You are on page 1of 17

COVER

Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit
menular di dunia. Hampir empat juta orang meninggal akibat infeksi saluran nafas setiap
tahun, 98%-nya disebabkan oleh infeksi saluran pernapasan bawah. Tingkat mortalitas sangat
tinggi pada bayi, anak- anak, dan orang lanjut usia, terutama di negara-negara dengan
pendapatan per kapita rendah dan menengah. Infeksi saluran nafas juga merupakan salah satu
penyebab utama konsultasi atau rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada
bagian perawatan anak.
Bronkitis akut merupakan penyakit infeksi pada saluran pernafasan yang setiap tahun
angkanya bertambah di Amerika Serikat. Di Amerika Serikat penyakit bronkitis menempati
peringkat kesepuluh penyebab terbanyak pada pasien yang menjalani perawatan medis di
rumah sakit. Kejadian paling banyak terjadi pada orang dewasa.
Ditinjau dari prevalensinya, di Indonesia dari 10 penyakit terbanyak pada rawat jalan,
penyakit saluran pernafasan menempati urutan pertama pada tahun 1999, menjadi kedua pada
tahun 2007 dan menjadi pertama pada tahun 2008. Berdasarkan hasil survey kesehatan
nasional 2001 diketahui bahwa penyakit infeksi saluran pernafasan bawah merupakan salah
satu infeksi yang penyebab kematian bayi kedua setelah perinatal.

1.2 Rumusan Masalah


1.3 Tujuan Penulisan
1.4 Manfaat Penulisan
BAB II ISI

2.1 Pengertian Bronkitis


Bronkitis adalah kondisi peradangan pada daerah trakheobronkhial, peradangan tidak
meluas sampai alveoli (Depkes RI, 2005). Definisi lebih lanjut bronkitis adalah suatu
peradangan pada bronkus, bronkhiali, dan trakhea (saluran udara ke paru-paru). Penyakit ini
biasanya bersifat ringan dan pada akhirnya akan sembuh sempurna. Tetapi pada penderita yang
memiliki penyakit menahun (misalnya penyakit jantung atau penyakit paru-paru) dan usia
lanjut, bronkitis bisa menjadi masalah serius (Arif, 2008).

2.2 Klasifikasi Bronkitis


Bronkitis seringkali diklasifikasikan sebagai akut atau kronik, penjelasannya sebagai
berikut :
2.2.1 Bronkitis akut
A. Pengertian
Bronkitis akut adalah serangan bronkitis dengan perjalanan penyakit yang singkat
(beberapa hari hingga beberapa minggu), rata-rata 10-14 hari. Bronkitis akut pada
umumnya ringan. Meski ringan, namun adakalanya sangat mengganggu, terutama jika
disertai sesak, dada terasa berat, dan batuk berkepanjangan.
Bronkitis akut adalah peradangan pada bronkus disebabkan oleh infeksi saluran nafas
yang ditandai dengan batuk (berdahak maupun tidak berdahak) yang berlangsung hingga 3
minggu.
Sebagian besar bronkitis akut disebabkan oleh infeksi virus dan dapat sembuh dengan
sendirinya, sehingga tidak memerlukan antibiotik. Meski ringan, namun adakalanya sangat
mengganggu, terutama jika disertai sesak, dada terasa berat, dan batuk
berkepanjangan.Antibiotik diperlukan apabila bronkitis akut disebabkan oleh infeksi
bakteri (pada sebagian kecil kasus bronkitis akut). Namun dokter masih sering memberikan
antibiotik pada pengobatan bronkitis akut. Padahal antibiotik tidak mempercepat
penyembuhan pada bronkitis akut tanpa komplikasi, dan justru pemberian antibiotik yang
berlebihan dapat meningkatkan kekebalan kuman (resistensi) terhadap antibiotik.

B. Etiologi
Bronkitis akut dapat disebabkan oleh :
1) Infeksi virus 90% : adenovirus, influenza virus, parainfluenza virus, rhinovirus, dan
lain-lain.
2) Infeksi bakteri : Bordatella pertussis, Bordatella parapertussis, Haemophilus
influenzae, Streptococcus pneumoniae, atau bakteri atipik (Mycoplasma pneumoniae,
Chlamydia pneumonia, Legionella)
3) Jamur
4) Noninfeksi : polusi udara, rokok, dan lain-lain.

