You are on page 1of 29

BAGIAN ILMU JIWA REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN MEI 2018

UNIVERITAS PATTIMURA

BUNUH DIRI

Disusun oleh:

Fadilah M. Agun

2013-83-051

Pembimbing:

dr. David Santoso T, Sp.KJ., MARS

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

PADA BAGIAN ILMU PENYAKIT JIWA

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS PATTIMURA

AMBON

2018

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan

rahmat dan karunia-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan referat

dengan judul “Bunuh Diri” yang merupakan suatu kegawatdaruratan psikiatri yang

berpotensial fatal dan menjadi masalah kesehatan yang penting.

Pada referat ini disajikan semua materi mengenai bunuh diri, mulai dari

definisi, epidemiologi, etiologi, diagnosis, penatalaksanaan serta pencegahannya.

Penulis beusaha menyajikan tema secara lengkap dan komprehensif dengan tampilan

yang menarik agar pembaca dapat memahami maksud dari tulisan dalam referat ini.

Namun, apabila terdapat kekurangan di dalam referat ini, penulis sangat

mengharapkan kritik dan saran dari pembaca yang bersifat membangun agar

kedepannya tulisan ini lebih lengkap dan mudah dipahami oleh penulis maupun

pembaca.

Ambon, Mei 2018

Penulis

Fadilah M. Agun

2
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR....................................................................................... ii

DAFTAR ISI .................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN................................................................................. 1

BAB II PEMBAHASAN.................................................................................. 2

2.1 Definisi bunuh diri...................................................................................... 2


2.1.1 Klasifikasi bunuh diri............................................................... 2
2.1.2 Tahapan bunuh diri................................................................... 3
2.1.3 Metode bunuh diri..................................................................... 4
2.2 Epidemiologi .............................................................................................. 5
2.3 Etiologi....................................................................................................... 5
2.4 Tanda dan gejala bunuh diri........................................................................ 18
2.4.1 Langkah penilaian bunuh diri................................................... 18
2.5 Penatalaksanaan ......................................................................................... 20
2.5.1 Terapi farmakologi.................................................................... 20
2.5.2 Terapi non-farmakologi............................................................ 20

2.6 Pencegahan ................................................................................................ 21

BAB III ............................................................................................................ 24

3.1 Kesimpulan................................................................................................. 24

DAFTAR PUSTAKA ............................................25

3
BAB I

PENDAHULUAN

Bunuh diri merupakan kegawatdaruratan pada bidang psikiatri, yang


terkadang sulit atau gagal didiagnosa dari kondisi medis yang berpotensial fatal,
walaupun jarang, tetapi gawat darurat. Bunuh diri merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting.
Lebih dari 30.000 orang yang bunuh diri setiap tahun di Amerika Serikat
dengan 600.000 orang pasien yang melakukan percobaan bunuh diri. 1 Pada Mental
Atlas 2011, WHO, angka bunuh diri di Indonesia belum ada.2
Walaupun bunuh diri tidak mungkin untuk diprediksi secara pasti, terdapat
beberapa klue yang dapat terlihat, yang membantu praktisi untuk mengurangi risiko
bunuh diri pada pasiennya.
Standar perawatan secara umum menfasilitasi pengurangan risiko, seperti
kemungkinan untuk gantung diri. Bunuh diri juga perlu diperhitungkan pada orang
yang mencoba untuk bunuh diri atau orang terdekat atau keluarga korban bunuh diri.
Bunuh diri merupakan masalah yang penting dan hampir selalu
dilatarbelakangi oleh gangguan mental, biasanya depresi, dan hal tersebut harus
segera ditangani untuk mencegah terjadinya bunuh diri. Terdapat beberapa
psikoterapi dan terapi farmakologi yang dapat membantu untuk membantu pasien
pulih dari gangguan mental sehingga dapat mengurangi risiko untuk melakukan
bunuh diri.
Walaupun sudah banyak terapi yang dapat mengurangi risiko bunuh diri,
tetapi bunuh diri tetap terjadi. Hal tersebut mungkin dikarenakan kurangnya perhatian
dan terapi yang adekuat untuk pasien yang memiliki risiko untuk bunuh diri. Maka
dari itu, referat ini akan membahas mengenai bunuh diri yang akan dibahas secara
rinci dengan harapan dapat digunakan sebagai pegangan untuk menghadapi pasien
dengan risiko bunuh diri.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI

Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”, dengan “sui”
yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan. Suicide merupakan
derivat dari bahasa latin dengan arti self murder atau dalam bahasa Indonesia bunuh
diri. Bunuh diri atau “suicide” adalah tindakan yang bertujuan membunuh diri sendiri.
Schneidman mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara
sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh
diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan
mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit
psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh
diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang bisa
menghentikan rasa sakit yang dirasakan. 1,3,4
Pasien dengan ansietas berat sering meredakan perasaan yang tidak nyaman
dengan cara menyayat secara dangkal diri sendiri. Hal tersebut disebut perasaan
“suicidal”. “Suicidal” perlu digali lebih dalam apakah pasien melukai diri sendiri ada
tujuan untuk bunuh diri. Bila terdapat tujuan bunuh diri disebut percobaan bunuh diri.
Terdapat rentang dari ide bunuh diri hingga tindakan bunuh diri. Beberapa orang
dengan ide bunuh diri tidak dilakukan, beberapa merencanakan dari beberapa hari,
minggu atau tahun sebelum bunuh diri, dan yang lain bunuh diri secara impulsif,
tanpa premeditasi.1,2

2.1.1 Klasifikasi Bunuh Diri


Perilaku bunuh diri menurut Stuart dan Sundeen (1995) dibagi menjadi tiga
kategori yaitu sebagai berikut:5,6,7

