You are on page 1of 22

Nama : Ahdiat Zairullah

Nim : 1610413310001

MODEL DEMOKRASI ATHENA (YUNANI)

Sepanjang yang dapat diketahui dari catatan sejarah, sistem pemerintahan demokrasi, yang
secara harafiah berarti pemerintahan rakyat (demos: rakyat, dan kratein: pemerintahan) pertama
kali dilaksanakan dinegara kota Athena, yaitu sebuah negara kota di Yunani kuno. Tidak
sebagaimana system pemerintahan demokrasi dijaman modern dimana pemerintahan rakyat
dilaksanakan secara tidak langsung, yaitu melalui wakil rakyat di parlemen, dalam system
demokrasi Athena, seluruh rakyat yang memenuhi syarat langsung ikut ambil bagian didalam
pemerintahan. Karena itu, demokrasi Athena disebut sebagai demokrasi langsung.

Awal Perkembangan Demokrasi Athena


Sebetulnya untuk menentukan kapan demokrasi Athena mulai dirintis sangat sulit, karena sistem
demokrasi Athena merupakan sistem yang berkembang sedikit demi sedikit dan dengan pasang
surutnya selama ratusan tahun. Sistem demokrasi dinegara kota Athena mulai menampakkan
wajahnya yang jelas pada sekitar tahun 500 sebelum Masehi, ketika Solon (638 - 558 sebelum
Masehi) memegang jabatan sebagai Archon (semacam perdana menteri) Athena. Dengan
kekuasaan penuh ini Solon mengadakan aturan-aturan kearah perbaikan perekonomian dan
mengubah aturan tata-negara.

Dalam bidang ketatanegaraan, Solon banyak melakukan perbaikan, terutama atas badan Ekklesia
(majelis rakyat), dan membentuk badan Heliaia, yang merupakan badan peradilan. Pada masa
Solon ini seluruh rakyat dari semua golongan boleh duduk dalam badan Ekklesia (majelis
rakyat). Dengan model ini, majelis rakyat beranggotakan semua warganegara Athena yang telah
berusia 20 tahun keatas. Karena itu, pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan oleh badan
Ekklesia dihadiri oleh sangat banyak orang, yaitu oleh seluruh warganegara laki-laki yang telah
berusia diatas 20 tahun, sehingga seringkali tidak ada tempat yang cukup besar untuk
menampung mereka semua. Untuk mengatasi hal ini, didalam sistem demokrasi langsung negara
kota Athena dimungkinkan untuk menyelenggarakan pertemuan dewan Ekklesia (majelis rakyat)
dipasar ditengah kota (yang dinamakan agora). Karena itu, ada orang yang menjuluki demokrasi
Athena sebagai demokrasi pasar (karena pembuatan keputusan publik dilakukan atau
diselenggarakan dipasar). Selain setiap rakyat (laki-laki bebas atau bukan budak yang telah
berusia 20 tahun) berhak untuk ikut serta secara langsung untuk terlibat didalam pembuatan
keputusan-keputusan publik dalam kapasitasnya sebagai anggota badan Ekklesia, warganegara
yang telah berusia lebih dari 30 tahun juga berhak menduduki jabatan sebagai anggota badan
yang disebut Heliaia. Badan Heliaia yang dibentuk oleh Solon ini berfungsi semacam lembaga
peradilan, yang bersifat panel rakyat, yang pada masa pemerintahan Solon anggotanya
ditetapkan berjumlah 3000 (tiga ribu) orang, yang dipilih berdasarkan sistem undian. Badan ini
selain berwenang untuk menyelenggarakan peradilan juga bertugas mengawasi pekerjaan para
pegawai.

Penyempurnaan Oleh Kleisthenes


Pada tahun 509 Sebelum Masehi, setelah diselingi dengan masa pemerintahan Tyrannos (tirani),
Kleisthenes diangkat menjadi Archon (semacam perdana menteri). Kleisthenes yang seorang
demokrat ini memperbaiki sistem demokrasi yang telah dikembangkan oleh Solon. Perbaikan
yang dilakukan oleh Kleisthenes adalah bahwa semua politai, yaitu orang-orang yang dari
keturunan ayah dan ibu orang Athenai (Attika), laki-laki dan yang telah berusia 20 tahun boleh
menduduki semua jabatan-jabatan negara yang ada (tidak lagi hanya terbatas pada badan
Ekklesia dan Heliaia). Selama menduduki jabatan tersebut mereka memperoleh bayaran.

Untuk memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya supaya semua politai itu mendapat bagian
didalam pemerintahan, maka hampir semua jabatan hanya untuk satu tahun dapat dipegang oleh
seseorang. Jadi setiap tahun para pejabat harus meletakkan jabatannya dan diganti oleh orang
lain, kecuali para komandan militer (strtegos) yang setiap tahun dapat dipilih kembali tanpa
batas. Maksud Kleisthenes ialah supaya setiap politai (warganegara) itu sungguh-sungguh
memperhatikan nasib negaranya dengan diberi pertangung jawaban dalam pemerintahan.

Penunjukan untuk memegang suatu jabatan dijalankan dengan undian. Sistem undian merupakan
sistem yang penting bagi sistem demokrasi langsung Athena, karena hanya dengan cara itulah
yang oleh masyarakat Athena dipandang sebagai cara yang paling tepat, paling fair, dan paling
adil. Ada tiga alasan mengapa mereka memandang cara undian sebagai cara memilih pejabat
yang paling tepat. Yang pertama adalah karena mereka yakin bahwa melalui sistem undian
mereka yang menduduki jabatan-jabatan tertentu pada hakekatnya dipilih oleh para Dewa. Bagi
mereka, pilihan para Dewa pastilah pilihan yang paling baik dan paling tepat, walaupun
kenyataannya, pada akhirnya, hampir semua warganegara Athena dalam masa hidupnya pernah
menduduki jabatan-jabatan publik, karena demikian banyaknya jumlah jabatan, sementara
jangka waktu untuk menjabat dalam setiap jabatan dibatasi hanya selama satu tahun, dan mereka
yang pernah dipilih tidak boleh dipilih kembali.

Yang kedua, cara undian dipandang merupakan cara yang paling adil didalam pembagian
jabatan. Dengan cara undian, tidak ada orang yang bisa menentukan pilihan ingin menjabat
jabatan apa, karena semua jabatan ditunjuk melalui undian. Dengan sistem undian, tidak
mungkin terjadi kecurangan, seperti sistem suap, agar seseorang dapat menduduki jabatan
tertentu, misalnya sebagai pejabat keuangan.

Yang ketiga, cara undian ini dipandang sebagai cara yang paling fair dan paling adil, karena
dengan cara undian ini setiap orang tanpa pandang kekayaan, kedudukan sosial, ras, dan
sebagainya, bahkan tidak perduli apakah dia pandai atau tidak, apa latar belakang pekerjaannya,
semua mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan-jabatan pemerintahan yang
ada (kecuali untuk jabatan heliaia, yang menggunakan sistem campuran, yaitu sistem undian,
tetapi mereka juga harus lulus seleksi dan tes). Dari pemahaman inilah kita bisa mengerti
pernyataan Aristoteles, seorang filsof Athena, guru Alexander Agung sang penakluk dari
Macedonia, yang mengatakan bahwa pengangkatan pejabat publik melalui cara pemilihan adalah
oligarkhi, sementara melalui undian adalah demokrasi. Bagi Aristoteles dan masyarakat Athena
kuno, kesempatan yang sama tidak mungkin terjadi selain melalui undian.

