You are on page 1of 15

MAKALAH

INFEKSI SALURAN PERNAFASAN BAWAH

Disusun oleh:
Siska Muharani
Suci Nurhafizah
Suci Rizki Auliya R
Surya Dinda
Syarifah Lindra Citra
Fiona Fitri Anisa

Kelas S1-6B

Dosen Pengampu: Septi Muharni,Farm,Apt

PROGRAM STUDI S1 FARMASI


SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI RIAU
YAYASAN UNIVERSITAS RIAU
OKTOBER
2019

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
limpahan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan sebuah makalah dengan tepat waktu. Berikut
ini kami mempersembahkan sebuah makalah dengan judul “Makalah Infeksi Saluran Pernafsan
Bawah”yang dipersembahkan sebagai salah satu penilaian pada mata kuliah Farmakoterapi II.

Dalam penyusunan makalah ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.Tidak lupa kami juga mengucapkan terima
kasih kepada ibu Septi Muharni, M.Farm, Apt selaku dosen mata kuliah Farmakoterapi II yang
telah membimbing kami dalam menyelesaikan makalah ini. Dalam penyusunan makalah ini,
kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kami maupun orang lain.

Pekanbaru, Februari 2019

Penyusun

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pertusis adalah suatu penyakit akut saluran pernapasan yang banyak menyerang anak
balita dengan kematian yang tertinggi pada anak usia di bawah satu tahun yang disebabkan
infeksi Bordetella pertusis. Seperti halnya penyakit infeksi saluran pernapasan akut lainnya,
pertusis sangat mudah dan cepat penularannya.Tindakan penanggulangan penyakit ini antara lain
dilakukan dengan pemberian imunisasi. WHO menyarankan sebaiknya anak pada usia satu tahun
telah mendapatkan imunisasi dasar DPT sebanyak 3 dosis dengan interval sekurang-kurangnya 4
minggu dan booster diberikan pada usia 15 - 18 bulan dan 4 - 6 tahun untuk mempertahankan
nilai proteksinya. Di Nederland, pemberian imunisasi dasar pada umur 3 - 6 bulan dan booster
pada umur satu tahun dengan cakupan imunisasi sebesar 90%, praktis penyakit ini tak tampak
lagi. Walaupun demikian banyak terjadi hambatan, antara lain anak tidak dapat menerima
vaksinasi sebanyak tiga kali dan juga jarak waktu vaksinasinya tidak dapat tepat. Hal ini
terutama banyak. didapat di negara-negara yang sedang berkembang. Menurut perkiraan WHO
(1983) hanya 30% anak-anak negara sedang berkembang yang menerima vaksinasi DPT
sebanyak 3 dosis.
Di Indonesia, penyakit ini menempati urutan ke tiga penyebab kematian pada anak balita.
Secara konvensional pencegahan penyakit ini dilakukan dengan pemberian imunisasi dasar pada
bayi usia 3 bulan dengan selang waktu di antara dosis satu bulan sebanyak 3 dosis. Booster
diberikan pada anak usia 3 dan 5 tahun. Sejak tahun 1975, Indonesia telah mengikuti PPI dengan
pemberian imunisasi dasar DPT 3 dosis pada anak usia 3-14 bulan dengan interval 1-3 bulan.
Pada pelaksanaannya masih banyak hambatan, mengingat secara geografis Indonesia beriklim
tropis dan terdiri dari beribu-ribu pulau dan fasilitas kesehatan yang kurang memadai, sedang
syarat mutlak keberhasilan program adalah tingginya persentase populasi target yang harus
dicakup yaitu sebesar 80% atau lebih, sehingga sirkulasi kuman patogen dapat diputuskan.

1.2. Tujuan
3
Tujuan penulisan refrat ini antara lain untuk mengetahui definisi, etiologi, transmisi dan
epidemiologi, distribusi dan insidens, patologi, patogenesis, manifestasi klinik, diagnosis,
diagnosis banding, komplikasi, pengobatan, pencegahan dan kontrol, prognosis dari pertusis.