C. Epidemiologi
Bonkitis akut paling banyak terjadi pada anak kurang dari 2 tahun, dengan puncak lain
terlihat pada kelompok anak usia 9-15 tahun. Kemudian bronchitis kronik dapat mengenai
orang dengan semua umur namun lebih banyak pada orang diatas 45 tahun.
Lebih sering terjadi di musim dingin (di daerah non-tropis) atau musim hujan (di
daerah tropis)
Mulai seperti ISNA biasa, lalu turun ke bawah sesudah 2 – 4 hari.

D. Patofisiologi
Bronchitis akut terjadi karena adanya respon inflamasi dari membrane mukosa
bronkus. Pada orang dewasa, bronchitis kronik terjadi akibat hipersekresi mucus dalam
bronkus karena hipertrofi kelenjar submukosa dan penambahan jumlah sel goblet dalam
epitel saluran nafas. Pada sebagian besar pasien, hal ini disebabkan oleh paparan asap
rokok. Pembersihan mukosiliar menjadi terhambat karena produksi mucus yang berlebihan
dan kehilangan silia, menyebabkan batuk produktif.
Pada anak-anak, bronchitis kronik disebabkan oleh respon endogen, trauma akut
saluran pernafasan, atau paparan allergen atau iritan secara terus-menerus. Saluran nafas
akan dengan cepat merespon dengan bronkospasme dan batuk, diikuti inflamasi, udem, dan
produksi mucus.
Apabila terjadi paparan secara kronik terhadap epithelium pernafasan, seperti aspirasi
yang rekuren atau infeksi virus berulang, dapat menyebabkan terjadinya bronchitis kronik
pada anak-anak. Bakteri pathogen yang paling banyak menyebabkan infeksi salurang
respirasi bagian bawah pada anak-anak adalah Streptococcus pneumoniae. Haemophilus
influenzae dan Moraxella catarrhalis dapat pathogen pada balita (umur <5 tahun),
sedangkan Mycoplasma pneumoniae pada anak usia sekolah (umur >5-18 tahun).
E. Manifestasi Klinis
Gejala utama bronkitis akut adalah batuk-batuk yang dapat berlangsung 2-3 minggu.
Batuk bisa atau tanpa disertai dahak. Dahak dapat berwarna jernih, putih, kuning
kehijauan, atau hijau. Selain batuk, bronkitis akut dapat disertai gejala berikut ini :
1) Demam,
2) Sesak napas,
3) Bunyi napas mengi atau – ngik
4) Rasa tidak nyaman di dada atau sakit dada
Gejala bronkitis akut tidaklah spesifik dan menyerupai gejala infeksi saluran
pernafasan lainnya.
Referensi lain:
1) Batuk berdahak (dahaknya bisa berwarna kemerahan), sesak nafas ketika melakukan
olah raga atau aktivitas ringan, sering menderita infeksi pernafasan (misalnya flu),
bengek, lelah, pembengkakan pergelangan kaki, kaki dan tungkai kiri dan kanan,
wajah, telapak tangan atau selaput lendir yang berwarna kemerahan, pipi tampak
kemerahan, sakit kepala, gangguan penglihatan.
2) Bronkitis infeksiosa seringkali dimulai dengan gejala seperti pilek, yaitu
hidungberlendir, lelah, menggigil, sakit punggung, sakit otot, demam ringan dan nyeri
tenggorokan.
3) Batuk biasanya merupakan tanda dimulainya bronkitis. Pada awalnya batuk tidak
berdahak, tetapi 1 – 2 hari kemudian akan mengeluarkan dahak berwarna putih atau
kuning. Selanjutnya dahak akan bertambah banyak, berwarna kuning atau hijau.
4) Pada bronkitis berat, setelah sebagian besar gejala lainnya membaik, kadang terjadi
demam tinggi selama 3 – 5 hari dan batuk bisa menetap selama beberapa minggu.
5) Sesak nafas terjadi jika saluran udara tersumbat.
6) Sering ditemukan bunyi nafas mengi, terutama setelah batuk.
7) Bisa terjadi pneumonia

F. Diagnosis Banding
1) Epiglotitis
2) Bronkiolitis

G. Cara Diagnosis
1. Keluhan Pokok
 Gatal-gatal di kerongkongan
 Sakit di bawah sternum
 Batuk kering/batuk berdahak
 Sering merasa panas atau linu

2. Pemeriksaan Fisik
 Keadaan umum baik: tidak tampak sakit berat, tidak sesak atau takipnea. Mungkin
ada nasofaringitis
 Paru: ronki basah kasar yg tidak tetap (dapat hilang atau pindah setelah batuk),
wheezing dengan berbagai gradasi (perpanjangan ekspirasi hingga ngik-ngik)
dan krepitasi (suara kretek-kretek dengan menggunakan stetoskop).
 Biasanya para dokter menegakkan diagnosa berdasarkan riwayat penyakit dan
pemeriksaan fisik. Itu sudah cukup.

