Professional Documents
Culture Documents
ABDULBASIR LANGUHA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Abdulbasir Languha
NIM P052020131
ABSTRACT
Beach tourism area in Tanjung Karang Pusentasi is one of tourism area in the
Donggala District, which has diversity and interesting tourism objects. Because
of this diversity, the Government of Donggala District has defined the area to
become the important area for tourism development. This tourism area is located
at the end of the Palu Bay and is directly toward the Makassar Strait, in Tovale,
Limboro, Boneoge, and Labuan Bajo villages. To develop this important tourism
area, a lot of researches need to be conducted. The objective of this research is to
study and develop community based tourism concept, based on: (1) community
perception on tourism activity and their expectation of involvement in developing
this sector; (2) traditional/local wisdom particularly on natural resources
management that can be used as a basis for a community based tourism
management; and (3) government concept and other stakeholder views related
with community based tourism management.
This research has recommended that there is a need to increase local community
capacity and their organization, as well as preparation of regulation and clear
mechanism in the community involvement and other stakeholders in the tourism
management in Tanjung Karang Pusentasi.
ABDULBASIR LANGUHA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2011
Judul Tesis : Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kawasan
Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi Donggala.
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti, M.Sc. Prof. Dr. E.K.S. Harini Muntasib, M.S
Ketua Anggota
Diketahui
Dr. Drh. Hasim, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
yang wajar IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis
dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
Penguji Luar Komisi Ujian Tesis : Dr. Ir. Etty Riani, MS
PRAKATA
Segala puji dan syuku penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan
Yang Maha Kuasa, atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat
diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada bulan
Juni sampai Agustus 2007 ini adalah pengelolaan pariwisata dengan judul
“Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Kawasan Wisata Pantai Tanjung
Karang Pusentasi Donggala”.
Selesainya penulisan karya ilmiah ini tidak terlepas dari peran kedua
pembimbing, masing-masing Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti selaku ketua komisi
pembimbing beserta Prof. Dr. E. K. S. Harini Muntasib, MS selaku anggota
komisi pembimbing yang telah banyak memberi bimbingan dan saran selama
proses penyelesaian studi. Penulis menyadari bahwa mungkin saja masih
terdapat banyak kekurangan dalam karya ilmiah ini. Berkaitan dengan itu, maka
segala hal yang berkaitan dengan kekurangan-kekurangan tersebut merupakan
kekeliruan penulis dan sepenuhnya merupakan tanggungjawab penulis.
Peran masyarakat, tokoh masyarakat, pengurus organisasi masyarakat,
dan aparat desa/kelurahan di kawasan wisata pantai Tanjung Karang Pusentasi
dalam mensukseskan kegiatan penelitian yang penulis lakukan sangatlah besar.
Demikian pula dengan aparat pemerintah Kecamatan Banawa dan Dinas
Pariwisata Kabupaten Donggala, pengusaha pariwisata dan Lembaga Swadaya
Masyarakat yang telah mendukung penulis dalam memberikan dukugan berupa
data dan informasi yang disampaikan ketika wawancara dilakukan. Penulis
berharap upaya yang telah mereka lakukan bersama penulis dalam mendiskusikan
masalah pariwisata di wilayah ini dapat memberikan dorongan dan nilai tambah
bagi upaya pembangunan pariwisata di Kabupaten Donggala.
Akhir kata, dengan segala kerendahan hati penulis menerima segala saran
dan kritik yang membangun demi perbaikan tulisan ini. Semoga tulisan ini dapat
bermanfaat bagi kita semua. Amien
Abdulbasir Languha
RIWAYAT HIDUP
meningkatkan devisa dari pertukaran dengan nilai mata uang asing dan
mendorong investasi, pariwisata juga merangsang diversifikasi kegiatan ekonomi
dan lapangan kerja bagi masyarakat (Sashidaran et al., 2002).
Salah satu upaya untuk mengatasi berbagai dampak negatif dan konflik
tersebut adalah dengan mengembangkan konsep pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat. Karena kegiatan pariwisata merupakan kegiatan usaha yang menitik
beratkan aspek sumberdaya alam dan budaya sebagai bahan baku produknya
maka pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis masyarakat dapat
dijadikan sebagai sumber inspirasi untuk mengkaji dan mengembangkan konsep
tersebut. Menurut Adhikari (2001) pengelolaan sumberdaya alam berbasis
masyarakat, termasuk didalamnya pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat,
merupakan suatu konsep pengelolaan yang dilakukan oleh, untuk, dan dengan
masyarakat lokal dengan tujuan untuk meningkatkan taraf hidup, jaminan dan
penguatan masyarakat lokal serta untuk meningkatkan upaya perlindungan
terhadap sumberdaya alam tersebut. Sehingga pariwisata berbasis masyarakat
dapat dipandang sebagai suatu alat untuk konservasi sumberdaya alam dan
budaya serta untuk pembangunan masyarakat (Harris dan Vogel, 2004) .
4
Potensi sumberdaya
alam dan sosial
budaya masyarakat
Pengelolaan
pariwisata berbasis
masyarakat
2.1. Pariwisata
Pariwisata merupakan suatu kegiatan perjalanan sementara seseorang ke
tempat lain dari tempat tinggal dan tempat kerjanya serta melakukan berbagai
kegiatan selama berada ditempat tujuan dan memperoleh kemudahan dalam
penyediaan berbagai kebutuhan yang diperlukan (Mathieson dan Wall, 1992).
Burkart dan Medik (1981) dalam Ross (1998) menggambarkan bahwa
kegiatan tersebut dilakukan oleh para wisatawan dengan memiliki ciri-ciri sebagai
berikut :
1. Kegiatan tersebut dilakukan dengan mengadakan perjalanan ke dan
tinggal diberbagai tempat tujuan.
2. Tempat yang dituju dalam kegiatan tersebut berbeda dari tempat tinggal
dan tempat kerjanya sehari-hari. Oleh karena itu kegiatan yang dilakukan
tidak sama dengan kegiatan penduduk yang berdiam dan bekerja ditempat
tujuan wisatawan.
3. Orang yang terlibat dalam kegiatan tersebut (wisatawan) bermaksud
pulang kembali dalam beberapa hari atau bulan. Karena itu perjalanannya
bersifat sementara dan berjangka pendek.
4. Perjalanan dilakukan bukan untuk mencari tempat tinggal untuk menetap
ditempat tujuan atau bekerja untuk mencari nafkah.
Spillane (1987) memberikan gambaran bahwa pariwisata merupakan suatu
perjalanan dari satu tempat ketempat lain, bersifat sementara, dilakukan secara
perorangan maupun secara kelompok sebagai usaha mencari keseimbangan atau
keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial,
budaya, alam dan ilmu. Disamping itu, menurut Cooper et al., (1999) kegiatan
pariwisata memiliki suatu kelebihan dimana “konsumsi dilakukan di tempat dan
pada saat yang sama dengan produksi”, sehingga dengan demikian wisatawan
yang datang akan mempengaruhi tempat tujuan wisata secara ekonomi, sosial dan
budaya.
Dari gambaran-gambaran yang dikemukakan tersebut dapat dikatakan
bahwa pariwisata merupakan suatu kegiatan yang tidak hanya sekedar dilakukan
untuk melakukan perjalanan dan menikmati suasana di tempat tujuan tetapi juga
10
memberi makna yang luas. Oleh karenanya kegiatan pariwisata juga memiliki
dimensi sosial, ekonomi, budaya, lingkungan dan dan berbagai interaksi antara
berbagai aspek kehidupan manusia. Berkaitan hal ini, Pendit (2003)
mengemukakan bahwa kegiatan pariwisata merupakan sebuah industri yang
didalamnya terdapat setidaknya sepuluh unsur pokok yaitu politik/kebijakan
pemerintah, perasaan ingin tahu yang melahirkan keinginan untuk berwisata, sifat
ramah tamah, aksesibilitas, akomodasi, transportasi, harga, publisitas dan
promosi, dan kesempatan berbelanja bagi wisatawan.
