You are on page 1of 97

REFERAT

F10-F19: GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT


PENGGUNAAN ZAT PSIKOAKTIF

Disusun oleh:
Metha Dharma 406138004
Feny Chandra Dewi 406138045
Angela Jessica 406138047

Pembimbing :
dr. Rosmalia Suparjo, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN KEJIWAAN


RS. KHUSUS DHARMA GRAHA
TANGERANG SELATAN

1
HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Metha Dharma 406138004


Feny Chandra Dewi 406138045
Angela Jessica 406138047
Universitas : Tarumanagara
Fakultas : Kedokteran Umum
Diajukan : Juli 2014
Periode kepaniteraan : 07 Juli – 09 Agustus 2014-07-23
Bagian : Ilmu Penyakit Jiwa
Pembimbing : dr. Rosmalia Suparjo, Sp.KJ

Telah diperiksa dan disetujui tanggal :………………………….

Mengetahui, Mengetahui,
Ketua SMF Ilmu Penyakit Jiwa Pembimbing
Rumah Sakit Khusus Dharma Graha

( dr. Yenny Dewi P, Sp.KJ(K) (dr, Rosmalia Suparjo, Sp.KJ)

2
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN
KATA PENGANTAR
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : NAPZA
BAB III :
F10: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkohol
F11: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan opioid
F12: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kanabinoida
F13: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan sedativa atau Hipnotika
F14: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain
F15: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulansia lain termasuk
kafein
F16: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan halusinogenika
F17: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan tembakau
F18: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan pelarut yang mudah
menguap
F19: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat multipel dan
penggunaan zat psikoaktif lainnya
BAB III : KESIMPULAN
LAMPIRAN
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainya
(NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai NARKOBA
(Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya) yang merupakan masalah yang sangat
kompleks. Penyalah gunaan napza memerlukan upaya penanggulangan secara
komprehensif dengan melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan
peran serta masyarakat secara aktif yang dilaksanakan secara berkesinambungan,
konsekuen dan konsisten

Epidemiologi
Maraknya penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja,
tapi sudah sampai ke kota-kota kecil diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai
dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah sampai tingkat sosial ekonomi atas.
Dari data yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyak berumur antara 15–24
tahun.
Berdasarkan data penelitian pengguna NAPZA di dunia, dilaporkan
hampir 40% penduduk di dunia pernah menggunakan NAPZA dalam hidup
mereka. Beberapa substansi tersebut menyebabkan kelainan status mental secara
internal, seperti menyebabkan perubahan mood, secara eksternal menyebabkan
perubahan perilaku.
Substansi tersebut juga dapat menimbulkan problem neuropsikiatrik yang
masih belum ditemukan penyebabnya, seperti skizofrenia dan gangguan mood,
sehingga kelainan primer psikiatrik dan kelainan yang disebabkan oleh NAPZA
menjadi sangat berhubungan.

4
BAB II
NAPZA (NARKOTIKA, PSIKOTROPIKA, DAN ZAT ADIKTIF LAIN)

Definisi
NAPZA (Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lain) adalah
bahan/zat/obat yang bila masuk ke dalam tubuh manusia akan mempengaruhi
tubuh terutama otak/ susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan gangguan
kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan, ketagihan
(adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA

NARKOTIKA
Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan
tanaman, baik sintetis maupun semi sintetis menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa nyeri, dan dapat menimbulkan
ketergantungan (undang-undang No. 22 tahun 1997). Beberapa yang termasuk
jenis narkotika adalah :
- Tanaman papaver, opium mentah, opium masak (candu, jicing, jicingko),
opium, morfin,kokain, ekgonina,tanaman ganja,dan damar ganja
- Garam-garam dan turunan-turunan dari morfin dan kokain, serta
campuran-campuran dan sediaan-sediaan yang mengandung bahan
tersebut di atas.
Penggolongan Narkotika menurut undang-undang RI No. 22 Tahun 1997
adalah : berdasarkan pasal 2 ayat (2) UU No.22 Tahun 1997 tentang narkotika,
narkotika digolongkan menjadi :
a. Narkotika golongan I
Adalah narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi,
serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.
Beberapa narkotika yang termasuk dalam golongan I misalnya tanaman

5
Papaver somniferum L, Opium, tanaman koka (daun koka, kokain
merah), heroin, morfin, dan ganja.
b. Narkotika golongan II
Adalah narkotika yang berkhasiat untuk pengobatan yang digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan/atau
untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi
tinggi mengakibatkan ketergantungan. Beberapa narkotika yang
termasuk kedalam golongan II, misalnya Alfasetilmetadol, Benzetidin,
Betametadol.
c. Narkotika golongan III
Narkotika golongan III adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan
dan banyak digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu
pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan
ketergantungan. Beberapa narkotika yang termasuk ke dalam golongan
III misalnya Asetildihidrokodeina, Dokstropropoksifena, Dihidroko-
deina, Etilmorfin, dan lain-lain. Narkotika untuk pengobatan, terdiri dari
opium obat, codein, petidin, fenobarbital.

PSIKOTROPIKA
Psikotropika adalah obat atau zat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika
yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat
yang menyebabkan perubahan pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang
termasuk psikotropika antara lain sedatin (pil BK), Rohypnoi, Magadon, Valium,
Mandarax, Amfetamine, Fensiklidin, Metakualon, Metilfenidat, Fenobarbital,
Flunitrazepam, Ekstasi, shabu-shabu, LSD (Lycergic Alis Diethylamide), dan lain-
lain.
Psikotropika dibedakan menjadi 4 golongan yaitu :
a. Psikotropika Golongan I
Adalah psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan ilmu
pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi

6
amat kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan, contoh : LSD, MDMA,
dan Masealin.2
b. Psikotropika Golongan II
Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan dapat digunakan
dalam terapi, dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi kuat mengakibatkan sindroma ketergantungan, contoh : amfetamin.2
c. Psikotropika Golongan III
Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan
dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi sedang mengakibatkan sindroma ketergantungan, contoh :
kelompok hipnotik Sedatif (Barbiturat).2
d. Psikotropika Golongan IV
Adalah psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan sangat luas digunakan
dalam terapi dan atauuntuktujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi ringan mengakibatkan sindroma ketergantungan, contoh :
Diazepam, Nitrazepam. Pengaruh penggunaan psikotropika terhadap
susunan syaraf pusat dapat dikelompokkan menjadi :
1. Depressant, yaitu yang bekerja mengendorkan atau mengurangi
aktivitas susunan syaraf pusat, contohnya antara lain : Sedatin (Pil
KB), Rohypnol, Mogadon, Valium, Mandrax.2,3
2. Stimulant, yaitu yang bekerja mengaktifkan kerja susunan syaraf
pusat, contohnya : Amphetamine dan turunannya (Ecstacy). 2,3
3. Halusinogen, yaitu yang bekerja menimbulkan rasa perasaan
halusinasi atau khayalan, contoh : Lysergid Acid Diethylamide
(LSD).2,3

BAHAN ADIKTIF BERBAHAYA LAINNYA


Bahan adiktif berbahaya lainnya adalah bahan-bahan alamiah, semi sintetis
maupun sintetis yang dapat dipakai sebagai pengganti morfin atau kokain yang
dapat mengganggu sistim saraf pusat seperti : Alkohol yang mengandung ethyl
etanol, inhalen/sniffing (bahan pelarut) berupa zat organik (karbon) yang
menghasilkan efek yang sama dengan yang dihasilkan oleh minuman yang

7
beralkohol atau obat anastetik jika aromanya dihisap, contoh : lem/perekat, aseton,
ether, dan lain-lain.
Bahan berbahaya diklasifikasikan dalam 4 (empat) kelas, yaitu :
a. Kelas 1 : Dapat menimbulkan bahaya yang fatal dan luas secara langsung
dan tidak langsung, karena sulit penanganan dan pengamanannya, contoh:
Pestisida, DDT dan lain-lain.
b. Kelas 2 : Bahan yang sangat mudah meledak karena gangguan mekanik,
contoh : minuman keras, spritus, bensin dan lain-lain.
c. Kelas 3 : Bahan yang bersifat karsinogenik dan mutagenik, contoh : zat
pewarna, atau pemanis makanan dan lain-lain.
d. Kelas 4 : Bahan korosif sedang dan lemah, contoh : kosmetik dan alat
kesehatan.

Penggolongan
Berdasarkan efeknya terhadap perilaku yang ditimbulkan, NAPZA dapat
digolongkan menjadi tiga golongan :
- Golongan Depresan (Downer)
Adalah jenis NAPZA yang berfungsi mengurangi aktifitas fungsional
tubuh. Jenis ini menbuat pemakaiannya merasa tenang, pendiam dan
bahkan membuatnya tertidur dan tidak sadarkan diri.
Golongan ini termasuk Opioida (morfin, heroin/putauw, kodein), Sedatif
(penenang), hipnotik (otot tidur), dan tranquilizer (anti cemas) dan lain-
lain.
- Golongan Stimulan (Upper)
Adalah jenis NAPZA yang dapat merangsang fungsi tubuh dan
meningkatkan kegairahan kerja. Jenis ini membuat pemakainya menjadi
aktif, segar dan bersemangat.
Zat yang termasuk golongan ini adalah : Amfetamin (shabu, esktasi),
Kafein, Kokain
- Golongan Halusinogen
Adalah jenis NAPZA yang dapat menimbulkan efek halusinasi yang
bersifat merubah perasaan dan pikiran dan seringkali menciptakan daya
pandang yang berbeda sehingga seluruh perasaan dapat terganggu.
Golongan ini tidak digunakan dalam terapi medis.
Golongan ini termasuk : Kanabis (ganja), LSD, Mescalin.

8
Pada referat ini, mengenai pengaruh zat psikoaktif kami bagi ke dalam beberapa
bagian sesuai dengan buku PPDGJ – III diantaranya:
F10: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan alkohol
F11: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan opioid
F12: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kanabinoida
F13: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan sedativa atau hipnotika
F14: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain
F15: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan stimulansia lain termasuk
kafein
F16: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan halusinogenika
F17: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan tembakau
F18: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan pelarut yang mudah
menguap
F19: Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat multipel dan
penggunaan zat psikoaktif lainnya

Kode empat dan lima karakter dapat digunakan untuk menentukan kondisi
klinis sebagai berikut:

F1x.0 Intoksikasi akut


Suatu kondisi peralihan yang timbul akibat menggunakan alkohol atau zat
psikoaktif lain sehingga terjadi gangguan kesadaran, fungsi kognitif, persepsi,
afek atau perilaku, atau fungsi dan respon psikofifiologis lainnya.
Intensitas intoksikasi berkurang dengan berlalunya waktu dan pada
akhirnya efeknya menghilang bila tidak terjadi penggunaan zat lagi. Dengan
demikian orang tersebut akan kembali ke kondisi semula, kecuali jika ada
jaringan yang rusak atau terjadi komplikasi lainnya.
.00 Tanpa komplikasi
.01 Dengan trauma atau cedera tubuh lainnya
.02 Dengan komplikasi medis lainnya

9
.03 Dengan delirium
.04 Dengan distorsi persepsi
.05 Dengan koma
.06 Dengan konvulsi
.07 Intoksikasi patologis
o Hanya pada penggunaan alkohol
o Onset secara tiba-tiba dengan agresi dan sering berupa perilaku
tindak kekerasan yang tidak khas bagi individu tersebut saat ia
bebas alkohol
o Biasanya timbul segera setelah minum sejumlah alkohol yang pada
kebanyakan orang tidak akan menimbulkan intoksikasi
F1x.1 Penggunaan yang merugikan (harmful)
Pola penggunaan zat psikoaktif yang merusak kesehatan dapat berupa fisik
(hepatitis) atau mental (episode gangguan depresi sekunder karena konsumsi
alkohol berat). Pedoman diagnostik harus ada cedera nyata pada kesehatan
jiwa atau fisik pengguna.
F1x.2 Sindrom ketergantungan
Suatu kelompok fenomena fisiologis, perilaku, dan kognitif akibat
penggunaan suatu zat atau golongan zat tertentu yang mendapat prioritas lebih
tinggi bagi individu tertentu ketimbang perilaku yang pernah diunggulkan
pada masa lalu.
Diagnosis ketergantungan yang pasti ditegakkan jika ditemukan 3 atau
lebih gejala di bawah ini dialami dalam masa 1 tahun sebelumnya:
- Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa (kompulsi)
untuk menggunakan zat psikoaktif
- Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan zat, termasuk
sejak mulainya, usaha penghentian, atau pada tingkat sedang
menggunakan
- Keadaan putus zat secara fisiologis atau ketika penggunaan atau
pengurangan zat, terbukti dengan adanya gejala putus zat yang khas, atau

10
orang tersebut menggunakan zat atau golongan zat sejenis dengan tujuan
untuk menghilangkan atau menghindari terjadinya gejala putus zat
- Terbukti adanya toleransi, berupa peningkatan dosis zat psikoaktif yang
diperlukan guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh
dengan dosis lebih rendah
- Secara progresif mengabaikan menikmati kesenangan atau minat lain
disebabkan penggunaan zat psikoaktif, meningkatnya jumlah waktu yang
diperlukan untuk mendapatkan atau menggunakan zat atau untuk pulih
dari akibatnya
- Tetap menggunakan zat meskipun menyadari adanya akibat yang
merugikan kesehatannya seperti gangguan fungsi hati karena minum
alkohol berlebih, keadaan depresi sebagai akibat dari suatu periode
penggunaan zat yang berat, atau hendaya fungsi kognitif berkaitan
penggunaan zat, upaya perlu diadakan untuk memastikan bahwa pengguna
zat sungguh-sungguh, atau dapat diandalkan, sadar akan hakekat dan
besarnya bahaya.
Diagnosis sindrom ketergantungan dapat ditentukan lebih lanjut dengan
kode lima karakter berikut:
.20 Kini abstinen
.21 Kini abstinen tetapi dalam lingkungan terlindung
.22 Kini dalam pengawasan klinis atau dengan pengobatan pengganti
(ketergantungan terkendali)
.23 Kini abstinen tetapi mendapat terapi aversif atau obat penyekat
(”blocking drugs”)
.24 Kini sedang menggunakan zat (ketergantungan aktif)
.25 Penggunaan berkelanjutan
.26 Penggunaan episodik (dipsomania)
F1x.3 Keadaan putus zat
Sekelompok gejala dengan aneka bentuk dan keparahan yang terjadi pada
penghentian pemberian zat yang terus-menerus dan dalam jangka panjang dan/

11
atau dosis tinggi. Onset dan perjalanan keadaan putus zat biasanya waktunya
terbatas dan berkaitan dengan jenis dan dosis zat yang digunakan sebelumnya.
.30 Tanpa komplikasi
.31 Dengan konvulsi
F1x.4 Keadaan putus zat dengan delirium
Suatu keadaan putus zat dengan komplikasi delirium.
.40 Tanpa konvulsi
.41 Dengan konvulsi
F1x.5 Gangguan psikotik
Sekelompok fenomena psikotik yang terjadi selama atau segera sesudah
penggunaan zat psikoaktif (biasanya dalam waktu 48 jam), bukan merupakan
manifestasi dari keadaan putus zat dengan delirium., dan ditandai oleh
halusinasi nyata (auditorik), kekeliruan identifikasi, waham dan atau gagasan
yang menyangkut diri sendiri (ideas of reference)
.50 Lir-skizofrenia
.51 Predominan waham
.52 Predominan halusinasi
.53 Predominan polimorfik
.54 Predominan gejala depresif
.55 Predominan gejala manik
.56 Campuran
F1x.6 Sindrom amnesik
Syarat utama menentukan diagnostik:
- gangguan daya ingat jangka pendek, gangguan sensasi waktu
- tidak ada gangguan daya ingat segera, tidak ada gangguan kesadaran, dan
tidak ada gangguan kognitif secara umum
- adanya riwayat atau bukti yang objektif dari penggunaan alkohol atau zat
yang kronis
F1x.7 Gangguan psikotik residual dan onset lambat
- onset dari gangguan harus secara langsung berkaitan dengan penggunaan
alkohol atau zat psikoaktif

12
- gangguan fungsi kognitif, afek, kepribadian, atau perilaku yang
disebabkan oleh alkohol atau zat psikoaktif yang berlangsung melampaui
jangka waktu khasiat psikoaktifnya. Gangguan tersebut harus
memperlihatkan suatu perubahan atau kelebihan yang jelas dari fungsi
sebelumnya yang normal
.70 Kilas balik (flashback)
dapat dibedakan dari gangguan psikotik, sebagian karena sifat
episodiknya, sering berlangsung dalam waktu sangat singkat (dalam hitingan
detik sampai menit) dan oleh gambaran duplikasi dari pengalaman
sebelumnya yang berhubungan dengan penggunaan zat.
.71 Gangguan kepribadian atau perilaku
memenuhi kriteria untuk gangguan kepribadian organik (F07.0)
.72 Gangguan afektif residual
memenuhi kriteria untuk gangguan afektif organik (F06.3)
.73 Demensia
memenuhi kriteria umum untuk demensia (F00-F09)
.74 Hendaya kognitif menetap lainnya
suatu kategori residual untuk gangguan dengan hendaya kognitif
yang menetap, tetapi tidak memenuhi kriteria untuk sindrom amnesik yang
disebabkan oleh zat psikoaktif atau demensia
.75 Gangguan psikotik onset lambat
F1x.8 Gangguan mental dan perilaku lainnya
Kategori untuk semua gangguan sebagai akibat penggunaan zat psikoaktif
yang dapat diidentifikasi berperan langsung pada gangguan tersebut, tetapi
tidak memenuhi kriteria untuk dimasukkan dalam salah satu gangguan yang
telah disebutkan di atas.
F1x.9 Gangguan mental dan perilaku YTT
Kategori untuk yang tidak tergolongkan

Definisi Gangguan Penggunaan Zat

13
Gangguan penggunaan zat adalah suatu gangguan jiwa berupa penyimpangan
perilaku yang berhubungan dengan pemakaian zat yang dapat mempengaruhi
sususan saraf pusat secara kurang lebih teratur sehingga menimbulkan gangguan
fungsi sosial.
Klasifikasi gangguan penggunaan zat dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
1. PENYALAHGUNAAN NAPZA
penyalahgunaan zat merupakan suatu pola penggunaan zat yang bersifat
patologik, paling sedikit satu bulan lamanya, sehngga menimbulkan
gangguan fungsi sosial atau okupasional.
Pola penggunaan zat yang bersifat patologik dapat berupa intoksikasi
sepanjang hari, terus menggunakan zat tersebut walaupun penderita
mengetahui dirinya sedang menderita sakit fisik berat akibat zat tersebut,
atau adanya kenyataan bahwa ia tidak dapat berfungsi dengan baik tanpa
menggunakan zat tersebut.
Gangguan yang dapat terjadi adalah gangguaan fungsi sosial yang berupa
ketidakmampuan memenuhi kewajiban terhadap keluarga atau kawan-
kawannya karena perilakunya yang tidak wajar, impulsif, atau karena
ekspresi perasaan agresif yang tidak wajar. Dapat pula berupa pelanggaran
lalu lintas dan kecelakaan lalu lintas akibat intoksikasi, serta perbuatan
kriminal lainnya karena motivasi memperoleh uang

2. KETERGANTUNGAN ZAT
Ketergantungan zat merupakan suatu bentuk gangguan penggunaan zat
yang pada umunya lebih berat. Terdapat ketergantungan fisik yang
ditandai dengan adanya toleransi atau sindroma putus zat

Memahami Adiksi Sebagai Gangguan Otak


NAPZA, memiliki sifat khusus terhadap jaringan otak yang bersifat
menekan aktivitas fungsi otak (depresan), merangsang aktivitas fungsi otak
(stimulansia) dan mendatangkan halusinasi (halusinogenik). Karena otak
merupakan sentra perilaku manusia, maka interaksi antara NAPZA dengan sel
saraf otak dapat menyebabkan terjadinya perubahan perilaku manusia.