3. Pemeriksaan Laboratorium
 Adapun pemeriksaan dahak maupun rontgen dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosa dan untuk menyingkirkan diagnosa penyakit lain. Bila
penyebabnya bakteri, sputumnya akan seperti nanah
 Untuk pasien anak yang diopname, dilakukan tes C-reactive protein, kultur
pernafasan, kultur darah, kultur sputum, dan tes serum aglutinin untuk membantu
mengklasifikasikan penyebab infeksi apakah dari bakteri atau virus.
 Untuk anak yang diopname dengan kemungkinan infeksi Chlamydia, mycoplasma,
atau infeksi virus saluran pernafasan bawah, lakukan pemeriksaan sekresi
nasofaringeal untuk membantu pemilihan antimikroba yang cocok. Serum IgM
mungkin dapat membantu.
 Untuk anak yang telah diintubasi, ambil specimen dari secret pernafasan dalam
untuk pewarnaan gram, tes antigen ahlamydia dan virus, dan kultur bakteri dan
virus.
- respon terhadap pemberian kortikosteroid dosis tinggi setiap hari dapat
dipertimbangkan diagnose dan terapi untuk konfirmasi asma.
 Tes keringat yang negative dengan menggunakan pilocarpine iontophoresis dapat
mengeluarkan kemungkinan fibrosis kistik.
 Untuk anak yang diduga mengalami imunodefisiensi, pengukuran serum
immunoglobulin total, subkelas IgG, dan produksi antibodi spesifik
direkomendasikan untuk menegakkan diagnosis.
4. Tes Pencitraan
 Dapat dijumpai temuan abnormal seperti atelektasis, hiperinflasi, dan penebalan
peribronkial.
 Konsolidasi fokal biasanya tidak nampak.

5. Tes Lainnya
Tes fungsi paru dapat memperlihatkan obstruksi jalan nafas yang reversible
dengan menggunakan bronkodilator.

H. Penatalaksanaan Terapi
Sebagian besar pengobatan bronkitis akut bersifat simptomatis (meredakan keluhan).
Obat-obat yang lazim digunakan, yakni:
1. Antitusif (penekan batuk): DMP (dekstromethorfan) 15 mg, diminum 2-3 kali sehari.
Codein 10 mg, diminum 3 kali sehari. Doveri 100 mg, diminum 3 kali sehari. Obat-
obat ini bekerja dengan menekan batuk pada pusat batuk di otak. Karenanya antitusif
tidak dianjurkan pada kehamilan dan bagi ibu menyusui. Demikian pula pada anak-
anak, para ahli berpendapat bahwa antitusif tidak dianjurkan, terutama pada anak usia
6 tahun ke bawah. Pada penderita bronkitis akut yang disertai sesak napas,
penggunaan antitusif hendaknya dipertimbangkan dan diperlukan feed back dari
penderita. Jika penderita merasa tambah sesak, maka antitusif dihentikan.
2. Ekspektorant: adalah obat batuk pengencer dahak agar dahak mudah dikeluarkan
sehingga napas menjadi lega. Ekspektorant yang lazim digunakan diantaranya: GG
(glyceryl guaiacolate), bromhexine, ambroxol, dan lain-lain.
3. Antipiretik (pereda panas): parasetamol (asetaminofen), dan sejenisnya., digunakan
jika penderita demam.
4. Bronkodilator (melongarkan napas), diantaranya: salbutamol, terbutalin sulfat,
teofilin, aminofilin, dan lain-lain. Obat-obat ini digunakan pada penderita yang disertai
sesak napas atau rasa berat bernapas. Penderita hendaknya memahami bahwa
bronkodilator tidak hanya untuk obat asma, tapi dapat juga digunakan untuk
melonggarkan napas pada bronkitis. Selain itu, penderita hendaknya mengetahui efek
samping obat bronkodilator yang mungkin dialami oleh penderita, yakni: berdebar,
lemas, gemetar dan keringat dingin. Andaikata mengalami efek samping tersebut,
maka dosis obat diturunkan menjadi setengahnya. Jika masih berdebar, hendaknya
memberitahu dokter agar diberikan obat bronkodilator jenis lain.
5. Antibiotika. Hanya digunakan jika dijumpai tanda-tanda infeksi oleh kuman
berdasarkan pemeriksaan dokter.