Sejak jaman Solon, jabatan Archon tidak lagi bisa dipegang untuk selama 10 tahun, tetapi
dibatasi hanya untuk 1 tahun. Archon yang merupakan dewan yang anggotanya berjumlah 9
orang, melaksanakan pekerjaan pemerintahan. Para Archon mendapat pembagian tugas, yaitu
satu orang sebagai Archon Eponymos, yang tugasnya memimpin pemerintahan sipil, semacam
presiden atau perdana menteri. Yang kedua, seorang Archon Basileus, yang tugasnya mengatur
dan memimpin segala hal ikhwal keagamaan, yang ketiga, seorang Archon Polemarchos, yang
mengatur soal pertahanan, dan yang terakhir enam orang Archon Thesmothetai, yang tugasnya
mendaftar aturan-aturan negara dan keputusan-keputusan pengadilan. Pada jaman Solon, jabatan
Archon hanya boleh dipegang oleh orang dari golongan Pentacosiomedimni. Tetapi pada masa
Kleisthenes, dilakukan perubahan dalam aturan Solon mengenai penunjukan. Archon dipilih dari
500 calon (masing-masing phyle[1] mencalonkan 50 orang). Calon yang diajukan oleh Phyle
tersebut merupakan calon-calon yang diajukan oleh Deme dari orang-orang yang sudah berusia
30 tahun menurut daftar Demarchos (kepala deme).
Kekuasaan eksekutif dipegang oleh badan yang bernama Boule, yang beranggotakan 500 orang,
yang karena itu sering disebut dewan limaratus (pada masa Solon, anggotanya 400 orang), yang
diambilkan dari phyle-phyle, dimana masing-masing phyle boleh mengirimkan 50 orang. Jabatan
Boule juga dibatasi untuk satu tahun. Sistem pelaksanaannya, karena ada 10 phyle, sementara
jabatan Boule hanya satu tahun, maka masa satu tahun tersebut dibagi sepuluh, yang disebut
prytanis. Setiap masa prytanis, dipegang oleh 50 orang dari satu phyle, ditambah dengan
sembilan orang yang diambilkan dari phyle-phyle lain yang sedang tidak melaksanakan tugas,
masing-masing satu orang dari setiap phyle. Dengan cara ini, maka setiap phyle akan mendapat
kesempatan untuk waktu yang sama dalam menjalankan pemerintahan. Walaupun Boule
merupakan lembaga eksekutif, tetapi merekalah yang membuat rencana undang-undang, yang
kemudian diajukan kepada dewan rakyat (Ekklesia).

Sementara itu, sebagaimana pada masa pemerintahan Solon, setiap politai yang sudah berusia 20
tahun (berdasarkan daftar Demarchos/ kepala deme), adalah anggota Ekklesia. Badan Heliaia
juga tidak mengalami perubahan. Warganegara yang telah berusia lebih dari 30 tahun juga
berhak menduduki jabatan sebagai anggota badan Heliaia. Badan yang dibentuk oleh Solon ini
berfungsi semacam lembaga peradilan, yang bersifat panel rakyat, yang anggotanya ditetapkan
berjumlah 3000 (tiga ribu) orang, yang dipilih berdasarkan sistem undian. Walaupun pemilihan
anggota heliaia dilakukan secara undian, tetapi setiap calon harus mengikuti ujian yang berat
yang diselenggarakan oleh heliaia. Dalam hal calon dipandang tidak memenuhi syarat, maka
para penguji dapat menyatakan keberatannya atas calon yang bersangkutan. Disamping
pengangkatannya melalui ujian, para anggota heliaia juga harus mempertanggung jawabkan
tugasnya dihadapan mahkamah setelah mereka selesai memangku jabatannya, khususnya yang
menyangkut penggunaan keuangan. Pemeriksaan yang dilakukan oleh mahkamah tersebut
dilaksanakan oleh anggota-anggota heliaia yang jumlahnya bisa mencapai 500 orang. Bahkan,
pejabat-pejabat lain, terutama pemegang keuangan negara, juga diwajibkan mempertanggung
jawabkan tugasnya dihadapan mahkamah setelah berakhirnya masa jabatannya. Keputusan
Heliaia ini tidak dapat dimintakan banding, karena badan ini merupakan badan yang
dilaksanakan oleh rakyat sendiri, maka sudah merupakan badan yang tertinggi, yang mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir. Badan heliaia ini selain berwenang untuk menyelenggarakan
peradilan juga bertugas mengawasi pekerjaan para pegawai. Jika ada orang yang merasa
mempunyai keberatan terhadap pegawai (pejabat negara), maka orang tersebut dapat
mengajukan keberatannya kepada Heliaia, dan badan ini yang akan membuat keputusan atas
tuntutan orang tersebut. Heliaia juga berwenang untuk memeriksa perkara yang timbul sebagai
akibat adanya keberatan orang atas putusan Ekklesia (dewan rakyat) atau putusan Boule
(eksekutif). Karena itu keputusan Boule atau ekklesia dapat dinyatakan tidak sah oleh Heliaia
berdasarkan alasan bertentangan dengan undang-undang dasar. Setiap warganegara berhak
mengajukan keberatan yang demikian, dan selama belum dibuat keputusan oleh Heliaia,
berlakunya perundang-undangan yang dimintakan pemeriksaannya tersebut ditunda, hingga ada
keputusan dari Heliaia (Sabine, G.H., terjemahan, 1992: 15). Namun demikian, yang dimaksud
sebagai undang-undang dasar bukanlah undang-undang dasar tertulis, tetapi berupa hukum yang
tidak tertulis. Hal ini dapat terjadi karena masyarakat Athena percaya bahwa ada hukum tertinggi
(walaupun tidak tertulis) yang merupakan dasar dari keberadaan negara (kota), yang karena itu
tidak dapat dirobah oleh majelis rakyat atau siapapun juga. Hukum ini menjadi kerangka bagi
peraturan yang dikeluarkan oleh majelis rakyat (Ekklesia) didalam kerangka mana majelis rakyat
mengeluarka peraturan-peraturan (lindsay, A.D., 1951: 53 – 54).

Oleh banyak teoritisi politik, wewenang demikian dipandang dapat dibandingkan dengan
wewenang Mahkamah Agung Amerika Serikat, atau kalau di Indonesia, khususnya setelah
dilakukannya amandemen atas UUD 1945, disejajarkan dengan wewenang Mahkamah
Konstitusi didalam menguji undang-undang. Tetapi sesungguhnya perbandingan tersebut tidak
tepat, karena Heliaia merupakan badan yang dipegang oleh rakyat melalui sistem undian
(walaupun ada semacam ujian sebelumnya), yang berarti keputusan-keputusannya dapat
dipandang sebagai keputusan rakyat itu sendiri. Sementara itu, anggota Mahkamah Agung
Amerika Serikat bukan representasi rakyat, karena diangkat oleh Senat atas usulan Presiden.
Bahkan, Mahkamah Konstitusi Indonesia semakin tidak sebanding lagi, karena anggotanya
sebagian diangkat langsung oleh Presiden, sebagian oleh DPR dan sebagian oleh Mahkamah
Agung (masing-masing berwenang mengangkat tiga orang hakim Mahkamah Konstitusi).