Secara garis besar, pariwisata dikelompokkan kedalam dua kategori yaitu
pariwisata alam dan pariwisata budaya. Pariwisata alam atau nature tourism atau
nature-based tourism adalah seluruh bentuk pariwisata yang secara langsung
tergantung pada sumber daya alam yang belum berkembang/dikembangkan,
termasuk pemandangan, topografi, perairan, tumbuhan dan hewan liar (World
Conservation Union, 1996 dalam Tribuwani, 2002). Selanjutnya Raharjo (2000)
dalam Winarso (2004) mengemukakan bahwa kegiatan wisata alam memiliki
prinsip-prinsip yaitu kontak dengan alam, pengalaman yang bermanfaat secara
pribadi maupun sosial, bukan merupakan mass tourism, mencari tantangan fisik
dan mental, interaksi dengan masyarakat dan belajar budaya setempat, adaptif
terhadap kondisi akomodasi pedesaan, toleran terhadap ketidaknyamanan,
partisipasi aktif, dan lebih mengutamakan pengalaman dibanding kenyamanan.
Berdasarkan hal tersebut, maka secara prinsip pariwisata alam tidak dapat
dipisahkan begitu saja dengan pariwisata budaya. Meskipun demikian, wisata
budaya dapat didefinisikan sebagai suatu kegiatan perjalanan yang semata-mata
hanya untuk pemahaman mendalam terhadap obyek atau peristiwa budaya disuatu
tempat tertentu (McKercher, 2002 dalam Suranti, 2005).
bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan penguatan masyarakat lokal serta
dalam rangka perlindungan terhadap sumberdaya alam.
Keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat
tergantung pada partisipasi masyarakat lokal dan hal tersebut dapat berlangsung
bila ada manfaat yang nyata diperoleh dari keterlibatan tersebut, akses yang tidak
terhambat serta status akan hak kepemilikan terhadap sumberdaya tersebut
(Adhikari, 2001). Hal ini berarti bahwa masyarakat harus memiliki
tanggungjawab yang penuh dan otonomi terhadap perlindungan dan pemanfaatan
sumberdaya alam (Uphoff, 2002)
Pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berkelanjutan tidak
hanya ditentukan oleh penggunaan teknologi yang tepat, tetapi juga sangat
ditentukan oleh sejauhmana keterlibatan institusi lokal (Rasmussen dan Meinzen-
Dick, 1995 ; Selman, 2001). Keterlibatan masyarakat dan institusi lokal
diharapkan dapat menghasilkan perencanaan pembangunan dan terbentuknya
konsensus yang berkaitan dengan keadaan lingkungan saat itu (Innes, 1996;
Selman, 2001). Selanjutnya, keberhasilan pendekatan partisipasi lokal akan
sangat ditentukan oleh adanya modal sosial (social capital) yang terdiri dari
organisasi-organisasi masyarakat, struktur masyarakat dan hubungan antar
individu yang terbangun didalam masyarakat tersebut (Selman, 2001).
Konsep pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat seringkali
diasosiasikan dengan berbagai istilah yang berkaitan seperti pengelolaan
sumberdaya masyarakat (community resource management), pengelolaan
sumberdaya pesisir berbasis masyarakat (community-based coastal resource
management), kehutanan masyarakat (community forestry), co-management
(Carr et al., 1998), collaborative management (Allmendinger, 2002).
Konsep-konsep tersebut pada dasarnya ditujukan agar dapat
mengakomodasi peranserta masyarakat yang bermukim disekitar wilayah
pengelolaan. Perencanaan pengelolaan lingkungan dan upaya meningkatkan
pembangunan berkelanjutan pada tingkat lokal akan sangat ditentukan oleh
partisipasi aktif masyarakat sekitar yang akan dipengaruhi oleh upaya
pengelolaan tersebut (Selman, 2001).
12
hidup masyarakat dalam segala aspek (ekonomi, sosial, lingkungan, dan budaya).
Upaya pengembangan masyarakat tersebut menurut Robert D. Putnam (Frank dan
Smith , 2005) dibangun berdasarkan atas empat sumberdaya yang penting yaitu
modal sosial, sumberdaya manusia, sumberdaya alam, dan finansial.
Pengembangan masyarakat diyakini sebagai suatu proses pembangunan
yang lebih bersifat partisipatif dan pemecahan masalah dilakukan secara bersama-
sama (cooperative) oleh semua pihak yang berkepentingan (Fuller dan Reid, 1998
dalam Pinel, 1999). Dengan demikian berarti bahwa aktifitas pengembangan
masyarakat merupakan upaya yang sangat tepat dalam rangka pemberdayaan
(empowerment) masyarakat, terutama masyarakat lokal yang masih memiliki
berbagai keterbatasan.
Pusentasi
pada bulan Juli dan Agustus yaitu 73 persen. Curah hujan pada tahun 2005 yaitu
antara 27-281 mm perbulan atau rata-rata 148,08 mm perbulan, sementara jumlah
hari hujan berkisar anatara 4-13 hari perbulan atau rata-rata 8,25 hari perbulan.
Penyinaran matahari rata-rata 69%, dan penguapan rata-rata 6,14 mm/hari.
Tabel 2. Keadaan curah hujan di Kecamatan Banawa tahun 2006
Lokasi pengukuran Bulan Hari hujan Curah hujan (mm)
Banawa Januari 12 281
Pebruari 8 125
Maret 11 200
April 9 183
Mei 7 265
Juni 5 81
Juli 13 177
Agustus 4 27
September 6 35
Oktober 4 29
Nopember 11 202
Desember 9 172
Sumber : Kecamatan Banawa dalam Angka, 2006
Bila dilihat pada tabel tersebut, sebagian besar masyarakat di kawasan ini
menggantungkan hidupnya sebagai buruh dan lainnya yang terdiri dari kegiatan-
kegiatan sebagai buruh baik di pelabuhan Donggala maupun sebagai buruh
bangunan, pegawai negeri, sopir, serta beberapa kegiatan jasa baik sebagai sopir
angkutan maupun sebagai ojek. Namun jika dicermati maka pekerjaan sebagai
nelayan menempati posisi yang tertinggi disusul oleh pekerjaan sebagai petani,
dan peternak.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari masyarakat di wilayah
penelitian, sebagian penduduk memiliki pekerjaan ganda seperti nelayan dan
peternak, nelayan dan petani, ataupun nelayan dan sesekali bekerja sebagai buruh
pelabuhan atau bangunan dan beberapa pekerjaan lainnya untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Hal tersebut terutama dilakukan pada saat musim tertentu
yaitu musim barat ketika mereka tidak dapat melaut karena cuaca yang tidak
memungkinkan. Keadaan tersebut dapat berlangsung selama kurang lebih tiga
bulan yaitu pada bulan Desember, Januari, dan Pebruari.
23
Bila dilihat dari sarana pendidikan yang ada maka peluang masyarakat
untuk mendapatkan pendidikan sampai pada tingkat menengah cukup besar.
Dengan demikian, sebagian penduduk di wilayah ini setidaknya memiliki tingkat
pendidikan yang setara dengan sekolah lanjutan pertama dan selanjutan tingkat
atas. Keadaan tersebut tidak dapat dijelaskan dengan rinci karena saat ini tidak
tersedia data yang menerangkan tentang tingkat pendidikan penduduk secara
keseluruhan baik pada ketiga desa/kelurahan di kawasan wisata ini maupu
Kecamatan Banawa secara keseluruhan.
