You are on page 1of 15

Clinical Science Session

Internasional Standard for Tuberculosis Care 3rd edition


(ISTC edisi 3)

Zirda Chairiani 1310311030


Yudi Putra Wardhana 1310311075
Aisy Hibatullah 1310311149

Preseptor:

dr. Sabrina Ermayanti, Sp. P (K), FISR


dr. Fenty Anggrainy, Sp. P

BAGIAN PARU
RSUP DR. M. DJAMIL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman


Mycobacterium tuberculosis.1 Tuberkulosis dianggap sebagai masalah kesehatan
dunia yang penting karena lebih kurang 1/3 penduduk dunia terinfeksi oleh
Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar dari kasus tuberkulosis (95%) dan
kematian akibat tuberkulosis (98%) terjadi di negara-negara yang sedang
berkembang seperti Indonesia.2

Insiden kasus selama tahun 2016 menunjukan jumlah terbanyak terjadi di


kawasan Asia Tenggara (45%), kawasan Afrika (25%) dan kawasan Pasifik Barat
(17%). Tuberkulosis menempati urutan kesembilan penyakit penyebab kematian
terbanyak di dunia, di atas HIV/ AIDS. Pada tahun 2016 diperkirakan 1,3 juta
orang meninggal karena tuberkulosis HIV-negatif dan ditambah 374.000 orang
meninggal karena tuberkulosis HIV-positif. 56% penderita tuberkulosis berada di
lima negara yaitu: India, Indonesia, China, Filipina dan Pakistan, dimana
Indonesia menempati urutan kedua terbanyak dengan 1,02 juta kasus barunya
setiap tahun.3

International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan standar


yang melengkapi pedoman program penanggulangan tuberkulosis nasional yang
konsisten dengan rekomendasi WHO. Standar tersebut bersifat internasional dan
diperkenalkan pada bulan Februari 2006 (edisi 1) dan direvisi tahun 2009 (edisi 2)
dan 2014 (edisi 3) serta telah dilaksanakan di Indonesia.4

Tujuan ISTC adalah mendeskripsikan secara luas pada praktisi,


masyarakat bagaimana prosedur penatalaksanaan seseorang yang memiliki
penyakit tuberkulosis maupun yang dicurigai mengidap tuberkulosis. ISTC sendiri
memfasilitasi pada masyarakat bagaimana melayani pasien dengan hasil sputum
positif maupun negatif tuberkulosis, dan tuberkulosis ekstra pulmoner akibat TB

2
MDR, tuberkulosis dengan kombinasi infeksi HIV dan faktor komorbid lainnya.
Hal ini dilakukan untuk mencegah penyebaran penyakit tuberkulosis dan menjaga
kesehatan masyarakat.5

1.2 Tujuan

Makalah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang penerapan


“ISTC edisi ke-3” sehingga kedepannya dapat menangani penyakit tuberkulosis
dengan baik, sehingga dapat menekan angka prevalensi tuberkulosis di Indonesia.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi International Standard for Tuberculosis Care (ISTC)

International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) merupakan sebuah


pedoman standar internasional yang ditujukan untuk seluruh pemberi pelayanan
kesehatan agar dapat memberikan pelayanan yang berkualitas tinggi untuk seluruh
pasien dari berbagai usia dengan beragam bentuk tuberkulosis (TB). Tujuan dari
ISTC yaitu untuk memberi gambaran penanganan TB yang diterima luas di setiap
tingkat pelayanan, semua praktisi (pemerintah dan swasta), dan harus
menggunakannya dalam menangani pasien yang diduga atau menderita TB, serta
penanganan TB harus sesuai standar.

ISTC terdiri dari enam standar diagnosis (standar 1-6), tujuh standar untuk
pengobatan (standar 7-13), empat standar untuk penanganan TB dengan infeksi
HIV dan komorbid lain (standar 14-17), serta empat standar untuk pelayanan
kesehatan masyarakat (standar 18-21).

