You are on page 1of 12

Put.43151/PP/M.

XI/16/2013

I. POKOK PERMASALAHAN
Terjadi pokok sengketa berupa koreksi positif Pajak Masukan PPN Masa Pajak Juli sampai
dengan Desember 2007 sebesar Rp910.665.795,00; Koreksi Pajak Masukan yang tidak dapat
dikreditkan sebesar Rp755.462.300,00.
Menurut Terbanding :
Bahwa kegiatan usaha Pemohon Banding meliputi pabrik kelapa sawit dan perkebunan kelapa
sawit yang atas penyerahan TBS (Tandan Buah segar) dari perkebunan kelapa sawit tersebut
dibebaskan dari pengenaan PPN. Berdasarkan penelitian terhadap Faktur Pajak dan
hubungannya dengan kegiatan usaha diketahui / ditemukan adanya Faktur Pajak yang tidak
dapat dikreditkan sebanyak 11 (sebelas) Faktur Pajak yaitu atas pembelian pupuk, dan egrek
(alat pertanian) sebesar Rp755.462.300,00, karena merupakan pembelian untuk keperluan
perkebunan kelapa sawit dimana PPN atas penyerahan Tandan Buah Segar dibebaskan.
Menurut Pemohon Banding :
Bahwa berdasarkan rekapitulasi dari semua Faktur Pajak dapat Pemohon Banding sampaikan
bahwa penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak dari Pemohon Banding terdiri dari:

Bahwa jadi dari penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak tersebut tidak ada yang
dibebaskan dari pengenaan PPN, maka Pemohon Banding keberatan atas koreksi yang dilakukan
oleh Terbanding.
Menurut Majelis :
Bahwa SKPKB PPN yang menjadi sengketa mencakup Masa Pajak Juli s.d. Desember 2007,
dengan penjelasan sesuai uraian sebagai berikut:
Bahwa Terbanding melakukan koreksi Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan terhadap 11
(sebelas) Faktur Pajak Masukan senilai Rp755.462.300,00 yaitu untuk pembelian pupuk dan
egrek (alat pertanian) yang digunakan untuk unit yang menghasilkan barang yang atas
penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN. Bahwa menurut Terbanding dan
memperhatikan penjelasan Pemohon Banding dalam Surat Bandingnya maupun dalam
persidangan, usaha Pemohon Banding meliputi kegiatan perkebunan kelapa sawit dan
pengolahan kelapa sawit dengan Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU:01134) adalah Perkebunan
Kelapa Sawit. Bahwa produk yang dihasilkan dari usaha perkebunan kelapa sawit tersebut
adalah Tandan Buah Segar kelapa sawit, sedangkan produk dari usaha pengolahan kelapa sawit
adalah minyak kelapa sawit (CPO) dan inti kelapa sawit (kernel) serta jasa olah Tandan Buah
Segar menjadi CPO dan kernel. Bahwa menurut Majelis, kegiatan tersebut di atas merupakan
kegiatan yang terintegrasi dalam arti oleh satu entitas/badan yaitu Pemohon Banding (PT
Padang Palma Permai ) dan dalam persidangan tidak terbukti bahwa kegiatan menghasilkan
CPO dan kernel dihasilkan oleh entitas/badan yang terpisah dari Pemohon Banding, dengan
demikian penggunaan unit tidak berarti adanya entitas/badan yang terpisah. Bahwa Tandan
Buah Segar Kelapa Sawit merupakan barang hasil pertanian yang termasuk Barang Kena Pajak
Tertentu Yang Bersifat Strategis dimana atas penyerahannya mendapat fasilitas PPN dibebaskan.
Bahwa menurut Terbanding, memperhatikan Pasal 16B ayat (3) UU Nomor 8 Tahun 1983
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 18 Tahun 2000, Pajak

Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan
dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan. Bahwa menurut Pasal 16B ayat (3) UU Nomor 8
Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU Nomor 18 Tahun 2000:
“Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang
atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan;”
bahwa dalam penjelasannya dinyatakan:
“Berbeda dengan ketentuan dalam ayat (2), adanya perlakuan khusus berupa pembebasan dari
pengenaan PPN mengakibatkan tidak adanya Pajak Keluaran, sehingga Pajak Masukan yang
berkaitan dengan penyerahan Barang kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang memperoleh
pembebasan tersebut tidak dapat dikreditkan;”
Bahwa menurut Terbanding, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Keputusan Menteri Keuangan RI
Nomor 575/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 tentang Pedoman Penghitungan
Pengkreditan Pajak Masukan Bagi Pengusaha Kena Pajak Yang Melakukan Penyerahan Yang
Terutang Dan Penyerahan Yang Tidak Terutang Pajak, bagi Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari unit atau kegiatan yang
menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang PPN dan unit atau kegiatan yang
menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang PPN, maka Pajak Masukan yang
dibayar atas perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang nyata-nyata digunakan
untuk unit atau kegiatan yang atas penyerahannya tidak terutang PPN atau dibebaskan dari
pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan. Bahwa dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan
bahwa Pajak Masukan a quo tidak dapat dikreditkan apabila ada/terkait dengan penyerahan
yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Bahwa menurut Terbanding, sesuai dengan Risalah
Pembahasan yang tidak dihadiri oleh Pemohon Banding, pada Nomor 1. Objek PPN huruf c.
Tanggapan Wajib Pajak point 3 disebutkan bahwa Pemohon Banding melakukan penjualan
tandan buah segar (TBS) kepada pihak luar yang menurut Pemohon Banding prosentasenya
tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan jumlah produksi TBS yang ada, hal ini terjadi karena
pada saat itu pabrik pengolahan sedang mengalami kerusakan sehingga kapasitas olah pabrik
tidak bisa berjalan maksimal. Bahwa menurut Pemohon Banding, terjadinya penjualan TBS
adalah pada periode Januari-Juni 2007, sedangkan untuk Juli-Desember 2007 tidak terdapat
penjualan TBS. Bahwa menurut Majelis, dalam persidangan Terbanding tidak dapat
membuktikan adanya penjualan TBS yang dilakukan oleh Pemohon Banding dalam masa Juli-
Desember 2007. Bahwa menurut penjelasan Pasal 1A huruf f UU PPN, dinyatakan bahwa:
“Apabila suatu perusahaan mempunyai lebih dari satu tempat pajak terutang, yaitu tempat
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak kepada pihak lain, baik sebagai pusat maupun
sebagai cabang perusahaan, maka Undang-Undang ini menganggap bahwa pemindahan Barang
Kena Pajak antar tempat-tempat tersebut merupakan penyerahan barang Kena Pajak. Yang
dimaksud dengan cabang dalam ketentuan ini termasuk antara lain lokasi usaha, perwakilan,
unit pemasaran, dan sejenisnya;”
Bahwa hal ini berarti pemindahan barang antar tempat-tempat dalam suatu perusahaan oleh
Undang-Undang diperlakukan sebagai penyerahan apabila perusahaan itu mempunyai lebih dari
satu tempat pajak terutang dan yang diserahkan Barang Kena Pajak. Bahwa dari dalam
persidangan tidak terdapat data yang menunjukkan bahwa Pemohon Banding mempunyai lebih
dari satu tempat pajak terutang. Bahwa terhadap penggunaan SE 90/PJ/2011 sebagai salah satu
dasar hukum oleh Terbanding.
Majelis berpendapat bahwa SE tersebut belum bisa diterapkan, karena sengketanya terjadi pada
tahun 2007; bahwa penyerahan yang dilakukan Pemohon Banding adalah berupa CPO, kernel,
jasa olah, dan minyak limbah yang semuanya terutang PPN baik yang dipungut maupun yang
tidak dipungut PPN. Bahwa rekapitulasi dari semua Faktur Pajak atas penyerahan Barang Kena
Pajak dan Jasa Kena Pajak dari Pemohon Banding tersebut terdiri dari:

Bahwa dengan demikian dari penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak tersebut
tidak ada yang dibebaskan dari pengenaan PPN. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Majelis
berpendapat bahwa pemindahan Tandan Buah Segar dari unit/divisi perkebunan ke unit/divisi
pengolahan bukan merupakan penyerahan, oleh karenanya Pemohon Banding tidak melakukan
penyerahan yang tidak terutang pajak; bahwa selanjutnya Majelis berpendapat bahwa kegiatan
usaha Pemohon Banding tidak termasuk dalam kriteria “melakukan penyerahan terutang pajak
dan penyerahan tidak terutang pajak” oleh karena itu tidak termasuk dalam pengertian
Pengusaha sebagaimana dimaksud Pasal 9 ayat (6) Undang-Undang PPN, oleh karena itu Pajak
Masukan atas pupuk, dan egrek (alat pertanian) tidak dapat diterapkan Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 575/KMK.04/2000; bahwa dari bukti-bukti dan fakta-fakta dalam persidangan,
maka Majelis berpendapat:
1) Untuk masa pajak Juli s.d. Desember 2007 sesuai KKP tidak ada penjualan Tandan Buah
Segar (TBS),
2) Sesuai dengan Pasal 16B ayat (3) UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan UU Nomor 18 Tahun 2000: “Pajak Masukan yang dibayar untuk
perolehan barang kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan
dari pengenaan PPN, tidak dapat dikreditkan.”
Terbukti tidak ada penjualan / penyerahan yang dibebaskan atau tidak dikenakan PPN; bahwa
berdasarkan hasil pemeriksaan dalam persidangan tersebut di atas, maka Majelis
berkesimpulan koreksi Terbanding terhadap Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar
Rp755.462.300,00 adalah tidak tepat, sehingga oleh karenanya tidak dapat dipertahankan.
Koreksi Pajak Masukan yang Jawaban Konfirmasi Faktur Pajaknya Dijawab Tidak Ada sebesar
Rp155.203.495,00
Menurut Terbanding :
Bahwa berdasarkan penelitian terhadap jawaban konfirmasi Faktur Pajak diketahui terdapat
jawaban konfirmasi yang menyatakan tidak ada / tidak dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak
lawan transaksi sebanyak 20 (dua puluh ) Faktur Pajak senilai Rp155.462.300,00; bahwa
Pemohon Banding tidak kooperatif dalam memberikan dokumen yang dibutuhkan pemeriksa
dalam proses pemeriksaan.
Menurut Pemohon Banding :
Bahwa Pemohon Banding tidak setuju koreksi Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sebesar
Rp155.203.495,00 dengan alasan Pemeriksa tidak memberikan isi jawaban konfirmasi yang
dijadikan dasar koreksi tersebut kepada Pemohon Banding, sehingga Pemohon Banding
kesulitan untuk memberikan tanggapan dan pembuktian.
Menurut Majelis :
Bahwa sampai dengan sidang terakhir, Pemohon Banding tidak memberikan data pendukung
untuk dilakukan uji arus uang dan arus barang dan dalam melakukan uji bukti, dan hanya
memberikan fotokopi SPT Masa lawan transaksi. Dengan penjelasan sesuai uraian sebagai
berikut:
bahwa Terbanding mengoreksi Faktur Pajak Masukan tersebut karena:
- berdasarkan penelitian terhadap jawaban konfirmasi Faktur Pajak diketahui terdapat jawaban
konfirmasi yang menyatakan tidak ada / tidak dilaporkan oleh Pengusaha Kena Pajak lawan
transaksi sebanyak 20 (dua puluh ) Faktur Pajak senilai Rp155.462.300,00;
- Pemohon Banding tidak kooperatif dalam memberikan dokumen yang dibutuhkan Pemeriksa
dalam proses pemeriksaan sehingga terhadap jawaban konfirmasi Faktur Pajak masukan yang
menyatakan “Tidak Ada/ Tidak dilaporkan oleh PKP lawan transaksi” sebesar Rp155.203.495,00;
- Terbanding (Pemeriksa) telah memberikan rincian koreksi melalui faksimile tanggal 3
November 2009, namun sampai dengan tanggal yang ditentukan yaitu 7 (tujuh) hari sejak
tanggal 28 Oktober 2009 sebagaimana disebutkan dalam Surat Pemberitahuan Hasil
Pemeriksaan, Pemohon Banding tidak hadir dalam rangka melakukan pembahasan akhir dan
oleh karenanya maka Pemohon Banding dianggap menyetujui hasil koreksi tersebut dan koreksi
dipertahankan.
- Bahwa Terbanding juga tidak meyakini bahwa atas PPN tersebut telah dibayar Pemohon
Banding kepada pihak penjual, karena tidak adanya dokumen pendukung berupa Faktur Pajak
Masukan Asli, bukti pengeluaran kas / bank berupa invoice, voucher, dan rekening koran, serta
surat jalan.
- Bahwa di samping itu pada tingkat keberatan juga telah dilakukan konfirmasi, akan tetapi tidak
ada surat dari KPP domisili PKP penjual atas tindak lanjut jawaban konfirmasi tersebut sehingga
Terbanding (Peneliti) menganggap bahwa atas Faktur Pajak yang belum dilaporkan tersebut
belum diterbitkan SKPKB / SKPKBT sehingga tidak dapat dikreditkan. Bahwa menurut Pemohon
Banding rincian Faktur Pajak Masukan yang dikoreksi karena jawaban konfirmasi “tidak ada”
tersebut tidak diketahuinya, karena Pemohon Banding telah secara resmi telah meminta rincian
tersebut namun tidak ada jawabannya. Bahwa menurut Terbanding, atas pernyataan Pemohon
Banding tersebut di atas faktanya Terbanding (Pemeriksa) telah mengirimkan rincian koreksi
melalui faksimile tanggal 3 November 2009, namun tidak ditanggapi Pemohon Banding sampai
dengan tanggal yang telah ditentukan dalam Surat Pemberitahuan Hasil Pemeriksaan. Bahwa
menurut Pemohon Banding, mengenai faktur pajak hasil konfirmasi, Pemohon Banding
mendapatkan data dari lawan transaksi bahwa faktur pajak tersebut sudah dilaporkan
seluruhnya dan di samping itu Pemohon Banding juga menyiapkan bukti arus uang /arus
barangnya. Bahwa untuk membuktikan kebenaran adanya Faktur Pajak tersebut telah dilakukan
uji bukti. Bahwa berdasarkan Berita Acara Uji Bukti tanggal 23 Desember 2011, Pemohon
Banding tidak dapat menunjukkan data dari lawan transaksi bahwa faktur pajak tersebut sudah
dilaporkan, di samping itu Pemohon Banding juga tidak dapat menunjukkan bukti-bukti
perolehan Barang Kena Pajak Dan Atau Jasa Kena Pajak dan pembayaran PPN atas
perolehannya, sehingga tidak dapat dilakukan uji arus barang dan arus uang atas perolehan dan
pembayaran tersebut. Bahwa berdasarkan hasil pemeriksaan dalam persidangan tersebut di
atas, Majelis berkesimpulan karena Pemohon Banding tidak dapat menunjukkan bukti-bukti
adanya arus uang dan arus barang serta hasil konfirmasi dijawab tidak ada, maka koreksi
Terbanding terhadap Pajak Masukan yang dapat diperhitungkan sebesar Rp155.203.495,00
adalah sudah benar dan oleh karenanya tetap dipertahankan.
Hasil :
Menyatakan mengabulkan sebagian permohonan banding Pemohon Banding terhadap
Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-200/WPJ.25/2010 tanggal 28 Oktober 2010,
tentang Keberatan Wajib Pajak atas SKPKB PPN Barang dan Jasa Masa Pajak Juli sampai dengan
Desember 2007 Nomor 00005/207/07/105/09 tanggal 13 November 2009, atas nama: PT XXX,
sehingga jumlah PPN Barang dan Jasa Masa Pajak Juli sampai dengan Desember 2007 dihitung
kembali menjadi sebagai berikut:
II. MANAJEMEN PAJAK
Fasilitas PPN terutang dibebaskan yakni PPN yang terutang atas penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak dibebaskan pemungutannya. Artinya, Konsumen tidak perlu
membayar PPN yang terutang itu lagi dan bagi Penjualnya (PKP) tidak perlu memungut PPN
terutangnya. Pada hakikatnya barang/jasa yang diberikan fasilitas PPN Dibebaskan sama dengan
Non BKP/Non JKP. Pembeli/konsumen tetap menanggung beban PPN, yaitu yang telah terutang
pada mata rantai produksi dan distribusi sebelumnya. Beban PPN ini akhirnya menjadi
tanggungan pembeli karena digeser secara bertahap dalam tiap mata rantai produksi dan
distribusi. Keuntungan dari fasilitas PPN Dibebaskan yang diterima hanya sebesar PPN atas nilai
tambah pada level pemberian fasilitas itu saja. Sedangkan PPN atas nilai tambah mata rantai
sebelumnya tetap menjadi tanggungan pembeli. Semakin panjang rantai produksi dan distribusi
sebelum mendapat fasilitas PPN Dibebaskan, semakin besar pula pajak yang ditanggung (atau
semakin kecil pula efek keuntungan yang diperoleh dari pemberian fasilitas ini).

