Professional Documents
Culture Documents
BAB 1
PENDAHULUAN
Secara umum, obat-obatan anestesi terdiri dari obat pre-medikasi, obat induksi
anestesi, obat anestesi inhalasi, obat anestesi intravena, obat anestesi lokal/regional,
obat pelumpuh otot, analgesia opioid dan analgesia non-opioid.(2,3,4) Analgesik opioid
merupakan obat yang bekerja di reseptor opioid pada system saraf pusat (SSP). Obat
ini diberikan untuk mengatasi nyeri sedang sampai berat sesuai dengan kekuatan dari
nyeri yang dirasakan dan kekuatan dari obat tersebut. Obat yang mengantagonis efek
opioid disebut antagonis opioid. (3,4)
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Analgetik Opioid
2.1.1 Definisi
Kata opium berasal dari bahasa Yunani yang berarti jus; jus yang berasal dari
bunga opium (getah Papaver somniferum) merupakan sumber dari 20 jenis
alkaloid opium. Analgesik opioid adalah golongan obat penghilang nyeri
alami, semisintesis dan sintesis yang sebagian sifat -sifatnya sama atau
hampir sama dengan opium atau morfin. Opiate merupakan istilah yang
(5)
digunakan untuk menyatakan obat -obatan yang berasal dari opiu m.
Telah diidentifikasi 3 jenis peptida yang terdapat dalam otak dan jaringan lain
yang terikat pada reseptor opioid, yakni enkefalin, endorfin dan dinorfln. Peptida
opioid endogen tersebut diperkirakan berperan pada transmisi saraf, meskipun
mekanisme kerja sebagai analgesik belum jelas diketahui. Tiap jenis berasal dari
prekursor polipeptida yang berbeda secara genetik dan memperlihatkan distribusi
anatomis yang khas. Prekursor ini disebut proenkelalin A, pro-opiomelanokortin
(POMC) dan prodinorlin (proenkelalin B). Masing-masing prekursor mengandung
sejumlah peptida yang aktif secara biologik, baik sebagai opioid maupun nonopioid
yang telah dideteksi dalam darah dan berbagai jaringan. (6)
3
1. Agonis opioid, yaitu yang bekerja sebagai agonis terutama pada reseptor µ,
dan mungkin pada resptor k pada system saraf (contoh : morfin):
2. Antagonis Opioid, yaitu yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua
reseptor (contoh: nalokson):
e. Toleransi
Toleransi ini timbul terhadap efek depresi, tetapi tidak timbul
terhadap efek eksitasi, miosis dan efek pada usus. Toleransi silang
dapat timbul antara morfin, dihidromorfinon, metopon, kodein dan heroin.
Toleransi timbul setelah 2-3 minggu.
Timbul toleransi terhadap efek analgesik, tetapi tidak terhadap
efek konstipasi. Potensi penyalahgunaan tinggi. Penghentian
menyebabkan insomnia, nyeri, peningkatan aktivitas saluran cerna,
kegelisahan.
f. Interaksi Obat
Interaksi morfin dapat meningkatkan kerja depresan SSP lain.
Selain itu, meningkatkan depresi pernapasan yang diinduksi oleh loker
neuromuskular. Dan morfin bersifat aditif dengan obat yang
menyebabkan hipotensi.
g. Sediaan dan Posologi
Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam
bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis anjuran untuk
Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai
yang diperlukan.
e. Toleransi
Toleransi terhadap efek depresi meperidin timbul lebih lambat
dibanding dengan morfin. Timbulnya toleransi lambat bila interval
pemberian lebih dari 3-4 jam. Toleransi tidak terjadi terhadap efek
stimulasi dan efek mirip atropin.
f. Interaksi Obat
Pada pasien yang sedang mendapat MAO inhibitor, pemberian
meperidin dapat menyebabkan eksitasi SSP berat (delirium, hiperpireksia,
kejang), depresi pernapasan, atau hipotensi.
11
b. Farmakokinetik
Propoksifen diabsorpsi setelah pemberian oral maupun
parenteral. Efektivitas jauh berkurang jika propoksifen diberikan PO.