14
Masuknya NAPZA ke dalam tubuh sesuai dengan cara penggunaannya
kemudian masuk ke pembuluh darah dan sebagian lagi yang dicerna melalui
traktus gastrointestinal yang diserap oleh pembuluh darah di sekitar dinding usus.
Karena sifat khususnya, NAPZA akan menuju reseptornya masing-masing yang
terdapat pada otak.
Di dalam otak, NAPZA tersebut dapat mengkunci dari dalam (lock into)
reseptor dan menimbulkan reaksi yang menyebabkan neuron melepaskan
sejumlah besar neurotransmitter miliknya.
Beberapa jenis NAPZA lain mengunci melalui neuron denhgan bekerja
mirip pompa sehingga neuron melepaskan lebih banyak neurotransmitter. Ada
jenis NAPZA yang menghambat reabsorbsi atau reuptake sehingga
neurotransmitter berlebihan.
Pada penggunaan opioid, konsentrasi opioid terdapat pada : VTA ( ventral
tegmental area ), nucleus accumbens, caudate nucleus dan thalamus yang
merupakan sentra kenikmatan yang terdapat pada area otak yang sering dikaitkan
dengan sebutan reward pathway.
Opioid mengikat diri pada reseptor opioid yang berkonsentrasi pada
daerah reward system. Aktivitas opioid pada thalamus mengindikasikan kontribusi
zat tersebut dalam kemampuannya untuk memproduksi analgesik.
Neurotranmitter opioid memiliki ukuran dan bentuk yang sama dengan endorfin,
sehingga ia dapat menguasai reseptor opioid.
Opioid mengaktivasi sistem reward melalui peningkatan neurotransmisi
dopamin. Penggunaan opioid yang berkelanjutan membuat tubuh mengadalkan
diri kepada adanya drug untuk mempertahankan perasaan rewarding dan perilaku
normal lain. Orang tidak lagi mampu merasakan keuntungan reward alami (seperti
makanan, air, sex) dan tidak dapat lagi berfungsi normal tanpa kehadiran opioid.

Komorbiditas
Komorbid adalah keterlibatan dua atau lebih gangguan psikiatrik pada
seorang pasien. Pada pasien yang mendapatkan terapi karena ketergatungan
substansi seperti opioid, alcohol, dan kokain, memiliki prevalensi tinggi
mendapatkan gangguan psikiatri tambahan. Hal ini dibuktikan pada studi
epidemiologi bahwa orang-orang dengan ketergantungan terhadap NAPZA lebih
mudah mengalami gangguan psikiatri lain.

15
1. Gangguan kepribadian antisocial
Pada berbaga macam studi, menunjukkan bahwa 35 sampai 60 persen
pasien dengan ketergantungan NAPZA juga memiliki diagnosa gangguan
kepribadian antisosial.
2. Depresi dan Bunuh diri
Gejala depresi sangat banyak ditemukan pada pasien yang didiagnosa
sebagai penyalahgunaan NAPZA ataupun ketergantungan NAPZA.
Hampir 40 persen pengguna opioid dan alkohol memenuhi kriteria
diagnosis gangguan depresi mayor dalam hidup mereka. Penggunaan
NAPZA juga salah satu penyebab terjadinya bunuh diri. Orang dengan
penyalahgunaan NAPZA, sekitar 20 persen lebih rentan melakukan bunuh
diri dibandingkan populasi pada umumnya.

Menetapkan Diagnosis
Dalam nomenklatur kedokteran, ketergantungan NAPZA adalah suatu
jenis penyakit atau “disease entity” yang dalam ICD–10 (international
classification of disease and health related problems–tenth revision 1992) yang
dikeluarkan oleh WHO digolongkan dalam “Mental and behavioral disorders due
to psychoactive substance use“.
Gambaran klinis utama dari fenomena ketergantiungan dikenal dengan
istilah sindrom ketergantungan (PPDGJ-III,1993). Sehingga diagnosis
ketergantungan NAPZA ditegakkan jika diketemukan tiga atau lebih dari gejala-
gejala di bawah selama masa setahun sebelumnya:
1. Adanya keinginan yang kuat atau dorongan yang memaksa ( kompulsi )
untuk menggunakan NAPZA
2. Kesulitan dalam mengendalikan perilaku menggunakan NAPZA sejak
awal, usaha penghentian atau tingkat penggunaannya
3. Keadaan putus NAPZA secara fisiologis ketika penghentian penggunaan
NAPZA atau pengurangan, terbukti orang tersebut menggunakan NAPZA
atau golongan NAPZA yang sejenis dengan tujuan untuk menghilangkan
atau menghindari terjadinya gejala putus obat.

16
4. Adanya bukti toleransi, berupa peningkatan dosis NAPZA yang diperlukan
guna memperoleh efek yang sama yang biasanya diperoleh dengan dosis
yang lebih rendah.
5. Secara progressif mengabaikan alternatif menikmati kesenangan karena
penggunaan NAPZA, meningkatnya jumlah waktu yang diperlukan untuk
mendapatkan atu menggunakan NAPZA atau pulih dari akibatnya
6. Meneruskan penggunaan NAPZA meskipun ia menyadari dan memahami
adanya akibat yang merugikan kesehatan akibat penggunaan NAPZA
seperti gangguan fungsi hati karena minum alkohol berlebihan, keadaan
depresi sebagai akibat penggunaan yang berat atau hendaya fungsi
kognitif. Segala upaya mesti dilakukan untuk memastikan bahwa
pengguna NAPZA sungguh – sungguh menyadari akan hakikat dan
besarnya bahaya.

Terapi dan Upaya pemulihan


Karakteristik terapi adiksi yang efektif NIDA (National Institute of Drug
Abuse, 1999) menunjuk 13 prinsip dasar terapi efektif berikut, untuk dijadikan
pegangan bagi para profesional dan masyarakat:
1. Tidak ada satupun terapi yang serupa untuk semua individu
2. Kebutuhan mendapatkan terapi harus selalu siap tersedia setiap waktu.
Seorang adiksi umumnya tidak dapat memastikan kapan memutuskan
untuk masuk dalam program terapi. Pada kesempatan pertama ia
mengambil keputusan, harus secepatnya dilaksanakan ( agar ia tidak
berubah pendirian kembali )
3. Terapi yang efektif harus mampu memenuhi banyak kebutuhan ( needs )
individu tersebut, tidak semata – mata hanya untuk kebutuhan memutus
menggunakan NAPZA
4. Rencana program terapi seorang individu harus dinilai secara kontinyu dan
kalau perlu dapat dimodifikasi guna memastikan apakan rencana terapi
telah sesuai dengan perubahan kebutuhan orang tersebut atau belum.

17
5. Mempertahankan pasien dalam satu periode program terapi yang adekuat
merupakan sesuatu yang penting guna menilai apakah terapi cukup efektif
atau tidak
6. Konseling dan terapi perilaku lain merupakan komponen kritis untuk
mendapatkan terapi yang efektif untuk pasien adiksi
7. Medikasi atau psikofarmaka merupakan elemen penting pada terapi
banyak pasien, terutama bila dikombinasikan dengan konseling dan terapi
perilaku lain
8. Seorang yang mengalami adiksi yang juga menderita gangguan mental,
harus mendapatkan terapi untuk keduanya secara integratif
9. Detoksifikasi medik hanya merupakan taraf permulaan terapi adiksi dan
detoksifikasi hanya sedikit bermakna untuk menghentikan terapi jangka
panjang
10. Terapi yang dilakukan secara sukarela tidak menjamin menghasilkan suatu
bentuk terapi yang efektif
11. Kemungkinan penggunaan zat psikoaktif selama terapi berlangsung harus
dimonitor secara kontinyu
12. Program terapi harus menyediakan assesment untuk HIV / AIDS , hepatitis
B dan C, tuberkulosis dan penyakit infeksi lain dan juga menyediakan
konseling untuk membantu pasien agar mampu memodifikasi atau
mengubah tingkah lakunya, serta tidak menyebabkan dirinya atau diri
orang lain pada posisi yang beresiko mendapatkan infeksi
13. Recovery dari kondisi adiksi NAPZA merupakan suatu proses jangka
panjang dan sering mengalami episode terapi yang berulang – ulang

Sasaran terapi
Sasaran jangka panjang terapi pasien/ klien dengan adkisi NAPZA :
1. Abstinensia atau mengurangi penggunaan NAPZA bertahap sampai
abstinensia total. Hasil yang ideal untuk terapi adiksi NAPZA adalah
penghentian total penggunaan NAPZA. Perjanjian pada awal terapi sangat
penting dilakukan, terutama dalam komitmen terapi jangka panjang yang

18
membantu menurunkan angka morbiditas dan penggunaan NAPZA.
Umumnya mayoritas pasien perlu mendapat motivasi yang cukup kuat
untuk menerima abstinensia total sebagai sasaran terapi.
2. Mengurangi frekuensi dan keparahan relaps
Pengurangan frekuensi penggunaan NAPZA dan keparahannya merupakan
sasaran kritis dari terapi. Fokus utama dari pencegahan relaps adalah
membantu pasien.klien mengidentifikasi situasi yang menempatkan
dirinya kepada resiko relaps.
3. Perbaikan dalam fungsi psikologi dan penyesuaian fungsi sosial dalam
masyarakat.
Gangguan penggunaan zat sering dikaitkan dengan problema psikologi
dan sosial, melepaskan diri dari hubungan antar teman dan keluarga,
kegagalan dalam performance di sekolah maupun dalam pekerjaan,
problema finansial dan hukum dan gangguan dalam fungsi kesehatan
umum. Mereka memerlukan terapi spesifik untuk memperbaiki gangguan
hubungannya dengan orang lain tersebut, mengembangkan keterampilan
sosial serta mempertahankan status dalam pekerjaan.

Tahapan terapi
Proses terapi adiksi zat umumnya dapat dibagi atas beberapa fase berikut:
1. Fase penilaian (assesment phase), sering disebut dengan fase penilaian
awal (initial intake). Informasi dapat diperoleh dari pasien dan juga dapat
diperoleh dari anggota keluarga, teman sekantor, atau orang yang
menanggung biaya. Termasuk yang perlu dinilai adalah :
a. Penilaian yang sistematik terhadap level intiksokasi, keparahan
gejala putus obat, dosis zat terbesar yang digunakan terakhir, lama
waktu setelah penggunaan zat terakhir, awitan gejala, frekuensi dan
lamanya penggunaan, efek subjektif dari semua jenis zat yang
digunakan.
b. Riwayat medis dan psikiatri umum yang komprehensif, termasuk
status pemeriksaan fisik dan mental lengkap, untuk memastikan

19
ada tidaknya gangguan komorbiditas psikiatris dan medis seperti
tanda dan gejala intoksikasi atau withdrawal. Pada beberapa kasus
diindikasikan juga pemeriksaan psikologik dan neuropsikologi
c. Riwayat terapi gangguan penggunaan zat sebelumnya, termasuk
karakteristik berikut: setting terapi, kontekstual (volintary,
nonvoluntary), modalitas terapi yang digunakan, kepatuhan
terhadap program terapi, lamanya, jenis zat yang digunakan, level
fungsi sosial dan okupasional yang telah dicapai dan variabel hasi
terapi lainnya
d. Riwayat penggunaan zat sebelumnya, riwayat keluarga dan riwayat
sosioekonomi lengkap, termasuk informasi tentang kemungkinan
adanya gangguan penggunaan zat dan gangguan psikiatri pada
keluarga, faktor dalam keluarga yang mengkontribusi berkembang
atau penggunaan zat terus menerus, penyesuaian sekolah dan
vokasional, hubunggan dengan kelompok sebaya, problema
finansial dan hukum, pengaruh lingkungan kehidupan sekarang
terhadap kemampuannya untuk mematuhi terapi agar tetap
abstinensia di komunitasnya, karakteristik lingkungan pasien
ketika menggunakan zat (dimana, dengan siapa, berapa kali/
banyak, bagaimana cara penggunaan)
e. Skrining urin dan darah kualitatif dan kuantitatif untuk jenis
NAPZA yang disalahgunakan, pemerisaan laboratorium lainnya
terhadap kelainan yang dikaitkan dengan penggunaan zat akut atau
menahun.
f. Skrining penyakit infeksi dan penyakit lain yang sering
diketemukan pada pasien/ klien ketergantungan zat ( seperti HIV,
tuberkulosis, hepatitis ).
2. Fase terapi detoksifikasi, sering disebut dengan fase terapi withdrawal atau
fase terapi intoksikasi. Fase ini memiliki beragam variasi :
a. Rawat inap dan rawat jalan
b. Intensive out – patient treatment

20
c. Terapi simptomatik
d. Rapid dotoxification, ultra rapid detoxification
e. Detoksifikasi dengan menggunakan : kodein dan ibuprofen,
klonidin dan naltrexon, buprenorfin, metadon
3. Fase terapi lanjutan.
Tergantung pada keadaan klinis, strategi terapi harus ditekankan kepada
kebutuhan individu agar tetap bebas obat atau menggunakan program
terapi subtitusi. Umumnya terapi yang baik berjalan antara 24 sampai 36
bulan. Terapi yang lamanya kurang dari jangka waktu tersebut, umumnya
memiliki relaps rate yang tinggi.

F10. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan


alkohol

Pendahuluan
Alkohol merupakan suatu zat psikoaktif yang sering digunakan manusia.
Minuman beralkohol mengandung etil alkohol yang disebut juga etanol. Alkohol
diperoleh dari proses fermentasi madu, gula, sari buah, dan umbi-umbian. Dari
proses fermentasi tersebut diperoleh alkohol dengan kadar tidak lebih dari 15%.
Dengan proses penyulingan di pabrik, dapat dihasilkan alkohol dengan kadar yang
lebih tinggi.
Alkohol adalah zat yang mempunyai efek ganda pada tubuh. Pertama
adalah efek depresan yang singkat, dan kedua adalah agitasi pada susunan saraf
pusat yang berlangsung enam kali lebih lama dari efek depresannya.

Absorpsi

21
Sekitar 10 persen alkohol yang dikonsumsi diabsorbsi melalui lambung,
sisanya melalui usus halus. Konsentrasi puncak alkohol dalam darah dicapai
dalam 30 sampai 90 menit, biasanya 45 sampai 60 menit tergantung dari apakah
alkohol dikonsumsi dalam keadaan perut kosong atau dengan makanan.
Tubuh memiliki alat pelindung terhadap alkohol. Bila konsentrasi alkohol
di lambung terlalu tinggi, mukus akan disekresidan katup pilorik menutup. Aksi
ini akan memperlambat absorpsi dan mencegah alkohol masuk ke usus halus.

Metabolisme
Sekitar 90% alkohol yang diabsorpsi dimetabolisme melalui oksidasi di
hepar, 10 % sisanya dieksresi tanpa mengalami perubahan oleh ginjal. Tubuh
memetabolisasi sekitar 15 mg/dL per jam dengan kisaran 10-34 mg/dL per jam.
Alkohol dimetabolisasi oleh dua enzim, yaitu alkohol dehidrogenase
(ADH) dan aldehid dehidrogenase. ADH mengkatalisasi konversi alkohol menjadi
asetaldehid yang merupakan senyawa toksik. Aldehid dehidrogenase
mengkatalisasi konversi asetaldehid menjadi asam asetat. Aldehid dehidrogenase
diinhibisi oleh disulfiram (Antabuse). Yang sering digunakan dalam penanganan
gangguan terkait alkohol.

Interaksi obat
Interaksi alkohol dengan zat lain dapat berbahaya dan berakibat fatal.
Seperti interaksi dengan fenobarbital (Luminal) dimetabolisme oleh hepar dan
penggunaan jangka waktu yang lama dapat mengakibatkan akselerasi
metabolismenya.
Efek alkohol dan depresan susunan saraf pusat lain biasanya sinergistik.
Peningkatan dosis obat hipnotik sedatif seperti kloral hidrat (Noctec) dan
golongan benzodiazepin terutama bila dikombinasikan dengan alkohol
menimbulkan kisaran efek dari sedasi hingga hendaya motorik dan intelektual
sampai stupor, koma, dan kematian.

Golongan minuman beralkohol:

22
- Golongan A : kadar etanol 1-5 % (bir)
- Golongan B : kadar etanol 5-20% (minuman anggur)
- Golongan C : kadar etanol 20-45% (whiskey, vodca, Johny Walker)

Nama lain : booze, drink

Efek alkohol
Efek jangka pendek
Alkohol merangsang berbagai reseptor GABA yang berperan dalam
mengurangi ketegangan. Alkohol juga meningkatkan kadar serotonin dan
dopamin yang dapat memberikan efek yang menyenangkan. Alkohol juga
menghambat berbagai reseptor glutamat yang dapat menimbulkan efek kognitif
intoksikasi alkohol, seperti berbicara dengan tidak jelas dan hilangnya memori.

Efek jangka panjang


Efek jangka panjang mengonsumsi alkohol dapat menimbulkan kerusakan
biologis di samping kemunduran psikologis. Konsumsi alkohol dalam jangka
waktu yang lama memberikan efek negatif hampir setiap jaringan dan organ
tubuh. Malnutrisi dapat terjadi dikarenakan alkohol mengandung kalori yang
tinggi. Peminum alkohol berat seringkali mengurangi asupan makanan mereka,
namun kalori yang dipasok alkohol tidak ada.
Alkohol juga mengurangi efektifitas sistem imun yang mengakibatkan
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi dan kanker. Bagi wanita hamil,
konsumsi alkohol pada masa kehamilan merupakan penyebab utama retardasi
mental dan kelainan kongenital lainnya)

Kriteria diagnosis DSM IV TR untuk intoksikasi alkohol


A. Baru-bari ini mengonsumsi alkohol.
B. Perubahan perilaku atau psikologis maladaptif yang secara klinis
bermakna (perilaku agresif atau seksual yang tidak pada tempatnya, mood

23
yang labil, funsi sosial dan okupasional terganggu yang timbul selama atau
segera setelah ingesti alkohol
C. Satu (atau lebih) tanda berikut yang timbul selama atau segera setelah
penggunaan alkohol:
a. Pembicaraan meracau
b. Inkoordinasi
c. Gaya berjalan tidak stabil
d. Nistagmus
e. Gangguan atensi atau memori
f. Stupor atau koma
Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh ganggungan mental lain

Kriteria diagnosis DSM IV TR untuk keadaan putus alkohol


A. Penghentian (atau pengurangan) penggunaan alkohol yang sebelumnya
berat dan berkepanjangan.
B. Dua (atau lebih) hal berikut, yang timbul dalam beberapa jam sampai
beberapa hari setelah kriteria A:
1. hiperaktivitas otonom (berkeringat atau frekuensi denyut
jantung > 100 kali/ menit
2. peningkatan tremor tangan
3. insomnia
4. mual dan muntah
5. halusinasi atau ilusi visual, taktik, atau auditorik sesaat
6. agitasi psikomotor
7. ansietas
8. kejang grand mal
C. Gejala pada kriteria B menyebabkan penderitaan atau gangguan yang
secara klinis bermakna dalam fungsi sosial, okupasional, atau area fungsi
penting lain

24
D. Gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain
Tentukan apakah:
Dengan gangguan persepsi

Delirium tremens (DTs)


Delirium tremens (DTs) adalah suatu kondisi emergensi pada putus zat
alkohol yang dapat mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang signifikan.
Pasien DT memiliki angka mortalitas sekitar 20 % yang biasanya terjadi
bersamaan dengan penyakit medis yang lain seperti pneumonia, penyakit ginjal,
dan gagal jantung. Muncul sekitar 1 minggu setelah seseorang berhenti minum
atau mengurangi asupan alkohol.
Gejala prodmonal khas berupa: insomnia, gemetar, dan ketakutan. Onset
dapat didahului oleh kejang akibat putus zat. Trias yang klasik dari gejalanya
adalah kesadaran berkabut dan kebingungan, halusinasi dan ilusi mengenai salah
satu modalitas sensorik, dan tremor hebat. Biasanya ditemukan waham, agitasi,
insomnia, atau siklus tidur yang terbalik, dan aktivitas otonomik yang berlebihan.
Penanganan terbaik untuk DT adalah pencegahan. pasien yang
menunjukkan gejala putus zat sebaiknya mendapat benzodiazepin seperti
klordiazepoksid 25-50 mg tiap 2-4 jam hingga sudah ada perbaikan. Bila delirium
sudah muncul, diberikan 50-100 mg tiap 4 jam per oral atau lorazepam secara
intravena bila oral tidak memungkinkan.

