nangka dekat rumah kami.
Kami tidak percaya terhadap apa yang kami lihat. Abah mengikatkan dua utas tali untuk dua
ekor domba jantan yang cukup besar. Kami memeluk abah kembali dengan penuh kebahagiaan. Tidak
lama abah berdiri. Ia mendekati ibu yang sedari tadi berdiri mematung di depan pintu. Ibu tiba-tiba
mendekat dan memeluk abah. Kemudian ibu menangis tersedu-sedu.
“Maafkan abah, Bu. Abah baru bisa pulang. Alhamdulillah kita bisa berkurban tahun ini.”
Terdengar suara abah bergetar.
“Alhamdulillah, terima kasih ya Allah. Akhirnya abah pulang. Engkau pun telah
mengabulkan permohonan kami untuk bisa berkurban tahun ini,” ucapku dalam hati.
***
[2]
Biodata Penulis
Yusuf Hidayat, lahir di Ciamis, 09 Desember 1983. Penulis mempunyai
hobi membaca dan menulis, khususnya penulis puisi, cerpen, buku bahan
ajar, dan artikel riset ilmiah. Saat ini, penulis aktif mengajar di salah satu
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Kab. Ciamis.
Penulis dapat dihubungi di No WA: 0878-2676-6685, dan di email:
yusufhid@gmail.com. Alamat: Jln. Bojongsari, No.140, Rt.05, Rw.02, Desa
Dewasari, Kec. Cijeungjing, Kab.Ciamis – Jawa Barat, 46271.

[3]

You might also like