Biotransformasi propoksifen dengan cara N-demetilasi yang terjadi
dalam hati. Dimetabolisme separuh pada lintasan pertama. Waktu
paruh 15 jam.
c. Indikasi
Propoksifen hanya digunakan untuk mengobati nyeri ringan
hingga sedang, yang tidak cukup baik diredakan oleh asetosal.
Kombinasi propoksifen bersama asetosal berefek sama kuat seperti
15
d. Efek Samping
Pada dosis terapi propoksifen tidak banyak mempengaruhi
sistem kardiovaskular. Pemberian 130 mg propoksifen PO pada
orang dewasa sehat tidak banyak mengubah reaksi terhadap CO2.
Dengan dosis ekuianalgetik insiden efek samping propoksifen
seperti mual, anoreksia, sembelit, nyeri perut dan kantuk kurang
lebih sama dengan kodein. Dosis toksik biasanya menimbulkan
depresi SSP dan depresi napas, tetapi jika dosis lebih besar lagi
timbul konvulsi.
e. Adiksi
Timbulnya adiksi terhadap propoksifen lebih kecil
kemungkinannya daripada terhadap kodein. Penghentian tiba-tiba
pada terapi dengan propoksifen akan menimbulkan gejala putus
obat ringan. Dosis oral propoksifen yang besar (300-600 mg)
menimbulkan efek subyektif yang menyenangkan, tetapi tidak
serupa dengan efek morfin. Obat ini cukup iritatif pada
pemberian SC, sehingga tidak digunakan secara parenteral.
3.3 Tramadol(7,13)
a. Farmakodinamik
Tramadol efektif untuk nyeri ringan sampai sedang, tetapi
untuk nyeri berat atau kronik lebih lemah. Untuk nyeri
persalinan, tramadol sama efektif dengan meperidin dan kurang
menyebabkan depresi pernapasan pada neonatus.
16
b. Farmakokinetik
Bioavailabilitas tramadol setelah dosis tunggal secara oral
68% dan 100% bila digunakan secara IM. Tramadol mengalami
metabolisme di hati dan diekskresi oleh ginjal, dengan masa
paruh eliminasi 6 jam untuk tramadol dan 7,5 jam untuk
metabolit aktifnya. Analgesia timbul dalam 1 jam setelah
penggunaan secara oral, dan mencapai puncak dalam 2-3 jam.
Lama analgesia sekitar 6 jam. DM per hari yang dianjurkan 400
mg.
c. Efek Samping
Efek samping yang umum mual, muntah, pusing, mulut
kering, sedasi, dan sakit kepala. Depresi pernapasan nampaknya
kurang dibandingkan dengan dosis ekuianalgetik morfin, dan
derajat konstipasinya kurang daripada dosis ekuivalen kodein.
d. Dosis
Oral, 50-100 mg tidak boleh lebih sering dari 4 jam; total
pemakaian lebih dari 400 mg per hari tidak selalu dibutuhkan. Anak-
anak tidak direkomendasikan.Intramuskular atau intravena (lebih dari
2-3 menit) atau infus intravena, 50-100 mg setiap 4-6 jam.
Nyeri pasca bedah, dosis awal 100 mg kemudian 50 mg tiap 10-20
menit, jika diperlukan selama 1 jam pertama hingga total maksimum
250 mg (termasuk dosis awal) pada 1 jam pertama, kemudian 50-100
mg tiap 4-6 jam, maksimum 600 mg per hari. Anak-anak tidak
direkomendasikan.
1. Antagonis Opioid
17
d. Toleransi
Toleransi hanya terjadi terhadap efek yang ditimbulkan oleh sifat
agonis, jadi hanya timbul pada efek subyektif, sedatif dan psikotomimetik
dari nalorfin.Penghentian tiba-tiba pemberian nalorfin kronis dosis tinggi
menyebabkan gejala putus obat yang khas tetapi lebih ringan daripada
gejala putus obat morfin.