Sindrom Wernicke-Korsakoff
Ensefalopati wernicke merupakan suatu kumpulan gejala akut yang
bersifat reversibel dengan penanganan. Pada sindrom korsakoff (kondisi kronik)
hanya sekitar 20% yang sembuh. Hubungan patofisiologi antara kedua sindrom
tersebut adalah defisiensi tiamin. Tiamin merupakan kofaktor sejumlah enzim
penting dan terlibat dalam konduksi potensial aksi sepanjang akson dan pada
transmisi sinaptik.

25
Lesi neuropatologisnya simetris dan paraventrikular, melibatkan talamus,
hipotalamus, pons, medula, forniks, dan serebelum. Ensefalopati wernicke disebut
juga ensefalopati alkoholik merupakan suatu gangguan neurologis akut yang
ditandai dengan ataksia, disfungsi vestibular, kebingungan, dan berbagai
abnormalitas motilitas okular, termasuk nistagmus horizontal dan gaze palsy.
Tanda pada mata ini biasanya bilateral tapi tidak selalu simetris. Ensefalopati
wernicke dapat sembuh spontan dalam beberapa hari atau minggu atau dapat
berkembang menjadi sindrom Korsakoff.
Pada tahap awal ensefalopati wernicke berespon cepat dengan pemberian
tiamin parenteral dosis tinggi. Dosis yang diberikan pada ensefalopati wernicke
dan sindrom korsakoff dimulai dari 100 mg per oral 2 atau 3 kali sehari selama 1
sampai 2 minggu. Regimen terapi pada sindrom korsakoff dilanjutkan 3 sampai
12 bulan.

Fetal alkohol syndrome (FAS)


Perempuan hamil yang mengonsumsi alkohol akan membuat janinnya juga
mengonsumsi alkohol in utera. Gangguan utama penggunaan alkohol pada janin
yaitu Fetal alkohol syndrome (FAS). FAS menetap selama kehidupan dan tidak
dapat diperbaiki.
Alkohol menghambat pertumbuhan intrauterin dan perkembangan
pascanatal. Mikrosefali, malformasi kraniofasial serta defek tungkai dan jantung
lazim dijumpai pada bayi yang terkena. Wanita dengan gangguan terkait alkohol
memiliki resiko 35 % melahirkan anak dengan defek. Mekanisme pastinya belum
diketahui, namun defek tersebut kemungkinan timbul akibat pajanan in utero
terhadap etanol atau metabolitnya, alkohol juga dapat mengakibatkan
ketidakseimbangan hormon yang meningkatkan resiko abnormalitas

Penanganan dan Rehabilitasi


Intervensi
Intervensi yang disebut juga konfrontasi adalah memutus penyangkalan
dan membantu pasien mengenali konsekuensi yang akan terjadi jika gangguan ini

26
tidak diobati. Tujuannya adalah memaksimalkan motivasi terapi dan abtinensia
berkelanjutan. Keluarga sangat berperan dalam intervensi. Sikap melindungi
pasien dari masalah yang diakibatkan karena pengaruh alkohol harus dihindari.

Detoksifikasi
Jika kesehatan pasien relatif baik, nutrisi adekuat, dan memiliki sistem
dukungan sosial yang baik, sindrom putus alkohol biasanya menyerupai kasus flu
ringan. Langkah pertama adalah dengan pemeriksaan fisik. Langkah kedua adalah
memberi istirahat, nutrisi adekuat, dan multipel vitamin terutama yang
mengandung tiamin.

Rehabilitasi
Komponen dalam rehabilitasi mencakup:
- upaya berkelanjutan untuk meningkatkan dan mempertahankan kadar
motivasi abstinensia yang tinggi
- bekerja membantu pasien menyesuaikan kembali gaya hidup bebas
alkohol
- pencegahan relaps

Konseling
Upaya konseling pada beberapa bulan pertama sebaiknya fokus pada isu
kehidupan hari ke hari untuk membantu pasien mempertahankan kadar motivasi
abstinensia yang tinggi. Konseling dilakukan 3-6 bulan pertama perawatan.
Untuk mengoptimalkan motivasi, sesi terapi sebaiknya membahas tentang
konsekuensi minum alkohol, kemungkinan masalah kehidupan terkait dengan
alkohol, dan perbaikan nayata yang diharapkan dengan abstinensia. Konseling
diberikan minimal 3 kali seminggu untuk 1 bulan pertama yang dilanjutkan 1 kali
seminggu selam 3-6 bulan berikutnya.

Pengobatan

27
Ansietas dan insomnia yang menetap sebagai reaksi terhadap stress
kehidupan dan abstinensia yang memanjang. Sebaiknya ditangani ditangani
dengan pendekatan modifikasi perilaku. Pemberian benzodiazepin kehilangan
efektivitas untuk gejala tersebut. Pemberian antidepressan atau lithium untuk
mengatasi depresi dan gangguan mood tidak bermanfaat.
Alkohol disulfiram diberikan dengan dosis harian 250 mg dengan tujuan
menempatkan pasien pada keadaan di mana bila mengonsumsi alkohol akan
menimbulkan reaksi fisik yang tidak menyenangkan termasuk mual, muntah, rasa
terbakar di wajah dan lambung. Efektifitas disulfiram hanya sedikit data yang
membuktikan efektif (hanya plasebo).
Akramposat (campral) menurut penelitian hasilnya lebih efektif 10-20%
dibandingkan dengan plasebo. Mekanisme belum diketahui dengan jelas,
kemungkinan bekerja secara langsung pada reseptor GABA atau N-metil-D-
aspartat dengan efek mengganggu terjadinya toleransi atau ketergantungan fisik
terhadap alkohol.

F11. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan opioid

Pendahuluan
Opioid telah digunakan selama sedikitnya 3500 tahun, sebagian besar
digunakan dalam bentuk opium mentah atau larutan opium dalam alkohol. Kata
opioid berasal dari kata opium, sari bunga opium, Papaver Somniferum yang
mengandung sekitar 20 alkaloid opium. Opioid dihasilkan dari cairan getah opium
poppy yang diolah menjadi morfin yang kemudian diolah dengan proses tertentu
menjadi putauw. Putau mempunyai kekuatan 10 kali melebihi morfin.
Opioid biasanya digunakan dokter untuk menghilangkan nyeri melalui
mekanisme efek depresi pada otak (analgetik kuat). Morfin yang merupakan

28
bagian dari opioid sering digunakan (medis) untuk mengatasi nyeri dada dan rasa
sakit yang berlebih pada keganasan. Akan tetapi pada perkembangannya sering
disalahgunakan.
Ketergantungan opioid merupakan suatu kumpulan gejala fisiologis,
perilaku, dan kognitif yang bersama-sama mengindikasikan penggunaan berulang
dan berkelanjutan zat opioid meski ada masalah signifikan yang berkaitan dengan
penggunaan tersebut.
Penyalahgunaan opioid adalah istilah yang digunakan untuk merujuk suatu
pola penggunaan zat opioid maladaptif yang mengarah ke hendaya atau gangguan
yang signifikan yang secara klinis dan terjadi dalam periode 12 bulan, namun
gejalanya tidak pernah memenuhi criteria ketergantungan opioid
Gangguan terinduksi opioid seperti yang didefinisikan DSM IV TR
mencakup intoksikasi opioid, keadaan putus opioid, gangguan tidur terinduksi
opioid, disfungsi seksual terinduksi opioid, delirium pada intoksikasi opioid,
gangguan psikotik terinduksi opioid, gangguan mood terinduksi opioid, gangguan
ansietas terinduksi opioid, dan gangguan terkait opioid yang tak tergolongkan
untuk situasi yang tidak memenuhi kriteria gangguan terkait opioid lain.

Golongan
Opioid dibagi dalam tiga golongan besar yaitu:
- alamiah : morfin, kodein
- semi sintetik : heroin, putauw
- sintetik : meperidin, metadon

Nama lain: putauw, black heroin, brown sugar

Jenis obat opium, dosis fatal, dan dosis pengobatan


Jenis obat Dosis fatal (g) Dosis pengobatan
(mg)
Kodein 0,8 60
Dekstrometorfan 0,5 60-120/ hari

29
Heroin 0,2 4
Loperamid (Imodium) 0,5
Meperidin (Petidin) 1 100
Morfin 0,2 10
Naloxone (Narcan)
Opium (papaver somniferum) 0,3
Pentazocaine (Talwin) 0,3

Farmakologi opiat
Setelah pemberian dosis tunggal heroin (putauw) di dalam tubuh akan
dihidrolisis oleh hati (6-10 menit) menjadi 6 monoacetyl morphine dan setelah itu
diubah menjdai morfin. Morfin selanjutnya akan diubah menjadi mo 3
monoglucoronide dan mo 6 monoglucoronide yang larut di dalam air. Bentuk
metabolit ini yang dapat dites di dalam urin. Oleh karena heroin larut di dalam
lemak, maka bahan tersebut (60%) dapat melalui sawar otak dalam waktu yang
cepat.

Mekanisme toksisitas
Pada umumnya kelompok opioid mempunyai kemampuan untuk
menstimulasi susunan saraf pusat melalui aktivasi reseptornya yang menyebabkan
efek sedasi dan depresi napas. Kematian umumnya terjadi karena apnea dan
aspirasi paru dari cairan lambung.
Reaksi toksisitas sangat beragam dari masing-masing jenis obat opiat
tergantung dari cara pemberian (rute), efek toleransi (pemakai kronik), lama kerja,
dan masa paruh obat. Dengan ditemukannya tipe reseptor opioid di susunan saraf
pusat, maka mekanisme toksisitas dan antidotnya dapat diterangkan melalui
reseptornya.
Beberapa jenis reseptor:
- Mu1 (μ1): berefek analgesik, euforia, dan hipotermia
- Mu2 (μ2): bredikardi, depresi napas, miosis, euforia, penurunan kontraksi
usus, dan ketergantungan fisisk

30
- Kappa (κ): spinal analgesik, depresi naaps, miosis, dan hipotermia
- Delta (δ): depresi napas, disforia, halusinasi, vasomotor stimulasi
- Gamma (γ): inhibisi otot polos, spinal analgesik

Gangguan terkait opioid DSM IV TR


- Gangguan penggunaan opioid
- Ketergantungan opioid
- Penyalahgunaan opioid
- Gangguan terinduksi opioid
- Intoksikasi opioid
o Tentukan apakah:
dengan gangguan persepsi
- Keadaan putus opioid
- Delirium pada intoksikasi opioid
- Gangguan psikotik terinduksi opioid, dengan waham:
o Tentukan apakah:
Dengan awitan saat intoksikasi
- Gangguan psikotik terinduksi opioid, dengan halusinasi
o Tentukan apakah:
Dengan awitan saat intoksikasi
- Gangguan mood terinduksi opioid
o Tentukan apakah:
Dengan awitan saat intoksikasi
- Disfungsi seksual terinduksi opioid
o Tentukan apakah:
Dengan awitan saat intoksikasi
- Gangguan tidur terinduksi opioid
o Tentukan apakah:
Dengan awitan saat intoksikasi
Dengan awitan saat putus zat

31
- Gangguan terkait opioid yang tak tergolongkan

Kriteria diagnostik DSM IV TR untuk intoksikasi opioid


A. Penggunaan opioid baru-baru ini
B. Perubahan psikologis atau perilaku maladaptif yang secara klinis
signifikan (euforia inisial yang diikuti dengan apatis, disforia, agitasi atau
retardasi psikomotor, daya nilai terganggu atau fungsi sosial dan pekerjaan
yang terganggu) yang terjadi selama atau segera setelah pemakaian opioid
C. Konstriksi pupil (atau dilatasi oleh karena anoksia pada overdosis berat)
dan satu (atau lebih) tanda berikut, timbul selama atau segera setelah
penggunaan opioid:
1. mengantuk atau koma
2. bicara cadel
3. hendaya atensi dan memori
D. Gejala-gejalanya tidak dikarenakan kondisi medis umum atau tidak lebih
baik diterangkan oleh gangguan mental lainnya.
Tentukan apakah:
Gangguan persepsi

Kriteria diagnosis DSM IV TR pada keadaan putus zat opioid


A. Salah satu dari berikut ini:
1. penghentian mendadak (atau pengurangan) penggunaan yang
berlangsung lama (beberapa minggu atau lebih)
2. pemberian antagonis opioid setelah suatu periode penggunaan
opioid.
B. Tiga atau lebih hal-hal berikut terjadi dalamhitungan menit sampai
beberapa hari setelah kriteria A:
1. mood disforik
2. mual dan muntah
3. nyeri otot
4. lakrimasi atau rhinorhea

32
5. dilatasi pupil, piloereksi, berkeringat
6. diare
7. menguap
8. febris
9. insomnia
C. Gejala-gejala kriteria B di atas menyebabkan penderitaan yang bermakna
secara klinis atau gangguan dalam hal sosial, pekerjaan, atau area fungsi
penting lainnya.
D. Gejala-gejalanya tidak karena kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lainnya.

Penatalaksanaan intoksikasi opiat


- Penanganan kegawatan: bebaskan jalan napas, berikan oksigen 100%,
pasang infus dekstrose 5% atau NaCl 0,9%
- Pemberian antidotum nalokson :
o Tanpa hipoventilasi: 0,4 mg iv
o Dengan hipoventilasi 1-2 mg iv
o Bila tidak ada respon dalam 5 menit, pemberian nalokson dapat
diulang hingga timbul respon pupil dilatasi, perbaikan kesadaran,
hilangnya depresi napas, atau sudah mencapai dosis maksimal 10
mg. Bila tetap tidak ada respon, lapor konsulen tim narkoba.
- Pasien dirawat dan dikonsultasikan ke Tim Narkoba bagian Ilmu Penyakit
Dalam untuk penilaian keadaan klinis dan rencana rehabilitasi
- Bila diperlukan pasien sebelumnya dipasang NGT untuk mencegah
aspirasi

F12 GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT


PENGGUNAAN KANABINOID

PENDAHULUAN

33
Kanabis (Ganja, Marijuana, Hasis) termasuk golongan zat adiktif.
Pemanfaatannya sebagai obat telah dikenal sejak kurang lebih 5000 tahun yang
lalu di negeri Cina dan kemudian didokumentasikan oleh Herodotus, seorang ahli
sejarah Yunani.
Komponen psikoaktif utama yang terdapat di dalam ganja adalah delta-9-
tetrahidrokanabinol(THK). Penyalahgunaan ganja paling banyak dengan
menghisap dan menelan, kadang-kadang menyuntikkan secara intravena. Rata-
rata satu lintingan ganja mengandung 2,5 – 5 mg THK.
Penggunaan ganja dengan cara dihisap, kadar tertinggi di dalam plasma
akan dicapai dalam waktu 10 menit. Efek subjektif dan fisiologis timbul dalam
waktu 20 – 30 menit. Intoksikasi umumnya berakhir dalam waktu 2 – 3 jam. Bila
ganja ditelan, onsetnya mulai terlihat dalam waktu 0,5 – 1 jam, kadar puncak di
dalam darah tercapai dalam waktu 2 – 3 jam dan efeknya berakhir dalam waktu 8
jam.
Intoksikasi kanabis merupakan satu sindrom mental organik akibat
menggunakan kanabis, yang merupakan salah satu zat yang paling banyak
digunakan di berbagai tempat di dunia. Zat ini ditemukan sebagai kandungan
dalam getah tumbuhan ganja yang dapat menyebabkan perubahan dalam kejiwaan
dan somatik bila dihisap atau dimakan dalam jumlah yang cukup besar.
Istilah ketergantungan obat mempunyai arti yang lebih luas daripada
istilah ketagihan atau adiksi obat. “Expert Committee On Drugs Liable
To Produce Addiction” ( Panitia Ahli tentang obat-obat yang besar
kemungkinannya menimbulkan ketagihan ) WHO menyarankan definisi ketagihan
sebagai suatu keadaan keracunan yang periodik atau menahun , yang merugikan
individu sendiri dan masyarakat yang disebabkan oleh penggunaan suatu obat
( asli atau sintetik ) yang berulang-ulang dengan ciri-ciri sebagai berikut :
1. Keinginan atau kebutuhan yang luar biasa untuk meneruskan penggunaan
obat itu dan usaha mendapatkannya dengan segala cara.
2. Kecenderungan menaikkan dosis.
3. Ketergantungan psikologik (emosional) dan kadang-kadang juga
ketergantungan fisik pada obat itu.

34
Sepintas lalu tersebar luas untuk keperluan rekreasi. Tidak terjadi
ketergantungan fisik. Dapat menyebabkan eforia, relaksasi dan sedasi. Kadang-
kadang menyebabkan efek yang berlawanan termasuk depresi, panik,
penyimpangan dalam persepsi waktu, halusinasi, peningkatan ketajaman
pendengaran. Hal ini biasanya lebih sering terdapat pada kepribadian yang lemah,
tapi sulit diduga. Dapat terjadi kesalahan dalam penilaian, misalnya pada waktu
mengendarai mobil.
EPIDEMIOLOGI
The Monitoring The Future melakukan survey pada remaja usia sekolah
menunjukkan peningkatan penggunaan ganja pada usia 15 – 18 tahun. Pada tahun
1996, 23,1% pada usia 15 tahun dan 39,8% pada usia 18 tahun dilaporkan
menggunakan ganja setiap hari. Rasio penggunaan kanabis pada laki-laki dan
perempuan adalah 2 : 1 pada semua tingkat usia.
Penelitian yang lain terhadap prevalensi penggunaan ganja diperoleh
dari National Household Survey On Drug Abuse, dalam suatu populasi diambil
sample secara acak di seluruh Amerika, ganja lebih banyak digunakan dalam
penelitian meskipun telah dilarang. Prevalensi umur, pemakai ganja meningkat
pada setiap kelompok umur sampai usia 34 tahun dan menurun secara perlahan
diatas usia ini. Mereka yang berumur 18 – 21 tahun merupakan kelompok yang
paling banyak menggunakan ganja dan berkurang pada mereka yang berumur 50
tahun atau lebih, yaitu sekitar 1%. Menurut revisi sebuah kepustakaan, sekitar 5%
dari seluruh populasi yang menggunakan ganja mengalami ketergantungan.