BAB II
4
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.Definisi
Pertusis adalah infeksi pernapasan akut yang diuraikan dengan baik pada tahun 1500.
Prevalensi di seluruh dunia sekarang berkurang hanya karena imunisasi aktif. Syndenham yang
pertama kali menggunakan istilah pertusis pada tahun 1670. Penyakit ini di tandai oleh suatu
sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat spasmodik dan paroksimal disertai nada yang
meninggi , karena penderita berupaya keras untuk menarik nafas sehingga pada akhir batuk
sering di sertai bunyi yang khas (whoop), sehingga penyakit ini disebut Whooping Cough.
Karena tidak semua penderita dengan penyakit ini mengeluarkan bunyi whoop, maka
oleh beberapa ahli, penyakit ini disebut Pertusis yang berarti batuk yang sangat berat atau batuk
yang sangat intensif. Selain penyakit ini juga sering disebut Tussis Quinta, batuk rejan.
Penyakit ini dapat ditemukan pada semua umur,mulai dari bayi sampai dewasa. Dengan
kemajuan perkembangan antibiotika dan program imunisasi maka mortalitas dan morbilitas
penyakit ini menurun, namun demikian penyakit ini masih merupakan salah satu masalah pada
bayi.

2.2.Etiologi
Pertusis pertama kali dapat di isolasi pada tahun 1900 oleh Bordet dan Gengou, kemudian
pada tahun 1906 kuman pertusis baru dapat dikembangkan dalam media buatan. Genus
Bordetella mempunyai 4 spesies yaitu B. pertusis, B.parapertusis, B.bronkiseptika, dan B. avium.
Penyebab pertusis adalah Bordetella pertusis dan perlu dibedakan dengan sindrom pertusis yang
disebabkan oleh Bordetella parapertusis dan Aadenovirus (tipe1,2,3 dan 5). Bordetella pertusis
termasuk kokobasilus, Gram negative, kecil, ovoid, ukuran panjang 0,5 – 1 um dan diameter 0,2
– 0,3 um, tidak bergerak, tidak berspora. Dengan pewarnaan toloidin biru, dapat terlihat granula
bipolar metakromatik dan mempunyai kapsul. Untuk melakukan biakan B. pertusis, diperlukan
suatu media pembenihan yang disebut bordet gengou (potato blood glycerol agar) yang ditambah
penisilin G 0,5 ug/ml untuk menghambat pertumbuhan organism lain. Dengan sifat – sifat
pertumbuhan kuman aerob murni, membentuk asam, tidak membentuk gas pada media yang
mengandung glukosa dan laktosa, sering menimbulkan hemolysis.

5
Organisme yang didapatkan umumnya tipe virulen (disebut fase 1). Pasase dalam biakan
dapat merangsang pembentukan varian yang avirulen (fase 2, 3 atau 4). Strain 1 berperan untuk
penularan penyakit dan menghasilkan vaksin yang efektif. Bordetella pertusis dapat mati dengan
pemanasan pada suhu 500C selama setengah jam, tetapi bertahan pada suhu rendah (00 – 100C).

Faktor-faktor kevirulenan Bordetella pertusis :


 Toksin pertussis: histamine sensitizing factor (HSF), lymphocytosis promoting factor,
Islet activating protein (IAP).
 Adenilat siklase luarsel.
 Hemaglutinin (HA): F-HA (filamentous-HA) , PT-HA (pertussis toxin-HA).
 Toksin tak stabil panas (heat labile toxin).
Secara morfologis terdapat beberapa kuman yang menyerupai Bodetella Pertusis seperti
Bordetella Parapertusis dan Bordetella Bronchoseptica. Untuk membedakan jenis – jenis kuman
ini, maka di tentukan dengan reaksi aglutinasi yang khas atau tes tertentu.

