You are on page 1of 28

1

BAB 1
PENDAHULUAN

Tulang tengkorak memiliki sejumlah ruang berisi udara yang disebut sinus.
Ruang ini membantu mengurangi berat tengkorak dan memberikan perlindungan
daerah tengkorak dan membantu dalam resonansi suara.1 Terdapat empat pasang
sinus, yang dikenal sebagai sinus paranasalis, yaitu sinus frontalis di daerah dahi,
sinus maksilaris di belakang tulang pipi, sinus etmoidalis diantara kedua mata dan
sinus sphenoidalis di belakang bola mata.1,2,3 Sampai saat ini sinus paranasal
merupakan salah satu organ tubuh pada manusia yang sulit dideskripsikan karena
bentuknya bervariasi pada tiap individu.2 Terdapat membran yang melapisi sinus
tersebut yang mensekresikan mukus, yang mana akan mengalir ke rongga hidung
melalui sebuah saluran kecil pada setiap sinus tersebut. Sinus yang sehat tidak
mengandung bakteri atau virus yang belum steril.

Gambar 1. Sinus paranasal dan ostiumnya

Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi sinus paranasalis. Secara epidemiologi


yang paling sering terkena adalah sinus etmoid dan maksilla. Sinusitis bisa terjadi
pada salah satu dari keempat sinus yang ada. Sinusitis bisa bersifat akut (berlangsung
selama 3 minggu atau kurang) maupun kronis (berlangsung selama 3-8 minggu tetapi
2

dapat berlanjut sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun). Bila mengenai


beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal
disebut pansinusitis. Penyebab utama dari sinusitis ialah infeksi virus yang kemudian
diikuti oleh infeksi bakteri 3,4
Yang paling sering ditemukan adalah sinusitis maxilla dan sinusitis ethmoid,
sedangkan sinusitis frontal dan sinusitis sphenoid lebih jarang ditemukan. Secara
anatomi, sinus maksilaris, berada di pertengahan antara hidung dan rongga mulut dan
merupakan lokasi yang rentan terinvasi oleh organisme patogen lewat ostium sinus
maupun lewat rongga mulut.1
Sinus maxilla merupakan sinus yang paling sering terinfeksi, oleh karena (1)
merupakan sinus paranasal terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar
sehingga sekret dari sinus maxilla hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus
maxilla adalah dasar akar gigi (processus alveolaris), sehingga infeksi pada gigi dapat
menyebabkan sinusitis maxilla, (4) ostium sinus maxilla terletak di meatus medius, di
sekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.1,2
Sinusitis maksilaris dapat disebabkan oleh rhinitis akut, infeksi faring seperti
faringitis, adenoiditis, tonsillitis akut, infeksi gigi rahang atas P1, P2, serta Ml, M2,
M3 (dentogen). Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis.
Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tempat akar gigi rahang atas, sehingga
rongga sinus maksila hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan
kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Selain itu juga sinusitis maxilaris sering
terjadi pada pasien dengan defisiensi imun yang disebabkan oleh HIV, dengan
kejadian hingga 60% pada beberapa tahap, akut atau kronis, dengan atau tanpa
drainase postnasal mukopurulen. Organisme penyebab adalah organisme oportunistik
atipikal, seperti Alternaria alternata, Aspergillus sp., Pseudoallescheria boydii,
Cryptococcus neoformans dan Candida albicans, serta agen-agen lain yang
berhubungan dengan sinusitis pada inang tanpa infeksi HIV.5 Biasanya tingkat
keparahan sinusitis pada pasien HIV-positif berkorelasi langsung dengan tingkat
jumlah CD4.6
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Hidung dan Sinus
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang menghubungkan
kavum nasi dengan nasofaring.7

Gambar 2.1 Anatomi Hidung

Di antara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit


yang disebut meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus
inferior, medius dan superior. Meatus inferior terletak di antara konka inferior dengan
dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara
(ostium) duktus nasolakrimalis. Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan
dibentuk oleh os rnaksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat
sempit dan dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak
dan rongga hidung. Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan
4

sensoris dari n. etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris, yang
berasal dan n. oftalmikus (N.V-I). Nervus olfaktorius turun melalui lamina kribrosa
dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel
reseptor penghidu pada rnukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.7
Bagian atas hidung rongga hidung mendapat pendarahan dari a. etmoid
anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a. oftalmika dari a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat pendarahan dari cabang a. maksilaris interna,
di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari
foramen sfenopalatina bersama n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di
belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan
dari cabang–cabang a.fasialis. Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari
cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, dan a.palatina
mayor yang disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus Kiesselbach letaknya
superfisial dan mudah cidera oleh trauma, sehingga sering menjadi sumber epistaksis
(pendarahan hidung) terutama pada anak. Vena-vena hidung mempunyai nama yang
sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur
luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.
Vena-vena di hidung tidak memiliki katup, sehingga merupakanfaktor predisposisi
untuk mudahnya penyebaran infeksi hingga ke intracranial.7
Hidung memiliki fungsi sebagai : 7
 Fungsi respirasi : Hidung sebagai tempat masuk dan keluarnya udara dari
lingkungan menuju sistem respirasi dan sebaliknya.
 Fungsi penghidu : Hidung sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian
atas septum.
 Fungsi fonetik : Resonansi oleh hidung untuk kualitas suara ketika
berbicara dan menyanyi. Hidung membantu proses pembentukkan kata-
kata.
5

