You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

I. IDENTITAS PASIEN
 Nama : An. IN
 Umur : 1 tahun 10 bulan
 Jenis Kelamin : Laki-laki
 Alamat : Lembang
 No. RM : 126851
Anak lahir di puskesmas, cukup bulan, ditolong bidan
BBL : 3000 gr PB: 50 cm
Pasien merupakan anak ke-3 dari 3 bersaudara
No Jenis Kelamin Umur Sehat/Sakit
1 Perempuan 10 tahun Sehat
2 Perempuan 6 tahun Sehat
3 Laki-laki 1 tahun 10 bulan Sakit
Ayah Ibu
Tn. AR Ny. H
40 tahun 33 Tahun
Swasta Guru

II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Sesak
Anamnesis terpimpin : Dialami sejak 2 hari sebelum masuk RS. Sesak dirasakan terus menerus
terutama pada malam hari saat udara dingin. Riwayat sesak ada sejak usia 6 bulan.
Batuk ada sejak 2 hari yang lalu, lendir ada warna putih. Riwayat batuk sebelumnya tidak ada.
Demam tidak ada
Mual tidak ada. Muntah tidak ada.
BAK lancar. BAB biasa
Riwayat berobat dengan keluhan yang sama ada 1 tahun yang lalu.
Riwayat keluarga dengan keluhan yang sama ada, ayah pasien.

1
Riwayat imunisasi :
Belum Pernah 1 2 3 Tidak Tahu
Hepatitis B √
BCG √
DPT √ √ √
Polio √ √ √
Campak √
Lain-lain

III. PEMERIKSAAN FISIS


Keadaan Umum : Sakit sedang/ Composmentis
Tanda Vital : Nadi : 100x/menit
Pernafasan : 36x/menit
Suhu : 37oC
Status Gizi : BB : 11 kg
TB : 74 cm
BB/TB : +2 SD (Gizi Baik)
BB/U : 0 SD s/d -2 SD
TB/U : -3SD (Perawakan Pendek)
 Kepala
Ekspresi : biasa
Simetris muka : simetris kiri = kanan
Deformitas : tidak ada
Rambut : hitam lurus,sukar dicabut
 Mata
Eksoptalmus/Enoptalmus : tidak ada
Gerakan : ke segala arah
Kelopak Mata : edema (-)
Konjungtiva : anemis (-)
Sklera : ikterus (-)
Pupil : bulat isokor

2
 Telinga
Pendengaran : kesan normal
Tophi : tidak ada
Nyeri tekan di prosesus mastoideus : tidak ada
 Hidung
Perdarahan : tidak ada
Sekret : tidak ada
 Mulut
Bibir : pucat (-), kering (-)
Lidah : kotor (-),tremor (-), hiperemis (-)
Tonsil : T1 – T1, hiperemis (-)
Faring : hiperemis (-)
Gigi geligi : dalam batas normal
Gusi : perdarahan (-)
 Leher
Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
Pembuluh darah : tidak ada kelainan
Kaku kuduk : tidak ada
Tumor : tidak ada
 Thoraks
- Inspeksi :
Bentuk : simetris kiri dan kanan (normochest)
Pembuluh darah : tidak ada kelainan
Buah dada : tidak ada kelainan
Sela Iga : normal, tidak melebar
- Palpasi :
Fremitus raba : sama pada paru kiri dan kanan
Nyeri tekan : tidak ada
Massa tumor : tidak ada