2.2 Standar Untuk Diagnosis

STANDAR 1

Untuk memastikan diagnosis dini, pemberi pelayanan kesehatan harus


mengetahui faktor risiko TB untuk individu dan kelompok serta melakukan
evaluasi klinis yang cepat dan uji diagnostik yang tepat untuk orang dengan gejala
dan temuan yang mengarah kepada TB.

STANDAR 2

Semua pasien, termasuk anak-anak, dengan batuk yang tidak diketahui


penyebabnya yang berlangsung dua minggu atau lebih atau dengan temuan lain
yang tidak diketahui penyebabnya pada foto toraks yang tidak diketahui
penyebabnya yang mendukung ke arah TB harus dievaluasi untuk tuberkulosis.

4
Dengan addendum pada standar 2 yaitu untuk pasien anak, selain batuk,
gejala lain sebagai kecurigaan awal kearah TB adalah berat badan yang sulit naik
dalam waktu kurang lebih 2 bulan terakhir, gizi buruk, demam lebih atau sama
dengan 2 minggu tanpa penyebab yang jelas.

STANDAR 3

Semua pasien, termasuk anak-anak, yang dicurigai memiliki TB paru dan


mampu mengeluarkan dahak harus memberikan minimal dua spesimen dahak
untuk pemeriksaan mikroskopis sputum atau spesimen dahak tunggal untuk
pemeriksaan Xpert MTB/RIF di laboratorium yang telah teruji kualitasnya. Pasien
yang beresiko resistensi obat, yang memiliki risiko HIV, atau yang sakit berat,
sebaiknya diperiksa dengan Xpert MTB/RIF sebagai diagnostik awal. Tes serologi
darah dan interferon-gamma release assays tidak boleh digunakan untuk
diagnosis TB aktif.

Dengan addendum pada standar 3 yaitu dari dua spesimen yang diambil,
salah satunya harus berasal dari dahak pagi.

STANDARD 4

Untuk semua pasien, termasuk anak-anak, yang diduga memiliki TB extra


paru, spesimen yang tepat dari bagian tubuh yang sakit sebaiknya diambil untuk
pemeriksaan mikrobiologi dan histologis. Untuk diagnosis cepat terduga
meningitis TB, maka pemeriksaan Xpert MTB/RIF pada cairan serebrospinal
direkomendasikan sebagai tes mikrobiologi awal yang lebih disarankan.
Dengan adendum pada standar 4 yaitu pada pasien anak, untuk
membuktikan sudah pernah terinfeksi tuberkulosis dilakukan uji tuberkulin atau
dengan interferon gamma release assay. Pemeriksaan kearah TB Paru seharusnya
tetap dilakukan yaitu pemeriksaan dahak dan foto toraks.

STANDAR 5

Pada pasien yang diduga menderita TB paru dengan sputum BTA negatif,
perlu dilakukan pemeriksaan Xpert MTB/ RIF dan atau biakan dahak. Pada pasien
BTA negatif dan pemeriksaan Xpert MTB/ RIF yang negatif namun memiliki

5
bukti klinis sangat mendukung ke arah TB, maka pengobatan anti tuberkulosis
harus dimulai setelah pengumpulan spesimen untuk pemeriksaan kultur.

STANDAR 6

Untuk semua anak yang diduga menderita TB intratorakal (yakni paru,


pleura, dan kelenjar getah bening mediastinum atau hilus), konfirmasi
bakteriologi perlu dilakukan melalui pemeriksaan sekresi saluran pernapasan
(dahak ekspektorasi, dahak hasil induksi, bilas lambung) untuk pemeriksaan
mikroskopik, tes Xpert MTB/RIF, dan atau kultur.

Dengan adendum pada standar 6 yaitu hanya diimplementasikan pada


fasilitas kesehatan yang sudah memiliki fasilitas Xpert.

2.3 Standar Untuk Pengobatan

STANDAR 7

Untuk memenuhi kewajiban terhadap kesehatan masyarakat dan


kewajibannya terhadap pasien, penyedia layanan kesehatan harus memberikan
panduan pengobatan yang tepat, memonitor kepatuhan pengobatan, dan jika
diperlukan membantu mengatasi faktor yang dapat menyebabkan pengobatan
berhenti atau terputus. Untuk memenuhi kewajiban ini maka diperlukan
koordinasi dengan Dinas Kesehatan setempat dan atau organisasi lainnya.