2.3.Epidemiologi
Pertusis merupakan penyakit menular dengan tingkat penularan yang tinggi, dimana
penularan ini terjadi pada kelompok masyarakat yang padat penduduknya dengan tingkat
penularannya mencapai 100%. Pertusis dapat ditularkan melalui udara secara :
 Droplet
 Bahan droplet
 Memegang benda yang terkontaminasi dengan secret nasofaring.

6
Sebagai sumber penularan yaitu pada kerier orang dewasa3.
Epidemi penyakit ini pernah terjadi di beberapa Negara, seperti amerika serikat selama
tahun 1977 – 1980 terdapat 102.500 penderita pertusis. Di Jepang tahun 1947 terdapat 152.600
pendeirta dengan kematian 17.00 orang. Pada tahun 1983 di Indonesia di perkirakan 819.500
penderita dengan kematian 23.100 orang. Data yang diambil dari profil kesehatan jawa barat
193, jumlah pertusis tahun 1990 adalah 4.970 kasus dengan CFR (case fatality rate) 0,20%,
menurun menjadi 2.752 kasus pada tahun 1991 dengan CFR 0%, kemudian turun lagi menjadi
1.379 kasus dengan CFR 0% pada tahun 1992. Pada tahun 1999, diperkirakan sekitar 48,5 juta
kasus pertusis dilaporkan terjadi pada anak-anak di seluruh dunia. WHO memperkirakan sekitar
600.000 kematian setiap tahun disebabkan oleh pertusis, terutama pada bayi yang tidak
diimunisasi3,4,5.
Usia Dari tahun 1999-2002, dari semua pasien pertusis:
 29% berusia kurang dari 1 tahun.
 12% berusia 1-4 tahun.
 10% berusia 5-9 tahun.
 29% berusia 10-19 tahun.
 20% berusia lebih dari 20 tahun1,2,3,4,6.

2.4.Patogenesis
Bordetella pertusis setelah dikeluarkan melalui sekresi udara pernafasan kemudian
melekat pada silia epitel saluran pernafasan. Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella
pertusis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan
pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya timbul penyakit sistemik.
Filamentous hemaglutinin (FHA), Lymphositosis promoting factor (LPF)/ pertusis toxin
(PT) dan protein 69-Kd berperan dalam perlekatan Bordetella pertusis pada silia. Setelah terjadi
perlekatan Bordetella pertusis, kemudian bermultiplikasi dan menyebar keseluruh permukaan
epitel saluran pernafasan. Proses ini tidak invasif, oleh karena itu pada pertusis tidak terjadi
bakteremia. Selama pertumbuhan Bordetella pertusis, maka akan menghasilkan toksin yang akan
menyebabkan penyakit yang kita kenal dengan whooping cough. Toksin terpenting yang dapat