3
- Perkusi :
Paru kiri : sonor
Paru kanan : sonor
Batas paru-hepar : ICS IV dekstra
Batas paru belakang kanan : CV Th. VIII dekstra
Batas paru belakang kiri : CV Th. IX sinistra
- Auskultasi :
Bunyi pernapasan : bronkial
Bunyi tambahan : Rh -/- ,Wh +/+
 Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis tidak teraba
Perkusi : pekak
batas atas jantung ICS II sinistra
batas kanan jantung ICS IV linea parasternalis dextra
batas kiri jantung ICS IV linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : bunyi jantung I/II murni regular, bising (-)
 Perut
Inspeksi : cembung, ikut gerak napas.
Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani (+) ascites (-)
Auskultasi : peristaltik (+) kesan normal
 Alat Kelamin
Tidak dilakukan pemeriksaan
 Anus dan Rektum
Tidak dilakukan pemeriksaan
 Punggung
Palpasi : NT (-), MT (-), Gibbus (-)
Nyeri ketok : -/-
Auskultasi : Bruit (-)
Gerakan : Normal

4
 Ekstremitas
Edema dorsum pedis -/-
Edema pretibial -/-

IV. DIAGNOSA
ASMA BRONKIAL PERSISTEN RINGAN, SERANGAN RINGAN, TERKENDALI
V. PENATALAKSANAAN
 O2 1-2 liter/menit via nasal kanul
 Nebulisasi Ventolin 2,5mg (2,5cc) + 3 cc NacL 0,9% selama 5 menit / 8 jam
 Injeksi Dexamethason 1 mg/8jam/IV
 Puyer : Salbutamol 1 mg
Ambroxol 5 mg
Vit. C 10 mg
- pulv 3x1

5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang paling sering dijumpai pada anak.
Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu baik di negara maju maupun negara
sedang berkembang. Peningkatan tersebut diduga berkaitan dengan pola hidup yang
berubah dan peran faktor lingkungan terutama polusi baik indoor maupun outdoor.
Prevalensi asma pada anak berkisar antara 2-30%. Di Indonesia prevalensi asma pada anak
sekitar 10% pada usia sekolah dasar, dan sekitar 6,5% pada usia sekolah menengah
pertama.1
Berbagai faktor mempengaruhi tinggi rendahnya prevalensi asma di suatu tempat,
antara lain umur, gender, ras, sosio-ekonomi dan faktor lingkungan. Faktor- faktor tersebut
mempengaruhi prevalensi asma, terjadinya serangan asma, berat ringannya serangan,
derajat asma dan kematian karena penyakit asma.2

II. DEFINISI
Definisi asma bermacam-macam tergantung kriteria mana yang dianut. Global Initiative
for Asthma (GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis saluran nafas
dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada orang yang
rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas, rasa dada
tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala tersebut biasanya
berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun bervariasi, yang paling
tidak sebagian bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan.
Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai
rangsangan.3
International consensus on (ICON) pediatric asthma mendefinisikan asma sebagai
penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi
dan hiperreaktivitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. Manifestasi klinis asma
dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang timbul secara kronik dan

6
atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya
timbul jika ada pencetus.4
Pedoman Nasional Asma Anak di dalam batasan operasionalnya menyepakati
kecurigaan asma apabila anak menunjukkan gejala batuk dan/atau mengi yang timbul
secara episodik, cenderung pada malam hari/dini hari (nokturnal), musiman, setelah
aktivitas fisik, serta adanya riwayat asma dan atopi pada penderita atau keluarganya.5