GEJALA KLINIS
1. Masalah Kedaruratan
a. Reaksi Panik
Ini termasuk kondisi klasik yang timbul akibat penggunaan
ganja (“drug induce panic”). Gejala yang timbul pada dasarnya adalah
efek biasa saja dari ganja, tetapi pada pemakai pemula(“naïve”) dirasakan

35
berlebihan/mengancam. Segera setelah menggunakan ganja , pasien
merasa takut/kehilangan kontrol, bahwa apa yang telah ia lakukan akan
mencelakakan dirinya atau takut menjadi gila sehingga mendorongnya
mencari bantuan teman, kerabat atau polisi. Pemeriksaan fisik
mencerminkan adanya rasa khawatir dan cemas yang ditunjukkan oleh
aktivitas berlebihan system saraf simpatik, misalnya meningkatnya denyut
nadi dan pernafasan serta tekanan darah. Ditemukan pula dilatasi pupil
ringan dan berkeringat yang berlebihan.
b. Kilas Balik
Merupakan kondisi berupa berulangnya secara spontan perasaan dan
persepsi seperti ketika mengalami intoksikasi, meskipun yang
bersangkutan tidak menggunakan ganja. Meskipun kondisi ini berlangsung
relative ringan, perlu mendapatkan perhatian oleh karena pasien meyakini
dirinya mengalami kerusakan otak permanen sehubungan dengan
berulangnya “efek ganja”. Pengalaman yang dirasakan adalah perubahan
penglihatan, objek berubah disertai dengan pengalaman yang mirip tapi
tidak sama dengan efek yang ditimbulkan oleh ganja. Dapat pula timbul
perasaan cemas, sedih, dan kadang-kadang paranoia. Pasien merasa waktu
berjalan lambat, tapi intensitasnya tidak sehebat pada “high” yang
sebenarnya. Adakalanya ganja justru memicu timbulnya kilas balik pada
pasien yang sebelumnya mempunyai riwayat penggunaan halusinogenika.
Meskipun jarang terjadi, kilas balik bisa berlangsung kronis dan menetap.
Untuk itu diperlukan evaluasi neurologis lebih lanjut.

c. Kecelakaan
Kecelakaan seringkali terjadi karena menurunnya kemampuan menilai,
lalu kesalahan dalam menentukan jarak dan waktu. Bukti-bukti
menunjukkan bahwa kemampuan seseorang mengendarai mobil menurun
sampai 8 jam setelah menghisap ganja. Lebih jauh penelitian menunjukkan
17% kecelakaan fatal yang terjadi pada pengendara mobil ditemukan hasil

36
urinalisis positif pada ganja. Bahkan seorang pilot yang berpengalaman,
kemampuannya akan menurun sampai 24 jam setelah “recreational use”.
2. Intoksikasi Ganja
Gejala-gejala :
 Perasaan waktu berjalan lambat dan apatis serta bingung
 Perasaan melambung
 Perubahan proses pikir, inkoheren dan asosiasi longgar, bicara cepat atau
malah sulit bicara
 Percaya diri meningkat, disinhibisi serta merasa lebih peka
 Depersonalisasi, derealisasi dan disorientasi
 Gangguan daya ingat jangka pendek
 Ketawa, tampak seperti tolol dan rileks
 Daya nilai realita terganggu, halusinasi visual dan pendengaran
 Mudah disugesti, emosi labil, bingung dan takut menjadi gila
 Menurunnya perhatian dan konsentrasi, mengantuk dan seperti mimpi
 Merasa pisah dari lingkungannya
 Waham kejaran dan paranoia, ilusi, cemas, depresi dan panik serta takut
mati
 Merasa identitas diri dan “body image” berubah
 Mual-mual, diare, haus dan nafsu makan meningkat
 Parestesi, perasaan berat di kepala, pusing dan “precordial distress”
 Perasaan seksual berubah
Tanda-tanda
 Tremor
 Takikardi
 Mulut kering
 Meningkatnya kepekaan terhadap sentuhan dan rasa sakit
 Nistagmus
 Banyak berkeringat
 Gelisah
 Mata merah

37
 Ataksia
 Sering kencing
 Fungsi social dan pekerjaan terganggu.
3. Gangguan Psikotik akibat Penggunaan Ganja
Biasanya timbul bila takaran pemakaian sangat berlebihan dengan
akibat timbulnya paranoid dan halusinasi visual yang bersifat sementara.
Kajian retrospektif pada pemakaian berat di India ditemukan tingkah laku aneh,
kekerasan dan panik yang berlangsung sementara.(8)
4. Sindrom Otak Organik
 Ditandai terutama oleh proses mental berkabut yang terdiri dari kesulitan
berpikir dan pikiran tumpul
 Terganggunya kemampuan mencari sesuatu ( tracking ability )
 Menurunnya daya ingat jangka pendek
 Menurunnya konsentrasi dan kemampuan belajar.
5. Keadaan Putus Ganja
Ganja dapat menimbulkan ketergantungan fisik yang ringan, dan bilamana
itu terjadi ada kemungkinan terjadinya keadaan putus ganja dengan gejala dan
tanda-tanda seperti insomnia, mual, mialgia, cemas, gelisah, mudah tersinggung,
demam, berkeringat, nafsu makan menurun, fotofobia(“cannabis craving”),
depresi, bingung, menguap, diare, kehilangan berat badan dan tremor.

DIAGNOSIS
Kriteria diagnosis untuk intoksikasi Kanabis sebagai berikut
1. Baru saja menggunakan ganja
2. Perubahan perilaku maladaptive (seperti euphoria, ansietas, curiga atau
gagasan paranoid, rasa jalannya waktu lamban, gangguan daya
mempertimbangkan dan penarikan diri secara social)
3. Sedikitnya dua dari gejala di bawah ini yang timbul 2 jam setelah
penggunaan ganja :
- Konjungtiva merah
- Nafsu makan bertambah

38
- Mulut kering
- Takikardi
4. Bukan karena gangguan fisik atau mental lainnya.

TERAPI
Penatalaksanaan pada mereka yang menggunakan ganja pada prinsipnya
sama dengan penatalaksanaan dari penyalahgunaan zat lain, melalui menghentian
dan dukungan. Penghentian dapat dicapai melalui hospitalisasi atau dengan
mengontrol pasien melalui tes skrining urin. Dimana kanabis bisa dideteksi dalam
3 hari sampai 4 minggu setelah digunakan. Dukungan dapat diperoleh dari
individu itu sendiri, keluarga dan para psikoterapi.
Farmakoterapi dapat diberikan bila anxietas tidak dapat diatasi, dengan
memberikan antianxietas seperti klordiazepoksid 10-50 mg/oral, yang dapat
diulangi setelah 1 jam. Oleh karena menetapnya metabolit THK di dalam tubuh,
pasien diberitahu bahwa mereka mungkin mengalami perasaan intoksikasi ringan
dalam 2-4 hari. Bila reaksi memberat maka kepada pasien dan keluarganya
dikemukakan kemungkinan adanya komorbiditas gangguan jiwa lain. Pada
Psikotik akibat penggunaan ganja, dapat diberikan antipsikotik untuk jangka
pendek dalam rangka mengatasi perilaku yang tidak diinginkan, dapat diberikan
haloperidol 5 mg/hari dalam dosis terbagi atau klorpromazin 25-150 mg/oral.

DIAGNOSIS BANDING
Penyalahgunaan ganja dapat menyerupai kelainan mental primer,
seperti gangguan cemas umum. Pemakaian ganja yang sudah lama dapat
menunjukkan gejala yang mirip dengan dysthimic disorder. Reaksi akut yang
berbahaya harus dibedakan dengan gangguan panik, gangguan depresi berat,
waham, gangguan bipolar atau skizofrenia tipe paranoid. Pemeriksaan fisik
biasanya menunjukkan peningkatan denyut nadi dan injeksio konjungtiva. Tes
toksikologikal urin juga dapat membantu dalam penegakan diagnosis.

PROGNOSIS

39
Masih belum jelas apakah benar pemakaian ganja kronis menimbulkan
psikosis ganja, atau memang sebelumnya sudah ada gangguan jiwa. Ganja
diketahui mengintensifkan kondisi skizofrenia yang sebelumnya sudah ada dan
mempunyai efek antagonis terhadap neuroleptika. Pada beberapa kasus psikosis,
ganja memiliki respon cepat terhadap obat-obatan antipsikotik. Bila psikosis
menetap, hendaklah dipikirkan skizofrenia primer dibalik itu.
Berdasarkan pernyataan di atas dapat simpulkan bahwa prognosis
gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kanabis masih dubia.

F13. GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN


SEDATIVA ATAUPUN HIPNOTIK

Pendahuluan
Obat yang dikaitkan dengan kelas gangguan terkait zat ini adalah golongan
benzodiazepine, flunitrazepam, barbiturat, zat lir-barbiturat yag meliputi
metakualon dan meprobamat. indikasi non-psikiatri utama untuk obat-obatan ini
adalah sebagai antiepileptic, relaksan otot, anestetik, dan ajuvan anestetik.
Sedatif adalah obat yang mengurangi ketegangan subjektif dan menginduksi
ketenangan mental. Istilah sedatif hampir sinonim dengan istilah ansiolitik, obat
yang mengurangi ansietas.
Hipnotik adalah obat yang digunakan untuk menginduksi tidur.

BENZODIAZEPIN
Terutama digunakan sebagai ansiolitik, hipnotik, antiepileptic, dan
anastetik, juga untuk keadaan putus alcohol.

BARBITURAT

40
Pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1903. Barbital
dan fenobarbital adalah obat kerja lama dengan waktu paruh 12-24 jam.
Amobarbital adalah barbiturate kerja menengah dengan waktu paruh 6-12 jam.
Pentobarbital dan sekobarbital adalah barbiturate kerja singkat dengan waktu
paruh 3-6 jam.

ZAT LIR-BARBITURAT
Zat lir-barbiturat yang paling sering disalahgunakan adalah metakualon,
yang tidak lagi diproduksi di AS. Obat ini sering digunakan orang muda yang
percaya bahwa zat tersebut meningkatkan kesenangan dalam aktivitas seksual.
Penyalahgunaan metakualon biasanya mengkonsumsi satu atau dua tablet standar
(300mg) untuk memperoleh efek yang diinginkan.

NEUROFARMAKOLOGI
Benzodiazepine, barbiturate, dan zat lir-barbiturat semua memiliki efek primer
terhadap kompleks reseptor asam Y-aminobutirat (GABA) tipe A (GABA A), yang
memuat kanal ion klorida, situs pengikat GABA.

DIAGNOSIS
Kiteria Diagnosis DSM-IV-TR Intoksikasi Zat sedatif ataupun hipnotik
A. Penggunaan sedatif, hipnotik, atau ansiolitik baru-baru ini.
B. Perubahan psikologis atau perilaku maladaotif yang secara klinis
signifikan (cth., perilaku seksual tidak pada tempatnya atau agresif,
labilitas mood, daya nilai terganggu, fungsi sosial atau okupasional
terganggu) yang timbul selama atau segera setelah penggunaan sedatif,
hipnotik, atau ansiolitik.
C. Satu atau lebih tanda berikut, timbul selama,atau segera setelah
penggunaan sedatif, hipnotik, atau ansiolitik.
a. Biacara cadel
b. Inkoordinasi
c. Cara berjalan tidak stabil
d. Nistagmus
e. Hendaya atensi atau memori
f. Stupor atau koma

41
D. Gejala tidak disebabkan kondisi medisi umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.

INTOKSIKASI
Meski sindrom intoksikasi yang diinduksi oleh semua zat ini serupa,
perbedaan klinis yang samar dapat diamati, terutama dengan intoksikasi yang
melibatkan dosis kecil.

Benzodiazepine
Intoksikasi benzodiazepine dapat menimbulkan perilaku hostil atau agresif pada
beberapa orang. Efeknya paling sering terjadi ketika benzodiazepine dikonsumsi
bersamaan dengan alkohol. Intoksikasi benzodiazepine lebih sedikit
mengakibatkan eforia disbanding zat lainnya.

Barbiturat dan Lir-barbiturat


Ketika kedua zat ini dikonsumsi dalam jumlah relative kecil, sindrom klinis
intoksikasinya mirip dengan intoksikasi alkohol. Gejala meliputi kemalasan,
inkoordinasi, kesulitan berpikir, daya ingat buruk, bicara dan pemahaman lambat,
daya nilai salah, impuls agresif seksual yang ridak dapat dihambat, kisaran atensi
menyempit, labilitas emosi, dan ciri kepribadian dasar yang berlebihan.
Kemalasan biasanya menghilang setelah beberapa jam, daya nilai terganggu,
distorsi mood, dan gangguan keterampilan motoric mungkin menetap selama 12-
24 jam.
Gejala lain yang mungkin ada adalah hostilitas, argumentatif, kemurungan, dan
kadang-kadang ide paranoid serta suicidal. Efek neurologis mencakup nistagmus,
diplopia, strabismus, cara berjalan ataksik, tanda Romberg positif, hipotonia, dan
berkurangnya reflex superfisial.

42
KEADAAN PUTUS ZAT
Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR keadaa putus zat dari penggunaan zat sedatif
ataupun hipnotik.
A. Penghentian (atau pengurangan) penggunaan sedatif, hipnotik, atau
ansiolitik yang telah berangsung lama dan memanjang.
B. Dua (atau lebih) hal berikut, yang timbul dalam hitungan jam sampai
beberapa hari seelah kriteria A.
1. Hiperaktivitas otonom
2. Peningkatan teremor tangan
3. Insomnia
4. Mual atau muntah
5. Ilusi atau halusinasi visual, taktil, atau auditorik singkat
6. Agitasi psikomotor
7. Ansietas
8. Kejang grand mal
C. Gejala pada kriteria B menyebabkan penderitaan atau hendaya
yangsecara klinis signifikan dalam fungsi sosial, okupasional, atau area
fungsi lain.
D. Gejala tidak disebabkan kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Tentukan apakah:
Dengan gangguan persepsi

GAMBARAN KLINIS
Pola penyalahgunaan
Penggunaan Oral
Sedatif , hipnotik, ansiolitik semuanya dapat dikonsumsi peroral.
Penyalahgunaan peroral mungkin mendapatkan resep dari beberapa dokter. Dan
pola penyalahgunaan ini dapat berjalan tak terdeteksi sampai tanda
penyalahgunaan terlihat jelas oleh keluarga, rekan kerja, atau dokternya.

Penggunaan Intravena (IV)


Penggunaan barbiturate IV menimbulkan perasaan menyenangkan, hangat,
perasaan mengantuk, dan pengguna lebih condong menggunakan barbiturate

43
dibanding opioid karena barbiturate lebih murah. Bahaya fisik injeksi yang paling
sering adalah penularan HIV, selulit, penyulit vaskular akibat injeksi tak sengaja
ke arteri, infeksi, dan reaksi alergi terhadap kontaminan. Penggunaan IV juga
menyebabkan toleransi dan ketergantungan yang cepat dan dalam serta sindrom
putus zat yang parah.

OVERDOSIS
BENZODIAZEPIN
Benzodizepin memiliki batas keamanan yag besar walaupun dikonsumsi
overdosis. Rasio dosis letal adalah 200:1, karena minimalnya derajat depresi
napas yang dikaitkandengan bensodizepin. Bila dalam jumlah yang berlebih (>2g)
dikonsumsi dalam percobaan bunuh diri, gejala hanya mencakup mengantuk,
letargi, ataksia, sedikit kebingungan dan depresi ringan tanda vital pengguna.
Penggunaan benzodiazepine dalam dosis kecil bersamaan dengan zat sedatif-
hipnotik lainnya, cth alkohol dapat menyebabkan kematian.
Tersedianya antagonis benzodizepin (Flimazenil) telah mengurangi letalitas
benzodiazepine.

BARBITURAT
Jika dikonsumsi overdosis dapat mengakibatkan depresi napas. Overdosis
barbiturate ditandai dengan induksi koma, henti napas, gagal kardiovaskular, dan
kematian.
Dosis letal bervariasi bergantung pada cara peberian dan derajat toleransi.untuk
barbiturate yang paling sering disalahgunak, rasio dosis letal berbanding dosis
efektif berkisar antara 3 : 1 – 30 : 1.
Pengguna yang ketergantungan sering mengonsumsi dosis harian rata-rata 1,5g
barbiturate kerja singkat, dan beberapa melaporkan mengonsumsi hingga 2,5g
sehari selama berbulan-bulan.

ZAT LIR-BARBITURAT

44
Zat lir-barbiturat bervariasi letalitasnya dan biasanya berada di tengah-tengah
antara keamanan realtif benzodiazepin dan letalitas tinggi barbiturat.
Penanganan Putus Zat
1. Evaluasi dan tangani kondisi medis dan psikiatri yang terjadi bersamaan.
2. Dapatkan riwayat pemakainan zat serta sample urin dan darah untuk
pemeriksaan zat dan etanol.
3. Tentukan dosis benzodizepin atau barbiturate yang diperlukan untuk
stabilisasi, dipandu riwayat, tampilan klinis, pemeriksaan zat etanol dan (pada
beberapa kasus) dosis percobaan (challenge dose)
4. Detoksifikasi dari dosis supraterapeutik:
a. Rawat inap bila terdapat indikasi medis atau psikiatri, dukungan sosial
yang buruk, atau ketergantungan polizat atau pasien tidak dapat
diandalkan.
b. Beberapa klinis merekomendasikan peralihan ke benzodiazepine yang
kerjanya lebih lama untuk keadaan putus zat (cth, klonazepam, diazepam),
yang lain merekomendasikan untuk melakukan stabilisasi dengan obat
yang dikonsumsi pasien atau fenobarbital.
c. Setelah stabilisasi, kurangi dosis sebesar 30 % pada hari kedua atau ketiga
dan evaluasi responnya, dengantetap mengingat bahwa gejala yang terjadi
setelah pengurangan benzodiazepine dengan waktu paruh eliminasi pendek
(cth, Lorazepam) timbul lebih cepat dibanding yang waktu paruh
eliminasinya lebih lama (cth, diazepam)
d. Kurangi dosis lebih lanjut sebesar 10-25% tiap beberapa hari bila
ditoleransi.
e. Gunakan pengobatan ajuvan bila perlu-karbamazepin, antagonis reseptor
b-adrenergik, valproate, klonidin, dan antidepresan sedative telah
digunakan namun kemanjurannya dalam penanganan sindrom abstinensi
benzodiazepine belum dapat ditentukan.
5. Detoksifikasi dari dosis terapeutik
a. Mulai pengurangan dosis sebesar 10-25% dan evaluasi respon.
b. Dosis, durasi terapi, dan keparahan ansietas memengaruhi kecepatan
penurunan serta perlunya pengobatan ajuvan.
c. Sebagian besar pasien yang mengonsumsi dosis terapeutik mengalami
penghentian tanpa penyulit.

45
d. intervensi psikologisdapat membantu dalam detoksifikasi dari
benzodiazepine serta pada penatalaksanaan jangka panjang ansietas.

Penanganan Overdosis
Mencakup lavase lambung, arang teraktivasi (activated charcoal, obat
diare) serta pemantauan cermat tanda vital dan aktivitas sistem saraf pusat. Pasien
overdosis yang datang mencari pertolongan medis saat terjaga sebaiknya dijaga
jangan sampai jatuh ke keadaan tidak sadar. Muntah sebaiknya diinduksi, dan
arang teraktivasi digunakan untuk menunda absorbs lambung. Bila pasien dalam
keadaan koma, sebaiknya memasang jalur cairan intravena, memantau tanda vital
pasien, menyisipkan tabung endotrakeal untuk menjaga jalan napas tetap paten,
dan memberi ventilasi mekanis bila perlu. Rawat inap bagi pasien koma di unit
perawatan intensif biasanya diperlukan selama tahap awal pemulihan overdosis
tersebut.

F14. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan kokain

Pendahuluan
Kokain adalah zat yang paling adiktif yang sering disalah gunakan dan
merupakan zat yang paling berbahaya. Kokain merupakan zat adiktif yang
tergolong stimulansia terhadap susunan saraf pusat disamping amfetamin, kafein,
dan efedrin. Kokain disebut bermacam-macam dengan snow, coke girl, dan lady
uga disalahgunakan dalam bentuknya yang paling poten, free base dan crak (crack
cocaine). Kokain merupakan alkaloid yang didapatkan dari tanaman belukar
Erythroxylon coca, yang berasal dari Amerika Selatan, di mana daun dari tanaman
belukar dikunyah-kunyah oleh penduduk setempat untuk mendapatkan efek
stimulant.