7
menyebabkan penyakit disebabkan oleh karena pertusis toxin. Toksin pertusis mempunyai 2 sub
unit yaitu A dan B. Toksin sub unit B selanjutnya berikatan dengan reseptor sel target, kemudian
menghasilkan sel unit A yang aktif pada daerah aktifasi enzim membran sel. Efek LPF
menghambat migrasi limfosit dan magrofag ke daerah infeksi.
Toxin mediated adenosine disphosphate (ADP) mempunyai efek pengatur sintesis protein
di dalam membrane sitoplasma, berakibat terjadi perubahan fungsi fisiologis dari sel target
termasuk limfosit (menjadi lemah dan mati), meningkatkan pengeluaran histamin dan serotonin,
efek memblokir beta adrenergik dan meningkatkan aktifitas insulin, sehingga akan menurunkan
konsengtrasi gula darah.
Toksin menyebabkan peradangan ringan dengan hyperplasia jaringan limfoid
peribronchial dan meningkatkan jumlah mukos pada permukaan silia, maka fungsi silia sebagai
pembersih akan terganggu, sehingga mudah terjadi infeksi sekunder (tersering oleh
Streptococcus Pneumonia, H. influenza dan Staphylococcus aureus). Penumpukan mukos akan
menimbulkan plug yang dapat menyebabkan obstruksi dan kolaps paru. Hipoksemia dan sianosis
disebabkan oleh gangguan pertukaran oksigenisasi pada saat ventilasi dan timbulnya apnue saat
terserang batuk. Terdapat perbedaan pendapat mengenai kerusakan susunan saraf pusat, apakah
akibat pengaruh toksin langsung atakah sekunder akibat anoksia. Terjadi perubahan fungsi sel
yang reversible, pemulihan tampak bila sel mengalami regenerasi, hal ini dapat menerangkan
mengapa kurangnya efek antibiotik terhadap proses penyakit.
Dermonecrotic toxin adalah heat labile cystoplasmic toxin menyebabkan kontraksi otot
polos pembuluh darah dinding trakea sehingga menyebabkan iskemia dan nekrosis trakea.
Sitotoksin bersifat menghambat sintesis DNA, menyebabkan siliostasis, dan diakhiri dengan
kematian sel. Pertusis lipopolysacharida (endotoksin) tidak terlalu penting dalam hal patogenesis
penyakit ini. Kadang – kadang Bordetella pertusis hanya menyebakan infeksi yang ringan,
karena tidak menghasilkan tosin pertussis.

2.5.Manifestasi Klinik
Masa inkubasi pertusis 6 – 10 hari (rata – rata 7 hari), dimana perlangsungan penyakit ini
6 – 8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung 3 stadium yaitu
stadium kataralis (prodromal, preparoksimal), stadium akut paroksismal (paroksismal,

8
spasmodik), dan stadium konvalesens. Manisfestasi klinis tergantung dari etiologi spesifik, umur
dan status imunisasi. Gejala pada anak yang berumur <2 tahun yaitu batuk paroksismal (100%),
whoops (60 – 70%), emesis (66 – 80%), dispnue (70 – 80%) dan kejang (20 – 25%). Pada anak
yang lebih besar manifestasi klinis tersebut lebih ringan dan lama sakit lebih pendek, kejang
jarang pada anak >2tahun. Suhu jarang >38,40C pada semua golongan umur. Penyakit yang
disebabakan Bordetella parapertusis atau Bordetella bronkiseptika pada semua golongan umur
lebih ringan daipada Bordetella pertusis dan juga lama sakit lebih pendek.
Stadium Katalaris (1 – 2 minggu)
Gejala awal menyerupai gejala infeksi saluran nafas atas yaitu timbulnya rinore (pilek)
dengan lendir yang cair dan jernih, injeksi pada konjungtiva, lakrimasi, batuk ringan dan panas
tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertusis belum dapat ditegakan karena
sukar dibedakan dengan common cold.
Selama stadium ini, sejumlah besar organisme tersebar dalam inti droplet dan penderita
sangat infeksius, namun tidak tampak sakit. Pada tahap ini kuman paling mudah di isolasi.
Selama masa ini penyakit sering tidak dapat dibedakan dengan coomon cold.
Batuk yang timbul mula – mula malam hari, kemudian pada siang hari dan menjadi
semakin hebat. Sekret pun banyak dan menjadi kental dan melengket. Pada bayi lendir dapat
viskuos mukoid, sehingga dapat menyebabkan obstruksi jalan napas, bayi terlihat sakit berat dan
iritabel.
Stadium Paroksimal (2 – 4 minggu)
Selama stadium ini, batuk menjadi hebat yang ditandai oleh whoop (batuk yang berbunyi
nyaring) sering terdengar pada saat penderita menarik napas pada akhir serangan batuk. Batuk
dengan sering 5 – 10 kali, selama batuk anak tidak dapat bernapas dan pada akhir serangan
batuk anak menarik napas dengan cepat dan dalam sehingga terdengar bunyi melengking
(whoop) dan diakhiri dengan muntah.
Pada anak –anak yang lebih tua, bunyi whoop ini sering tidak terdengar. Juga pada bayi
yang lebih muda serangan batuk hebat tidak di sertai bunyi whoop, tetapi penderita sering dalam
keadaan lemas, lelah, apneu, sianosis, muntah.
Batuk paroksimal dapat berlangsung terus menerus, selama beberapa bulan tanpa adanya
infeksi aktif dan dapat menjadi lebih berat. Selama serangan , muka penderita menjadi merah
atau sianotis, mata tampak menonjol, lidah menjulur keluar dan gelisah. Pada akhir serangan,
9
penderita sering sekali memuntahkan lendir kental. Batuk mudah dibangkitkan oleh stres
emosional (menangis,sedih,gembira) dan aktifitas fisik.
Juga pada serangan batuk nampak pelebaran pembuluh mata yang jelas di kepala dan
leher, bahkan terjadi petekie di wajah,perdarahan subkonjungtiva dan sklera bahkan ulserasi
frenulum lidah.
Walaupun batuknya khas, tetapi d luar serangan batuk, anak akan keliatan seperti biasa.
Setelah 1 – 2 minggu serangan batuk makin meningkat hebat dan frekuen, kemudian menetap
dan biasanya berlangsung 1 – 3 minggu dan berangsur –angsur menurun sampai whoop dan
muntah menghilang.
Stadium Konvalesen (1 – 2 minggu)
Ditandai dengan berhentinya whoop dan muntah – muntah di mana puncak serangan
paroksimal berangsur – angsur menurun. Batuk biasanya masih menetap untuk beberapa waktu
dan akan menghilang sekitar 2 – 3 minggu. Pada beberapa penderita akan timbul serangan batuk
paroksimal kembali dengan gejala whoop dan muntah – muntah. Episode ini terjadi berulang –
ulang untuk beberapa bulan malahan bisa sampai 1 – 2 tahun.

