You are on page 1of 49

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak

di jumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan World

Health Organization (WHO) telah menetapkan dekade ini (2000 – 2010)

menjadi dekade tulang dan persendian. Masalah pada tulang yang

mengakibatkan keparahan disabilitas adalah fraktur lalu lintas. Sementara

trauma – trauma lain yang dapat menyebabkan fraktur adalah jatuh dari

ketinggian, kecelakaan kerja dan cedera olahraga (WHO, 2014).

World Health Organization (WHO) mencatat di tahun 2014 terdapat

lebih dari 6 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar

1,3 juta orang mengalami kecacatan fisik. Kepolisian Negara Republik

Indonesia menyatakan kecelakaan lalu lintas pada tahun 2013 mencapai

93.578 kasus, turun 20,66 persen dibanding tahun sebelumnya yang mencapai

117.949 kasus, dengan 23.385 jiwa meninggal dunia, korban luka berat

sebanyak 27.054 kasus, sedangkan korban luka ringan sebanyak 43.139

kasus. (Sabatiana, 2015)

Sedangkan di Indonesia berdasarkan data dari riset kesehatan dasar

(RIKERDAS) tahun 2013 menyatakan bahwa, cidera terbanyak disebabkan

oleh jatuh (40,9%), dan kecelakaan sepeda motor (40,6%), selanjutnya

penyebab cidera karena benda tumpul/tajam (7,3%), transportasi darat lain

1
2

(7,1%) dan kejatuhan (2,5%). Luka yang di alami akibat cidera tersebut

lecet/memar 70,9%, terkilir 27,5%, luka robek sebanyak 23,2% serta fraktur

menduduki posisi ke empat yakni sebanyak 5,8% (Kemenkes RI, 2015)

Berdasarkan data yang dirilis Polda Bengkulu, diketahui angka

kecelakaan lalu lintas tahun 2017 terjadi sebanyak 579 kasus. Angka tersebut

diketahui mengalami penurunan dari tahun 2016 yang mencapai 676 kasus

atau turun sebesar 14% dari total kasus kecelakaan sepanjang tahun 2016 dan

2017 (Polda Bengkulu, 2018).

Tingginya angka kecelakaan menyebabkan angka kejadian fraktur

semakin tinggi, dan salah satu kondisi fraktur yang paling sering terjadi

adalah fraktur femur, yang termasuk dalam kelompok tiga besar kasus fraktur

yang disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas dan harus menjalani pembedahan

dengan konsekuensi didapatkan efek nyeri setelah operasi (Amrizal, 2010).

Tindakan pembedahan menyebabkan terjadinya perubahan kontinuitas

jaringan tubuh. Untuk menjaga homeostatis, tubuh melakukan mekanisme

untuk segera melakukan pemulihan pada jaringan tubuh yang mengalami

perlukaan. Pada proses pemulihan inilah terjadi reaksi kimia dalam tubuh

sehingga nyeri dirasakan pasien. Nyeri setelah pembedahan adalah suatu

reaksi yang kompleks pada jaringan yang terluka pada proses pembedahan

yang dapat menstimulasi hipersensitivitas pada sistem syaraf pusat, nyeri ini

hanya dapat dirasakan setelah adanya prosedur operasi (Sjamsuhidayat,

2012).
3

Nyeri merupakan pengalaman sensoris dan emosional yang tidak

menyenangkan yang disertai oleh kerusakan jaringan secara potensial dan

aktual. Nyeri dapat diklasifikasikan sebagai nyeri akut dan kronik, bisa

terdapat pada beberapa bagian tubuh manusia dan disebabkan beberapa hal.

Salah satu bentuk nyeri adalah nyeri yang dialami oleh klien pasca

pembedahan yang merupakan nyeri akut yang terjadi karena adanya luka

insisi bekas pembedahan (Potter & Perry, 2010).

Keadaan pasien pasca operasi femur mengalami nyeri di sekitar insisi.

Adanya nyeri maka seseorang akan cenderung malas dan takut untuk

beraktifitas sehingga kemungkinan dapat terjadi deep vein thrombosis yang

disebabkan meningkatnya kekentalan darah karena mekanisme

homeokonsentrasi yang terjadi pada pasien pasca pembedahan. Masalah

lain yang timbul adalah potensi penurunan kekuatan otot-otot karena

adanya sayatan. Selain masalah di atas juga terdapat masalah lain yaitu

penurunan kemampuan fungsional dikarenakan adanya nyeri dan kondisi

yang masih lemah (Basuki, 2007).

Pendekatan secara non farmakologis dilakukan dengan cara tehnik

relaksasi, imajinasi terbimbing, stimulasi, distraksi, teori es dan panas.

Penanganan nyeri non farmakologis dengan tehnik relaksasi merupakan

salah satu bentuk tindakan mandiri. Meskipun demikian pelaksanaan

manajemen nyeri non farmakologi dengan tehnik relaksasi di lapangan

belum sepenuhnya dilakukan oleh perawat dalam mengatasi nyeri.

Kebanyakan perawat melaksanakan program therapy hasil dari kalaborasi

dengan dokter, di antaranya adalah pemberian analgesic yang memang

mudah dan cepat dalam pelaksanaannya di bandingkan dengan


4

menggunakan intervensi manajemen nyeri nonfarmakologis dengan tehnik

relaksasi pernafasan. Jika dengan manajement nyeri non farmakologis

belum juga berkurang atau hilang maka barulah diberikan analgesik (Brunner

& Suddarth, 2008).

Bedasarkan hasil survey awal peneliti di RSUD Dr. M. Yunus

Bengkulu didapatkan jumlah pasien fraktur pada tahun 2014 sebanyak 355

orang. Meningkat lagi pada tahun 2015 menjadi 216 orang, pada tahun 2016

sebanyak 355 orang dan pada tahun 2017 menjadi sebanyak 348 orang.

Berdasarkan data tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan

penelitian tentang pengaruh terapi relaksasi nafas dalam terhadap

intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur di ruang seruni RSUD Dr. M.

Yunus Bengkulu Tahun 2018.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah “adakah pengaruh terapi relaksasi nafas dalam terhadap

intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur di ruang seruni RSUD Dr. M.

Yunus Bengkulu Tahun 2018?”

C. Tujuan

1. Tujuan umum

Untuk mempelajari pengaruh terapi relaksasi nafas dalam terhadap

intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur di ruang seruni RSUD Dr. M.

Yunus Bengkulu Tahun 2018.


5

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran intensitas nyeri responden sebelum dilakukan

terapi relaksasi nafas dalam pada pasien post operasi fraktur di ruang

seruni RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu Tahun 2018.

b. Mengetahui gambaran intensitas nyeri responden setelah dilakukan terapi

relaksasi nafas dalam pada pasien post operasi fraktur di ruang seruni

RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu Tahun 2018.

c. Mengetahui pengaruh terapi relaksasi nafas dalam terhadap intensitas

nyeri pada pasien post operasi fraktur di ruang seruni RSUD Dr. M.

Yunus Bengkulu Tahun 2018.

D. Manfaat Penelitian

1. Bagi RSUD dr. M.Yunus Bengkulu

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah

kepada petugas pelayanan kesehatan tentang manfaat dari terapi relaksasi

nafas dalam dan dapat mengaplikasikan penggunaan terapi relaksasi sebagai

therapy non farmakologis pada pasien post operasi fraktur, sehingga dapat

meningkatkan indikator mutu dan pelayanan dalam memberikan asuhan

keperawatan pada pasien post operasi fraktur.

2. Bagi Institusi STIKES Tri Mandiri Sakti Bengkulu

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah

tentang pengaruh terapi relaksasi nafas dalam terhadap intensitas nyeri pada

pasien post operasi fraktur di ruang seruni RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
6

Tahun 2018 pada mahasiswa Tri Mandiri Sakti Bengkulu umumnya dan

mahasiswa jurusan keperawatan khususnya.

