Professional Documents
Culture Documents
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
B. Etiologi
Bronkitis akut dapat disebabkan oleh :
1) Infeksi virus 90% : adenovirus, influenza virus, parainfluenza virus, rhinovirus, dan
lain-lain.
2) Infeksi bakteri : Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis, Haemophilus
influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau bakteri atipik (Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia pneumonia, Legionella)
3) Jamur
4) Noninfeksi : polusi udara, rokok, dan lain-lain.
C. Epidemiologi
Bonkitis akut paling banyak terjadi pada anak kurang dari 2 tahun, dengan puncak lain
terlihat pada kelompok anak usia 9-15 tahun. Kemudian bronchitis kronik dapat mengenai
orang dengan semua umur namun lebih banyak pada orang diatas 45 tahun.
Lebih sering terjadi di musim dingin (di daerah non-tropis) atau musim hujan (di
daerah tropis)
Mulai seperti ISNA biasa, lalu turun ke bawah sesudah 2 – 4 hari.
D. Patofisiologi
Bronchitis akut terjadi karena adanya respon inflamasi dari membrane mukosa
bronkus. Pada orang dewasa, bronchitis kronik terjadi akibat hipersekresi mucus dalam
bronkus karena hipertrofi kelenjar submukosa dan penambahan jumlah sel goblet dalam
epitel saluran nafas. Pada sebagian besar pasien, hal ini disebabkan oleh paparan asap
rokok. Pembersihan mukosiliar menjadi terhambat karena produksi mucus yang berlebihan
dan kehilangan silia, menyebabkan batuk produktif.
Pada anak-anak, bronchitis kronik disebabkan oleh respon endogen, trauma akut
saluran pernafasan, atau paparan allergen atau iritan secara terus-menerus. Saluran nafas
akan dengan cepat merespon dengan bronkospasme dan batuk, diikuti inflamasi, udem, dan
produksi mucus.
Apabila terjadi paparan secara kronik terhadap epithelium pernafasan, seperti aspirasi
yang rekuren atau infeksi virus berulang, dapat menyebabkan terjadinya bronchitis kronik
pada anak-anak. Bakteri pathogen yang paling banyak menyebabkan infeksi salurang
respirasi bagian bawah pada anak-anak adalah Streptococcus pneumoniae. Haemophilus
influenzae dan Moraxella catarrhalis dapat pathogen pada balita (umur <5 tahun),
sedangkan Mycoplasma pneumoniae pada anak usia sekolah (umur >5-18 tahun).
E. Manifestasi Klinis
Gejala utama bronkitis akut adalah batuk-batuk yang dapat berlangsung 2-3 minggu.
Batuk bisa atau tanpa disertai dahak. Dahak dapat berwarna jernih, putih, kuning
kehijauan, atau hijau. Selain batuk, bronkitis akut dapat disertai gejala berikut ini :
1) Demam,
2) Sesak napas,
3) Bunyi napas mengi atau – ngik
4) Rasa tidak nyaman di dada atau sakit dada
Gejala bronkitis akut tidaklah spesifik dan menyerupai gejala infeksi saluran
pernafasan lainnya.
Referensi lain:
1) Batuk berdahak (dahaknya bisa berwarna kemerahan), sesak nafas ketika melakukan
olah raga atau aktivitas ringan, sering menderita infeksi pernafasan (misalnya flu),
bengek, lelah, pembengkakan pergelangan kaki, kaki dan tungkai kiri dan kanan,
wajah, telapak tangan atau selaput lendir yang berwarna kemerahan, pipi tampak
kemerahan, sakit kepala, gangguan penglihatan.
2) Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti pilek, yaitu
hidungberlendir, lelah, menggigil, sakit punggung, sakit otot, demam ringan dan nyeri
tenggorokan.
3) Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya batuk tidak
berdahak, tetapi 1 – 2 hari kemudian akan mengeluarkan dahak berwarna putih atau
kuning. Selanjutnya dahak akan bertambah banyak, berwarna kuning atau hijau.
4) Pada bronkitis berat, setelah sebagian besar gejala lainnya membaik, kadang terjadi
demam tinggi selama 3 – 5 hari dan batuk bisa menetap selama beberapa minggu.