Kleisthenes juga memperkenalkan aturan Ostrakismos. Aturan ini dimaksudkan untuk menjaga
jangan sampai ada anasir jelek, yang dianggap dapat mengacaukan atau membahayakan
keselamatan negara. Ostrakismos berasal dari kata Ostrakon (jamaknya: Ostraka), yang artinya
adalah sepotong tembikar. Ostrakismos berlangsung sebagai berikut: Setiap tahun, pada waktu
prytanis yang ke enam, Boule menanyakan kepada Ekklesia (dewan rakyat), apakah perlu
diadakan Ostrakismos. Kalau Ekklesia menganggap perlu, maka pada Prytanis ke delapan akan
diadakan Ostrakismos. Pada saat Ostrakismos dilaksanakan, anggota-anggota ekklesia diminta
untuk menulis nama orang yang mereka inginkan untuk diasingkan. Mereka menulis nama orang
tersebut diatas sepotong tembikar (ostrakon) dan semua ostraka dikumpulkan, dan kemudian
dihitung. Mereka yang mendapat suara paling tidak 10.000, maka orang itu harus meninggalkan
daerah Attika untuk selama 10 tahun. Tetapi jumlah orang yang dikenai Ostrakismos dalam satu
kali penyelenggaraan Ostrakismos tidak boleh lebih dari 3 orang. Sementara, Ostrakismos dapat
diselenggarakan setahun sekali, tergantung apakah pada Prytanis ke enam Ekklesia menyatakan
akan menyelenggarakan Ostrakismos atau tidak.
Orang yang terkena Ostrakismos tersebut, hanya diharuskan meninggalkan Attika selama 10
tahun, tanpa kehilangan kewarganegaraannya. Bahkan hak-haknya dapat dilaksanakan oleh
keluarganya hingga orang itu kembali lagi (setelah 10 tahun). Maksud Ostrakismos ini hanyalah
untuk mengasingkan orangnya saja, agar supaya dia tidak dapat mengganggu ketertiban dan
keamanan umum, tetapi bukan dimaksudkan sebagai hukuman (Mengenai tatanegara Athena
kuno, lihat: Pringgodigdo, Prof. Mr. A.G., 1953, juga: Sabine, G.H., jilid 1, 1992).

Ciri Demokrasi Athena


Dari praktek demokrasi dinegara kota Athena tersebut dapat kita tengarai paling tidak ada empat
hal yang merupakan ciri demokrasi pada masa puncaknya, yaitu, yang pertama, semua laki-laki
bebas yang telah berusia dua puluh tahun keatas berhak untuk mengikuti sidang rakyat yang
disebut sebagai Ekklesia, yang bersidang paling tidak sepuluh kali dalam setahun. Karena itu,
dalam sistem demokrasi langsung Athena ini tidak dikenal adanya lembaga perwakilan semacam
DPR karena semua keputusan penting dibahas oleh semua rakyat dalam badan Ekklesia.

Yang kedua, negara kota Athena sama sekali tidak mengenal birokrasi dalam pengertian modern,
karena seluruh jabatan negara dipegang oleh rakyat untuk jangka waktu yang terbatas dengan
sistem pengangkatan melalui undian. Bahkan peradilan tidak dipegang oleh hakim khusus, tetapi
oleh panel rakyat yang dipilih secara berkala yang juga dilaksanakan melalui sistem undian.
Semua jabatan dalam lembaga pemerintahan dapat diduduki (dijabat) oleh setiap warganegara,
yaitu laki-laki bebas yang telah berusia diatas 20 tahun (kecuali untuk jabatan heliaia (semacam
mahkamah pengadilan) dan archon (semacam perdana menteri), yang hanya boleh dijabat oleh
warganegara laki-laki bebas yang telah berusia lebih dari 30 tahun) tanpa memandang kekayaan,
pendidikan, status sosial, dan sebagainya, yang penunjukannya dilakukan melalui sistem undian
(kecuali para jenderal (strategos) yang ditunjuk melalui sistem pemilihan).

Ciri yang ketiga, semua pemegang jabatan pemerintahan dibatasi hanya untuk satu tahun, dan
setelah itu tidak boleh dipilih kembali, kecuali para jendral (strategos) yang boleh dipilih kembali
tanpa batas. Kiranya perlu dicatat disini, bahwa masyarakat Athena nampaknya menyadari
bahwa jabatan sebagai seorang jenderal dan panglima perang (strategos) merupakan jabatan yang
membutuhkan kualifikasi tertentu, yang keahlian dan ketrampilannya tidak bisa dimiliki oleh
setiap orang. Karena itu, mereka membedakan masa jabatan para jenderal dan panglima perang,
tidak dibatasi hanya untuk satu tahun, tetapi boleh dipilih kembali tanpa batas waktu. Disamping
itu, cara penunjukan para jenderal dan panglima perang juga berbeda, tidak melalui sistem
undian, tetapi melalui sistem pemilihan. Hal yang sama sesungguhnya juga berlaku bagi jabatan
Heliaia, semacam jabatan hakim dalam mahkamah peradilan, yang walaupun ditunjuk
berdasarkan undian, tetapi para calon hakim harus lulus tes yang diselenggarakan oleh Heliaia itu
sendiri.

Ciri yang keempat, para pemegang jabatan, khususnya pejabat keuangan dan Heliaia harus
mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya setelah habisnya masa jabatannya, sekali lagi,
kecuali para jenderal dan panglima perang.
Faktor Pendukung Keberlangsaungan Demokrasi Langsung di Athena

Bagi orang yang memuji sistem demokrasi langsung yang dipraktekkan di negara kota Athena
tersebut, sistem kenegaraan yang berlangsung di negara kota Athena masa itu dipandang sebagai
sistem pemerintahan yang paling demokratis, sebagai sistem dimana rakyat banyak betul-betul
memerintah negaranya. Salah satunya adalah rousseau dimana menurutnya kedaulatan
seharusnya berada ditangan rakyat, yang dalam pernyataannya berujud kehendak umum
(volontee generale). Bagi Rousseau, kehendak umum, kehendak seluruh rakyat, tidak dapat
diwakilkan, karena (pernyataan) kehendak tidak mungkin diwakilkan. Karena itu, satu-satunya
pembentuk kehendak rakyat adalah rakyat sendiri melalui pertemuan seluruh rakyat, yang mana
hal ini hanya mungkin terwujud dalam sistem demokrasi langsung sebagaimana yang
dipraktekkan dinegara kota Athena. Rousseau memang tidak pernah memimpikan negara besar,
yang berupa negara nasional, karena menurut Rousseau, negara yang ideal adalah negara kota,
dimana jumlah penduduknya tidak terlalu besar, sehingga setiap orang dapat ikut aktif ambil
bagian didalam urusan negara. Tampaknya, kehidupan negara kota di Jenewa, Swiss, yang pada
masa muda Roussea merupakan negara kota, mempunyai pengaruh didalam idea negara
idealnya.

Demokrasi langsung yang dipraktekkan dinegara kota Athena, dalam masyarakat modern sudah
hampir-hampir tidak dikenal lagi kecuali pada beberapa kesatuan masyarakat kecil, seperti desa.
Bahkan, di Indonesia, sejak tahun 1979, khususnya setelah diundangkannya Undang-Undang no.
5 tahun 1979, demokrasi langsung ditingkat desa, dimana sebelumnya berbagai permasalahan
masyarakat desa dibahas dalam musyawarah desa oleh seluruh wargadesa, telah ditiadakan.
Salah satu alasan bagi mereka yang mendukung pandangan yang menganggap demokrasi
langsung model negara kota Athena sudah tidak mungkin lagi dilaksanakan pada masyarakat
negara modern, adalah bahwa demokrasi langsung Athena didukung oleh beberapa faktor
penting yang sudah tidak terdapat lagi dalam masyarakat modern. Dalam hal ini paling tidak ada
empat faktor yang mendukung kemungkinan dilaksanakannya sistem pemerintahan demokrasi
langsung di negara kota Athena, tetapi yang bagi masyarakat negara-negara modern, keempat
faktor tersebut sangat sulit, untuk tidak mengatakan tidak mungkin, untuk dipenuhi.
Faktor pendukung yang pertama adalah, negara Athena (yang oleh ahli ketatanegaraan biasa
disebut sebagai negara kota), luas wilayahnya (dibanding dengan luas wilayah negara-negara
modern) sangat sempit, dan jumlah penduduknyapun tidak banyak, sehingga untuk membahas
masalah-masalah penting yang memerlukan kehadiran seluruh rakyat dimungkinkan untuk
dilaksanakan. Bahkan jika pertemuan rakyat membutuhkan ruang yang luas, maka pertemuan
tersebut masih bisa mereka laksanakan dipasar.