3. Bagi Peneliti

Merupakan pengalaman berharga terhadap peneliti dalam rangka

menambah wawasan keilmuan, khususnya tentang pengaruh terapi relaksasi

nafas dalam terhadap intensitas nyeri pada pasien post operasi fraktur.
7

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Konsep Teori

1. Konsep Fraktur

a. Definisi

Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau

tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang, dan

jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi

itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh

tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh

ketebalan tulang (Price & Willson, 2010)

Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang

bersifat total maupun sebagian. Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang.

Biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik. Kekuatan, sudut, tenaga,

keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan

apakah fraktur yang terjadi tersebut lengkap atau tidak lengkap. Fraktur

lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah, sedangkan fraktur tidak

lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Muttaqqin, 2008).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai

jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar

dari yang dapat diabsorbsinya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan

langsung, gaya meremuk, gerakan puntar mendadak, dan bahkan kontraksi

7
8

otot ekstrem. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan

terpengaruh mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan

sendi, dislokasi sendi, ruftur tendon, kerusakan saraf, dan kerusakan

pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cidera akibat gaya yang

disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang (Smeltzer, 2013)

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, fraktur dapat berbentuk

tranfersa, oblik, atau spiral. Pada fraktur patahan dahan, hanya satu sisi

tulang yang mengalami fraktur, sisi lainya menekuk (biasanya tulang yang

imatur). Pada fraktur komplikata, beberapa struktur organ lain juga rusak

(misalnya saraf atau pembuluh darah). Pada fraktur compound, terdapat

robekan kulit diatasnya (atau Visera didekatnya) dengan potensi

kontaminasi pada ujung tulang. Fraktur patologis merupakan fraktur yang

terjadi karena kelemahan tulang oleh suatu penyakit, misalnya suatu

metastasis (Grace, 2007).

Menurut Ningsih (2011), fraktur adalah terputusnya kontinuitas

tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh

trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya

trauma.

b. Etiologi

Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan

puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot eksterna (Smeltzer, 2013).

Umumnya fraktur disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang

berlebihan pada tulang. Fraktur cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya


9

fraktur terjadi pada umur dibawah 45 tahun dan sering behubungan dengan

olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan

bermotor. Sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering mengalami

fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan perubahan hormon pada

menopause (Ningsih, 2011)

Menurut Grace (2007) di dalam bukunya mengatakan bahwa

penyebab tersering dari fraktur adalah terjadi ketika tekanan yang kuat

diberikan pada tulang normal atau tekanan yang sedang pada tulang yang

terkena penyakit, misalnya osteoporosis.

Trauma muskuloskeletal yang dapat mengakibatkan fraktur adalah

sebagai berikut :

1) Trauma langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung

pada tulang. Hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya fraktur pada

daerah tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat kominutif dan

jaringan lunak ikut mengalami kerusakan.

2) Trauma tidak langsung. Apabila trauma di hantarkan ke daerah yang

lebih jauh dari daerah fraktur, trauma tersebut disebut trauma tidak

langsung. Misalnya, jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan

fraktur pada klavikula. Pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap

utuh.

Fraktur dapat terjadi akibat adanya tekanan yang melebihi

kemampuan tulang dalam menahan tekanan. Tekanan pada tulang dapat

berupa tekanan berputar yang menyebabkan fraktur bersifat spiral atau


10

oblik; tekanan membengkok yang menyebabkan fraktur transversal; tekanan

sepanjang aksis tulang yang dapat menyebabkan fraktur impaksi, dislokasi,

atau fraktur dislokasi; kompresi vertikal dapat menyebakan fraktur

kominutif atau memecah, misalnya vertebra, talus atau fraktur buckle pada

anak-anak; trauma langsung yang disertai dengan resistensi pada satu jarak

tertentu akan menyebabkan fraktur oblik atau fraktur Z; fraktur karena

remuk; karena tarikan pada ligamen atau tendon akan menarik sebagian

tulang (Muttaqin, 2008).

Menurut Corwin (2009) fraktur stres dapat terjadi pada tulang normal

akibat stres tingkat rendah yang berkepanjangan atau berulang. Fraktur

stres, yang juga di sebut fraktur keletihan (fatigue fracture), biasanya

menyertai peningkatan yang cepat tingkat latihan atlet, atau permulaan

aktivitas fisik yang baru. Karena kekuatan otot meningkat lebih cepat

daripada kekuatan tulang, individu dapat merasa mampu melakukan

aktivitas melebihi tingkat sebelumnya walaupun tulang mungkin tidak

mampu menunjang peningkatan tekanan. Fraktur stres paling sering terjadi

pada individu yang melakukan olahraga daya tahan seperti pelari jarak jauh.

Faktor stres dapat terjadi pada tulang yang lemah sebagai respons terhadap

peningkatan level aktivitas yang hanya sedikit. Individu yang mengalamai

fraktur stres harus di dorong untuk mengikuti diet sehat-tulang dan

diskrining untuk mengetahui adanya penurunan densitas tulang.


11

c. Patofisiologi

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya

pegas untuk menahan tekanan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang

lebih besar dari yang dapat di serap tulang, maka terjadilah trauma pada

tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang.

Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembungkus tulang rusak.

Pendarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di

rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang

yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya

respons inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan

leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan

dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya (Taqiyyah, 2013)

Menurut Taqiyyah (2013) Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur :

1) Faktor ekstrinsik, adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang

yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat

menyebabkan fraktur.

2) Faktor intrinsik, beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang

menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas

absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau

kekerasan tulang.
12

d. Klasifikasi

Menurut Hinkle (2011), tipe fraktur secara spesifik adalah sebagai

berikut :

1) Transverse, terjadi jika terjadi patahan tulang secara horizontal. Biasa

terjadi jika menerima mekanisme energi yang sedang sampai besar

secara terus menerus melebihi toleransi jaringan tulang.

2) Oblique fracture, adalah fraktur yang membentuk sudut melewati

korteks tulang. Biasa terjadi jika tulang menerima energi secara

langsung atau tidak langsung dengan angulasi ataupun tekanan tertentu.

3) Spiral fracture, adalah fraktur yang membentuk kurva mengelilingi

korteks tulang sehingga terjadi dislokasi. Biasa terjadi jika tulang

menerima energi langsung ataupun tidak langsung dengan gerakan

memutar.

4) Comminuted fracture, adalah fraktur dengan lebih dari dua bagian

karena adanya trauma jaringan lunak.

5) Segmental fracture, adalah fraktur dengan dua atau lebih segmen tulang.

Ia dapat disebabkan karena tulang menerima energi langsung ataupun

tidak langsung yang sedang sampai dengan berat.

6) Avulsi fracture, terjadi ketika tulang dan jaringan lunak lainnya tidak

berada di tempat yang semestinya akibat kekuatan energi yang secara

langsung diterima oleh tulang.

7) Impacted fracture, adalah fraktur pada ujung tulang menuju bagian yang

berseberangan atau bagian dalam dari fragmen tulang. Penyebabnya


13

adalah tekanan aksial dari energi langsung pada area fragmen tulang

bagian distal.

8) Torus fracture, adalah fraktur pada salah satu korteks atau shaft tulang,

misalnya pada bagian radius ulna.

9) Greenstick fracture, terjadi jika hanya pada satu korteks tulang akibat

energi yang kecil, baik langsung atau tidak langsung.

Gambar 1
Tipe dan Jenis Fraktur

Berdasarkan jenis patahan tulang, fraktur diklasifikasikan atas

fraktur komplit dan fraktur inkomplit (Evans, 2010). Fraktur komplit terjadi

jika patahnya tulang menjadi 2 bagian atau lebih dan jika patahnya tulang

tidak sampai membagi tulang menjadi 2 bagian atau lebih maka disebut

dengan fraktur inkomplit (misalnya green-stick fracture). Jika dilihat dari

ada tidaknya hubungan luka fraktur dengan lingkungan luar melalui kulit

maka terbagi atas fraktur tertutup (simple fracture) dan terbuka (compound

fracture).
14

Fraktur terbuka dapat diklasifikasikan lebih rinci lagi dalam

pembagian stadium. Stadium 1 terjadi bila injuri dan kerusakan kulit sangat

minimal, stadium 2 jika terjadi kerusakan kulit yang disertai kerusakan otot

dan stadium yang paling parah kerusakannya adalah stadium 3 dimana

terjadi kerusakan kulit, otot, jaringan saraf dan pembuluh darah (Evans,

2010). Stadium ini hampir mirip dengan klasifikasi Gustilo-Anderson yang

tampak pada table 1.