III. PATOFISIOLOGI
Asma merupakan suatu proses inflamasi kronik yang khas, melibatkan dinding saluran
respiratorik, menyebabkan terbatasnya aliran udara dan peningkatan reaktivitas saluran
napas. Gambaran khas adanya inflamasi saluran respiratorik adalah aktivasi eosinofil, sel
mast, makrofag, dan sel limfosit. T pada mukosa dan lumen saluran respiratorik. Proses
inflamasi ini terjadi meskipun asmanya ringan atau tidak bergejala.6
Pada banyak kasus terutama pada anak dan dewasa muda, asma dihubungkan
dengan manifestasi atopi melalui mekanisme IgE-dependent. Pada populasi diperkirakan
faktor atopi memberikan kontribusi pada 40 % penderita asma anak dan dewasa.7
Terdapat 3 fase terjadi pada reaksi imunologik ini : fase sensitisasi, fase
reeksposure, dan fase reaksi lambat.8
1. Sensitisasi
Pada fase ini alergen yang diinhalasi akan ditangkap oleh APC (antigen presenting
cell) yang terdapat pada mukosa bronkus dan akan dipresentasikan ke CD4 sel T yang
kemudian berdiferensiasi menjadi TH2. Sel-sel ini kemudian mensekresikan IL-4, IL-5,
IL-9, IL-10 dan IL-13, dimana interleukin ini yang kemudian menginduksi sekresi
limfosit B untuk memproduksi IgE. Molekul IgE ini kemudian akan berikatan dengan
sel mast, basofil, eosinofil serta makrofag dan bersirkulasi dalam darah.
2. Reeksposure
Ketika terjadi reeksposure terhadap alergen, maka alergen ini langsung berinteraksi
dengan IgE yang tadi telah terikat pada permukaan sel kemudian histamin, protease,
leukotrien, platelet activating factor (PAF) serta prostaglandin akan dilepaskan.
Leukotrien kemudian menginduksi pelepasan protease dan chymase. Protease
menyebabkan kontraksi otot bronkus dan meningkatkan permeabilitas vaskular

7
sehingga terjadi bronkokonstriksi dan edema mukosa. Sementara chymase
menyebabkan sekresi mukus. Adanya bronkokonstriksi, edema mukosa serta sekresi
mukus ini menimbulkan batuk, mengi serta sesak napas.
3. Reaksi Lambat
Fase ini terjadi 4-6 jam kemudian. Leukotrien menarik eosinofil yang kemudian
mengaktifkan major basic protein (MBP) dan eosinophil cationic protein (ECP) yang
memiliki efek toksik pada sel epitel sehingga terjadi destruksi epitel. Hal ini kemudian
menyebabkan akumulasi mukus di lumen bronkus akibat peningkatan jumlah sel goblet
dan hipertrofi kelenjar submukosa. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi napas terjadi
segera yaitu 10-20 menit setelah pajanan allergen. Spasme bronkus yang terjadi
merupakan respon terhadap mediator sel mast terutama bronkus. Pada fase lambat,
reaksi terjadi setelah 4-6 jam dan bertahan selama 16-24 jam bahkan kadang-kadang
bertahan sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast,
dan Antigen Presenting Cell (APC) merupaan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.8

Gambar 1. Reaksi Imunologik pada asma

Selain rekasi imunologik dikatakan pula bahwa dasar dari patogenesis asma adalah
proses inflamasi kronik dan remodeling saluran nafas. Inflamasi kronik pada asma akan
menimbulkan kerusakan jaringan yang secara fisiologis kan diikuti oleh proses

8
penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair) dan pergantian sel-
sel mati atau rusak dengan sel-sel yang baru. Proses penyembuhan tersebut melibatkan
regenerasi atau perbaikan jaringan yang rusak dengan jenis sel parenkim yang sama dan
pergantian jaringan yang rusak dengan jaringan penyambung yang menghasilkan skar.
Pada asma, kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan inflamasi
yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang mempunyai mekanisme
sangat kompleks dan belum banyak diktahui yang dikenal dengn airway remodeling.
Mekanisme tersebut sangat heterogen dengan proses yang sangat dinamis dari diferensiasi,
migrasi, maturasi, dediferensiasi sel sebagaimana deposit jaringan penyambung dengan
diikuti oleh pergantian atau perubahan struktur dan fungsi yang dipahami sebagai fibrosis
dan peningkatan otot polos dan kelenjar mucus.4,5

