You are on page 1of 38

PRESENTASI KASUS

TROMBOSITOPENI SUSP ITP DAN SIROSIS HEPATIK

Pembimbing :
dr. Tiara Paramita, Sp, PD

Disusun Oleh :
Safina Firdaus G4A017031
M. Reiza Primayana G4A017055
M. Nur Irdal Iqbal 1620221149
Meliany Hutami Putri 1620221167

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” JAKARTA


UNIVERSITAS JENDRAL SUDIRMAN PURWOKERTO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2018

LEMBAR PENGESAHAN
PRESENTASI KASUS
TROMBOSITOPE SUSP ITP DAN SIROSIS HEPATIK

Disusun oleh :
Safina Firdaus G4A017031
M. Reiza Primayana G4A017055
M. Nur Irdal Iqbal 1620221149
Meliany Hutami Putri 1620221167

Diajukan untuk memenuhi syarat


mengikuti Kepaniteraan Klinik
di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal: Juni 2018

Purwokerto, Juni 2018


Pembimbing,

dr. Tiara Paramita, Sp, PD


BAB I
STATUS PASIEN

A. Identitas Penderita
Nama : Ny. N
Umur : 56 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Mrentul 01/03, Kebumen
Agama : Islam
Status : Menikah
Pekerjaan : Penjaga warung
Tanggal masuk RSMS : 11 Juni 2018
Tanggal periksa : 12 Juni 2018
No.CM : 02056629
B. Anamnesis
Keluhan utama : Sesak
Keluhan tambahan : kaki bengkak, batuk berdahak, lemas, mual, muncul lebam di
anggota gerak
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS dengan keluhan sesak sejak 1 bulan yang lalu. Sesak
dirasa memberat sejak 7 hari SMRSMS, pasien juga mengeluh sulit tidur. Kaki pasien juga
dikeluhkan membengkak hilang timbul. Batuk berdahak juga dirasakan sejak 2 hari
SMRSMS . Seeminggu SMRSMS pasien mengeluh badan lemas, namun nafsu makan
masih baik. BAK dbn, BAB dbn. Perut terasa mual, muntah tidak ada. Rambut juga
semakin rontok ,perut sebelah kiri terasa semakin keras namun tidak nyeri.
Muncul lebam di lipatan kedua tangan muncul sejak 4 hari SMRSMS dan pada bagian
tungkai kanan bawah karena terjedut. Lebam pada lipatan kedua tangan diakui didapat
setelah diambil sampel darah, dan lebam tak kunjung hilang. Pasien juga mengeluhkan
sering muncul lebam dan bercak merah tanpa disadari. Perdarahan gusi disangkal, mimisan
disangkal, BAB hitam, Muntah seperti kopi disangkal, sudah menopause sejak usia 53
tahun. Pasien sebelum nya dirawat di RSUD Prembun selama 5 hari, dan telah dilakukan
transfusi trombosit 4 kolf namun tidak mengalami peningkatan kadar trombosit.
Riwayat Penyakit Dahulu
1. Riwayat keluhan yang sama : Disangkal
2. Riwayat hipertensi : Disangkal
3. Riwayat DM : Disangkal
4. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
5. Riwayat asam urat : Disangkal
6. Riwayat alergi : Disangkal
7. Riwayat sakit kuning : Diakui
8. Riwayat Muntah kecoklatan seperti kopi : Disangkal
9. Riwayat BAB hitam seperti aspal : Disangkal
10. Riwayat BAB seperti berlemak : Diakui
11. Riwayat Perdarahan spontan : disangkal

Riwayat penyakit keluarga


1. Riwayat keluhan yang sama : Disangkal
2. Riwayat sakit kuning : Disangkal
3. Riwayat hipertensi : Disangkal
4. Riwayat DM : Disangkal
5. Riwayat penyakit jantung : Disangkal
6. Riwayat penyakit ginjal : Disangkal
7. Riwayat Hepatitis : Disangkal
8. Riwayat Muntah kecoklatan seperti kopi : Disangkal
9. Riwayat BAB hitam seperti aspal : Disangkal
10. Riwayat BAB seperti berlemak : Disangkal

Riwayat sosial ekonomi


1. Lingkungan
Pasien tinggal di lingkungan pedesaan. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan
keluarga dekat baik.

2. Rumah
Pasien tinggal di rumah bersama suami. Rumah pasien terdiri atas 2 kamar tidur, ruang
tamu, dapur dan 1 kamar mandi yang terletak di dalam rumah.

3. Occupational
Pasien bekerja sebagai pedagan warung

4. Personal habit
Pasien mengaku makan makanan 3x sehari, sayur daan tempe atau tahu, dan ikan.
Waktu tidur tidak beraturan, tidak olahraga

C. PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalis
Keadaan umum : Sedang.
Kesadaran : Compos mentis.
Vital sign :T : 150/80 mmHg
N : 98 x/mnt
RR : 21 x/mnt
S : 37.4 °C
Kulit : Warna kulit sawo matang
Kepala : Mesochepal, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut.
Mata : Konjungtiva anemis +/+, sclera ikterik -/-, pupil bulat, isokor,
diameter 3 mm, reflek cahaya (+/+)
Telinga : Simetris, serumen (-/-) dalam batas normal
Hidung : Defomitas -/-, NCH -/-
Mulut : Sianosis -/-, sariawan +
Leher : Trachea di tengah, tidak terdapat limfadenopati, kelenjar tiroid
tidak membesar, tekanan vena jugularis tidak meningkat

Thorax :
Pulmo : I : Gerak napas simetris, retraksi (-)
P : focal vremitus hemithoraks kanan sama dengan kiri
P : sonor ka = ki
A : suara napas vesikuler, ronki -/-, wheezing -/-
Cor : I : iktus kordis tidak tampak
P : Iktus Cordis teraba pada SIC V LMCS, kuat angkat (+)
P : Batas atas kanan: SIC II LPSD,
Batas atas kiri : SIC II LPSS,
Batas bawah kanan: SIC IV LPSD,
Batas bawah kiri: SIC V LMCS.
A : S1>S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : caput medusae -, datar
Auskultasi : peristaltik usus (+) normal
Palpasi : nyeri tekan (-), Hepar : Liver span 8cm dari arcus costae dekstra, 6cm
dari prosesus xipoideus. Lien tidak teraba.
Perkusi : timpani, pekak beralih (-) pekak sisi (-)
Ekstremitas :
Superior : akral hangat, CRT <2, sianosis -/-, tidak ada deformitas, tidak ada oedema.
Inferior : akral hangat, CRT <2, sianosis -/-, tidak ada deformitas, oedema +/+.

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Darah 5/6/18 07:11 RSUD Prembun
Hasil
Pemeriksaan Nilai Rujukan
5/6/2018
Darah lengkap
Hemoglobin 9.6 L 11,7 - 15,5 g/Dl
Leukosit 3450 3600 - 11000 U/L
Hematokrit 30 25 - 47 %
Eritrosit 3.4 3,8 - 5,2 x 10^6/uL
Trombosit 57000 L 150.000 – 440.000 /uL
Hitung Jenis
Basofil 0.0 0 -1 %
Eosinofil 0.0 L 2–4%
Neutrofil 50 50 – 70 %
Limfosit 24 25 – 40 %
Monosit 26 H 2–8%
Pemeriksaan Darah 5/6/18 RSUD Prembun
Hasil
Pemeriksaan Nilai Rujukan
5/6/2018
Darah lengkap
Hemoglobin 10.7 L 11,7 - 15,5 g/Dl
Leukosit 3930 3600 - 11000 U/L
Hematokrit 33 25 - 47 %
Eritrosit 3.8 3,8 - 5,2 x 10^6/uL
Trombosit 53000 L 150.000 – 440.000 /uL
Hitung Jenis
Basofil 0.0 0 -1 %
Eosinofil 0.0 L 2–4%
Neutrofil 55 50 – 70 %
Limfosit 22 25 – 40 %
Monosit 23 H 2–8%
Kimia Klinik
Total bilirubin 1.65 H <1.1
Direct Bilirubin 0.63 H <0.3
Indirect Bilirubin 1.02 H 0.2-0.8
Protein total 4.34L 6.2-8.4
Albumin 1.88L 3.5-5.0
Globulin 2.46 L 3.0-3.5