STANDAR 8

Semua pasien yang belum pernah mendapat terapi sebelumnya dan tidak
memiliki risiko untuk resistensi obat harus mendapatkan pengobatan lini pertama
yang sudah disetujui oleh WHO dengan menggunakan obat yang terjamin
kualitasnya. Fase intensif selama dua bulan diberikan isoniazid, rifampisin,
pirazinamid dan etambutol. Fase lanjutan diberikan isoniazid dan rifamisin selama
empat bulan. Dosis obat anti tuberkulosis mengikuti rekomendasi WHO.
Pemberian dalam bentuk kombinasi dosis tetap akan memberikan kemudahan
dalam pemberian obat.

6
Dengan adendum pada standar 8 yaitu pada TB ekstraparu (meningitis TB,
TB tulang, TB milier, TB kulit, dan lain-lain) secara umum terapi TB diberikan
minimal 9 bulan. Khusus untuk anak, rejimen yang diberikan terdiri dari RHZ,
ditambah E bila penyakitnya berat (BTA positif, TB HIV, TB paru dengan lesi
luas, TB ekstra paru berat seperti : TB milier, TB tulang, meningitis TB, dan lain-
lain). Secara umum terapi pada anak diberikan selama 6 bulan, namun pada
keadaan tertentu bisa lebih lama, (9-12 bulan), seperti pada meningitis TB, TB
tulang, MDR TB, dan lain-lain.

STANDAR 9

Pada pengobatan terhadap pasien, perlu dibangun pendekatan yang


berpusat pada pasien, dalam rangka mendorong kepatuhan, meningkatkan kualitas
hidup, dan meringankan penderitaan. Pendekatan ini dilakukan berdasarkan
kebutuhan pasien dan rasa saling menghormati antara pasien dan penyedia
pelayanan kesehatan.

STANDAR 10

Respon pengobatan pada pasien TB paru (termasuk pasien yang


didiagnosis dengan menggunakan tes molekular cepat) harus dimonitor dengan
menggunakan pemeriksaan mikroskopis sputum lanjutan pada saat selesainya fase
intensif (dua bulan). Jika hasilnya positif pada akhir fase intensif maka dilakukan
pemeriksaan sputum ulangan pada akhir bulan ketiga, dan jika masih positif,
maka pemeriksaan sensitifitas obat secara molekuler cepat (line probe assays atau
Xpert MDR/ RIF ) atau biakan dengan uji sensitifitas obat harus dilakukan.

Pada pasien dengan TB ekstra paru dan pasien anak, respon pengobatan
dinilai secara klinis. Pada standar 10 disertai dengan adendum yaitu selama
menunggu hasil pemeriksaan biakan atau uji resistensi, pengobatan dilanjutkan
sesuai dengan fase lanjutan.

STANDAR 11

Penilaian kemungkinan adanya resistensi obat (TB MDR), berdasarkan


anamnesis riwayat pengobatan, kasus terpajan dengan sumber yang kemungkinan

7
memiliki resistensi obat, dan prevalensi komunitas resisten obat (bila diketahui),
harus dilakukan pada seluruh pasien. Tes kepekaan obat harus dilakukan pada
awal pengobatan terhadap seluruh pasien dengan risiko resistensi obat.

Pasien dengan sputum masih tetap positif pada akhir bulan ketiga
pengobatan, pasien dengan gagal pengobatan, pasien yang tidak terlacak (putus
pengobatan), atau kambuh harus selalu dicurigai sebagai resisten obat. Pada
pasien yang seperti ini, maka Xpert MTB/RIF merupakan tes diagnostik awal Jika
terdeteksi resisten Rifampisin, maka kultur dan tes kepekaan harus segera
dilakukan untuk isoniazid, florokuinolon, dan obat-obat injeksi lini kedua.
Konseling dan edukasi pasien serta pemberian terapi empiris lini kedua harus
diberikan sesegera mungkin untuk meminimalisir kemungkinan penyebaran.
Langkah-langkah pengendalian infeksi yang tepat harus diterapkan.

