You are on page 1of 26

1

BAB 1

PENDAHULUAN

Farmakologi adalah ilmu yang mempelajari pengetahuan obat dengan seluruh


aspeknya, baik sifat kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi dan resorbsi dalam
organisme hidup. Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk
mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit atau gangguan, atau menimbulkan
kondisi tertentu. Misalnya membuat seseorang infertile, atau melumpuhkan otot
rangka selama pembedahan.(1)

Secara umum, obat-obatan anestesi terdiri dari obat pre-medikasi, obat induksi
anestesi, obat anestesi inhalasi, obat anestesi intravena, obat anestesi lokal/regional,
obat pelumpuh otot, analgesia opioid dan analgesia non-opioid.(2,3,4) Analgesik opioid
merupakan obat yang bekerja di reseptor opioid pada system saraf pusat (SSP). Obat
ini diberikan untuk mengatasi nyeri sedang sampai berat sesuai dengan kekuatan dari
nyeri yang dirasakan dan kekuatan dari obat tersebut. Obat yang mengantagonis efek
opioid disebut antagonis opioid. (3,4)
2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Analgetik Opioid
2.1.1 Definisi
Kata opium berasal dari bahasa Yunani yang berarti jus; jus yang berasal dari
bunga opium (getah Papaver somniferum) merupakan sumber dari 20 jenis
alkaloid opium. Analgesik opioid adalah golongan obat penghilang nyeri
alami, semisintesis dan sintesis yang sebagian sifat -sifatnya sama atau
hampir sama dengan opium atau morfin. Opiate merupakan istilah yang
(5)
digunakan untuk menyatakan obat -obatan yang berasal dari opiu m.

Senyawa-senyawa golongan opioid memiliki daya analgetik yang kuat sekali


dengan titik kerja di susunan saraf pusat. Analgetik jenis ini umumnya mengurangi
kesadaran (sifat yang meredakan dan menidurkan) dan menimbulkan perasaan
nyaman (euforia), mengakibatkan toleransi dan habituasi, ketergantungan fisik dan
psikis dengan gejala-gejala abstinensi bila penggunaan dihentikan. Analgetik opioid
sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan
nyeri pasca pembedahan.Contohnya morfin, petidin, dan fentanil.(6)

Telah diidentifikasi 3 jenis peptida yang terdapat dalam otak dan jaringan lain
yang terikat pada reseptor opioid, yakni enkefalin, endorfin dan dinorfln. Peptida
opioid endogen tersebut diperkirakan berperan pada transmisi saraf, meskipun
mekanisme kerja sebagai analgesik belum jelas diketahui. Tiap jenis berasal dari
prekursor polipeptida yang berbeda secara genetik dan memperlihatkan distribusi
anatomis yang khas. Prekursor ini disebut proenkelalin A, pro-opiomelanokortin
(POMC) dan prodinorlin (proenkelalin B). Masing-masing prekursor mengandung
sejumlah peptida yang aktif secara biologik, baik sebagai opioid maupun nonopioid
yang telah dideteksi dalam darah dan berbagai jaringan. (6)
3

Opioid berinteraksi dengan reseptor opioid untuk menimbulkan efeknya dan


potensi analgesik tergantung pada afinitasnya terhadap reseptor opioid spesifik. Telah
terbukti terdapat berbagai jenis reseptor opioid di SSP dan adanya berbagai jenis
reseptor tersebut dapat menjelaskan adanya berbagai efek opioid. Reseptor µ (mu)
diperkirakan memperantarai efek analgetik mirip morfin, euforia, depresi napas,
miosis, berkurangnya motilitas saluran cerna. Reseptor k (kappa) diduga
memperantarai analgesia seperti yang ditimbulkan pentazosin, sedasi serta miosis dan
depresi napas yang tidak sekuat agonis µ, reseptor ơ (sigma) diperkirakan
berhubungan dengan elek psikotomimetik yang ditimbulkan oleh pentazosin dan lain
agonis-antagonis. Selain itu di susunan saraf pusat juga didapatkan reseptor ð (delta)
yang selektif terhadap enkefalin dan reseptor ɛ (epsilon) yang sangat selektif terhadap
beta-endorfin tetapi tidak mempunyai afinitas terhadap enkelalin. (6)
Terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa reseptor ð (delta) memegang
peranan dalam menimbulkan depresi pernapasan yang ditimbulkan opioid. Dari
penelitian pada tikus didapatkan bahwa reseptor ð dihubungkan dengan berkurangnya
frekuensi napas, sedangkan reseptor µ dihubungkan dengan berkurangnya tidal
volume. Reseptor µ ada 2 jenis yaitu reseptor µ1, yang hanya didapatkan di SSP dan
dihubungkan dengan analgesia supraspinal, penglepasan prolaktin, hipotermia dan
katalepsi sedangkan reseptor µ2 dihubungkan dengan penurunan tidal volume dan
bradikardia. Analgesik yang berperan pada tingkat spinal diduga berinteraksi dengan
reseptor ð. (6)
Meskipun dari penelitian didapatkan bahwa reseptor yang berbeda
memperantarai elek yang berbeda, masih diperlukan penelitian lebih lanjut untuk
menentukan peran reseptor secara pasti. Suatu opioid mungkin dapat berinteraksi
dengan semua jenis reseptor akan tetapi dengan afinitas yang berbeda, dan dapat
bekerja sebagai agonis, agonis parsial atau antagonis terhadap masing-masing
reseptor. (6)
Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat yang tergolong
opioid dibagi menjadi: (6)
4

1. Agonis opioid, yaitu yang bekerja sebagai agonis terutama pada reseptor µ,
dan mungkin pada resptor k pada system saraf (contoh : morfin):

2. Antagonis Opioid, yaitu yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua
reseptor (contoh: nalokson):

3. Opioid dengan kerja campur: a. agonis-antagonis opioid, yaitu yang bekerja


sebagai agonis pada beberapa reseptor dan sebagai antagonis atau agonis lemah pada
reseptor lain (contoh: nalorfin, peniazosin) dan b. Agonis parsial: bila obat memiliki
efikasi yang rendah dan memiliki sifat-sifat (contoh: buprenorfin).