Pemeriksaan Darah 5/6/18 19:44 RSUD Prembun


Hasil
Pemeriksaan Nilai Rujukan
5/6/2018
Darah lengkap
Hemoglobin 7L 11,7 - 15,5 g/Dl
Leukosit 4860 3600 - 11000 U/L
Hematokrit 22 L 25 - 47 %
Eritrosit 2.4 L 3,8 - 5,2 x 10^6/uL
Trombosit 93000 L 150.000 – 440.000 /uL
Hitung Jenis
Basofil 0.0 0 -1 %
Eosinofil 0.0 L 2–4%
Segmen 40 50 – 70 %
Limfosit 32 25 – 40 %
Monosit 28 H 2–8%
Kimia Klinik
Ureum Darah 40 14,98 – 38,52 mg/dL
Kreatinin Darah 0,27 L 0,70 – 1,30 mg/dL
Glukosa Sewaktu 98 <= 200 mg/dL
Elektrolit
Na 131 135-147 mg/dL
Kalium 3.8 3,5-5.0 mg/dL
Klorida 98 95-105 mg/dL
Widal
Salmonela typi O Negatif Negatif
Salmonela typi H Negatif Negatif
Salmonela partypi AO Negatif Negatif
Salmonela partypi BO Negatif Negatif

Pemeriksaan Darah 5/6/18 21:54 RSUD Prembun


Hasil
Pemeriksaan Nilai Rujukan
5/6/2018
Darah lengkap
Hemoglobin 10.5 L 11,7 - 15,5 g/Dl
Leukosit 5090 3600 - 11000 U/L
Hematokrit 31 25 - 47 %
Eritrosit 3.7 3,8 - 5,2 x 10^6/uL
Trombosit 49000 L 150.000 – 440.000 /uL
Hitung Jenis
Basofil 0.0 0 -1 %
Eosinofil 0.0 L 2–4%
Neutrofil 61 50 – 70 %
Limfosit 25 25 – 40 %
Monosit 24 H 2–8%

Pemeriksaan Darah 09/6/18 17:53 RSUD Prembun


Hasil
Pemeriksaan Nilai Rujukan
11/6/2018
Darah lengkap
Hemoglobin 11.1 L 11,7 - 15,5 g/Dl
Leukosit 6890 3600 - 11000 U/L
Hematokrit 34 25 - 47 %
Eritrosit 4.0 3,8 - 5,2 x 10^6/uL
Trombosit 44000 L 150.000 – 440.000 /uL
Hitung Jenis
Basofil 1.0 0 -1 %
Eosinofil 0.0 L 2–4%
Neutrofil 53 50 – 70 %
Limfosit 29 25 – 40 %
Monosit 17 2–8%

Pemeriksaan Darah 11/6/18 06:35 RSUD Prembun


Hasil
Pemeriksaan Nilai Rujukan
11/6/2018
Darah lengkap
Hemoglobin 9.7 L 11,7 - 15,5 g/Dl
Leukosit 5830 3600 - 11000 U/L
Hematokrit 30 25 - 47 %
Eritrosit 3.5 3,8 - 5,2 x 10^6/uL
Trombosit 34000 L 150.000 – 440.000 /uL
Hitung Jenis
Basofil 0.0 0 -1 %
Eosinofil 0.0 L 2–4%
Neutrofil 53 50 – 70 %
Limfosit 39 25 – 40 %
Monosit 19 2–8%

Pemeriksaan Darah 11/6/18 RSMS


Hasil
Pemeriksaan Nilai Rujukan
11/06/2018
Darah lengkap
Hemoglobin 9.2 L 11,7 - 15,5 g/Dl
Leukosit 6550 3600 - 11000 U/L
Hematokrit 29 L 25 - 47 %
Eritrosit 3.5 L 3,8 - 5,2 x 10^6/Ul
Trombosit 39000 L 150.000 – 440.000 /uL
MCV 88.1 80 – 100 fL
MCH 28.3 26 – 34 pg/cell
MCHC 32.2 32 – 36 %
RDW 12.9 11,5 – 14,5 %
MPV 10,1 9,4 – 12,3 fL
Hitung Jenis
Basofil 0.2 0 -1 %
Eosinofil 0.0L 2–4%
Batang 8.5 H 3–5%
Segmen 53 50 – 70 %
Limfosit 23.7 25 – 40 %
Monosit 17.3 H 2–8%
Kimia Klinik
SGOT 61 H 15 – 38,52 mg/dL
SGPT 43 14-59
Ureum Darah 78.6 H 14,98 – 38,52 mg/dL
Kreatinin Darah 0.88 0,70 – 1,30 mg/dL
Glukosa Sewaktu 181 <= 200 mg/dL

Pemeriksaan Darah 13/6/18 RSMS


Hasil
Pemeriksaan Nilai Rujukan
13/06/2018
Darah lengkap
Hemoglobin 9.2 L 11,7 - 15,5 g/Dl
Leukosit 7820 3600 - 11000 U/L
Hematokrit 30 l 25 - 47 %
Eritrosit 3.7 L 3,8 - 5,2 x 10^6/uL
Trombosit 251000 150.000 – 440.000 /uL
MCV 88.1 80 – 100 fL
MCH 24.6 L 26 – 34 pg/cell
MCHC 30.4 L 32 – 36 %
RDW 19.6 H 11,5 – 14,5 %
MPV 10,1 9,4 – 12,3 fL
Hitung Jenis
Basofil 0.1 0 -1 %
Eosinofil 0.0L 2–4%
Batang 1.3 L 3–5%
Segmen 62.5 50 – 70 %
Limfosit 31.5 25 – 40 %
Monosit 4.6 2–8%
Kimia Klinik
Kolesterol total 73 L <200
Glukoas Puasa 120 H 72-106
GDT
Kesan : Anemia normositik normokromik dd anemia hemolitik, anemia
karena perdarahan
Tanda-tanda infeksi pada leukosit
Trombositopenia dd proses hemolitik/perdarahan, proses infeksi,
sekuestrasi (adakah splenomegali), ITP

Pemeriksaan USG Abdomen RSUD Prembun 23/5/2018


Kesan :
Uterus, VU, Hepar, VF, Pancreas, Lien dan kedua renal Dalam batas normal

Pemeriksaan Colon in loop RSUD Prembun 19/5/2018

Kesan : Tak tampak kelainan pada sistem kolorektal


Pemeriksaan EKG RSMS 19/5/2018
Kesan :
Irama : Reguler, Sinus Normal QRS Kompleks : 0.06-0.10detik
HR : 67x/m ST Segmen : gelombang S dikuti
Axis : -30 derajat sampai 110 gelombang T
derajat Gelombang T : Normal
Gelombang P : P >0.11 detik
PR Interval : 0.14 detik

Pemeriksaan Rontgen thoraks RSMS 11/6/2018

Kesan :
Suspek Kardiomegali, Elongasio aorta dan kalsifikasi aorta
Gambaran Bronkhitis, suspek efusi pleura kanan.

E. Diagnosis
1. Trombositopeni
2. Susp ITP
3. Sirosis hepatic

F. Planning
1. IVFD Aminofusin hepar : D5% 16 TPM
2. INJ. Ceftriaon 2x1 A
3. INJ. Methylprednisolon 125 mg/8 jam
4. Fleet Enema (3 hari)
5. Lactulac syrup 1x16 cc
6. Kandistatin drop 4xsehari 1 cc
7. Bethadine kumur 2x sehari
8. Oral higiene

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Idiopathic Thrombocytopenic Purpura

II.1.1 DEFINISI
Idiopathic Thrombocytopenic Purpura adalah suatu gangguan autoimun yang
ditandai dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer kurang
dari 150.000/mL) akibat autoantibodi yang mengikat antigen trombosit menyebabkan
destruksi prematur trombosit dalam sistem retikuloendotel terutama limpa. Idiopathic
Thrombocytopenic Purpura adalah kelainan akibat trombositopenia yang tidak
diketahui penyebabnya (idiopatik), tetapi sekarang diketahui bahwa sebagian besar
kelainan ini disebabkan oleh proses imun karena itu disebut juga sebagai autoimmune
thrombocytopenic purpura. Kata trombositopenia menunjukan bahwa terdapat angka
trombosit yang rendah, sedangkan kata purpura berasal dari suatu deskripsi akan kulit
yang berwarna lebam karena simptom penyakit, warna ungu pada kulit ini disebabkan
oleh merembesnya darah di bawah kulit.