46
Alkaloid kokain pertama kali diisolasi pada tahun 1860 dan pertama kali
digunakan sebagai anestetik local di tahun 1880. Sampai sekarang kokain masih
digunakan sebagai anestetik local khususnya untuk pembedahan mata, hidung dan
tenggorok karena efek vasokonstriksinya juga membantu.
Kokain dapat digunakan dengan cara mengendus melalui lubang hidung
(‘snorting’), menyuntik, merokok dengan kokain, atau diabsorbsi melalui mukosa.
Potensi ketergantungannya dikaitkan dengan rute penggunaannya. Potensi
terbesar ketergantungan ditimbulkan, bila dilakukan dengan cara suntikan atau
merokok dalam bentuk kokain murni(freebase). Bentuk murni kokain dikenal
dengan sebutan crack yang dijual untuk penggunaan tunggal dan dirokok.

EPIDEMIOLOGI
Menurut National Survey on Drug Use & Health di Amerika tahun 2002,
diperkirakan sekitar dua juta penduduk di Amerika Serikat merupakan pengguna
kokain. Hal ini menunjukkan sekitar 0,9 % populasi di atas umur 12 tahun.
Diperkirakan pengguna crack sekitar 567.000 penduduk. Dari data terbaru
ternyata 34 juta orang di Amerika Serikat pernah menggunakan kokain setidaknya
sekali dalam hidup mereka. Drug Abuse Warning Network melaporkan bahwa
kokain adalah obat-obatan yang paling sering digunakan oleh pasien di bagian
kegawatdaruratan ( 76 per 100.000 kunjungan). Sekitar 3,5 % pria dan 1,6%
wanita pernah menggunakan kokain sedikitnya sekali menurut data tahun 2002.
Pengguna kokain sekitar 0,4 % umur 12-17 tahun, 6,7% pada dewasa usia muda
18-25 tahun dan 1,8 % dewasa usia 26 tahun ke atas.

GAMBARAN KLINIS
1. Intoksikasi kokain
Intoksikasi kokain adalah sindrom mental organic yang terjadi beberapa
menit sampai satu jam setelah menggunakan kokain. Sindrom tersebut dapat
menyebabkan gangguan fisik dan perilaku. Lamanya kerja koakin dalam tubuh
sangat singkat, eliminasi waktu paruh kokain hanya satu jam. Kecuali pada kasus-
kasus overdosis, sebagian besar kokain sudah hilang dari tubuh pada saat pasien

47
masuk ke ruang gawat darurat dan kamar praktek dokter. Pengaruh kokain pada
fisik dan perilaku akibat intoksikasi memerlukan tindakan segera.
Tanda-tanda klinis:
1. Takhikardia
2. Dilatasi pupil, midriasis
3. Meningkatnya tekanan darah
4. Berkeringat, panas dingin
5. Tremor
6. Mual, muntah
7. Meningkatnya suhu badan, nadi aritmia
8. Halusinasi visual atau taktil
9. Sinkope
10. Nyeri dada
11. Dan bila overdosis maka dapat terjadi kejang, tertekannya pernapasan,
koma dan meninggal.
Gejala – gejala klinis meliputi:
1. Euforia, disforia
2. Agitasi psikomotor
3. Agresif dan menantang berkelahi
4. Waham paranoid
5. Halusinasi
6. Delirium
7. Eksitasi
8. Penilaian realita yang kurang wajar (poor judgement), gangguan fungsi
sosial dan okupasional
9. Meningkatnya kewaspadaan dan aktivitas bergerak terus menerus,
memaksakan keinginan, banyak berbicara
10. Mulut kering
11. Meningkatnya kepercayaan diri
12. Selera makan kurang
13. Grandiositas

48
14. Perilaku repetitif dan stereotipik
15. Panik

2.Keadaan putus kokain


Umumnya tidak ada tanda-tanda klinis keadaan putus kokain yang tepat untuk
menggambarkan perubahan fisiologis yang terjadi setelah penghentian
penggunaan berat kokain. Gejala-gejala klinis keadaan putus kokain ditandai
dengan adanya perasaan disforik yang menetap selama lebih dari 24 jam setelah
menurunnya konsumsi kokain dan diikuti gejala-gejala berikutKeletihan (fatigue)
 Insomnia atau hipersomnia
 Agitasi psikomotor
 Ide-ide bunuh diri dan paranoid
 Mudah tersinggung atau iritabel
 Perasaan depresif
Keadaan putus kokain adalah satu-satunya indikasi yang menunjukkan adanya
ketergantungan kokain. Gejala utama keadaan putus kokain adalah menagih
kokain (“craving”). Beratnya kondisi keadaan putus kokain berkaitan dengan
jumlah, lama dan cara penggunaan kokain. Snortingmenyebabkan ketergantungan
dan keadaan putus kokain ringan, penggunaan intravena dan
merokokcrack (freebase) menyebabkan ketergantungan dan keadaan putus kokain
berat.
Gejala-gejala putus kokain mencapai puncaknya setelah beberapa hari, dan
berakhir setelah beberapa minggu. Bila gejala-gejala tetap ada setelah lebih
beberapa minggu, maka ini menunjukkan adanya indikasi depresi sekunder.
Gangguan psikiatris lainnya yang sering menyertai ketergantungan kokain
adalah : Gangguan kepribadian, ketergantungan alkohol dan ketergantungan
sedativa-hipnotika. Perasaan disforia dan depresi berat merupakan dua gejala
yang sering terdapat pada keadaan putus kokain. Dengan ditemukannya dua gejala
tersebut perlu dipertimbangkan pula adanya gangguan psikiatris lainnya sebagai
diagnosis banding. Pasien sering menderita gangguan kepribadian yang
mendasarinya (gangguan kepribadian ambang atau antisosial), sehingga

49
berperilaku manipulatif. Akibatnya pasien sering mengobati keadaan putus kokain
pada dirinya sendiri dengan menggunakan kembali kokain. Angka relaps tetap
tinggi meskipun ia telah dirawat berkali-kali.

KOMPLIKASI1
Kongesti hidung, walaupun peradangan, pembengkakan, perdarahan dan ulserasi
berat pada mukosa hidung juga dapat terjadi.
- Pemakaian kokain jangka panjang menyebabkan perforasi septum hidung
- Crack bebas basa dan yang dihisap seperti rokok dapat menyebabkan
kerusakan pada saluran bronchial dan paru-paru.
- Pengguna kokain intravena adalah disertai dengan infeksi, embolisme dan
penularan Sindroma Imunodefisiensi di dapat (AIDS)
- Komplikasi neurologist ringan adalah perkembangan distonia akut, nyeri
kepala mirip migraine
- Pasien pengguna kokain menderita waham kejaran, berprilaku ganas dan
bermusuhan.
- Komplikasi terberat adalah efek serebrovaskuler, epileptic dan jantung dan
kematian.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. . Laboratorium :
- Elektrolit : akut bisa memberikan gambaran hipokalemi sedangkan pada
intoksikasi kokain yang berat memberikan gambaran hiperkalemi.
- Glukosa darah : pada pemeriksaan gula darah memberikan gambaran
hipoglikemi
- Fungsi ginjal : gagal ginjal berhubungan dengan rhabdomyolisis dan
trombosis arteri ginjal pernah dilaporkan pada penyalahgunaan kokain.
- Urinalisis untuk skrining kokain atau zat adiktif lain yang digunakan
bersama-sama,
- Tes kehamilan : semua wanita yang berada dalam usia subur sbaiknya
dilkukan tes kehamilan

50
- Fungsi hati : kerusakan hati mungkin terjadi pada intoksikasi akut. Sebagai
tambahan, pasien yang menggunakan kokain beresiko untuk terinfeksi
hepatitis, yang pada akirnya bias menyebabkan perubahan mental.
- Jumlah sel darah : anemia, lekositosis, dan leucopenia
- Toksikologi : Urine drug screens : Benzoylecogonine (bentuk metabolic
kokain) bisa ditemukan pada urin 60 jam setelah menggunakan kokain.
Pada pengguna kokain yang berat bisa ditemukan sampai 22 hari.
- Enzim jantung : pada pengguna kokain terdapat angka prevalensi yang
tinggi untuk terjadinyamyocardial infection, pasien yang dating dengan
nyeri dada dan riwayat penggunaan kokain bisa dipikirkan untuk
melakukan pemeriksaan enzim jantung.
2. Gambaran Radiologi :
- Chest x-Ray : pneumomediastinum, pneumothorax, pneumonia, emboli
paru, atelektasis.
- CT-Scan. : perdarahan intrkranial dan emboli serta trombosis strok.
3. Tes lain : Analisa gas darah, ECG

PENATALAKSANAAN
Intoksikasi Kokain
- Yakinkan dan tenangkan pasien bahwa gejala-gejala hanya terjadi dalam
beberapa waktu yang terbatas sebagai akibat masuknya kokain ke dalam
tubuh, dan segera setelah itu ia akan menjadi tenang kembali seperti
semula.
- Tempatkan pasien pada suasana yang tenang. Sementara itu, lakukan
wawancara tentang frekuensi, jumlah kokain dan rute penggunaan kokain.
Ikuti dan kendalikan semua gerakan/aktivitas pasien dan lakukan
pengendalian secara tepat. Hati-hati dalam pendekatan pasien-pasien
dengan waham paranoid. Jika memungkinkan, minta bantuan keluarga
untuk bekerjasama menenangkan pasien.
- Bila sudah memungkinkan, lakukan pemeriksaan tanda-tanda vital pasien.

51
- Bila terjadi demam, lakukan tindakan secepat mungkin untuk
mengatasinya, kompres dan/atau beri antipiretika.
- Pantaulah tekanan darah dan denyut nadi pasien sesering mungkin.
- Pastikan apakah pasien juga menggunakan zat adiktif lainnya seperti
opioida (misalnya heroin yang digunakan bersama-sama dengan kokain
secara intravena yang dikenal dengan istilah speed ball), sedativa-
hipnotika dan alkohol.
- Isolasi dan fiksasi adalah tindakan terakhir yang kadang-kadang perlu
dilakukan.
- Gejala-gejala psikosis seringkali menghilang setelah satu episode akut
penggunaan kokain, tapi dapat juga menetap pada penyalahgunaan berat
kokain dan menimbulkan gangguan yang disebut dengan gangguan waham
akibat penggunaan kokain (cocaine delusional disorders), terutama pada
orang-orang yang sensitif.
- Pertimbangkan rawat-inap agar dapat dilakukan detoksifikasi. Seorang
pasien yang datang ke unit gawat darurat merupakan peluang yang baik
untuk melakukan terapi induksi agar pasien bersedia ikut program
rehabilitasi.
- Persiapkan pasien tentang akan terjadinya keadaan putus kokain dan latih
pasien untuk menghadapinya.

Terapi psikofarmaka:
- Bila agitasi, galak, membahayakan lingkungan atau delusi dapat
diberikan derivat benzodiazepin ringan oksazepam 10-30 mg per oral
atau lorazepam 1-2 mg per oral, dan dapat diulang setelah satu jam.
- Bila agitasi masih tetap bertahan setelah beberapa dosis benzodiazepin
atau timbul gejala toksisitas benzodiazepin (ataksia, disartria,
nistagmus), maka dapat diberikan obat antipsikotik berkekuatan tinggi
seperti haloperidol atau flufenazin masing-masing 2-5 mg per oral atau
i.m. sebagian klinisi kurang menyukai penggunaan antipsikotika karena
mengurangi nilai ambang kejang dan mengubah atau menyamarkan

52
gejala-gejala intoksikasi kokain dengan gejala-gejala efek samping
antipsikotika.
- Bila terjadi takhikardia dan hipertensi, dapat diberikan beta-bloker
(propanolol) atau klonidin.
- Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, kejang, gangguan respirasi dan
gejala-gejala overdosis lain merupakan indikasi untuk merawat pasien di
unit rawat intensif (ICU).

Keadaan Putus Kokain


- Pastikan apakah ada risiko bunuh diri. Meskipun gejala-gejala akan hilang
dalam beberapa hari, namun pasien dengan kecenderungan bunuh diri
harus di rawat-inap di rumah sakit.
- Ketika pasien datang beri ketenangan (reassurance) dan terangkan
kepadanya bahwa gejala-gejala keadaan putus kokain tersebut akan hilang
dalam satu atau dua minggu. Wawancarai bagaimana kokain tersebut
masuk ke dalam tubuh, frekuensi dan jumlahnya serta kapan penggunaan
kokain terakhir.
Tanyakan juga apakah pasien menggunakan zat adiktif lain.
- Motivasi pasien agar bersedia mengikuti program detoksifikasi atau
rehabilitasi.
- Rujuk pasien agar mengikuti terapi kelompok, terapi keluarga atau rujuk
ke kelompok-kelompok bantuan yang mendukung upaya penyembuhan
(seperti Narcotic Anonymous, Narcotic Anonymous Family).
- Evaluasi apakah pasien menderita gangguan psikotik atau menggunakan
zat adiktif lain.

Terapi psikofarmaka:
- Agitasi berat sampai perilaku maladaptif dapat dikendalikan dengan
pemberian derivat benzodiazepin ringan estazolam 0,5 sampai 1 mg per
oral, oksazepam 10-30 mr per oral atau lorazepam 1-2 mg per oral.

53
- Antidepresiva dapat diberikan pada pasien-pasien dengan gejala depresif
menetap yang umumnya terjadi setelah dua minggu penggunaan kokain
dihentikan.
- Ketergantungan kokain dapat diberikan despiramin* (200-250 mg/hari),
doksepin* atau antidepresiva lain (amitriptilin, imipramin). Kadang-
kadang juga diberikan bromokriptin untuk mengendalikan emosinya. 1,5
Tujuan utama terapi ketergantungan kokain adalah abstinensia.
Catatan : * Belum ada di Indonesi

F15. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan


stimulansia lain termasuk kafein

AMFETAMIN
Pendahuluan
Amfetamin digunakan dalam penanganan obesitas, depres, distimia,
sindrom kelelahan kronik, AIDS dan neurastenia.

Preparat
Golongan amfetamin disebut juga analeptik, simpatomimetik, stimulan,
dan psikostimulan. Amfetamin yang tersedia dan digunakan di Amerika Serikat
antara lain dextroamfetamin, metamfetamin, campuran garam dextroamfetamin-
amfetamin dan metil fenidat.
Zat lain yang menyerupai amfetamin antara lain efedrin dan
pseudoefredin.

Metamfetamin

54
Metamfetamin adalah bentuk zat murni yang disalahgunakan dengan cara
dihirup, dihisap, atau injeksi intravena. Efek psikologisnya berlangsung berjam-
jam dan sangat kuat.

Zat lir-amfetamin
Zat ini menimbulkan efek utama dopaminergik, tapi juga dapat
menimbulkan efek seronergik. Contohnya meramfetamin terinduksi. Contoh
amfetamin tersubstitusi adalah MDMA yang paling banyak tersedia, dan DOM.

DSM IV TR Gangguan terkait amfetamin


Gangguan penggunaan amfetamin
Ketergantungan amfetamin
Penyalahgunaan amfetamin
Gangguan terinduksi amfetamin
Intoksikasi amfetamin
Tentukan apakah:
dengan gangguan persepsi
keadaan putus amfetamin
delirium pada intoksikasi amfetamin
gangguan psikotik terinduksi amfetamin dengan waham
tentukan apakah:
awitan saat intoksikasi
gangguan psikotik terinduksi amfetamin dengan halusinasi
tentukan apakah:
awitan saat intoksikasi
gangguan mood terinduksi amfetamin
tentukan apakah:
awitan saat intoksikasi
awitan saat putus zat
gangguan ansietas terinduksi amfetamin
tentukan apakah:

55
awitan saat intoksikasi
gangguan seksual terinduksi amfetamin
tentukan apakah:
awitan saat intoksikasi
gangguan tidur terinduksi amfetamin
tentukan apakah:
awitan saat intoksikasi
awitan saat putus zat
gangguan terkait amfetamin tak terinci

kriteria diagnosis DSM IV TR untuk intoksikasi amfetamin


A. baru-baru ini mengkonsumsi amfetamin atau zat terkait
(metilfenidat)
B. perubahan psikologis atau perilaku maladaptif yang secara
klinis signifikan (euforia, afek tumpul, ansietas,
ketegangan, daya nilai terganggu, atau fungsi sosial, atau
okupasional terganggu) yang timbul selama atau segera
setelah penggunaan amfetamin atau zat terkait
C. dua atau lebih hal berikut, timbul selama atau segera setelah
penggunaan amfetamin atau zat terkait:
1. takikardi/ bradikardi
2. dilatasi pupil
3. tekanan darah meningkat/ menurun
4. berkeringat/ mengigil
5. mual atau muntah
6. bukti penurunan berat badan
7. agitasi atau retardasi psikomotor
8. kelemahan otot, depresi napas, nyeri dada, atau
aritmia jantung
9. kebingungan, kejang, diskinesia, distonia, atau
koma

56
D. gejala tidak disebabkan suatu kondisi medis umum dan
tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan mental lain

kriteria diagnosis DSM IV TR untuk keadaan putus amfetamin


A. penghentian (atau pengurangan) konsumsi amfetamin (atau zat terkait)
yang telah berlangsung lama dan berat
B. mood disforik dan dua (atau lebih) perubahan fisiologis berikut, timbul
dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari setelah kriteria A:
C. gejala pada kriteria B menyebabkan penderitaan atau hendaya yang secara
klinis signifikan dalam fungsi sosial, okupasional, area fungsi penting lain
D. gejala tidak disebabkan oleh suatu kondisi medis umum dan tidak lebih
baik diterangkan oleh gangguan mental lain

Neurofarmakologi
Amfetamin diabsorbsi cepat secara oral dan memiliki permulaan kerja
yang cepat biasanya 1 jam. Amfetamin klasik menimbulkan efek primer dengan
menyebabkan pelepasan katekolamin, terutama dopamin terutama dari terminal
prasinaptik. Efek pada neuron dopaminergik mungkin menjadi mekanisme adiktif
utama untuk amfetamin.
Amfetamin desainer menyebabkan pelepasan kateklamin dan serotonin
yang dianggap sebagai jaras neurokimiawi utama untuk halusinogen. Oleh karena
itu, efek dari amfetamin desainer merupakan campuran dari efek amfetamin klasik
dan halusinogen.

Penanganan dan rehabilitasi


Situasi rawat inap dan penggunaan metode terapeutik multipel (psikoterapi
individual, keluarga, dan kelompok) biasanya dibutuhkan untuk mencapai
abstinensia seterusnya.
Penanganan gangguan spesifik terinduksi amfetamin dengan obat spesifik
mungkin diperlukan dalam jangka pendek. Antipsikosis dapat diresepkan untuk

57
beberapa hari pertama. Bila tidak ada psikosis, diazepam dpat berguna untuk
menangani agitasi dan hiperaktivitas pasien.
Doketr sebaiknya membangun aliansi terapeutik dengan pasien untuk
mengatasi depresi atau gangguan kepribadian yang mendasari atau keduanya.
Namun karena banak pasien tergantung obat, psikoterapi dapat sangat sulit.
Kondisi komorbid seperti depresi dapat berespon dengan pemberian
antidepresan. Bupropion dapat digunakan setelah pasien putus amfetamin. Obat
ini menimbulkan efek perasaan sehat ketika pasien bergulat dengan disforia yang
dapat menyertai anstinensia.