Sedangkan yang berkaitan dengan sarana kesehatan, yang tersedia baru
berupa Puskesmas Pembantu (Pustu) masing-masing di desa Limboro, kelurahan
Labuan Bajo dan Boneoge. Hal ini dikarenakan jarak yang tidak terlalu jauh
(hanya sekitar 3 – 9 km) dari Kota Donggala yang memiliki sarana kesehatan
yang lebih lengkap, sehingga masih memungkinkan bagi masyarakat untuk
menjangkau dalam waktu yang tidak terlalu lama. Meskipun demikian, jika
dilihat dari kepentingan wilayah ini sebagai suatu kawasan wisata yang banyak
dikunjung orang dan memiliki peluang untuk menghadapi resiko didalam
aktifitasnya maka sarana kesehatan yang lebih baik tentu sangat dibutuhkan.
24
pada saat pasang, kecuali pada ujung bagian barat dimana terdapat pondok
peristrahatan/penginapan yang dimiliki oleh Pemda Kabupaten Donggala.
Dibandingkan dengan Tanjung Karang, lokasi ini agak jarang dikunjungi oleh
wisatawan. Meskipun demikian, wisatawan lokal yang berkunjung ke Tanjung
Karang sering melanjutkan perjalanan ke Boneoge untuk membeli ikan segar
yang dijual oleh nelayan yang baru tiba melaut.
Gambar 4. Sebagian Pantai Boneoge yang belum terurus (kiri), dan sumur laut
yang terdapat di Lokasi Pusentasi (kanan).
dari Palu, namun karena pengelolaan yang kurang baik lokasi ini sangat jarang
dikunjungi.
Lokasi yang terakhir adalah Pusentasi yang berjarang sekitar 500 meter
dari Kaluku. Di lokasi ini terdapat sebuah sumur air laut yang terletak ± 75 meter
dari bibir pantai yang oleh masyarakat disebut dengan pusentasi atau pusat laut.
Pusentasi merupakan lokasi yang dikelola oleh Dinas Pariwisata Seni dan Budaya
Kabupaten Donggala dan sering dijadikan sebagai lokasi festival budaya yang
dilakukan oleh pemerintah. Di lokasi ini terdapat beberapa bangunan sebagai
tempat peristrahatan bagi pengunjung dan sering pula digunakan sebagai ruang
pameran dan berbagai aktifitas lainnya. Setiap minggu lokasi ini ramai
dikunjungi oleh wisatawan lokal baik yang berasal dari Kota Palu maupun
Donggala, tetapi tidak diperoleh catatan tentang jumlah pengunjung yang
mendatangi lokasi ini.
Berkaitan dengan potensi pariwisata baik alam maupun budaya yang
tersedia, pemerintah daerah Kabupaten Donggala menjadikan lokasi-lokasi yang
terdapat di kawasan ini sebagai bagian dari prioritas pengembangan pariwisata
(Bappeda Kabupaten Donggala, 1999). Berdasarkan rencana strategi
pengembangan kepariwisataan Kabupaten Donggala, aspek-aspek yang perlu
mendapat perhatian adalah dalam hal pengembangan produk yang khas dan
memiliki daya tarik, promosi, peningkatan keterampilan pengelola, dan
pengembangan kelembagaan (Disparsenibud Donggala, 2002).
Selandia Baru 3 orang, Ukraina 2 orang, serta Belgia, Italia, dan Thailand
masing-masing 1 orang, dengan waktu tinggal selama 5 – 21 hari.
Wisatawan lokal yang berkunjung terutama berasal dari kota Palu yang
terdiri atas pelajar, mahasiswa, dan pegawai negeri dan swasta yang berkunjung
secara perorangan maupun berkelompok. Mereka memanfaatkan hari-hari libur
untuk berkunjung ke beberapa lokasi wisata di Kawasan Tanjung Karang
Pusentasi. Diantaranya ada pula yang menggunakan sarana penginapan/cottage
baik yang disediakan oleh pemerintah, pengusaha wisata, maupun masyarakat
lokal untuk bermalam di lokasi wisata. Sementara itu, wisatawan nusantara yang
berkunjung sebagian besar adalah warga masyarakat dari luar daerah baik dari
bwebagai wilayah di Sulawesi maupun dari daerah lainnya yang kebetulan
memiliki kegiatan baik di Palu maupun Donggala.
IV. METODE PENELITIAN
Tabel 12. Kegiatan pertanian dan perkebunan yang dimiliki oleh masyarakat
(Ha).
Jenis tanaman pertanian Jenis tanaman perkebunan
Desa/Kelurahan
Padi Jagung Kelapa Cacao
Boneoge 0 4 102 6
Labuan Bajo 0 0 175 0
Limboro 40 10 120 17
Sumber : Kecamatan Banawa Dalam Angka, 2006
Tabel 13. Kepemilikian lahan dan jenis tanaman yang diusahakan oleh
masyarakat.
Kelurahan/ Lokasi Kepemilikan Jenis tanaman
Desa Lahan (ha) yang diusahakan
Tanaman tahunan : kelapa dan coklat.
Boneoge Boneoge 0,25 – 2
Tanaman semusim : padi ladang,
Labuan Bajo Tanjung 0,25 – 2 jagung, ubi kayu, pisang, serta
Karang tanaman-tanaman hortikultura seperti
cabe, tomat dan sayuran.
Limboro Dusun Kaluku 0,25 – 3
kondisi sosial, ekonomi, dan politik lokal merupakan basis pertimbangan untuk
memilih destinasi dan 37 persen mengatakan pentingnya menjalin interaksi
dengan masyarakat setempat.
Manfaat lainnya yang juga dikemukakan oleh masyarakat adalah yang
berkaitan dengan kondisi lingkungan (30 %). Kondisi lingkungan yang
dimaksudkan adalah menyangkut kebersihan dan keindahan lingkungan
pemukiman, serta kebersihan dan keindahan pantai. Dikemukakan bahwa kondisi
lingkungan pemukiman dan pantai saat ini sangat jauh berbeda dengan
keadaannya ketika kegiatan pariwisata belum intensif seperti saat ini, terutama di
Tanjungkarang.
Pada beberapa tempat tertentu, khususnya di desa Boneoge, kebersihan
dan keindahan pantai masih kurang tertata dengan baik. Hal ini disebabkan
karena hanya sebagian kecil wilayah desa ini yang dimanfaatkan sebagai lokasi
wisata, walaupun hampir sepanjang desa memiliki potensi wisata yang cukup
baik karena memiliki pantai yang berpasir putih. Salahsatu kendala dalam
penataan lokasi ini adalah karena padatnya rumah sebagai tempat pemukiman
nelayan, utamanya di desa Boneoge. Melalui diskusi kelompok dan wawancara
yang dilakukan terhadap masyarakat di desa ini juga terungkap keinginan mereka
untuk menata kondisi ini, meskipun masih ada kekhawatiran bila suatu saat
mereka akan kehilangan lahannya ketika lokasi ini juga sudah berkembang.
Disamping pemahaman tentang lingkungan yang terbatas pada aspek
penataan pemukiman, sebagian masyarakat dan stakeholder lainnya juga
mengemukakan tentang manfaat kegiatan pariwisata terhadap lingkungan alam.
Dikemukakan bahwa keadaan ini tidak berdiri sendiri sebagai sesuatu yang
dipengaruhi langsung oleh kegiatan pariwisata tetapi merupakan suatu rantai
proses sebab-akibat antar berbagai manfaat tersebut.
Manfaat ekonomi yang diperoleh dari kegiatan pariwisata akan
mendorong masyarakat untuk tetap melestarikan budaya lokal dan menjaga
kondisi lingkungan alam, karena keduanya merupakan sumberdaya ekonomi
yang dimiliki oleh suatu lokasi pariwisata. Bila penanganan terhadap kedua aspek
tersebut berlangsung dengan baik maka manfaat ekonomipun akan diperoleh.