II.1.2 ETIOLOGI
Dalam kebanyakan kasus, penyebab ITP tidak diketahui. Seringkali pasien yang
sebelumnya terinfeksi oleh virus (rubella, rubeola, varisela) atau, sekitar tiga minggu
menjadi ITP. Hal ini diyakini bahwa tubuh, ketika membuat antibodi terhadap virus,
"sengaja" juga membuat antibodi yang dapat menempel pada sel-sel platelet. Tubuh
mengenali setiap sel dengan antibodi sebagai sel asing dan menghancurkan mereka.
Itulah sebabnya ITP juga disebut sebagai imuno thrombocytopenic purpura.1 Sumsum
tulang adalah jaringan lembut, kenyal yang berada di tengah tulang panjang dan
bertanggung jawab untuk membuat sel-sel darah, termasuk trombosit. Sumsum tulang
merespon rendahnya jumlah trombosit dan menghasilkan lebih banyak untuk mengirim
ke tubuh. Namun, hasil tes darah dari sirkulasi darah akan menunjukkan jumlah
trombosit yang sangat rendah. Tubuh memproduksi sel-sel normal, tetapi tubuh juga 8
menghancurkan mereka. Dalam kebanyakan kasus, tes darah lainnya normal kecuali
untuk rendahnya jumlah trombosit. Pada pasien ITP, trombosit biasanya bertahan hanya
beberapa jam, dibandingkan dengan trombosit yang normal yang memiliki umur 7
sampai 10 hari. Trombosit sangat penting untuk pembentukan bekuan darah.

II.1.3 EPIDEMIOLOGI
Insiden ITP pada anak antara 4,0-5,3 per 100.000, ITP akut umunya terjadi pada
anakanak usia antara 2-6 tahun. 7-28% anak-anak dengan ITP akut berkembang
menjadi kronik. Purpura Trombosit Idiopatik pada anak berkembang menjadi bentuk
ITP kronik pada beberapa kasus menyerupai ITP dewasa yang khas. Insidensi ITP
kronis pada anak diperkirakan 0,46 per 100.000 anak pertahun. Insidensi ITP kronis
dewasa adalah 58-66 kasus baru per satu juta populasi pertahun (5,8- 6,6 per 100.000)
di Amerika dan serupa yang ditemukan di Inggris. Idiopathic Thrombocytopenic
Purpura kronik pada umumnya terdapat pada orang dewasa median ratarata usia 40-45
tahun.
Ratio antara perempuan dan laki-laki adalah 1:1 pada penderita ITP akut
sedangkan pada ITP kronik adalah 2-3:1.1 Jumlah insiden ITP yang sebenarnya, tidak
diketahui, karena individu dengan penyakit ringan mungkin asimtomatik sehingga tidak
terdiagnosis. Di Amerika Serikat, penyakit gejala terjadi pada sekitar 70 dewasa /
1.000.000 dan 50 anak / 1.000.000. Penderita ITP refrakter didefinisikan sebagai suatu
ITP yang gagal diterapi dengan kortikosteroid dosis standar dan splenektomi yang
selanjutnya mendapat terapi karena angka trombosit dibawah normal atau ada
perdarahan. Penderita ITP refrakter ditemukan kira-kira 25-30 persen dari jumlah
penderita ITP. Kelompok ini mempunyai respon jelek terhadap pemberian terapi
dengan morbiditas yang cukup bermakna dan mortalitas kira-kira 16%.

II.1.4 PATOFISIOLOGI
ITP disebabkan oleh autoantibodi trombosit spesifik yang berikatan dengan
trombosit autolog kemudian dengan cepat dibersihkan dari sirkulasi oleh sistem fagosit
mononuklear melalui reseptor Fc makrofag. Diperkirakan bahwa ITP diperantai oleh
suatu autoantibodi, mengingat kejadian transient trombositopenia pada neonatus yang
lahir dari ibu yang menderita ITP, dan perkiraan ini didukung oleh kejadian transient
trombositopenia pada orang sehat yang menerima transfusi plasma kaya IgG, dari
seorang penderita ITP. Trombosit yang diselimuti oleh autoantibodi IgG akan
mengalami percepatan pembersihan di lien dan di hati setelah berikatan dengan reseptor
Fcg yang diekspresikan oleh makrofag jaringan. Pada sebagian besar penderita akan
terjadi mekanisme kompensasi dengan peningkatan produksi trombosit. Sebagian kecil
yang lain, produksi trombosit tetap terganggu, sebagian akibat destruksi trombosit yang
diselimuti autoantibodi oleh makrofag didalam sumsum tulang (intramedullary), atau
karena hambatan pembentukan megakariosit, kadar trombopoetin tidak meningkat,
menunjukan adanya masa megakariosit normal.
Untuk sebagian kasus ITP yang ringan, hanya trombosit yang diserang, dan
megakariosit mampu untuk mengkompensasi parsial dengan meningkatkan produksi
trombosit. Penderita ITP dengan tipe ini dapat dikatakan menderita ITP kronik tetapi
stabil dengan jumlah trombosit yang rendah pada tingkat aman. Pada kasus berat, auto
antibodi dapat langsung meyerang antigen yang terdapat pada trombosit dan juga
megakariosit. Pada tipe ini produksi trombosit terhenti dan penderita harus menjalani
pengobatan untuk menghindari resiko perdarahan internal atau organ dalam.
Antigen pertama yang berhasil diidentifikasi berasal dari kegagalan antibodi
ITP untuk berikatan dengan trombosit yang secara genetik kekurang kompleks
glikoprotein IIb/IIIa. Kemudian berhasil diidentifikasi antibodi yang bereaksi dengan
glikoprotein Ib/IX,Ia/IIa,IV dan V dan determinasi trombosit yang lain. Juga dijumpai
antibodi yang bereaksi terhadap berbagai antigen yang berbeda. Destruksi trombosit
dalam sel penyaji antigen yang diperkirakan dipicu oleh antibodi, akan menimbulkan
pacuan pembentukan neoantigen, yang berakibat produksi antibodi yang cukup untuk
menghancurkan trombosit. Kebanyakan penderita mempunyai antibodi terhadap
glikoprotein pada permukaan trombosit pada saat penyakit terdiagnosis secara klinis.
Pada awalnya glikoprotein IIb/IIIa dikenali oleh autoantibodi, sedangkan
antibodi yang mengenali glikoprotein Ib/IX belum terbentuk pada tahap ini. Trombosit
yang diselimuti autoantibodi akan berikatan dengan sel penyaji antigen (makrofag atau
sel dendritik) melalui reseptor Fcg kemudian mengalami proses internalisasi dan
degradasi. Sel penyaji antigen tidak hanya merusak glikoprotein IIb/IIIa, tetapi juga
memproduksi epitop kriITPk dari glikoprotein trombosit yang lain. Sel penyaji antigen
yang teraktifasi mengekspresikan peITPda baru pada permukaan sel dengan bantuan
kostimulasi (yang ditunjukkan oleh interaksi antara CD 154 dan CD 40) dan sitokin
yang berfungsi menfasilitasi proliferasi inisiasi CD4 positif Tcell clone (Tcell clone 1)
dan spesifitas tambahan (Tcell clone 2). Reseptor sel imunoglobulin sel B yang
mengenali antigen trombosit (Bcell clone 2) dengan demikian akan menginduksi
proliferasi dan sintesis antiglikoprotein Ib/IX antibodi dan juga meningkatkan produksi
antiglikoprotein IIb/IIIa antibodi oleh B cell clone.
Gambar. 2.1 Patofisiologi ITP