Sementara itu, dalam masyarakat modern, tidak ada negara yang sekecil dengan penduduk
sesedikit negara kota Athena. Semua negara modern mempunyai wilayah yang jauh lebih luas
dan jumlah penduduk yang jauh lebih banyak dari pada negara kota Athena. Luas seluruh negara
Athena lebih kurang 2.000 Km2, yang pada sekitar tahun 500-an Sebelum Masehi berpenduduk
sekitar 300.000 orang.[2] Dalam masyarakat modern, negara yang sebanding dengan itu (sedikit
lebih luas dari Attika) adalah Luxemburg dengan luas wilayah 2.586 Km2 dan jumlah penduduk
pada sekitar tahun 1985 sebanyak 360.000 penduduk. Dalam hubungan dengan luas wilayah,
tampaknya hanya ada 3 negara yang luasnya lebih sempit dari Attika (negara Athena), yaitu
Singapura dengan luas wilayah 621,4 Km2 tetapi yang pada tahun 1985 sudah berpenduduk jauh
lebih banyak, yaitu sekitar 2.500.000 penduduk. Kemudian Monaco, yang luasnya hanya 1,9
Km2 dengan penduduk pada tahun 1985 sebanyak 30.000 penduduk, dan Iceland, yang pada
tahun 1960 berpenduduk sebanyak 144.000 penduduk. Bahkan negara Timor Leste yang buat
ukuran Indonesia sudah sangat sempit sekalipun, luasnya 14. 800 Km2 yang berarti lebih dari 7
kali lipat luas wilayah Attika (negara Athena). Dengan luas wilayah yang sedemikian luas,
dengan jumlah penduduk yang sudah sedemikan banyak, bagi kebanyakan negara-negara
modern tidak memungkinkan untuk mengumpulkan rakyat untuk membahas masalah-masalah
penting kenegaraan secara bersamaan.

Faktor pendukung yang kedua adalah, dinegara Athena, tidak semua penduduk berhak ikut
ambil bagian didalam pemerintahan negara. Mereka yang berhak untuk ikut ambil bagian
didalam pemerintahan negara hanyalah warganegara bebas, laki-laki dan telah dewasa (usia
diatas 20 tahun atau 30 tahun khusus untuk menduduki jabatan heliaia, semacam lembaga
peradilan, dan Archon, semacam perdana menteri). Karena yang berhak untuk ikut ambil bagian
didalam pemerintahan negara kota Athena adalah laki-laki dewasa, maka ini berarti anak-anak
yang berumur dibawah 20 tahun yang bisa jadi jumlahnya kurang lebih seperempat dari jumlah
penduduk, atau lebih kurang 75.000 oang anak, tidak dapat ikut ambil bagian didalam
pemerintahan negara.

Selain anak-anak, juga perempuan yang merupakan separoh dari jumlah penduduk tidak dapat
ikut ambil bagian didalam percaturan kenegaraan. Disamping itu, penduduk athena dibagi
kedalam tiga jenis, yaitu, yang pertama adalah warganegara yang tidak bebas, yaitu para budak,
yang di Athena jumlahnya cukup besar, yang pada tahun 500 Sebelum Masehi diperkirakan
meliputi sepertiga dari jumlah penduduk, yang berarti sebanyak kurang lebih 100.000 penduduk.
Para budak ini juga tidak mempunyai hak untuk ikut ambil bagian didalam pemerintahan.
Didunia kuno, perbudakan merupakan lembaga umum, sehingga keberadaan budak dalam
jumlah yang besar merupakan kelaziman dinegara kota Yunani dan ketidak terlibatan mereka
dalam percaturan masalah kenegaraan tidak dipandang bertentangan dengan sistem demokrasi
mereka. Bahkan warganegara Athena menginginkan untuk memperbesar jumlah budak, sehingga
mereka bisa tidak bekerja, dan mengkonsentrasikan diri mereka untuk mengurusi urusan politik
negara. Karena itu, bisa dimengerti kalau Aristoteles memandang kedudukan sebagai budak
merupakan takdir, bukan bentuk penindasan, selama masyarakat memperlakukan budak mereka
dengan baik. Bahkan Aristoteles menyayangkan tidak tercapainya keinginan agar masyarakat
Athena sebagai masyarakat yang tidak bekerja. Menurut pendapatnya, sebaiknya semua
pekerjaan tangan dilakukan oleh golongan budak, sehingga para warga kota mempunyai cukup
waktu untuk mencurahkan perhatiannya kepada soal-soal politik (Sabine, G.H., 1992, jilid 1: 8).
Penduduk yang kedua adalah orang asing atau metics. Didalam kota-kota dagang sebagaimana
Athena, jumlah orang yang termasuk golongan orang asing ini tidak sedikit dan kebanyakan dari
mereka itu menetap untuk waktu yang lama. Tetapi tidak ada suatu peraturan hukum tentang
naturalisasi, dan seorang bangsa asing tidak akan dimasukkan golongan warga kota, meskipun ia
telah bertempat tinggal disana selama beberapa keturunan, kecuali jika penerimaan itu dilakukan
secara diam-diam ataupun berdasarkan suatu kelalaian. Sebagaimana halnya dengan golongan
budak, golongan orang-orang asing ini tidak diperbolehkan mengambil bagian dalam kehidupan
politik kota, meskipun mereka itu adalah orang-orang bebas, dan perkecualian itu tidak
mengandung adanya diskriminasi sosial terhadap mereka (Sabine, G.H., 1992, jilid 1: 9).
Dinegara kota Athena, sebagaimana layaknya yang terjadi di pedesaan Jawa pada masa
demokrasi desa (sebelum diberlakukannya Undang-Undang no. 5 tahun 1979), perempuan tidak
berhak terlibat didalam urusan kenegaraan. Ketidak terlibatan perempuan telah mengurangi lebih
dari separoh jumlah warganegara yang berhak terlibat dalam urusan kenegaraan. Ketidak
terlibatan perempuan dan para budak dan orang asing didalam percaturan permasalahan negara
kota ini telah mengurangi jumlah penduduk yang dapat terlibat didalam pemerintahan, yang
memang tidak terlalu banyak, menjadi semakin sedikit. Diperkirakan, mereka yang berhak untuk
terlibat dalam urusan kenegaraan tidak akan lebih dari 50.000 orang.

Sementara itu, dihampir semua masyarakat modern, perempuan telah ambil bagian didalam
urusan-urusan publik. Bagi masyarakat modern, mendiskriminasi perempuan dalam urusan
publik dipandang tidak demokratis, dan tidak sesuai dengan prinsip persamaan hak, yang
dipandang sebagai salah satu prinsip penting bagi sistem demokrasi Disamping itu, perbudakan,
paling tidak dalam arti tradisionalnya (atau yang biasa disebut sebagai “chattel slavery”) telah
dihapuskan dihampir semua masyarakat modern.