2.6.Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah riwayat kontak dengan pasien pertusis,
adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas. Perlu pula ditanyakan
mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari
stadium saat pasien diperiksa. Pada pemerikssan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000 –
50.000/ Ul dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal. Pada bayi jumlah leukosit tidak menolong untuk diagnosis, oleh karena respon
limfositosis juga terjadi pada infeksi lain. Isolasi Bordetella pertusis dari sekret nasofaring
dipakai untuk membuat diagnosis pertusis. Biakan positif pada stadium kataral 95 – 100%,
stadium parosismal 94% pada minggu ketiga dan menurun sampai 20% untuk waktu berikutnya.
Serologi untuk antobiodi toksin pertusis. Tes serologi berguna untuk stadium lanjut penyakit dan
untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan biakan. Cara ELISA dapat dipakai untuk

10
menentukan serum Igm, IgG dan IgA terhadap FHA dan PT menggambarkan respon imun primer
baik disebabakan oleh penyakit atau vaksinasi.
IgG toksin pertusis merupakan tes yang paling sensitive dan spesifik untuk mengetahui
infeksi alami dan tidak tampak setealah imunisasi pertusis. Pemeriksaan lain yaitu toraks dapat
memperlihatkan infiltrate perihiler, atelektasis atau empisema.