II.1.5 MANIFESTASI KLINIS


Tanda dan gejala dari idipatik trombositosis purpura adalah meningkatnya
perdarahan akibat menurunnya jumlah platelet.
Bentuk perdarahan dalam:
1. Purpura. Perdarahan yang terjadi pada kulit dan membran mukosa (seperti di dalam
mulut) yang berwarna keunguan. Lebam yang tidak jelas penyebabnya.
2. Petekie. Bintik-bintik merah di kulit. Terkadang bintik merah saling menyatu dan
mungkin terlihat seperti ruam. Bintik merah merupakan perdarahan di bawah kulit
3. Perdarahan yang sulit berhenti
4. Perdarahan dari gusi
5. Mimisan
6. Menstruasi yang berkepanjangan pada wanita
7. Hematuria
8. Perdarahan saluran cerna
Perdarahan intrakranial merupakan komplikasi yang palin serius pada ITP. Hal
ini mengenai hampir 1% penderita dengan trombositopenia berat. Perdarahan biasanya
di subarachnoid, sering multipel dan ukuran bervariasi dari petekie sampai
ekstravasasi darah yang luas.
II.1.6 KLASIFIKASI
Berdasarkan onset penyakit ITP dibedakan tipe akut dan kronik.
a. ITP akut.
Kejadiaannya kurang atau sama dengan 6 bulan. ITP akut sering dijumpai pada
anak, jarang pada dewasa. Onset penyakit biasanya mendadak, riwayat infeksi
mengawali terjadinya perdarahan berulang, sering dijumpai eksantem pada anak-
anak (rubeola dan rubella) dan penyakit saluran napas yang disebabkan oleh virus.
Virus yang paling banyak diindetifikasi adalah varicella zooster dan ebstein barr.
Manifestasi perdarahan ITP akut pada anak biasanya ringan, perdarahn intrakranial
terjadi kurang dari 1% pasien. Pada ITP dewasa bentuk akut jarang terjadi, namun
dapat mengalami perdarahan dan perjalanan penyakit lebih fulminan. ITP akut pada
anak biasanya self limiting, remisi spontan terjadi pada 90% penderita, 60%
sembuh dalam 4-6 minggu dan lebih dari 90% sembuh dalam 3-6 bulan.
b. ITP kronik
Kejadiaannya lebih dari 6 bulan. Onset ITP kronik biasanya tidak menentu, riwayat
perdarahan sering ringan sampai sedang, infeksi dan pembesaran lien jarang terjadi
dan perjalanan klinis yang fluktuatif. Episode perdarahan dapat berlangsung
beberapa hari sampai beberapa minggu, mungkin intermitten atau terus menerus.
Manifestasi perdarahan ITP berupa ekimosis, petekie, purpura. Pada umumnya
berat dan frekuensi perdarahan berkorelasi dengan jumlah trombosit. Secara umum
bila pasien dengan AT > 50.000/ml maka biasanya asimptomatik, AT 30.000-
50.000/ml terdapat luka memar/hematom, AT 10.000-30.000/ml terdapat
perdarahan spontan, menoragi dan perdarahan memanjang bila ada luka, AT <
10.000/ml terjadi perdarahan mukosa (epistaksis, perdarahan gastrointestinal dan
genitourinaria) dan resiko perdarahan sistem saraf pusat.

II.1.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Untuk memastikan diagnosis Idiopathic Thrombocytopenic Purpura, dilakukan
dengan pemeriksaan laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain
dengan pemeriksaan:
1. Pemeriksaan darah rutin, akan didapatkan nilai trombosit yang rendah (<
150.000) dengan jumlah eritrosit (apabila tidak terjadi perdarahan yang berat)
dan leukosit dalam batas normal.
2. Pemeriksaan darah tepi, akan didapatkan trombositopenia dengan eritrosit dan
leukosit dengan morfologi normal. Dijumpai trombosit muda dengan ukuran
yang lebih besar (megatrombosit).
3. Pemeriksaan PT dan APTT dalam batas normal, fibrinogen normal.
4. Monoclonal antigen capture assay. Pengukuran trombosit dihubungkan dengan
antibodi, secara langsung untuk mengukur trombosit yang berkaitan dengan
antibodi.
5. Pemeriksaan sumsum tulang normal atau peningkatan jumlah megakariosit dan
agranuler, serta tidak mengandung trombosit. Pedoman dari america society
of hematology menyatakan pemeriksaan sumsum tulang tidak diperlukan pada
usia > 40 tahun, pasien dengan gambaran tidak khas ( gambaran sitopeni) atau
pasien yang tidak berespon baik dengan terapi. Meskipun tidak dianjurkan,
banyak ahli pediatrik hematologi merekomendasikan dilakukan pemeriksaan
sumsum tulang sebelum memulai pemberian kortikosteroid untuk
menyingkirkan kasus leukemia akut.

II.1.8 DIAGNOSIS
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, perlu dilakukan pada setiap pasien saat kunjungan pertama kali ke
saranakesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis, diperolehnya data
dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, dan untuk menentukan tata
laksana selanjutnya. Dari Anamnesis, perlu digali tanda-tanda perdarahan dan faktor
resiko. Tanda perdarahan seperti munculnya petekie, purpura, perdarahan yang sulit
berhenti, perdarahan pada gusi, mimisan spontan, perdarahan konjungtiva, perdarahan
saluran cerna seperti melena, hematuria, dan menstruasi yang berkepanjangan pada
wanita. Dari pemeriksaan fisik didapatkan adanya purpura dan petekie, mungkin bisa
ditemukan adanya splenomegali (10% pada anak) yang jarang terjadi. Pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan laboratorium darah lengkap dapat ditemukan adanya
penurunan jumlah trombosit dengan leukosit dan eritrosit dalam batas normal (tidak
terjadi perdarahan masif), pemeriksaan darah tepi ditemukan penurunan sel trombosit
dengan atau tanpa megatrombosit, pemeriksaan sumsum tulang didapatkan
peningkatan megakariosit. Pada pemeriksaan PT dan APTT dalam batas normal.
II.1.9 PENATALAKSANAAN
Terapi ITP lebih ditujukan untuk menjaga jumlah trombosit dalam kisaran aman
sehinggamencegah terjadinya perdarahan mayor. Terapi umum meliputi menghindari
aktivitas fisik berlebihan untuk mencegah trauma terutama trauma kepala, hindari
pemakaian obat-obatan yangmempengaruhi fungsi trombosit. Terapi khusus yakni
terapi farmakologis. Terapi Awal ITP (Standar) Prednison Prednison, terapi awal ITP
dengan prednisolon atau prednison dosis 1,0-1,5mg/kgBB/hari selama 2 minggu.
Respons terapi prednison terjadi dalam 2 minggu dan pada umumnya terjadi dalam
minggu pertama, bila respon baik kortikosteroid dilanjutkan sampai 1 bulan , kemudian
tapering. Kriteria respon awal adalah peningkatan AT 50.000/µL 15 setelah 10 hari
terapi awal, terhentinya perdarahan. Tidak berespons bila peningkatan AT 50.000/mL
setelah 6 bulan follow up. Pasien yang simtomatik persisten dan trombositopenia berat
(AT 50.000/µL perlu diberi IglV sebelum pembedahan atau setelahtrauma pada
beberapa pasien.
Pada pasien ITP kronik dan AT 100.000/mL) bertahan sekurang-kurangnya
dalam 6 bulan. Pasien yang tidak berespon dengan deksametason dosis tinggi segera
diganti obat lainnya. Metil prednisolon Steroid parenteral seperti metilprednisolon
digunakan sebagai terapi lini kedua dan ketiga pada ITP refrakter. Metilprednisolon
dosis tinggi dapat diberikan pada ITP anak dan dewasa yang resisten terhadap terapi
prednison dosis konvensional. Dari penelitian Weil pada pasien ITP berat
menggunakan dosis tinggi metil prednisolon 30 mg/kg iv kemudian dosis diturunkan
tiap 3hari sampai 1 mg/kg sekali sehari dibandingkan dengan pasien ITP klinis ringan
yang telah mendapat terapi prednison dosis konvensional. Pasien yang mendapat terapi
metilprednisolondosis tinggi mempunyai respon lebih cepat (4,7 vs 8,4 hari) dan
mempunyai angka respons (80%vs 53%). Respons steroid intravena bersifat sementara
pada semua pasien dan memerlukan steroid oral untuk menjaga agar AT tetap adekuat.
IglV Dosis Tinggi Imunoglobulin intravena dosis tinggi 1 mg/kg/hari selama 2 hari
berturut-turut, seringdikombinasi dengan kortikosteroid, akan meningkatkan AT
dengan cepat. Efek samping,terutama sakit kepala, namun jika berhasil maka dapat
diberikan secara intermiten ataudisubtitusi dengan anti-D intravena.
Anti-D Intravena Anti-D intravena telah menunjukkan peningkatan AT 79-90%
pada orang dewasa. DosisantiD 50-75 mg/kg perhari IV. Mekanisme kerja anti-D yakni
destruksi sel darah merah rhesusDpositif yang secara khusus dibersihkan oleh RES
terutama di lien, jadi bersaing denganautoantibodi yang menyelimuti trombosit melalui
Fc reseptor blockade. Alkaloid Vinka Semua terapi golongan alkaloid vinka jarang
digunakan, meskipun mungkin bernilaiketika terapi lainnya gagal dan ini diperlukan
untuk meningkatkan AT dengan cepat, misalnya vinkristin 1 mg atau 2 mg iv, vinblastin
5-10 mg, setiap minggu selama 4-6 minggu. Danazol Dosis danazol 200 mg p.o 4x
sehari selama sedikitnya 6 bulan karena respon seringlambat. Fungsi hati harus
diperiksa setiap bulan. Bila respons terjadi, dosis diteruskan sampaidosis maksimal
sekurang-kurangnya 1 tahun dan kemudian diturunkan 200 mg/hari setiap 4 bulan.
Immunosupresif dan Kemoterapi Kombinasi Immunosupresif diperlukan pada pasien
yang gagal berespons dengan terapi lainnya.Terapi dengan azatioprin (2 mg/kg
maksimal 150 mg/hari) atau siklofosfamid sebagai obat tunggal dapat dipertimbangkan
dan responnya bertahan sampai 25%. Pada pasien yang berat,simptomatik, ITP kronik
refrakter terhadap berbagai terapis ebelumnya.
Pemakaian siklofosfaraid, vinkristin dan prednisolon sebagai kombinasi telah
efektif digunakan seperti padalimfoma. Siklofosfamid 50-100 mg p.o atau 200
mg/iv/bulan selama 3 bulan. Azatioprin 50-100 mg p.o, bila 3 bulan tidak ada respon
obat dihentikan, bila ada respons sampai 3 bulan turunkan sampai dosis terkecil.
Dapsone Dapson dosis 75 mg p.o. per hari, respons terjadi dalam 2 bulan. Pasien-
pasien harusdiperiksa G6PD, karena pasien dengan kadar G6PD yang rendah
mempunyai risiko hemolisisyang serius. Pendekatan Pasien yang Gagal Terapi Standar
dan Terapi Lini Kedua Sekitar 25% ITP refrakter dewasa gagal berespon dengan terapi
lini pertama atau keduadan memberi masalah besar. Beberapa di antaranya mengalami
perdarahan aktif namun lebih banyak yang berpotensi untuk perdaraihan serta masalah
penanganannya. Pada umumnya ITP refrakter kronis bisa mentoleransi
trombositopenia dengan baik dan bisa mempunyai kualitashidup normal atau
mendekati normal. Bagi mereka yang gagal dengan terapi lini pertama dankedua hanya
memilih terapi yang terbatas meliputi: (i) interferon-α, (ii) antiCD20, (iii)Campath-
1H,(iv) mikofonelat mofetil,(vi)terapi lainnya.
Rekomendasi Terapi ITP Yang Gagal Terapi Lini Pertama dan Kedua Susunan
terapi lini ketiga tersedia untuk pasien dengan kemunduran splenektomi dan bagi
mereka yang tidak dapat atau harus menunda operasi. Rituximab, suatu
antibodimonoklonal terhadap CD20 + B sel, memiliki tingkat respons keseluruhan 25
- 50%, danmemiliki respon yang tahan lama, dengan efek samping yang relatif sedikit.
19 Campath-IH dan rituximab adalah obat yang mungkin bermanfaat pada pasien tidak
berespon dengan terapi lain dan dibutuhkan untuk meningkatkan AT (misalnya.
Perdarahan aktif). Mikofenolat mofetil tampak efektif pada beberapa pasien ITP
refrakter tetapi studi lebih. 10. PROGNOSIS Respon terapi dapat mencapai 50%-70%
dengan kortikosteroid. Pasien ITP dewasa hanya sebagian kecil dapat mengalami
remisi spontan penyebab kematian pada ITP biasanya disebabkan oleh perdarahan
intracranial yang berakibat fatal berkisar 2,2% untuk usia lebih dari 40 tahun dan
sampai 47,8% untuk usia lebih dari 60 tahun.