Gambar 2. Remodelling saluran nafas

Pada proses remodeling yang berperan adalah sitokin IL4, TGF beta dan Eosinophil
Growth Factor (EGF). TGF beta merangsang sel fibroblast berproliferasi, epitel mengalami
hiperplasia, pembentukan kolagen bertambah. Akibat proses remodeling tersebut terjadi
pelepasan epitel yang rusak, jaringan membrana basalis mukosa menebal
(pseudothickening), hiperplasia kelenjar, edema submukosa, infiltrasi sel radang dan
hiperplasia otot. Perubahan semacam ini tidak memberikan perbaikan klinis, tetapi

9
mengakibatkan penyempitan lumen bronkus yang persisten dan memberikan gambaran
klinis asma kronis.6,9
IV. DIAGNOSA
Asthma Predictive Index (API) merupakan panduan untuk menentukan anak yang
memiliki kemungkinan menderita asma di tahun tahun berikutnya. Anak usia < 3 tahun
yang mengalami episode wheezing 4 atau lebih dalam satu tahun jauh lebih mungkin
menderita asma persisten jika memiliki kriteria berikut :
Satu Kriteria Mayor
- Orang tua dengan asma
- Riwayat didiagnosis eczema (dermatitis atopi)
- Terbukti sensitive terhadap allergen di udara
atau Dua Kriteria Minor
- Terbukti alergi makanan
- Eosinofil darah >4%
- Wheezing bukan akibat flu

Penegakan diagnosa pada asma anak dibagi menjadi kriteria diagnosis asma pada
anak usia >5 tahun dan anak usia <5tahun. Pada anak usia >5tahun, anamnesis dan
pemeriksaan fisik dapat menjadi kunci utama dalam penegakan diagnosis. Selain itu anak
usia >5tahun dapat melakukan tes spirometri/Peak flow meter(PFM) yang dapat membantu
dalam menegakkan diagnosis.
Kriteria diagnosis asma anak usia >5tahun menurut PNAA 2015 dapat dilihat pada
tabel berikut :

Tabel 1. Kriteria Diagnosa Asma anak usia >5 tahun

10
Gambar 3. Alur penegakan diagnosis asma anak > 5tahun

Sementara itu, menegakkan diagnosis asma pada anak di bawah lima tahun
sebaiknya berhati-hati apabila tidak pernah dijumpai adanya wheezing sebelumnya.8 Hal
itu disebabkan pada usia tersebut kemungkinan batuk yang berulang hanyalah akibat
infeksi respiratorik saja. Demikian pula apabila dijumpai wheezing pada usia di bawah tiga
tahun (batita) hendaknya berhati-hati dalam mendiagnosis asma. Wheezing yang dijumpai
pertama kali belum tentu merupakan gejala asma. Bila dijumpai keadaan batuk kronis
dan/atau berulang dengan/atau tanpa wheezing dengan karakteristik seperti di atas, tetap
perlu dipertimbangkan diagnosis asma. Namun sayangnya, tidak ada pemeriksaan
penunjang yang dapat menegakkan diagnosis pada pasien anak usia < 5 tahun.10

11
PNAA 2015 menjelaskan spektrum diagnosis dan kriteria asma anak usia < 5tahun
sebagai berikut:10,11
Mungkin bukan Asma Mungkin Asma Sangat mungkin Asma
Gejala (batuk, wheezing, sulit Gejala (batuk, wheezing, sulit Gejala (batuk, wheezing, sulit
bernafas) <10 hari saat bernafas) >10 hari saat bernafas) >10 hari saat
infeksi respiratori akut infeksi respiratori akut infeksi respiratori akut
> 3 episode/tahun, atau > 3 episode/tahun, atau
2-3 episode/tahun episode berat dan/atau episode berat dan/atau
perburukan malam hari perburukan malam hari
Diantara episode, anak Diantara episode, anak
Tidak ada gejala antara
mungkin batuk, wheezing mungkin batuk, wheezing
episode
atau sulit bernafas atau sulit bernafas
Riwayat alergi pada keluarga Riwayat alergi pada keluarga Riwayat alergi pada keluarga
(-) (-) (+)
Tabel 2. Kriteria diagnosis Asma anak usia <5tahun