Selanjutnya juga dikemukakan bahwa terpeliharanya budaya lokal akan sangat
48
Kelompok tani/nelayan
Pengusaha pariwisata
Kelompok pengajian
PKK/Dasa Wisma
Masyarakat lokal
Kelompok arisan
Dinas pariwisata
Karang Taruna
desa/kelurahan
Lembaga adat
Pemerintah
LSM /KSM
Jenis /
Bentuk kegiatan
Pengelolaan kawasan
wisata
Perencanaan lokasi
- √ √ √ √ - - - - - -
Wisata
Pengembangan produk - √ √ - - - - - - - -
Pemasaran wisata - √ √ - - - - - - - -
Pengelolaan pintu √ - - - √ - √ - - - -
masuk lokasi
Pengelolaan usaha
Akomodasi - √ √ - - - - - - - -
Pondok peristrahatan √ - √ - - - - - - - -
Transportasi wisata √ √ -
Penyediaan suvenir - √ - - - - - - - - -
Jasa penyediaan - √ - - - - - - - -
konsumsi
Pemandu wisata - √ - - √ - - - - - -
Penyediaan sarana √ √ - - - - - - - - -
rekreasi
Berdagang makanan √ - - - - - - - - - -
Monitoring dan evaluasi - √ √ √ √ - - - - - -
kepariwisataan
Keterangan : Tanda √ menandakan adanya keterlibatan/partisipasi.
Partisipasi masyarakat dalam kegiatan pariwisata setidaknya berkaitan
dengan dua hal yaitu peran masyarakat dalam pengambilan keputusan, dan
pembagian manfaat dari kegiatan pariwisata (McIntosh dan Goeldner, 1986
dalam Ying dan Zhou, 2007). Bagi masyarakat lokal yang berada di kawasan
wisata Tanjungkarang Pusentasi, kedua hal tersebut nampaknya belum
sepenuhnya dapat diperoleh. Pada Tabel 23 terlihat bahwa partisipasi masyarakat
lokal masih terbatas pada kegiatan usaha tertentu yang mampu mereka lakukan
52
Bila kita mencermati keadaan yang berkembang pada kawasan wisata ini,
seperti yang telah diuraikan diatas, terlihat bahwa terdapat dua tingkatan
partisipasi yang telah terjadi ditengah masyarakat. Disatu sisi, berkaitan dengan
konsep dan rencana pengembangan kawasan wisata posisi masyarakat beserta
organisasi lokal yang dimilikinya masih berada pada tingkatan partisipasi yang
terendah dimana masyarakat hanya mendapatkan pemberitahuan (informing),
yang oleh Pretty (1994) dalam Pleumaron (1997) dinyatakan sebagai partisipasi
pasif. Pada posisi ini masyarakat masih ditempatkan sebagai penerima informasi
dari pihak luar. Adapun proses yang dilakukan hanya bersifat formalitas sebagai
suatu syarat yang mungkin harus dilakukan dan komunikasi yang terjadi bersifat
satu arah. Namun pada sisi lain, masyarakat telah mengambil inisiatif untuk ikut
didalam proses untuk mendapatkan manfaat dari berkembangnya kegiatan
pariwisata tersebut.
Keadaan yang terakhir tersebut, bila dikaitkan dengan konsep tingkatan
partisipasi yang dikemukakan oleh Pretty (1994) dalam Pleumaron (1997) berada
pada tingkatan dimana masyarakat sudah mulai masuk pada partisipasi untuk
mendapatkan insentif material. Tingkatan ini masih sangat riskan karena
didalamnya, biasanya, tidak terjadi proses belajar yang dapat membangun
kekuatan masyarakat, dan akibatnya bila aktifitas yang menjadi tempat
bergantung masyarakat terhenti maka akan sangat mempengaruhi kehidupan
54
mereka. Oleh karena itu maka proses yang harus dilakukan adalah meningkatkan
partisipasi masyarakat kepada tingkatan yang lebih bersifat fungsional dimana
mereka dapat membangun kekuatan bersama melalui pengembangan kelompok
atau organisasi lokal yang dapat membangun inisiatif, ataupun merespon inisiatif
dari luar dengan posisi tawar yang cukup kuat.
Sehubungan dengan keadaan yang dikemukakan tersebut, diperlukan
suatu upaya untuk membangun kapasitas organisasi lokal yang dimiliki oleh
masyarakat dengan melibatkan mereka didalam proses kegiatan kepariwisataan di
kawasan ini. Pengembangan kapasitas ini penting untuk meningkatkan kekuatan
organisasi lokal dalam proses pengambilan keputusan pemanfaatan sumberdaya
alam dan budaya untuk kepentingan pariwisata, dimana efektifitas pengelolaan
sumberdaya tergantung kepada kekuatan organisasi tersebut dan hanya dapat
dilakukan bila didukung oleh semua pihak terutama pemerintah (Pomeroy, 1995).
Tabel 21. Potensi atraksi wisata yang terdapat di kawasan wisata Tanjung
Karang Pusentasi.
Potensi
Lokasi Aksesibilitas
Alam Budaya
Tanjung - Pemandangan alam Pembuatan barang Berjarak ± 3 km dari
Karang - Pantai pasir putih kerajinan dari kayu kota Donggala dan ±
- Terumbu karang dan tempurung 37 km dari kota Palu .
- Tracking kelapa. Mudah dijangkau
oleh semua jenis
kendaraan.
Boneoge - Pemandangan alam - Kegiatan panambe Berjarak ± 5 km dari
- Pantai pasir putih yang dilakukan oleh kota Donggala.
- Sunset nelayan. Beberapa lokasi
- Tracking - Produk masakan hasil tertentu di desa ini
laut. hanya dapat
- Pembuatan barang dijangkau dengan
kerajian dari kayu dan berjalan kaki dan
tempurung kelapa. menggunakan perahu.
56
Unsur Mekanisme
Atraksi alam dan - Masyarakat menggali dan merumuskan beberapa potensi alam dan
budaya budaya yang dapat dikembangkan menjadi produk wisata.
- Masyarakat secara berkelompok memproduksi atraksi wisata
berdasarkan potensi alam dan budaya tersebut dengan bimbingan
pemerintah, swasta, LSM, dan pihak lainnya yang berkepentingan.
Usaha jasa - Masyarakat menata pemukiman dan rumah mereka agar bagi yang
berkeinginan dapat dikembangkan menjadi rumah penginapan
wisatawan.
- Masyarakat mengembangkan resep makan dengan bahan lokal bagi
wisatawan.
- Menggali dan memproduksi kembali barang kerajinan yang pernah
dibuat oleh masyarakat sebagai souvenir dan peralatan makan
wisatawan.
- Menfungsikan perahu nelayan sebagai sarana transportasi wisata.
- Pemanfaatan warga masyarakat lokal sebagai pemandu wisata.
Informasi wisata - Masyarakat bersama pihak terkait lainnya melakukan inventarisasi,
dokumentasi, penyebarluasan informasi potensi wisata alam dan
budaya.
- Masyarakat bersama pihak lainnya menyusun pedoman bagi
58
makan, dan penyewaan tikar dan ban untuk keperluan wisatawan, terutama
wisatawan lokal.
Kaili pada umumnya) menerapkan hal tersebut kedalam pola pemanfaatan lahan
dengan berbagai kepentingannya. Pola pemanfaatan lahan oleh masyarakat
dikemukakan pada Tabel berikut.
Tabel 24. Pola pemanfaatan lahan pada masyarakat Kaili di Tanjung Karang
Pusentasi
Pola pemanfaatan
Deskripsi Vegetasi Pemanfaatan
dan kepemilikan
Ngapa Wilayah yang Tanaman buah, Perumahan dan
(Perorangan dan diperuntukan bagi sayuran, dan prasarana
komunal) pemukiman. tanaman obat. masyarakat.