Tabel 1
Klasifikasi Gustilo-Anderson pada fraktur terbuka

TIPE DESKRIPSI

Tipe I Bila terdapat luka kurang dari 1 cm dengan kerusakan


jaringan lunak yang minimal, tidak ada tanda-tanda tumbukan
dan biasanya terjadi pada fraktur simple transverse atau oblik.
Tipe II Terdapat luka lebih besar dari 1 cm, terdapat tanda-tanda
tumbukan ringan sampai sedang, tidak ada kerusakan jaringan
yang luas, flap atau avulse.
Tipe III Terdapat kerusakan yang hebat dari jaringan lunak termasuk
otot, kulit dan struktur neurovaskuler dengan kontaminasi
yang hebat. Tipe ini dibagi menjadi tiga subtipe.
Tipe IIIa Terdapat kerusakan jaringan lunak yang hebat dengan laserasi
yang luas, flap dan energi trauma yang tinggi. Tipe ini biasa
terjadi pada fraktur comminuted atau segemental akibat
energy yang besar.
Tipe IIIb Terjadi pada fraktur terbuka dengan injuri yang luas atau
kehilangan jaringan lunak, terkelupasnya periosteum dan
keadaan tulang yang dapat terlihat / terekspose. Tipe ini juga
terjadi kontaminasi yang massif akibat tumbukan yang berat.
Tipe IIIc Fraktur terbuka dengan injuri arteri sehingga harus segera
diperbaiki. Tipe ini juga kehilangan jaringan lunak yang
sangat luas. Pada umumnya jika terjadi kerusakan arteri
diproyeksikan akan dilakukannya amputasi dengan
kemungkinan 25%-90%.
Sumber : Kunkler. (2012)
15

Menurut Sjamsuhidajat, (2012) secara klinis fraktur di bagi menurut

ada-tidaknya hubungan patahan tulang dengan dunia luar, yaitu fraktur

tertutup dan fraktur terbuka. Fraktur terbuka memungkinkan masuknya

kuman dari luar ke dalam luka. Patah tulang terbuka dibagi menjadi 3

derajat, yang ditentukan oleh berat ringannya luka.

Tabel 2
Derajat fraktur terbuka

Derajat Luka Fraktur


I Laserasi <1cm Sederhana, dislokasi
Kerusakan jaringan tidak berarti fragmen minimal
Relatif bersih
II Laserasi >1cm, tidak ada kerusakan Dislokasi fragmen jelas
jaringan yang hebat atau avulsi.
Ada kontaminasi
III Luka lebar dan rusak hebat, atau Kominutif, segmental,
hilangnya jaringan disekitarnya fragmen tulang ada yang
Kontaminasi hebat hilang
Sumber : Sjamsuhidayat (2012)

e. Manifestasi Klinis

Menurut Sjamsuhidayat (2012), manisfestasi klinis fraktur adalah

sebagai berikut:

1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang

diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk

bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar

fragmen tulang.

2) Setelah terjadi fraktur, bagian–bagian tak dapat digunakan dan cenderung

bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukanya tetap rigid

seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai

menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstremitas yang bisa


16

diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas normal.

Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot

bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.

3) Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena

kontraksi otot yang melekat di atas dan bawah tempat fraktur. Fragmen

sering saling melingkupi satu sama lain

4) Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang

dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu

dengan lainnya. (uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan

lunak yang lebih berat)

5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kult terjadi sebagai

akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru

terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

f. Pemeriksaan Penunjang

Menurut Taqiyyah (2013) pemeriksaan diagnostik yang sering

dilakukan pada fraktur adalah :

1) X-Ray

Menentukan lokasi/luasnya fraktur

2) Scan tulang

Memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan

lunak
17

3) Arteriogram

Dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler

4) Hitung darah lengkap

Hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada pendarahan,

peningkatan leukosit sebagai respons terhadap peradangan.

5) Kreatinin

Trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klirens ginjal

6) Profil koagulasi

Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi atau cedera hati.

g. Komplikasi

Komplikasi fraktur adalah sebagai berikut:

1) Komplikasi awal

a) Kerusakan arteri, pecahnya arteri karena trauma dapat ditandai dengan

tidak adanya nadi, CRT (capillary refill time) menurun, sianosis pada

bagian distal, hematoma melebar, dan dingin pada ekstremitas yang

disebabkan oleh tindakan darurat splinting, perubahan posisi pada

yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.

b) Sindrome kompartmen, sindrom kompartment merupakan komplikasi

serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan

pembuluh darah dalam jaringan parut. Hal ini disebabkan oleh edema

atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah, atau

karena tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu

kuat.
18

c) Fat embolism syndrome (FES), FES adalah komplikasi serius yang

sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena

sel-sel lemak yang dihasilkan bon morrow kuning masuk ke aliran

darah dan menyebabkan kadar oksigen dalam darah menjadi rendah.

Hal tersebut ditandai dengan gangguan pernapasan, takikardi,

hipertensi, takipnea, dan demam.

d) Infeksi, sistem pertahanan tubuh akan rusak apabila ada trauma pada

jaringan. Pada trauma orthopedi, infeksi dimulai pada kulit

(superficial) dan masuk ke dalam. Hal ini biasanya terjadi pada kasus

fraktur terbuka, tetapi dapat juga karena penggunaan bahan lain dalam

pembedahan, sepeti pin (ORIF & OREF) dan plat

e) Peran perawat sangat diperlukan dalam melakukan perawatan luka

dengan baik untuk menghindari terjadinya infeksi pada klien fraktur

terbuka dan pascaoperasi pemasangan pin.

f) Nekrosis avaskuler, nekrosis avaskuler terjadi karena aliran darah ke

tulang rusak atau terganggu sehingga menyebabkan nekrosis tulang.

Biasanya, diawali dengan adanya iskemia volkam.

g) Syok, syok terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya

permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan oksigenasi menurun. Hal

ini biasanya terjadi pada fraktur femur karena rasa sakit yang hebat

pada klien (Muttaqin, 2008).


19

2) Komplikasi lama

a) Delayed union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai

dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Hal ini

terjadi karena suplai darah ke tulang menurun. Delayed union adalah

fraktur yang tidak sembuh setelah selang waktu 3-5 bulan (tiga bulan

untuk anggota gerak atas dan lima bulan untk anggota gerak bawah).

Etioloogi delayed union sama dengan etiologi pada non-union.

b) Non-union adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan dan

tidak didapatkan konsolidasi sehingga terdapat pseudoartrosis (sendi

palsu). Pseudoartrosis dapat terjadi tanpa infeksi, tetapi dapat juga

terjadi bersama-sama infeksi yang disebut infected pseudoarthrosis.

(1)Hipertrofik, ujung-ujung tulang bersifat sklerotik dan lebih besar

dari keadaan normal yang disebut gambaran elephant’s foot. Garis

fraktur tampak dengan jelas.

(2)Atrofik (oligotrofik), tidak ada tanda-tanda aktivitas selular pada

ujung fraktur. Ujung tulang lebih kecil dan bulat serta osteoporotik

dan avaskuler. Pada jenis ini, di samping dilakukan fiksasi rigid,

juga diperlukan pemasangan bonegraft.