 Fungsi statik dan mekanik : Meringankan beban kepala, proteksi terhadap


trauma dan pelindung panas.
 Refleks nasal : Mukosa hidung merupakan reseprit refleks yang
berhubungan dengan saluran cerna, kerdiovaskuler dan pernapasan.
Sehingga iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan
napas berhenti.
2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Sinus
Sinus paranasal merupakan salah salah satu organ tubuh manusia yang sulit
dideskripsikan karena bentuknya sangat bervariasi pada tiap individu. Sinus paranasal
merupakan hasil pneumatisasi tulang-tulang kepala, sehingga terbentuk rongga di
dalam tulang.7
Ada em pat pasang (delapan) sinus paranasal, empat buah pada masing-
masing sisi hidung yaitu sinus frontalis kanan dan kiri, sinus etmoid kanan dan kiri
(anterior dan posterior), sinus maksila, yang terbesar, kanan dan kiri disebut Antrum
Highmore dan sinus sfenoidalis kanan dan kiri. Semua rongga sinus ini dilapisi oleh
mukosa yang merupakan lanjutan mukosa hidung, berisi udara dan semua bermuara
di rongga hidung melalui ostium masing-masing.7

Gambar 2.2 Anatomi Sinus Paranasal


Secara klinis sinus paranasal dibagi menjadi dua kelompok yaitu bagian
anterior dan posterior. Kelompok anterior bermuara di bawah konka media, pada atau
di dekat infundibulum, terdiri dari sinus frontal, sinus maksila, dan sel-sel anterior
6

sinus etmoid. Kelompok posterior bermuara di berbagai tempat di atas konka media
terdiri dari sel-sel posterior sinus etmoid dan sinus sphenoid. Garis perlekatan konka
media pada dinding lateral hidung merupakan batas antara kedua kelompok. Proctor
berpendapat bahwa salah satu fungsi penting sinus paranasal adalah sebagai sumber
lendir yang segar dan tak terkontaminasi yang dialirkan ke mukosa hidung. Selain itu
juga sinus paranasal berfungsi untuk mengatur kondisi udara, menahan suhu,
membantu keseimbangan kepala, membantu resonansi udara, meredam perubahan
tekanan udara dan membantu produksi mukus. 7

2.2 Sinusitis
2.2.1 Definisi Sinusitis
Sinusitis adalah proses inflamasi yang melibatkan mukosa hidung dan sinus
paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut
rinosinusitis. Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis sedangkan bila
mengenai semua sinus paranasal disebut pansinusitis.1
2.2.2 Epidemiologi sinusitis
Angka kejadian sinusitis sulit diperkirakan secara tepat karena tidak ada
batasan yang jelas mengenai sinusitis. Dewasa lebih sering terserang sinusitis
dibandingkan anak. Hal ini karena sering terjadinya infeksi saluran napas atas pada
dewasa yang berhubungan dengan terjadinya sinusitis. Di US dilaporkan bahwa lebih
dari 30 juta pasien menderita sinusitis.8
2.2.3 Etiologi Sinusitis
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus,
bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks osteo-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik
seperti HIV, diskinesia silia seperti pada sindroma kartagener dan di luar negeri
adalah penyakit fibrosis kistik. Pada anak-anak penyebab sinusitis terbanyak adalah
hipertrofi adenoid.9
7

2.2.4 Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan lancarnya
klirens mukosiliar di dalam KOM. Mukus juga mengandung substansi antimikrobal
dan zat-zat yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh terhadap kuman
yang masuk bersama udara pernafasan.10
Organ-organ yang membetuk KOM letaknya berdekatan dan bila terjadi
edema mukosa yang berdekatan atau berhadapan akan saling bertemu sehingga silia
tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negatif di
dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous.
Kondisi ini bisa dianggap sebagai rinosinusitis non bakterial dan biasanya sembuh
dalam beberapa hari tanpa pengobatan. 10
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus merupakan
media baik untuk tumbuh dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan
ini disebut sebagai rinosinusitis akut bakterial dan memerlukan terapi antibiotik. 10
Jika inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang.
Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar
sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau
pembentukan polip dan kista. 10