2
1. Upaya bunuh diri (Suicide attempt) yaitu sengaja melakukan kegiatan menuju
bunuh diri, dan bila kegiatan itu sampai tuntas akan menyebabkan kematian.
Kondisi ini terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau di abaikan. Orang
yang hanya berniat melakukan upaya bunuh diri dan tidak benar-benar ingin
mati mungkin akan mati jika tanda-tanda tersebut tidak diketahui tepat pada
waktunya.
2. Isyarat bunuh diri (Suicide gesture) yaitu bunuh diri yang direncanakan untuk
usaha mempengaruhi perilaku orang lain.
3. Ancaman bunuh diri (Suicide threat) yaitu suatu peringatan baik secara
langsung atau tidak langsung, verbal atau nonverbal bahwa seseorang sedang
mengupayakan bunuh diri. Orang tersebut mungkin menunjukkan secara
verbal bahwa dia tidak akan ada di sekitar kita lagi atau juga mengungkapkan
secara nonverbal berupa pemberian hadiah, wasiat, dan sebagainya. Kurangnya
respons positif dari orang sekitar dapat dipersepsikan sebagai dukungan untuk
melakukan tindakan bunuh diri.
2.1.2 Tahap-Tahap Perilaku Bunuh Diri

Perilaku bunuh diri berkembang dalam rentang diantaranya: 5,6,7


1. Suicidal Ideation
Pada tahap ini merupakan proses contemplasi dari suicide, atau sebuah metoda
yang digunakan tanpa melakukan aksi/tindakan, bahkan klien pada tahap ini tidak
akan mengungkapkan idenya apabila tidak ditekan. Walaupun demikian, perawat
perlu menyadari bahwa pasien pada tahap ini memiliki pikiran tentang keinginan
untuk mati
2. Suicidal Intent
Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan perencanaan yang
konkrit untuk melakukan bunuh diri.

3
3. Suicidal Threat
Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan dan hasrat yang dalam,
bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya .
4. Suicidal Gesture
Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif yang diarahkan pada diri
sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam kehidupannya tetapi sudah pada
percobaan untuk melakukan bunuh diri. Tindakan yang dilakukan pada fase ini
pada umumnya tidak mematikan, misalnya meminum beberapa pil atau menyayat
pembuluh darah pada lengannya. Hal ini terjadi karena individu memahami
ambivalen antara mati dan hidup dan tidak berencana untuk mati. Individu ini
masih memiliki kemauan untuk hidup, ingin di selamatkan, dan individu ini
sedang mengalami konflik mental. Tahap ini sering di namakan “Crying for help”
sebab individu ini sedang berjuang dengan stress yang tidak mampu di selesaikan.

2.1.3 Metode Bunuh diri


Richman menyatakan ada dua fungsi dari metode bunuh diri. Fungsi pertama
adalah sebagai sebuah cara untuk melaksanakan intensi mati. Sedangkan pada fungsi
yang kedua, Richman percaya bahwa metode memiliki makna khusus atau
simbolisasi dari individu.
Secara umum, metode bunuh diri terdiri dari 6 kategori utama yaitu: 8
a. obat (memakan padatan, cairan, gas, atau uap)
b. menggantung diri (mencekik dan menyesakkan nafas)
c. senjata api dan peledak
d. menenggelamkan diri
e. melompat
f. memotong (menyayat dan menusuk)

4
2.2. EPIDEMIOLOGI

Jumlah kematian yang diakibatkan oleh bunuh diri semakin meningkat, dalam
45 tahun terakhir angka kejadian bunuh diri di dunia meningkat hingga 60%. Pada
tahun 2007 di Amerika Serikat, bunuh diri terletak pada peringkat ke-7 untuk semua
umur. Lebih dari 5.000 remaja melakukan bunuh diri setiap tahunnya di Amerika
Serikat, yait satu remaja setiap 90 menit.9
Kasus bunuh diri di Indonesia belakangan ini dinilai cukup memprihatinkan
karena angkanya cenderung meningkat. Kasus bunuh diri menempati 1 dari 10
penyebab kematian di setiap negara. Salah satu bentuk bunuh diri yang paling sering
dilakukan adalah dalam bentuk gantung diri. Pada tahun 2011, tercatat telah tejadi
142 kasus bunuh diri di Jakarta dengan bentuk gantung diri sebanyak 82 kasus dan
pada tahun 2010 angkanya sebanyak 177 kasus denga cara gantung diri sebanyak 101
kasus. Di Yogyakarta sendiri kasus bunuh diri juga termasuk tinggi. Salah satu
kabupaten di Daera Istimewa Yogyakarta yang memiliki angka bunuh diri yang cukup
tinggi adalah Gunung Kidul. Dalam kurun waktu Januari 2012 hingga Oktober 2012
tercatat 34 kasus bunuh diri, dan selama kurun 2001-2011 terdapat 314 kasus .

2.3. ETIOLOGI

Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab bunuh diri, diantaranya


adalah:10,11,12

Faktor Sosial
 Teori Durkheim. Sumbangan pertama yang besar untuk penelitian pengaruh sosial
dan kultural terhadap bunuh diri dilakukan pada akhir abad yang lalu oleh ahli
sosiologi Perancis Emile Durkheim. Dalam upaya menjelaskan pola statistikal,
Durkheim membagi bunuh diri menjadi empat kategori sosial : egoistik,
altruistik,dan fatalistik.

 Bunuh Diri Egoistik diterapkan pada mereka yang tidak terintegrasi secara
kuat ke dalam kelompok sosial. Tidak adanya integrasi keluarga dapat

5
digunakan untuk menjelaskan mengapa orang yang tidak menikah adalah
lebih rentan terhadap bunuh diri dibandingkan dengan mereka yang menikah
dan mengapa pasangan dengan anak-anak adalah kelompok yang paling
terlindung dari semua kelompok. Masyarakat perkotaan memiliki lebih
banyak integrasi sosial dibandingkan dengan daerah pedesaan, jadi lebih
sedikit bunuh diri.