Pampa Lahan kebun atau Umbi-umbian, Subsisten, sebagai
(Perorangan) ladang yang ditanami jagung, tanaman penyanggah
tanaman berumur sayuran, dan kehidupan sebelum
pendek. tanaman obat. talua berproduksi.
Talua Lahan kebun yang Kelapa, cokelat, Kebutuhan jangka
(Perorangan) ditanami tanaman yang kopi, tanaman panjang, termasuk
berumur panjang. jangka panjang kebutuhan pangan
lainnya, dan padi tahunan.
ladang (umur pada
ladang ± 6-7
bulan).
Ova Lahan hutan bekas Tanaman keras Cadangan lahan
(Perorangan dan kebun yang telah terutama buah- dan produksi buah-
komunal) mengalami masa bera. buahan, tanaman buahan lokal.
kayu, dan belukar.
Pangale Hutan yang pernah Tanaman kayu, Produksi rotan,
(Komunal) dimanfaatkan atau rotan, dan berbagai tanaman obat, dan
dikelola tetapi telah jenis lainnya perburuan satwa
pulih kembali.
Sumber mata air
Olo Wilayah hutan yang Tanaman kayu dan
dan perlindungan
(Adat) sama sekali tidak dapat berbagai vegetasi
alam.
dikelola lainnya
secara adat kepada masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan pemukiman dan
kebutuhan ekonomi masyarakat. Lahan komunal merupakan lahan yang dimiliki
secara kelompok dan dimanfaatkan serta diatur penggunaannya oleh kelompok.
Pengelolaan secara kelompok ini dikenal dengan sebutan nosialampale.
Sementara itu, kepemilikan lahan secara adat dilakukan untuk mengatur
penggunaan lahan agar kepentingan masyarakat dan kepentingan pelestarian alam
dapat berjalan seimbang.
Kegiatan pelestarian alam dilakukan oleh masyarakat selain untuk
kepentingan cadangan untuk kebutuhan masa depan juga ditujukan untuk
melindungi tata air bagi suatu lokasi tertentu. Pada beberapa desa di Kecamatan
Banawa, termasuk di kawasan ini, terdapat lokasi yang dilindungi oleh
masyarakat melalui mekanisme adat. Suatu lokasi tertentu yang dilindungi selain
dikeramatkan juga dikuti oleh aturan-aturan tertentu yang mengikat dan harus
ditaati oleh masyarakat. Resiko yang akan ditanggung bila melanggar, disamping
sanksi adat yang diberikan juga diyakini akan menyebabkan bencana berupa
gangguan hama tanaman, banjir, hilangnya sumber air, dan dapat pula
menyebabkan timbulnya wabah penyakit yang menimpa masyarakat.
Keseimbangan dalam memanfaatkan potensi sumberdaya alam ini, selain
di aktualisasikan dalam pola pemanfaatan lahan, juga dilakukan oleh masyarakat
dalam pengelolaan lahan pertanian. Kegiatan pertanian dilakukan oleh
masyarakat dengan menggunakan mekanisme yang sama dengan umumnya
berlaku pada masyarakat lainnya. Meskipun demikian, bagi masyarakat Kaili di
kawasan ini, proses pengelolaan lahan pertanian dilakukan dengan
menggabungkan teknik pertanian dan prosesi adat yang dianut dan diyakini
manfaatnya oleh masyarakat. Mekanisme pengelolaan usahatani yang dilakukan
oleh masyarakat dikemukakan pada Tabel 25.
63
dapat dikelola maka masyarakat yang akan membuka lahan harus mencari lokasi
lain yang tepat. Pertimbangan yang diambil dalam penentuan lokasi oleh sobo
merupakan perpaduan antara pertimbangan-pertimbangan topografi, ekologi, dan
metafisik.
Demikian pula dengan tahapan-tahapan selanjutnya seperti pengolahan
lahan, penanaman, panen dan kegiatan paska panen. Penentuan waktu
dimulainya pengolahan lahan dan penanaman ditentukan berdasarkan tanda-
tanda alam. Keseluruhan rangkaian kegiatan tersebut, terutama nompepoyu,
notuja, dan nokato/nompui selalu didahului dengan kegiatan ritual yang dipimpin
oleh sobo dengan disertai semacam dialog dengan alam yang oleh masyarakat
disebut dengan nogane. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan oleh masyarakat
secara gotong royong yang disebut nosialampale.
Untuk memanfaatkan potensi sumberdaya alam yang terdapat di laut,
masyarakat di kawasan ini juga memiliki pengetahuan dan kearifan tertentu agar
potensi tersebut dapat terjaga dan dapat dimanfaatkan secara turun temurun.
Masyarakat masih memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan ketersediaan
sumberdaya perikanan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan mereka.
Pengetahuan-pengetahuan tersebut diantaranya adalah waktu yang tepat untuk
melakukan penangkapan berdasarkan tanda-tanda alam seperti perbintangan,
kondisi permukaan air laut, dan kondisi pasang surutnya air laut, serta
pengetahuan tentang habitat yang menjadi tempat hidup dan berkembangnya
jenis-jenis ikan tertentu.
Masyarakat yang terdapat di kawasan ini menyebut lokasi yang menjadi
habitat dari ikan-ikan tersebut berdasarkan jenis ikan yang dominan di lokasi
tersebut. Sebagai contoh misalnya, pasi pogo yang merupakan habitat tempat
berkembangnya sejenis ikan karang yang mereka sebut dengan bau pogo. Dalam
bahasa Kaili, pasi berarti gugusan terumbu karang, sedangkan bau berarti ikan.
Pengetahuan mereka tentang keadaan ini juga termasuk kapan waktu yang tepat
untuk dilakukan penangkapan agar supaya potensi yang terdapat pada lokasi
tersebut punah. Oleh karena itu dalam menjaga keberlanjutan pemanfaatan
sumberdaya tersebut maka masyarakat Kaili memiliki kearifan tertentu yang
disebut ombo.
65
Jenis produk
Kegiatan Deskripsi
(Nama lokal)
Menenun Buya Sabe Suatu bentuk ekspresi seni budaya masyarakat Kaili
(Nontanu) yang dituangkan kedalam bentuk pembuatan kain
sarung dari benang sutera dengan berbagai motif.
Pembuatan Sindu Sendok sayur yang terbuat dari tempurung kelapa
alat-alat dengan menggunakan kayu sebagai tangkainya.
rumahtangga
Bobo Alat penyimpan air yang terbuat dari tempurung
kelapa bulat yang telah dikeluarkan dagingnya.
Pemanjo Belahan tempurung kelapa yang berbentuk
mangkok sebagai tempat cuci tangan. Bentuk yang
seperti ini kadang juga digunakan oleh masyarakat
sebagai tempat hidangan sayur.
Suge Sendok nasi yang terbuat dari bahan kayu yang
terdapat disekitar desa.
Salahsatu produk budaya masyarakat di wilayah ini yang saat ini telah
memiliki nilai ekonomi adalah pembuatan sarung Donggala yang diproduksi
dengan menggunakan alat tenun tangan. Pembuatan sarung ini merupakan
keterampilan yang telah dimiliki secara turun temurun oleh masyarakat di
wilayah ini serta pada masyarakat Kaili di beberapa wilayah lainnya. Pada
67
masyarakat Kaili, kegiatan ini biasa disebut dengan kegiatan nontanu yang dalam
bahasa Indonesia berarti menenun.