(3)Mal-union, Mal-union adalah keadaan ketika fraktur penyembuhan

pada saatnya, tetapi terdapat deformitas yang berbentuk angulasi,

varus/valgus, rotasi, pemendekan, atau union secara menyilang

misalnya pada fraktur tibia-fibula. Etiologi mal-union adalah

fraktur tanpa pengobatan, pengobatan yang tidak adekuat, reduksi


20

dan imobilisasi yang tidak baik, pengambilan keputusan serta

teknik yang salah pada awal pengobatan, osifikasi prematur pada

lempeng epifisis karena adanya trauma (Muttaqin, 2008).

h. Penatalaksanaan

Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan

pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi. Reduksi

fraktur, reduksi fraktur/setting tulang berarti mengembalikan fragmen tulang

pada kesejajarannya dan rotasi anatomis (Smeltzer, 2013).

1) Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk

mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur,

namun prinsip yang mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter

melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan

lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena dan perdarahan.

Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila

cedera sudah mulai penyembuhan (Smeltzer, 2013).

2) Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapakan

untuk menjalani prosedur, harus diperoleh izin untuk melakukan

prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu

dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan di manipulasi harus

ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.

3) Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan

dengan mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya

saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas


21

dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau

alat lain dipasang oleh dokter. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi

dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus

dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang telah dalam

kesejajaran yang benar (Smeltzer, 2013).

4) Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan

imobilisasi. Beratnya traksi diseuaikan dengan spasme otot yang terjadi.

Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi

fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan ter;ihat pembentukan kalus

pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat, dapat dipasang gips atau bidai

untuk melanjutkan imobilisasi (Smeltzer, 2013).

5) Reduksi terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka.

Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna

dalam bentuk pin, kawat, sektup, plat, paku, atau batangan logam dapat

digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya

sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakan

disisi tulang atau dipasang melalui fragmen tulang atau langsung ke

rongga sumsum tulang. Alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi

yang kuat bagi fragmen tulang (Smeltzer, 2013).

6) Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur di reduksi, fragmen tulang harus

diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang

benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan

fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi


22

pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator

eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang

berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.

7) Mempertahankan dan mengembalikan fungsi. Segala upaya diarahkan

pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi

harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis,

pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) di pantau, dan

ahli bedah orthopedi di beritahu segera bila ada tanda gangguan

neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan. Dikontrol

dengan berbagai pendekatan (mis, meyakinkan, perubahan posisi,

strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan

setting otot diusahankan untuk meminimalkan atrofi disuse dan

meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-

hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.

Pengembalian pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan

terapeutik. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih

awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur,

menentukan luasnya gerakan dan stres pada ekstremitas yang

diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan.

i. Penyembuhan Patah Tulang

Proses penyembuhan patah tulang adalah proses biologis alami yang

akan terjadi pada setiap patah tulang, tidak peduli apa yang sudah dikerjakan

dokter pada patahan tulang tersebut. Pada permulaan akan terjadi


23

perdarahan di sekitar patahan tulang, yang disebabkan oleh terputusnya

pembuluh darah pada tulang dan otot. Fase ini disebut fase hematoma.

Hematom ini kemudian akan menjadi medium pertumbuhan sel jaringan

fibrosis dan vaskuler hingga hematom berubah menjadi jaringan fibrosis

dengan kapiler di dalamnya. Jaringan ini yang menyebabkan fragmen tulang

saling menempel. Fase ini di sebut fase jaringan fibrosis dan jaringan yang

menempelkan fragmen patahan tulang tersebut dinamakan kalus fibrosa.

Kedalam hematom dan jaringan fibrosis ini kemudian juga tumbuh sel

jaringan mesenkim yang besifat osteogenik. Sel ini akan berubah menjadi

sel kondroblast yang membentuk kondroid yang merupakan bahan dasar

tulang rawan, sedangkan di tempat yang jauh dari patahan tulang yang

vaskularisasinya relatif banyak, sel ini berubah menjadi osteoblast dan

membentuk osteoid yang merupakan bahan dasar tulang. Kondroid dan

osteoid ini mula-mula tidak mengandung kalsium hingga tidak terlihat pada

foto roentgen. Pada tahap selanjutnya terjadi penulangan atau osifikasi.

Kesemuanya ini menyebabkan kalus fibrosa berubah menjadi kalus tulang.

Pada foto reontgen proses ini terlihat sebagai bayangan garis patah tulang

masih terlihat. Fase ini disebut fase penyatuan klinis. Selanjutnya terjadi

penggantian sel tulang secara berangsur-angsur oleh sel tulang yang

mengatur diri sesuai dengan garis tekanan dan tarikan yang bekerja pada

tulang. Akhirnya sel tulang ini mengatur ini secara lameler seperti sel tulang

normal. Kekuatan kalus ini sama dengan kekuatan tulang biasa dan fase ini

di sebut fase konsolidasi (Sjamsuhidajat, 1998)


24

j. Gangguan Pada Penyembuhan

Proses penyembuhan patah tulang ini dapat mengalami gangguan.

Pertama dapat terjadi perlambatan penyembuhan patah tulang. Keadaan ini

disebut pertautan lambat dan dengan berlalunya waktu pertautan akan

terjadi. Kedua bisa terjadi patah tulang tidak menyambung sama sekali

meskipun ditunggu berapa lama pun. Gagalnya pertautan mengakibatkan

pseudartrosis atau sendi palsu karena bagian bekas patah tulang ini dapat

digerakan seperti sendi. Ketiga, terjadi pertautan namun dalam posisi yang

salah keadaan ini disebut salah-taut.

Gangguan penyembuhan dapat disebabkan oleh imobilisasi yang tidak

cukup, infeksi, interposisi, dan gangguan pendarahan setempat. Gerakan

pada ujung pecahan patah tulang menghalangi proses pertautan.

Imobilisasi dalam balutan gips umumnya memenuhi syarat

imobilisasi, asalkan persendian priksimal dan distal dari patah tulang turut

diimobilisasi. Gerakan minimal ujung pecahan patah tulang di tengah otot

dan di dalam lingkaran kulit dalam gips, yang misalnya disebabkan oleh

latihan ekstremitas yang patah tulang tidak mengganggu, bahkan

merangsang perkembangan kalus. Hal ini berlaku untuk patah tulang yang

ditangani gips maupun yang ditraksi. Imobilisasi mutlak yang dibuat dengan

osteosintesis misalnya dengan pelat dan sekerup, menghasilkan

penyembuhan primer, artinya tidak melalui proses kalus. Hal ini berarti

bahwa bila bahan osteosintesis dikeluarkan setelah patah tulang sembuh,


25

hasilnya tidak begitu kuat dibandingakan dengan penyembuhan yang

disertai dan dilindungi kalus.

Infeksi di daerah patah tulang merupakan penyulit berat. Hematom

merupakan lingkungan subur untuk kuman patologik yang menyebabkan

osteomielitis dikedua ujung patah tulang, sehingga proses penyembuhan

sama sekali tidak dapat berlangsung. Infeksi patah tulang menyebabkan

osteomielitis yang sukar sembuh dan memperlambat penyambungan dan

pertautan fraktur untuk jangka waktu lama.

Pendarahan jaringan tulang yang mencukupi untuk membentuk tulang

baru, merupakan syarat mutlak penyatuan fraktur. Umumnya penyembuhan

tulang pendek cepat sebab pendarahan dari periost, sendi, dan kadang nutrisi

cukup baik. Tulang panjang pada prinsipnya didarahi dari tiga sumber yang

sama.

k. Faktor Penyembuhan Fraktur

Seorang perawat perlu mengetahui faktor-faktor yang mendukung

penyembuhan fraktur dengan implikasi memberikan asuhan keperawatan

yang lebih baik pada klien. Menurut Chairudin (2009), faktor-faktor yang

menentukan lama penyembuhan fraktur adalah sebagai berikut.

1) Usia penderita, waktu penyembuhan tulang anak-anak jauh lebih cepat

daripada orang dewasa. Hal ini terutama disebabkan aktivitas proses

osteogenesis pada periosteum dan endosteum serta proses pembentukan

tulang pada bayi sangat aktif. Apabila usia bertambah, proses tersebut

semakin berkurang.
26

2) Lokalisasi dan konfigurasi fraktur. Lokalisasi fraktur memegang peranan

penting. Penyembuhan fraktur metafisis lebih cepat daripada fraktur

diafisis. Di samping itu, konfigurasi fraktur seperti fraktur tranversal

lebih lambat penyembuhannya dibandingkan dengan fraktur oblik karena

kontak yang lebih banyak.