Berdasarkan struktur kimia analgetik opioid dibedakan menjadi 3 kelompok,


yaitu: (6)
1) Alkaloid opium (natural) : morfin, kodein, pavaperin, dan tebain

2) Semisintetik : heroin, dihidromorfin/morfinon, derivate tebain

3) Sintetik : petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil,

pentatozin, fenazosin dan siklasozin, lavorvanol, metadon, tramadol

2.1.2 Obat-obatan Golongan Analgetik Opioid

1. Morfin dan Alkaloid Opium(7,8)


Opium atau candu adalah getah Papaver somniferum L yang telah
dikeringkan. Alkaloid asal opium secara kimia dibagi dalam dua
golongan: Golongan fenantren (mis: Morfin dan Kodein) dan Golongan
benizilisonkinolin (mis: Noskapin dan Papaverin).
a. Farmakodinamik
Efek morfin terhadap SSP berupa analgesia dan narkosis. Morfin
dosis kecil (5-10 mg) menimbulkan euforia pada pasien yang sedang
menderita nyeri, sedih dan gelisah dan pada orang normal seringkali
menimbulkan disforia berupa perasaan kuatir atau takut disertai mual
5

dan muntah. Opioid menimbulkan analgesia dengan cara berikatan


dengan reseptor opioid yang terutama didapatkan di SSP dan medula
spinalis yang berperan pada transmisi dan modulasi nyeri. Beberapa
individu, terutama wanita dapat mengalami eksitasi oleh morfin,
misalnya mual dan muntah yang mendahului depresi, tetapi delirium
dan konvulsi jarang timbul. Kodein tidak menyebabkan depresi
progresif bila dosisnya dibesarkan, tetapi justru menyebabkan eksitasi.
Morfin dan kebanyakan agonis opioid yang bekerja pada reseptor µ
dan κ menyebabkan miosis. Miosis ditimbulkan oleh perangsangan
pada segmen otonom inti saraf okulmotor. Miosis ini dapat dilawan
oleh atropin dan skopolamin. Pada dosis kecil morfin sudah
menimbulkan depresi napas tanpa menyebabkan tidur atau kehilangan
kesadaran. Dosis toksik dapat menyebabkan frekuensi napas 3-4
kali/menit dan kematian pada keracunan morfin hampir selalu
disebabkan oleh depresi napas.
Morfin juga berefek di beberapa organ saluran cerna. Di lambung,
morfin menghambat sekresi HCl, menyebabkan pergerakan lambung
berkurang, tonus bagian antrum meninggi dan motilitasnya berkurang
sedangkan sfingter pilorus berkontraksi, akibatnya pergerakan isi
lambung ke duodenum diperlambat. Di usus halus, morfin mengurangi
sekresi empedu dan pankreas, dan memperlambat pencernaan makanan
di usus halus. Di usus besar, morfin mengurangi atau menghilangkan
gerakan propulsi usus besar, meninggikan tonus dan menyebabkan
spasme usus besar, akibatnya penerusan isi kolon diperlambat dan
tinja menjadi lebih keras.
Pada sistem kardiovaskular, pemberian morfin dosis terapi tidak
mempengaruhi tekanan darah, frekuensi maupun irama denyut jantung.
Perubahan baru akan terjadi pada pemberian toksik. Tekanan darah turun
akibat hipoksia pada stadium akhir intoksikasi morfin. Morfin dan
6

opioid lain menurunkan kemampuan sistem kardiovaskular untuk bereaksi


terhadap perubahan sikap.
Pada otot polos, morfin menimbulkan peninggian tonus, amplitudo
serta kontraksi ureter dan kandung kemih. Morfin merendahkan tonus
uterus pada masa haid dan menyebabkan uterus lebih tahan terhadap
regangan. Mungkin atas dasar ini morfin mengurangi nyeri dismenore.
Pada kulit, dosis terapi morfin menyebabkan vasodilatasi kulit,
sehingga kulit tampak merah dan terasa panas.
Dalam proses metabolisme, morfin menyebabkan suhu badan
turun akibat aktivitas otot yang menurun, vasodilatasi perifer dan
penghambatan mekanisme neural di SSP. Kecepatan metabolisme
dikurangi, hiperglikemia timbul tidak tetap akibat pelepasan adrenalin
yang menyebabkan glikogenolisis. Morfin membuat volume urin
berkurang akibat merendahnya laju filtrasi glomerulus, alir darah
ginjal, dan pelepasan ADH.
b. Farmakokinetik
Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat diabsorpsi
melalui kulit luka. Morfin juga dapat menembus mukosa, dan juga
dapat diabsorpsi usus, tetapi efek analgetik setelah pemberian oral jauh
lebih rendah dibanding secara parenteral.
Setelah pemberian dosis tunggal, sebagian morfin mengalami
konyugasi dengan asam glukoronat di hepar, sebagian dikeluarkan
dalam bentuk bebas dan 10% tidak diketahui nasibnya.
Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin
bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin yang terkonyugasi
ditemukan dalam empedu, sebagian yang sangat kecil dikeluarkan
bersama cairan lambung.
Kodein mengalami demetilasi menjadi morfin dan CO2, yang
kemudian dikeluarkan oleh paru-paru. Sebagian kodein mengalami N-
7