 Bunuh Diri Altruistik terjadi dalam masyarakat yang mempunyai ikatan sosial
yang kuat. Bunuh diri ini dimaksudkan demi kelompok, hampir seperti bunuh
diri ritual Jepang “Seppuku” yang dilakukan ketika kekacauan melanda
masyarakat.

 Bunuh Diri Anomik terkait dengan apa yang disebut “Anomie” atau keadaan
dimana anda tidak tahu tempat yang tepat bagi seseorang seperti menjadi
tunawisma atau yatim piatu. Orang tersebut merasa tidak punya apa-apa dan
ini berarti berada dalam keadaan tanpa norma dan peraturan yang
membimbing dalam kehidupan sosial sehari-hari. Hal ini dapat menjelaskan
mengapa mereka dengan situasi ekonomi yang berubah secara drastik lebih
rentan dibandingkan mereka sebelum perubahan keberuntungan mereka.
Anomik juga dimaksudkan pada ketidakstabilan sosial, dengan kehancuran
standar dan nilai-nilai masyarakat.

 Bunuh Diri fatalistik, tipe bunuh diri yang demikian tidak banyak dibahas oleh
Durkheim. pada tipe bunuh diri anomi terjadi dalam situasi di mana nilai dan
norma yang berlaku di masyarakat melemah, sebaliknya bunuh diri fatalistik
terjadi ketika nilai dan norma yang berlaku di masyarakat meningkat dan
terasa berlebihan.

Faktor Psikologis

 Teori Freud

6
Tilikan psikologis pertama yang paling penting ke dalam bunuh diri berasal dari
Sigmund Freud. Ia menggambarkan hanya satu pasien yang mencoba bunuh diri,
tetapi ia melihat banyak pasien depresi. Dalam tulisannya “Mourning and
Melancholia”, Freud menyatakan keyakinannya bahwa bunuh diri mencerminkan
agresi yang dibelokkan ke dalam objek cinta yang terintroyeksi, dan ditangkap
secara ambivalen.

 Teori Karen Horney

Karen Horney menjelaskan tentang teori psikoanalitik. Dimana terdapat empat


faktor utama yang mendasari kejadian bunuh diri, yaitu akibat tidak adanya
harapan, penderitaan, keterasingan (alienation), dan pencarian kejayaan (search of
glory).

 Teori Menninger

Berdasarkan konsep Freud, Karl Menninger menyimpulkan bahwa bunuh diri


adalah pembunuhan yang di retrofleksikan, pembunuhan yang dibalikkan sebagai
akibat kemarahan pasien kepada orang lain, yang dibalikkan pada diri sendiri atau
digunakan sebagai pengampunan akan hukuman.
Ia juga menggambarkan insting kematian yang diarahkan kepada diri sendiri
(konsep Thanatos dari Freud). Ia menggambarkan tiga komponen permusuhan
dalam bunuh diri : keinginan untuk membunuh, keinginan untuk dibunuh dan
keinginan untuk mati.

 Teori Nico Speijer

Nico Speijer, sependapat dengan konsep yang dikemukakan Freud. Bahwasanya


tindakan bunuh diri disebaban karena adanya agresi hebat yang tidak dapat
disalurkan atau disublimasikan. Agresi timbul oleh karena adanya frustasi,
sebagaiman teori Agresi – Frustasi yang dikemukakan Dollard.

7
 Teori Erwin Ringel

Erwin Ringel memperkenalkan Presuicidal Syndrome Theory, teori ini terdiri dari
konstriksi yang berkembang, oto-agresi, dan fantasi bunuh diri. Konstriksi yang
berkembang terdiri dari konstriksi situasional, konstriksi psikodinamik,
keterbatasan hubungan interpersonal, dan penyempitan nilai-nilai. Konstriksi
situasional terdiri dari musibah berat, hari-hari terakhir, dan perasaan terhimpit
subjektif. Konstriksi psikodinamik terdiri dari penyempitan isolasi serta
mekanisme emosional dan mental. Oto-agresi adalah agresi terhambat dan
membalik pada dirinya sendiri yang mengakibatkan munculnya gangguan jiwa.
Fantasi bunuh diri mula-mula berupa pertimbangan, kemudian muncul spontan
dengan sendirinya, kemudian menjadi fantasi aktif (dying or being death),
kemudian muncul perilaku kompulsif hingga akhirnya timbul rencana bunuh diri
yang lebih rinci.

 Teori-teori Baru

Peneliti bunuh diri kontemporer tidak yakin bahwa struktur psikodinamika atau
kepribadian spesifik berhubungan dengan bunuh diri. Tetapi mereka telah menulis
bahwa banyak yang dipelajari tentang psikodinamika pasien bunuh diri dari
khayalan mereka seperti apa yang akan terjadi dan apa akibatnya jika mereka
melakukan bunuh diri. Khayalan tersebut sering kali termasuk keinginan untuk
balas dendam, kekuatan, pengendalian atau hukuman; untuk pertobatan,
pengorbanan, atau pemulihan; untuk meloloskan diri atau untuk tidur; atau untuk
pembebasan, kelahiran kembali, berkumpul kembali dengan orang yang telah
meninggal atau untuk hidup baru. Pasien bunuh diri yang paling mungkin
melakukan khayalan bunuh diri adalah mereka yang telah menderita kehilangan
objek cinta atau menderita cedera narsisistik, yang mengalami efek berat seperti
kemarahan dan rasa bersalah, atau yang teridentifikasi dengan seorang korban

8
bunuh diri. Dinamika kelompok mendasari bunuh diri massal seperti yang terjadi
di Masada dan Jonestown.