3) Pergeseran awal fraktur, pada fraktur yang periosteumnya tidak bergeser,

penyembuhannya dua kali lebih cepat dibandingkan dengan fraktur yang

bergeser.

4) Vaskularisasi pada kedua fragmen, apabila kedua fragmen mempunyai

vaskularisasi yang baik, penyembuhannya tanpa komplikasi. Bila salah

satu sisi fraktur memiliki vaskularissasi yang jelek sehingga mengalami

kematian, pembentukan union akan terhambat atau mungkin terjadi

nonunion.

5) Reduksi serta imobilisasi. Reposisi fraktur akan memberikan

kemungkinan untuk vaskularisasi yang lebih baik dalam bentuk asalnya.

Imobilisasi yang sempurna akan mencegah pergerakan dan kerusakan

pembuluh darah yang menggangu penyembuhan fraktur.

6) Waktu imobilisasi. Bila imobilisasi tidak dilakukan sesuai waktu

penyembuhan sebelum terjadi union, kemungkinan terjadinya nonunion

sangat besar pada pasien dengan fraktur.

7) Ruangan diantara kedua fragmen serta interposisi oleh jaringan lunak.

Adanya interposisi jaringan, baik berupa periosteum maupun otot atau


27

jaringan fibrosa lainnya akan menghambat vaskularisasi kedua ujung

fraktur dan faktor adanya infeksi dan keganasan lokal

8) Gerakan aktif dan pasif pada anggota gerak, yang dilakukan pasien

fraktur pada anggota gerak akan meningkatkan vaskularisasi daerah

fraktur, sehingga area fraktur menjadi odema

2. Konsep Nyeri

a. Definisi

Nyeri menurut kebanyakan ahli, sebagai suatu fenomena misterius

yang tidak dapat didefinisikan secara khusus. Menurut The International

Association For the Study of Pain (IASP) dalam Potter (2010),

mendefinisikan nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman

emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan

yang aktual atau potensial atau yang dirasakan dalam kejadian -

kejadian di mana terjadi kerusakan.

Secara umum, mengartikan nyeri sebagai suatu keadaan yang tidak

menyenangkan akibat terjadinya rangsangan fisik maupun dari serabut

saraf dalam tubuh ke otak dan diikuti oleh reaksi fisik, fisiologis maupun

emosional (Hidayat, 2010).

Nyeri adalah pengalaman sensoris dan emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan aktual dan potensial. Nyeri

adalah alasan utama seseorang untuk mencari bantuan perawat kesehatan.

Nyeri sangat menggangu dan menyulitkan lebih banyak orang dibanding

suatu penyakit manapun (Smeltzer, 2013).


28

Menurut peneliti, nyeri merupakan persepsi dari rasa

ketidaknyamanan sebagai akibat kerusakan jaringan, yang berbeda pada

setiap individunya.

b. Klasifikasi Nyeri

1) Menurut Hidayat (2010) klasifikasi nyeri secara umum terdiri dari :

- Nyeri akut

Nyeri ini bersifat mendadak, durasi singkat (dari beberapa detik

sampai 6 bulan). Biasa berhubungan dengan kecemasan. Orang

bisa merespon nyeri akut secara fisiologis dan dengan prilaku.

Secara fisiologis: diaforesis, peningkatan denyut jantung,

peningkatan pernapasan, dan peningkatan tekanan darah.

- Nyeri kronik

Nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti dengan berbagai macam

gangguan. Terjadi lambat dan meningkat secara perlahan

setelahnya, dimulai setelah detik pertama dan meningkat perlahan

sampai beberapa detik atau menit. Nyeri ini biasanya berhubungan

dengan kerusakan jaringan. Nyeri ini bersifat terus-menerus atau

intermitten.

2) Menurut Hidayat (2010), klasifikasi nyeri secara spesifik terdiri dari :

a) Nyeri somatik dan Nyeri visceral

Bersumber dari kulit dan jaringan di bawah kulit (superfisial),

yaitu pada otot dan tulang.


29

b) Nyeri menjalar

Nyeri yang terasa pada bagian tubuh yang lain, umumnya terjadi

akibat kerusakan pada cedera organ viseral.

c) Nyeri psikogenik

Nyeri yang tidak diketahui secara fisik, biasanya timbul akibat

psikososial.

d) Nyeri phantom

Nyeri yang disebabkan karena salah satu ekstermitas diamputasi.

e) Nyeri neorologis

f) Bentuk nyeri yang tajam karena adanya spasme di sepanjang

atau di beberapa jalur saraf

3) Sementara Price & Wilson (2010), mengklasifikasikan nyeri

berdasarkan lokasi atau sumber, antara lain:

a) Nyeri somatik superfisial (kulit)

Nyeri kulit berasal dari struktur-struktur superfisial kulit dan

jaringan subkutis. Stimulus yang efektif untuk menimbulkan nyeri di

kulit dapat berupa rangsang mekanis, suhu, kimiawi, atau listrik.

Apabila kulit hanya yang terlibat, nyeri sering dirasakan sebagai

penyengat, tajam, meringis atau seperti terbakar, tetapi apabila

pembuluh darah ikut berperan menimbulkan nyeri, sifaf nyeri

menjadi berdenyut.
30

b) Nyeri somatik

Nyeri somatik dalam mengacu kepada nyeri yang berasal

dari otot, tendon, ligamentum, tulang, sendi dan arteri. Struktur-

struktur ini memiliki lebih sedikit reseptor nyeri sehingga lokalisasi

nyeri kulit dan cenderung menyebar ke daerah sekitarnya.

c) Nyeri visera

Nyeri visera mengacu kepada nyeri yang berasal dari organ-

organ tubuh. Reseptor nyeri visera lebih jarang dibandingkan dengan

reseptor nyeri somatik dan terletak di dinding otot polos organ-organ

berongga.

d) Nyeri alih

Nyeri alih didefinisikan sebagai nyeri berasal dari salah satu

daerah di tubuh tetapi dirasakan terletak di daerah lain.

e) Nyeri neuropati

Sistem saraf secara normal menyalurkan rangsangan yang

merugikan dari sistem saraf tepi (SST) ke sistem saraf pusat (SSP)

yang menimbulkan perasaan nyeri. Nyeri neuropatik sering memiliki

kualitas seperti terbakar, perih atau seperti tersengat listrik. Pasien

dengan nyeri neuropatik menderita akibat instabilitas sistem saraf

otonom (SSO).

c. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri

Menurut Perry & Potter (2010) menjelaskan bahwa faktor-faktor

yang mempengaruhi nyeri antara lain :


31

1). Usia

Usia adalah variabel penting yang mempengaruhi nyeri terutama pada

anak dan orang dewasa. Perbedaan perkembangan yang ditemukan antara

kedua kelompok umur ini dapat mempengaruhi bagaimana anak dan

orang dewasa bereaksi terhadap nyeri.

2) Jenis Kelamin

Laki-laki dan wanita tidak mempunyai perbedaan secara signifikan

mengenai respon mereka terhadap nyeri. Masih diragukan bahwa jenis

kelamin merupakan faktor yang berdiri sendiri dalam ekspresi nyeri.

3) Kultur

Mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai pemahaman yang lebih

besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat dalam mengkaji nyeri

dan respon-respon perilaku terhadap nyeri juga efektif dalam

menghilangkan nyeri pasien.

4) Ansietas

Hubungan antara nyeri dengan ansietas bersifat kompleks. Ansietas

seringkali meningkatkan persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat

menimbulkan suatu perasaan ansietas.

5) Pengalaman masa lalu

Cara seseorang yang pernah berhasil mengatasi nyeri di masa lampau dan

saat ini nyeri yang sama timbul, maka ia akan lebih mudah mengatasi

nyerinya. Mudah tidaknya seseorang mengatasi nyeri tergantung

pengalaman di masa lalu dalam mengatasi nyerinya..