Gambar 2.2 Talaksana ITP


II.2 SIROSIS HEPATIK
II.2.1 Definisi
Sirosis hati adalah fase lanjut dari penyakit hati kronik yang menggambarkan
stadium akhir fibrosis hepatis yang berlangsung secara progresif, yang ditandai dengan
distorsi struktur hepar, pembentukan nodul regenerative, radang difus menahun pada
hati, nekrosis sel hati, usaha regenerasi dan proliferasi jaringan fibrous dimana seluruh
jaringan hati menjadi rusak disertai dengan pembentukan regenerasi nodul. Sirosis hati
pada akhirnya dapat menggangu sirkulasi darah intrahepatik dan pada kasus lanjut dapat
menyebabkan kegagalan fungsi hati secara bertahap (Nurdjanah, 2014).

II.2.2 Epidemiologi dan Insidensi


Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke empat belas penyebab kematian.
Sekitar 1.030.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hepatis
mengakibatkan terjadinya 35.539 kematian setiap tahunnya di Amerika. Lebih dari 40%
pasien sirosis adalah asimptomatis sering tanpa gejala sehingga kadang ditemukan pada
waktu pasien melakukan pemeriksaan rutin atau karena penyakit yang lain (Tsochatzis,
2014).
Sirosis hati merupakan penyakit yang sering dijumpai di seluruh dunia termasuk
di Indonesia, kasus ini lebih banyak ditemukan pada kaum laki-laki dibandingkan kaum
wanita dengan perbandingan 2-4 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak antara golongan
umur 30-59 tahun dengan puncaknya sekitar 40-49 tahun.

II.2.3 Etiologi
Penyebab munculnya sirosis hati di negara barat tersering akibat alkoholik
sedangkan di Indonesia kebanyakan disebabkan akibat hepatitis B atau C. Etiologi sirosis
penting untuk diketahui, karena hal tersebut dapat memprediksi komplikasi dan
pemilihan treatment. Selain itu pengetahuan tentang etiologi juga bermanfaat dalam
tindakan preventif. Berbagai faktor etiologi dapat berakibat pada sirosis hati, diantaranya
konsumsi alkohol, umur diatas 50 tahun, dan jenis kelamin pria merupakan faktor resiko
hepatitis C kronis. Obesitas pada usia tua, resistensi insulin/DM tipe 2, hipertensi dan
hiperlipidemia merupakan faktor resiko NASH (nonalcoholic steatohepatitits)
(Tsochatzis, 2014). Selain itu Etiologi sirosis hati dapat disebabkan oleh (Wiegand and
Berg; 2013):
1. Viral
a. Hepatitis B
b. Hepatitis C
c. Hepatitis D
2. Autoimun
a. Hepatitis autoimun
b. Sirosis bilier primer
c. Primary sclerosing cholangitis
d. IgG4 cholangiopathy
3. Gangguan bilier kronik
a. Kolangitis bakterial kronik
b. Stenosis duktus biliaris
4. Kardiovaskular
a. Sindrom Budd-Chiari
b. Gagal jantung kanan
c. Osler disease
5. Gangguan penyimpanan
a. Hemokromatosis
b. Wilson disease
c. Defisiensi alfa-1-antitripsin
6. Fatty liver disease
a. Alcoholic liver disease
b. Non-alcaholic
c. Fatty liver disease
7. Penyebab yang jarang
a. Medikasi (amiodaron, dll)
b. Porfiria