Gambar 1. Diagram hubungan bunuh diri dengan gangguan mood dan usaha bunuh diri

Faktor Fisiologis

 Genetika

Teori faktor genetik dalam bunuh diri telah diajukan. Penelitian menunjukan
bahwa bunuh diri cenderung berjalan di dalam keluarga. Sebagai contohnya,
pada orang yang mencoba bunuh diri ditemukan adanya riwayat bunuh diri dalam
keluarga lebih banyak secara bermakna daripada orang yang tidak pernah
melakukan bunuh diri.
Satu penelitian terbesar menemukan bahwa risiko bunuh diri untuk sanak
saudara dari pasien psikiatri hampir delapan kali lebih tinggi dibanding sanak
saudara dari kontrol. Selain itu, risiko bunuh diri pada sanak saudara pasien
psikiatri yang melakukan bunuh diri adalah empat kali lebih tinggi dibandingkan
pada sanak saudara pasien psikiatri yang tidak melakukan bunuh diri.

9
 Neurokimia

Defisiensi serotonin, diukur sebagai penurunan metabolisme 5-hydroxyindo-


leacetic acid (5-HIAA), telah ditemukan dalam kelompok pasien depresi yang
mencoba bunuh diri. Pasien depresi yang mencoba bunuh diri dengan cara keras
(contoh, senjata api atau meloncat) memiliki kadar 5-HIAA yang lebih rendah di
dalam cairan serebrospinalisnya dibandingkan pasien depresi yang tidak
melakukan bunuh diri atau yang mencoba bunuh diri dengan cara yang kurang
keras (overdosis zat).
Beberapa penelitian terhadap binatang dan manusia telah menyatakan suatu
hubungan antara defisiensi sistem serotonin sentral dan pengendalian impuls yang
buruk. Beberapa peneliti telah memandang bunuh diri sebagai salah satu tipe
perilaku impulsif. Kelompok pasien lain yang diperkirakan memiliki masalah
dengan pengendalian impuls adalah pelaku kekerasan, pembakar rumah dan
mereka dengan ketergantungan alkohol.
Beberapa peneliti telah menemukan pembesaran ventrikular dan
elektroensefalogram (EEG) yang abnormal pada beberapa pasien bunuh diri.
Sampel darah dari kelompok sukarelawan normal yang dianalisis untuk monoamin
oksidase trombosit menemukan bahwa orang dengan kadar enzim yang terendah
didalam trombositnya memiliki prevalensi bunuh diri delapan kali lebih besar
didalam keluarganya, dibandingkan dengan orang yang memiliki kadar enzim
yang tinggi.

2.2.4 Faktor yang terkait

Adapun faktor-faktor yang terkait dengan tindakan bunuh diri adalah:10,11,12


1. Jenis Kelamin

Laki-laki tiga kali lebih sering melakukan bunuh diri dibandingkan wanita. Akan
tetapi wanita adalah empat kali lebih mungkin berusaha bunuh diri dibandingkan
laki-laki.

10
2. Metode

Lebih tingginya angka bunuh diri yang berhasil pada laki-laki adalah berhubungan
dengan metode yang digunakan dimana laki-laki menggunakan pistol,
menggantung diri, atau lompat dari tempat yang tinggi. Sedangkan wanita lebih
mungkin menggunakan zat psikoaktif secara overdosis atau memotong
pergelangan tangannya, tetapi mereka mulai lebih sering menggunakan pistol
dibandingkan sebelumnya.

3. Usia

Angka bunuh diri meningkat sesuai dengan bertambahnya usia. Pada laki-laki,
puncak bunuh diri adalah usia 45 tahun; pada wanita, jumlah terbesar bunuh diri
yang berhasil adalah diatas 55 tahun. Orang lanjut usia kurang sering melakukan
usaha bunuh diri dibandingkan orang muda tetapi lebih sering berhasil. Angka
untuk mereka yang berusia 75 tahun atau lebih adalah lebih dari tiga kali
dibandingkan angka untuk orang muda.

4. Ras

Angka bunuh diri diantara orang kulit putih adalah hampir dua kali lebih besar dari
angka bulan kulit putih, tetapi angka tersebut masih diragukan, karena angka
bunuh diri pada kulit hitam adalah meninggi.

5. Status perkawinan

Perkawinan yang diperkuat oleh anak tampaknya secara bermakna menurunkan


risiko bunuh diri. Orang yang hidup sendirian dan tidak pernah menikah memiliki
angka hampir dua kali lipat angka untuk orang yang menikah. Tetapi, orang yang
sebelumnya pernah menikah menunjukan angka yang jelas lebih tinggi
dibandingkan orang yang tidak pernah menikah. Bunuh diri lebih sering pada
orang yang memiliki riwayat bunuh diri dalam keluarganya dan yang terisolasi

11
secara sosial. Yang disebut bunuh diri ulang tahun (anniversary suicide) adalah
bunuh diri yang dilakukan oleh orang yang mencabut hidupnya pada hari yang
sama seperti yang dilakukan oleh anggota keluarganya.

6. Pekerjaan

Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin besar risiko bunuh diri, tetapi
penurunan status sosial juga meningkatkan risiko. Pada umumnya, pekerjaan
menghalangi bunuh diri. Bunuh diri lebih tinggi pada orang yang pengangguran
dibandingkan orang yang bekerja. Selama resesi ekonomi dan depresi, angka
bunuh diri menjadi meningkat. Selama waktu tingginya pekerjaan dan selama
perang, angka bunuh diri menurun. Dokter secara tradisional dianggap memiliki
risiko terbesar untuk bunuh diri. Dokter psikiatri dianggap memiliki risiko yang
paling tinggi. Populasi yang berada dalam risiko khusus adalah musisi, dokter gigi,
petugas hukum, pengacara dan agen asuransi.

7. Kesehatan Fisik

Hubungan antara kesehatan fisik dan bunuh diri sangat bermakna. Penelitian
postmortem menunjukan bahwa suatu penyakit fisik ditemukan pada 25 sampai 75
persen dari semua korban bunuh diri. 50% orang dengan kanker yang melakukan
bunuh diri melakukannya dalam satu tahun setelah mendapatkan diagnosis. Tujuh
penyakit sistem saraf pusat yang meningkatkan risiko bunuh diri : epilepsi,
sklerosis multipel, cedera kepala, penyakit kardiovaskular, penyakit Huntington,
demensia, dan AIDS. Semua adalah penyakit dimana diketahui terjadi gangguan
mood yang menyertai.
Faktor yang berhubungan dengan penyakit dan terlibat didalam bunuh diri dan
usaha bunuh diri adalah hilangnya mobilitas pada orang yang aktivitas fisiknya
memiliki kepentingan pekerjaan atau rekreasional; kecacatan, terutama pada
wanita; dan rasa sakit kronis yang tidak dapat diobati.