Untuk menegakkan diagnosis asma, harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik
secara rinci, menentukan adanya episode gejala dan obstruksi saluran napas. Pada
pemeriksaan fisik pasien asma, sering ditemukan perubahan cara bernapas, dan terjadi
perubahan bentuk toraks. Pada inspeksi dapat ditemukan napas cepat, kesulitan bernapas,
menggunakan otot napas tambahan dileher, perut dan dada. Pada palpasi biasanya tidak
ada kelainan yang nyata (pada serangan berat dapat terjadi pulsus paradoksus). Pada
perkusi biasanya tidak ada kelainan yang nyata. Pada auskultasi dapat ditemukan mengi
dan ekspirasi memanjang.
Beberapa pemeriksaan penunjang juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis asma anak, diantaranya :
1. Spirometer
Alat pengukur faal paru, selain penting untuk menegakkan diagnosis juga untuk
menilai beratnya obstruksi dan efek pengobatan.

12
2. Peak Flow Meter/ PFM
Peak flow meter merupakan alat pengukur faal paru sederhana, alat tersebut
digunakan untuk mengukur jumlah udara yang berasal dari paru. Oleh karena
pemeriksaan jasmani dapat normal, dalam menegakkan diagnosis asma diperlukan
pemeriksaan obyektif (spirometer/FEV1 atau PFM). Spirometer lebih diutamakan
dibanding PFM oleh karena PFM tidak begitu sensitive dibanding FEC, untuk diagnosis
obstruksi saluran napas, PFM mengukur terutama saluran napas besar, PFM dibuat
utnuk pemantauan dan bukan alat diagnostic, APE dapat digunakan dalam diagnosis
untuk penderita yag tidak dapat melakukan pemeriksaan FEV1.
3. X-ray dada/thoraks
Dilakukan untuk menyingkirkan penyakit yang tidak disebabkan asma.
4. Pemeriksaan IgE
Uji tusuk kulit (skin prick test) untuk menunjukkan adanya antibody IgE spesifik
pada kulit. Uji tersebut untuk menyokong anamnesis dan mencari faktor pencetus. Uji
allergen yang positif tidak selalu merupakan penyebab asma. Pemeriksaan darah IgE
Atopi dilakukan dengan cara radioallergosorbent test (RAST) bila hasil uji tusuk kulit
tidak dapat dilakukan.
5. Petanda inflamasi
Derajat berat asma dan pengobatannya dalam klinik sebenarnya tidak berdasarkan
atas penilaian obyektif inflamasi saluran napas. Gejala klinis dan spirometri bukan
merupakan petanda ideal inflamasi. Penilaian semi-kuantitatif inflamasi saluran napas
dapat dilakukan melalui biopsy paru, pemeriksaan sel eosinofil dalam sputum, dan kadar
oksida nitrit udara yang dikeluarkan dengan napas. Analisis sputum yang diinduksi
menunjukkan hubungan antara jumlah eosinofil dan transbronkial dapat menunjukkan
gambaran inflamasi, tetapi jarang atau sulit dilakukan di luar riset.
6. Uji hiperreaktivitas bronkus/HRB
Pada penderita yang menunjukkan FEV1>90%, HRB dapat dibuktikan dengan
berbagai tes provokasi. Provokasi bronchial dengan menggunakan nebulasi droplet
ekstrak allergen spesifik dapat menimbulkan obstruksi saluran napas pada penderita
yang sensitive. Respon sejenis dengan dosis yang lebih besar, terjadi pada subyek alergi
tanpa asma. Di samping itu, ukuran allergen dalam alam yang terpajan pada subyek

13
alergi biasanya berupa partikel dengan berbagai ukuran dari 2um sampai 20um dan tidak
dalam bentuk nebulas. Tes provokasi sebenanyakurang memberikan informasi klinis
disbanding dengan tes kulit. Tes provokasi nonspesifik untuk mengetahui HRB dapat
dilaukan dengan latihan jasmani, inhalasi udara dingin atau kering, histamine, dan
metakolin.