32

6) Makna nyeri

Berhubungan dengan bagaimana pengalaman seseorang terhadap nyeri

dan bagaimana mengatasinya. Individu akan mempersepsikan nyeri

dengan cara yang berbeda-beda apabila nyeri tersebut member kesan

ancaman, suatu kehilangan, hukuman, dan tantangan. Sehingga derajat

dan kualitas nyeri yang dipersepsikan klien berhubungan dengan makna

nyeri

7) Perhatian

Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri dapat

mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat dihubungkan

dengan nyeri yang meningkat, sedangkan upaya distraksi dihubungkan

dengan respon nyeri yang menurun.

8) Pola koping

Pola koping adaptif akan mempermudah seseorang mengatasi nyeri

dan sebaliknya pola koping yang maladaptive akan menyulitkan

seseorang mengatasi nyeri. Sumber koping lebih dari sekitar metode

teknik. Seorang klien mungkin tergantung pada support emosional dari

anak-anak, keluarga atau teman. Meskipun nyeri masih ada tetapi

dapat meminimalkan kesendirian. Kepercayaan pada agama dapat

memberi kenyamanan untuk berdo’a, memberikan banyak kekuatan

untuk mengatasi ketidaknyamanan yang datang.


33

9) Support keluarga dan sosial

Faktor lain yang juga mempengaruhi respon terhadap nyeri adalah

kehadiran dari orang terdekat untuk memperoleh dukungan, bantuan dan

perlindungan. Ketidakhadiran keluarga atau teman terdekat mungkin

akan membuat nyeri semakin bertambah.

d. Intensitas Nyeri

Gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu

dinamakan intensitas nyeri. Pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif

dan individual dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama

dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda oleh dua orang

yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan objektif yang paling

mungkin adalah menggunakan respon fisiologis tubuh terhadap nyeri itu

sendiri. Namun, pengukuran dengan tehnik ini juga tidak dapat

memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2011).

Nyeri tidak dapat diukur secara objektif misalnya dengan X-Ray

atau tes darah. Namun tipe nyeri yang muncul dapat diramalkan

berdasarkan tanda dan gejalanya. Kadang -kadang perawat hanya bisa

mengkaji nyeri dengan berpatokan pada ucapan dan prilaku klien. Klien

kadang-kadang diminta untuk menggambarkan nyeri yang dialaminya

tersebut sebagai nyeri ringan, nyeri sedang, atau berat ( Perry & Potter,

2010).
34

Dalam Perry dan Potter (2010) menjelaskan beberapa skala nyeri

yaitu:

1) Skala Intensitas Nyeri Deskritif

2) Skala identitas nyeri numerik

3) Skala nyeri menurut Bourbanis

4) Skala analog visual

Sumber : Perry & Potter (2010)


35

Keterangan :

a) 1, 2, 3 : Nyeri ringan : Secara obyektif klien dapat berkomunikasi

dengan baik.

b) 4, 5, 6: Nyeri sedang : Secara obyektif klien mendesis, menyeringai,

dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya dapat

mengikuti perintah dengan baik.

c) 7, 8, 9 : Nyeri berat : Secara obyektif klien terkadang tidak dapat

mengikuti perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat

menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak

dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang.

d) 10: Nyeri sangat berat: Pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi, memukul Pasien sudah tidak mampu lagi

berkomunikasi.

e. Penatalaksanaan Nyeri

Penatalaksanaan nyeri berarti menentukan jenis nyeri yang dialami,

kemudian menentukan jenis pengobatan yang cocok. Ada dua pendekatan

yang digunakan untuk mengatasi nyeri, yaitu pendekatan farmakologi dan

non farmakologi.

1). Pendekatan farmakologi.

Merupakan tindakan kolaborasi antara perawat dengan dokter

yang menekankan pada pemberian obat yang mampu menghilangkan

sensasi nyeri. Analgesik merupakan metode umum untuk mengatasi

nyeri. Walaupun analgesik dapat menghilangkan nyeri dengan efektif,

perawat dan dokter masih cenderung tidak melakukan upaya analgesik

dalam penanganan nyeri karena informasi obat yang tidak benar dan
36

adanya kekhawatiran klien akan mengalami ketagihan obat ( Potter &

Perry, 2010).

Ada tiga jenis obat analgesik yang dipakai, yaitu non narkotik dan

Non Steroid Anti Inflamation Drug (NSAID), narkotik atau opiate, dan

obat tambahan/ koanalgesik. Pada nyeri ringan sampai sedang digunakan

NSAID. Karena NSAID diyakini dapat menghambat prostaglandin dan

menghambat seluler selama inflamasi serta bekerja pada reseptor saraf

perifer untuk mengurangi transmisi dan resepsi stimulus nyeri (Potter dan

Perry, 2010).

2). Nonfarmakologi

Menurut Smeltzer (2013) : Stimulasi dan Massage. Massage

adalah stimulasi tubuh secara umum, sering dipusatkan pada pinggang

dan bahu, massage menstimulasi :

a) Reseptor Tidak Nyeri

Massage juga membantu pasien lebih nyaman karena membuat

relaksasi otot.

b) Terapi Es dan Panas

Terapi Es dapat menurunkan prostaglandin yang memperkuat

sensitifitas reseptor nyeri. Agar efektif es harus diletakkan di area

sekitar pembedahan. Penggunaan panas dapat meningkatkan aliran

darah yang dapat mempercepat penyembuhan dan penurunan nyeri.


37

c) Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS)

TENS merupakan unit yang dijalankan oleh baterai dengan

electrode yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan sensasi

kesemutan atau menggetar pada area nyeri. Mekanisme ini sesuai

dengan teori gate kontrol dimana mekanisme ini akan menutup

transmisi sinyal nyeri ke otak pada jaras asenden sistem syaraf pusat

untuk menurunkan intensitas nyeri

d) Tehnik Distraksi

Dilakukan dengan memfokuskan perhatian pasien pada sesuatu

selain nyeri. Distraksi diduga dapat menurunkan persepsi nyeri

dengan menstimulasi sistem kontrol desenden, yang mengakibatkan

lebih sedikit stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke otak. Keefektifan

trasmisi tergantung pada kemampuan pasien untuk menerima dan

membangkitkan input sensori selain nyeri.

e) Hipnosis

Efektif menurunkan nyeri akut dan kronis. Teknik ini mungkin

membantu pereda nyeri terutama dalam periode sulit.

f) Tehnik Relaksasi

Relaksasi merupakan kebebasan mental dan fisik dari ketegangan

dan stress yang mampu memberikan individu control ketika

terjadi rasa tidak nyaman atau nyeri fisik dan emosi pada nyeri.
38

3. Relaksasi Nafas Dalam

a. Definisi

Relaksasi napas dalam merupakan teknik pengendoran atau

pelepasan ketegangan. Relaksasi merupakan suatu keadaan dimana

seseorang merasakan bebas mental dan fisik dari ketegangan dan stres.

Teknik relaksasi bertujuan agar individu dapat mengontrol diri ketika

terjadi rasa ketegangan dan stres yang membuat individu merasa dalam

kondisi yang tidak nyaman (Potter & Perry, 2010).

Teknik relaksasi nafas dalam merupakan suatu bentuk asuhan

keperawatan , yang dimana dalam hal ini perawat mengajarkan kepada

klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, napas lambat (menahan

inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara

perlahan, selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi

nafas dalam juga bias meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan

oksigen darah. Teknik relaksasi pernafasan dapat menghilangkan nyeri

post operasi, karena aktivitas-aktivitas di serat besar dirangsang oleh

tindakan ini, sehingga gerbang untuk aktifitas serat berdiameter kecil

(nyeri) tertutup (Smeltzer, 2013).

b. Tujuan

Menurut Smeltzer (2013) menyatakan bahwa tujuan teknik

relaksasi nafas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli,

memelihara pertukaran gas, mengurangi stress baik stress fisik maupun

emosional yaitu menurunkan nyeri dan menurunkan kecemasan.