demetilasi. Urin mengandung bentuk bebas dan bentuk konyugasi dari


kodein, norkodein dan morfin.
c. Indikasi
Morfin dan opioid lain terutama diindikasikan untuk meredakan
atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan
analgesik non-opioid. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang
menyertai infark miokard, neoplasma, kolik renal, oklusio akut
vaskular perifer, pulmonal, perikarditis akut, dan nyeri akibat trauma
misalnya luka bakar dan pascabedah.
Penggunaan analgesik opioid dewasa ini telah banyak digunakan
untuk menghambat refleks batuk yang tidak produktif dan hanya
iritatif sehingga menyebabkan pasien tidak dapat beristirahat dan
mungkin sekali disertai dengan nyeri.
Terhadap edema paru akut, morfin IV dapat dengan jelas
mengurangi atau menghilangkan sesak napas akibat edema pulmonal
yang menyertai gagal jantung kiri.
Alkaloid morfin berguna untuk menghentikan diare berdasarkan
efek langsung terhadap otot polos usus. Pada pengobatan diare yang
disebabkan oleh intoksikasi makanan atau intoksikasi akut obat,
pemberian morfin harus didahului oleh pemberian garam katartik
untuk mengeluarkan penyebab.
d. Efek Samping
Morfin dapat menyebabkan mual dan muntah terutama pada
wanita berdasarkan idiosinkrasi. Berdasarkan reaksi alergik dapat
timbul gejala seperti urtikaria, eksantem, dermatitis kontak, pruritus
dan bersin.
Intoksikasi akut morfin atau opioid lain biasanya terjadi akibat
percobaan bunuh diri atau pada takar lajak. Pasien akan tidur, stupor
atau koma jika intoksikasi cukup berat.
8

e. Toleransi
Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul
terhadap efek eksitasi, miosis dan efek pada usus. Toleransi silang
dapat timbul antara morfin, dihidromorfinon, metopon, kodein dan heroin.
Toleransi timbul setelah 2-3 minggu.
Timbul toleransi terhadap efek analgesik, tetapi tidak terhadap
efek konstipasi. Potensi penyalahgunaan tinggi. Penghentian
menyebabkan insomnia, nyeri, peningkatan aktivitas saluran cerna,
kegelisahan.
f. Interaksi Obat
Interaksi morfin dapat meningkatkan kerja depresan SSP lain.
Selain itu, meningkatkan depresi pernapasan yang diinduksi oleh loker
neuromuskular. Dan morfin bersifat aditif dengan obat yang
menyebabkan hipotensi.
g. Sediaan dan Posologi
Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam

bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk

menghilangkan atau mengurangi nyeri sedang adalah 0,1-0,2 mg/ kg BB.

Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai

yang diperlukan.

Dosis : 10-20mg. Diberikan 20 menit sebelum anestesi agar peak of

respiratory depression terlampaui sebelum induksi.

2. Meperidin dan Derivat Fenilpiperidin lain(7,9–12)


Farmakodinamik
Pada SSP, meperidin menimbulkan analgesia, sedasi, euforia,
depresi napas dan efek sentral lain. Efek analgetik meperidin mulai
9

timbul 15 menit setelah PO dan mencapai puncak dalam 2 jam.


Pemberian meperidin kepada pasien yang menderita nyeri atau cemas,
akan menimbulkan euforia. Di saluran napas, meperidin dalam dosis
ekuianalgetik menimbulkan depresi napas sama kuat dengan morfin.
Pemberian meperidin secara sistemik menimbulkan anestesia kornea,
dengan akibat menghilangnya refleks kornea.
Pemberian dosis terapi meperidin pada pasien yang berbaring tidak
mempengaruhi sistem kardiovaskular, tidak menghambat kontraksi
miokard dan tidak mengubah gambaran EKG.
Efek spasmogenik meperidin terhadap lambung dan usus kecil
lebih lemah daripada morfin. Meperidin menimbulkan spasme saluran
empedu.
Meperidin dapat menghilangkan bronkospasme oleh histamin dan
metakolin, dapat menyebabkan peristaltik ureter berkurang, dan sedikit
merangsang uterus dewasa yang tidak hamil.
a. Farmakokinetik
Absorpsi meperidin setelah cara pemberian apapun berlangsung
baik, akan tetapi kecepatan absorpsi mungkin tidak teratur setelah
suntikan IM. Setelah PO, sekitar 50% obat mengalami metabolisme
lintas pertama dan kadar maks dalam plasma tercapai dalam 1-2 jam.
Metabolisme meperidin terutama berlangsung di hati. Pada
manusia, meperidin mengalami hidrolisis menjadi asam meperidinat
yang kemudian sebagian mengalami konyugasi.
Meperidin bentuk utuh sangat sedikit ditemukan dalam urin.
Sebanyak 1/3 dari satu dosis meperidin ditemukan dalam urin dalam
bentuk derivat N-demetilasi.
b. Indikasi
Meperidin hanya digunakan untuk menimbulkan analgesia. Pada
beberapa keadaan klinis, meperidin diindikasikan atas dasar masa
10