V. KLASIFIKASI
Klasifikasi asma menurut derajat berat berguna untuk menentukan obat yang diperlukan
pada awal penanganan asma. Menurut derajat berat asma diklasifikasikan sebagai
intermitten, persisten ringan, persisten sedang dan persisten berat11
Klasifikasi Uraian Gejala
Intermiten Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak antar gejala
>6 minggu
Persisten ringan Episode gejala asma >1x/bulan, <1x/minggu
Persisten sedang Episode gejala asma >1x/minggu, namun tidak setiap
hari
Persisten berat Episode gejala asma terjadi hampir setiap hari
Tabel 3. Klasifikasi Asma

Serangan akut adalah episode perburukan pada asma yang harus diketahui oleh
pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah dan apabila tidak
ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan
disesuaikan dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat
serangan termasuk gejala, pemeriksaan fisis dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk
selanjutnya diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.
Klasifikasi diagnosis serangan asma akut pada anak usia >5tahun
Asma serangan ringan- Serangan asma dengan
Asma serangan berat
sedang ancaman henti napas
- Bicara dalam kalimat - Bicara dalam kata - Mengantuk
- Lebih senang duduk - Duduk bertopang lengan - Letargi
daripada berbaring - Gelisah

14
- Tidak gelisah - Frekuensi napas - Suara napas tidak
- Frekuensi napas meningkat terdengar
meningkat - Frekuensi nadi
- Frekuensi nadi meningkat
meningkat - Retraksi jelas
- Retraksi minimal - SpO2 <90%
- SpO2 : 90-95% - PEF <50% prediksi
- PEF >50% prediksi terbaik
terbaik

Kriteria diagnosis serangan asma akut pada anak usia < 5tahun
Gejala Ringan Berat
Kesadaran terganggu Tidak Agitasi, bingung,
mengantuk
Saturasi oksigen >95% <92%
Berbicara Kalimat Kata
Frekuensi jantung <100x/menit >200x/menit (0-3 tahun)
>180x/menit (4-5 tahun)
Sianosis sentral Tidak ada Mungkin ada
Intensitas wheezing Variable Tidak terdengar

Penilaian beratnya serangan asma sangat membantu dalam menetukan


penatalaksanaan yang tepat. Penanganan asma akut sebaiknya dilakukan secara tebat dan
benar.

VI. PENATALAKSANAAN
Tatalaksana asma pada anak lebih ditekankan pada faktor tumbuh kembang anak secara
optimal. Tujuan tatalaksana asma pada anak agar anak dapat beraktivitas normal baik di
rumah maupun di sekolah, mengurangi gejala asma dan kebutuhan obat, serta mencegah
efek samping obat bila terpaksa digunakan, sehingga fungsi atau faal paru tetap normal.

15
Untuk menghasilkan tujuan tersebut tatalaksana asma dibagi menjadi 3 hal penting yaitu
pemberian medikamentosa, pencegahan, dan pendidikan orang tua.12
Tatalaksana tentang penghindaran terhadap pencetus memegang peran yang cukup.
Serangan asma akan timbul apabila ada suatu faktor pencetus yang menyebabkan
terjadinya rangsangan terhadap saluran respiratorik yang berakibat terjadi
bronkokonstriksi, edema mukosa, dan hipersekresi. Penghindaran terhadap pencetus
diharapkan dapat mengurangi rangsangan terhadap saluran respiratorik.3,5 Tatalaksana
medikamentosa dibagi dalam dua kelompok besar yaitu tatalaksana saat serangan dan
tatalaksana jangka panjang. Pada saat serangan pemberian β-2 agonis pada awal serangan
dapat mengurangi gejala dengan cepat. Bila diperlukan dapat diberikan kortikosteroid
sistemik pada serangan sedang dan berat.13
PNAA 2015 menjelaskan alur penanganan asma akut pada anak usia > 5tahun di
pusat pelayanan primer sebagai berikut:

16
Sedangkan untuk penatalaksanaan asma akut pada anak usia < 5tahun dijelaskan dalam
alur berikut:

17
Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan
mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi
beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi : edukasi, obat asma
(pengontrol dan pelega) dan menjaga kebugaran. Edukasi yang diberikan mencakup :
1. Kapan pasien berobat/mencari pertolongan
2. Mengenali gejala serangan asma secara dini
3. Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu
penggunaannya
4. Mengenali dan menghindari faktor pencetus
5. Kontrol teratur
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada saat
serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan
diberikan dalam jangka panjang dan terus-menerus. Berikut daftar obat pengontrol dan
pelega berdasarkan GINA 2014:
Nama Obat Kerja dan Kegunaan Efek Samping
Controller
Kebanyakan pasien pengguna
Anti-inflamasi paling ICS tidak menunjukkan efek
efektif untuk asma samping berarti. Efek samping
persisten. ICS mengurangi lokal yang biasa terjadi
gejala, meningkatkan diantaranya disfonia dan
Inhaled corticosteroid fungsi paru, memperbaiki kandidiasis orofaringeal.
(ICS) contoh; budesonide, kualitas hidup dan Penggunaan spacer dengan
beclometasone, fluticasone mengurangi risiko pMDI dan mencuci dengan air
propionate, mometasone eksaserbasi. Pengaruh setelah penggunaan dapat
perbaikan oleh ICS dapat mengurangi efek samping
terlihat pada dosis rendah tersebut. Penggunaan dosis
(sesuai dosis terendah tinggi meningkatkan efek
masing0masing ICS) samping sistemik seperti
gangguan pertumbuhan

18
LABA mungkin menyebabkan
ICS dan Long-acting β2 Penambahan LABA dalam
dengan takikardia, nyeri kepala.
agonis (ICS/LABA) penggunaan ICS hanya
LABA tanpa ICS pada asma
contoh: fluticasone diteliti pada anak usia >
meningkatkan resiko kerugian
propionate/ salmeterol 4tahun
di masa yang akan datang
Bekerja pada salah satu
jalur inflamasi asma.
Leukotriene modifiers
Digunakan sebagai pilihan
(tablet) contoh Beberapa efek samping
obat pengontrol. Kurang
montelukast
efektif dibandingkan ICS
dosis rendah
Penggunaan jangka pendek
(biasanya 305hari) sangat
penting dalam penanganan Penggunaan jangka pendek:
Systemic corticosteroids
awal pada asma hyperglycaemia, efek samping
(tablet, suspense,
eksaserbasi akut derajat gastrointerstinal, dan perubahan
intramuscular (IM) atau
berat. Terapi oral sama mood.
intravena (IV) contoh :
efektifnya dengan terapi Penggunaan jangka panjang:
prednisone,
IM atau IV untuk efek samping sistemik seperti
methylprednisolone,
mencegah kekambuhan. gangguan pertumbuhan, supresi
hydrocortisone
Pada pemberian terapi adrenal, dan osteoporosis
lebih dari 2 minggu, dosis
obat harus ditapering.
Reliever
Inhaled short-acting β2 SABA adalah terapi pilihan Pada penggunaan awal
agonist (SABA) pMDI untuk meredakan gejala dilaporkan efek samping berupa
dengan spacer atau asma dan bronkokonstriksi tremor dan takikardi. Respon
nebulizer contoh: pada eksaserbasi akut. buruk terhdapa penggunaan
salbutamol (albuterol), SABA hanya digunakan SABA mengindikasikan asma
terbutaline sesuai kebutuhan dengan tidak terkontrol