II.2.4 Patogenesis
Proses perkembangan penyakit hati kronik menjadi sirosis hati berhubungan
dengan inflamasi, aktivasi sel stelata yang akan mengarah ke perubahan mikrovaskular
hepar yang ditandai dengan remodeling sinusoid, terbentuknya shunt sinusioid dan
disfungsi endotel hepar. Disfungsi endotel ditandai dengan berkurangnya vasodilator
seperti NO dan pengingkatan vasokonstriktor seperti tromboxan A2. Jaringan hati
memiliki kemampuan regenerasi, dan dalam keadaan normal mengalami pertukaran sel
yang bertahap. Apabila sebagian jaringan rusak, jaringan yang rusak tersebut diganti
melalui peningkatan kecepatan pembelahan sel yang sehat. Namun, seberapa cepat
hepatosis dapat diganti, tetap memiliki batas. Selain hepatosit, juga ditemukan beberapa
fibroblas (sel jaringan ikat) yang membentuk jaringan penunjang bagi hati. Jika hati
berulangkali terpajan oleh bahan toksik, misalnya alkohol atau virus, menyebabkan
hepatosit baru tidak dapat beregenerasi cukup cepat untuk mengganti sel-sel yang rusak,
fibroblas yang lebih kuat akan memanfaatkan situasi dan melakukan proliferasi berlebih.
Tambahan jaringan ikat ini menyebabkan ruang untuk pertumbuhan kembali hepatosit
berkurang (Sherwood, 2014). Kelainan ini merupakan suatu kerusakan arsitektur sel
hepar yang ireversibel yang mengenai seluruh hepar dan ditandai dengan adanya fibrosis
dan regenerasi noduler. Jumlah jaringan fibrosa sangat banyak dibandingkan dengan
hepar normal dan sel hepar tidak lagi membentuk asinus atau lobulus, tetapi mengalami
regenerasi menjadi pola noduler setelah cedera berkali-kali. Regenerasi nodul
menyebabkan struktur zona/daerah hepar bentuk lobulus atau asinus menjadi kurang
terorganisasi (Kumar, 2014).
Patogenesis sirosis hati menurut penelitian terakhir memperlihatkan adanya
peranan sel stelata dalam mengatur keseimbangan pembentukan matriks ekstraselular
dan proses degradasi, di mana jika terpapar faktor tertentu yang berlangsung secara terus
menerus, maka sel stelata akan menjadi sel yang membentuk kolagen. Pembentukan
fibrosis menunjukkan perubahan proses keseimbangan. Jika terpapar faktor tertentu yang
berlangsung terus-menerus (hepatitis virus), maka sel stelata akan menjadi sel yang
membentuk kolagen. Jika proses berjalan terus maka fibrosis akan berjalan terus di dalam
sel stelata, dan jaringan haTi yang normal akan diganti oleh jaringan ikat (Nurdjanah,
2014; Riley, 2009)
Fibrosis merupakan penggantian jaringan yang rusak oleh jaringan kolagen.
Fibrosis hati merupakan hasil perpanjangan respon penyembuhan luka normal yang
mengakibatkan abnormalitas proses fibrogenesis (produksi dan deposisi jaringan ikat).
Fibrosis berlangsung dalam berbagai tahap, tergantung pada penyebab kerusakan,
lingkungan, dan faktor host. Sirosis hati merupakan tahapan lanjut dari fibrosis hati, yang
juga disertai dengan kerusakan pembuluh darah. Sirosis hati menyebabkan suplai darah
dari arteri yang menuju hati, berbalik ke pembuluh vena, merusak pertukaran antara
hepatik sinusoid dan jaringan parenkim yang berdekatan, contohnya hepatosit. Hepatik
sinusoid dilapisi oleh endotel berfenestrasi yang berada pada lapisan jaringan ikat
permeabel (ruang Disse) yang mengandung sel stelat hepatik (HSC) dan beberapa sel
mononuklear. Bagian lain dari ruang Disse dilapisi oleh hepatosit yang menjalankan
sebagian besar fungsi hati. Pada kondisi sirosis, ruang Disse terisi oleh jaringan parut dan
fenestrasi endotel menghilang, proses ini disebut kapilarisasi sinusoidal. Akibat klinis
yang utama dari sirosis adalah terganggunya fungsi hati, meningkatnya resistensi
intrahepatik (portal hipertensi) dan perkembangan yang mengarah pada hepatoselular
karsinoma (HCC). Abnormalitas sirkulasi general yang terjadi pada sirosis (splachnic
vasodilatation, vasokonstriksi dan hiperfusi ginjal, retensi air dan garam, meningkatnya
output kardiak) sangar erat kaitannya dengan perubahan vaskularisasi hati dan portal
hipertensi..

II.2.5 Klasifikasi

A. Klasifikasi Morfologi :
a. Sirosis mikronoduler
Nodul yang berbentuk uniform, diameter kurang dari tiga milimeter dimana
penyebabnya antara lain: alkoholisme, hemokromatosis, obstruksi bilier,
obstruksi venahepatika, pintasan jejuno-ileal sirosis. Sirosis mikronoduler
sering berkembang menjadi sirosis makronoduler.
b. Sirosis makronoduler
Nodul bervariasi dengan diameter lebih dari tiga milimeter. Penyebabnya antara
lain: hepatitis kronik B, hepatitis kronik C, dan defisiensi α-1-antitripsin.
c. Sirosis campuran
Yaitu golongan mikronudular dan makronudular. Nodul terbentuk dengan
ukuran < 3mm dan ada nodul yang berukuran >3 (Nurdjanah, 2014).
B. Klasifikasi Fungsional :
a. Sirosis kompensata
Sering disebut dengan latent cirrosis hepar. Pada stadium ini belum terlihat
gejala- gejala nyata. Biasanya stadium ini ditemukan pada saat pemeriksaan
skrining.
b. Sirosis dekompensata
Dikenal dengan active cirrocis hepar. Pada stadium ini biasanya disertai dengan
gejala-gejala yang sudah jelas seperti asites, edema, hematemesis, dan ikterik
(Tsochatzis, 2014).
II.2.6 Manifestasi Klinis
Secara klinis manifestasi sirosis hati teragi menjadi 2, yaitu :
1. Stadium awal (kompensata)
Stadium ini menunjukkan kompensasi tubuh terhadap kerusakan hati masih
baik, sirosis seringkali muncul tanpa gejala sehingga sering ditemukan pada waktu
pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin. Gejala-gejala awal sirosis meliputi
perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut kembung,
mual, berat badan menurun, pada laki-laki dapat timbul impotensi, testis mengecil
dan dada membesar, serta hilangnya dorongan seksualitas.
2. Stadium Dekompensata
Bila sirosis sudah berlanjut, (berkembang menjadi sirosis dekompensata)
gejala-gejala akan menjadi lebih menonjol terutama bila timbul komplikasi
kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi kerontokan rambut badan, asites,
edema perifer, gangguan tidur, dan demam yang tidak begitu tinggi. Selain itu,
dapat pula disertai dengan gangguan pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis,
gangguan siklus haid, ikterus dengan air kemih berwarna seperti teh pekat,
hematemesis, melena, serta perubahan mental, meliputi mudah lupa, sukar
konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma (Nurdjanah, 2014). Serta terdapat
beberapa tanda lain seperti:
a. Tanda gangguan endokrin
1) Spider angioma : gambaran seperti laba-laba di leher, bahu, dada
2) Eritema palmaris pada tenar dan hipotenar
3) Atrofi testis : sering disertai dengan impoten dan penurunan libido
4) Ginekomastia
5) Alopesia pada dada dan aksila
6) Hiperpigmentasi kulit
b. Kuku muhchrche : gambaran pita putih horizontal yang memisahkan warna kuku
normal
c. Kontraktur Dupuytren : penebalan fascia pada palmar (khas pada sirosis alkoholik)
d. Fetor Hepatikum : bau nafas khas akibat penumpukan metionin
e. Atrofi otot
f. Ptekie dan ekimosis bila terjadi trombositopenia koagulopati berat
g. Splenomegali
h. Hepar dapat teraba lunak, membesar, atau nodul dengan konsistensi keras

Gambar 2.3 Manifestasi Klinis Sirosis Hati

II.2.7 Penegakan Diagnosis


Diagnosis sirosis hati ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis
1) Mudah lelah dan lemas
2) Nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan
3) Perut kembung, mual
4) Penurunan berat badan
5) Gangguan tidur (Nurdjanah, 2014)
b. Pemeriksaan Fisik
1) Tanda gangguan endokrin
a) Spider angioma : gambaran seperti laba-laba di leher, bahu, dada
b) Eritema palmaris pada tenar dan hipotenar
c) Atrofi testis : sering disertai dengan impoten dan penurunan libido
d) Ginekomastia
e) Alopesia pada dada dan aksila
f) Hiperpigmentasi kulit
2) Kuku muhchrche : gambaran pita putih horizontal yang memisahkan warna kuku
normal
3) Kontraktur Dupuytren : penebalan fascia pada palmar (khas pada sirosis
alkoholik)
4) Fetor Hepatikum : bau nafas khas akibat penumpukan metionin
5) Atrofi otot
6) Ptekie dan ekimosis bila terjadi trombositopenia koagulopati berat
7) Splenomegali
8) Hepar dapat teraba lunak, membesar, atau nodul dengan konsistensi keras

c. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Fungsi Hati
1) SGOT (serum glutamil oksalo asetat) atau AST ( 29 mmonia 29 l
aminotransferase) dan SGPT (serum glutamil piruvat transferase) atau ALT
(29mmonia aminotransferase) meningkat tapi tidak begitu tinggi. AST lebih
meningkat 29 mmonia 29 lo ALT, namun bila enzim ini normal, tidak
menyingkirkan kecurigaan adanya sirosis
2) Alkali fosfatase (ALP), meningkat kurang dari 2-3 kali batas normal atas.
Konsentrasi yang tinggi 29 mmo ditemukan pada pasien kolangitis
29mmonia29l primer dan sirosis bilier primer.
3) Gamma Glutamil Transpeptidase (GGT), meningkat sama dengan ALP.
Namun, pada penyakit hati alkoholik kronik, konsentrasinya meninggi
karena 29 mmonia dapat menginduksi 29 mmonia 29 lo hepatik dan
menyebabkan bocornya GGT dari hepatosit.
4) Bilirubin, konsentrasinya 29 mmo normal pada sirosis kompensata dan
meningkat pada sirosis yang lebih lanjut (dekompensata)
5) Globulin, konsentrasinya meningkat akibat sekunder dari pintasan, antigen
bakteri dari 29mmoni porta masuk ke jaringan limfoid yang selanjutnya
menginduksi immunoglobulin.
6) Waktu protrombin memanjang karena disfungsi sintesis faktor koagulan.
7) Na serum menurun, terutama pada sirosis dengan asites, dikaitkan dengan
ketidakmampuan ekskresi air bebas.
8) Pansitopenia dapat terjadi akibat 30 mmonia 30 lol 30 kongestif berkaitan
dengan hipertensi porta sehingga terjadi hipersplenisme.
9) Seromarker hepatitis (Nurdjanah, 2014)
Pemeriksaan penunjang lain :
1. Barium meal, untuk melihat varises sebagai konfirmasi adanya hipertensi
porta
2. USG, untuk untuk menilai ukuran hati, sudut, permukaan, serta untuk melihat
adanya asites, 30mmonia30lol30, thrombosis vena porta, pelebaran vena
porta, dan sebagai skrinning untuk adanya karsinoma hati pada pasien sirosis.
3. Kolesistografi/kolangiografi : Memperlihatkan penyakit duktus empedu
yang mungkin sebagai faktor predisposisi.
4. Esofagoskopi : Dapat melihat adanya varises esophagus
5. Portografi Transhepatik perkutaneus : Memperlihatkan sirkulasi 30mmoni
vena portal,
6. Scan/biopsy hati : Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan
hati. Merupakan Gold Standar diagnosis sirosis hati (Nurdjanah, 2014).

II.2.8 Penatalaksanaan
Prinsip penatalaksanaan sirosis hati dipengaruhi etiologinya. Tujuan terapi
mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang menambah kerusakan
hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Untuk memberikan terapi terhadap
penderita sirosis perlu ditinjau apakah sudah ada hipertensi portal dan kegagalan faal hati
atau belum.
1. Sirosis tanpa kegagalan faal hati dan hipertensi portal.
a. Diet tinggi protein dan karbohidrat. Lemak tidak perlu dibatasi
b. Diberikan vitamin: B12, essensial phosfolipid (EPL), cursil dan obat yang
mengandung protein tinggi seperti superton.
c. Hindari minuman beralkohol, zat hepatotoksik, dan makanan yang disimpan lama
diudara terbuka lebih dari 24 jam.
2. Sirosis dengan kegagalan faal hati dan hipertensi portal.
a. Istirahat
Aktifitas fisik dibatasi, dianjurkan untuk istirahat ditempat tidur lebih kurang
setengah hari setiap harinya.
b. Diet
Bila tidak ada tanda-tanda koma hepatikum diberikan diet 1500-2000 kal dengan
protein sekurang-kurangnya 1 gr/kgBB/hr. Perlu juga diberikan roboransia.
Makanan dan minuman yang mengandung alkohol dihentikan secara mutlak.
Hindari makanan yang lebih dari 24 jam di udara bebas. Menurut Gabuzzda (1970)
pada penderita asites dan edema sedikit dapat hilang dengan diet kaya protein (1-2
gr/ kgBB/hr), rendah Na (200-500 mg Na/hr) dan pembatasan cairan 1-1,5 liter/ hr.
c. Diuretik
Dilakukan jika selama 4 hari diet rendah garam tidak ada respon, diberikan
spironolakton 100-200 mg/hari. Respon diuretik 31 mmo dimonitor dengan
penurunan BB 0,5 kg/hari (tanpa edem kaki) atau 1,0 kg/hari (dengan edema kaki).
Bila pemberian spironolakton tidak adekuat, dapat dikombinasi dengan furosemide
20-40 mg/hari (dosis max.160 mg/hari). Sebagai pengganti spironolakton dapat
dipakai triamterene atau amiloride yang mempunyai fungsi sama, yaitu bekerja
ditubuli distal dan tidak mengeluarkan K. Pemberian spironolacton dimulai dengan
dosis rendah mis 25 mg/hr, bila selama 3 hari tidak ada respons baru dosis
ditingkatkan sedikit demi sedikit sampai memperoleh respons yang cukup.
Kontraindikasi pemberian diuretik ialah: perdarahan gastrointestinal, penderita
dengan muntah-muntah atau diare, prekoma atau koma hepatikum. Sebagai akibat
pemberian diuretik akan timbul:

1) Hipokalemi : stop diuretik, beri tambahan KCl.


2) Hiponatremi: pembatasan cairan 500 cc/hr atau pemberian 2 L manitol 20%
intravena bekerja sebagai diuretik osmotik.
3) Alkalosis hipokloremik; karena kehilangan Na dan Cl, dan dapat dibatasi
dengan pemberian klorida.
4) Koma hepatikum sekunder; karena hipokalemi, kehilangan cairan. Bila terlihat
tanda-tanda prekoma atau koma sebaiknya pemberian diuretik dihentikan.
d. Steroid
Prednison hanya diberikan pada penderita yang diduga dengan posthepatik sirosis,
hepatitis aktif kronis dimana masih terdapat ikterus, gama globulin dan
transaminase yang masih meninggi.
e. Peritoneo-venous shunt
Peritoneus shunt dilakukan untuk mengurangi cairan asites secara teratur dan
memasukkan melalui suatu pipa yang diberi katub, sehingga memberikan satu arah
kedalam vena jugularis pada penderita dengan asites yang tidak berhasil diobati
dengan diuretik. Hasilnya 76,5% pasien dapat dihilangkan asitesnya, bahkan kadar
serum protein dan ratio albumin-globulin kembali normal, hal ini disebabkan
karena kadar protein yang ada didalam cairan asites dialirkan kembali ke tubuh
penderita. Juga kadar ureum yang tinggi kembali normal.
f. Parasintesis
Terdapatl 2 tujuan utama parasintesis: (1) Diagnostik : tujuan untuk mengevaluasi
cairan asites, kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap jumlah sel dan hitung
jenis, protein, macam mikroorganisme, (2) Terapi : untuk mengeluarkan cairan
asites yang sangat banyak sehingga dapat menggangu pernapasan penderita. Bila
terlalu sering dilakukan akan menimbulkan komplikasi yaitu infeksi luka bekas
parasintesis, kebocoran cairan asites pada luka bekas tusukan, hiponatremi, koma
hepatikum karena gangguan keseimbangan elektrolit, kehilangan protein tubuh,
gangguan faal ginjal, perdarahan, perforasi usus.
Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati yang diberikan jika telah terjadi
komplikasi lain seperti :
b. Spontaneous bacterial peritonitis
Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III (Cefotaxime),
secara parenteral selama lima hari, atau Qinolon secara oral. Mengingat akan
rekurennya tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan Norfloxacin (400mg/hari)
selama 2-3 minggu.
c. Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus
Prinsip penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi sampai keadaan pasien
stabil, dalam keadaan ini maka dilakukan :
1) Pasien diistirahatkan dan dipuasakan
2) Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi
3) Diberikan obat penyekat beta (32mmonia32lol)
4) Waktu perdarahan akut, 32 mmo diberikan preparat somatostatin atau
oktriotide, antifibrinolitik, vitamin K
5) Pemasangan Naso Gastric Tube, hal ini mempunyai banyak sekali
kegunaannya yaitu : untuk mengetahui perdarahan, cooling dengan es,
pemberian obat-obatan, evaluasi darah
6) Lakukan Pemasangan Ballon Tamponade, tindakan skleroterapi dan Ligasi
atau Oesophageal Transection untuk menghentikan perdarahan
d. Sindroma Hepatorenal
Penggunaan agen vasopresor dan albumin, tatalaksana gangguan elektrolit dan
asam basa jika ada
e. Hipertensi porta
Somatostatin atau analognya

f. Ensefalophaty hepatic
1) Pengobatan dengan pemberian laktulosa untuk mengeluarkan 33mmonia.
2) Neomisin, untuk mengurangi bakteri usus penghasil ammonia.
3) Diet rendah protein 0,5 gram.kgBB/hari, terutama diberikan yang kaya asam
amino rantai cabang (Sutadi, 2003)

II.2.9 Komplikasi
 Hipertensi Porta
Hipertensi porta terjadi saat tekanan vena hepatik meningkat > 5 mmHg. Hal
ini dapat terjadikarena peningkatan resistensi terhadap aliran darah porta
danpeningkatan aliran masuk ke vena porta. Peningakatn resistensi disebabkan oleh
jaringan firosis dari parenkim hepar, serta mekanisme vasokonstriksi pembuluh darah
sinusoid (defisiensi NO). Beberapa dampak dari hipertensi porta antara lain :