Fasilitas PPN Dibebaskan berpotensi besar akan menyebabkan distorsi pada netralitas PPN. Jika
fasilitas PPN Dibebaskan diberikan sebelum sampai pada level konsumsi akhir, secara
keseluruhan bukan hanya tidak memberi manfaat, yang terjadi justru adanya pemajakan
berganda. Sektor ekonomi yang mendapat fasilitas PPN Dibebaskan memang mendapat (sedikit)
keringanan, tetapi itu diperoleh dengan mengorbankan sektor ekonomi yang menjadi
konsumennya. Konsumen akhir akan menanggung beban pajak lebih besar daripada tanpa
pemberian fasilitas. Karena itu, fasilitas PPN Dibebaskan hanya boleh diberikan pada
barang/jasa yang mempunyai karakteristik sebagai produk akhir (finished goods), bukan
intermediary goods.
Dari hakikat karakteristik ini, fasilitas PPN Dibebaskan cocok jika diberikan pada pembelian
barang/jasa yang akan digunakan untuk konsumsi, bukan sebagai bahan baku atau alat
produksi. Khususnya jika produksi barang/jasa yang sama masih harus diimpor karena belum
bisa dihasilkan di dalam negeri. Fasilitas ini juga cocok diberikan untuk tujuan meningkatkan
keadilan dalam pembebanan pajak. Misalnya untuk komoditas –seperti air dan listrik- yang
dianggap merupakan kebutuhan hidup orang banyak, sepanjang komoditas ini tidak digunakan
untuk alat produksi. Utamanya jika komoditas ini dihasilkan pada bagian hulu dari mata rantai
produksi dan distribusi misalnya barang hasil dalam kasus ini yaitu Kelapa sawit.