2.2.5 Klasifikasi dan Mikrobiologi


Bakteri utama yang ditemukan pada sinusitis akut adalah Streptococcus
pneumonia (30-50%), Hemophylus influenzae (20-40%) dan Moraxella catarrhalis
(4%). Sinusitis dibagi menjadi dua berdasarkan faktor predisposisi terbanyak
yaitu:9,10
1. Sinusitis Dentogen
Sinusitis dentogen adalah sinusitis yang disebabkan akibat adanya
infeksi pada gigi. Sinus yang paling sering terkena adalah sinus maksilaris.
Hal tersebut terjadi karena dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris
tempat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya dipisahkan
8

oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang- kadang tanpa tulang
pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau
inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus atau
melalui pembuluh darah dan limfe.
2. Sinusitis Jamur
Sinusitis jamur adalah infeksi jamur pada sinus paranasal, suatu
keadaan yang tidak jarang ditemukan. Angka kejadiannya meningkat dengan
meningkatnya pemakaian antibiotik, kortikosteroid, obat-obatan
imunosupresan dan radio terapi. Kondisi yang merupakan predisposisi antara
lain diabetes melitus, neutropenia, penyakit AIDS/HIV dan perawatan yang
lama di rumah sakit. Jenis jamur yang paling sering menyebabkan infeksi
sinus paranasal ialah spesies Aspergilus dan Candida. Perlu diwaspadai
adanya sinusitis jamur pada kasus sebagai berikut: sinusitis unurateral, yang
sukar disembuhkan dengan terapi antibiotik
2.2.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang:9,10
1. Sinusitis Dentogen
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai
nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, seringkali turun ke
tenggorokan (post nasal drip). Dapat disertai dengan gejala sistemik seperti
demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang
mengalami gangguan. Ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga
terasa di tempat lain (reffered pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila,
nyeri di antara atau di antara kedua bola mata menandakan sinusitis edmoid,
nyeri di dahi atau di seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada
sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan di verteks, oksipital, belakang bola mata dan
daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi
dan telinga.
9

Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia, anosmia, halitosis, post-


nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak. Keluhan sinusitis
kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-kadang hanya 1 atau 2
dari gejala-gejala di bawah ini yaitu sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk
kronik, gangguan tenggorokan, gangguan telingan akibat sumbatan kronik
muara tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronkitis (sino-bronkitis),
bronkiektatis dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan
sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan
gastroenteritis.
Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi anterior dan posterior,
pemeriksaan naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih
tepat dan dini. Tanda khas ialah adanya pus di meatus medius (pada sinusitis
maksila dan etmoid anterior dan frontal) atau meatus superior (pada sinusitis
edmoid posterior dan sfenoid).
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak
sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan. Foto
polos posisi waters, PA dan lateral, umumnya hanya mampu menilai kondisi
sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat
perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.
CT scan sinus merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena
mampu menilai anatomi hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan
sinus secara keseluruhan dan perluasannya. Namun karena mahal hanya
dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik yang tidak membaik
dengan pengobatan dan atau pra-operasi sebagai panduan operator saat
melakukan operasi sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi suram
atau gelap. Pemeriksaan ini sudah jarang digunakan karena sangat terbatas
kegunaannya. Pemeriksaan mikrobiologik dan tes resistensi dilakukan dengan
10

mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat anti biotik


yang tepat guna. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang keluar dari pungsi
sinus maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi
sinus maksila yang sebernanya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus
untuk terapi.
2. Sinusitis Jamur
Sinusitis jamur invasif akut, ada invasi jamur ke jaringan dan vaskular.
Sering terjadi pada pasien diabetes yang tidak terkontrol, pasien dengan
imunosupresi seperti leukemia atau neutropenia, pemakaian steroid lama dan
terapi imunosupresan. Imunitas yang rendah dan invasi pembuluh darah
menyebabkan penyebaran jamur sangat cepat dan dapat merusak dinding
sinus, jaringan orbita dan sinus kavernosus. Di kavum nasi, mukosa berwarna
biru-kehitaman dan ada mukosa konta atau septum yang nekritik. Sering
berakhir dengan kematian.
Sinusitis jamur invasif kronik biasanya terjadi pada pasien dengan
gangguan imunologik atau mertabolik seperti diabetes atau HIV. Bersifat
kronis progresif dan bisa juga menginvasi sampai orbita atau intrakranial,
tetapi gambaran klinisnya tidak sehebat bentuk fulminan karena perjalanan
penyakitnya lebih lambat. Gejalanya seperti sinusitis bakterial, tetapi sekret
hidungnya kental dengan bercak-bercak kehitaman, yang bila dilihat dengan
mikroskop merupakan koloni jamur.
Sinusitis jamur non-invasif, atau misetoma, merupakan kumpulan
jamur di dalam rongga sinus tanpa invasi ke dalam rongga sinus dan tanpa
invasi ke dalam mukosa serta tidak mendestruksi tulang. Sering mengenai
sinus maksila. Gejala klinis menyerupai sinusitis kronis berupa rinore purulen,
post nasal drip, dan napas bau. Kadang-kadang ada massa jamur juga di
11