5) Sesak nafas terjadi jika saluran udara tersumbat.
6) Sering ditemukan bunyi nafas mengi, terutama setelah batuk.
7) Bisa terjadi pneumonia
F. Diagnosis Banding
1) Epiglotitis
2) Bronkiolitis
G. Cara Diagnosis
1. Keluhan Pokok
Gatal-gatal di kerongkongan
Sakit di bawah sternum
Batuk kering/batuk berdahak
Sering merasa panas atau linu
2. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum baik: tidak tampak sakit berat, tidak sesak atau takipnea. Mungkin
ada nasofaringitis
Paru: ronki basah kasar yg tidak tetap (dapat hilang atau pindah setelah batuk),
wheezing dengan berbagai gradasi (perpanjangan ekspirasi hingga ngik-ngik)
dan krepitasi (suara kretek-kretek dengan menggunakan stetoskop).
Biasanya para dokter menegakkan diagnosa berdasarkan riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik. Itu sudah cukup.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Adapun pemeriksaan dahak maupun rontgen dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosa dan untuk menyingkirkan diagnosa penyakit lain. Bila
penyebabnya bakteri, sputumnya akan seperti nanah
Untuk pasien anak yang diopname, dilakukan tes C-reactive protein, kultur
pernafasan, kultur darah, kultur sputum, dan tes serum aglutinin untuk membantu
mengklasifikasikan penyebab infeksi apakah dari bakteri atau virus.
Untuk anak yang diopname dengan kemungkinan infeksi Chlamydia, mycoplasma,
atau infeksi virus saluran pernafasan bawah, lakukan pemeriksaan sekresi
nasofaringeal untuk membantu pemilihan antimikroba yang cocok. Serum IgM
mungkin dapat membantu.
Untuk anak yang telah diintubasi, ambil specimen dari secret pernafasan dalam
untuk pewarnaan gram, tes antigen ahlamydia dan virus, dan kultur bakteri dan
virus.
- respon terhadap pemberian kortikosteroid dosis tinggi setiap hari dapat
dipertimbangkan diagnose dan terapi untuk konfirmasi asma.
Tes keringat yang negative dengan menggunakan pilocarpine iontophoresis dapat
mengeluarkan kemungkinan fibrosis kistik.
Untuk anak yang diduga mengalami imunodefisiensi, pengukuran serum
immunoglobulin total, subkelas IgG, dan produksi antibodi spesifik
direkomendasikan untuk menegakkan diagnosis.
4. Tes Pencitraan
Dapat dijumpai temuan abnormal seperti atelektasis, hiperinflasi, dan penebalan
peribronkial.
Konsolidasi fokal biasanya tidak nampak.
5. Tes Lainnya
Tes fungsi paru dapat memperlihatkan obstruksi jalan nafas yang reversible
dengan menggunakan bronkodilator.
H. Penatalaksanaan Terapi
Sebagian besar pengobatan bronkitis akut bersifat simptomatis (meredakan keluhan).
Obat-obat yang lazim digunakan, yakni:
1. Antitusif (penekan batuk): DMP (dekstromethorfan) 15 mg, diminum 2-3 kali sehari.
Codein 10 mg, diminum 3 kali sehari. Doveri 100 mg, diminum 3 kali sehari. Obat-
obat ini bekerja dengan menekan batuk pada pusat batuk di otak. Karenanya antitusif
tidak dianjurkan pada kehamilan dan bagi ibu menyusui. Demikian pula pada anak-
anak, para ahli berpendapat bahwa antitusif tidak dianjurkan, terutama pada anak usia
6 tahun ke bawah. Pada penderita bronkitis akut yang disertai sesak napas,
penggunaan antitusif hendaknya dipertimbangkan dan diperlukan feed back dari
penderita. Jika penderita merasa tambah sesak, maka antitusif dihentikan.
2. Ekspektorant: adalah obat batuk pengencer dahak agar dahak mudah dikeluarkan
sehingga napas menjadi lega. Ekspektorant yang lazim digunakan diantaranya: GG
(glyceryl guaiacolate), bromhexine, ambroxol, dan lain-lain.
3. Antipiretik (pereda panas): parasetamol (asetaminofen), dan sejenisnya., digunakan
jika penderita demam.