kerjanya yang lebih pendek daripada morfin. Misalnya untuk tindakan


diagnostik.
Meperidin digunakan juga untuk menimbulkan analgesia obstetrik
dan sebagai obat praanestetik. Untuk menimbulkan analgesia obstetrik
dibandingkan dengan morfin, meperidin kurang menyebabkan depresi
napas pada janin.
c. Efek Samping
Efek Samping meperidin dan derivat fenilpiperidin yang ringan
berupa pusing, berkeringat, euforia, mulut kering, mual, muntah,
perasaan lemah, gangguan penglihatan, palpitasi, disforia, sinkop dan
sedasi.
d. Kontraindikasi
Pada pasien penyakit hati dan orang tua dosis obat harus
dikurangi karena terjadinya perubahan pada disposisi obat. Selain itu
dosis meperidin perlu dikurangi bila diberikan bersama antipsikosis,
hipnotik sedatif dan obat-obat lain penekan SSP. Pada pasien yang
sedang mendapat MAO inhibitor pemberian meperidin dapat
menimbulkan kegelisahan, gejala eksitasi dan demam.

e. Toleransi
Toleransi terhadap efek depresi meperidin timbul lebih lambat
dibanding dengan morfin. Timbulnya toleransi lambat bila interval
pemberian lebih dari 3-4 jam. Toleransi tidak terjadi terhadap efek
stimulasi dan efek mirip atropin.

f. Interaksi Obat
Pada pasien yang sedang mendapat MAO inhibitor, pemberian
meperidin dapat menyebabkan eksitasi SSP berat (delirium, hiperpireksia,
kejang), depresi pernapasan, atau hipotensi.
11

g. Dosis dan sediaan


i. Meperidin ( Petidin ): Sediaan yang tersedia adalah tablet 50 dan
100 mg ; suntikan 10 mg/ml, 25 mg/ml, 50 mg/ml, 75 mg/ml, 100
mg/ml. ; larutan oral 50 mg/ml. Sebagian besar pasien tertolong
dengan dosis parenteral 100 mg. Dosis untuk bayi dan anak ; 1-1,8
mg/kg BB.
- Petidin dapat diberikan IV atau IM, mula kerja 15-30 menit
berakhir setelah 2 jam
- Premedikasi : 25-100 mg
- Analgesic pasca operasi: 50-100 mg secara IM/PO
ii. Sedangkan untuk obat Fentanyl yang merupakan opioid sintetik dari
kelompok Fenilpiperidin mempunyai:
- Dosis anestesi : 25-100µg (0.7-2 µg/kgBB)
- Induksi : 5- 40µg/kgBB secara IV

3. Metadon dan Opioid Lainnya


3.1 Metadon(7)
a. Farmakodinamik
Di SSP, efek analgetik 7,5-10 mg metadon sama kuat dengan
efek 10 mg morfin. Setelah pemberian metadon beulang kali
timbul efek sedasi yang jelas, mungkin karena adanya akumulasi.
Dosis ekuianalgetik menimbulkan depresi napas yang sama kuat
seperti morfin dan dapat bertahan lebih dari 24 jam setelah dosis
tunggal. Metadon juga berefek antitusif, menimbulkan
hiperglikemia, hipotemia, dan pelepasan ADH.
Di otot polos, metadon menimbulkan relaksasi sediaan usus
dan menghambat efek spasmogenik asetilkolin atau histamin.
Metadon juga menimbulkan spasme saluran empedu pada manusia
dan hewan coba. Ureter mengalami relaksasi, mungkin karena
12

telah terjadi antidiuresis. Pecandu metadon timbul toleransi efek


miosis yang cukup kuat.
Pada sistem kardiovaskular, metadon menyebabkan vasodilatasi
perifer sehingga dapat menimbulkan hipotensi ortostatik.
Pemberian metadon tidak mengubah gambaran EKG tetapi
kadang-kadang timbul sinus bradikardia. Obat ini merendahkan
kepekaan tubuh terhadap CO2 sehingga timbul retensi CO2 yang
dapat menimbulkan vasodilatasi serebral dan kenaikan tekanan
cairan serebrospinal.
b. Farmakokinetik
Setelah suntikan metadon SC ditemukan kadar dalam plasma
yang tinggi selama 10 menit pertama. Sekitar 90% metadon
terikat protein plasma.
Metadon diabsorbsi baik oleh usus dan dapat ditemukan
dalam plasma darah setelah 30 menit PO; kadar puncak dicapai
setelah 4 jam.
Metadon cepat keluar dari darah dan menumpuk dalam paru,
hati, ginjal, dan limpa; hanya sebagian kecil yang masuk otak.
Kadar maksimal metadon dalam otak dicapai dalam 1-2 jam
setelah pemberian parenteral.
Biotransformasi metadon terutama berlangsung di hati. Salah
satu reaksi penting ialah dengan cara N-demetilasi. Sebagian
besar metadon yang diberikan akan ditemukan dalam urin dan
tinja sebagai hasil biotransformasi yaitu pirolidin dan pirolin.
Kurang dari 10% mengalami ekskresi bersama empedu.
c. Indikasi
Jenis nyeri yang dapat dipengaruhi metadon sama dengan
jenis nyeri yang dapat dipengaruhi morfin, tetapi ada yang
berpendapat bahwa metadon sedikit lebih kuat daripada morfin.
13