kavum nasi. Pada operasi bisa ditemukan materi jamur berwarna coklat
kehitaman dan kotor dengan atau tanpa pus di dalam sinus.
2.2.7 Terapi
Terapi sinusitis diberikan berdasarkan penyebabnya, antara lain : 9,10
1. Sinusitis Dentogen
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada sinusitis
akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan pembengkakan mukosa serta
membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik yang dipilih adalah golongan
penisilin seperti amoksisilin. Jika diperkirakan kuman telah resisten atau
memproduksi beta-laktamase, maka dapat diberikan amoksisilin-klavulanat
atau jenis sefalosporin generasi ke-2. Pada sinusitis, antibiotik diberikan
selama 10-14 hari meskipun gejala klinik sudah hilang. Pada sinusitis kronik
diberikan antibiotik yang sesuai untuk kuman negatif gram dan anaerob.
Selain dekongestan oral dan topikal, terapi yang dapat diberikan jika
diperlukan, seperti analgetik, mokolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga
hidung dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin
diberikan, karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret jadi lebih
kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan antihistamin generasi ke-2.
Irigasi sinus maksila atau proetz displacement therapy juga merupakan terapi
tambahan yang dapat bermanfaat. Imunoterapi dapat dipertimbangkan jika
pasien menderita kelainan alergi yang berat.
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi
terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah
menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan
hasil yang lebih memuaskandan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.
Indikasinya berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi
adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip
ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.
2. Sinusitis Jamur
12

Terapi untuk sinusitis jamur invasif ialah pembedahan, debrideman,


anti jamur sistemik dan pengobatan terhadap penyakit dasarnya obat standar
ialah amfoterisin B, bisa ditambah rifampisin atau flusitosin agar lebih efektif.
Pada misetoma hanya perlu terapi bedah untuk membersihkan massa jamur,
menjaga drenase dan ventilasi sinus. Tidak diperlukan anti jamur sistemik.
2.2.8 Komplikasi
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan
mata (orbita). Yang paling sering ialah sinusitis ethmoid, kemudian sinusitis frontal
dan maksila. Penyebaran Infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.
Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbitaabses subperiostal,
abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus. Kelainan
intrakranial. Dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses otak dan
trombosis sinus kavernosus.9
Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa osteomielitis dan
abses subperiostal. Paling sering timbul akibat sinusitis frontal dan biasanya
ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula
oroantral atau fistula pada pipi. Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan
bronkiektasis. Adanya kelainan sinus paranasal disertai dengan kelainan paru ini
disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga menyebabkan kambuhnya asma bronkial
yang sukar dihilangkan sebelum sinusitisnya disembuhkan. 9

Gambar 2.3 Selulitis Orbita Gambar 2.4 Edema Palpebra


13

Gambar 2.5 Abses Otak Gambar 2.6 Meningitis


2.2.9 Prognosis

Jika penderita sinusitis tidak diobati, ia akan selalu menderita sakit


ringan seumur hidupnya sehingga dapat menurunkan kualitas hidupnya. Dari waktu
ke waktu akan terjadi eksaserbasi akut dan selalu ada kemungkinan bahwa
peradangan akan meluas keluar dari batas sinus sehingga dapat menyebabkan
komplikasi akibat sinusitis. Dengan pengobatan yang adekuat, maka
prognosisnya akan lebih baik. 9

2.3 Human Immunodeficiency Virus (HIV)

2.3.1 Definisi HIV

HIV merupakan sebuah retrovirus yang memiliki genus lentivirus, genus ini
memiliki tipe klinis seperti sumber penyakit infeksi yang kronis, periode laten klinis
yang panjang, replikasi virus yang persisten dan terlibat dalam sistem saraf pusat.
Virus ini berbeda dengan virus lain karena tubuh manusia tidak dapat menyingkirkan
virus ini. HIV menyebar melalui cairan tubuh dan memiliki cara khas dalam
menginfeksi sistem kekebalan tubuh manusia terutama sel CD4 atau sel-T.11

2.3.2 Etiologi HIV

Human Immunodeficiency Virus adalah sejenis Retrovirus RNA. Dalam


bentuknya yang asli merupakan partikel yang inert, tidak dapat berkembang atau
14

melukai sampai ia masuk ke sel target. Sel target virus ini terutama sel Lymfosit T,
karena ia mempunyai reseptor untuk virus HIV yang disebut CD-4. Didalam sel
Lymfosit T, virus dapat berkembang dan seperti retrovirus yang lain, dapat tetap
hidup lama dalam sel dengan keadaan inaktif. Walaupun demikian virus dalam tubuh
pengidap HIV selalu dianggap infectious yang setiap saat dapat aktif dan dapat
ditularkan selama hidup penderita tersebut. 11

Secara morfologis HIV terdiri atas 2 bagian besar yaitu bagian inti (core) dan
bagian selubung (envelop). Bagian inti berbentuk silindris tersusun atas dua untaian
RNA (Ribonucleic Acid). Enzim reverce transcriptase dan beberapa jenis prosein.
Bagian selubung terdiri atas lipid dan glikoprotein (gp 41 dan gp 120). Gp 120
berhubungan dengan reseptor Lymfosit (T4) yang rentan. Karena bagian luar virus
(lemak) tidak tahan panas, bahan kimia, maka HIV termasuk virus sensitif terhadap
pengaruh lingkungan seperti air mendidih, sinar matahari dan mudah dimatikan
dengan berbagai disinfektan seperti eter, aseton, alkohol, jodium hipoklorit dan
sebagainya, tetapi telatif resisten terhadap radiasi dan sinar utraviolet. Virus HIV
hidup dalam darah, savila, semen, air mata dan mudah mati diluar tubuh. HIV dapat
juga ditemukan dalam sel monosit, makrotag dan sel glia jaringan otak.11