Fasilitas PPN Dibebaskan juga cocok diberlakukan pada transaksi yang tidak menginginkan
adanya kerumitan administrasi. Misalkan pembelian BKP/JKP oleh perwakilan negara asing dan
organisasi internasional, yang diberikan untuk mengakomodir kelaziman pergaulan
internasional. Atau atas barang bawaan penumpang lintas negara.

Pabrik Kelapa Sawit Terintegrasi merupakan pabrik yang mengintegrasikan perkebunan kelapa
sawit yang menghasilkan Tandan Buah Segar (TBS) dengan proses produksi Crude Palm Oil
(CPO). TBS merupakan bahan dasar pembuatan CPO melalui proses produksi yang
berkelanjutan. CPO merupakan andalan pemerintah di luar sektor migas sebagai penghasil
devisa terbesar. Ekspor CPO dari Indonesia mencapai bilangan 180 trilyun rupiah di tahun 2011.
Ekspor CPO akan meningkat seiring dengan permintaan dunia yang bertumbuh dengan kisaran
9,92 % selama lima tahun ke depan, menurut Kementrian Pertanian . Dengan peningkatan
ekspor CPO yang demikian pesat, tidak mengherankan jika pemerintah melalui Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) memberikan perhatian yang istimewa terhadap industri ini. DJP
menerbitkan peraturan terkait Perkebunan Kelapa Sawit melalui Peraturan Pemerintah,
Keputusan Menteri Keuangan hingga aturan setingkat Surat Edaran.

Pemerintah diberikan kewenangan untuk mengatur barang yang tidak dipungut PPN atau
dibebaskan. Peraturan Pemerintah nomor 12 tahun 2001 yang telah diubah dengan Peraturan
Pemerintah nomor 31 tahun 2007 menetapkan bahwa barang yang dihasilkan dari kegiatan
usaha di bidang perkebunan kelapa sawit dibebaskan dari pengenaan PPN. Dengan demikian
Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak (BKP) yang atas penyerahannya
dibebaskan dari pengenaan PPN tidak dapat dikreditkan.

Lebih lanjut melalui Keputusan Menteri Keuangan nomor 575/KMK.04/2000 yang telah
digantikan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 78/PMK.03/2010 diatur bahwa bagi
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan kegiatan usaha terpadu (integrated) yang terdiri dari
unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya tidak terutang PPN dan
unit atau kegiatan yang menghasilkan barang yang atas penyerahannya terutang PPN maka
Pajak Masukan yang dibayar atas perolehan BKP dan atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang Pajak
Masukan atas perolehan BKP atau JKP yang nyata-nyata digunakan untuk unit atau kegiatan
yang atas penyerahannya tidak terutang PPN atau dibebaskan dari pengenaan PPN, tidak dapat
dikreditkan.

DJP kembali menegaskan aturan pengkreditan Pajak Masukan pada perusahaan terpadu
(integrated) kelapa sawit melalui SE-90/PJ/2011. Ditetapkan bahwa Pajak Masukan yang tidak
dapat dikreditkan dalam rangka menghasilkan BKP yang tidak terutang PPN yang atas
penyerahannya dibebaskan dari PPN berlaku sama bagi usaha kelapa sawit terpadu maupun
yang tidak terpadu (non integrared). Dengan SE ini DJP berupaya untuk melakukan equal
treatment terhadap semua Wajib Pajak.

DJP cenderung untuk menetapkan bahwa Pajak Masukan tersebut di atas tidak dapat
dikreditkan dengan berlandaskan pada kategorisasi jenis barang bukan pada hubungan sebab
akibat. Dengan kategorisasi tersebut maka semua Pajak Masukan yang terkait dengan BKP
strategis yaitu Tandan Buah Segar tidak dapat dikreditkan tanpa memperhitungkan ada tidaknya
penyerahan atas barang tersebut.