KAFEIN
Pendahuluan
Kafein adalah zat psikoaktif yang paling banyak dikonsumsi di dunia.
Waktu paruh kafein dalam tubuh manusia adalah 3 sampai 10 jam sedangkan
kadar puncaknya adalah 30 sampai 60 menit. Kafein dapat melintasi sawar darah
otak.
Kafein terutama bertindak sebagai antagonis dari reseptor adenosin yang
mengaktifkan protein G penghambatan (Gi) sehingga menghambat pembentukan
monofosfat siklik adenosin (cAMP). Sekitar 50% reseptor adenosin ditempati
kafein. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kafein dosis tinggi juga dapat
mempengaruhi kerja dopamin dan noradrenergik.

Epidemiologi
Kafein terkandung dalam minuman, makanan, obat yang diresepkan, dan
obat bebas. Secangkir kopi umumnya mengandung 100-150 mg kafein. Teh
mengandung sepertiganya. Banyak obat yang dijual bebas mengandung sepertiga
hingga setegah kafein pada secangkir kopi. Beberapa obat migren serta stimulan
yang dijual bebas mengandung lebih banyak kafein dibanding secangkir kopi.
Kokoa, coklat, dan minuman ringan mengandung jumlah kafein yang signifikan.

58
Menurut revisi teks edisi keempat the Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder, prevalensi gangguan terkait kafein sebenarnya tidak diketahui,
tapi sekitar 85 persen orang dewasa mengonsumsi kafein setiap tahun.

Neurofarmakologi
Kafein, suatu metilsantin, lebih poten daripada metilsantin lain yang sering
digunakan (teofilin). Waktu paruh kafein dalam tubuh manusia adalah 3 sampai 10
jam dan waktu untuk mencapai konsentrasi puncak adalah 30 sampai 60 menit.
Kafein mudah melintasi sawar darah otak.
Kafein terutama bekerja sebagai antagonis reseptor adenosin. Aktivasi
reseptor adenosin mengaktivasi protein G inhibitorik (G) yang kemudian
menghambat pembentukan adenosin monofosfat siklik (cAMP) sehingga
menimbulkan peningkatan konsentrasi cAMP intraneuronal pada neuron yang
memiliki reseptor adenosin.
Tiga cangkir kopi diperkirakan menghantarkan banyak kafein ke otak, sehingga
sekitar 50 persen reseptor adenosin terisi kafein. Menurut penelitian, kafein dosis
tinggi dapat mempengaruhi neuron dopaminergik dan noradrenergik. Aktivasi
neuron noradrenergik dihipotesiskan terlibat dalam mediasi beberapa gejala putus
kafein.

Kafein sebagai zat yang disalahgunakan


Kafein dapat bekerja sebagai penguat positif pada dosis rendah
Dosis kafein sekitar 100 mg menginduksi euforia ringan pada manusia. Namun
dosis kafein 300 mg tidak bertindak sebagai penguat positif dan menimbulkan
ansietas dan disforia ringan.

Efek terhadap aliran darah serebri


Sebagian besar studi, kafein mengakibatkan vasokonstriksi serebri global
yang menyebabkan penurunan aliran darah serebri

DSM IV TR Gangguan terkait kafein

59
Gangguan terinduksi kafein
Intoksikasi kafein
- Gangguan ansietas terinduksi kafein
Tentukan apakah:
Awitan saat intoksikasi
- Gangguan tidur terinduksi kafein
Tentukan apakah:
Awitan saat intoksikasi
- Gangguan terkait kafein yang tak tergolongkan

DSM IV TR Kriteria diagnosis untuk intoksikasi kafein


A. Riwayat baru saja mengonsumsi kafein, biasanya lebih dari 250 mg (lebih
dari 2-3 cangkir kopi seduh)
B. Lima (atau lebih) tanda berikut, timbul selama, atau segera setelah
penggunaan kafein:
1. gelisah
2. gugup
3. eksitasi
4. insomnia
5. wajah yang memerah
6. diuresis
7. gangguan pencernaan
8. kedutan otot
9. gangguan berpikir dan berbicara
10. takikardi atau aritmia jantung
11. periode tidak merasa lelah
12. agitasi psikomotor
C. Gejala pada kriteria B menyebabkan penderitaan atau hendaya fungsi
sosial, okupasional, atau area fungsi penting lain yang signifikan secara
klinis

60
D. Gejala tidak disebabkan oleh kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain (gangguan ansietas)

Kriteria diagnosis DSM IV TR untuk Gangguan terkait kafein yang tak


tergolongkan
Kategori gangguan terkait kafein yang tak tergolongkan dikaitkan dengan
penggunaan kafein yang tidak dapat diklasifikasikan sebagai intoksikasi kafein,
gangguan ansietas terinduksi kafein, atau gangguan tidur terinduksi kafein,. Suatu
contoh adalah keadaan putus kafein

DSM IV TR kriteria diagnosis untuk putus zat kafein


A. Konsumsi harian kafein yang berkepanjangan
B. Penghentian mendadak konsumsi kafein atau pengurangan jumlah kafein
yang dikonsumsi, yang segera diikuti sakit kepala dan satu (atau lebih)
gejala berikut:
1. kelelahan atau rasa mengantuk yang nyata
2. ansietas atau depresi yang nyata
3. mual atau muntah
C. Gejala pada kriteria B menyebabkan penderitaan atau hendaya sosial,
okupasional, atau area fungsi penting lain yang signifikan secara klinis
D. Gejala tidak disebabkan oleh efek fisiologis langsung dari suatu kondisi
medis umum (migren, penyakit virus) dan tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain

Pengobatan
Pemberian analgesik seperti aspirin dapat meredakan sakit kepala dan
nyeri otot pada gejala putus zat kafein. Langkah pertama yang harus dilakukan
adalah mengurangi dan mengganti. Minuman berkafein dapat diganti dengan
minuman tanpa kafein secara bertahap.

61
F16. Gangguan Mental dan Perilaku akibat Penggunaan
Halusinogenika

Pendahuluan
Halusinogen adalah zat alami dan sintetik yang disebut dengan berbagai
istilah seperti psikedelik atau psikotomimetik karena, selain meninduksi
halusinasi, halusinogen juga menyebabkan hilangnya kontak dengan realitas dan
suatu pengalaman kesadaran yg meluas dan meningkat. Halusinigen
diklasifikasikan sebagai obat golongan 1, Badan POM AS menyatakan bahwa zat
ini tidak memiliki kegunaan dalam medis dan potensi penyalahgunaan yang
tinggi.
Halusinogen klasik yang terdapat secara alamiah adalah psilocybin (dari
semacam jamur) dan mescaline (dari kaktus peyote), lainnya: harmin ibogain,
dimetiltriptamin. Halusinogen sintetik klasik adalah LSD (asam lisergat
dietilamid), yang disintesis oleh Albert Hoffman yang secara tidak sengaja
mengkonsumsi sedikit obat tersebut dan mengalami episode halusinogenik
terinduksi LSD yang pertama.

Epidemiologi
Menurut DSM-IV-TR, 10% orang di AS pernah memakai halusinogen
setidaknya sekali. Halusinogen paling sering digunakan pria kulit putih muda (15-
35 tahun). Ratio perbandingan kulit putih terhadap kulit hitam adalah 2:1 Faktor
budaya mempengaruhi pemakaian halusinogen, pemakaian d AS bagian barat
lebih tinggi daripada di bagian selatan. Penggunaan halusinogen morbiditas dan
mortalitas yang lebih rendah daripada beberapa zat lain.

Neurofarmakologi
Meskipun sebagian besar zat halusinogenik bervariasi efek
farmakologisnya, LSD dapat berfungsi sebagai prototype halusinogenik. Efek

62
Farmakodinamik LSD masih controversial, meskipun disepakati secara umum
obat tersebut disepakati bekerja pada sistem serotonergik, baik secara agonis
maupun antagonis. Data saat ini menunjukkan cara kerjanya sebagai agonis
parsial pada reseptor serotonin pascasinaps.
Sebagian besar halusinogen diabsorbsi dengan baik setelah pemberian oral, meski
beberapa dikonsumsi per inhalasi, merokok, ataupun injeksi IV. Toleransi untuk
LSD dan halusinogen lain terbetuk dengan cepat dan hamper komplet setelah 3
sampai 4 hari penggunaan berkelanjutan. Gejala putus zat atau intoksikasi tidak
terjadi pada zat halusinogen tapi pengguna dapat mengalami ketergantungan
psikologis pada pengalaman yang menginduksi tlikan dari episode penggunaan
halusinogen.

Diagnosis
DSM-IV-TR mendaftarkan sejumlah gangguan terkait halusinogen (table
9.7-1) tapi hanya mengandung criteria diagnostic spesifik untuk intoksikasi
halusinogeni (table 9,7-2) dan gangguan persepsi pesisten halusinogen (kilas
balik) (table 9.7-3)

63
Ketergantungan Halusinogen dan Penyalahgunaan Halusinogen
Penggunaan halusinoge jangka panjang jarang terjadi. Seperti dinyatakan
diatas tidak ada kecanduan fisik. Meski ketergantungan psikologis terjadi, karena
tiap pengalaman LSD berbeda dan sebagian karena tidak ada euphoria yang dapat
diandalkan. Namun ketergantungan dan penyalahgunaan halusinogen adalah
sindrom yang murni di definisikan dengan criteria DSM-IV-TR

Intoksikasi Halusinogen
Intoksikasi halusinigen didefinisikan dalam DSM-IV-TR yaitu ditandai
dengan adanya perubahan prilaku maladaptive serta tanda fisiologis tertentu.
Diagnosis banding intoksikasi halusinogen mencakup intoksikasi antikolinergik
dan amfetamin serta keadaan putus alcohol. Penangan terpilih untuk intoksikasi
halusinogen adalah berbicara kepada pasien, selama proses ini pemande dapat
menenangkan pasien bahwa gejalanya terinduksi obat bahwa mereka tidak
menjadi gila dan bahwa gejala akan segera mereda. Pada kasus yang paling parah

64
antagonis dopaminergik- contohnya haloperidol (haidol)- atau benzodiazepine-
contohnya diazepam (valium)- dapat digunakan dalam jumlah terbatas. Intoksikasi
halusinogen biasanya tidak memiliki gejala putus zat

Gangguan persepsi persisten halusinogen


Lama setelah mengonsumsi halusiogen, seseorang dapat mengalami kilas
balik gejala halusinogenik. Sindrom ini didignosis sebagai gangguan persepsi
persisten halusinogen (table 9.9-3) dalam DSM-IV-TR. Menurut penelitian, dari
15 sampai 80 persen pengguna halusinogen melaporkan pernah mengalami kilas
balik. Diagnosis banding kilas balik meliputi migraine, kejang, abnormalitas
system visual, dan gangguan stres pascarauma. Hal berikut dapat memicu kilas
balik: stres emosional; deprivasi sensorik seperti menyetir yang monoton; atau
pengguna zat psikoaktif lain, seperti alcohol atau mariyuana.

65
Kilas balik adalah rekurensi transien dan spontan pengalaman terinduksi
zat: sebagian besar kilas balik merupakan episode distorsi visual, halusinasi
geometric, halusinasi bunyi atau suara, persepsi gerakan pada lapang pandang
perifer yang salah, kilasan warna, rangkaian citra benda bergerak afterimage dan
halo positif makropsia, mikropsia, ekspansi waktu, gejala fisik, atau emosi intens
yang hidup kembali. Episode biasanya berlangsung beberapa detik sampai
beberapa menit tapi terkadang biasa lebih lama. Yang paling sering,bahkan ketika
terdapat gangguan persepsi yang jelas, orang tersebut memiliki tilikan terhadap
sifat patologi gangguannya. Perilaku bunuh diri, gangguan depresi mayor, dan
gejala panik merupakan penyulit potensial

Delirium pada intoksikasi halusinogen


DSM-IV-TR memungkinkan diagnosis delirium pada intoksikasi
halusinogen, suatu gangguan relative jarang yang dimulai saat intoksikasi pada
mereka yang mengonsumsi halusinogen murni. Namun, halusinogen sering
dicampur dengan zat lain dan komponen lain dari interaksi zat tersebut dengan
halusinogen dapat menyebabkan delirium klinis

Gangguan psikotik terinduksi halusinogen


Bila gejala psikotik timbul saat tidak adanya uji realitas yang terkontrol,
diagnosis gangguan psikotik terinduksi halusinogen mungkin diperlukan. DSM-
IV-TR juga memungkinkan klinisi untuk merinci apakah halusinogen atau waham

66
menjadi gejala prominen. Efek simpang LSD paling sering dan zat terkait adalah
“bad trip” suatu pengalaman yang menyerupai reaksi panic akut terhadap cannabis
tapi terkadang lebih parah, bad trip kadang dapat menimbulkan gejala psikotik
sejati. Bad trip biasanya berakhir ketika efek segera efek halusinogen memudar
tapi perjalanan penyakitnya bervariasi. Sesekali, episode psikotik memanjang sulit
dibedakan dengan gangguan psikotik non organic. Apakah suatu gangguan
psikosis kronik setelah ingesti obat merupakan akibat ingesti obat tersebut, tidak
berhubungan dengan ingesti obat, atau merupakan kombinasi ingesti obat dan
factor predisposisi, saat ini masih blm bisa dijawab.
Kadang-kadang gangguan psikotik memanjang, suatu reaksi yang
dianggap terjadi paling sering pada orang dengan gangguan kepribadian schizoid
sebelumnya dan kepribadian pra-psikotik, keseimbangan ego yang tak stabil, atau
dipenuhi anxietas. Orang semacam ini tidak dapat mengatasi perubahan persepsi,
distorsi citra tubuh, dan materi nirsadar simbolik yang dirangsang oleh
halusinogen. Angka instabilitas mental sebelumnya pada orang yang dirawat inap
untuk reaksi LSD adalah tinggi. Reaksi simpang terjadi pada akhir tahun 1960an
ketika LSD dipromosikan sebagai psikoterapi yang dilakukan oleh diri sendiri
untuk krisi emosional dalam kehidupan orang yang sangat terganggu mentalnya.
Kini ketika praktik ini sudah lebih jarang, reaksi simpang memanjang sudah tidak
lazim.

Gangguan Mood terinduksi Halusinogen


DSM-IV-TR memasukan katergori diagnostic gangguan mood terinduksi
halusinogen. Tidak seperti gangguan mood terinduksi kokain dan gangguan mood
terinduksi amfetamin yang gejalanya sedikit dapat diramalkan, gejala gangguan
mood yang menyertai gejala penyalahgunaan halusinogen dapat bervariasi.
Penyalahgunaan dapat mengalami gejala lir-manik dengan waham kebesaran atau
perasaan lir-depresi dan idea tau gejala campuran. Seperti hal nya gangguan
psikotik terinduksi halusinogen, gejala gangguan mood terinduksi halusiogen
biasanya akan mereda bila obat telah tereliminasi dari tubuh orang tersebut.

67
Gangguan Anxietas Terinduksi Halusinogen
Gangguan anxietas terinduksi halusinogen bervariasi pola gejalanya, tapi
Cuma sedikit data yang tersedia tentang pola gejala tersebut, Secara anecdotal,
dokter ruang gawat darurat yang menangani pasien dengan gangguan halusinogen
sering kali melaporkan gangguan panic dengan agoraphobia.

Gangguan Terkait halusinogen Yang Tak Tergolongkan


Ketika seorang pasien dengan gangguan terkait halusinogen tidak
memenuhi criteria diagnosis manapun untuk gangguan terkait halusinogen yang
standr, pasien dapat diklasifikasikan mengalami gangguan terkait halusinogen
yang tak tergolongkan. DSM-IV-TR tidak memiliki criteria diagnosis untuk
keadaan putus halusinogen tapi beberapa klinisi secara anecdotal melaporkan suati
sindrom dengan depresi dan anxietas setelah penghentian penggunaan
halusinogen yang sering. Sindrom semacam itu paling cocok dengan diagnosis
gangguan terkait halusinogen yang tak tergolongkan
Halusinogen yang standar, pasien dapat duklasifikasikan mengalamai
gangguan terkait halusinogen yang tak tergolongkan. DSM-IV-TR tidak memiliki
criteria diagnosis untuk keadaan putus halusinogen tapi beberapa klinisi secara
anecdotal melaparkan suatu sindrom dengan depresi dan ansietas setelah
penghentian penggunaan halusinogen yang sering. Sindrom semacam itu paling
cocok dengan diagnosis gangguan terkait halusinogen yang tak tergolongkan.

68
LSD (Lysergic acid)
Termasuk dalam golongan halusinogen,dengan nama jalanan : acid, trips,
tabs, kertas. Bentuk yang bisa didapatkan seperti kertas berukuran kotak kecil
sebesar seperempat perangko dalam banyak warna dan gambar, ada juga yang
berbentuk pil, kapsul. Cara menggunakannya dengan meletakkan LSD pada
permukaan lidah dan bereaksi setelah 30-60 menit sejak pemakaian dan hilang
setelah 8-12 jam. Efek rasa ini bisa disebut tripping. Yang bisa digambarkan
seperti halusinasi terhadap tempat. Warna dan waktu. Biasanya halusinasi ini
digabung menjadi satu. Hingga timbul obsesi terhadap halusinasi yang ia rasakan
dan keinginan untuk hanyut didalamnya, menjadi sangat indah atau bahkan
menyeramkan dan lama-lama membuat paranoid.
Awitan kerja LSD terjadi dalam saru jam, memuncak dalam 2-4 jam, dan
berlangsung 8-12 jam. Efek simpatomimetik LSD meliputi tremor, takikardi,
hipertensi, hipertermia, pandangan kabur, berkeringat dan midriasis. Kematian
disebabkan oleh patologi serebrovaskular atau kardiak yang berhubungan dengan
hipertensi dan hipertermia dapat terjadi dengan penggunaan halusinogenik.
Sindrom yang serupa dengan sindrom neuroleptik maligna pernah dilaporkan oleh
sebab LSD. Kematian juga dapat disebabkan oleh cedera fisik ketika penggunaan
LSD mengganggu daya nilai, misalnya tentang lalu lintas atau kemampuan
seseorang untuk terbang. Efek psikologis biasanya dapat ditolerasi dengan baik,
tapi ketika orang tidak dapat mengingat pengalamanan atau memahami bahwa
pengalamannya itu adalah terinduksi zat, mereka dapat menghawatirkan awitan
kegilaan.
Dengan penggunaan halusinogen, persepsi menjadi sangat cerah dan
intens. Warna dan terkstur terlihat lebih kaya dibanding sebelumnya, kontur
menajam, musi lebih mendalam secara emosional, baud an serta rasa meninggi.
Sinestesia kerap terjadi; warna mungkin terdengar atau bunyi terlihat. Perubahan
dalam citra tubuh dan perubahan persepsi waktu dan ruang juga terjadi. Halusinasi
biasanya visual, sering kali dalam bentuk geometric dan bentuk benda, tapi
halusinasi auditorik dan taktil kadang-kadang dialami. Emosi menjadi sangat
intens, dapat berubah mendadak dan sering; dua perasaan yang tampaknya tidak

69
serasi dapat dialami pada saat yang bersamaan. Sugestibilitas sangat meningkat
dan sensitivitas mungkin timbul. Gambara umum lain adalah “seeming
awareness” terhadap organ internal, kembalinya memori dini yang hilang,
pelepasan materi nirsadar dalam bentuk simbolik, dan regresiserta penghidupan
kembali peristiwa yang nyata dimasa lalu. Refleksi introspektifdan perasaan
religious serta tilikan filosofis kerap terjadi. Sensasi tentang diri sangat berubah,
kadang hingga mencapai depersonalisasi, menyatu dengan dunia eksternal,
pemisahan diri dengan tubuh, disolusi total ego ke dalam ekstasi mistis.
Tidak ada bukti yang jelas tentang perubahan kepribadan drastic atau psikosis
kronik yang disebabkan penggunaan LSD jangka panjang oleh kebanyakan
pengguna yang tidak memiliki predisposisi terhadap kondisi tersebut. Namun
beberapa pengguna berat halusinogen dapat mengalami ansietas kronik atau
depresi dan mungkin diuntungkan dengan pendekatan psikologis atau
farmakologis yang ditujukan ke masalah yang mendasari.