Dengan addendum pada standar 11 yaitu belum dapat dilakukan uji


resistensi fluorokuinolon dan pirazinamid di Indonesia. Resistensi obat sebagian
besar disebabkan oleh ketidak patuhan pasien dan menjadi penyebab tidak optimal
pengobatan dan putus obat. Manifestasi klinis yang umum muncul karena
resistensi obat adalah: kegagalan untuk memberikan suport pengobatan yang
efektif dan menjamin kepatuhan, rejimen obat yang tidak memadai,
menambahkan obat baru tunggal apabila terdapat kegagalan dari rejimen
pengobatan dan kegagalan untuk mengenali resistensi obat yang ada.

Sedangkan kriteria suspek TB MDR pada anak yaitu:

- Riwayat pengobatan TB 6-12 bulan sebelumnya


- Kontak erat dengan pasien TB MDR sebelumnya
- Kontak erat dengan sumber penularan yang baru meninggal akibat TB,
gagal pengobatan TB atau tidak patuh dalam pengobatan TB
- Tidak menunjukan perbaikan (klinis, radiologis, atsu mikrobiologis)
setelah pengobatan dengan obat anti tuberkulosis (OAT) lini pertama
selama 2-3 bulan, padahal kepatuhan minum obat dengan teratur
- Anak dengan TB HIV yang tidak respons terhadap pemberian OAT
setelah penyebab lain disingkirkan.

8
STANDAR 12

Pasien dengan atau kemungkinan besar mengidap tuberkulosis yang


disebabkan oleh organisme yang resisten obat (terutama MDR/ XDR) harus
diterapi dengan menggunakan rejimen obat anti tuberkulosis lini kedua yang
terjamin efektifitasnya Dosis obat anti tuberkulosis ini sesuai dengan rekomendasi
WHO. Pemilihan rejimen dapat yang telah terstandar baku atau berdasarkan
kecurigaan atau berdasarkan pola kepekaan obat. Sekurang-kurangnya lima obat:
pirazinamid dan empat obat lainnya yang diketahui atau diperkirakan masih peka.

Termasuk obat injeksi, OAT harus digunakan dalam 6-8 bulan fase
intensif dan sekurang-kurangnya tiga obat yang diketahui atau diperkirakan masih
peka harus digunakan dalam fase lanjutan. Pengobatan diberikan dalam 18-24
bulan setelah terjadi konversi kultur. Penilaian berfokus pada pasien, termasuk
observasi pengobatan, dibutuhkan agar patuh berobat. Konsultasi kepada spesialis
yang berpengalaman menangani pasien TB MDR/XDR harus dilakukan

Dengan addendum pada standar 12 yaitu uji coba random pengobatan


terkontrol untuk MDR/ XDR TB adalah kultur dan obat OAT lini kedua. Ada tiga
pilihan strategis untuk pengobatan MDR atau XDR TB: standarisasi, empiris dan
pengobatan individual. Pilihan antara tiga pendekatan harus didasarkan pada
ketersediaan obat lini kedua, sejarah penggunaan obat lini kedua dan resistensi
pola obat. Prinsip dasar dalam pengobatan penggunaan setidaknya empat obat
dengan baik, pemberian obat setidaknya beberapa hari seminggu, dosis obat yang
ditentukan dengan berat badan pasien, penggunaan obat suntik (aminoglikosida
atau kapreomisin) selama 6-8 bulan, durasi pengobatan sekitar 20 bulan dan
berpusat pada pasien DOT seluruh program perawatan.

STANDAR 13

Suatu sistem pencatatan yang sistematis dan mudah diakses meliputi obat-
obatan yang diberikan, respons bakteriologis, hasil akhir pengobatan, dan adanya
efek samping obat, harus dilaksanakan untuk setiap pasien.