4. Bronkodilator (melongarkan napas), diantaranya: salbutamol, terbutalin sulfat,
teofilin, aminofilin, dan lain-lain. Obat-obat ini digunakan pada penderita yang disertai
sesak napas atau rasa berat bernapas. Penderita hendaknya memahami bahwa
bronkodilator tidak hanya untuk obat asma, tapi dapat juga digunakan untuk
melonggarkan napas pada bronkitis. Selain itu, penderita hendaknya mengetahui efek
samping obat bronkodilator yang mungkin dialami oleh penderita, yakni: berdebar,
lemas, gemetar dan keringat dingin. Andaikata mengalami efek samping tersebut,
maka dosis obat diturunkan menjadi setengahnya. Jika masih berdebar, hendaknya
memberitahu dokter agar diberikan obat bronkodilator jenis lain.
5. Antibiotika. Hanya digunakan jika dijumpai tanda-tanda infeksi oleh kuman
berdasarkan pemeriksaan dokter.
I. Terapi lanjutan
1) Jika terapi antiinflamasi sudah dimulai, lanjutkan terapi hingga gejala menghilang
paling kurang 1 minggu. Bronkodilator bisa diberikan jika diperlukan.
2) Penatalaksanaan akut dapat dihentikan apabila gejala sudah menghilang, temuan
normal pada pemeriksaan fisik, dan fungsi paru normal.
3) Pasien yang didiagnosis dengan asma dapat diberikan terapi “controller”, yaitu
inhalasi terapi kortikosteroid, antihistamin, dan inhibitor leukotrin setiap hari.
4) Pasien dengan hipogammaglobulinemia memerlukan terapi pengganti.
J. Prognosis
K. Komplikasi
1. Bronkopneumoni
2. Pneumoni
3. Pleuritis
4. Penyakit-penyakit lain yang di perberat seperti : Jantung, Penyakit jantung
rematik, Hipertensi, dan Bronkiektasis
B. ETIOLOGI
a. Merokok
Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the United States
menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama terjadi bronkitis kronik
dan emfisema. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu satu detik
setelah forced expiratory maneuver (FEV 1), terjadi penurunan mendadak dalam
volume ekspirasi yang bergantung pada intensitas merokok. Merokok secara histologi
dapat menyebabkan inflamasi saluran napas, hipertrofi kalenjar sekresi mukosa dan
hiperplasia sel goblet dimana secara langsung faktor ini memicu untuk terjadi
bronkitis kronik. Prevalensi merokok yang tinggi di kalangan pria menjelaskan
penyebab tingginya prevalensi bronkitis kronik dikalangan pria. Sementara prevalensi
bronkitis kronik dikalangan wanita semakin meningkat akibat peningkatan jumlah
wanita yang merokok dari tahun ke tahun (Peter K, 2007).
b. Hiperesponsif saluran pernapasan
Inflamasi di saluran pernapasan penderita bronkitis menyebabkan modifikasi
saluran pernapasan. Ini adalah respon saluran pernapasan terhadap iritasi kronik,
seperti asap rokok. Inflamasi ini akan menyebabkan peningkatan sel inflamasi di
sirkulasi (faktor kemotatik) dan secara tidak langsung ia akan meningkatkan proses
inflamasi (sitokin proinflamasi). Mekanisme ini akan menyebabkan hiperesponsif
saluran pernapasan dan hiperesponsif ini akan memicu perubahan struktur saluran
pernapasan (GOLD, 2011).
c. Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk
perkembangan dan progresifitas bronkitis kronik pada orang dewasa. Dipercaya
bahwa infeksi saluran napas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor
predisposisi perkembangan bronkitis kronik. Meskipun infeksi saluran napas adalah
penyebab penting terjadinya eksaserbasi bronkitis kronik, hubungan infeksi saluran
napas dewasa dengan perkembangan bronkitis kronik masih belum bisa dibuktikan
(Vestbo J,2004).
d. Pemaparan akibat pekerjaan
Peningkatan gejala gangguan saluran pernapasan dan obstruksi saluran napas
juga bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu, debu, wap kimia selama bekerja. Di
negara yang kurang maju, pemaparan akibat pekerjaan dikatakan tinggi berbanding
negara yang maju karena undang- undang sektor pekerjaan yang kurang ketat.