19
dosis rendah dan frekuensi
terkontrol
Short-acting
Penggunaan jangka pendek
anticholinergics (pMDI
pada asma akut ditambah Mulut kering atau rasa pahit di
dengan spacer atau
dengan SABA mengurangi lidah
nebulizer) contoh :
resiko masuk rumah sakit
ipratropium bromide

Dalam melakukan penatalaksanaan asma diharapkan tercapai tujuan penanganan


asma, yaitu asma terkontrol. Berikut adalah ciri-ciri asma terkontrol dan tidak terkontrol

Terkendali
Terkendali
dengan/tanpa obat
sebagian (Minimal
Manifestasi Klinis pengendali (Bila Tidak Terkendali
satu kriteria
semua kriteria
terpenuhi)
terpenuhi)
Tidak pernah
Gejala siang hari >2kali/minggu
(< 2 kali/minggu)
Tiga atau lebih
Aktivitas terbatas Tidak ada Ada
kriteria terkendali
Gejala malam hari Tidak ada Ada
sebagian
Tidak ada
Pemakaian pereda >2kali/minggu
(< 2 kali/minggu)

VII. PROGNOSIS
Beberapa studi kohort menemukan bahwa banyak bayi dengan wheezing tidak berlanjut
menjadi asma pada masa anak dan remajanya. Proporsi kelompok tersebut berkisar antara
45 hingga 85%, tergantung besarnya sampel studi, tipe studi kohort, dan lamanya
pemantauan. Adanya asma pada orang tua dan dermatitis atopik pada anak dengan
wheezing merupakan salah satu indikator penting untuk terjadinya asma dikemudian hari.
Apabila terdapat kedua hal tersebut maka kemungkinan menjadi asma lebih besar atau

20
terdapat salah satu di atas disertai dengan 2 dari 3 keadaan berikut yaitu eosinofia, rinitis
alergika, dan wheezing yang menetap pada keadaan bukan flu.
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen khusus untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan
dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Penatalaksanaan asma ini bertujuan untuk
mengontrol asma dan mencegah serangan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Supriyatno, B. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak. Maj Kedokt
Indon. Volum: 55. Nomor: 3. 2005.
2. Evia, E. Asma Pada Anak. Jakarta. 2010.
3. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for Asthma. NHLBI/ WHO Workshop Report
2002.
4. Papadopoulos et al. International consensus on (ICON) pediatric asthma. International
consensus on (icon) pediatric asthma. Allergy 2012 John Wiley & Sons A/S.
5. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak. UKK Pulmonologi 2004.
6. Warner JO. Asthma- basic mehanisms. Dalam: Naspitz CK, Szefler SJ, Tinkelman DG,
Warner JO,Eds. Textbook of Pediatric Asthma; edisi ke 1. Martin Dunitz Ltd,
London2001;19-33.
7. Setiawati,landia, MS Makmuri. Tatalaksana Asma Jangka Panjang pada Anak. Divisi
Pulmonologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK Unair / RSU Dr. Soetomo Surabaya .2006
8. Burmester GR, Pezzuto A, Wirth J. Respiratory Disease. Color Atlas of Immunology. New
York: Thieme Stuttgart; 2003. hal. 214-215.
9. Lenfant C, Khaltaev N. Global Initiative for asthma. NHLBI/WHO Workshop Report
2002.
10. Fitzgerald, Mark J. Pocket Guide Diagnosis and Management of Asthma in Children 5
Year and Younger. Global Initiative for Asthma (GINA). 2015.
11. UKK Pulmonologi PP IDAI. Pedoman Nasional Asma Anak Edisi 2. UKK Pulmonologi
2015.
12. Rab T. Asma Bronkiale. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: Trans Info Media; 2010. hal. 377-
391
13. Gibbs MA, Camargo CA, Rowe BH, Silverman RA. State of the art: Therapeutic
controversies in severe acute asthma. Acad Emerg Med 2000;7:800-15.

22

You might also like