Nontanu adalah kegiatan membuat kain sarung yang juga merupakan
salahsatu bentuk ekspresi seni budaya masyarakat lokal Kaili yang yang
dituangkan kedalam kain sarung yang ditenun secara manual dengan
menggunakan alat tenun tangan. Kegiatan masyarakat ini sudah berlangsung
sejak zaman dahulu, meskipun tidak diperoleh informasi yang menyatakan sejak
kapan kegiatan ini dilakukan, dan merupakan keterampilan dan aktifitas yang
dilakukan oleh seorang gadis disamping aktifitas-aktifitas lainnya yang dilakukan
di rumah. Meskipun dahulu produksi sarung ini bukan untuk kepentingan
ekonomi tetapi hanya merupakan aktifitas yang berorientasi sosial dan budaya,
namun saat ini telah menjadi sebuah kegiatan yang memberikan nilai ekonomi
bagi masyarakat.
Gambar 7. Kegiatan nontanu yang dilakukan oleh seorang gadis di kawasan wisata
Tanjung Karang Pusentasi. (Foto : Yayasan BEST)
Tabel 30. Pandangan aparat pemerintah, swasta, dan LSM tentang peran dan
posisi masyarakat.
Tabel 31. Analisis faktor internal yang merupakan kekuatan dalam pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat.
Prioritas
Rating
Bobot
No. Faktor Internal
Nilai
Kekuatan :
1. Potensi alam berupa pemandangan alam laut, pantai 1,00 4 4,00 I
pasir putih, terumbu karang, dan potensi alam daratan
untuk melakukan tracking (lintas alam).
2. Budaya dan kearifan masyarakat dalam melakukan 1,00 4 4,00 I
kegiatan yang selaras alam serta kearifan masyarakat
dalam melindungi terumbu karang melalui ombo,
kegiatan panambe, kegiatan nontanu, dan produk
kesenian lokal.
3. Keinginan yang kuat dari masyarakat untuk 0,50 2 1,00 IV
mengembangkan potensi sumberdaya pariwisata.
4. Keterampilan masyarakat dalam menghasilkan produk 0,75 4 3,00 II
kerajinan dan olahan makanan lokal yang berasal dari
hasil laut.
5. Kelembagaan sosial masyarakat yang masih terpelihara 0,75 3 2,25 III
(kelompok nelayan, institusi adat, kelompok
dasawisma/PKK, kelompok pemuda, dan kelompok
keagamaan).
Jumlah 14,25
Keterangan :
Pembobotan didasarkan pada tingkat pengaruh faktor tersebut terhadap konsep
pariwisata berbasis masyarakat. Kriteria digunakan (1,00 =sangat berpengaruh ; 0,75
=berpengaruh ; 0,50 =cukup berpengaruh ; 0,25 =kurang berpengaruh ; 0,00 = tidak
berpengaruh).
Rating yaitu tingkat kepercayaan atau keyakinan akan pentingnya aspek tersebut,
menggunakan skala Likers dengan nilai 1-4 dengan kategori : 1 =kurang penting, 2
=cukup penting, 3 =penting, 4 =sangat penting.
Nilai merupakan hasil perkalian antara bobot dengan rating.
dikaitkan dengan hasil pemetaan masyarakat tentang potensi atraksi wisata alam
dan budaya yang dikemukakan pada pembahasan sebelumnya. Meskipun
demikian, faktor-faktor lain seperti keterampilan masyarakat dalam memproduksi
barang kerajinan lokal (3,00), kelembagaan sosial masyarakat (2,25), dan
motivasi masyarakat lokal (1,00) tetap memegang peranan penting dalam upaya
pengembangan kegiatan pariwisata berbasis masyarakat.
Tabel 32. Analisis faktor internal yang merupakan kelemahan dalam pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat.
Prioritas
Rating
Bobot
No. Faktor Internal
Nilai
Kelemahan :
1. Akses masyarakat yang lemah terhadap informasi 1,00 4 4,00 I
pengembangan pariwisata.
2. Rendahnya kemampuan permodalam nasyarakat dalam 0,75 4 3,00 II
mengembangkan usaha yang berkaitan dengan kegiatan
pariwisata.
3. Masih rendahnya kemampuan masyarakat dalam 0,75 4 3,00 II
merancang produk dalam bentuk atraksi wisata.
4. Keterampilan masyarakat dalam pengelolaan lokasi 0,75 4 3,00 II
wisata yang masih rendah.
5. Belum ada kerjasama antar lembaga masyarakat yang 0,50 3 1,50 IV
terdapat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi.
Jumlah 14,50
Tabel 33. Analisis faktor eksternal yang merupakan peluang dalam pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat.
Prioritas
Rating
Bobot
No. Faktor Eksternal
Nilai
Peluang
1. Dukungan pemerintah kepada masyarakat untuk 1,00 3 3,00 II
melindungi potensi sumberdaya alam dan budaya
(Renstra Pariwisata Donggala).
2. Pengembangan obyek wisata lokal dengan ciri khas 0,75 3 2,25 III
daerah sebagai bagian dari aktifitas masyarakat
(Renstra Pariwisata Donggala)
3. Dukungan pemerintah untuk meningkatkan peran aktif 1,00 4 4,00 I
masyarakat (Renstra Pariwisata Donggala).
4. Adanya keinginan pihak swasta/pengusaha untuk 0,50 2 1,00 IV
melibatkan masyarakat lokal.
5. Dukungan/perhatian lembaga swadaya masyarakat 0,75 4 3,00 II
untuk mendorong peranserta masyarakat dalam
pengembangan pariwisata.
Jumlah 13,25
Tabel 34. Analisis faktor eksternal yang merupakan ancaman dalam pengelolaan
pariwisata berbasis masyarakat.
Prioritas
Rating
Bobot
No. Faktor Eksternal
Nilai
Ancaman :
1. Tidak adanya aturan dan mekanisme yang jelas, dari 1,00 4 4,00 I
pemerintah, yang dapat menjamin keterlibatan
masyarakat dalam kegiatan pariwisata.
2. Kegiatan pariwisata yang berbenturan dengan kegiatan 1,00 3 3,00 II
ekonomi masyarakat lokal dan mengamcam akses
masyarakat terhadap sumberdaya.
Kegiatan pembangunan pariwisata yang dilakukan oleh
3. pemerintah yang lebih menekankan pada aspek fisik. 0,75 2 1,50 IV
Pembangunan prasarana penunjang pariwisata yang
megakibatkan kerusakan lingkungan.
4. Sikap pemerintah yang lebih berpihak kepada 0,50 3 1,50 IV
pengusaha/swasta.
5. 0,75 4 3,00 III
Jumlah 13,00
faktor-faktor internal dan eksternal pada Tabel 31, 32, 33, dan 34 kedalam 4
pilihan strategi sebagaimana dikemukakan pada Tabel 35 berikut.
Faktor internal
Kekuatan (S) Kelemahan (W)
Faktor eksternal (13,50) (14,50)
Peluang (O) Strategi S-O Strategi W-O
(13,25) (26,75) (27,75)
Ancaman (T) Strategi S-T Strategi W-T
(13,00) (26,50) (27,50)
Gambar 8. Matriks nilai strategi SWOT dalam pengelolaan pariwisata berbasis
masyarakat di Tanjung Karang Pusentasi.
80
memetakan potensi yang mereka miliki termasuk kekurangan dan kelebihan yang
terdapat didalamnya.
Ketiga, pengembangan kemampuan permodalan dan pengelolaan usaha
masyarakat lokal. Hal ini merupakan salahsatu masalah yang dihadapi oleh
masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi seperti yang dialami
oleh kebanyakan masyarakat di desa-desa pantai yang sebagian besar bekerja
sebagai nelayan dan memiliki kemampuan modal yang sangat terbatas. Upaya
yang dilakukan dalam mengembangkan kemampuan masyarakat lokal dalam
pengelolaan usaha pariwisata serta seberapa besar manfaat yang diperolehnya
tergantung pada beberapa faktor penting seperti jenis wisata yang dikembangkan,
regulasi dalam perncanaan pengembangan, kepemilikan lahan, dan akses
masyarakat terhadap permodalan (Ashley et al, 2000).
