Professional Documents
Culture Documents
II/10/2013
I. Gambaran Kasus
Terjadi sengketa pajak antara pihak terbanding dengan pihak pemohon banding dimana pihak
terbanding menemukan selisih kurang pada pengenaan pajak PPh pasal 21 di tahun 2006
sebesar Rp.14.534.514.775,00 pada pihak pemohon banding.
Sengketa ini terjadi karena pihak terbanding melakukan koreksi pengenaan pajak PPh pasal
21 berdasarkan ekualisasi yaitu pengecekan kesesuaian antaran satu jenis pajak dengan jenis
pajak lainnya yang memiliki hubungan dengan menyamakan biaya atau pendapatan (obyek
pajak) pada laporan keuangan dengan biaya atau pendapatan yang dilaporkan pada SPT
tahunan. Namun pihak pemohon banding menolak hal tersebut karena menganggap biaya-
biaya tersebut tidak semuanya objek PPh 21.
Dalam kasus ini ada 3 pihak yang terlibat yaitu pihak terbanding, pemohon banding, dan
majelis. Secara umum pemohon banding dalam hal ini adalah WP sudah melakukan
pelaporan dan pembayaran pajak PPh 21 dengan benar. Selisih yang muncul karena koreksi
yang dilakukan pihak terbanding melalkui ekualisasi secara aturan juga sah, namun praktek
atau penerapan ekualisasi itu sendiri kurang sesuai karena memasukan biaya yang bukan
seharusnya menjadi objek pajak seperti biaya tenaga kerja outsourcing, iuran Jaminan
Kecelakaan Kerja (JKK), iuran Jaminan Kematian (JKM) dan iuran Jaminan Hari Tua (JHT).
Seharusnya pihak terbanding melakukan kajian terlebih dahulu sebelum melakukan
ekualisasi sehingga koreksi yang dilakukan bisa benar-benar mencerminkan keadaan yang
sebenarnya. Bagi pihak majelis seharusnya juga mempertimbangkan keabsahan koreksi yang
dilakukan pihak terbanding dan mempertimbangkan bukti berupa berkas-berkas yang
disampaikan pihak pemohon banding. Karena bukti tersebut sudah cukup kuat untuk
membuktikan bahwa pelaporan SPT tahunan dan pembayarannya sudah dilakukan dengan
benar.
Putusan Pengadilan Pajak : PUT.28910/PP/M.X/13/2011
I. Gambaran Kasus
Adanya sengkera antara pihak terbanding dalam hal ini adalah DJP dengan pihak
pemohon Bnding dimana pihak terbanding menemukan adanya PPh pasal 26 yang belum
dibayarkan yaitu pada bagian bunga sebesar 333.020.723.183. Namun pihak pemohon
banding menyangkal hal tersebut karena merasa sudah menaati aturan perpajakan dengan
menerapkan Tax Treaty dimana pajak terutang PPh 26 diakhiri ketika terjadi
pembayaran.
Hal yang menentukan seorang individu atau perusahaan dikategorikan sebagai wajib
pajak luar negeri adalah:
a. Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun/12 bulan, dan perusahaan yang tidak
didirikan atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia.
b. Semua badan usaha yang melakukan transaksi pembayaran (gaji, bunga, dividen,
royalti dan sejenisnya) kepada Wajib Pajak Luar Negeri, diwajibkan untuk memotong
Pajak Penghasilan Pasal 26 atas transaksi tersebut.
Berdasarkan PMK RI Nomor 9/PMK.03/2018 tentang SPT, pelaporan SPT PPh pasal 26
wajib e-Filing sejak 1 April 2018.
Tarif umum untuk PPh pasal 26 adalah 20%. Namun jika mengikuti tax treaty/Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B), maka tarif dapat berubah.
Tarif untuk Pajak Penghasilan Pasal 26 (PPh Pasal 26). Tarif 20% (final) atas jumlah
bruto yang dikenakan atas:
a. Dividen
b. Bunga, termasuk premium, diskonto, insentif yang terkait dengan jaminan
pembayaran pinjaman.
c. Royalti, sewa, dan pendapatan lain yang terkait dengan penggunaan asset
d. Insentif yang berkaitan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan
e. Hadiah dan penghargaan
f. Pensiun dan pembayaran berkala
g. Premi swap dan transaksi lindung lainnya
Perolehan keuntungan dari penghapusan utang
Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan dari:
a. Pendapatan dari penjualan aset di Indonesia.
b. Premi asuransi, premi reasuransi yang dibayarkan langsung maupun melalui pialang
kepada perusahaan asuransi di luar negeri.
Tarif 20% (final) dari laba bersih yang diharapkan selama penjualan atau pengalihan
saham perusahaan antara perusahaan media atau perusahaan tujuan khusus yang
didirikan atau bertempat di negara yang memberikan perlindungan pajak yang memiliki
hubungan khusus untuk suatu entitas atau bentuk usaha tetap (BUT) didirikan di
Indonesia.