Efek analgetik mulai timbul 10-20 menit setelah pemberian


parenteral atau 30-60 menit setelah PO. Obat ini menyebabkan
depresi napas pada janin sehingga tidak dianjurkan sebagai
analgesik pada persalinan.
Metadon merupakan antitusif yang baik. Efek antitusif 1,5-2
mg/oral sesuai dengan 15-20 mg kodein, tetapi kemungkinan
timbulkan adiksi pada metadon jauh lebih besar daripada kodein.
d. Efek Samping
Metadon menyebabkan efek samping berupa perasaan ringan,
pusing, kantuk, fingsi mental terganggu, berkeringat, pruritus,
mual, dan muntah. Efek samping ini lebih sering timbul pada
pemberian oral daripada pemberian parenteral dan lebih sering timbul
pada pasien berobat jalan. Efek samping yang jarang timbul ialah
delirium, halusinasi selintas dan urtikaria hemoragik. Bahaya utama
pada takar lajak metadon ialah berkurangnya ventilasi pulmonal.
Terapi intoksikasi akut metadon sama dengan terapi intoksikasi akut
morfin.
e. Toleransi
Toleransi metadon dapat timbul terhadap efek analgetik, mual,
anoreksia, miotik, sedasi, depresi napas dan efek kardiovaskular, tetapi
tidak timbul terhadap konstipasi. Toleransi ini lebih lambat daripada
toleransi terhadap morfin.
Timbulnya ketergantungan fisik setelah pemberian metadon secara
kronik dapat dibuktikan dengan cara menghentikan obat atau dengan
memberikan nalorfin. Kemungkinan timbulnya adiksi ini lebih kecil
daripada bahaya adiksi morfin.
14

f. Sediaan dan posologi


Metadon tersedia dalam bentuk tablet 5 mg dan 10 mg serta dalam
ampul atau vial dengan kadar 10 mg/mL. Dosis analgetik oral untuk
dewasa berkisar antara
2.5-15 mg, sedangkan untuk parenteral ialah 2.5-10 mg.
3.2 Propoksifen
a. Farmakodinamik
Propoksifen berefek analgesik karena kerja sentralnya.
Propoksifen terutama terikat pada reseptor µ meskipun kurang
selektif dibandingkan morfin. Propoksifen 65-100 mg secara oral
memberikan efek yang sama kuat dengan 65 mg kodein, sedangkan
130 mg propoksifen parenteral menimbulkan analgesia yang sama
kuat dengan 50 mg meperidin parenteral. Tetapi propoksifen
menimbulkan perasaan panas dan iritasi di tempat suntikan.Kombinasi
propoksifen dengan asetosal berefek analgesik yang jauh lebih baik
daripada jika masing-masing obat diberikan tersendiri.Obat ini tidak
berefek antitusif.

b. Farmakokinetik
Propoksifen diabsorpsi setelah pemberian oral maupun
parenteral. Efektivitas jauh berkurang jika propoksifen diberikan PO.
Biotransformasi propoksifen dengan cara N-demetilasi yang terjadi
dalam hati. Dimetabolisme separuh pada lintasan pertama. Waktu
paruh 15 jam.

c. Indikasi
Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan
hingga sedang, yang tidak cukup baik diredakan oleh asetosal.
Kombinasi propoksifen bersama asetosal berefek sama kuat seperti
15

kombinasi kodein bersama asetosal. Dosis propoksifen untuk orang


dewasa biasanya 4 kali 65 mg sehari, dengan atau tanpa asetosal.

d. Efek Samping
Pada dosis terapi propoksifen tidak banyak mempengaruhi
sistem kardiovaskular. Pemberian 130 mg propoksifen PO pada
orang dewasa sehat tidak banyak mengubah reaksi terhadap CO2.
Dengan dosis ekuianalgetik insiden efek samping propoksifen
seperti mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut dan kantuk kurang
lebih sama dengan kodein. Dosis toksik biasanya menimbulkan
depresi SSP dan depresi napas, tetapi jika dosis lebih besar lagi
timbul konvulsi.

e. Adiksi
Timbulnya adiksi terhadap propoksifen lebih kecil
kemungkinannya daripada terhadap kodein. Penghentian tiba-tiba
pada terapi dengan propoksifen akan menimbulkan gejala putus
obat ringan. Dosis oral propoksifen yang besar (300-600 mg)
menimbulkan efek subyektif yang menyenangkan, tetapi tidak
serupa dengan efek morfin. Obat ini cukup iritatif pada
pemberian SC, sehingga tidak digunakan secara parenteral.