Keempat, pengembangan jaringan dan kemitraan yang memungkinkan
masyarakat lokal dapat memperoleh manfaat dari kegiatan pariwisata yang
berlangsung. Berbagai manfaat yang dapat diperoleh masyarakat lokal
diantaranya informasi yang berkaitan dengan peluang usaha yang dapat
dikembangkan dalam menunjang kegiatan pariwisata, pengetahuan dan
keterampilan yang dibutuhkan untuk mengelola usaha pariwisata, dan
kemungkinan dikembangkannya kegiatan usaha bersama dengan stakeholder
lainnya. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat lokal meskipun memiliki
modal usaha yang terbatas tetapi memiliki asset sumberdaya alam dan budaya.
Pengambilan keputusan yang meskipun dilakukan untuk kepentingan
lokal yang menyangkut pengembangan masyarakat dan wilayah tertentu sangat
berkaitan dengan berbagai kepentingan yang lebih luas. Oleh karenanya, untuk
mengembangkan kegiatan pariwisata di wilayah ini dibutuhkan jaringan
kerjasama dan kemitraan antara berbagai stakeholder terkait. Pendekatan tersebut
dapat membangun tanggungjawab bersama dalam perencanaan, pengambilan
keputusan, pemecahan masalah, dan implementasi serta evaluasi kegiatan
(International Council on Local Environmental Initiative, 1999).
Kelima, aturan atau pedoman yang mengatur mekanisme keterlibatan
masyarakat lokal dalam pengelolaan pariwisata. Salahsatu kelemahan yang
terdapat dalam upaya membangun pariwisata di daerah saat ini adalah lemahnya
84
Keluaran dari assessment yang dilakukan dapat berupa hal-hal yang dapat
dijadikan materi penyusunan konsep dan mekanisme pengelolaan (tangible
outputs) maupun hal-hal yang berfungsi sebagai moral pendukung (less-tangible
outputs) bagi pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (Pinel, 1998).
Secara umum keluaran yang mencakup kedua aspek tersebut disajikan pada Tabel
36.
89
Tahapan yang terakhir adalah monitoring dan evaluasi. Pada tahapan ini
semua stakeholder secara bersama melakukan peran pemantauan dan penilaian
terhadap keseluruhan aktifitas dan produk yang telah dihasilkan. Dalam hal ini
juga mencakup penilaian terhadap tahapan-tahapan proses sebelumnya sehingga
didapatkan suatu mekanisme proses, keluaran proses, dan produk wisata yang
lebih baik. Hal ini penting dilakukan agar sistim pengelolaan yang
dikembangakn dapat mengantisipasi dan beradaptasi dengan dinamika
perkembangan pariwisata dan masyarakat.
ini sangat penting untuk dilakukan. Sumber pendanaan tidak hanya berasal dari
bantuan-bantuan pemerintah, tetapi dapat bersumber dari bantuan pihak swasta
dan lembaga-lambaga pendaanaan serta sumber-sumber dana yang bersifat hibah
dari berbagai pihak yang memiliki kepedulian.
Disamping itu, suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan adalah
bagaimana mengurangi intervensi pendanaan dari luar yang dapat memberatkan
masyarakat, dengan jalan mengembangkan sumberdaya yang bersumber dari
potensi lokal untuk menciptakan sumber pendanaan bagi masyarakat. Dengan
demikian maka, masyarakat lokal akan memiliki kontrol yang kuat terhadap
sumberdaya (Agrawal dan Gibson, 1999) yang terdapat di kawasan tersebut.
Dukungan lainnya yang juga sangat penting adalah kegiatan penelitian
dan pengembangan. Hal ini dilakukan untuk menemukan pemecahan terhadap
masalah yang dihadapi oleh masyarakat lokal dan pihak-pihak lainnya yang
terlibat langsung didalam kegiatan pariwisata. Keterbatasan yang mereka miliki
dalam kaitan ini, harus dilakukan oleh pihak lain yang lebih berkompeten dan
memiliki kemampuan yang tepat. Dalam hal ini, perah pihak lainnya seperti
Perguruan Tinggi, lembaga-lembaga penelitian dan pengkajian yang ada baik di
daerah maupun pusat sangat diperlukan. Dengan demikian maka upaya untuk
membangun sinergi dengan memadukan kekuatan yang berbeda yang dimiliki
oleh masing-masing pihak dapat tercipta, dan upaya untuk mebangun pariwisata
berbasis masyarakat dapat diwujudkan.
berlangsung saat ini. Hal ini terjadi karena dalam proses pengembangan
pariwisata belum menempatkan masyarakat lokal dan kelembagaan yang terdapat
didalam masyarakat sebagai subyek, tetapi masih diposisikan sebagai obyek
dalam setiap proses pengembangan pariwisata. Padahal keberhasilan kegiatan
pengelolaan sumberdaya alam, dimana pariwisata sebagai salahsatu bentuk
pemanfaatan tersebut, sangat ditentukan oleh keterlibatan masyarakat (Damanik
dan Weber, 2006) dan institusi lokal (Uphoff, 1987 dalam Brandon, 1993 ;
Rasmunsen dan Meinzen-Dick, 1995 ; Selman, 2001 ; Damanik dan Weber,
2006) yang terdapat didalamnya.
Meskipun secara eksplisit terlihat bahwa terdapat perbedaan kepentingan
pada masing-masing kelompok stakeholder tersebut, namun sebenarnya terdapat
kaitan yang sangat erat antar masing-masing kepentingan yang berbeda tersebut
jika dikaitkan dengan upaya pengembangan kegiatan pariwisata. Kepentingan
pengusaha pariwisata dalam upaya meningkatkan jumlah wisatawan dapat
memberikan peluang bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatan melalui
keikutsertaan dalam kegiatan usaha penunjang pariwisata, memberikan pengaruh
terhadap peningkatan jumlah pemasukan dari retribusi usaha pariwisata bagi
pemerintah, serta hubungan-hubungan atar kepentingan stakeholder yang lainnya.
Tetapi disisi lain, peluang untuk terjadinya benturan antar kepentingan
berbagai stakeholder tersebut juga memungkinkan terjadi. Sebagai contoh
misalnya, pengembangan usaha yang dilakukan oleh pengusaha pariwisata dapat
pula menjadi masalah bagi masyarakat lokal, jika upaya pengembangan usaha
tersebut lebih dititik beratkan pada ekspansi usaha ke wilayah usaha yang selama
ini dapat dilakukan oleh masyarakat. Pengalaman yang terjadi di Tanjungkarang,
berdasarkan informasi masyarakat, pada tahun 1990an pengusaha yang memiliki
penginapan dan cottage masih membagi peran dengan masyarakat lokal dalam
pelayanan kepada wisatawan. Saat itu pihak pengusaha hanya menyediakan
penginapan, sementara untuk pelayanan konsumsi diserahkan kepada masyarakat
dibawah pengawasan pengusaha terutama yang berkaitan dengan kebersihannya.
Namun, peran tersebut sejak beberapa tahun terakhir tidak lagi dimiliki oleh
masyarakat lokal. Disamping dapat menggeser peran masyarakat lokal,
pengembangan usaha yang dilakukan oleh pengusaha pariwisata dapat pula
98
Dukungan Jaringan
Pendidikan dan Bantuan Penelitian dan
kebijakan kerjasama dan
pelatihan pendanaan pengembangan
Pemda kemitraan
Gambar 9. Skema konsep pengelolaan pariwisata berbasis masyarakat di kawasan wisata Tanjung Karang Pusentasi
(Diadaptasi dari Pinel, 1999)
87
DAFTAR PUSTAKA
Ashley, C., C. Boyd and H. Goodwin. 2000. Pro-Poor Tourism : Putting Poverty
At the Hearth of the Tourism Agenda. Natural Resource Perspectives.