39

c. Efek relaksasi

Relaksasi adalah satu bentuk aktivitas yang dapat membantu

mengatasi nyeri dan stres. Teknik relaksasi ini melibatkan pergerakan

badan secara mudah dan dapat dilakukan dimana saja. Menurut

beberapa penelitian, orang yang rajin mempratekkan relaksasi secara

teratur cenderung lebih tenang, lebih mampu mengendalikan emosi dan

lebih sehat. Salah satu cara yang umum digunakan adalah kontrol

pernafasan (Indriarti, 2009).

Perry & Potter (2010), menyatakan bahwa ada 9 efek relaksasi,

yaitu : dapat menurunkan nadi, tekanan darah dan pernafasan, dapat

menurunkan konsumsi oksigen, penurunan ketegangan otot, dapat

menurunkan kecepatan metabolisme, dapat meningkatkan kesadaran

global, dapat mengurangi perhatian terhadap stimulus lingkungan, dapat

membuat tidak adanya perubahan posisi volunter, dapat meningkatkan

perasaan damai dan sejahtera, dan dapat mengubah kewaspadaan

menjadi santai dan dalam.

d. Faktor- faktor yang mempengaruhi tehnik relaksasi pernafasan dalam

terhadap penurunan nyeri adalah:

1). Dengan merelaksasikan otot – otot yang mengalami spasme yang

disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga vasodilatasi

pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke darah yang

mengalami spasme.

2). Tehnik relaksasi nafas dalam dipercayai mempu merangsang tubuh

untuk melepaskan opoid endogen yaitu endoprin dan enkefain.


40

3). Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat, relaksasi melibatkan

otot dan respirasi dan tidak membutuhkan alat lain sehingga mudah

dilakukan kapan saja dan sewaktu – waktu.

e. Penatalaksanaan Teknik Relaksasi.

Ada banyak cara untuk mengatasi rasa nyeri dan stres post operasi.

Mengatasi nyeri dengan baik berarti pasien tidak kewalahan atau panik

dan mampu rileks menangani rasa nyeri ( Whalley,et al, 2008).

Menurut Smeltzer (2013), ada beberapa posisi relaksasi yang dapat

dilakukan selama dalam keadaan istirahat :

1) Posisi relaksasi dengan telentang

Berbaring telentang, kedua tungkai kaki lurus dan terbuka sedikit,

kedua tangan rileks di samping di bawah lutut dan kepala diberi bantal.

2) Posisi relaksasi dengan berbaring miring

Berbaring miring, kedua lutut dan kedua lengan ditekuk, di bawah

kepala diberi bantal dan di bawah perut sebaiknya diberi bantal juga,

agar perut tidak menggantung.

3) Posisi relaksasi dalam keadaan berbaring terlentang

Kedua lutut ditekuk, berbaring terlentang, kedua lutut ditekuk, kedua

lengan di samping telinga.

4) Posisi relaksasi dengan duduk

Duduk membungkuk, kedua lengan diatas sandaran kursi atau diatas

tempat tidur. Kedua kaki tidak boleh mengantung.


41

f. Prosedur Tehnik Relaksasi Pernafasan

Prosedur teknik relaksasi napas dalam menurut Priharjo (2007)

adalah bentuk pernapasan yang digunakan pada prosedur ini adalah

pernapasan diafragma yang mengacu pada pendataran kubah diafragma

selama inspirasi yang mengakibatkan pembesaran abdomen bagian atas

sejalan dengan desakan udara masuk selama inspirasi. Langkah-langkah

teknik relaksasi nafas dalam adalah sebagai berikut :

1) Ciptakan lingkungan yang tenang.

2) Usahakan tetap rileks dan tenang.

3) Menarik nafas dalam dari hidung dan mengisi paru-paru dengan udara

melalui hitungan 1,2,3.

4) Perlahan-lahan udara dihembuskan lewat mulut sambil merasakan

ekstremitas atas dan bawah rileks.

5) Anjurkan bernafas dengan irama normal 3 kali.

6) Menarik nafas lagi melalui hidung dan menghembuskan lewat mulut

perlahan-lahan.

7) Membiarkan telapak tangan dan kaki rileks.

8) Usahakan tetap konsentrasi mata sambil terpejam.

9) Pada saat konsentrasi pusatkan pada daerah yang nyeri.

10) Anjurkan untuk mengulangi prosedur hingga nyeri terasa berkurang.

11) Ulangi sampai 15 kali dengan diselingi istirahat setiap 5 kali.

12) Bila nyeri menjadi hebat anjurkan pasien untuk bernafas secara

dangkal dan cepat.


42

4. Pengaruh Terapi Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Intensitas Nyeri Pada

Pasien Post Operasi Fraktur

Nyeri setelah pembedahan merupakan cedera fisik ketika bagian tubuh

terluka oleh tekanan, potongan, sayatan, dingin atau kekurangan oksigen

pada sel, maka bagian tubuh yang terluka akan mengeluarkan berbagai macam

substansi intraseluler yang dilepaskan keluar ekstraseluler yang akan

mengiritasi nosiseptor. Syaraf ini akan merangsang dan bergerak sepanjang

serabut syaraf atau neurotransmisi yang akan menghasilkan substansi

seperti neurotransmitter seperti prostaglandin, epineprin yang membawa pesan

nyeri dari medulla spinalis yang ditransmisikan ke otak dan akan dipersepsikan

sebagai nyeri (Nanda, 2009).

Nyeri setelah pembedahan merupakan hal yang fisiologis, namun hal

ini merupakan salah satu keluhan yang paling ditakuti oleh klien setelah

pembedahan. Sensasi nyeri mulai terasa sebelum kesadaran klien kembali

penuh, yang semakin meningkat seiring dengan berkurangnya pengaruh

anastesi. Adapun bentuk nyeri yang dialami oleh klien pasca pembedahan

adalah nyeri akut yang terjadi karena adanya luka insisi bekas pembedahan.

Apabila nyeri akut ini muncul, biasanya tenaga kesehatan sangat agresif untuk

segera menghilangkan nyeri. Nyeri akut secara serius mengancam proses

penyembuhan klien, untuk itu harus menjadi prioritas perawatan. Rehabilitasi

bisa tertunda dan hospitalisasi bisa memanjang dengan adanya nyeri akut

yang tidak terkontrol.

Teknik relaksasi pernafasan merupakan suatu bentuk asuhan

Keperawatan, yang dalam hal ini tenaga kesehatan mengajarkan kepada


43

klien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan

inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara

perlahan, selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi nafas

dalam juga dapat meningkatkan ventilasi paru dan meningkatkan oksigenasi

darah.

Relaksasi napas dapat menurunkan intensitas nyeri melalui mekanisme,

yaitu dengan merelaksasikan otot-otot skelet yang mengalami spasme yang

disebabkan oleh peningkatan prostaglandin sehingga terjadi vasodilatasi

pembuluh darah dan akan meningkatkan aliran darah ke daerah yang

mengalami spasme dan iskemic. Selain itu teknik relaksasi napas dalam

dipercayai mampu merangsang tubuh untuk melepaskan opoiod endogen

yaitu endorphin dan enkefalin. Teknik relaksasi pernafasan dapat

menghilangkan nyeri post operasi, karena aktivitas-aktivitas di serat besar

dirangsang oleh tindakan ini, sehingga gerbang untuk aktifitas serat

berdiameter kecil (nyeri) tertutup (Smeltzer, 2013)

Menurut penelitan Nurdin (2013)yang melakukan penelitian tentang

pengaruh teknik relaksasi terhadap intensitas nyeri pada pasien post operasi

fraktur di ruang Irnina A BLU RSUP PROF DR. R.D Kandou Manado,

didapatkan hasil bahwa ada pengaruh teknik relaksasi terhadap intensitas nyeri

pada pasien post operasi fraktur di ruang Irnina A BLU RSUP PROF DR. R.D

Kandou Manado

Menurut penelitian Ayudianingsih (2009) yang melakukan peneltian

tentang pengaruh teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan tingkat