Faktor pendukung yang ketiga adalah bahwa kebutuhan hidup masyarakat Athena relatif
sederhana, sudah bisa merasa puas dengan tingkat ekonomi yang tidak terlalu tinggi. Mereka
tidak terlalu mengejar kekayaan dan kemewahan yang berlebihan, sehingga dengan kehidupan
yang sederhana mereka sudah bersedia untuk menyisihkan waktu untuk memikirkan dan ikut
ambil bagian didalam pembahasan dan menduduki berbagai jabatan pemerintahan. Faktor
pendukung yang ketiga ini juga sudah hampir-hampir tidak dapat dipenuhi, khususnya pada
masyarakat kapitalis, dimana masyarakat didorong untuk terus-menerus meningkatkan
konsumsinya, khususnya konsumsi barang-barang mewah, sementara mereka yang tidak
bernasib baik setiap hari harus bergulat dengan urusan mencari makan, sehingga membuat
masyarakat tidak memiliki banyak waktu untuk secara aktif ikut memikirkan seluruh
permasalahan kenegaraan, apalagi untuk ambil bagian secara aktif didalam setiap urusan
kenegaraan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka demokrasi langsung sebagaimana yang
dilaksanakan dinegara kota Athena dipandang tidak mungkin lagi diterapkan pada masyarakat
negara (polity) modern.

Faktor pendukung yang keempat, permasalahan yang dihadapi oleh negara kota Athena masih
sangat sederhana dan tidak sebanyak dan serumit permasalahan yang dihadapi oleh negara
modern. Karena itu, setiap warganegara dewasa yang normal, tanpa harus mempunyai
pengetahuan dan kemampuan yang tinggi, dapat berpartisipasi aktif didalam pemerintahan
negara. Namun demikian, mengenai masalah ini kiranya perlu mendapat catatan, bahwa tak
adanya spesialisasi, termasuk spesialisasi keahlian dalam mengurus masalah politik, sangat
disayangkan oleh Plato. Menurut Plato, semua pekerja mempunyai pengetahuan dan
kemampuan, kecuali politisi yang tidak tahu apa-apa.

Komentar Atas Demokrasi Athena


Walaupun didalam negara kota Athena sebagaimana yang digambarkan diatas nampaknya rakyat
betul-betul memegang pemerintahan negara, betul-betul mengendalikan negara, namun demikian
masih banyak orang yang mempertanyakan, apakah dalam suatu negara demokrasi, baik
demokrasi yang dianut adalah demokrasi langsung sebagaimana yang pernah berlangsung
dinegara kota Athena maupun demokrasi perwakilan sebagaimana yang kebanyakan berlangsung
pada masyarakat modern, rakyat dapat sungguh-sungguh memerintah? Atau, apakah
pemerintahan rakyat tersebut sesungguhnya hanya merupakan isapan jempol yang
meninabobokkan rakyat dalam negara yang bersangkutan?”

Pertanyaan tersebut muncul karena banyak orang, diantaranya adalah Tuchydides (460 – 395
Sebelum Masehi), seorang ahli sejarah dari Yunani, dan filsof Yunani seperti Plato, dan
Aristoteles, yang tidak percaya kepada kemampuan rakyat untuk memerintah. Karena itu mereka
tidak percaya kepada sistem demokrasi yang mengandalkan pada kehendak rakyat. Thucydides
mengomentari sistem demokrasi Athena dengan menghubungkan keberhasilan yang bersifat
temporal dari demokrasi Athena pada kehadiran yang menonjol dari Pericles dalam tampuk
kepemimpinan politik Athena. Mengenai pemerintahan rakyat di Athena, Thucydides
menyimpulkan:

“jadi, dalam apa yang secara nominal disebut demokrasi, sesungguhnya kekuasaan berada
ditangan warganegara utama.” (dikutip dengan terjemahan bebas dari: Hagopian, Mark N., 1985:
16).

Pandangan sinis Tuchydides atas demokrasi Athena tersebu dapat dimengerti, karena
sesungguhnya, demokrasi Athena yang dari sudut kelembagaan tersebut nampaknya sangat
demokratis, tetapi realitasnya kekuasaan sangat mudah jatuh ketangan para demagog (ahli
pidato), khususnya para strategos (komandan tentara). Hal ini bisa terjadi karena strategos, tidak
sebagaimana jabatan yang lain, setiap tahun selalu boleh ditunjuk kembali tanpa batas untuk
berapa kali, hingga dia menjadi satu-satunya orang yang sangat berpengalaman bukan saja dalam
soal strategi perang, tetapi juga dalam pemerintahan, karena dia dibolehkan untuk menghadiri
rapat-rapat boule. Karena itu, seorang strategos yang mempunyai kemampuan mempengaruhi
orang lain, yang biasanya seorang ahli pidato (demagog), maka dia dapat mempengaruhi
anggota-anggota Boule yang jelas-jelas tidak berpengalaman. Oleh Boule, keinginan strategos
tersebut dapat diajukan sebagai usulan atau rancangan peraturan, yang diajukan kepada majelis
rakyat (Ekklesia). Sementara itu, strategos, yang juga adalah anggota Ekklesia, dengan
kepandaiannya berpidatonya akan dapat mempengaruhi keputusan Ekklesia untuk menerima
usulan atau rancangan peraturan yang diajukan oleh Boule, yang sesungguhnya aturan atau
usulannya sendiri. Perlu dicatat disini, Perycles yang dipandang sebagai pemimpin negara kota
Athena yang paling menonjol adalah seorang panglima perang (strategos).

Sementara itu, Plato mengecam kesalahan pada demokrasi langsung Athena, karena setiap orang
tak peduli kepandaiannya, tak peduli latar belakang pekerjaannya, dengan cara undian dapat
memegang jabatan pemerintahan. Akibatnya, demokrasi mengalami kehancuran karena tak
adanya kemampuan dan pengetahuan mengenai pemerintahan pada para pemegang kekuasaan
pemerintahannya (politisinya). Hal ini merupakan nasib buruk yang tak terhindarkan dari sistem
demokrasi (langsung) model negara kota Athena. Menurut Plato:
“Seorang pekerja harus paham akan masing-masing lapangan pekerjaannya, tetapi seorang
politikus tak tahu apa-apa (mengenai pekerjaan dan tugasnya”) (Sabine, G.H., 1992: 44).

