Professional Documents
Culture Documents
Identifikasi beberapa standar mutu yang telah disusun dan diterapkan di unit kerja
Berdasarkan PerMenKes No. 012 tahun 2012 bahwa rumah sakit wajib melakukan akreditasi Kars
versi 2012 sebagai suatu pengakuan terhadap Rumah Sakit yang diberikan oleh lembaga independen
penyelenggara Akreditasi bahwa Rumah Sakit.tersebut memenuhi Standar Pelayanan yang berlaku
meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit. secara berkesinambungan antara lain meningkatkan
keselamatan pasien Rumah Sakit, meningkatkan perlindungan bagi pasien, masyarakat dan sumber daya
Rumah Sakit kami sudah melaksanakan akreditasi KARS versi 2012 sejak tahun 2014 dan tahun ini
adalah tahun persiapan Paripurna setelah menjalankan akreditasi selama 3 tahun. Empat bab dalam
akreditasi versi 2012 sesuai standar akreditasi rumah sakit non pendidikan antara lain : a) sasaran
keselamatan pasien, b) Standar pelayanan berfokus pada pasien, c) standar manajemen rumah sakit dan d)
program nasional.
Standar yang sudah dijalankan dari empat bab akreditasi di rumah sakit dan dari hasil evalusi 3
tahun terakhir mengalami peningkatan mutu pelayanan dan insiden pada pasien semakin menurun. Standar
prioritas akreditasi yaitu Sasaran Keselamatan Pasien (SKP) yang terdiri dari enam sasaran a.l: a)
keamanan obat-obatan yang perlu diwaspadai (high Alert Medications), d) memastikan lokasi pembedahan
prosedur dan pembedahan pada pasien yang benar,e) mengurangi resiko infeksi terkait pelayanan
Dari enam sasaran SKP sudah diimplementasikan dengan baik. Dua sasaran mengidentifikasi
pasien dengan benar dan mengurangi resiko pasien akibat jatuh dari hasil evaluasi bahwa angka kejadian
kesalahan pasien saat melakukan tindakan berkurang, begitu juga angaka cedera pada pada pasien jatuh
Mengidentifikasi pasien dengan benar yang dilakukan yaitu pasien diidentifikasi menggunakan
identitas pasien, identifikasi yang dilakukan adalah nama lengkap dan tanggal lahir pasien yang dipastikan
melalui gelang identitas yang dipakai pasien. Pasien diidentifikasi pada saat pemberian obat, darah atau
produk darah. Pasien diidentifikasi sebelum pengambilan darah atau spesimen lain untuk pemeriksaan
klinis, sebelum pengobatan dan tindakan atau prosedural. Dari proses dan isi kebijakan yang dijalankan
setelah dievaluasi secara berkala bahwa pemberi pelayanan sudah menjalankan standar dengan baik, dari
angka kejadian pada pasien baik kesalahan pemberian obat, salah pengambilan sampel atau spesimen
semakin berkurang sehingga mutu pelayanan semakin baik juga kepuasan dari petugas yang
menjalankannya.
Pengurangan resiko cidera pada pasien jatuh yaitu seluruh pasien yang dirawat dilakukan penilaian
terhadap risiko jatuh dengan menggunakan skala Morse (dewasa) dan skala Humpty Dumpty (anak)
dilakukan penilaian ulang sesuai indikasi, pasien beresiko jatuh dipasang gelang warna kuning dan tanda
resiko jatuh. Pengkajian dan intervensi pencegahan risiko jatuh dapat dihentikan apabila pasien pulang baik
dalam keadaan hidup maupun mati. Apabila pasien mengalami insiden jatuh maka dilakukan penanganan
pasien jatuh, pelaporan insiden, dan investigasi. Rumah Sakit melakukan monitoring kejadian pasien jatuh.
Dari hasil evaluasi proses bahwa perawat sudah menjalankan standar ini dengan baik. Tahun 2015 pasien
jatuh dan cidera 3 pasien dan tahun 2017 hanya 1 pasien dengan cidera ringan.
B. Identifikasi beberapa standar mutu yang belum disusun dan diterapkan di unit kerja
Untuk meningkatkan mutu Rumah Sakit berbasis patient safety salah satu upaya yang dilakukan
adalah menerapkan patient centered care (berfokus pada pasien) dan sekarang berevolusi menjadi Person
Centred Care (PCC) oleh profesional pemberi asuhan diperlukan pemahaman dan internalisasi konsep PCC dan
asuhan pasien terintegrasi agar penerapannya dalam asuhan pasien dengan pola tim Interdisiplin dan
Dari tata kelola rumah sakit dalam perspektif sesuai standar akreditasi versi 2012 bahwa pelayan berfokus
pada pasien (PCC) dimana sistem manajemen rumah sakit berupaya melaksanakan sistem pelayanan klinis dengan
tujuan meningkatkan quality dan safety pasien. Dimensi budaya asuhan pasien antara lain, good patient care,
patient centered care, asuhan pasien terintegrasi, PPA sebagai Tim, kolaborasi interprofesional dan kompetensinya,
berpartner dengan pasien, DPJP sebagai clinical leader, MDR (multidiciolinary Round) dan BPJS (Lumenta, 2016).