2.3.3 Stadium HIV

Klasifikasi stadium klinis HIV/AIDS WHO dibedakan menjadi 4 stadium,


yaitu:12
15

Gambar 2.7 Klasifikasi HIV menurut WHO


2.3.4 Diagnosis
Langkah pertama untuk mendiagnosis HIV/AIDS adalah anamnesis secara
keseluruhan kemudian ditemukan adanya faktor resiko dan menemukan temuan klinis
pada pemeriksaan fisik. Tes diagnostik untuk HIV yang sampai sekarang masih
digunakan adalah ELISA ( enzyme-linked immunoabsorbent assay), rapid test,
16

Western Blot, dan PCR (Polymerase chain reaction) dengan sampel whole blood,
dried bloodspots, saliva dan urin.12

Rapid test disarankan untuk kasus kecelakaan kerja bagi petugas yang
terpapar darah penderita HIV/AIDS atau pada penderita yang kemungkinan tidak
mau datang kembali untuk menyampaikan hasil tes HIV. Tes ELISA merupakan
pemeriksaan yang umum dilakukan karena praktis dan sensitifitasnya tinggi.
Rekomendasi WHO jika tes ELISA dengan 3 reagen yang berbeda hasilnya postif
semua atau rapid test dengan 3 reagen hasilnya positif semua maka tidak dianjurkan
tes Western Blot (WB). 12

Tahun 2007, di Indonesia oleh KPA (Komisi Penanggulangan AIDS)


diagnosis AIDS dengan kriteria WHO digunakan untuk keperluan surveilans
epidemiologi. Dalam hal ini seseorang dapat didiagnosis berdasarkan gejala klinis,
yang terdiri dari Gejala mayor dan minor. Pasien yang dikatakan AIDS jika men
unjukan hasil tes HIV positif disertai minimal terdapat 2 gejala mayor atau terdapat
gejala minor dan 1 gejala mayor. 12

Gambar 2.8 Gejala mayor dan minor infeksi HIV/AIDS


17

2.3.5 Pengobatan

Pengobatan HIV AIDS saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang
efektif. Sehingga pengobatan HIV AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok, dengan
tujuan sebagai pengobatan suportif, pengobatan infeksi oportunistik, pengobatan
antiretroviral (ARV).13

1. Pengobatan Suportif
Pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini
terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simtomatik, vitamin, dan dukungan
psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal
mungkin. Pengobatan infeksi oportunistik dilakukan secara empiris. 13

2. Pengobatan Infeksi Oportunistik


Pengobatan yang ditujukan untuk infeksi oportunistik dan dilakukan secara
empiris. 13

3. Pengobatan Antiretroviral (ARV)


Saat ini telah ditemukan beberapa obat antiretroviral (ARV) yang dapat
menghambat enzim reverse transcriptase atau menghambat kerja enzim protease.
Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan
infeksi oportunistik menjadi lebih jarang ditemukan dan lebih mudah diatasi sehingga
menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat menyembuhkan
atau membunuh virus HIV. Kendala dalam pemberian ARV antara lain kesukaran
ODHA untuk minum obat secara teratur, adanya efek samping obat, harga yang
relatif mahal dan timbulnya resistensi HIV terhadap obat ARV. 13

2.4 Sinusitis pada Pasien HIV


Sinusitis sering terjadi pada pasien dengan defisiensi imun yang disebabkan
oleh HIV, dengan kejadian hingga 60% pada beberapa kasus, akut maupun kronis,
dengan atau tanpa drainase postnasal mukopurulen. Organisme penyebab terjadinya
18

sinusitis pada pasien HIV seperti Alternaria alternata, Aspergillus sp.,


Pseudoallescheria boydii, Cryptococcus neoformans dan Candida albicans, serta
agen-agen yang terlibat untuk terjadinya sinusitis pada inang tanpa infeksi HIV.14

Sama seperti pada host seronegatif, pasien HIV-positif dengan sinusitis


memiliki tanda dan gejala demam, sakit kepala umum dan lokal, dan drainase
mukopurulen dari sinus ostia. Radiografi sinus polos harus dilakukan untuk
mengkonfirmasi diagnosis. Dalam beberapa kasus, demam dan / atau sakit kepala
adalah satu-satunya gejala; oleh karena itu sinusitis perlu mempertimbangkan
diagnosis banding demam atau sakit kepala yang tidak jelas, terutama pada individu
dengan jumlah CD4 rendah.14

Kejadian sinusitis maxillaris tampaknya menjadi hal yang paling sering


ditemukan pada individu dengan HIV, diikuti oleh sinusitis ethmoidal. Seringkali
kedua sinus ini terlibat pada saat yang bersamaan. Sinusitis frontal dan sphenoidal
terjadi lebih jarang. Tingkat keparahan sinusitis pada pasien HIV-positif berkorelasi
langsung dengan tingkat jumlah CD4.15