Walaupun beberapa pekerjaan yang terpapar dengan debu dan gas berisiko untuk
mendapat bronkitis kronik, efek yang muncul adalah kurang jika dibandingkan dengan
efek akibat merokok (David Mannino, 2007).
e. Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran pernapasan
pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang berhubungan dengan polusi
udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun demikian, hubungan polusi udara dengan
terjadinya bronkitis kronik masih tidak bisa dibuktikan. Pemaparan terus-menerus
dengan asap hasil pembakaran biomass dikatakan menjadi faktor risiko yang
signifikan terjadinya bronkitis kronik pada kaum wanita di beberapa negara. Meskipun
begitu, polusi udara adalah faktor risiko yang kurang penting berbanding merokok
(David Mannino, 2007).
f. Faktor genetik
Defisiensi α1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko
untuk terjadinya bronkitis kronik. Insidensi kasus bronkitis kronik yang disebabkan
defisiensi α1- antitripsin di Amerika Serikat kurang daripada satu peratus. α1-
antitripsin merupakan inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja
menginhibisi neutrofil elastase di paru. Defisiensi α1-antitripsin yang berat
menyebabkan bronkitis kronik pada umur rata-rata 50 tahun untuk penderita dengan
riwayat merokok dan 40 tahun untuk penderita yang tidak merokok (Vestbo.J, 2004).
1. Bronkodilator
Diberikan dalam bentuk oral, kombinasi golongan beta 2 agonis dengan
golongan antikolinergik. Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuatkan
efek bronkodilatasi karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Masing-
masing dalam dosis suboptimal, sesuai dengan berat badan dan beratnya penyakit
sebagai dosis pemeliharaan. Contohnya aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinasi
dengan salbutamol 1 mg atau terbutalin 1 mg.
2. Kortikosteroid (Antiinflamasi)
Diberikan golongan metilprednisolon atau prednison, dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, setiap hari atau selang sehari dengan dosis minimal 250mg.
3. Antibiotik
Diberikan untuk mencegah dan mengobati eksaserbasi serta infeksi. Antibiotik
juga diberikan sekiranya ada peningkatan jumlah sputum, sputum berubah menjadi
purulen dan peningkatan sesak. Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman
setempat. Jenis antibiotik yang bisa diberikan adalah makrolid, sefalosporin generasi
II, generasi III, kuinolon dan flurokuinolon.
4. Ekspektoran
Diberikan obat batuk hitam (OBH)
5. Mukolitik
Diberikan pada eksaserbasi kerana akan mempercepatkan perbaikan
eksaserbasi dengan mengencerkan dahak. Gliseril guayakolat dapat diberikan bila
sputum mukoid tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
6. Antitusif
Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan sangat mengganggu.
Manfaatkan obat antitusif yang tersedia sesuai dengan perkiraan patogenesis yang
terjadi pada keluhan klinis. Perhatikan dosis dan waktu pemberian untuk menghindari
efek samping obat.
7. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, diberikan N-
asetilsistein.
Hal lain yang harus diberikan adalah pendidikan atau edukasi, karena
keterbatasan obat- obatan yang tersedia dan masalah sosiokultural lainnya, seperti
keterbatasan tingkat pendidikan dan pengetahuan penduduk, keterbatasan ekonomi
dan sarana kesehatan, edukasi di puskesmas ditujukan untuk mencegah bertambah
beratnya penyakit dengan cara menggunakan obat yang tersedia dengan tepat,
menyesuaikan keterbatasan aktivitas serta mencegah eksaserbasi. Keseimbangan
nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat juga harus dijaga. Asupan nutrisi
diberikan dalam porsi kecil tetapi sering. Kekurangan kalori dapat menyebabkan
meningkatnya derajat sesak semasa beraktiviti. Pemberian karbohidrat yang tinggi
pula menghasilkan karbon diosikda yang berlebihan. Dan yang terakhir adalah tahap
rehabilitasi dimana pasien harus diberikan latihan pernapasan dengan pursed-lips,
latihan ekspektorasi dan latihan otot pernapasan dan ekstremitas (PDPI, 2003).