I. Terapi lanjutan
1) Jika terapi antiinflamasi sudah dimulai, lanjutkan terapi hingga gejala menghilang
paling kurang 1 minggu. Bronkodilator bisa diberikan jika diperlukan.
2) Penatalaksanaan akut dapat dihentikan apabila gejala sudah menghilang, temuan
normal pada pemeriksaan fisik, dan fungsi paru normal.
3) Pasien yang didiagnosis dengan asma dapat diberikan terapi “controller”, yaitu
inhalasi terapi kortikosteroid, antihistamin, dan inhibitor leukotrin setiap hari.
4) Pasien dengan hipogammaglobulinemia memerlukan terapi pengganti.

J. Prognosis

K. Komplikasi
1. Bronkopneumoni
2. Pneumoni
3. Pleuritis
4. Penyakit-penyakit lain yang di perberat seperti : Jantung, Penyakit jantung
rematik, Hipertensi, dan Bronkiektasis

2.2.2 Bronkitis Kronis


A. Pengertian
Bronkitis kronis adalah suatu kondisi peningkatan pembengkakan dan lendir
(dahak atau sputum) produksi dalam tabung pernapasan (saluran udara). Obstruksi
jalan napas terjadi pada bronkitis kronis karena pembengkakan dan lendir ekstra
menyebabkan bagian dalam tabung pernapasan lebih kecil dari normal. Diagnosis
bronkitis kronis dibuat berdasarkan gejala batuk yang menghasilkan lendir atau dahak
di hampir setiap hari, selama tiga bulan, selama dua tahun atau lebih (setelah penyebab
lain untuk batuk telah dikeluarkan). (PDPI, 2003)
Bronkitis kronik merupakan salah satu komponen dari Penyakit Paru Obstruksi
Kronis (PPOK). Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) didefinisikan sebagai
penyakit yang dikarakterisir oleh adanya peningkatan resistensi aliran udara
(obstruksi) pada saluran pernapasan yang tidak sepenuhnya reversibel. Sumbatan
aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan berkaitan dengan respon inflamasi
abnormal paru-paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (Ikawati, 2011).