Sinusitis menimbulkan masalah klinis yang sulit pada pasien terinfeksi HIV
karena tingginya tingkat kekambuhan dan berhubungan dengan patogen yang tidak
biasa. Jika penyakit sinus atau komplikasinya bertahan meskipun terapi medis yang
luas, operasi harus dipertimbangkan. Pembedahan sinus endoskopik (ESS) berhasil
dalam memberikan pengurangan terhadap gejala yang ditandai dengan sinusitis
kronis dan penyakit hidung pada orang yang terinfeksi HIV. Friedman dkk
melaporkan bahwa pasien yang menjalani standar ESS memiliki tingkat keberhasilan
yang memuaskan.15
19

BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. Stefanus Adeodatus Petu
Umur : 37 tahun
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Bangsa : Indonesia
Agama : Katolik
Alamat : Perumnas Jalan Kokus NO VIII
Pekerjaan : Dosen
Tanggal Pemeriksaan : 30 November 2018
3.2 Anamnesis
Alloanamnesis dengan pasien pada tanggal 30 November 2018

1. Keluhan Utama:
Hilang pendengaran sejak ± 1 minggu lalu.
2. Keluhan Penyerta:
Pasien sering mengorek telinga kanan dan kirinya, tetapi pada telinga
kanan keluar kotoran telinga yang keras disertai dengan rasa telinga seperti
tertutup. Flu dirasakan sejak 1 bulan lalu, dengan ingus berwarna
kekuningan yang dirasakan turun ke tenggorokan. Batuk (+) dengan dahak
berwarna hijau kekuningan. Nyeri disekitar wajah dan kepala (-), pasien
memiliki karies gigi pada rahang atas (+), demam (+), badan lemah (+),
mual (+), muntah (-), napsu makan dan berat badan menurun, diare (+).
3. Riwayat Penyakit Sekarang:
Seorang pasien laki-laki berusia 37 tahun dirawat di ruangan Flamboyan di
RSUD T.C. Hillers yang didiagnosis dari bagian Penyakit Dalam dengan
B20 + Pneumonia + Dispepsia + Hearing Loss. Pasien mengeluh
pendengaran berkurang karena dirasakan pada telinga kanan seperti
20

tertutup yang terjadi sejak ± 1 minggu lalu. Pasien juga mengeluh adanya
flu yang dirasakan sejak hari itu, ingus berwarna kekuningan yang
dirasakan turun ke tenggorokan. Batuk (+) dengan dahak berwarna hijau
kekuningan. Nyeri disekitar wajah dan kepala (-), pasien memiliki karies
gigi pada rahang atas (+), demam (+), badan lemah (+), diare (+), rasa mual
tetapi tidak muntah, napsu makan dan berat badan menurun,
4. Riwayat Penyakit Dahulu:
Pasien belum pernah mengalami gejala seperti yang diderita sekarang
5. Riwayat Penyakit Keluarga:
Tidak ada keluarga yang memiliki gejala seperti pasien

Anamnesis Umum THT

Telinga Hidung Tenggorokan Laring


Gatal : - / - Rinorre : + / + Sukar menelan : - Suara parau : -
Korek : + / + Buntu :-/- Sakit menelan : - Afonia :-
Nyeri :-/- Bersin :- Trismus : - Sesak nafas :
Bengkak:- / - Dingin/lembab : - Ptyalismus : - Rasa sakit :-
Otore : - / - Debu rumah : - Rasa mengganjal: Rasa mengganjal
- :+
Tuli :+/- Berbau :- Rasa berlendir :
+
Tinitus : -/- Mimisan :-/- Rasa kering
:-
Vertigo : - Nyeri hidung : -
Mual :- Suara sengau :-
Muntah : -
21

3.3 Pemeriksaan Fisik

 Status Generalis
Kesadaran : compos mentis Sianosis : -
Tensi : 90/60 mmHg Stridor inspirasi : -
Nadi : 80x/menit Retraksi suprasternal : -
Respiratory rate : 20 x/menit Retraksi intercostal : -
Suhu : afebris Epigastrial : -
Anemia : conjungtiva anemis (-)
22

 Status Lokalis THT


Telinga Hidung Tenggorok
Pembengkakan -/- Deformitas -/- Palatum molle parese -/-
Fluktuasi -/- Hematoma -/- Uvula deviasi -/-
Fistel auris kongen -/- Krepitasi -/- Tonsil : T2 / T1
Infiltrat/abses -/- Nyeri -/- Hiperemi -/-
Nyeri tekan -/- Rinoskopi anterior : Detritus -/-
MAE : Vestibulum edema -/-, Kripta melebar -/-
Hiperemis -/- discharge -/-, ulserasi -/- Arkus ant -
Edema -/- Kavum nasi : Arkus post -
Penyempitan -/- Menyempit -/- Faring
Furunkel -/- Mukosa hiperemi -/- Edema -
Fistel -/- Konka media Hiperemi -
Sekret -/- Massa -/- Granula -
Granulasi -/- Sekret - / - Lendir –
Polip -/- pucat - / - Gb.
Kolesteatoma -/- Hiperemi -/-
Foetor -/- Septum deviasi +
Membran timpani: Gb.
Tertarik kedalam