44

nyeri pada pasien pasca operasi fraktur femur di Rumah Sakit Karima Utama

Surakarta, didapatkan hasil terdapat pengaruh yang signifikan antara teknik

relaksasi nafas dalam terhadap penurunan tingkat nyeri pada pasien pasca

operasi fraktur femur di Rumah Sakit Karima Utama Surakarta

B. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan tinjauan teori diatas, maka peneliti

menetapkan kerangka konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Teknik
Intensitas Nyeri Intensitas Nyeri
Relaksasi
Sebelum Perlakuan Sesudah Perlakuan
Nafas Dalam

Bagan 1
Kerangka Konsep

C. Definisi Operasional Penelitian

a. Perlakuan Teknik Relaksasi Napas Dalam

Teknik relaksasi napas dalam merupakan teknik yang diajarkan

kepada pasien pasca operasi femur untuk mengendorkan otot yang tegang

serta mengalihkan rasa nyeri dengan cara menarik napas sedalam-

dalamnya melalui hidung dan dikeluarkan melalui mulut secara perlahan-

lahan. Teknik relaksasi napas dalam diajarkan sampai pasien mampu

melaksanakannya sendiri dengan benar dan diajarkan setelah peneliti

mengetahui tingkat nyeri pada pasien sesaat sebelum diajarkan teknik

tersebut. Perlakuan teknik relaksasi napas dalam ini diberikan kepada

pasien pasca operasi fraktur femur.


45

b. Variable Penelitian

Tabel 3
Definisi Operasional

No Variabel Definisi Alat Cara Hasil Ukur Skala


Operasional Ukur ukur Ukur
1. Tingkat Tingkat rasa Checklist Observasi Skala nyeri Rasio
Nyeri nyeri yang di dengan pasien
rasakan oleh mengukur sebelum
pasien post Skala dan
operasi Nyeri sesudah
terapi
fraktur setelah
relaksasi
4 jam pernafasan
dilakukan
intervensi

D. Hipotesis Penelitian

Ho: Tidak ada pengaruh terapi relaksasi nafas dalam terhadap intensitas

nyeri pada pasien post operasi fraktur di ruang seruni RSUD Dr. M.

Yunus Bengkulu Tahun 2018

Ha: Ada pengaruh terapi relaksasi nafas dalam terhadap intensitas nyeri pada

pasien post operasi fraktur di ruang seruni RSUD Dr. M. Yunus

Bengkulu Tahun 2018


46

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di ruang seruni RSUD Dr. M. Yunus

Bengkulu pada bulan Juni-Juli 2018

B. Desain Penelitian

Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pra-Eksperimental

menggunakan The One Group Pretest Postest Design. Teknik yang

digunakan adalah observasi yaitu suatu metode dimana pengamat (observer)

ikut berpartisipasi dalam kegiatan yang dilakukan (Notoatmojo, 2010).

Pengukuran dilakukan sebelum dan sesudah perlakuan sehingga mendapatkan

perbandingan.

Dengan bentuk rancangan sebagai berikut

O1------------> X------------>O2

Keterangan:

O1 = Pretest sebelum perlakuan

X = Uji coba pelakuan/ intervensi pada kelompok perlakuan sesuai

protokol

O2 = Postest setelah perlakuan

46
47

C. Populasi dan sampel

1. Populasi

Adapun populasi dari penelitian ini adalah seluruh pasien post

operasi fraktur setelah 4 jam di ruang seruni RSUD Dr. M. Yunus

Bengkulu.

2. Sampel.

Pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik

Accidental Sampling yaitu teknik pengambilan sampel yang kebetulan

tersedia pada saat rentang waktu penelitian bulan Juni-Juli 2018. Dengan

kriteria sampel sebagai berikut:

a. Pasien post operasi fraktur dirawat di ruang seruni RSUD Dr. M.

Yunus Bengkulu

b. Pasien post operasi fraktur setelah 4 jam

c. Pasien composmentis

d. Pasien kooperatif

D. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data primer yang didapat melalui

penelitian langsung pada pasien post operasi fraktur setelah 4 jam di ruang

seruni RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu. Data yang didapat selanjutnya

dimasukkan ke dalam lembar isian.


48

E. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

1. Teknik pengolahan data

Data yang telah diperoleh dari format pengumpulan data yang telah

terkumpul selanjutnya diolah kembali dengan langkah-langkah sebagai

berikut :

a. Editing

Memeriksa ulang kelengkapan, kemudian kesalahan dan konsistensi

data

b. Coding( Pengkodean)

Mengklarifikasi jawaban menurut macamnya dengan memberikan

kode tertentu.Pada tahap ini data yang telah di peroleh di beri angka

atau kode tertentu untuk memudahkan pengenalan data.

c. Entry data (Pemasukan data)

Data yang telah dikoding dan dimasukkan ke dalam kode selanjutnya

dimasukkan ke dalam kartu tabulasi.

d. Cleaning data (pembersihan data)

Yaitu mengecek kembali data yang telah di proses apakah ada

kesalahan atau tidak pada masing-masing variabel yang sudah diproses

hingga dapat diperbaiki dan dinilai.

2. Teknik Analisis Data

Setelah data dikumpulkan, selanjutnya data diolah dengan

menggunakan program komputer dan dianalisis ke analisis univariat dan

analisis bivariat sebagai berikut:


49

a. Analisis Univariat

Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran

intensitas nyeri responden sebelum dan setelah dilakukan terapi

relaksasi nafas dalam pada pasien post operasi fraktur di ruang seruni

RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu Tahun 2018.

b. Uji Normalitas

Sebelum dilakukan uji korelasi, terlebih dahulu dilakukan uji

normalitas. Untuk menguji kenormalan data intensitas nyeri responden

sebelum dan setelah dilakukan terapi relaksasi nafas dalam

menggunakan uji Shapiro-wilk jika sampel yang diperoleh kurang dari

50 dan menggunakan Kolmogorov-smirnov test jika sampel yang

digunakan ≥ 50 responden.

c. Analisis Bivariat

Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui pengaruh terapi

relaksasi nafas dalam terhadap intensitas nyeri pada pasien post

operasi fraktur di ruang seruni RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu Tahun

2018 menggunakan uji Compared Mean Paired T Test dengan

menggunakan taraf signifikansi 5% (0,05). Jika data tidak normal

digunakan uji Wilcoxon Match Pair Test

You might also like

  • Proposal Ok
    Proposal Ok
    Document59 pages
    Proposal Ok
    Antonius Franklin Delano Rosevelt
    No ratings yet
  • Jurnal Ikhsan
    Jurnal Ikhsan
    Document17 pages
    Jurnal Ikhsan
    Antonius Franklin Delano Rosevelt
    No ratings yet
  • Kuesioner Ok
    Kuesioner Ok
    Document3 pages
    Kuesioner Ok
    Antonius Franklin Delano Rosevelt
    No ratings yet
  • KUESIONER
    KUESIONER
    Document4 pages
    KUESIONER
    Antonius Franklin Delano Rosevelt
    No ratings yet
  • Jurnal Eva
    Jurnal Eva
    Document14 pages
    Jurnal Eva
    Antonius Franklin Delano Rosevelt
    No ratings yet
  • Samsul Kuesoner
    Samsul Kuesoner
    Document6 pages
    Samsul Kuesoner
    Antonius Franklin Delano Rosevelt
    No ratings yet
  • Kuesioner Marwan
    Kuesioner Marwan
    Document7 pages
    Kuesioner Marwan
    Antonius Franklin Delano Rosevelt
    No ratings yet
  • KUESIONER
    KUESIONER
    Document3 pages
    KUESIONER
    Antonius Franklin Delano Rosevelt
    No ratings yet
  • Daftar Pustaka Hasni
    Daftar Pustaka Hasni
    Document2 pages
    Daftar Pustaka Hasni
    Antonius Franklin Delano Rosevelt
    No ratings yet