12
Obat tertentu dapat menyebabkan depresi, yang dapat menyebabkan bunuh
diri pada beberapa kasus. Diantara obat-obat tersebut adalah reserpine (Serpasil),
kortikosteroid, antihipertensi (propanolol/Inderal), dan beberapa obat antikanker.

8. Kesehatan Mental

Faktor psikiatrik yang sangat penting dalam bunuh diri adalah penyalahgunaan zat,
gangguan depresif, skizofrenia, dan gangguan mental lainnya. Hampir 95 persen
dari semua pasien yang melakukan bunuh diri atau berusaha bunuh diri memiliki
gangguan mental yang terdiagnosis. Pasien yang menderita depresi delusional
berada pada risiko tertinggi untuk bunuh diri sebesar 80%. 20% dari semua pasien
yang memiliki riwayat perilaku impulsif atau tindakan kekerasan juga berada
dalam risiko untuk bunuh diri. Perawatan psikiatrik sebelumnya untuk alasan
apapun meningkatkan risiko bunuh diri.

9. Pasien Psikiatrik

Risiko pasien psikiatrik untuk melakukan bunuh diri adalah 3 sampai 12 kali lebih
besar dibandingkan bukan pasien psikiatrik. Derajat risikonya adalah bervariasi
tergantung usia, jenis kelamin, diagnosis, dan status rawat inap atau rawat jalan.
Diagnosis psikiatrik yang memiliki risiko tertinggi untuk bunuh diri pada kedua
jenis kelamin adalah gangguan mood.

Relatif mudanya korban bunuh diri sebagian disebabkan oleh kenyataan bahwa
dua gangguan mental kronis yang memiliki onset awal, skizofrenia dan gangguan
depresif yang berat rekuren berjumlah lebih dari setengah dari semua bunuh diri
tersebut.

2.2.5 Gangguan-gangguan yang berisiko terjadinya bunuh diri :

1. Gangguan mood

13
Gangguan mood adalah diagnosis yang paling sering berhubungan dengan
bunuh diri. Pasien laki-laki lebih banyak yang melakukan bunuh diri dibanding
pasien wanita. Kemungkinan orang terdepresi yang melakukan bunuh meningkat
jika tidak menikah, dipisahkan, diceraikan, janda atau baru saja mengalami
kehilangan.

2. Skizofrenia

Risiko bunuh diri tinggi diantara pasien skizofrenik; sampai 10 persen


meninggal akibat bunuh diri. Usia onset skizofrenia biasanya pada masa remaja
atau dewasa awal dan sebagian besar pasien skizofrenik yang melakukan bunuh
diri melakukannnya selama tahun-tahun pertama penyakitnya; dengan demikian
pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri cenderung relatif muda.
Gejala depresif berhubungan erat dengan bunuh diri mereka. Hanya sejumlah
kecil yang melakukan bunuh diri karena instruksi halusinasi atau untuk
melepaskan waham penyiksaan. Jadi, faktor risiko untuk bunuh diri diantara
pasien skizofrenik adalah usia yang muda, jenis kelamin laki-laki, status tidak
menikah, usaha bunuh diri sebelumnya, kerentanan terhadap gejala depresif, dan
baru dipulangkan dari rumah sakit.

3. Ketergantungan Alkohol

Orang yang ketergantungan alkohol melakukan bunuh diri sebanyak 15


persen. Kira-kira 80 persen dari semua korban bunuh diri yang tergantung alkohol
adalah laki-laki. Kelompok terbesar pasien laki-laki yang ketergantungan alkohol
adalah mereka dengan gangguan kepribadian antisosial. Korban bunuh diri yang
tergantung alkohol cenderung merupakan golongan kulit putih, usia pertengahan,
tidak menikah, tidak memiliki teman, terisolasi secara sosial dan baru saja mulai
minum.

4. Ketergantungan Zat Lain .

14
Penelitian di berbagai negara telah menemukan peningkatan risiko bunuh diri
diantara penyalahgunaan zat. Angka bunuh diri untuk orang yang tergantung heroin
kira-kira 20 kali lebih besar dibandingkan angka untuk populasi umum.

5. Gangguan Kepribadian
Sejumlah besar korban bunuh diri memiliki berbagai macam gangguan
kepribadian yang menyertai. Menderita suatu gangguan kepribadian mungkin
merupakan suatu determinan perilaku bunuh diri dalam beberapa cara : dengan
mempredisposisikan pada gangguan mental berat seperti gangguan depresif atau
ketergantungan alkohol, dengan menyebabkan kesulitan dalam hubungan dan
penyesuaian sosial, dengan mencetuskan peristiwa kehidupan yang tidak diinginkan,
dengan mengganggu kemampuan untuk mengatasi gangguan mental atau fisik dan
dengan menarik orang ke dalam konflik dengan orang disekitar mereka, termasuk
anggota keluarga, dokter dan anggota staf rumah sakit.
Depresi adalah berhubungan tidak hanya dengan bunuh diri yang dilakukan tetapi
juga dengan usaha bunuh diri yang serius. Jika orang yang melakukan usaha bunuh
diri dinyatakan sebagai memiliki maksud bunuh diri yang tinggi dibandingkan
dengan mereka yang memiliki maksud bunuh diri yang rendah, mereka secara
bermakna lebih banyak adalah laki-laki, berusia lebih tua, tidak menikah atau bercerai
dan hidup sendirian. Kesimpulan dari korelasi tersebut adalah bahwa pasien depresi
yang melakukan usaha bunuh diri yang serius lebih menyerupai korban bunuh diri
dibandingkan dengan mereka yang berusaha bunuh diri.