9Gb.
T2 T1
Hiperemi -
Granulae -
MAE hiperemis -/- Laringoskopi indirek : dalam
Hyperemia -/-
Edema -/- Edema -/- batas normal
Nyeri tekan -/-
sekret -/-

Rinoskopi posterior
Septum nasi
Kauda konka Terdapat
Meatus nasi sekret
Muara tuba eus
Fossa rosenmuller
Atap nasofaring
Tes transluminasi : tidak
dilakukan
23

3.4 Pemeriksaan Penunjang


Foto Waters :

Kesan :
Pada pemeriksaan foto waters (01-12-2018) dikesankan tampak
opasitas dalam sinus maxilaris bilateral yang membentuk air fluid
level samar, mengarah sinusitis maxilaris bilateral, sinusitis frontalis
normal lusen, septum nasi deviasi, concha bilateral tak hipertrofi,
tulang yang tervisualisasi intak.
3.5 Diagnosis
Tuba Oklusi/ Rhinitis Akut dengan DD: Sinusitis Maxilaris Akut
3.6 Penatalaksanaan
Cuci hidung dengan NaCl 0,9%
Metilprednisolon 3 x 4mg
Lapifed 2 x 1 tab
24

BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Resume

S: Seorang pasien laki-laki berusia 37 tahun mengeluh pendengaran berkurang karena


dirasakan pada telinga kanan seperti tertutup yang terjadi sejak ± 1 minggu lalu.
Pasien juga mengeluh adanya flu yang dirasakan sejak hari itu, ingus berwarna
kekuningan yang dirasakan turun ke tenggorokan. Batuk (+) dengan dahak berwarna
hijau kekuningan. Nyeri disekitar wajah dan kepala (-), pasien memiliki karies gigi
pada rahang atas (+), demam (+), badan lemah (+), diare (+), rasa mual tetapi tidak
muntah, napsu makan dan berat badan menurun,

O: Rinoskopi anterior : tidak terdapat edema vestibulum nasi, konka media berwarna
merah muda, nampak normal. Rinoskopi posterior : terdapat sekret pada bagian
nasofaring.
 Hidung :

Edema nasofaring -/-


Sekret daerah nasofaring +

Pemeriksaan penunjang :
Foto waters : Adanya deviasi pada septum nasi dan nampak opasitas dalam
sinus maxilaris bilateral yang membentuk air fluid level samar, mengarah
sinusitis maxilaris bilateral
25

A: Tuba Oklusi/ Rhinitis Akut dengan DD: Sinusitis Maxilaris Akut


P: Cuci hidung dengan NaCl 0,9%, Metilprednisolon 3 x 4mg, Lapifed 2 x 1

4.2 Pembahasan

Sinus adalah rongga yang terdapat di dalam tulang kepala. Terdapat 4 pasang
sinus yang terletak di sekitar wajah. Sinus berguna sebagai pengatur kondisi udara,
menahan suhu, membantu keseimbangan kepala, membantu resonansi udara,
meredam perubahan tekanan udara dan membantu produksi mukus.10

Sinusitis adalah inflamasi pada sinus. Sinusitis dapat disebabkan oleh infeksi
bakteri dan jamur. Bakteri yang paling sering menyebabkan sinusitis adalah
Streptococcus pneumonia, Hemophylus influenzae dan Moraxella catarrhalis. Jamur
yang paling sering menyebabkan sinusitis adalah spesies Aspergilus dan Candida.
Selain itu sinusitis juga dapat disebabkan oleh ISPA akibat virus, bermacam rinitis
terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan
anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osteo-
meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia
seperti pada sindroma kartagener, fibrosis kistik dan hipertrofi adenoid. 10

Gejala sinusitis tergantung penyebabnya namun gejala yang biasanya muncul


adalah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada mukadan ingus purulen,
seringkali turun ke tenggorokan (post nasal drip). Dapat disertai dengan gejala
sistemik seperti demam dan lesu. Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus
yang mengalami gangguan. Ciri khas sinusis akut, sertai kadang-kadang nyeri juga
terasa di tempat lain (reffered pain).10

Sinusitis yang paling sering adalah sinusitis maksilaris oleh karena (1)
merupakan sinus paranasal terbesar, (2) letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar
sehingga sekret dari sinus maxilla hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus
maxilla adalah dasar akar gigi (processus alveolaris), sehingga infeksi pada gigi dapat
26

menyebabkan sinusitis maxilla, (4) ostium sinus maxilla terletak di meatus medius, di
sekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.