2.7.Pengobatan
Antimikroba
Berbagai antimikroba telah dipakai dalam pengobatan pertusis namun tidak ada
antimikroba yang dapat mengubah perjalanan penyakit ini terutama diberikan pada stadium
paroksimal. Oleh karena itu obat – obat ini lebih dianjurkan pemakaiannya pada stadium
kataralis yang dini.
Eritromisin merupakan antimikroba yang lebih efektif dibanding kloramfenikol maupun
tetrasiklin. Kebanyakan peneliti menganjurkan dosis 50mg/kg.bb/hari, dalam 2 – 4 dosis, selama
5 – 7 hari
Kortikosteroid
Beberapa peneliti menggunakan :
 Betametason oral dengan dosis 0,05mg/kg.bb/24jam
 Hidrokortison suksinat (Solukortef) intramuskuler dengan dosis 30mg/kg.bb/24jam,
kemudian diturunkan secara perlahan – lahan da diberhentikan pada hari ke 8.
 Prednisolon oral 2,5 – 5 mg/hari.
 Dari beberapa peneliti ternyata bahawa kortikosteroid berfaedah dalam pengobatan
pertusis terutama pada bayi dengan serangan paroksimal.
Salbutamol
Beberapa peneliti menganjurkan bahwa salbutamol efektif terhadap pengobatan pertusis dengan
cara kerja sebagai berikut :
 Beta 2 adrenergik stimulant
 Mengurangi parokosismal
 Mengurangi frekuensi dan lamanya whoop
 Mengurangi frekunensi apnue
11
Dosis yang dianjurkan 0,3 – 0,5mg/kg.bb/hari, dibagi dalam 3 dosis.
Terapi non-farmakologi
a. Lingkungan perawatan yang tenang
b. Pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan makanan
yang berbentuk cair.
c. Bila penderita muntah – muntah sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit secara
parenteral.
d. Pembersihan jalna napas.
e. Oksigen, terutama pad asernagan baatuk yang hebat yang disertai sianosis.

2.8.Prognosis
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang lebih baik.
Pada bayi resiko kemtaian (0,5 – 1 %) disebabkan enselopati. Pada observasi jangka panjang,
apneu atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual dikemudian hari.

BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Pertusis di tandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk yang sangat spasmodik dan
paroksimal disertai nada yang meninggi. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua umur,mulai
dari bayi sampai dewasa. Penyebabnya adalah Bordetella pertusis. Pertusis merupakan penyakit
menular dengan tingkat penularan yang tinggi, dimana penularan ini terjadi pada kelompok
masyarakat yang padat penduduknya dengan tingkat penularannya mencapai 99%, dapat
ditularkan melalui udara secara droplet, bahan droplet, memegang benda yang terkontaminasi
dengan sekret nasofaring.