Penanganan
Intoksikasi Halusinogen
Menurut sejarah, orang-orang telah diobati untuk intoksikasi halusinogen
dengan dukungan psikologis selama sisa perjalanan yang disebut talking down.
Hal ini enghabiskan waktu dan berpotensi membahayakan karena adanya labilitas
pasien dengan waham terkait halusinogen. Sesusai hal itu, penanganan intoksikasi
halusinogen adalah pemberian diazepam oral 20mg. Obat ini menghilangkan
pengalaman LSD dan panic yang terkait dengannya dalam 20 menit dan dianggap
superior dibandingkan ‘talking down’ terhadap pasien untuk periode beberapa jam
atau member obat antipsikotik. Pemasaran dosis rendah LSD dan pendekatan
yang lebih canggih terhadap penanganan korban akibat pengguna zat itu sendiri
secara gabungan menurunkan timbulnya gangguan yang dahulu pernah lazim pada
fasilitas penangana psikiatri.

Gangguan Persepsi Persisten Halusinogen

70
Penanganan gangguan persepsi persisten halusinogen bersifat paliatif.
Langkah pertama adalah identifikasi yang benar mengenai gangguan tersebut,
tidak jarang pasien berkonsultasi kepada beberapa spesialis sebelum diagnosis
ditegakkan. Pendekatan farmakologis mencakup benzodiazepine jangka panjang
seperti clonazepam dan pada derajat lebih ringan, anti konvulsan seperti asam
valproat dan carbamazepine. Saat ini, tidak ada obat yang sepenuhnya efektif
menghilangkan gejala. Kondisi komorbid yang dikaitkan dengan gangguan
persepsi persisten halusinogen meliputi gangguan panic, depresi mayor, dan
ketergantungan alcohol. Masing-masing kondisi ini membutuhkan pencegahan
primer dan intervensi dini.

Psikosis Terinduksi Halusinogen


Penanganan psikosis terinduksi halusinogen tidak berbeda dari
penanganan konvensional psikosis lain. Namun, sebagai tambahan obat
antipsikotik, sejumlah agen dilaporkan efektif, termasuk litium karbonat,
karbamazepi, dan terapi elektrokonvulsif. Obat antidepresan, benzodiazepine, dan
obat antikonvulsan masing-masing juga memainkan peran tersendiri dalam terapi.
Satu penanda gangguan ini adalah, berlawanan dengan skizofrenia, dengan gejala
negative dan hubungan interpersonal yang buruk kerap ditemukan, pasien dengan
psikosis terinduksi halusinogen menunjukkan gejala positif halusinasi dan waham
namun masih mempertahankan kemampuan berhubungan dengan psikiater. Terapi
medis paling baik diterapkan dalam konteks terapi suportif, edukasional, dan
keluarga. Tujuan penanganan adalah pengendalian gejala, perawatan rumah sakit
yang minimal, pekerjaan harian, berkembang dan bertahannya hubungan sosial,
serta penatalaksanaan penyakit komorbid seperti ketergantungan alkohol.

71
F.17 Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan
tembakau

Pendahuluan
Publikasi penting di tahun 1988 yang disebut The Surgeon General’s
Report on the Health Consequences of Smoking Nicotine Addiction meningkatkan
kesadaran akan bahaya merokok pada masyarakat Amerika. Namun, fakta bahwa
hampir 30 persen orang tetap merokok meski terdapat segunung data yang
menunjukkan betapa berbahayanya kebiasaan tersebut terhadap kesehatan mereka
merupakan bukti terhadap sifat adiktif kuat nikotin. Efek buruk merokok kretek
dan cerutu tercermin dalam perkiraan bahwa 60 persen biaya perawatan kesehatan
langsung di Amerika Serikat digunakan untuk menangani penyakit terkait
tembakau dan berjumlah sekitar 1 milyar dolar sehari.

EPIDEMIOLOGI
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan terdapat 1 milyar
perokok di seluruh dunia dan mereka merokok 6 trilyun rokok kretek per tahun.
WHO juga memperkirakan bahwa tembakau membunuh lebih dari 3 juta orang
tiap tahun. Meski jumlah orang yang merokok di Amerika Serikat menurun,
jumlah orang yang merokok di negara berkembang meningkat. Angka berhenti
merokok paling tinggi pada pria kulit putih berpendidikan baik dan lebih rendah
di antara wanita, orang kulit hitam, remaja, dan mereka yang tingkat pendidikan
rendah.
Tembakau adalah bentuk nikotin yang paling banyak ditemukan.
Tembakau dirokok dalam rokok kretek, cerutu, dan pipa serta digunakan sebagai
tembakau sedotan dan tembakau kunyah (disebut juga tembakau tanpa asap),
keduanya semakin populer di Amerika Serikat. Kurang lebih 32 persen dari semua
orang di Amerika Serikat saat ini menggunakan tembakau sedotan atau tembakau
kunyah, tapi hanya sekitar 6 persen dewasa muda berusia 19 sampai 25 tahun
menggunakan bentuk tembakau tersebut.

72
Saat ini, kurang lebih 25 persen orang Amerika merokok, 25 persen
mantan perokok, dan 50 persen tidak pernah merokok kretek. Prevalensi
penggunaan tembakau pipa, cerutu, dan tembakau tanpa asap kurang dari 2
persen. Prevalensi merokok di Amerika Serikat menurun sekitar 1 persen per
tahun, namun angka ini tidak berubah dalam 4 tahun terakhir. Usia rerata awitan
merokok adalah 16 tahun, dan beberapa orang memulai setelah usia 20 tahun.
Gambaran ketergantungan tampak berkembang dengan cepat. Ruang kelas dan
program lain untuk mencegah inisiasi hanya sedikit efektif, tapi peningkatan pajak
dapat menurunkan inisiasi.
Lebih dari 75 persen perokok pernah mencoba berhenti dan sekitar 40
persen mencoba berhenti tiap tahun. Pada satu percobaan, hanya 30 persen yang
tetap abstinensi bahkan selama 2 hari saja, dan hanya 5 sampai 10 persen yang
berhenti secara permanen. Namun, sebagian besar perokok mencoba sebanyak
lima sampai sepuluh kali, jadi pada akhirnya 50 persen orang yang “pernah
merokok” akan berhenti. Di masa lalu, 90 persen keberhasilan upaya untuk
berhenti tidak melibatkan terapi. Namun, dengan kemajuan obat bebas (OTC, over
the counter) dan pengobatan non-nikotin pada tahun 1998, sekitar sepertiga dari
semua upaya melibatkan penggunaan pengobatan. Memuat revisi teks edisi
keempat the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV-TR),
sekitar 85 persen perokok harian saat ini adalah orang yang ketergantungan
nikotin. Keadaan putus nikotin terjadi kurang lebih 50 persen perokok yang
mencoba berhenti.

Pendidikan
Tingkat pencapaian pendidikan berkolerasi dengan penggunaan
tembakau. Tiga puluh tujuh persen orang dewasa yang tidak menamatkan sekolah
lanjutan atas merokok kretek, sementara hanya 17 persen lulusan perguruan tinggi
yang merokok.

Pasien Psikiatri

73
Psikiater harus terutama peduli dan mengetahui tentang ketergantungan
nikotin karena tingginya proporsi pasien psikiatri yang merokok. Sekitar 50
persen dari semua pasien rawat jalan psikiatri, 70 persen pasien rawat jalan
dengan gangguan bipolar I, hampir 90 persen pasien rawat jalan dengan
skizofrenia, dan 70 persen pasien gangguan penggunaan zat merokok. Lebih
lanjut, data mengindikasikan bahwa pasien dengna gangguan depresi atau
gangguan ansietas lebih jarang berhasil dalam upaya untuk berhenti merokok
dibanding orang lain; oleh karena itu, pendekatan kesehatan yang holistik bagi
pasien ini mungkin mencakup membantu mereka menyadari kebiasaan
merokoknya sebagai tambahan terhadap gangguan jiwa primer. Persentase tinggi
pasien skizofrenik yang merokok dihubungkan dengan kemampuan nikotin
menurunkan sensitivitas yang luar biasa terhadap rangsang sensorik dari luar serta
meningkatkan konsentrasi mereka.

Kematian
Kematian merupakan efek simpang utama merokok kretek. Penggunaan
tembakau dikaitkan dengan sekitar 400.000 kematian dini tiap tahun di Amerika
Serikat, 25 persen dari semua kematian. Kausa kematian mencakup bronkitis
kronik dan emfisema (51.000 kematian), kanker bronkogenik (106.000 kematian),
35 persen infark miokardium yang fatal (115.000 kematian), penyakit
serebrovaskuler, penyakit kardiovaskuler, serta hampir semua kasus penyakit paru
obstruktif kronik dan kanker paru. Peningkatan penggunaan tembakau kunyah dan
tembakau sedotan (tembakau tanpa asap) dikaitkan dengan timbulnya kanker
orofaring, dan kemunculan kembali merokok cerutu kemungkinan menyebabkan
peningkatan terjadinya jenis kanker ini.
Peneliti menemukan baha 30 persen kematian akibat kanker di AS
disebabkan asap tembakau, karsinogen tunggal paling mematikan di Amerika
Serikat. Merokok (terutama merokok kretek) menyebabkan kanker paru, saluran
napas atas, esofagus, kandung kemih, dan pankreas serta mungkin lambung, hati,
dan ginjal. Perokok enam kali lebih mungkin dibanding non-perokok untuk
mengalami kanker paru, kanker paru telah melampaui kanker payudara sebagai

74
penyebab utama kematian terkait kanker pada wanita. Bahkan, perokok pasif
menyebabkan beberapa ribu kematian akibat kanker per tahun di Amerika Serikat,
kurang lebih jumlahnya sama seperti yang disebabkan pajanan radon. Meski
statistik ini menggemparkan, perokok dapat secara dramatis menurunkan
kemungkinan mereka mengalami kanker terkait rokok hanya dengan berhenti
merokok.

NEUROFARMAKOLOGI
Komponen psikoaktif tembakau adalah nikotin, yang mempengaruhi
sistem saraf pusat (SSP) dengan bekerja sebagai agonis pada reseptor asetilkolin
subtipe nikotinik. Sekitar 25 persen nikotin yang dihirup saat merokok mencapai
aliran darah, dan melalui pembuluh darah tersebut nikotin dapat mencapai otak
dalam 15 detik. Waktu paruh nikotin aadalah sekitar 2 jam. Nikotin diyakini
menghasilkan sifat penguat positif dan adiktif dengan mengaktivasi jaras
dopaminergik yang berjalan dari area tegmental ventral ke korteks serebri dan
sistem limbik. Selain mengaktivasi sistem reward dopamin ini, nikotin
menyebabkan peningkatan pelepasan vasopresin, β-endorfin, hormon
adrenokortikotropik, dan kortisol. Hormon-hormon ini dianggap berperan dalam
efek stimulatorik dasar nikotin terhadap SSP.

DIAGNOSIS
DSM-IV-TR mendaftar tiga gangguan terkait nikotin (Tabel 9.9-1) namun
hanya memuat kriteria diagnosis spesifik untuk keadaan putus nikotin (Tabel 9.9-
2) pada bagian gangguan terkait nikotin. Gangguan terkait nikotin lain yang
diakui DSM-IV-TR adalah ketergantungan nikotin dan gangguan terkait nikotin
yang tak-tergolongkan.
Tabel 9.9-1
Gangguan Terkait Nikotin DSM-IV-TR
Gangguan penggunaan nikotin
Ketergantungan nikotin
Gangguan terinduksi nikotin

75
Keadaan putus nikotin
Gangguan terkait nikotin yang tak-tergolongkan
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder 4th ed, Text rev. Washington DC. American
Psychiatric Association; copyright 2000, dengan izin.

Tabel 9.9-2
Kriteria diagnosis DSM-IV-TR Keadaan Putus Nikotin
A. Penggunaan nikotin harian selama sekurangnya beberapa minggu
B. Penghentian mendadak penggunaan nikotin, atau pengurangan dalam
jumlah nikotin yang digunakan, dalam waktu 24 jam diikuti oleh empat
(atau lebih) dari tanda berikut.
1. Mood disforik atau depresi
2. Insomnia
3. Iritabilitas, frustasi, atau kemarahan
4. Ansietas
5. Sulit berkonsentrasi
6. Kegelisahan
7. Penurunan frekuensi denyut jantung
8. Peningkatan nafsu makan atau penambahan berat badan
C. Gejala pada kriteria B menyebabkan penderitaan atau hendaya yang
secara klinis signifikan dalam fungsi sosial, okupasional, atau area fungsi
penting lain.
D. Gejala tidak disebabkan kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder 4th ed, Text rev. Washington DC. American
Psychiatric Association; copyright 2000, dengan izin.

Ketergantungan Nikotin
DSM-IV-TR memungkinkan diagnosis ketergantungan nikotin tapi tidak
untuk penyalahgunaan nikotin. Ketergantungan nikotin timbul dengan cepat,
mungkin karena nikotin mengaktivasi sistemn dopaminergik area tegmental

76
ventral, sistem yang sama dengan yang dipengaruhi kokain dan amfetamin.
Berkembangnya dependensi diperkuat faktor sosial yang kuat yang mendorong
seseorang untuk merokok pada beberapa situasi serta efek yang sangat kuat dari
iklan perusahaan rokok. Orang akan cenderung merokok bila orang tua atau
saudara kandungnya merokok dan berfungsi sebagai contoh baginya. Sejumlah
studi terkini juga menyarankan suatu diatesis genetik terhadap ketergantungan
nikotin. Sebagian besar orang yang merokok ingin berhenti dan telah mencoba
beberapa kali untuk berhenti namun gagal.

Keadaan Putus Nikotin


DSM-IV-TR tidak memiliki kriteria diagnosis intoksikasi nikotin tapi
memiliki kriteria diagnosis keadaan putus nikotin (Tabel 9.9-2). Gejala putus zat
dapat timbul dalam 2 jam setelah merokok rokok kretek terakhir , biasanya
memuncak dalam 24 sampai 48 jam pertama, dan dapat berlangsung selama
berminggu-minggu atau berbulan-bulan. Gejala yang lazim mencakup ketagihan
intens terhadap nikotin, ketegangan, iritabilitas, kesulitan berkonsentrasi,
mengantuk dan kesulitan tidur paradoksikal, penurunan frekuensi denyut jantung
dan tekanan darah, peningkatan nafsu makan dan pertambahan berat badan,
penurunan kinerja motorik, serta peningkatan tegangan otot. Sindrom ringan
keadaan putus nikotin dapat muncul bila seorang perokok beralih dari rokok
kretek biasa ke rokok yang berkadar nikotin rendah.

Gangguan terkait nikotin yang Tak-Tergolongkan


Gangguan terkait nikotin yang tak-tergolongkan merupakan suatu
kategori diagnostik untuk gangguan terkait nikotin yang tidak memenuhi satu dari
kategori yang telah dibahas di atas (Tabel 9.9-3). Diagnosis tersebut dapat
mencakup intoksikasi nikotin, penyalahgunaan nikotin, gangguan mood, dan
gangguan ansietas yang disebabkan oleh penggunaan nikotin.

77
Tabel 9.9-3
Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR Gangguan Terkait Nikotin yang Tak-
Tergolongkan
Kategori gangguan terkait nikotin yang tak-tergolongkan diperuntukkan untuk
gangguan yang dikaitkan dengan penggunaan nikotin yang tidak dapat
diklasifikasikan sebagai ketergantungan nikotin atau keadaan putus nikotin
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder 4th ed, Text rev. Washington DC. American
Psychiatric Association; copyright 2000, dengan izin.

GAMBARAN KLINIS
Secara perilaku, efek stimulatorik nikotin menimbulkan peningkatan
atensi, pembelajaran, waktu reaksi, dan kemampuan menyelesaikan masalah.
Pengguna tembakau juga melaporkan bahwa merokok kretek meningkatkan
mood, menurunkan ketegangan, dan mengurangi perasaan depresi. Hasil studi
tentang efek nikotin pada aliran darah otak menemukan bahwa pajanan nikotin
jangka pendek meningkatkan aliran darah otak tanpa mengubah metabolisme
oksigen otak, namun pajanan jangka panjang menurunkan aliran darah otak.
Bertentangan dengan efek stimulatorik terhadap SSP, nikotin bekerja sebagai
relaksan otot skeletal.

Efek Samping
Nikotin adalah alkaloid yang sangat toksik. Dosis 60 mg pada dewasa
bersifat fatal sekunder terhadap paralisis respiratorik; dosis 0,5 mg didapatkan
melalui merokok kretek biasa. Pada dosis rendah, tanda dan gejala toksisitas
nikotin meliputi mual, muntah, salivasi, pucat (akibat peningkatan peristalsis),
diare, pusing, sakit kepala, peningkatan tekanan darah, takikardia, tremor, dan
keringat dingin. Toksisitas juga menyebabkan ketidakmampuan berkonsentrasi,
kebingungan, dan gangguan sensorik. Nikotin lebih lanjut menyebabkan
penurunan jumlah tidur rapid eye movement pada pengguna. Penggunaan nikotin
dalam kehamilan dikaitkan dengan peningkatan insiden bayi dengan berat lahir
rendah serta peningkatan insiden neonatus dengan hipertensi pulmonal persisten.

78
Manfaat Kesehatan Penghentian Merokok
Penghentian merokok memiliki manfaat kesehatan besar dan seketika
bagi orang segala usia dan memberikan manfaat untuk orang dengan dan tanpa
penyakit terkait merokok. Mantan perokok hidup lebih lama dibanding mereka
yang terus merokok. Penghentian merokok menurunkan resiko kanker paru dan
kanker lain, infark miokardium, penyakit serebrovaskular, dan penyakit paru
kronik. Wanita yang berhenti merokok sebelum hamil atau dalam 3 sampai 4
bulan pertama kehamilannya mengurangi resiko mereka untuk melahirkan bayi
dengan berat lahir rendah hingga setara dengan mereka yang tidak pernah
merokok. Manfaat kesehatan dari penghentian merokok secara substansial
melampaui resiko penambahan berat badan rata-rata 5 pon (2,3 kg) atau efek
psikologis simpang lain setelah berhenti.