Tarif 20% yang dipungut dari penghasilan kena pajak setelah dikurangi dengan pajak,
suatu bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia, kecuali penghasilan tersebut ditanamkan
kembali di Indonesia.
Tingkat berdasarkan tax treaty (perjanjian pajak) yang dikenal sebagai JGI Penghindaran
Pajak berganda (P3B) antara Indonesia dan negara-negara lain yang berada dalam
perjanjian, mungkin berbeda satu sama lain. Tarif mereka biasanya mengurangi tingkat
dari tarif biasa 20%, dan beberapa mungkin memiliki tarif 0%.
I. POKOK PERMASALAHAN
Terjadi koreksi atas DPP PPh 26 dari masa pajak Januari hingga Desember 2006 atas
koreksi atas Service Fee Rp 1.310.582.069,00 dan Marketing Research Rp 626.840.179,00
dengan keterangan :
a. Service fee dari Kantor Pusat sebesar Rp 1.065.844.197 dan kepada kantor
cabang sebesar Rp 244.737.872 yang semula adalah imbalan jasa
direklasifikasikan sebagai dividen terselubung dan dianggap pengeluaran tersebut
sebagai pembayaran atas biaya-biaya oleh kator pusat dalam rangka membina
hubungan baik dengan klien unit terutama dengan kantor pusat mereka yang
berada di Jepang. Namun pemohon melakukan banding menyatakan tidak setuju
dengan koreksi tersebut sesuai dengan persetujuan penghindaran pajak berganda
yang dilakukan antara pemerintahan Jepang dengan Indonesia sehingga biaya
service fee tidak terhutang PPh Pasal 26.
b. Terjadi koreksi atas DPP PPh 26 atas koreksi Marketing Research sebesar Rp
626.840.197,00. Semula, jasa ini direklasifikasikan sebagai dividen terselubung.
Namun pemohon melakukan banding dan melampirkan bukti surat keterangan
domisili dari pusat dan sebagai bukti bahwa rekanan adalah WP yang telah
melakukan kewajiban perpajakan di negaranya. Pemohon melakukan banding
dengan alasan bahwa biaya tersebut dikeluarkan atas pembayaran jasa dalam
rangka memperolah masukan dari konsumen, analisa tren pemasaran, perilaku
konsumen dan juga untuk membuat suatu strategi pemasaran guna meningkatkan
penjualan dari produk klien pemohon banding sehingga tidak seharusnya terutang
PPh Pasal 26.
Pemohon telah melakukan manajemen perpajakan dengan benar. Atas kasus diatas,
service fee dan marketing research bukan merupakan pembagian dividen terselubung dan
pemohon dapat memberikan bukti-bukti kepada fiskus. Pemohon merupakan perusahaan
swasta yang melakuakan kerjasama dengan klien dari luar negeri dimana melakukan
kegiatan jasa yang dilakukan di luar negeri dengan melakukan tax treaty. Tax treaty adalah
perjanjian perpajakan antara dua negara yang dibuat dalam rangka meminimalisir perpajakan
berganda dan berbagai usaha penghindaran pajak. Perjanjian ini digunakan oleh penduduk
dua negara untuk menentukan aspek perpajakan yang timbul dari suatu transaksi di antara
mereka. Penentuan aspek perpajakan tersebut dilakukan berdasarkan klausul-klausul yang
terdapat dalam tax treaty yang bersangkutan sesuai jenis transaksi yang sedang dihadapi.
Namun berkaitan dengan keinginan tersebut, tentu harus ada batas-batas atau aturan yang
jelas hingga bisnis yang dilakukan. Dalam kasus ini adalah BUT aktivitas. Timbulnya BUT
tipe ini ditandai dengan adanya aktivitas yang melebihi batas waktu tertentu (time test) yang
dilakukan di negara lain. Aktivitas tersebut bisa berupa pelaksanaan berbagai macam jasa
(seperti jasa konstruksi atau jasa-jasa lainnya). Lamanya time test yang digunakan dapat
berbeda-beda antara satu tax treaty dan tax treaty yang lain. Time test ini disesuaikan dengan
kesepakatan dari kedua negara. Dan harus melakukan pembuatan Certificate of Domicile
(COD). Wajib Pajak dapat mengajukan SKD ke kantor pajak terdaftar jika memenuhi syarat :
Pemohon melampirkan SKD dari pusat yaitu Jepang dan cabang sebagai bukti bahwa
pihak rekanan adalah WP yang telah melakukan kewajiban perpajakan di negaranya. WP bisa
dikenakan PPh Pasal 26 jika melakukan kegiatan jasanya di Indonesia. Namun pada kasus
ini, kegiatan jasa dilakukan di negaranya. Jasa atas service fee dan marketing research
diterima oleh WP luar negeri yang didapat dari WP dalam negeri, yaitu pemohon. Jasa
service fee dan marketing research juga dilakukan di luar negeri yang telah memiliki SKD
sehingga Indonesia tidak dapat mengenakan pajak penghasilan atas imbalan jasa tersebut.