Padahal dalam penjelasan UU PPN Pasal 16B ayat 3 jelas-jelas disebutkan bahwa Pajak Masukan
yang berkaitan dengan penyerahan BKP dan atau JKP yang memperoleh pembebasan tersebut
tidak dapat dikreditkan. Frasa kalimat “yang berkaitan dengan penyerahan” menunjukkan
bahwa terdapat penyerahan BKP/JKP yang memperoleh pembebasan terlebih dahulu sebagai
sebab dan tidak dapat dikreditkannya Pajak Masukan sebagai akibat.

Jika dilihat dari prosesnya maka Pabrik Kelapa Sawit Terintegrasi terdiri dari usaha yang sifatnya
terpadu dengan mata rantai produksi yang panjang dan saling bersambung. Proses dimulai
dengan penanaman kelapa sawit yang menghasilkan Tandan Buah Segar hingga produk akhirnya
berupa CPO. Semua biaya dalam proses produksi yang panjang tersebut merupakan biaya yang
berhubungan dengan produksi CPO bukan TBS. Sehingga dengan demikian Pajak Masukan atas
biaya-biaya tersebut sudah selayaknya dapat dikreditkan.

Proses Pabrik Kelapa Sawit Terintegrasi bersifat terpadu yang terdiri dari unit perkebunan TBS
dan unit produksi CPO sehingga berada dalam satu entitas yang sama dengan status Pengusaha
Kena Pajak yang tidak terpisah. Dengan demikian pengalihan TBS dari unit perkebunan untuk
kemudian diolah dalam unit produksi CPO tidaklah bisa dikategorikan sebagai penyerahan
sebagaimana diatur dalam UU PPN Pasal 1A.

Pesatnya pertumbuhan industri CPO merupakan lahan yang empuk untuk optimalisasi pajak.
DJP mengintip celah-celah yang memungkinkan pencapaian target penerimaan pajak dengan
menetapkan aturan yang lebih menguntungkannya tanpa memperhatikan prinsip kepastian
hukum bagi Wajib Pajak. Terlebih besarnya potensi penerimaan pajak di sektor industri ini
hanya diatur dengan aturan setingkat Surat Edaran yang sebenarnya lebih bersifat internal DJP.

Banyak sengketa PPN yang dialami Wajib Pajak Pabrik Kelapa Sawit terintegrasi mulai tahun
pajak 2007 yang berujung di Pengadilan Pajak. Disampaikan secara informal oleh seorang hakim
di Pengadilan Pajak bahwa hampir semua Majlis di Pengadilan Pajak saat ini menunda
pembacaan hasil putusan agar mereka mempunyai waktu yang cukup untuk menyeragamkan
keputusan atas sengketa PPN Pabrik Kelapa Sawit Terintegrasi.

Tingginya potensi penerimaan pajak di sektor industri kelapa sawit sudah selayaknya tidak
mengabaikan satu hal yang sangat diidamkan oleh Wajib Pajak yaitu adanya kepastian hukum
agar dunia usaha tetap bergairah dan iklim investasi selalu bertambah.