1) Pembesaran limpa dan sekuesterasi trombosit (pada tahap lanjut dapat terjadi
hipersplenisme)
2) Terjadi aliran darah balik dan terbentuk shunt dari sistem porta ke pemuluh
darah sistemik. Shunt ini akan mengurangi kemampuan metabolisme hati,
fungsi retikuloendotelial, dan mengakibatkan hiperamonemia.
3) Varises Esophagus
Varises esophagus merupakan komplikasi yang diakibatkan oleh hipertensi
porta yang biasanya akan ditemukan pada kira-kira 50% pasien saat diagnosis
sirosis dibuat.
4) Asites
Asites dapat terjadi karena hipoalbumin.
5) Sindrom Hepatorenal
Pada sindrom hepatorenal, terjadi gangguan fungsi ginjal akut berupa oligouri,
peningkatan ureum, kreatinin, tanpa adanya kelainan organic ginjal. Kerusakan
hati lanjut menyebabkan penurunan perfusi ginjal yang berakibat pada
penurunan filtrasi glomerulus.
6) Ensepalopati Hepatikum
Ensepalopati hepatikum merupakan suatu kelainan neuropsikiatri yang bersifat
reversibel dan umumnya didapat pada pasien dengan sirosis hati setelah
mengeksklusi kelainan neurologis dan metabolik. Derajat keparahan dari
kelainan ini terdiri dari derajat 0 (subklinis) dengan fungsi kognitif yang masih
bagus sampai ke derajat 4 dimana pasien sudah jatuh ke keadaan koma.
Patogenesis terjadinya ensefalopati hepatik diduga oleh karena adanya
gangguan metabolisme energi pada otak dan peningkatan permeabelitas sawar
darah otak. Peningkayan permeabelitas sawar darah otak ini akan memudahkan
masuknya neurotoxin ke dalam otak. Kelainan laboratoris pada pasien dengan
ensefalopati hepatik adalah berupa peningkatan kadar amonia serum (Wolf,
2012).
 Peritonitis Bakterial Spontan (PBS)
Peritonitis bakterial spontan merupakan komplikasi yang sering dijumpai yaitu
infeksi cairan asites oleh satu jenis bakteri tanpa adanya bukti infeksi sekunder intra
abdominal. Biasanya pasien tanpa gejala, namun dapat timbul demam dan nyeri
abdomen. PBS sering timbul pada pasien dengan cairan asites yang kandungan
proteinnya rendah (<1 g/Dl ) yang juga memiliki kandungan komplemen yang
rendah, yang pada akhirnya menyebabkan rendahnya aktivitas opsonisasi. Diagnosis
PBS berdasarkan pemeriksaan pada cairan asites, dimana ditemukan sel
polimorfonuklear lebih dari 250 sel/mm3 dengan kultur cairan asites yang positif
(Wolf, 2012).
 Sindrom Hepatopulmonal
Pada sindrom ini dapat timbul hidrotoraks dan hipertensi portopulmonal
(Nurdjanah, 2014).
 Insufisiensi Hati
Kegagalan fungsi hati akan ditemukan dikarenakan terjadinya perubahan pada
jaringan parenkim hati menjadi jaringan fibrotik dan penurunan perfusi jaringan hati
sehingga mengakibatkan nekrosis pada hati.
 Gangguan fungsi sintesis
Terjadi hipoaluminemia dan malnutrisi, defisiensi vitamin K dan koagulopati
(penurunan faktor koagulasi yang membutuhkan bitamin Ak (faktor II, VII, IX dan
X)), serta gangguan endokrin.
 Gangguan fungsi ekskresi
Terjadinya kolestasis, ikterus, hiperamonemia dan ensefalopati.
 Gangguan fungsi metabolisme
Gangguan homeostasis glukosa (peningkatan risiko DM), malabsorbsi vitamin
D dan kalsium

II.2.10 Prognosis
Prognosis sirosis hati sangat bervariasi dipengaruhi oleh sejumlah faktor,
meliputi etiologi, beratnya kerusakan hepar, komplikasi, dan penyakit lain yang
menyertai sirosis. Klasifikasi Child-Turcotte berkaitan dengan kelangsungan hidup.
Angka kelangsungan hidup selama satu tahun untuk pasien dengan Child A, B, dan C
berturut-turut 100%, 80% dan 45% (Nurdjanah, 2014; Spach, 2015).

Tabel 2.1 Sistem Klasifikasi Child-Turcotte-Pugh


BAB III
KESIMPULAN

1. Pasien Ny. N usia 56 tahun perempuan dengan diagnosa trombositopenia susp ITP dan
CH, berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

2. Idiopathic Thrombocytopenic Purpura adalah suatu gangguan autoimun yang ditandai


dengan trombositopenia yang menetap (angka trombosit darah perifer kurang dari
150.000/mL) akibat autoantibodi.

3. Terapi ITP lebih ditujukan untuk menjaga jumlah trombosit dalam kisaran aman
sehingga mencegah terjadinya perdarahan mayor. Terapi umum meliputi menghindari
aktivitas fisik berlebihan untuk mencegah trauma terutama trauma kepala, hindari
pemakaian obat-obatan yang mempengaruhi fungsi trombosit. Terapi khusus yakni
terapi farmakologis. Terapi Awal ITP (Standar) Prednison Prednison, terapi awal ITP
dengan prednisolon atau prednison dosis 1,0-1,5mg/kgBB/hari selama 2 minggu.

4. Sirosis hati adalah fase lanjut dari penyakit hati kronik yang menggambarkan stadium
akhir fibrosis hepatis yang berlangsung secara progresif.

5. Prinsip penatalaksanaan sirosis hati dipengaruhi etiologinya. Tujuan terapi mengurangi


progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang menambah kerusakan hati,
pencegahan dan penanganan komplikasi. Untuk memberikan terapi terhadap penderita
sirosis perlu ditinjau apakah sudah ada hipertensi portal dan kegagalan faal hati atau
belum.
DAFTAR PUSTAKA

Bakta IM. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: EGC; 2006. P 241-53.

Cines DB, Blanchette VS. Immune Trombositopenic purpura. N Engl J Med. 2002; 346
(13): 995-1008

Kumar V, Cotran RS, Robbins SL, 2014. Hati dan saluran empedu Dalam : Hartanto H,
Darmaniah N, Wulandari N. Robbins Buku Ajar Patologi. 9th Edition. Volume 2.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. hal.671-2.

Klarisa, Cindya., Frans Liwang., Irsan Hasan. 2014. Sirosis Hati. Kapita Selekta Jilid II
Edisi 4. Jakarta : Media Aesculapius
Mehta AB, Hoffbrand AV. Gangguan hemostasis: dinding pembuluh darah dan trombosit.
2 nd ed. Jakarta: Erlangga;2006. p.73-5.
Nurdjanah Sitti, 2014. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi 6 Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran UI. hal. 443-53.

Purwanto I. Purpura Trombositopenia imun. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata MK, Setiati S, eds. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5 th ed. Jakarta:Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2010.

Riley RS. Idiophatic Trombositopenic Purpura. Available at :


http//.www.homoeophatyclinic.com/ accesed on Juni 2018.

Robert S. Rahimi, Don C. Rockey. 2012. Complications of Cirrhosis. Curr Opin


Gastroenterol. 28(3):223-229

Sahni. Immune thrombocytopenic pupura. Homoeopathy clinic and research center


pvt.Ltd. Case Report. July 2005. Available at : http//.www.homoeophatyclinic.com/
accesed on Juni 2018

Sherwood, Lauralee, 2014. Sistem Pencernaan. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi
2. Jakarta: EGC. hal 570.
Spach, H David., John D Scott. 2015. Treatment of Hepatitis C in Patients With Cirrhosis.
https://www.hepatitisc.uw.edu/go/special-populations-situations/treatment-
cirrhosis/core-concept/all (Diakses pada 11/5/2018)
Sutadi, S.M., 2003, Sirosis Hepatitis, diunduh dari:
http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-srimaryani5.pdf,(diakses pada :
11/5/2018)
Tsochatzis, Emmanuel A., Jamie Bosch., Andrew K Burroughs. 2014. Liver Cirrhosis.
Wiegand Johannes and Thomas Berg. 2013. Review Article : The Etiology, Diagnosis and
Prevention of Liver Cirrhosis. Deutsches Arzteblatt International. Vol 110 (6), page
85-91
Wolf, David C. 2012. Cirrhosis. http://emedicine.medscape.com/article/ 185856-
overview#showall. Diakses pada tanggal 11/5/2018.

You might also like