Berdasarkan pengalaman sistem demokrasi Athena yang menurut Plato merupakan pengalaman
buruk tersebut, dia mengusulkan agar pemegang kekuasaan negara adalah orang yang
mempunyai pengetahuan dan kemampuan dalam urusan pemerintahan. Pengetahuan dan
kemampuan tersebut, menurut Plato, selain merupakan bakat dan hasil pendidikan, juga
berkembang melalui spesialisasi pekerjaan. Pemikiran ini didasarkan pada pemikiran bahwa
(menurut Plato sebagai hasil penyelidikan yang membuktikan bahwa) hubungan atara orang
dengan orang dalam masyarakat tergantung dari pada kebutuhan yang timbal balik dan
menghasilkan penukaran barang dan jasa. Berhubung dengan itu maka keberhasilan setiap
kerjasama tergantung pada masing-masing orang untuk mengerjakan bagiannya dalam pekerjaan.
Ini berarti adanya spesialisasi pekerjaan.
Menurut Plato, spesialisasi pekerjaan yang merupakan dasar masyarakat, tergantung dari dua
faktor, yaitu bakat dan latihan. Yang pertama merupakan pembawaan, sedang yang kedua lebih
merupakan soal pengalaman dan pendidikan. Karena itu, negara mempunyai kewajiban untuk
melakukan pengawasan untuk mencari orang-orang yang berbakat, dan mengusahakan untuk
menghubungkan kedua faktor tersebut, yaitu bakat dan pendidikan. Dengan kata lain, negara
harus bisa mendapatkan orang-orang yang tercakap dan kemudian mengupayakan untuk
memperkembangkan mereka dengan menyediakan pendidikan yang terbaik. Bagi Plato,
pengetahuan merupakan faktor terpenting untuk melakukan pekerjaan pemerintahan negara.
Menurutnya, tidak akan ada harapan bagi negara kecuali jika kekuasaan terletak ditangan mereka
yang mengetahui – yaitu yang mengetahui, pertama, tugas-tugas apa yang dibutukan oleh negara
yang baik, dan kedua, mengetahui apakah yang dapat disumbangkan oleh bakat keturunan dan
pendidikan untuk memungkinkan warga negara cocok melaksanakan tugas negara itu. Oleh
karena itu, menurut Plato, kebutuhan akan adanya spesialisasi tak terhindarkan lagi. Dengan
adanya spesialisasi dalam pekerjaan ini maka menurut Plato, yang akan terjadi adalah bahwa
karena kekhususan yang mengakibatkan kemampuannya menjadi sangat baik, maka para petani
akan menghasilkan bahan makanan jauh lebih banyak dari pada yang dibutuhkan oleh
keluarganya sendiri, sedang demikian juga halnya dengan tukang sepatu, akan dapat
menghasilkan sepatu dalam jumlah yang lebih banyak dari pada yang dapat dipakainya sendiri
dan keluarganya. Karena itu, bagi keduanya akan sangat menguntungkan jika mereka
menghasilkan sesuatu yang khusus berdasarkan kemampuan yang terbaik yang dimilikinya, dan
kemudian saling melakukan pertukaran satu sama lain. Dengn demikian maka mereka masing-
masing akan mendapat bahan makanan dan sepatu yang lebih baik sebagai hasil dari kerjasama
tersebut, dari pada jika mereka masing-masing bekerja untuk menghasilkan semua kebutuhan
mereka sendiri-sendiri.

Menurut Plato arti pentingnya spesialisasi ini disebabkan karena dua hal pokok yang terdapat
dalam jiwa manusia, yaitu, yang pertama, bahwa tiap-tiap orang berlainan bakatnya, sehingga
mengenai pekerjan-pekerjaan tertentu yang satu dapat melakukannya lebih baik dari pada yang
lainnya, dan yang kedua, bahwa kecakapan hanya dapat diperoleh jika seseorang terus menerus
melakukan pekerjaan yang sesuai dengan keakapannya.
“Kita harus berkesimpulan bahwa semua barang akan dihasilkan dalam jumlah yang lebih besar,
dan lebih mudah dan dengan kualitas yang lebih tinggi, jika setiap orang hanya mengerjakan
yang sesuai dengan bakatnya dan mengerjakan itu tepat pada waktunya, serta menyampingkan
hal-hal lain.

Menurut Plato, azas spesialisasi menghendaki bahwa orang harus melakukan pembedaan
pekerjaan yang pokok. Dalam hubungan dengan masalah ini, maka menurut Plato ada dua
golongan besar orang, yaitu golongan pekerja yang menghasilkan dan golongan orang yang
disebutnya sebagai “pembimbing”. Golongan pembimbing ini oleh Plato dibedakan lagi
(meskipun pembedaannya tidak begitu jelas) kedalam golongan tentara dan orang-orang yang
memerintah, atau filsof raja jika yang memerintah hanya seorang saja. Dengan demikian, maka
pada akhirnya ada tiga golongan orang, yaitu golongan pekerja (tangan), golongan tentara, dan
yang ketiga, golongan orang yang memerintah.

Karena pembagian kerja itu didasarkan atas perbedaan bakat, maka tiga golongan tersebut diatas
didasarkan atas anggapan akan adanya tiga macam manusia, yaitu, yang pertama, mereka yang
karena kodratnya mempunyai kecakapan untuk bekerja tetapi tidak mempunyai kecakapan untuk
memerintah. Yang kedua, adalah mereka yang cakap untuk memerintah tetapi hanya dapat
memerintah dibawah pengawasan dan pimpinan orang-orang lain, dan akhirnya, yang ketiga,
adalah mereka yang cakap untuk menduduki jabatan yang tertinggi dalam pemerintahan. Plato
menganggap bahwa semua kepandaian di dalam negara berpusat pada golongan orang-orang
yang memerintah, sementara, dilapangan politik, para pekerja (tangan) tidak mempunyai sesuatu
tugas kecuali tunduk dan menurut.

Orang bisa berpandangan bahwa kesimpulan Plato yang memandang para pekerja tangan tidak
mempunyai peran dalam kehidupan politik adalah disebabkan karena Plato memandang
golongan pekerja tangan lebih rendah dari pada mereka yang harus bekerja dengan
mempergunakan inteleknya. Pernyataan demikian tidak sepenuhnya salah, yang berarti juga
tidak sepenuhnya benar, karena Plato sendiri sedikit banyak cukup menghargi pekerjaan tangan
dibandingkan dengan Aristoteles yang sama sekali tidak menghargai pekerjaan tangan, yang
karena itu mencita-citakan masyarakat Athena yang tidak bekerja (tangan), karena semua
pekerjaan tangan seharusnya (menurut Aristoteles) dilakukan oleh para budak. Karena itu, dasar
pandangan Plato tersebut harus lebih kita cari pada adanya anggapan bahwa penyelenggaraan
pemerintahan yang baik berhubungan dengan masalah pengetahuan, dan bahwa masalah
pengetahuan selamanya adalah milik segolongan ahli, sebagaimana halnya dalam ilmu
ketabiban, yang milik khusus para tabib. Karena itu, berdasarkan pemikiran tersebut, maka
menurut Plato, seharusnya orang yang mengetahui – baik ia seorang filsof atau seorang sarjana –
seharusnya mempunyai kekuasaan yang menentukan di dalam pemerintahan, dan bahwa hanya
pengetahuannya sajalah yang dapat memberikan kedudukan tersebut. Mereka yang memerintah,
yang merupakan orang yang paling bijak, paling cakap dalam masyarakatnya, oleh Plato disebut
sebagai filsof raja atau raja yang menjadi filsof. Golongan ini bisa berupa raja yang dididik
menjadi filsof, atau filsof yang diberi kekuasaan untuk menjadi raja.

Walaupun seorang filsof yang menjadi raja atau raja yang menjadi filsof dan para filsof lain yang
memegang pemerintahan adalah orang-orang yang memiliki kepandaian, memiliki pengetahuan,
tetapi mereka juga memiliki kepentingan dan keinginan. Karena itu, menurut Plato, untuk
mencegah mereka yang memegang pemerintahan untuk mementingkan kepentingannya sendiri,
maka mereka harus dilepaskan dari berbagai faktor yang mendorong orang untuk mementingkan
dirinya sendiri. Faltor pendorong tersebut menurut Plato adalah kekayaan dan keluarga. Karena
itu, menurut Plato, para pemegang kekuasaan negara yang adalah filsof raja, tidak boleh
mempunyai harta milik pribadi. Mereka juga tidak boleh memiliki isteri dan anak. Isteri mereka
adalah isteri bersama-sama, dan anak mereka juga anak bersama. Dengan demikian, tak akan ada
faktor yang mendorong para pemegang kekuasaan untuk korupsi, misalnya, untuk
mempertahankan kekuasaan bagi anak-anaknya (karena mereka tidak tahu yang mana anak
mereka), dan sebagainya. Namun demikian, kehidupan komunal ini tidak berlaku bagi semua
orang, tetapi hanya dibatasi pada orang-orang yang memegang pemerinahan, tidak berlaku bagi
golongan masyarakat yang lain.