Nalokson, nalorfin, dan levalorfan kecil kemungkinannya untuk
disalahgunakan sebab tidak menyebabkan ketergantungan fisik; tidak
menyokong ketergantungan fisik morfin; dan dari segi subyektif dianggap
sebagai obat yang kurang menyenangkan bagi para pecandu.
e. Dosis dan posologi
Nalorfin HCL tersedia untuk penggunaan parenteral, maing-masing
mengandung 0.2 mg nalorfin/mL untuk anak dan 5 mg nalorfin/mL untuk
orang dewasa.
2. Agonis Parsial
2.1 Pentazosin
a. Farmakodinamik
Efeknya terhadap SSP mirip dengan efek opioid yaitu
menyebabkan analgesia, sedasi dan depresi napas. Analgesia yang
timbul agaknya karena efeknya pada reseptor κ, karena sifatnya
berbeda dengan analgesia akibat morfin. Analgesia timbul lebih
20
dini dan hilang lebih cepat daripada morfin. Pada dosis 60-90 mg obat
ini menyebabkan disforia dan efek psikotomimetik mirip nalorfin yang
hanya dapat di antagonis oleh nalokson. Diduga timbulnya disforia
dan efek psikotomimetik karena kerjanya pada reseptor δ.
Efeknya pada saluran cerna mirip efek opioid, sedangkan pada
uterus efeknya mirip efek meperidin. Respons kardiovaskular
terhadap pentazosin berbeda dengan respons terhadap opioid morfin,
yaitu dalam dosis tinggi menyebabkan peningkatan tekanan darah dan
frekuensi denyut jantung.
Gejala putus obat yang terjadi diantaranya mirip gejala putus obat
morfin. Penyuntikan berulang pada tempat yang sama dapat
menyebabkan abses steril, ulserasi dan jaringan perut.
b. Farmakokinetik
Pentazosin diserap baik melalui cara pemberian apa saja, tetapi
karena mengalami metabolisme lintas pertama, bioavailabilitas PO
cukup bervariasi. Obat ini dimetabolisme secara intensif di hati untuk
kemudian diekskresi sebagai metabolit melalui urin.Pada pasien sirosis
hepatis klirensnya sangat berkurang.
c. Indikasi
Pentazosin diindikasikan untuk mengatasi nyeri sedang, tetapi
kurang efektif dibandingkan morfin untuk nyeri berat.Obat ini juga
digunakan untuk medikasi praanestesik.Bila digunakan untuk
analgesia obstetrik, pentazosin dapat mengakibatkan depresi napas
yang sebanding meperidin.
d. Toleransi
Toleransi dapat timbul terhadap efek analgetik dan efek subyektif
pada pemberian berulang.Ketergantungan fisik dan psikis dapat pula
terjadi, tetapi kemungkinannya jauh lebih kecil.
21
2.2 Butorfanol
a. Farmakodinamik
Pada pasien pascabedah, suntikan 2-3 mg butorfanol
menimbulkan analgesia dan depresi napas menyerupai efek suntikan
10 mg morfin atau 80 mg meperidin.Dosis analgetik butorfanol juga
meningkatkan tekanan arteri pulmonal dan kerja jantung.
b. Farmakokinetik
Butorfanol mirip dengan morfin dalam hal mula kerja, waktu
tercapainya kadar puncak dan masa kerja, sedangkan waktu
paruhnya kira-kira 3 jam.
c. Indikasi
Butorfanol efektif untuk mengatasi nyeri akut pascabedah
sebanding dengan morfin, meperidin atau pentazosin. Butorfanol
efektif untuk medikasi praanestetik.
Obat ini tidak dianjurkan digunakan untuk nyeri yang
menyertai infark miokard akut. Dosis butorfanol yang dianjurkan
22
2.3 Buprenorfin
a. Farmakodinamik
Buprenorfin menimbulkan analgesia dan efek lain pada SSP
seperti morfin. Buprenorfin dapat mengantagonis depresi pernapasan
yang ditimbulkan oleh dosis anestesik fentanil sama baiknya
dengan nalokson.