Pajak Pertambahan Nilai Atas Minyak Kelapa Sawit


Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah harga jual, penggantian,
nilai impor, nilai ekspor atau nilai lain yang dipakai sebagai dasar menghitung pajak. Pajak
Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak artinya bahwa Pajak
Keluaran terjadi apabila Pengusaha Kena Pajak melakukan penjualan barang atau jasa. Pajak
Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena
Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak artinya bahwa Pajak
Masukan terjadi apabila Pengusaha Kena Pajak melakukan pembelian barang atau jasa.
Bahan baku utama di dalam bidang pengolahan kelapa sawit menjadi minyak mentah (CPO)
adalah berupa tandan buah segar (TBS). Hasil dari perkebunan sawit adalah tandan buah segar
sehingga penyerahan bahan baku utama ini memiliki 2 (dua) kondisi, yaitu :
1. Kondisi pertama, apabila mempunyai perusahaan yang integrated, yaitu memiliki
perkebunan kelapa sawit dan sekaligus pabrik kelapa sawit.
2. Kondisi kedua, apabila mempunyai perusahaan yang tidak terintegrated, yaitu yang tidak
memiliki pabrik kelapa sawit di mana perusahaan melakukan titip olah hasil TBS
kemudian menjual hasilnya dalam bentuk CPO atau produk turunan lainnya
TBS kelapa sawit merupakan bagian dari kategori buah-buahan segar yang dipetik, baik yang
telah melalui proses cuci, disortasi, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, dan/atau dikemas atau
tidak dikemas, sehingga tidak termasuk dalam BKP. Alhasil, pengusaha yang menghasilkan BKP
tidak tidak dapat terdaftar sebagai PKP. Akan tetapi, pemilik kebun bisa saja memungut pajak
masukan apabila mengolah TBS kelapa sawit menjadi minyak kelapa sawit, baik melalui pabrik
pengolahan sendiri, maupun titip olah. Ketentuan tersebut tertuang dalam PMK sebelumnya,
yakni PMK No. 21/PMK.011/2014. Dalam PMK tersebut disebutkan, pemilik kebun bisa menitip
olah TBS kelapa sawit menjadi minyak kelapa sawit menggunakan pabrik PKP lainnyaDengan
titip olah tersebut, pemilik kebun menjadi termasuk dalam PKP, dan berhak memungut pajak
masukan dari pembelian berbagai barang, baik dari keperluan produksi TBS kelapa sawit hingga
keperluan produksi minyak sawit. PMK terakhir ini menghilangkan dua ketentuan di PMK 21
yang mendasari dibolehkannya pajak masukan kebun sawit dikreditkan. Pajak masukan adalah
pajak pertambahan nilai (PPN) yang telah dipungut oleh pengusaha kena pajak (PKP) pada saat
pembelian barang kena pajak atau jasa kena pajak dalam masa pajak tertentu. Pajak masukan
dijadikan kredit pajak oleh PKP untuk memperhitungkan sisa pajak yang terutang. Penerbitan
PMK 21 sendiri, berdasarkan catatan Bisnis, tidak dengan sendirinya mencabut SE Dirjen Pajak
No.90, meski sejak awal Januari itu isinya sudah tidak sesuai lagi. Pada praktikya, SE tersebut
masih berlaku. Namun, kini, dengan terbitnya PMK 135, simsalabim, SE itu menjadi sesuai
kembali. Dalam perjalanannya, SE itu sudah menjadi dasar bagi DJP untuk mengoreksi pajak
masukan hasil klaim wajib pajak (WP) yang mengkreditkan pajak kebun. Meski dilarang SE
No.90, WP, atas bantuan-bantuan para konsultan pajaknya, tetap mengkreditkan pajak kebun
sawit. Pasalnya, ada SE No.95/PJ/2010 tentang Barang Kena Pajak (BKP) Strategis yang Diekspor.
SE No. 95 ini juga didukung oleh Peraturan Pemerintah No,12 Tahun 2001 dan perubahannya
yang mengatur produk BKP strategis. Tak pelak, koreksi dari DJP itu kemudian dilawan WP
dengan keberatan dan banding. Tidak ada keterangan resmi dari Menkeu Chatib ataupun Dirjen
Pajak A. Fuad Rahmany atas terbitnya PMK No. 135 yang meminta ‘kado awal tahun’ yang
telanjur diterima pengusaha sawit dengan suka cita ini. Tak pula ada penjelasan apakah PMK ini
mengonfirmasi bahwa PMK 21 adalah kesalahan. MENUTUP CELAH Plt. Direktur Penyuluhan,
Pelayanan dan Humas DJP Wahju Karya Tumakaka mengatakan dihilangkannya dua ketentuan
dalam P MK 21 itu lebih dimaksudkan untuk menutup celah adanya pengusaha yang ingin
terdaftar sebagai PKP, tetapi sebenarnya tidak berhak. “Ini untuk mencegah moral hazard dari
pemilik kebun, misalnya yang menghasilkan TBS kelapa sawit tetapi tiba-tiba ingin mengolah
TBS kelapa sawit itu menjadi minyak kelapa sawit agar memiliki hak memungut PPN,”.