Sinusitis sering terjadi pada pasien dengan defisiensi imun yang disebabkan
oleh HIV, dengan kejadian hingga 60% pada beberapa kasus, akut maupun kronis,
dengan atau tanpa drainase postnasal mukopurulen. Organisme penyebab terjadinya
sinusitis pada pasien HIV seperti Alternaria alternata, Aspergillus sp.,
Pseudoallescheria boydii, Cryptococcus neoformans dan Candida albicans, serta
agen-agen yang terlibat untuk terjadinya sinusitis pada inang tanpa infeksi HIV.14

Pengobatan untuk sinusitis tergantung penyebabnya.. Pemberian


kortikosteroid metilprednisolon berfungsi sebagai anti inflamasi steroid yang
berfungsi menurunkan atau mencegah respon jaringan terhadap proses inflamasi.
Dosis pemberian metilprednsiolon 4-48 mg/hari dalam dosis tunggal atau terbagi.
Lapifed adalah obat kombinasi antihistamin dan dekongestan. Lapifed umumnya
digunakan sebagai pengobatan untuk meringankan bersin-bersin, hidung gatal dan
berair, hidung mampet, serta mata berair akibat flu, common cold dan yang
disebabkan oleh alergi. Lapifed bekerja pada reseptor adrenergik di dalam mukosa
saluran napas untuk melakukan vasokonstriksi pembuluh darah, termasuk pada
rongga hidung serta mengurangi pembengkakan membran mukosa saluran napas
yang terjadi karena inflamasi. Ketika vasokontriksi terjadi, maka pembuluh darah
akan mengecil dan saluran nafas pun terbebas dari sumbatan.16

Pengobatan selanjutnya adalah dilakukannya pencucian rongga hidung. Cuci


hidung adalah suatu metode yang sederhana dan murah dengan cara membilas rongga
hidung menggunakan larutan garam. Larutan garam yang digunakan umumnya
adalah larutan isotonis seperti NaCl 0,9%. Kegunaannya adalah untuk menunjang
perbaikan pembersihan mukosiliar dengan melembabkan rongga hidung dan
mengangkat material-material yang melekat pada membran mukosa.17
27

DAFTAR PUSTAKA

1. Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. Sinusitis. In: Soepardi EA,


Iskandar N (eds). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala
leher. 5th Ed. Jakarta: Gaya Baru; 2001.pp.120-124.
2. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA,
editor. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.
3. Kennedy E. Sinusitis. Available from: http://www.emedicine.com/emerg
/topic536.htm
4. Fokkens W., Lund V., Mullol J. European position paper on rhinosinusitis and
nasal polyps. Rhinology. 2007 [disitasi tanggal 23 Agustus 2016]; 45(20):1-
139. Tersedia dari: www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17844873
5. Zurlo JJ, Feuerstein IM, Leibovics R, Lane HC. Sinusitis in HIV-infected
patients. J Chemother. 1992;9:83–88.
6. Mäurer J, Vlad J, Knollmann F, et al. Korrelation zwischen der CD4-Zahl bei
HIV-positiven Patienten und radiologischen Befunden bei Erkrankungen der
Nasennebenhöhlen. Dtsch Med Wochenschr. 2000;125:69–74. [PubMed]
7. Higler PA. Nose: Applied Anatomy dan Physiology. In: Adams GL, Boies
LR,Higler PA, editors. Boies Fundamentals of Otolaryngology. 6th
ed.Philadelphia, PA: WB Saunders Company; 1989. p.173-90.
8. Departemen Kesehatan RI. Pola Penyakit 50 peringkat utama menurut DTD
Pasien Rawat Jalan di Rumah Sakit Indonesia Tahun 2003. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI; 2003.
9. Endang Mangun kusumo, N Rifki. Sinusitis. Dalam: Soepardi EA, Iskandar
NH (eds). Buku Ajar
10. Ilmu Kesehatan THT-KL, edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI:2001. hal
120-4
11. Laporan Perkembangan HIV-AIDS Triwulan I Tahun 2016 Kementerian
Keehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pencegahan dan
28

Pengendalian Penyakit. (Januari – Maret) 2016 tersedia pada


(http://www.aidsindonesia.or.id/ck_uploads/files/Final%20Laporan%20HIV
%20AIDS%20TW%201%202016.pdf) diakses pada tanggal 24 Februari 2018
pukul 19.00 wita
12. Kumar, Cotran, Robbins. 2004. BUKU AJAR PATOLOGI ROBBINS Ed.7
Vol.1 . Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
13. Isselbacher, dkk. 1995. HARRISON PRINSIP-PRINSIP ILMU PENYAKIT
DALAM VOL. 4.E/13. Yogyakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC
14. Zurlo JJ, Feuerstein IM, Leibovics R, Lane HC. Sinusitis in HIV-infected
patients. J Chemother. 1992;9:83–88.
15. Grant A, von Schoenberg M, Grant HR, Miller RF. Paranasal sinus disease in
HIV antibody positive patients. Genitourin Med. 1993;69:208–12. [PMC free
article] [PubMed]
16. Mabry RL, Marple BF. The Medical Management of Sinusitis In: Rice DH,
Schaefar SD (eds) Dudley L. Paranasal sinus Infection. In: Ballenger JJ, Snow
JB (eds). Otorhinolaryngology – Head and neck Surgery. Baltimore: Williams
& Walikins:1996. p:163-70.
17. Papsin B, McTavish A. Saline nasal irrigation. Can Fam Physician. 2003;
49:168-73.

You might also like