3.3 Tramadol(7,13)
a. Farmakodinamik
Tramadol efektif untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi
untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah. Untuk nyeri
persalinan, tramadol sama efektif dengan meperidin dan kurang
menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus.
16

b. Farmakokinetik
Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara oral
68% dan 100% bila digunakan secara IM. Tramadol mengalami
metabolisme di hati dan diekskresi oleh ginjal, dengan masa
paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan 7,5 jam untuk
metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam setelah
penggunaan secara oral, dan mencapai puncak dalam 2-3 jam.
Lama analgesia sekitar 6 jam. DM per hari yang dianjurkan 400
mg.

c. Efek Samping
Efek samping yang umum mual, muntah, pusing, mulut
kering, sedasi, dan sakit kepala. Depresi pernapasan nampaknya
kurang dibandingkan dengan dosis ekuianalgetik morfin, dan
derajat konstipasinya kurang daripada dosis ekuivalen kodein.
d. Dosis
Oral, 50-100 mg tidak boleh lebih sering dari 4 jam; total
pemakaian lebih dari 400 mg per hari tidak selalu dibutuhkan. Anak-
anak tidak direkomendasikan.Intramuskular atau intravena (lebih dari
2-3 menit) atau infus intravena, 50-100 mg setiap 4-6 jam.
Nyeri pasca bedah, dosis awal 100 mg kemudian 50 mg tiap 10-20
menit, jika diperlukan selama 1 jam pertama hingga total maksimum
250 mg (termasuk dosis awal) pada 1 jam pertama, kemudian 50-100
mg tiap 4-6 jam, maksimum 600 mg per hari. Anak-anak tidak
direkomendasikan.

2.2 Antagonis Opioid dan Agonis Parsial(7)

1. Antagonis Opioid
17

Obat-obat yang tergolong antagonis opioid umumnya tidak


menimbulkan banyak efek kecuali bila sebelumnya telah ada efek agonis
opioid atau bila opioid endogen sedang aktif misalnya pada keadaan stress
atau syok. Nalokson merupakan prototip antagonis opioid yang relatif murni,
demikian pula naltrekson yang dapat diberikan PO dan memperlihatkan masa
kerja yang lebih lama daripada nalokson. Dalam dosis besar keduanya
memperlihatkan beberapa efek agonis, tetapi efek ini tidak berarti secara klinis.
Nalorfin, levalorfan, siklazosin dan sejenisnya di samping
memperlihatkan efek antagonis, menimbulkan efek otomik, endokrin, analgetik
dan depresi napas mirip efek yang ditimbulkan oleh morfin. Obat-obat ini
merupakan antagonis kompetitif reseptor µ, tetapi juga memperlihatkan efek
agonis pada reseptor-reseptor lain.
a. Farmakodinamik
Pada berbagai eksperimen diperlihatkan bahwa Nalokson
menurunkan ambang nyeri pada mereka yang biasanya ambang nyerinya
tinggi; mengantagonis efek analgetik plasebo; mengantagonis analgesia
yang terjadi akibat perangsangan lewat jarum akupuntur. Namun, masih
perlu pembuktian lebih lanjut efek nalokson ini sebab banyak faktor
fisiologi yang berperan dalam analgesia di atas. Dugaan yang sama juga
timbul tentang efek nalokson terhadap hipotensi pada hewan dalam
keadaan syok, dan efeknya dalam mencegah overating dan obesitas pada
tikus-tikus yang diberi stres berat.
Pemberian 10-15 mg nalorfin atau 10 mg morfin menimbulkan
analgesia sama kuat pada pasien dengan nyeri pascabedah. Pada beberapa
pasien timbul reaksi yang tidak menyenangkan, misalnya rasa cemas,
perasaan yang aneh, sampai timbulnya day dreams yang mengganggu, atau
lebih berat lagi timbul halusinasi, paling sering halusinasi visual.
Nalorfin dan levalorfan juga menimbulkan depresi napas yang diduga
karena kerjanya pada reseptor κ. Berbeda dengan morfin, depresi napas
18

tidak bertambah dengan bertambahnya dosis.Kedua obat ini, terutama


levalorfan memperberat depresi napas oleh morfin dosis kecil, tetapi
mengantagonis depresi napas akibat morfin dosis besar.
Frekuensi napas meningkat dalam 1-2 menit setelah pemberian
nalokson pada pasien dengan depresi napas akibat agonis opioid; efek
sedatif dan efek terhadap tekanan darah juga segera dihilangkan. Pada
dosis besar, nalokson juga menyebabkan kebalikan efek dari efek
psikotomimetik dan disforia akibat agonis-antagonis.
Terhadap individu yang memperlihatkan ketergantungan fisik terhadap
morfin, dosis kecil nalokson SC akan menyebabkan gejala putus obat yang
dapat berat. Gejala ini mirip dengan gejala akibat penghentian tiba-tiba
pemberian morfin, hanya timbulnya beberapa menit setelah penyuntikan
terakhir setelah 2 jam. Berat dan lama berlangsungnya sindrom ini
tergantung dari dosis antagonis dan beratnya ketergantungan. Hal yang
sama terjadi pada orang dengan ketergantungan fisik terhadap agonis
parsial, tetapi diperlukan dosis lebih besar.
b. Farmakokinetik
Nalokson hanya dapat diberikan parenteral dan efeknya segera terlihat
setelah penyuntikan IV.Secara oral nalokson juga diserap, tetapi karena
hampir seluruhnya mengalami metabolisme lintas pertama maka harus
diberikan parenteral.
Obat ini dimetabolisme di hati, terutama dengan glukoronidasi.Waktu
paruhnya kira-kira 1 jam dengan masa kerja 1-4 jam. Naltrekson efektif
setelah pemberian PO, kadar puncaknya dalam plasma dicapai dalam
waktu 1-2 jam, waktu paruhnya sekitar 3 jam dan masa kerjanya mendekati
24 jam. Metabolitnya, 6-naltreksol, merupakan antagonis opioid yang
lemah dan masa kerjanya panjang.
c. Indikasi
19