KESIMPULAN DAN SARAN

Wajib pajak terdaftar sebagai industri perkebunan sawit yang terintegrasi dengan pabrik
pengolahannya sehingga bila dilihat secara menyeluruh maka TBS yang dihasilkan tersebut
hanya merupakan barang perantara yang akan menjadi bahan baku utama dalam proses
produksi CPO sehingga pajak masukan yang terkait dengan perolehan CPO tersebut seperti
pupuk untuk TBS dan alat-alat pengeruk tanah untuk produksi TBS seharusnya dapat
dikreditkan. Kemudian untuk penyerahan TBS memang pajak masukannya tidak dapat
dikreditkan karena TBS tersebut termasuk dalam BKP yang dibebaskan dari pengenaan PPN
sesuai dengan yang ada pada PP 31 Tahun 2007 pasal 1 dan pasal 2 ayat (2) huruf c yang
menyebutkan bahwa BKP tertentu yang bersifat strategis adalah barang hasil pertanian dan
perkebunan dan atas penyerahan BKP strategis tersebut tidak terhutang PPN. TBS tersebut
merupakan buah hasil dari perkebunan sawit sehingga sudah jelas bahwa TBS itu merupakan
BKP yang dibebaskan dari PPN. Kemudian atas penyerahan TBS tersebut pajak masukannya
tidak dapat dikreditkan dan hal tersebut sudah tercantum dalam UU PPN pasal 16B ayat (3)
yang menyebutkan bahwa atas penyerahan BKP tertentu yang bersifat strategis, pajak
masukannya tidak dapat dikreditkan.

1) Adanya perbedaan persepsi antara fiskus dengan wajib pajak dimana fiskus melihat usaha
wajib pajak tidak secara menyeluruh terhadap kegiatan usaha wajib pajak dikarenakan
terdapat beberapa wajib pajak yang tidak melakukan mekanisme pengkreditan pajak
masukan dengan benar.

2) Fiskus sering menerapkan prinsip equal treatment pada semua perusahaan sawit baik yang
tidak terpadu dan yang terpadu sehingga fiskus juga tidak berani mengambil resiko dan
mengoreksi pajak masukan yang telah dikreditkan.

3) Fiskus juga tidak melihat transaksi wajib pajak secara utuh namun terpisah-pisah, padahal
wajib pajak tersebut telah melakukan perhitungan pajak dengan benar. Berikut saran – saran
yang dapat diberikan: 1. Sebagai seorang wajib pajak harus memiliki niat untuk
melaksanakan kewajiban perpajakannya sesuai dengan aturan yang berlaku. Apabila
menurutnya belum ada peraturan yang berlaku, seharusnya wajib pajak dapat bertanya
kepada fiskus, mengenai hal tersebut, ataupun menggunakan jasa konsultan pajak yang
semestinya memiliki data terbaru dan lengkap mengenai peraturan perpajakan yang ada di
Indonesia. 2. Perlu diakukan melakukan analisa secara mendalam dan menyeluruh, seperti
memeriksa dan menganalisa setiap kegiatan usaha yang dilakukan oleh wajib pajak dan
tidak mengaplikasikan satu analisa kepada seluruh kegiatan usaha yang dimiliki wajib pajak,
karena setiap usaha wajib pajak bisa berbeda-beda.

4) Dalam hal usaha Wajib Pajak integrated Kebun Sawit dan Pabrik CPO, Tidak ada PPN atas
TBS. PPN hanya atas CPO dan PM kebun dibiayakan dan akan menjadi unsur HPP bagi CPO.

5) Apabila pada perusahaan yang integrated antara kebun sawit dan pabrik CPO, PM kebun
dapat dikreditkan, maka terdapat perlakuan yang berbeda pada :

- Pajak Masukan kebun, antara Perusahaan Sawit saja yang mengkapitalisasi PM kebun ke
dalam HPP dan perusahaan Integrated yang mengkreditkan PM kebun. Perbedaan
tersebut menyebabkan unsur pembentuk harga TBS berbeda dan berpotensi
memunculkan praktek tidak sehat dengan tujuan mengkreditkan Pajak Masukan Kebun;
- Harga jual CPO dan Pajak Keluaran atas CPO, yang berpotensi memunculkan persaingan
yang tidak sehat. Harga jual dan PPN CPO bagi perusahaan yang hanya pabrikan CPO
mengandung unsur Pajak Masukan kebun, sehingga cenderung lebih tinggi, sedangkan
untuk perusahaan integrated tidak mengandung unsur Pajak Masukan Kebun, sehingga
harga cenderung lebih rendah.

- Oleh karena itu, demi terciptanya persaingan bisnis yang sehat dan menghindari
perlakuan diskriminatif, perlakuan PPN Keluaran dan Masukan harus sama, yaitu tidak
ada PK baik atas penyerahan konsumtif, produktif, maupun tidak ada penyerahan (TBS
busuk), dan tidak ada PM yang dikreditkan, baik atas penyerahan konsumtif, produktif,
maupun ketika tidak ada penyerahan (TBS busuk).

6) Pajak Masukan untuk peroleh TBS tidak dapat dikreditkan. Oleh karena itu, PM kebun
seharusnya dibiayakan.

You might also like