Banyak orang berpendapat bahwa sikap Plato yang begitu kritis terhadap demokrasi disebabkan
karena dia adalah seorang keturunan bangsawan, dan memang menurut kegiatannya salah
seorang kelarganya pernah tersangkut dalam revolusi oligarchi tahun 404 sebelum Masehi.
Namun demikian, sesungguhnya bukan itu satu-satunya alasan sikap kritis Plato terhadap
demokrasi (langsung) Athena, karena pada kenyataannya, demokrasi Athena tak dapat
menghadapi rongrongan kekuatan-kekuatan besar disekitarnya, baik Sparta maupun Persia, dan
pada akhirnya mengalami kekalahan dalam perang peloponesia dan pada masa raja Philip dari
Macedonia, negara kota Athena pada tahun 338 sebelum Masehi dikalahkan dan dikuasai oleh
Macedonia.

Didalam otobiografinya, yang termuat didalam surat Ketujuh, Plato menceritakan bagaimana ia
sebagai pemuda pernah mengharapkan mendapatkan kedudukan dilapangan politik dan pernah
pula mengharapkan bahwa revolusi aristokrasi dalam tahun 404 sebelum Masehi akan membawa
perubahan pokok dimana dia akan megambil bagian. Tetapi oligarchi segera memberikan
pengalaman yang menunjukkan bahwa sistem demokrasi adalah lebih baik, meskipun demokrasi
yang kemudian timbul kembali, dengan dihukumnya Socrates, ternyata banyak kekuarangan-
kekurangannya.

“Akibatnya, bahwa saya yang mula-mula begitu menginginkan kedudukan didalam lapangan
pemerintahan karena saya melihat kesibukan didalamnya dan arus yang tak ada hentinya itu,
akhirnya merasa pusing ....... dan menginsafi bahwa sistem pemerintahan di semua negara yang
ada pada waktu ini dengan tiada kecualinya adalah buruk. Undang-undang dasarnya tidak akan
membawa manfaat sama sekali kecuali jika ada keajaiban yang disertai nasib baik. Hingga saya
terpaksa memujikan filsafat, karena filsafat dapat memberi pegangan bagi kita untuk menentukan
apakah yang pada tiap hal menguntungkan bagi masyarakat maupun bagi individu; dan karena
itu umat manusia tidak akan mencapai kebahagiaan, sebelum mereka yang telah menguasai
filsafat menduduki jabatan pemerintahan, ataupun golongan yang memerintah kemudian
dibimbing oleh dispensasi takdir, sehingga mereka menjadi filsof yang sesungguhnya.

Aristoteles, murid Plato yang paling menonjol, juga memandang pemerintahan demokrasi
sebagai sistem pemerintahan yang buruk, yang tidak akan mampu bertahan lama. Dalam
menjelaskan sistem pemerintahan, Aristoteles membagi sistem pemerintahan negara kedalam
dua dasar yang merupakan tujuan negara, yaitu yang dia sebut negara konstitusional, yang
bertujuan untuk kepentingan seluruh rakyat, dan yang kedua, yang merupakan bentuk kebalikan
dan bentuk yang buruk dari yang pertama, adalah negara yang bertujuan untuk kepentingan
pemegang kekuasaan. Masing-masing negara yang bertujuan kepentingan umum, kepentingan
seluruh rakyat atau kepentingan pemegang kekuasaan tersebut dibedakan kembali kedalam tiga
bentuk negara. Pembedaan tersebut didasarkan pada jumlah pemegang kekuasaan negara. Karena
itu, negara yang yang berkonstitusi, yang bertujuan untuk kepentingan umum, untuk kepentingan
seluruh rakyat, yang pemerintahannya dipegang oleh satu orang, disebutnya sebagai negara
kerajaan (Kingship), dan yang dipegang oleh beberapa orang, yang merupakan orang-orang yang
terbaik didalam masyarakatnya, disebutnya negara “aristokrasi”, dan yang dipegang oleh banyak
orang yang bertujuan untuk kepentingan seluruh rakyat, disebutnya sebagai “Polity.” Sementara
itu, bentuk kebalikannya, yaitu bentuk yang buruknya, yang berupa negara yang bertujuan untuk
kepentingan pemegang kekuasaannya sendiri, adalah tirani, jika negara yang bersangkutan
dipegang oleh satu orang, oligarki jika dipegang oleh sedikit orang, dan demokrasi, jika
kekuasaan dipegang oleh banyak orang yang ditujukan untuk kepentingan golongan orang-orang
yang memegang kekuasaan.

Menurut Aristoteles, tirani merupakan pemerintahan oleh satu orang dari asosiasi politik dalam
garis despotisme, sedang oligarki ada jika dalam masyarakat yang bersangkutan kekuasaan yang
berdaulat dipegang oleh orang kaya, dan demokrasi jika kekuasaan dipegang oleh orang-orang
miskin. Menurut Aristoteles, demokrasi yang merupakan sistem pemerintahan oleh orang banyak
yang miskin, memandang keadilan sebagai berarti persamaan, tetapi persamaan didalam
demokrasi adalah persamaan yang berlaku bagi mereka yang sama, bukannya persamaan untuk
semua orang atau seluruh rakyat. Mereka yang miskin, yang tidak memiliki cukup harga diri,
yang dalam pengalaman hidupnya tidak pernah memerintah selalin mentaati perintah, tidak akan
bisa memerintah. Pemerintahan mereka akan dipenuhi dengan keirihatian pada mereka yang
kaya, yang bisa menimbulkan upaya untuk membagi-bagikan harta milik mereka yang kaya bagi
mereka yang miskin. Dalam hal demikian, mereka akan tetap memandangnya sebagai adil,
karena hal itu telah diputuskan oleh kekuasaan yang sah, yang berdaulat. Negara demikian tidak
mungkin akan menjadi negara yang berumur panjang, karena didalamnya akan dipenuhi dengan
konflik-konflik kepentingan, yang akan menghancurkan negara yang bersangkutan dari dalam
dirinya sendiri.
Bahkan, kritik atas sistem demokrasi di Athena bukan hanya dilakukan oleh seorang filsof
sekaliber Plato atau ahli sejarah sekaliber Tuchydides, tetapi juga dilakukan oleh orang awam
(maksudnya paling tidak bukan seorang filsof sekaliber Plato atau ahli sejarah sekaliber
Tuchydides). Mereka tak ketinggalan juga ikut mengkritik secara sinis praktek demokrasi
Athena. Salah satunya adalah kritik yang terdapat didalam tulisan yang semula secara salah
dikira ditulis oleh Xenophon, seorang filsof “Sophis” Yunani, tetapi yang ternyata bukan.
Tulisan yang mengkritik demokrasi Athena tersebut ternyata ditulis oleh seorang aristokrat
Athena, yang berjudul “Konstitusi Athena.” Tulisan ini yang oleh G.H. Sabine diuraikan secara
ringkas:

"Penulis ini sekaligus memandang konstitusi Athena sebagai alat demokrasi yang sempurna dan
sungguh-sungguh merupakan bentuk pemerintahan yang murtad. Ia-pun menganggap, bahwa
akar kekuatan demokrasi terleak dalam perdagangan dengan luar negeri dan sebagai
konsekwensinya mementingkan angkatan laut, yang menurut pendapat kuno merupakan cabang
angkatan perang yang demokratis, seperti angkatan darat merupakan cabang yang atistokratis.
Demokrasi berusaha memungut hasil dari orang-orang kaya dan meperkaya orang-orang miskin.
Mahkamah dianggapnya semata-mata sebagai alat untuk memberi penghidupan kepada enam
ribu orang anggota juri, dan memaksa orang-orang asing yang sedang mempunyai urusan
transaksi yuridis di Athena, mengeluarkan banyak uang disana. Sebagaimana kemudian halnya
dengan Plato, ia mengeluh, bahwa di dalam negara demokrasi orang tidak dapat memerintah
budak untuk mengusir seseorang "(Sabine, G.H., 1992: 25).