Tabel 1. Evaluasi dari risiko bunuh diri

Variabel Risiko Tinggi Risiko Rendah

Profil demografi dan social

Usia >45 tahun <45 tahun

Sex Pria Wanita

Status pernikahan Bercerai atau duda atau janda Menikah

15
Pekerjaan Pengangguran Memiliki pekerjaan

Relasi interpersonal Bermasalah Stabil

Latar belakang keluarga Kacau atau bermasalah Stabil

Kesehatan

Fisik Penyakit kronis Sehat

Hipokondria Merasa sehat

Penggunaan substansi berlebih Penggunaan substansi rendah

Mental Depresi berat Depresi ringan

Psikosis Neurosis

Gangguan personalitas yang Personalitas normal


berat

Penyalahgunaan zat Peminum alkohol

Tidak ada harapan hidup Optimis

Aktivitas bunuh diri

Ide bunuh diri Sering, intens, lama Tidak sering, intensitas rendah,
sementara

Percobaan bunuh diri Percobaan berkali-kali Percobaan pertama

Berencana Impulsif

Penyelamatan tidak mungkin Penyelamatan tidak terhindarkan

Ketidakraguan untuk mati Memiliki keinginan untuk


berubah

Komunikasi diinternalisasikan Komunikasi dieksternalisasikan


(Menyalahkan diri sendiri) (Kemarahan)

Metode mematikan dan tersedia Metode dengan letalitas rendah


dan tidak mudah didapat

Sarana

Pribadi Pencapaian buruk Pencapaian baik

Tilikan buruk Penuh tilikan

16
Afek tidak ada atau terkendali Afek tersedia dan terkendali
buruk dengan semestinya

Sosial Rapport buruk Rapport baik

Terisolasi sosial Terintegrasi secara sosial

Keluarga tidak responsive Keluarga memperhatikan

Sumber: Kaplan & Sadock's synopsis of psychiatry: behavioral sciences/clinical psychiatry.1

Tabel 2 Tanda-tanda penting yang perlu diperhatikan pada pasien yang mungkin
dapat memprediksi bunuh diri. 13
Tanda-tanda penting yang berisiko tinggi:

 Mengancam untuk menyakiti atau membunuh diri sendiri


 Berbicara atau menulis tentang kematian atau bunuh diri
 Terlihat cara mereka untuk bunuh diri, seperti membeli dan menyimpan tablet obat.
Tanda-tanda yang lain:

 Terlihat depresi atau sedih setiap waktu


 Menarik diri dari keluarga dan teman
 Merasa tidak ada harapan hidup
 Merasa tidak ada orang mau membantu dia
 Merasa marah atau mengamuk
 Merasa terjebak pada situasi yang tidak dapat terelakan
 Mengalami perubahan mood yang dramatis
 Penyalahgunaan obat-obatan atau alkohol
 Perubahan kepribadian
 Bertindak impulsif
 Kehilangan minat pada hampir semua aktivitas
 Mengalami perubahan kebiasaan tidur
 Mengalami perubahan kebiasaan makan
 Melakukan pekerjaan atau aktivitas sekolah kurang baik

17
 Menulis surat wasiat
 Merasa bersalah atau malu yang lebih
 Bertindak gegabah
 Memberikan barang kepunyaan yang penting
 Mendadak menjadi lebih tenang atau lebih senang
 Mengunjungi orang-orang untuk mengucapkan perpisahan

2.4 TANDA DAN GEJALA RISIKO BUNUH DIRI


Riwayat, tanda adanya gejala risiko bunuh diri adalah 9
- Upaya atau khayalan bunuh diri sebelumnya
- Kecemasan , depresi , kelelahan
- Tersedianya alat-alat untuk bunuh diri
- Kepedualian efek bunuh diri dari anggota keluarga
- Gagasan bunuh diri yang diungkapkan
- Membuat surat wasiat , ditanda tangani kembali setelah depresi teragitasi
- Krisis hidup , seprti duka cita atau akan mengalami pembedahan
- Riwayat bunuh diri dalam keluarga
- Pesimisme atau keputusan pervasive

2.4.1 Langkah Penilaian Risiko Bunuh Diri


Ada empat langkah utama dalam penilaian risiko bunuh diri: 2
Langkah I: Penilaian bunuh diri
Ini melibatkan:
1. Membangun hubungan terapeutik dengan pasien, menunjukkan empati dan
menggunakan penyelidikan lembut tentang perilaku bunuh diri.
2. Mendapatkan informasi jaminan dari kerabat, teman, atau orang lain yang
signifikan, karena beberapa pasien mungkin memberikan informasi yang tidak
akurat tentang kejadian untuk mengecilkan tindakan.
3. Menilai saat bunuh diri ide bunuh, maksud dan rencana. Ini termasuk metode,
ketersediaan sarana, keyakinan pasien tentang lethality metode, kemungkinan

18
penyelamatan, langkah yang diambil untuk memberlakukan rencana, dan
kesiapan untuk mati.
4. Menilai motivasi untuk bunuh diri; seperti marah, melarikan diri dari
penderitaan, ingin menyatukan kembali dengan orang yang dicintai, putus asa,
kehilangan hubungan, dll
5. Penilaian perilaku bunuh diri terakhir, frekuensi usaha-usaha sebelumnya,
mematikan, sifat dan tingkat keparahan, niat untuk mati, konteks / memicu
untuk usaha, metode yang digunakan, konsekuensi.