Antagonis opioid diindikasikan untuk mengatasi depresi napas akibat


takar lajak opioid, pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang mendapat
opioid sewaktu persalinan; atau akibat tentamen suicide dengan suatu
opioid; dalam hal ini nalokson merupakan obat terpilih. Obat ini juga
digunakan untuk mendiagnosis dan mengobati ketergantungan fisik
terhadap opioid.

d. Toleransi
Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh sifat
agonis, jadi hanya timbul pada efek subyektif, sedatif dan psikotomimetik
dari nalorfin.Penghentian tiba-tiba pemberian nalorfin kronis dosis tinggi
menyebabkan gejala putus obat yang khas tetapi lebih ringan daripada
gejala putus obat morfin.
Nalokson, nalorfin, dan levalorfan kecil kemungkinannya untuk
disalahgunakan sebab tidak menyebabkan ketergantungan fisik; tidak
menyokong ketergantungan fisik morfin; dan dari segi subyektif dianggap
sebagai obat yang kurang menyenangkan bagi para pecandu.
e. Dosis dan posologi
Nalorfin HCL tersedia untuk penggunaan parenteral, maing-masing
mengandung 0.2 mg nalorfin/mL untuk anak dan 5 mg nalorfin/mL untuk
orang dewasa.

2. Agonis Parsial
2.1 Pentazosin
a. Farmakodinamik
Efeknya terhadap SSP mirip dengan efek opioid yaitu
menyebabkan analgesia, sedasi dan depresi napas. Analgesia yang
timbul agaknya karena efeknya pada reseptor κ, karena sifatnya
berbeda dengan analgesia akibat morfin. Analgesia timbul lebih
20

dini dan hilang lebih cepat daripada morfin. Pada dosis 60-90 mg obat
ini menyebabkan disforia dan efek psikotomimetik mirip nalorfin yang
hanya dapat di antagonis oleh nalokson. Diduga timbulnya disforia
dan efek psikotomimetik karena kerjanya pada reseptor δ.
Efeknya pada saluran cerna mirip efek opioid, sedangkan pada
uterus efeknya mirip efek meperidin. Respons kardiovaskular
terhadap pentazosin berbeda dengan respons terhadap opioid morfin,
yaitu dalam dosis tinggi menyebabkan peningkatan tekanan darah dan
frekuensi denyut jantung.
Gejala putus obat yang terjadi diantaranya mirip gejala putus obat
morfin. Penyuntikan berulang pada tempat yang sama dapat
menyebabkan abses steril, ulserasi dan jaringan perut.
b. Farmakokinetik
Pentazosin diserap baik melalui cara pemberian apa saja, tetapi
karena mengalami metabolisme lintas pertama, bioavailabilitas PO
cukup bervariasi. Obat ini dimetabolisme secara intensif di hati untuk
kemudian diekskresi sebagai metabolit melalui urin.Pada pasien sirosis
hepatis klirensnya sangat berkurang.
c. Indikasi
Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang, tetapi
kurang efektif dibandingkan morfin untuk nyeri berat.Obat ini juga
digunakan untuk medikasi praanestesik.Bila digunakan untuk
analgesia obstetrik, pentazosin dapat mengakibatkan depresi napas
yang sebanding meperidin.

d. Toleransi
Toleransi dapat timbul terhadap efek analgetik dan efek subyektif
pada pemberian berulang.Ketergantungan fisik dan psikis dapat pula
terjadi, tetapi kemungkinannya jauh lebih kecil.
21

e. Sediaan dan posologi

Dosis yang dianjurkan pada orang dewasa adalah 30 mg IV/IM


yang dapat diulang tiap 3-4 jam bila perlu dengan dosis total 360 mg/
hari.Setiap kali penyuntikan dianjurkan dosis tidak melebihi 30 mg IV
atau 60 mg IM.Sedapat mungkin pemberian SK dihindarkan.Untuk
analgesia obstetric diberikan dosis tunggal 20 atau 30 mg secara IM.
Bila kontraksi uterus menjadi teratur, dapat diberikan 30 mg iv dan
dapat diulangi 20 atau 30 mg secara IV dan dapat diulang 2 atau 3 kali
dengan interval 2-3 jam bila diperlukan. Untuk penggunaan ini
tersedia larutan 30 mg/mL dalam vial 1, 1.5, 2 dan 10 mL.

2.2 Butorfanol
a. Farmakodinamik
Pada pasien pascabedah, suntikan 2-3 mg butorfanol
menimbulkan analgesia dan depresi napas menyerupai efek suntikan
10 mg morfin atau 80 mg meperidin.Dosis analgetik butorfanol juga
meningkatkan tekanan arteri pulmonal dan kerja jantung.
b. Farmakokinetik
Butorfanol mirip dengan morfin dalam hal mula kerja, waktu
tercapainya kadar puncak dan masa kerja, sedangkan waktu
paruhnya kira-kira 3 jam.

c. Indikasi
Butorfanol efektif untuk mengatasi nyeri akut pascabedah
sebanding dengan morfin, meperidin atau pentazosin. Butorfanol
efektif untuk medikasi praanestetik.
Obat ini tidak dianjurkan digunakan untuk nyeri yang
menyertai infark miokard akut. Dosis butorfanol yang dianjurkan
22

untuk dewasa adalah dosis 1-4 mg IM atau 0,5-2 mg IV dan dapat


diulang 3-4 jam.
d. Efek Samping
Efek samping utama butorfanol adalah kantuk, rasa lemah,
berkeringat, rasa mengambang dan mual. Sedangkan efek
psikotomimetik lebih kecil dibanding pentazosin pada dosis
ekuianalgetik. Kadang-kadang terjadi gangguan kardiovaskular
yaitu palpitasi dan gangguan kulit rash.