B. ETIOLOGI

a. Merokok
Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the United States
menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko utama terjadi bronkitis kronik
dan emfisema. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam waktu satu detik
setelah forced expiratory maneuver (FEV 1), terjadi penurunan mendadak dalam
volume ekspirasi yang bergantung pada intensitas merokok. Merokok secara histologi
dapat menyebabkan inflamasi saluran napas, hipertrofi kalenjar sekresi mukosa dan
hiperplasia sel goblet dimana secara langsung faktor ini memicu untuk terjadi
bronkitis kronik. Prevalensi merokok yang tinggi di kalangan pria menjelaskan
penyebab tingginya prevalensi bronkitis kronik dikalangan pria. Sementara prevalensi
bronkitis kronik dikalangan wanita semakin meningkat akibat peningkatan jumlah
wanita yang merokok dari tahun ke tahun (Peter K, 2007).
b. Hiperesponsif saluran pernapasan
Inflamasi di saluran pernapasan penderita bronkitis menyebabkan modifikasi
saluran pernapasan. Ini adalah respon saluran pernapasan terhadap iritasi kronik,
seperti asap rokok. Inflamasi ini akan menyebabkan peningkatan sel inflamasi di
sirkulasi (faktor kemotatik) dan secara tidak langsung ia akan meningkatkan proses
inflamasi (sitokin proinflamasi). Mekanisme ini akan menyebabkan hiperesponsif
saluran pernapasan dan hiperesponsif ini akan memicu perubahan struktur saluran
pernapasan (GOLD, 2011).
c. Infeksi saluran pernapasan
Infeksi saluran pernapasan adalah faktor risiko yang berpotensi untuk
perkembangan dan progresifitas bronkitis kronik pada orang dewasa. Dipercaya
bahwa infeksi saluran napas pada masa anak-anak juga berpotensi sebagai faktor
predisposisi perkembangan bronkitis kronik. Meskipun infeksi saluran napas adalah
penyebab penting terjadinya eksaserbasi bronkitis kronik, hubungan infeksi saluran
napas dewasa dengan perkembangan bronkitis kronik masih belum bisa dibuktikan
(Vestbo J,2004).
d. Pemaparan akibat pekerjaan
Peningkatan gejala gangguan saluran pernapasan dan obstruksi saluran napas
juga bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu, debu, wap kimia selama bekerja. Di
negara yang kurang maju, pemaparan akibat pekerjaan dikatakan tinggi berbanding
negara yang maju karena undang- undang sektor pekerjaan yang kurang ketat.
Walaupun beberapa pekerjaan yang terpapar dengan debu dan gas berisiko untuk
mendapat bronkitis kronik, efek yang muncul adalah kurang jika dibandingkan dengan
efek akibat merokok (David Mannino, 2007).
e. Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran pernapasan
pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang berhubungan dengan polusi
udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun demikian, hubungan polusi udara dengan
terjadinya bronkitis kronik masih tidak bisa dibuktikan. Pemaparan terus-menerus
dengan asap hasil pembakaran biomass dikatakan menjadi faktor risiko yang
signifikan terjadinya bronkitis kronik pada kaum wanita di beberapa negara. Meskipun
begitu, polusi udara adalah faktor risiko yang kurang penting berbanding merokok
(David Mannino, 2007).
f. Faktor genetik
Defisiensi α1-antitripsin adalah satu-satunya faktor genetik yang berisiko
untuk terjadinya bronkitis kronik. Insidensi kasus bronkitis kronik yang disebabkan
defisiensi α1- antitripsin di Amerika Serikat kurang daripada satu peratus. α1-
antitripsin merupakan inhibitor protease yang diproduksi di hati dan bekerja
menginhibisi neutrofil elastase di paru. Defisiensi α1-antitripsin yang berat
menyebabkan bronkitis kronik pada umur rata-rata 50 tahun untuk penderita dengan
riwayat merokok dan 40 tahun untuk penderita yang tidak merokok (Vestbo.J, 2004).

2.1.3. Patofisiologi bronkitis kronik


Perubahan struktur pada saluran pernapasan menimbulkan perubahan
fisiologik yang merupakan gejala bronkitis kronik seperti batuk kronik, produksi
sputum, obstruksi jalan napas, gangguan pertukaran gas, hipertensi pulmonal dank
atau pulmonale. Akibat perubahan bronkial terjadi gangguan pertukaran gas yang
menimbulkan dua masalah serius yaitu:
1. Aliran darah dan aliran udara ke dinding alveoli tidak sesuai dimana
berlaku mismatched. Sebagian tempat alveoli terdapat aliran darah yang adekuat tetapi
sangat sikit aliran udara dan sebagian tempat lain sebaliknya.
2. Prestasi yang menurun dari pompa respirasi terutama otot-otot respirasi
sehingga terjadi overinflasi dan penyempitan jalan napas, menimbulkan hipoventalasi
dan tidak cukupnya udara ke aveoli menyebabkan karbon dioksida darah meningkat
dan oksigen dalam darah berkurang. Mekanisme patofisiologi yang bertanggung
jawab pada bronkitis kronik sangat kompleks, berawal dari rangsang iritasi pada jalan
napas menimbulkan 4 hal besar seperti inflamasi jalan napas, hipersekresi mukus,
disfungsi silia dan rangsangan reflex vagal saling mempengaruhi dan berinteraksi
menimbulkan suatu proses yang sangat kompleks (Sanjay Sethi, 1999).

2.1.4. Gejala-gejala bronkitis kronik


Bronkitis kronik sering dikaitkan dengan gejala eksaserbasi akut dimana
kondisi pasien mengalami perburukan dari kondisi sebelumnya dan bersifat akut.
Eksaserbasi akut ini dapat ditandai dengan gejala yang khas, seperti sesak napas yang
semakin memburuk, batuk produktif dengan perubahan volume atau purulensi sputum
atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti malaise, kelelahan dan
gangguan tidur. Gejala klinis bronkitis kronik eksaserbasi akut ini dapat dibagikan
menjadi dua yaitu gejala respirasi dan gejala sistemik. Gejala respirasi berupa sesak
napas yang semakin bertambah berat, peningkatan volume dan purulensi sputum,
batuk yang semakin sering, dan napas yang dangkal dan cepat. Gejala sistemik
ditandai dengan peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi serta gangguan
status mental pasien (GOLD, 2011).