Langkah II: Evaluasi faktor risiko bunuh diri


Hal ini berkaitan dengan penilaian kehadiran faktor risiko.
Langkah III: Mengidentifikasi apa yang sedang terjadi.
Carilah jawaban atas pertanyaan-pertanyaan berikut: mengapa, mengapa sekarang,
dan apa yang sedang terjadi. Ini akan membantu dokter untuk memahami
kompleksitas faktor yang mendasari atau pencetus perilaku bunuh diri dan juga
memfasilitasi identifikasi target untuk intervensi. Sebagian besar respons
dikategorikan sebagai diagnosis psikiatri / gejala, situasi psikososial menyedihkan
dan kesulitan karakter.
Langkah IV: Mengidentifikasi target untuk intervensi
Hal ini melibatkan identifikasi dan menargetkan intervensi untuk mengurangi faktor
risiko bunuh diri dimodifikasi, misalnya:
- Diagnosis psikiatrik dan gejala, untuk mengobati gangguan dan mengurangi
gejala.
- Menyedihkan situasi psikososial, dengan mengatasi pemicu dimodifikasi atau
stres.
- Kesulitan karakter, dengan mengatasi sifat maladaptif dan mengatasi
pengembangan keterampilan

Ada dua alat standar dikembangkan untuk membantu dalam penilaian di atas:

19
1. Bunuh Diri panduan penilaian risiko (SRAG). Hal ini dapat digunakan untuk
memperkirakan tingkat keparahan faktor risiko, yaitu untuk setiap faktor yang
dipilih, skor berikut:
1 = signifikansi rendah
2 = signifikansi moderat
3 = signifikansi tinggi
2. Alat untuk penilaian risiko bunuh diri (TASR). Hal ini terdiri dari empat bagian:
a. Profil risiko individu (misalnya usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, penyakit
jiwa)
b. Profil risiko gejala (misalnya depresi, gejala psikotik, putus asa)
c. Profil Wawancara risiko (misalnya penyalahgunaan zat, ide bunuh diri, niat,
rencana)
d. d. Tingkat risiko bunuh diri (mis tinggi, sedang, rendah)

2.5 PENATALAKSANAAN BUNUH DIRI

2.5.1 Terapi farmakologi

Seseorang yang sedang dalam krisi karena baru ditinggal mati atau baru
mengalami suatu kejadian yang jangka waktunya tak lama, biasanya akan berfungsi
lebih baik setelah mendapatkan tranquilizer ringan, terutama bila tidurnya terganggu.
Obat pilihannya adalah golongan benzodiazepine misalnya lorazepam 3 x 1 mg
sehari, selama 2 minggu. Hati-hati memberikan benzodiazepine pada pasien yang
hostile, karena penggunaan benzodiazepine yang teratur dapat meningkatkan
iritabilitas pasien. Jangan memberikan obat dalam jumlah banyak sekaligus kepada
pasien (resepkan sedikit-sedikit saja) dan pasien harus kontrol dalam beberapa hari.
Pemberian antidepresan biasanya tidak dimulai di ruang gawat darurat,
meskipun biasanya terapi definitif pasien-pasien yang mempunyai kecenderungan
bunuh diri adalah antidepresan. Antidepresan boleh diberikan di instalasi gawat
darurat asal dibuat perjanjian kontrol keesokan harinya secara pasti.10,11,12

20
2.5.2 Terapi Non Farmakologik
Pada pasien yang percobaan bunuh diri terkait atau eksaserbasi oleh stress
psikososisal yang berat maka psikoterapi suportif dapat memberikan pasien untuk
memulihkan strategi kopingnya dan melihat perseptif serta berbagai pilihan selain
bunuh diri. Berikan pertanyaan yang bersifat empatik. Terapis harus menghindar
pertanyaan yang sifatnya interogratif, memojokan, serta menganggap persoalan
pasien adalah hal yang ringan. 4

Pada pasien dengan strategi koping yang maladaptive maka dapat diberikan
intervensi psikoterapi yang berfokus pada pengembangan keterampilan dalam
penyelesaian masalah seperti congnitive behavior therapy. 4

2.6 PENCEGAHAN BUNUH DIRI

Sebagian besar bunuh diri pada psikiatri dapat dicegah. Dimana depresi menjadi
gangguan paling sering yang menyebabkan seseorang untuk melakukan bunuh diri.
Berdasarkan teori Psikodinamika oleh Sigmund Freud, fungsi Ego sangat
berhubungan erat dengan pertimbangan yang melibatkan kemampuan menghadapi
akibat dari suatu tindakan seseorang. Ego dipakai dalam memecahkan masalah
pribadi orang tersebut, khususnya bila terjadi konflik dengan dunia realitas atau bila
terdapat ketidaksesuaian antara keinginan yang tidak sinkron secara internal. Selain
itu juga mempertimbangkan keuntungan dan kerugian dari suatu tindakan, sebelum
akhirnya memutuskan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. 10,11,12
Bunuh diri menjadi tindakan yang diambil pada orang-orang yang mengalami
gangguan kejiwaan seperti depresi akibat Ego tidak cukup kuat menahan desakan
ataupun dorongan-dorongan yang muncul dari dalam dirinya sehingga ia akan
mengembangkan mekanisme pertahanan diri. Mekanisme pertahanan diri ini
sebenarnya upaya ego untuk menyalurkan dorongan dari dalam dirinya dan bisa tetap
berhadapan dengan lingkungan. Tetapi jika mekanisme pertahanan diri ini
dipergunakan secara kaku, terus menerus dan berkepanjangan, maka hal ini dapat

21
menimbulkan perilaku yang tidak adaptif dan tidak realistis seperti keinginan untuk
bunuh diri. 10,11,12
Untuk mencegah terjadinya bunuh diri tersebut, maka penanganannya dengan
memberikan kesempatan kepada orang tersebut untuk mengeluarkan seluruh isi
pikiran atau perasaannya yang muncul di dalam dirinya secara verbal. Dimana Ego
akan lebih bebas dan tidak harus terus berlindung di balik mekanisme pertahanan diri
yang dikembangkannya. Adapun cara yang digunakan oleh Sigmund Freud untuk
terapi sekaligus untuk mengumpulkan data, yaitu: 10,11,12