2.3 Buprenorfin
a. Farmakodinamik
Buprenorfin menimbulkan analgesia dan efek lain pada SSP
seperti morfin. Buprenorfin dapat mengantagonis depresi pernapasan
yang ditimbulkan oleh dosis anestesik fentanil sama baiknya
dengan nalokson.
Depresi pernapasan dan efek lain yang ditimbulkan
buprenorfin dapat dicegah oleh penggunaan nalokson sebelumnya,
akan tetapi nalokson dosis tinggipun sulit untuk mengatasi efek
yang sudah ditimbulkan oleh buprenorfin.Buprenorfin dapat
menimbulkan ketergantungan fisik dengan gejala dan tanda-tanda
putus obat seperti morfin, tetapi tidak terlalu berat.
b. Farmakokinetik
Buprenorfin diabsorpsi relatif baik. Buprenorfin 0,4-0,8 mg
sublingual menimbulkan analgesia yang baik pada pasien
pascabedah. Kadar puncak alam darah dicapai dalam 5 menit
setelah suntikan IM dan dalam 1-2 jam setelah penggunaan secara
oral atau sublingual. Masa paruh dalam plasma sekitar 3 jam.

c. Indikasi
23

Selain sebagai analgesik, buprenorfin juga bermanfaat untuk


terapi penunjang pasien ketergantungan opioid, dan pengobatan
adiksi heroin.

d. Dosis

Dosis untuk menimbulkan analgesia 0.3 mg IM atau IV tiap 6 jam,


atau 0.4-0.8 mg sublingual. Untuk terapi penunjang pasien
ketergantungan opioid dosis 6-8 mg kurang lebih sama dengan 60 mg
metadon.
24

BAB 3

KESIMPULAN

Analgesik adalah suatu senyawa atau obat yang dipergunakan untuk


mengurangi rasa sakit atau nyeri. Analgesik opioid merupakan obat yang bekerja di
reseptor opioid pada system saraf pusat (SSP). Obat ini diberikan untuk mengatasi
nyeri sedang sampai berat sesuai dengan kekuatan dari nyeri yang dirasakan dan
kekuatan dari obat tersebut.

Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat yang tergolong
opioid dibagi menjadi 3 yaitu: Agonis opioid yaitu yang bekerja sebagai agonis
terutama pada reseptor µ, dan mungkin pada resptor k pada system saraf, antagonis
opioid, yaitu yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan opioid
dengan kerja campur terdiri atas agonis-antagonis opioid dan agonis parsial.
25

DAFTAR PUSTAKA

1. Indijah Sujati Woro, Purnama Fajri. Farmakologi. Modul Bahan Ajar Cetak
Farmasi Cetak Pertama. Penerbit Pusdik SDM Kesehatan Badan Pengembangan
dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. 2016. Jakarta Selatan;
p.15.
2. Mangku, G., Senapathi, T.G.A. 2010.Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta:
Indeks
3. Katzung G, Bertram. 2007. Basic and Clinical Pharmacology 10th Ed. 2007.
United states of America: McGraw-Hill Companies.
4. Latief, Said A, dkk. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta. FKUI
5. Staf Pengajar Departemen Farmakologi Farkultas Kedokteras Universitas
Sriwijaya. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta : EGC
6. Departemen Farmakologi dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
7. Gunawan SG. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Setiabudy R, Nafrialdi, editors.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. 694-700 p.
8. Setiawan I, Oktaliansah E, Boom CE. Perbandingan Pemulian Bising Usus
Pasien Pasca Operasi Histerektomi per Laparotomi Menggunakan Analgetika
Kombinasi Ketamin-Morfin dengan Morfin Intravena. J Anestesi Perioper.
2014;2(1):55–62.
9. Utomo suryadi budi, Sanubari F, Nurhayati nanik dwi. Analysis of a
Quantitative Relationship Between the Structure and Analgesic Activity of
Meperidin Derivatives Using Semi-Empirical AM1 Method. J Kim dan Pendidik
Kim. 2018;(March):158–68.
10. Anderson C, Mackay M. Stability of Fentanyl Citrate, Hydromorphone
Hydrochloride, Ketamine Hydrochloride, Midazolam, Morphine Sulfate, and
Pentobarbital Sodium in Polypropylene Syringes. Pharmacy. 2015;3:379–85.
26

11. Seo DK, Lee CJ, Kim JS. A Comparison of Oxycodone and Fentanyl in the
Management of Early Postoperative Pain and For Patient-Controlled Analgesia
After Total Abdominal Hysterectomy. Clin Res. 2016;176–81.
12. Hwang B, Kwon J, Kim E, Lee D, Kim T, Kim H. Oxycodone vs . Fentanyl
Patient-Controlled Analgesia after Laparoscopic Cholecystectomy. Int J Med Sci.
2014;11:8–12.
13. Dewi GP, Nugroho TE. Pengaruh pemberian analgesik kombinasi parasetamol
dan tramadol terhadap kadar kreatinin serum tikus wistar. J Kedokteran
Diponegoro [Internet]. 2016;5(4):917–25. Available from: http://ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php/medico

You might also like