Berbagai komentar kritis dan penolakan atas demokrasi (Athena) tersebut mendapat
dukungannya dari permasalahan kenegaraan dan pemerintahan yang dihadapi oleh masyarakat
modern. Permasalahan kenegaraan dan pemerintahan yang dihadapi oleh masyarakat modern
merupakan masalah yang selain sulit, juga rumit dan kompleks, masalah yang satu berkaitan
dengan masalah yang lain. Sebagai contoh, misalnya keputusan untuk meningkatkan jaminan
kesejahteraan sosial bisa berarti pengurangan anggaran pada bidang lain, sehingga mungkin
terjadi penundaan perbaikan jalan, atau meningkatnya anggaran ditutupi dengan menaikkan
pendapatan dari sektor pajak, yang berarti kemungkinannya adalah menaikkan pajak, atau
perluasan subyek pajak sehingga menjangkau jumlah orang yang lebih banyak, atau memperluas
obyek pajak, yang berarti semakin banyak barang atau kegiatan yang akan terkena pajak.
Sementara itu, peran negara modern juga semakin meningkat. Negara yang paling liberal
sekalipun[3], seperti Amerika Serikat, peran negara dari tahun ketahun bukannya semakin
berkurang sebagaimana harapan mereka, tetapi malah semakin terus meningkat dan meluas.
Urusan negara modern mulai dari urusan luar negeri, fiskal, sampai mengurusi masalah
pendidikan, jaminan pendidikan, listrik, gas, sampai mengurusi pemukiman kumuh. Dengan
semakin luas dan kompleksnya permasalahan yang diurusi oleh negara modern, maka banyak
ahli yang menganggap rakyat biasa yang tidak memiliki pengetahuan khusus yang diperlukan
tidak mungkin untuk ikut ambil bagian dalam pemerintahan negara. Dengan kata lain, untuk
mengurusi pemerintahan negara modern membutuhkan orang-orang profesional, yang memang
mempunyai keinginan dan kemampuan untuk mempelajari dan menggeluti berbagai permaslahan
masyarakat yang sudah semakin rumit dan luas tersebut.

Berdasarkan berbagai kesulitan tersebut, maka masyarakat modern mau tidak mau harus
meninggalkan model demokrasi langsung sebagaimana yang dilaksanakan dinegara kota Athena.
Namun demikian, karena demokrasi yang mempunyai pengertian pemerintahan rakyat oleh
banyak orang dipandang sebagai sistem yang paling baik, paling absah, maka masyarakat
modern mengembangkan sistem demokrasinya sendiri, yang biasa disebut sebagai demokrasi
perwakilan, yang diharapkan masih dapat mencerminkan makna demokrasi, yaitu “pemerintahan
rakyat”. Dalam sistem demokrasi perwakilan, pengisian jabatan-jabatan negara yang dipandang
mewakili rakyat (biasanya adalah anggota-anggota parlemen atau dewan perwakilan rakyat dan
pimpinan tertinggi lembaga eksekutif), tidak dilaksanakan melalui sistem undian sebagaimana
sistem demokrasi yang berlangsung di negara kota Athena, tetapi dilakukan dengan cara
pemilihan. Inti dari sistem demokrasi perwakilan adalah, rakyat memilih orang-orang yang akan
duduk dipemerintahan, yang akan membuat kebijakan publik dan melaksanakan tugas
pemerintahan. Karena mereka dipilih oleh rakyat, maka mereka disebut sebagai wakil rakyat.
Mereka yang disebut sebagai wakil rakyat tersebut dipilih secara berkala setiap 4, 5, atau 6 tahun
sekali melalui proses pemilihan umum. Wakil yang dipilih secara berkala untuk jangka waktu
tertentu inilah yang akan melaksanakan pemerintahan negara, mewakili rakyat untuk membuat
keputusan-keputusan publik bagi rakyat. Namun demikian, yang menjadi pertanyaan dari system
demokrasi perwakilan ini adalah, apakah kehendak rakyat dapat diwakilkan? Apakah system
demokrasi perwakilan masih bisa disebut sebagai demokratis.
[1] Phyle adalah daerah yang merupakan bagian dari negara. Attika (Athenai) dibagi kedalam 10
phyle, dan masing-masing phyle dibagi lagi kedalam trittyes, dan setiap trittyes dibagi lagi
kedalam deme-deme, yang merupakan daerah kenegaraan yang terkecil.
[2] Walaupun dalam literatur ketatanegaraan, negara Athena selalu disebut sebagai negara kota,
tetapi sesungguhnya negara ini tidak hanya meliputi kota Athena, bahkan wilayah negara ini
meliputi seluruh Attika, dan Athena sebagai ibu kota negara. Saat ini Attika berstatus sebagai
profinsi dan Athena sebagai ibukota negara Yunani.
[3] Kaum liberal tradisional memandang negara sebagai badan yang menakutkan, sebagai
monster laut raksasa (leviathan) yang menakutkan, tetapi tetap diperlukan. Karena itu, menurut
mereka, negara akan semakin baik jika perannya semakin minimal. Peran negara hanya
diharapkan dalam bidang-bidang dimana rakyat tidak dapat melakukannya sendiri. Karena itu,
peran negara selalu dirumuskan secara negatif. Konsep ini juga dianut oleh para bapak pendiri
(founding fathers) negara Amerika Serikat. Tetapi kenyataan yang kita saksikan, peran negara
didalam masyarakat modern bukannya semakin surut tetapi malah semakin meningkat. Hal yang
sama juga terjadi pada konsep kaum Marxis-Leninis. Menurut konsep mereka, negara adalah alat
kekuasaan untuk menindas suatu golongan masyarakat oleh golongan yang memegang
kekuasaan negara. Karena itu, menurut mereka, peran negara dimasyarakat komunis akan
semakin surut dan akhirnya menghilang (withering away). Tetapi kenyataan yang kita saksikan
dinegara-negara komunis, peran negara bukannya semakin surut, tetapi semakin meningkat dan
menggurita memasuki semua wilayah kehidupan masyarakat.
Daftar Pustaka
1. Hagopian, Mark N., Ideals and Ideologies of Modern Politics, Longman Inc., 1985.
2. Lindsay, A.D., The Modern Democratic State, jilid 1; Oxford University Press, 1951.
3. Pringgodigdo, Prof. Mr. A.G., Tatanegara Athenai Kuno, U.P. Indonesia N.V., 1953.
4. Sabine, G.H., terjemahan Drs. Soewarno Hadiatmodjo, Teori-Teori Politik, jilid 1 dan 2,
Penerbit Binacipta, 1992
http://hadiwahono.blogspot.com/2013/05/demokrasi-athena.html
.

You might also like