1. Metode asosiasi bebas (free association), dimana pasien diminta untuk berbicara
tentang segala sesuatu dan apa saja yang terjadi pada dirinya dengan leluasa dan
tanpa perlu berusaha membuat uraian yang logis, teratur dan penuh arti. Untuk
menjaga agar pengaruh gangguan yang datang dari luar tetap minimal, biasanya
pasien disuruh berbaring diatas dipan dalam ruangan yang tenang. Ucapan-ucapan
pasien yang serba tidak teratur ini merupakan pernyataan yang memiliki
hubungan dinamik dan penuh arti dengan pernyataan sebelumnya, sehingga
terbentuklah suatu rangkaian asosiasi yang kontinyu dari awal hingga akhir.
Mungkin banyak ucapan yang menyesatkan maupun hambatan-hambatan, tetapi
pada akhirnya sejarah kejiwaan pasien dapat sampai kepada pendengar (terapis)
dengan mengikuti rangkaian asosiasi melalui lika-liku ungkapan verbal.

2. Analisis tentang mimpi (dream interpretation), dimana pasien diminta secara


spontan teringat tentang mimpi-mimpi mereka dan selanjutnya melakukan
asosiasi bebas tentang mimpi-mimpi tersebut. Mimpi-mimpi yang dilaporkan dan
asosiasi bebas yang mengiringnya merupakan sumber informasi yang kaya
tentang dinamika kepribadian manusia.

Peran Ego yang terpenting adalah sebagai eksekutif organisasi kepribadian


dimana energi digunakan untuk menciptakan integrasi diantara ketiga sistem. Tujuan
dari fungsi integrasi Ego adalah untuk menciptakan keselarasan batin dalam

22
kepribadian antara Ego dengan lingkungan sehingga dapat berjalan lancar dan efektif.
Caranya, Ego harus mengendalikan Id dan Superego agar Ego mampu mengarahkan
kepribadian secara bijak supaya bisa berhubungan dengan dunia luar. Apabila Id
menguasai sebagian besar energi, maka tingkah laku akan menjadi impulsif dan
primitif, bila Superego yang menguasai sebagian besar energi maka fungsi
kepribadian akan didominasi oleh pertimbangan-pertimbangan moralistik dari pada
pertimbangan-pertimbangan realistik. Antikateksis (daya kekang) suara hati bisa
membelenggu Ego dengan nilai moral dan menghalangi tindakan apapun sementara
kateksis (daya dorong) Ego ideal bisa menentukan norma-norma yang sangt tinggi
bagi Ego sehingga pribadi terus menerus dikecewakan dan akhirnya mengalami
perasaan gagal yang membuat depresi. 10,11,12

23
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Bunuh diri atau “suicide” adalah tindakan yang bertujuan membunuh diri sendiri.
Hal ini merupakan emergensi pada bidang psikiatri. Setiap tahunnya di Amerika
angka bunuh diri terus meningkat. Indonesia belum memiliki data epidemiologi
bunuh diri. Faktor risiko yang dapat meningkatkan terjadinya bunuh diri yaitu laki-
laki, usia muda atau tua, berkulit putih, status perkawinan, pekerjaan, kesehatan fisik,
kesehatan psikiatri, dan adanya riwayat percobaan bunuh diri sebelumnya. Seseorang
dapat melakukan bunuh diri dimana terdapat beberapa faktor yang berperan meliputi
faktor sosiologik, psikologikal, biologik, dan genetik. Bunuh diri dapat diprevensi
bila mana klinisi dapat melakukan pendekatan kepada pasien dengan menggali faktor
risiko yang ada. Terapi pada pasien dengan ide, rencana, dan percobaan bunuh diri
perlu adanya beberapa modalitas terapi dan support dari lingkungan pasien. Terapi
meliputi farmakologi yang sesuai dengan penyakit atau gangguan mental yang
diderita pasien dan juga psikoterapi. Selain itu, dukungan dari keluarga, teman,
klinisi, dan motivasi dari pasien sendiri yang dapat menunjang pulihnya pasien.
DAFTAR PUSTAKA

1. Sadock, Benjamin James; Sadock, Virginia A. Kaplan & Sadock's synopsis of


psychiatry: behavioral sciences/clinical psychiatry. Philadelphia: Wolters
Kluwer;2007
2. Jacobson, Alan M.; Jacobson, James L. (2001). Psychiatric secrets.
Philadelphia: Hanley & Belfus.
3. Maris, R.W.; Berman, A.L.; Silverman, M.M.; Bongar, B.M. 2000.
Comprehensive Textbook of Suicidology. Belmont: Guilford Press.
4. Elvira S, Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri. Ed 2. Jakarta. Penerbit FKUI.
2013. P 369-372.
5. Ingram, Timbury, Mowbray. Psikiatri. Jakarta: EGC; 1995
6. Kusuma, Widjaja.1997. Kedaruratan Psikiatri dalam Praktek. Jakarta:
Professional Books
7. Tatarelli, Pompili, Giraldi. 2007. Suicide in Psychiatric Disorder. New York:
Nova Science Publishers.
8. Kevin C, Chen Y. Paul SF. Suicide Methods in Asia: Implications in Suicide
Prevention. NCBI. 2012. Available:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3366604/
9. Kaplan H., Sadock B., Grebb J. Sinopsis Psikiatri: Ilmu Pengetahuan Perilaku
Psikiatri Klinis. Ed 7. Jakarta; Bina Rupa Aksara. 2010
10. Hawari, D.; Psikopatologi Bunuh Diri. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2010.
11. Prayitno, A.; Percobaan Bunuh Diri di Jakarta, Dalam Hubungannya Dengan
Diagnosis Psikiatri dan Faktor Sosiokultural, Disertasi Gelar Doktor FKUI,
1984.
12. Maramis, W.F., Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa, Cetakan kesembilan,
Surabaya: Airlangga University Press, 2005.
13. NHS. Warning signs – Suicide. Available from:
www.nhs.uk/Conditions/Suicide/Pages/ warning-signs.aspx
26

You might also like