Beberapa dimensi budaya asuhan pasien saat ini diupayakan untuk dilaksanakan ditatanan pelayanan rumah
sakit, namun dari beberapa dimensi budaya asuhan pasien, standar kolaborasi interprofesional belum dibuat dan
dijalankan di rumah sakit kami, permasalahan yang bisa kami dapatkan khususnya pada pelayanan pasien di ruang
rawat inap bahwa tidak terjalin asuhan terintegrasi secara maksimal dari berbagai profesional disiplin. Masih
terlihat masing-masing profesi memberikan asuhan kepada pasien tanpa keterlibatan profesi lainnya seperti
apotekker, ahli gizi, terapis fisik(fisiotherapy), penata anastesi, perawat dsb. Dokter memberikan asuhan masih
berfokus pada dirinya, belum memahami bahwa pasien sebagai partner yang semestinya DPJP dalam hal ini dokter
Asuhan pasien terintegrasi belum maksimal, lembar CPPT pada lembar terintegrasi pasien hanya sebagai
dokumentasi pelengkap tindakan yang sudah dilakukan namun belum terintegrasi, belum dijalankan kolaborasi
pendidikan pasien, integrasi clinical pathway dan integrasi discharge planning. Semuanya ini berpengaruh pada
pemberian asuhan pada pasien. Dokter DPJP belum memahami job disc, memberikan asuhan berdasarkan jadwal
yang diatur di ruang perawatan bukan berdasar hak pasien dalam memilih dokter DPJP, sehingga pasien merasa
tidak puas dengan mekanisme pelayanan terutama kolaborasi pendidikan pasien tidak pernah dilakukan.
Demikian standar pendelagasian tugas oleh dokter sebagai DPJP kepada perawat dalam hal ini yang
bersifat mandat atau delegatif belum ada. Sesuai dengan UU no 38 tahun 2014 tentang keperawatan bahwa
pelimpahan wewenang secara delegatif untuk melakukan sesuatu tindakan medis diberikan oleh tenaga medis
kepada perawat dengan disertai pelimpahan tanggung jawab, sedangkan pelimpahan wewenang secara mandat
diberikan oleh tenaga medis kepada perawat untuk melakukan sesuatu tindakan medis di bawah pengawasan.
Hal ini secara jelas ada perbedaan tindakan yang mesti dilakukan oleh penerima delagatif dan mandat.
Perspektif perawat berbeda bahwa tindakan selama ini dilakukan adalah sifatnya delegatif yang menjadi tanggung
jawab bagi penerima tugas. Mestinya perawat dan dokter memahami jenis tindakan delegatif atau mandat.
Kenyataan yang terjadi banyak tanggung jawab yang diberikan kepada perawat seperti pemasangan NGT, Kateter
yang merupakan tindakan mandat dokter kepada perawat dan sering perawat disalahkan dan diberi sanksi/
hukuman bila terjadi kerugian pada pasien. Tindakan medis yang dapat dilimpahkan secara delegatif, antara lain
menyuntik, memasang infus, dan memberikan imunisasi dasar sesuai dengan program pemerintah, sehingga dari
beberapa tindakan tidak termasuk dalam pasal 32 ayat 4 adalah bersifat mandat.
Dengan adanya Patient center care dan kolaborasi interprofesional maka praktik klinik juga diintegrasikan
dengan praktik/asuhan menjadi panduan praktik klinik antara lain : Panduan Asuhan Keperawatan (PAK), Panduan
Asuhan Gizi (PAG) dan Panduan Asuhan Kefarmasian (PAKf). Saat ini Standar penerapan panduan praktk klinik
(PPK) belum ada. PPK adalah isitilah sebagai pengganti Standar Prosedur Operasional (SPO) dalam UU praktek
kedokteran 2004 dan UU Keperawatan yang merupakan istilah administratif. Penggantian ini perlu untuk
menghindari kesalahpahaman yang mungkin terjadi bahwa “standar” merupakan hal yang harus dilakukan pada
semua keadaan. Sehingga secara teknis SPO dibuat dalam PPK yang dapat berupa atau disertai alur klinis (clinical