9
Pencatatan dan pelaporan data merupakan komponen penting dari
perawatan pasien dengan TB dan untuk mengkontrol penyakitnya. Pencatatan dan
pelaporan diperlukan untuk memantau TB baik dari tingkat global, nasional, dan
daerah, memantau progres dalam pengobatan dan kualitas perawatan untuk
pasien, menjamin kelangsungan ketika pasien dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan, untuk merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi program, untuk
mendukung advokasi dan pendanaan yang adekuat pada program kontrol TB.
Apabila data berkualitas tinggi, keberhasilan dapat didokumentasikan dan
tindakan korektif maka dapat diambil untuk mengatasi masalah yang
diiidentifikasi.

2.4 Standar untuk Penanganan Tb dengan Infeksi HIV dan Kondisi


Komorbid Lain

STANDAR 14

Tes HIV dan konseling harus diberikan pada semua pasien dengan atau
masih suspek memilki tuberkulosis, kecuali terdapat konfirmasi hasil tes negatif
pada dua bulan sebelumnya. Karena terdapat hubungan yang dekat anatara TB
dengan infeksi HIV, sehingga pendekatan terintegrasi untuk mencegahan,
diagnosis dan tatalaksana tuberkulosis dan HIV direkomendasikan pada daerah
yang memiliki prevalensi HIV yang tinggi. Tes HIV merupakan suatu manajemen
khusus untuk pasien yang berada pada daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi
pada poplasi umum, pada pasien dengan gejala dan atau tanda dari suatu kondisi
yang berkaitan dengan infeksi HIV dan pasien yang memiliki riwayat sugestif
dengan resiko tinggi terkena HIV .

Dengan addendum pada standar 14 yaitu TB sangat terkait dengan infeksi


HIV dan diperkirakan menyebabkan lebih dari seperempat kematian di antara
orang dengan HIV. Infeksi HIV meningkatkan kemungkinan perkembangan dari
infeksi M. tuberculosis untuk TB aktif.

Meskipun di negara dengan prevalensi HIV yang rendah, beberapa pasien


tuberkulosis memiliki hubungan cukup kuat untuk terinfeksi HIV, sehingga
konseling dan tes HIV harus selalu dilakukan. Di negara-negara yang memiliki

10
prevalensi tinggi infeksi HIV, diperlukan pemberian kotrimoksazol untuk
pencegahan infeksi oportunistik di antara dugaan kasus TB. Studi tuberkulosis
terpadu dan layanan HIV telah menunjukkan bahwa perawatan terpadu yang
memfasilitasi deteksi dini dan pengobatan yang tepat untuk tuberkulosis
mengakibatkan pengurangan mortalitas dan perawatan .

STANDAR 15

Pada orang dengan infeksi HIV dan TB yang memiliki imunosupresi yang
sangat berat (hitung CD4 <50 sel/mm3), ART harus diinisisikan dalam 2 minggu
saat tatalaksana untuk TB akan dimulai, kecuali terdapat menigitis TB. Untuk
semua pasien dengan HIV dan TB, tanpa memerhatikan hitung CD4, terapi anti
retriviral harus diinisiasikan dalam 8 minggu saat tatalaksana untuk TB akan
dimulai. Pasien dengan TB dan infeksi HIV juga seharusnya mendapatkan
kotrimoksazol sebagai profilaksis untuk infeksi lainnya.

STANDAR 16

Pada orang dengan infeksi HIV, setelah evaluasi yang ketat, tidak
memiliki TB harus di tatalaksana untuk dugaan infeksi TB laten, yaitu dengan
isoniazid sekurangnya 6 bulan.

STANDAR 17

Semua pelayanan kesehatan harus melakukan pemeriksaan untuk kondisi


komorbid dan faktor lainnya yang dapat mempengaruhi respon pengobatan TB
atau hasil dan mengidentifikasi pelayanan tambahan yang dapat mendukung hasil
yang optimal untuk setiap pasien. Pelayanan ini harus disatukan menjadi suatu
perencanaan pelayanan individu yang termasuk didalamnya penilaian dan rujukan
untuk tatalaksana penyakit lainnya. Perhatian khusus harus dilakukan untuk
penyakit atau kondisi yang telah diketahui akan mempengaruhi hasil pengobatan,
contohnya diabetes melitus, obat-obatan dan penyalahgunaan alkohol, kurang gizi
dan merokok. Rujukan ke pelayanan psikososial atau ke pelayanan untuk
antenatal atau perawatan bayi seharusnya dilakukan.