2.1.5. Diagnosis bronkitis kronik


Gejala dan tanda bronkitis kronik sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala,
gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan jelas dan
tanda inflasi paru. Penderita bronkitis kronik akan datang ke dokter dan mengeluhkan
sesak napas, batuk-batuk kronik, sputum yang produktif, serta adanya riwayat faktor
resiko. Sedangkan bronkitis kronik ringan dapat tanpa keluhan atau gejala.(PDPI,
2003).
Diagnosis dapat ditegakkan yang pertama yakni dengan anamnesis meliputi
keluhan utama dan keluhan tambahan. Biasanya keluhan pasien adalah batuk maupun
sesak napas yang kronik dan berulang. Pada bronkitis kronik gejala batuk sebagai
keluhan yang menonjol, batuk disertai dahak yang banyak, kadang kental dan kalau
berwarna kekuningan pertanda adanya super infeksi bakterial. Gangguan pernapasan
kronik pada bronkitis kronik secara progresif memperburuk fungsi paru dan
keterbatasan aliran udara khususnya saat ekspirasi, dan komplikasi dapat terjadi

gangguan pernapasan dan jantung. Perburukan penyakit menyebabkan


menurunnya kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari, bahkan sampai
kehilangan kualitas hidup (PDPI, 2003).
Adanya riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan. Riwayat terpajan zat iritan di tempat kerja juga sering ditemukan.
Kemudian adanya riwayat penyakit pada keluarga dan terdapat faktor predisposisi
pada masa anak, misalnya berat badan lahir rendah, infeksi saluran napas berulang dan
lingkungan asap rokok dan polusi udara. Kemudian adanya batuk berulang dengan
atau tanpa dahak dan sesak dengan atau tanpa bunyi mengi. Kemudian dilakukan
pemeriksaan fisik, pada inspeksi didapati pursed - lips breathing atau sering dikatakan
mulut setengah terkatup atau mulut mencucu. Lalu adanya barrel chest (diameter
antero - posterior dan transversal sebanding). Pada saat bernapas dapat ditemukan
penggunaan otot bantu napas dan hipertropi otot bantu napas. Pelebaran sela iga dan
bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis leher dan edema
tungkai serta adanya penampilan pink puffer atau blue bloater. Pada saat palpasi
didapati stem fremitus yang lemah dan adanya pelebaran iga. Pada saat perkusi akan
didapati hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah. Auskultasi berguna untuk mendengar apakah suara napas
vesikuler normal, atau melemah, apakah terdapat ronki atau mengi pada waktu
bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa, ekspirasi memanjang dan bunyi jantung
terdengar jauh. (PDPI, 2003)
Pemeriksaan penunjang yang rutin dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosa adalah faal paru, dengan menggunakan spirometri. Apabila spirometri tidak
tersedia, arus puncak ekspirasi (APE) meter walaupun kurang tepat, namun dapat
dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi dan sore. Lalu uji
faal paru lain yang dapat dilakukan adalah uji bronkodilator biasa untuk bronkitis
kronik stabil. Selain faal paru, pemeriksaan rutin lain dilakukan adalah darah rutin
dengan melihat leukosit, hemoglobin dan hematokrit. Pemeriksaan radiologi yakni
foto toraks posisi posterior anterior (PA) untuk melihat apakah ada gambaran restriksi
bronkial.
Pemeriksaan lain yang dapat digunakan adalah pemeriksaan faal paru dengan
pengukuran Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru
Total (KPT), VR/KRF dan lain-lain. Lalu lainnya adalah uji latih kardiopulmoner, uji
provokasi bronkus, uji coba kortikosteroid, analisis gas darah, sinar Computerized
Tomography (CT Scan) resolusi tinggi, elektrokardiografi, ekokardiografi,
bakteriologi dan kadar alfa-1 antitripsin (PDPI 2003).