Depresi pernapasan dan efek lain yang ditimbulkan
buprenorfin dapat dicegah oleh penggunaan nalokson sebelumnya,
akan tetapi nalokson dosis tinggipun sulit untuk mengatasi efek
yang sudah ditimbulkan oleh buprenorfin.Buprenorfin dapat
menimbulkan ketergantungan fisik dengan gejala dan tanda-tanda
putus obat seperti morfin, tetapi tidak terlalu berat.
b. Farmakokinetik
Buprenorfin diabsorpsi relatif baik. Buprenorfin 0,4-0,8 mg
sublingual menimbulkan analgesia yang baik pada pasien
pascabedah. Kadar puncak alam darah dicapai dalam 5 menit
setelah suntikan IM dan dalam 1-2 jam setelah penggunaan secara
oral atau sublingual. Masa paruh dalam plasma sekitar 3 jam.
c. Indikasi
23
d. Dosis
BAB 3
KESIMPULAN
Atas dasar kerjanya pada reseptor opioid maka obat-obat yang tergolong
opioid dibagi menjadi 3 yaitu: Agonis opioid yaitu yang bekerja sebagai agonis
terutama pada reseptor µ, dan mungkin pada resptor k pada system saraf, antagonis
opioid, yaitu yang tidak memiliki aktivitas agonis pada semua reseptor dan opioid
dengan kerja campur terdiri atas agonis-antagonis opioid dan agonis parsial.
25
DAFTAR PUSTAKA
1. Indijah Sujati Woro, Purnama Fajri. Farmakologi. Modul Bahan Ajar Cetak
Farmasi Cetak Pertama. Penerbit Pusdik SDM Kesehatan Badan Pengembangan
dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan. 2016. Jakarta Selatan;
p.15.
2. Mangku, G., Senapathi, T.G.A. 2010.Ilmu Anestesia dan Reanimasi. Jakarta:
Indeks
3. Katzung G, Bertram. 2007. Basic and Clinical Pharmacology 10th Ed. 2007.
United states of America: McGraw-Hill Companies.
4. Latief, Said A, dkk. 2001. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Jakarta. FKUI
5. Staf Pengajar Departemen Farmakologi Farkultas Kedokteras Universitas
Sriwijaya. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta : EGC
6. Departemen Farmakologi dan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.
Farmakologi dan Terapi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI
7. Gunawan SG. Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Setiabudy R, Nafrialdi, editors.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2012. 694-700 p.
8. Setiawan I, Oktaliansah E, Boom CE. Perbandingan Pemulian Bising Usus
Pasien Pasca Operasi Histerektomi per Laparotomi Menggunakan Analgetika
Kombinasi Ketamin-Morfin dengan Morfin Intravena. J Anestesi Perioper.
2014;2(1):55–62.
9. Utomo suryadi budi, Sanubari F, Nurhayati nanik dwi. Analysis of a
Quantitative Relationship Between the Structure and Analgesic Activity of
Meperidin Derivatives Using Semi-Empirical AM1 Method. J Kim dan Pendidik
Kim. 2018;(March):158–68.
10. Anderson C, Mackay M. Stability of Fentanyl Citrate, Hydromorphone
Hydrochloride, Ketamine Hydrochloride, Midazolam, Morphine Sulfate, and
Pentobarbital Sodium in Polypropylene Syringes. Pharmacy. 2015;3:379–85.
26
11. Seo DK, Lee CJ, Kim JS. A Comparison of Oxycodone and Fentanyl in the
Management of Early Postoperative Pain and For Patient-Controlled Analgesia
After Total Abdominal Hysterectomy. Clin Res. 2016;176–81.
12. Hwang B, Kwon J, Kim E, Lee D, Kim T, Kim H. Oxycodone vs . Fentanyl
Patient-Controlled Analgesia after Laparoscopic Cholecystectomy. Int J Med Sci.
2014;11:8–12.
13. Dewi GP, Nugroho TE. Pengaruh pemberian analgesik kombinasi parasetamol
dan tramadol terhadap kadar kreatinin serum tikus wistar. J Kedokteran
Diponegoro [Internet]. 2016;5(4):917–25. Available from: http://ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php/medico