11
2.5 Standar untuk Pelayanan Kesehatan Masyarakat

STANDAR 18

Semua pelayanan seharusnya memastikan orang-orang yang berkontak


dekat dengan pasien yang terinfeksi TB dievaluasi dan di tatalaksana sesuai
dengan rekomendasi internasional, kontak yang merupakan prioritas tertinggi
adalah :
- Orang-orang dengan gejala yang sugestif TB
- Anak-anak usia di bawah 5 tahun
- Kontak yang diketahui atau suspek imunokompromais
- Kontak dengan pasien dengan MDR/ XDR TB

Dengan addendum pada standar 18 yaitu apabila mengenai TB anak maka


harus dicari sumber penularannya juga.
STANDAR 19

Anak-anak usia <5 tahun dan orang-orang pada semua umur dengan
infeksi HIV yang memiliki kontak dekat dengan orang yang terinfeksi
tuberkulosis dan yang setelah evaluasi ketat tidak memiliki tuberkulosis aktif,
seharusnya dilakukan tatalaksana untuk mencegah adanya infeksi TB laten
dengan isoniazid minimal 6 bulan.

Dengan addendum pada standar 19 yaitu sebaiknya diberlakukan juga


pada pasien dengan berbagai kondisi imunokompromais lainnya, contohnya:
sepsis berat, diabetes melitus yang tidak terkontrol, pasien dengan transplantasi,
kemoterapi, atau terapi imunosupresan jangka panjang, dan lain-lain.

STANDAR 20

Setiap fasilitas pelayanan kesehatan peduli terhadap pasien yang memiliki


atau suspek memiliki infeksi tuberkulosis seharusnya mengembangkan dan
mengimplemenasikan suatu rencana kontrol infeksi TB atau Program
Pengendalian Infeksi (PPI) yang tepat untuk meminimalisirkan kemungkinan
transmisi M. tuberculosis ke pasien dan petugas kesehatan.

12
STANDAR 21

Semua penyedia layanan harus melaporkan baik kasus baru maupun TB


yang berulang dan hasil pengobatannya ke otoritas kesehatan masyarakan
lokalsesuai dengan persyaratan hukum dan kebijakan yang berlaku.

Dengan addendum pada standar 21 yaitu pelaksaan pelaporan akan


difasilitasi dan dikoordinasikan oleh Dins Kesehatan setempat, sesuai kesepakatan
yang dibuat.

13
BAB III

KESIMPULAN

International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) adalah pedoman


untuk penanganan tuberkulosis yang disusun oleh Organisasi Internasional yang
peduli terhadap tuberkulosis, yang berfungsi untuk menjelaskan ke semua
kalangan baik praktisi, pemerintah dan swasta, dalam penanganan dan perawatan
tuberkulosis serta memfasilitasi hubungan kerjasama yang efektif antar provider
dalam memberikan pelayanan bermutu tinggi kepada pasien TB dari Semua usia,
pasien TB BTA positif atau negatif, pasien TB ekstra paru, pasien TB MDR/
XDR, dan pasien dengan Ko infeksi TB - HIV.

ISTC berisi 21 standar yang terdiri dari: Standar diagnosis (standar 1-6),
Standar terapi atau pengobatan (standar 7-13), Standar Penanganan TB dengan
infeksi HIV dan kondisi komorbid lain (standar 14-17), serta Standar kesehatan
masyarakat (standard 18-21)

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Wardhani D.P., Uyaniah A. 2014 Tuberkulosis. Dalam Kapita Selekta


Kedokteran. Edisi ke-2. Jakarta: Media Aesculapius. p:828-835.
2. Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M.K., dan Setiati S.
2014. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. p: 988-1000.
3. WHO. 2017. Global Tuberculosis Report 2017.
4. PB IDI. 2015 BUKU TB IDI Standard Internasional Untuk Penanganan
TB (ISTC).
5. TBCTA. 2014. International Standard for Tuberculosis Care (ISTC) 3 rd
Edition Tuberculosis Coalition for Technical Assistance.

15

You might also like