12
Penyebaran penyakit ini terdapat di seluruh dunia dan dapat menyerang semua umur
mulai 2 minggu sampai 77 tahun dan terbanyak pada penderita di bawah 1 tahun, di mana makin
muda usia makin berbahaya.
Penularan terutama melalui saluran pernapasan dimana Bordetella Pertusis akan terikat
pada silia epitel saluran pernapasan, kemudian kuman ini akan mengalami multiplikasi disertai
pengeluaran toksin, sehingga menyebabkan inflamasi dan nekrose trakea dan bronkus.
Mekanisme patogenesis infeksi oleh Bordetella pertusis terjadi melalui 4 tingkatan yaitu
perlekatan, perlawanan terhadap mekanisme pertahanan pejamu, kerusakan lokal, dan akhirnya
timbul penyakit sistemik.
Masa inkubasi pertusis 6 – 10 hari (rata – rata 7 hari), dimana perlangsungan penyakit ini
6 – 8 minggu atau lebih. Perjalanan klinis penyakit ini dapat berlangsung 3 stadium yaitu
stadium kataralis (prodromal, preparoksimal), stadium akut paroksismal (paroksismal,
spasmodik), dan stadium konvalesens.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis , pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
laboratorium. Pada anamnesis penting ditanyakan adakah riwayat kontak dengan pasien pertusis,
adakah serangan khas yaitu paroksismal dan bunyi whoop yang jelas dan perlu pula ditanyakan
mengenai riwayat imunisasi. Gejala klinis yang didapat pada pemeriksaan fisik tergantung dari
stadium saat pasien diperiksa. Pada pemerikssan laboratorium didapatkan leukositosis 20.000 –
50.000/ Ul dengan limfositosis absolut khas pada akhir stadium kataral dan selama stadium
paroksismal.
Diagnosis banding pertusis adalah bordetella parapertusis, bordetella bronchoseptica,
infeksi oleh klamidia, infeksi oleh adeno virus tipe 1,2,3,5
Komplikasi – komplikasi dari pertusis. Pada saluran pernapasan : bronkopneumoinia,
otitis media, bronchitis, atelektasis, emfisema pulmonum, bronkiektasis, kolaps alveoli paru.
Pada sistem saraf pusat : kejang. Komplikasi – komplikasi yang lain : hemoptisis, epitaksis,
hernia, prolaps rekti, malnutirsi karena anoreksia dan infeksi sekunder
Pengobatan pertusis terdiri dari, terapi kausal : antimikroba, eritromisin merupakan
antimikroba yang lebih efektif dibanding kloramfenikol maupun tetrasiklin dengan dosis
50mg/kg.bb/hari, dalam 2 – 4 dosis, selama 5 – 7 hari. Kortikosteroid : betametason oral dengan
dosis 0,05mg/kg.bb/24jam, hidrokortison suksinat (Solukortef) dosis 30mg/kg.bb/24jam
Prednisolon oral 2,5 – 5 mg/hari. Salbutamol, dosis yang dianjurkan 0,3 – 0,5mg/kg.bb/hari,
13
dibagi dalam 3 dosis. Terapi suportif yaitu lingkungan perawatan yang tenang, pemberian
makanan, hindari makanan yang sulit ditelan, sebaiknya diberikan makanan yang berbentuk cair.,
bila penderita muntah – muntah sebaiknya diberikan cairan dan elektrolit secara parenteral,
pembersihan jalan napas, oksigen, terutama pada serangan batuk yang hebat yang disertai
sianosis.
Pencegahan dan kontrol adalah Imunisasi pasif dapat diberikan Human Hiperimmune
Globulin, Imunisasi aktif diberikan vaksin pertusis yang terdiri dari kuman Bordetella Pertusis
yang telah dimatikan unrtuk mendapatkan imunisasi aktif. Vaksinasi pertusis diberikan bersama
– sama dengan vaksin difteri dan tetanus. Dosis pada imunisasi dasar dianjurkan 12 IU dan
diberikan tiga kali sejak umur 2 bulan, dengan jarak 8 minggu.
Prognosis tergantung usia, anak yang lebih tua mempunyai prognosis yang lebih baik.
Pada bayi resiko kematian (0,5 – 1 %) disebabkan enselopati. Pada observasi jangka panjang,
apneu atau kejang akan menyebabkan gangguan intelektual dikemudian hari1,2,3,4.

Daftar Pustaka
1. Nelson E Waldo , Behrman E Richard, Kliegman Robert, Arvin M Ann. Nelson Textbook
Of Pediatric. Edisi 15, volume 2, cetakan I. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta,
2000. Hal : 960 – 965
2. Hassan Rusepno, Alatas Husein, et al. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 7,
volume 2, Cetakan XI. Pnerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 1985. Hal :
564 – 568.
3. Rampengan T.H , Laurents I.R, Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak. Edisi 1, Cetakan III.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1997. Hal 20 -33.
4. Irawan Hindra, Rezeki Sri, Anwar Zarkasih. Buku Ajar Infeksi Dan Pediatrik Tropis.
Edisi 2, Cetakan I. Penerbit Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jakarta, 2008. Hal 331 –
337.
5. Ranuh IGN., Suyitno H., Hadinegoro SRS., Kartasasmita CB., Ismoedijanto,
Soedjatmiko (Ed.). Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi Ketiga. Satgas Imunisasi –
Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2008:144-151.
6. James D. Cherry. [Serial Online] Updated : 2 mei 2005. PEDIATRICS Vol. 115 No. 5
May 2005, pp. 1422-1427.
http://www.pediatrics.aappublications.org/cgi/content/full/115/5/1422
14
15

You might also like