Overseas Development Institute. Number 52, March 2000.
http://www.odi.org.uk/nrp/51.html [27 April 2007]
Carr, D. S., Steven W. Selin and Michael A. Schuett. 1998. Managing Public
Forests : Understanding the Role of Collaborative Planning.
Environmental Management. 22(5) : 767 – 776.
Cooper, C., J. Fletcher, D. Gilbert and S. Wanhill. 1999. Tourism Principles and
Practice. Second Edition. Addison Wesley Longman Publishing. New
York.
Denscombe, M. 1998. The Good Research Guide : For Small Scale Social
Research Projects. Open University Press. Buckingham-Philadelphia.
Disparsenibud Donggala. 2002. Program dan Kegiatan Dinas Pariwisata Seni dan
Budaya Kabupaten Donggala. Bahan Rapat Sinkronisasi Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Propinsi Sulawesi Tengah dengan Dinas
Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten/Kota se Sulawesi Tengah, tanggal
22 April 2002.
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Donggala. 2002. Profil Perikanan dan
Kelautan Kabupaten Donggala. Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten
Donggala.
Dinas Perikanan dan Kelautan Sulawesi Tengah. 2003. Penyususnan Tata Ruang
Pesisir dan Pula-pulau Kecil di Kabupaten Donggala dan Banggai
Propinsi Sulawesi Tengah. Laporan Akhir. Sarana Antar Nusa Perekayasa
Consultants. Jakarta.
Sarwono, S.W. 2002. Psikologi Sosial : Individu dan Teori-teori Psikologi Sosial.
Balai Pustaka. Jakarta.
Soeratno dan L. Arsyad. 1993. Metodologi Penelitian untuk Ekonomi dan Bisnis.
Edisi Revisi. Unit Penerbit dan Percetakan Akademi Managemen
Perusahaan YKPN. Yogyakarta.
Suranti, R. 2005. Pariwisata Budaya dan Peran Serta Masyarakat. Makalah yang
Disampaikan pada Workshop Wisata Budaya Bagi Kelompok Masyarakat
Propinsi DKI Jakarta, 12 Juli 2005.
http://www.budpar.go.id/filedata/495_81-
PariwisataBudayadanPeranSertaMasyarakat.pdf [25 Pebruari 2007].
Tisdell, C. A. 1987. Tourism, The Environment and Profit. Economic Analysis &
Policy. 17 (1) : 13–30. Cetak Ulang dalam Tisdell, C. A., 2001. Tourism
Economics, the Environment and Development: Analysis and Policy.
Edwar Elgar. Cheltenham, UK - Northampton, MA, USA. : pp. 19-36.
Trigg, S.N dan D.P. Roy, 2007. A focus group study of factors that promote and
constrain the use of satellite-derived fire products by resource managers
in southern Africa. Journal of Environmental Management. 82 : 95–110
Lampiran 1
1. Data diri responden meliputi nama, umur, jenis kelamin, tempat tinggal, pendidikan,
dan pekerjaan responden.
2. Persepsi mengenai kegiatan pariwisata, yang meliputi :
Pengetahuan dan sikap mereka terhadap kegiatan pariwisata.
Manfaat dan kerugian yang diperoleh dari kegiatan pariwiwisata.
Harapan keterlibatan dan peran mereka pada kegiatan pariwisata.
Pandangan terhadap konsep pengelolaan pariwisata yang baik dan sesuai
dengan kepentingan dan keinginan mereka.
Lampiran 2.
Pedoman Wawancara
Bagi Aparat Pmerintahatah, Pengusaha Wisata dan LSM Mengenai
Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat di Tanjung Karang-
Pusentasi Donggala
Lampiran 3
Pedoman Pertanyaan
Dalam Diskusi Kelompok Terfokus
.
114
Lampiran 4.
Rangkuman Hasil
Diskusi kelompok Terfokus
Di Kawasan Wisata Pantai Tanjung Karang Pusentasi
1. Kegiatan pariwisata di Kawasan Wisata Tanjung Karang Pusentasi sudah
berlangsung lama (Tanjung Karang sejak tahun 1970an sementara Boneoge
dan Pusentasi sejak awal tahun 1990an). Terbukanya Tanjung Karang sebagai
lokasi wisata yang dikunjungi oleh wisatawan asing telah mendorong lokasi di
sekitarnya untuk berkembang sebagai lokasi kegiatan wisata.
2. Akibat negatif dari kegiatan wisata :
Lokasi wisata yang sering digunakan oleh orang-orang dari kota untuk
tempat berpesta-pesta dan beberapa kegiatan lainnya yang sering
mengganggu ketenangan masyarakat.
Masuknya minuman keras dan kemungkinan telah adanya penggunaan
narkoba yang dapat merusak moral masyarakat lokal.
Berkembangnya Tanjung Karang sebagai lokasi wisata, terutama sebagai
lokasi penyelaman (diving) telah menimbulkan konflik kepentingan antara
masyarakat lokal dengan pariwisata. Terumbu karang yang terdapat di
Tanjung karang merupakan lokasi yang biasa digunakan oleh masyarakat
sebagai sumber ikan alternatif pada musim barat tidak dapat lagi diakses
karena diperuntukan bagi kegiatan pariwisata.
Rencana pemerintah dan swasta untuk mengembangkan Tanjung Karang
sebagai satu kawasan/resort yang diperuntukan khusus dengan
memindahkan lokasi pemukiman menimbulkan keresahan di masyarakat.
Kondisi ini pula yang menyebabkan masyarakat pada lokasi lain melihat
perkembangan pariwisata sebagai ancaman bagi status kepemilikan lahan
mereka.
Kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dalam memperlebar jalan
menuju Tanjung Karang dengan menggusur gunung dan membuang
gusuran ke laut dapat mengganggu kondisi pantai.
3. Akibat positif dari kegiatan wisata :
Manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat melalui pendapatan tambahan
yang didapatkan dari berjualan, melayani transportasi sebagai ojek,
menjual hasil laut siap saji, dan menjual buah kelapa segar (muda).
Keberadaan kegiatan pariwisata mendorong keinginan masyarakat untuk
kembali menggali potensi sosial budaya yang saat ini sebagian sudah
tenggelam.
Kegiatan pariwisata yang ada saat ini telah mendorong masyarakat untuk
menata desa/kelurahan dan pemukiman mereka agar lebih bersih dan
teratur.
Dari aspek motivasi, sebenarnya telah mendorong masyarakat untuk ikut
berpartisipasi lebih jauh dalam proses pengelolaan kegiatan pariwisata.
Namun, keinginan ini masih terhambat oleh kendala berupa modal,
keterampilan, dan terutama dukungan pemerintah setempat.
115
Lampiran 5.
Natural Cottages
A
re
aD
iv
in
g
ala
ongg
text Ke D
ge
oneo
Ke B
Keterangan :
Jalan Tugu Selamat Datang
Rumah penduduk Pos retribusi masuk lokasi wisata
Kebun penduduk Pondok peristrahatan milik penduduk
Masjid Cottage milik N Bidja
117
Lampiran 6.
Selat Makassar
arang
Tg K
Dari
text
i
/P ’ntas
aluku
Ke K
Keterangan :
Cottage Tugu Selamat Datang
Sekolah Madjid
Rumah penduduk Jalan aspal
Kebun penduduk Jalan setapak
118
Lampiran 7.
Selat Makassar
Vatu Nolanto
Lokasi “Panambe”
Vatubula
Dusun
Kaluku
Pusentasi
text
ala
ongg
Ke D
Keterangan :
Cottage Kaluku
Jalan beraspal
Beach
Jalan tidak beraspal Kebun Pisang penduduk
Rumah penduduk Kebun kelapa
119
Lampiran 8.
Lampiran 9.
Tempat air minum terbuat dari tempurung kelapa yang disebut bobo
Lamapiran 10.