2.1.6. Penatalaksanaan bronkitis kronik


Sebelum melakukan penatalaksanaan terhadap bronkitis kronik, seorang dokter
harus dapat membedakan keadaan pasien sama ada apakah pasien tersebut mengalami
serangan (eksaserbasi) atau dalam keadaan stabil. Hal ini dikarenakan penatalaksanaan
dari kedua jenis ini berbeda. Tujuan penatalaksanaan pada keadaan stabil adalah untuk
mempertahankan fungsi paru, meningkatkan kualitas hidup dan mencegah eksaserbasi.
Penatalaksanaan bronkitis kronik stabil dilaksanakan di poliklinik sebagai evaluasi
berkala atau dirumah untuk mempertahankan bronkitis kronik yang stabil dan
mencegah eksaserbasi. (PDPI, 2003)
Penatalaksanaan bronkitis kronik stabil meliputi pemberian obat-obatan,
edukasi, nutrisi, rehabilitasi dan rujukan ke spesialis paru rumah sakit. Dalam
penatalaksanaan bronkitis kronik yang stabil termasuk adalah melanjutkan pengobatan
pemeliharaan dari rumah sakit atau dokter spesialis paru, baik setelah mengalami
serangan berat atau evaluasi spesialistik lainnya, seperti pemeriksaan fungsi paru dan
analisis gas darah. Obat-obatan diberikan dengan tujuan untuk mengurangi laju
beratnya penyakit dan mempertahankan keadaan stabil yang telah tercapai dengan
mempertahankan bronkodilatasi dan penekanan inflamasi. Tujuan utama pengobatan
adalah untuk meredakan gejala, mencegah progresifitas penyakit, meningkatkan
toleransi pada aktiviti seharian, memperbaiki status kesehatan, mengobati komplikasi,
dan mencegah eksaserbasi berikut. Obat-obatan yang digunakan adalah:

1. Bronkodilator
Diberikan dalam bentuk oral, kombinasi golongan beta 2 agonis dengan
golongan antikolinergik. Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuatkan
efek bronkodilatasi karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Masing-
masing dalam dosis suboptimal, sesuai dengan berat badan dan beratnya penyakit
sebagai dosis pemeliharaan. Contohnya aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinasi
dengan salbutamol 1 mg atau terbutalin 1 mg.
2. Kortikosteroid (Antiinflamasi)
Diberikan golongan metilprednisolon atau prednison, dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, setiap hari atau selang sehari dengan dosis minimal 250mg.

3. Antibiotik
Diberikan untuk mencegah dan mengobati eksaserbasi serta infeksi. Antibiotik
juga diberikan sekiranya ada peningkatan jumlah sputum, sputum berubah menjadi
purulen dan peningkatan sesak. Pemilihan antibiotik disesuaikan dengan pola kuman
setempat. Jenis antibiotik yang bisa diberikan adalah makrolid, sefalosporin generasi
II, generasi III, kuinolon dan flurokuinolon.

4. Ekspektoran
Diberikan obat batuk hitam (OBH)

5. Mukolitik
Diberikan pada eksaserbasi kerana akan mempercepatkan perbaikan
eksaserbasi dengan mengencerkan dahak. Gliseril guayakolat dapat diberikan bila
sputum mukoid tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

6. Antitusif
Kodein hanya diberikan bila batuk kering dan sangat mengganggu.
Manfaatkan obat antitusif yang tersedia sesuai dengan perkiraan patogenesis yang
terjadi pada keluhan klinis. Perhatikan dosis dan waktu pemberian untuk menghindari
efek samping obat.

7. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup, diberikan N-
asetilsistein.
Hal lain yang harus diberikan adalah pendidikan atau edukasi, karena
keterbatasan obat- obatan yang tersedia dan masalah sosiokultural lainnya, seperti
keterbatasan tingkat pendidikan dan pengetahuan penduduk, keterbatasan ekonomi
dan sarana kesehatan, edukasi di puskesmas ditujukan untuk mencegah bertambah
beratnya penyakit dengan cara menggunakan obat yang tersedia dengan tepat,
menyesuaikan keterbatasan aktivitas serta mencegah eksaserbasi. Keseimbangan
nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat juga harus dijaga. Asupan nutrisi
diberikan dalam porsi kecil tetapi sering. Kekurangan kalori dapat menyebabkan
meningkatnya derajat sesak semasa beraktiviti. Pemberian karbohidrat yang tinggi
pula menghasilkan karbon diosikda yang berlebihan. Dan yang terakhir adalah tahap
rehabilitasi dimana pasien harus diberikan latihan pernapasan dengan pursed-lips,
latihan ekspektorasi dan latihan otot pernapasan dan ekstremitas (PDPI, 2003).

You might also like