PENANGANAN
Psikiater sebaiknya menyarankan kepada semua pasien yang tidak
sedang dalam krisis untuk berhenti merokok. Bagi pasien yang sudah siap
berhenti merokok, hal yang paling baik adalah menentukan “tanggal berhenti.”
Sebagian besar klinisi dan perokok memilih penghentian mendadak namun,
karena tidak ada data yang baik yang mengindikasikan bahwa penghentian
mendadak lebih baik dibanding penghentuan bertahap, pilihan pasien untuk
melakukan penghentian bertahap harus dihargai. Saran singkat sebaiknya berfokus
pada kebutuhan pengobatan atau terapi kelompok, kekhawatiran penambahan
berat badan, situasi resiko tinggi, membuat rokok kretek tidak tersedia, dan lain-
lain. Karena relaps sering kali cepat terjadi, panggilan telepon atau kunjungan
tindak lanjut pertama sebaiknya dilakukan dalam 2 sampai 3 hari setelah tanggal
berhenti. Strategi ini terbukti melipatgandakan angka berhenti atas inisiatif sendiri
(Tabel 9.9-4)

Tabel 9.9-4
Tipikal Angka Berhenti dari Terapi Umum

79
Terapi Angka (%)
Berhenti sendiri 5
Buku swa-bantu 10
Saran dokter 10
Koyo atau permen karet yang dijual bebas 15
Obat plus saran 20
Terapi perilaku saja 20
Obat plus terapi kelompok 30

Terapi Psikososial
Terapi perilaku merupakan terapi psikologis untuk merokok yang paling
diterima secara luas dan terbukti baik. Terapi perilaku terdiri dari beberapa teknik,
tiga di antaranyadidukung bukti yang baik. Latihan keterampilan dan pencegahan
relaps mengidentifikasi situasi beresiko tinggi dan merencanakan serta melatih
keterampilan mengatasi masalah secara kognitif dan perilaku untuk situasi
tersebut. Pengendalian stimulus melibatkan eliminasi isyarat untuk merokok di
lingkungan. Merokok cepat mengharuskan perokok berulang kali sampai merasa
mual dalam sesi untuk mengasosiasikan merokok dengan sensasi yang tidak
menyenangkan dan bukannya menyenangkan. Terapi terakhir ini tampaknya
efektif tapi memerlukan aliansi terapeutik yang baik dan kepatuhan pasien.

Terapi Psikofarmakologis
Terapi Sulih Nikotin.
Semua terapi sulih nikotin melipatgandakan angka penghentian,
kemungkinan karena mereduksi keadaan putus nikotin. Terapi ini juga dapat
digunakan untuk mengurangi keadaan putus zat pada pasien di bangsal bebas

80
merokok. Terapi sulih menggunakan periode singkat rumatan (6 sampai 12
minggu).
Permen karet nikotin (Nicorette) adalah suatu produk yang dijual bebas
yang melepaskan nikotin melalui kunyahan dan absorpsi bukal. Tersedia varian 2
mg untuk mereka yang merokok kurang dari 25 batang per hari. Perokok
dianjurkan menggunakan satu samoai dua permen karet per jam setelah
penghentian mendadak. Konsentrasi nikotin dalam darah vena dari permen karet
adalah sepertiga sampai setengah kadar rokok kretek. Minuman berasam (kopi,
teh, soda, dan jus) sebaiknya tidak dikonsumsi sebelum, selama, atau setelah
penggunaan permen karet karena dapat menurunkan absorpsi. Kepatuhan terhadap
permen karet sering kali menjadi masalah. Efek simpangnya kecil dan mencakup
pengecapan buruk dan rahang nyeri. Sekitar 20 persen dari mereka berhenti
menggunakan permen karet dalam jangka waktu lama, tapi 2 persen menggunakan
permen karet lebih dari setahun, penggunaan jangka panjang tampaknya tidak
berbahaya. Keuntungan utama permen karet nikotin adalah kemampuannya
memberikan kelegaan pada situasi beresiko tinggi.
Koyo nikotin, juga dijual bebas, tersedia dalam preparat 16 jam tanpa
titrasi (Habitrol) dan preparat 24+ atau 16+ jam dengan titrasi (nicorderm CQ).
Koyo dipasang tiap pagi dan menghasilkan konsentrasi nikotin dalam darah
sekitar setengah dari merokok. Kepatuhannya tinggi dan satu-satunya efek
simpang adalah ruam dan, dengan pemakaian 24 jam insomnia. Penggunaan
jangka panjang tidak terjadi. Menggunakan koyo atau permen karet pada situasi
resiko tinggi meningkatkan angka berhenti dengan tambahan 5 sampai 10 persen.
Belum ada studi yang telah dilakukan untuk menentukan kemanjuran relatif koyo
24+ atau 16+ jam atau koyo dengan atau tanpa titrasi.
Semprotan hidung nikotin (Nikotrol), hanya tersedia dengan resep
menghasilkan konsentrasi nikotin dalam darah yang lebih menyerupai konsentrasi
dari merokok sebatang rokok kretek, dan tampaknya terutama membantu bagi
perokok yang sangat ketergantungan. Namun semprotan menyebabkan rinitis,
mata berair, dan batuk pada lebih dari 70 persen pasein. Meski data awal

81
menyarankan kemungkinan penyalahgunaan percobaan lebih lanjut tidak
menemukan hal ini.
Obat hirup (inhaler) nikotin, produk dengan resep, dirancang untuk
menghantarkan nikotin ke paru, tapi nikotin sebenarnya diabsorpsi di bagian atas
tenggorok. Kadar resultan nikotinnya rendah. Keuntungan utama obat hirup
adalah obat ini memberi substitusi perilaku terhadap merokok. Obat hirup juga
melipatgandakan angka berhenti. Alat ini perlu dihirup berulang kali, yang dapat
menyebabkan efek simpang minimal.

Pengobatan Non-Nikotin.
Terapi non-nikotin dapat membantu perokok yang secara filosofis menolak
konsep terapi sulih serta perokok yang gagal pada terapi sulih. Bupropion (Zyban)
(dipasarkan sebagau Wellbutrin untuk depresi) adalah obat anti-depresan yang
memiliki aksi dopaminergik maupun adrenergik. Dosisi harian 300 mg dapat
diandalkan untuk melipatgandakan angka berhenti pada perokok dengan dan tanpa
riwayat depresi. Pada satu studi, kombinasi bupropion dan koyo nikotin memiliki
angka berhenti yang lebih tinggi dibanding bila digunakan secara tersendiri. Efek
simpang meliputi insomnia dan mual, tapi jarang yang signifikan. Kejang belum
pernah terjadi pada percobaan merokok. Yang menarik, nortriptilin (Pamelor)
tampaknya efektif untuk penghentian merokok.
Klonidin (Catapres) menurunkan aktivitas simpatis lokus seruleus dan
oleh karena itu dianggap dapat meredakan gejala putus zat. Baik diberikan sebagai
koyo atau per oral, klonidin 0,2 sampai 0,4 mg sehari tampaknya menggandakan
angka berhenti; namun, database ilmiah tentang kemnajuran klonidin tidak
sebanyak dan dapat diandalkan seperti sulih nikotin; juga, klonidin dapat
menyebabkan mengantuk dan hipotensi. Terapi benzodiazepin (10 sampai 30 mg
per hari) selama 2 sampai 3 minggu pertama abstinensi memberikan manfaat pada
beberapa pasien.
Vaksin nikotin yang menghasilkan antibodi spesifik-nikotin dalam otak
sedang diteliti di National Institute on Drug Abuse.

82
Lingkungan Bebas-Rokok
Perokok pasif juga dapat berkontribusi pada kematian akibat kanker paru
dan penyakit jantung koroner pada orang dewasa yang bukan perokok. Tiap tahun,
diperkirakan 3.000 kematian akibat kanker paru dan 62.000 kematian akibat
penyakit jantung koroner pada orang dewasa bukan perokok dihubungkan dengan
perokok pasif. Di antara anak-anak, perokok pasif terlibat dalam sindrom
kematian bayi mendadak, berat lahir rendah, infeksi telinga tengah kronik, dan
penyakit pernapasan (cth : asma, bronkitis, dna pneumonia). Dua tujuan kesehatan
nasional untuk tahun 2010 adalah mengurangi merokok kretek di antara orang
dewasa hingga 12 persen dan proporsi bukan perokok yang terpajan ke
lingkungan rokok, tembakau sebanyak 45 persen.
Pajanan involunter terhadap perokok pasif tetap menjadi resiko kesehatan
masyarakat umum yang dapat dicegah dengan kebijakan regulatorik yang tepat.
Larangan merokok di tempat umum mengurangi pajanan terhadap perokok pasif
dan jumlah rokok yang dihisap perokok. Terdapat dukungan yang hampir
universal untuk pelarangan di sekolah dan pusat penitipan anak serta dukungan
kuat pelarangan di arca kerja dan restoran dalam ruang. Kebijakan udara dalam
ruang yang bersih adalah salah satu cara untuk mengubah norma sosial tentang
merokok dan mengurangi konsumsi tembakau.

F18. Gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat yang


mudah menguap

83
Pendahuluan
Inhalant/ solvent adalah uap gas yang digunakan dengan cara
dihirup. Biasanya digunakan secara coba-coba oleh anak dibawah umur golongan
kurang mampu/ anak jalanan. Kategori gangguan terkait inhalan mencakup
sindrom psikiatri yang terjadi akibat penggunaan bahan pelarut, lem, bahan
perekat, bahan pembakar (propellant) aerosol, bahan pengencer cat, dan bahan
bakar. Contoh spesifik zatnya adalah bensin, penghapus pernis, cairan pemantik,
lem pesawat terbang, semen karet, cairan pembersih, cairan semprot, pelembab
sepatu, dan cairan pengoreksi mesin ketik. Kembalinya popularitas inhalan di
antara orang muda telah dilaporkan. Senyawa aktif pada inhalan ini mencakup
toluena, aseton, benzena, trikloroetana, perkloretilen, trikloroetilen, 1,2-
dikloropropan, dan hidrokarbon terhalogenisasi. Efek yang ditimbulkan :
pusing, kepala terasa berputar, halusinasi ringan, mual, muntah, gangguan fungsi
paru, liver dan jantung.

EPIDEMIOLOGI
Zat inhalan tersedia dengan mudah, legal, dan tidak mahal. Ketiga faktor
ini berperan dalam tingginya penggunaan inhalan di antara orang miskin dan
orang muda. Menurut DSM-IV-TR, kurang lebih 6 persen orang di Amerika
Serikat pernah menggunakan inhalan setidaknya sekali, dan sekitar 1 persen
adalah pengguna saat ini. Di antara dewasa muda, usia 18 sampai 25 tahun, 11
persen pernah menggunakan inhalan setidaknya sekali, dan 2 persen adalah
pengguna saat ini. Di antara remaja, usia 12 sampai 17 tahun, 7 persen pernah
menggunakan inhalan setidaknya sekali dan 2 persen adalah pengguna saat ini.
Pada satu studi terhadap siswa kelas 3 SMU, 18 persen melaporkan pernah
menggunakan inhalan setidaknya sekali dan 2,7 persen melaporkan menggunakan
inhalan dalam waktu satu bulan sebelumnya. Pengguna inhalan kulit putih lebih
sering terdapat pada komunitas sub-urban di Amerika Serikat dibanding
komunitas urban.

84
Penggunaan inhalan meliputi 1 persen kematian terkait zat dan kurang
dari 0,5 persen kunjungan ke ruang gawat darurat terkait zat. Sekitar 20 persen
kunjungan ke ruang gawat darurat karena penggunaan inhalan melibatkan orang
di bawah usia 18 tahun. Penggunaan inhalan di kalangan remaja mungkin paling
sering pada mereka yang orang tuanya atau kakaknya mengonsumsi zat terlarang.
Penggunaan inhalan di kalangan remaja juga dikaitkan dengan peningkatan
kecenderungan terhadap gangguan perilaku atau gangguan kepribadian antisosial.

NEUROFARMAKOLOGI
Orang biasanya menggunakan inhalan dengan pipa, kaleng, kantong
plastik, atau kain dibasahi inhalan, yang melalui atau dari benda tersebut
pengguna dapat menghirup inhalan melalui hidung atau “menghirup” melalui
mulut. Inhalan secara umum bekerja sebagai depresan sistem saraf pusat.
Toleransi terhadap inhalan dapat terbentuk, meski gejala putus zat biasanya cukup
ringan dan tidak diklasifikasikan sebagai suatu gangguan dalam DSM-IV-TR.
Inhalan dengan cepat diabsorpsi melalui paru dan dengan cepat
dihantarkan ke otak. Efeknya tampak dalam 5 menit dan dapat bertahan selama 30
menit sampai beberapa jam, bergantung pada zat inhalan dan dosis. Sebagai
contoh, 15 sampai 20 hirupan larutan 1 persen bensin dapat mengakibatkan
mabuk selama beberapa jam. Konsentrasi berbagai zat inhalan dalam darah
meningkat ketika digunakan bersama alkohol, mungkin karena berkompetisi
untuk enzim hepar. Meski sekitar satu perlima zat inhalan diekskresi dalam bentuk
yang sama oleh paru, sisanya dimetabolisme hepar. Inhalan dapat terdeteksi dalam
darah selama 4 sampai 10 jam setelah penggunaan dan sampel darah sebaiknya
diambil di ruang gawat darurat bila dicurigai terdapat penggunaan inhalan.
Hampir sama seperti alkohol, inhalan memiliki efek farmakodinamik
spesifik yang belum dipahami dengan baik. Oleh karena efeknya secara umum
serupa dan menambah efek depresan sistem saraf pusat lain (cth : etanol,
barbiturat, dan benzodiazepin), sejumlah peneliti menyarankan bahwa inhalan
bekerja dengan meningkatkan sistem asam y-aminobutirat. Peneliti lain

85
menyarankan bahwa inhalan bekerja melalui fluidisasi membran, yang juga
dihipotesiskan sebagai efek farmakodinamik etanol.

DIAGNOSIS
DSM-IV-TR mendaftar sejumlah gangguan terkait inhalan (Tabel 9.8-1)
tapi hanya memuat kriteria diagnosis spesifik untuk intoksikasi inhalan (Tabel 9.8-
2) pada bagian gangguan terkait inhalan. Kriteria diagnosis gangguan terkait
inhalan lain dirinci dalam bagian DSM-IV-TR yang secara spesifik ditujukan ke
gejala utamanya - sebagai contoh, gangguan psikotik terinduksi inhalan.

Tabel 9.8-1
Gangguan Terkait Inhalan DSM-IV-TR
Gangguan penggunaan inhalan
Ketergantungan inhalan
Gangguan terinduksi inhalan
Intoksikasi inhalan
Delirium pada intoksikasi inhalan
Demensia persisten terinduksi inhalan
Gangguan psikotik terinduksi inhalan, dengan waham
Tentukan apakah :
Dengan awitan saat intoksikasi
Gangguan psikotik terinduksi inhalan, dengan halusinasi
Tentukan apakah :
Dengan awitan saat intoksikasi
Gangguan mood terinduksi inhalan
Tentukan apakah :
Dengan awitan saat intoksikasi
Gangguan ansietas terinduksi inhalan
Tentukan apakah :
Dengan awitan saat intoksikasi

86
Gangguan terkait inhalan yang tak tergolongkan
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder 4th ed, Text rev. Washington DC. American
Psychiatric Association; copyright 2000, dengan izin

Tabel 9.8-2
Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR Intoksikasi Inhalan
A. Penggunaan secara sengaja baru-baru ini atau jangka pendek atau pajanan
dosis tinggi dalam jangka pendek inhalan yang mudah menguap (tidak
termasuk gas anestetik dan vasodilator kerja singkat)
B. Perubahan psikologis atau perilaku maladaptif yang secara klinis signifikan
(cth : perkelahian, penyerangan, apati, daya nilai terganggu, fugnsi sosial atau
okupasional terganggu) yang timbul selama atau segera setelah, penggunaan
atau pajanan terhadap inhalan yang mudah menguap
C. Dua (atau lebih) tanda berikut, timbul selama, atau segera setelah,
penggunaan :
1) Pusing
2) Nistagmus
3) Inkoordinasi
4) Bicara cadel
5) Cara berjalan tidak stabil
6) Letargi
7) Refleks terdepresi
8) Retardasi psikomotor
9) Tremor
10) Kelemahan otot menyeluruh
11) Pandangan kabur atau diplopia
12) Stupor atau koma
13) Euforia
D. Gejala tidak disebabkan kondisi medis umum dan tidak lebih baik
diterangkan oleh gangguan mental lain.
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder 4th ed, Text rev. Washington DC. American Psychiatric
Association; copyright 2000, dengan izin

Ketergantungan Inhalan dan Penyalahgunaan Inhalan

87
Sebagian besar orang mungkin menggunakan inhalan untuk jangka
waktu singkat tanpa menimbulkan pola penggunaan jangka panjang yang
berakibat ketergantungan dan penyalahgunaan. Namun, ketergantungan dan
penyalahgunaan inhalan dapat terjadi dan didiagnosis menurut kriteria standar
DSM-IV-TR untuk sindrom tersebut.

Intoksikasi Inhalan
Kriteria diagnosis DSM-IV-TR untuk intoksikasi inhalan (Tabel 9.8-2)
merinci perubahan perilaku maladaptif dan sekurangnya dua gejala fisik. Keadaan
terintoksikasi sering ditandai dengan apati, penurunan fungsi sosial dan
okupasional, daya nilai terganggu, serta perilaku impulsif atau agresif, dan dapat
disertai mual, anoreksia, nistagmus, refleks terdepresi, dan diplopia. Pada dosis
tinggi dan pajanan jangka panjang, status neurologis pengguna dapat berlanjut
menjadi stupor dan tidak sadar, dan seseorang mungkin kemudian menjadi
amnesik selama periode intoksikasi. Klinisi kadang-kadang dapat
mengidentifikasi orang yang baru menggunakan inhalan berdasarkan ruam
disekitar hidung dan mulut pasien; bau napas yang tak lazim; residu zat inhalan
pada wajah, tangan atau pakaian; dan iritasi mata, tenggorok, paru, dan hidung
pasien.

Delirium pada Intoksikasi Inhalan


Delirium dapat diinduksi efek inhalan itu sendiri, melalui interaksi
farmakodinamik dengan zat lain, serta melalui hipoksia yang dapat disebabkan
oleh inhalan atau metode inhalasi. Bila delirium mengakibatkan gangguan
perilaku berat, penanganan jangka pendek dengan antagonis reseptor dopamin,
seperti haloperidol (haldol), mungkin diperlukan. Golongan benzodiazepin
sebaiknya dihindari karena kemungkinan meningkatkan depresi napas pada
pasien.

Demensia Persisten Terinduksi Inhalan

88
Demensia persisten terinduksi inhalan, seperti halnya delirium, dapat
disebabkan efek neurotoksik inhalan itu sendiri, efek neurotoksik logam (cth :
timah hitam) yang biasa digunakan pada inhalan, atau efek periode hipoksia yang
sering dan memanjang. Demensia yang disebabkan inhalan cenderung ireversibel
pada semua kasus kecuali kasus ringan.

Gangguan Psikotik Terinduksi Inhalan


Gangguan psikotik terinduksi inhalan merupakan suatu diagnosis DSM-
IV-TR. Klinisi dapat merinci halusinasi atau waham sebagai gejala predominan.
Keadaan paranoid mungkin merupakan sindrom psikotik yang paling sering
selama intoksikasi inhalan.

Gangguan Mood Terinduksi Inhalan dan Gangguan Ansietas Terinduksi


Inhalan
Gangguan mood terinduksi inhalan dan gangguan ansietas terinduksi
inhalan adalah diagnosis DSM-IV-TR yang memungkinkan klasifikasi gangguan
terkait inhalan yang ditandai gejala mood dan ansietas yang prominen. Gangguan
depresi adalah gangguan mood yang paling sering dikaitkan dengan penggunaan
inhalan, sementara gangguan panik dan gangguan ansietas menyeluruh adalah
gangguan ansietas yang paling sering terjadi.

Gangguan Terkait Inhalan yang Tak-Tergolongkan


Gangguan terkait inhalan yang tak-tergolongkan adalah diagnosis yang
direkomendasikan DSM-IV-TR untuk gangguan terkait inhalan yang tidak
memenuhi salah satu kategori diagnostik yang dibahas di atas (Tabel 9.8-3)

Tabel 9.8-3
Kriteria Diagnosis DSM-IV-TR Gangguan Terkait Inhalan yang Tak-
Tergolongkan

89
Kategori gangguan terkait inhalan yang tak-tergolongkan diperuntukkan bagi
gangguan yang dikaitkan dengan penggunaan inhalan yang tidak dapat
diklasifikasikan sebagai ketergantungan inhalan, penyalahgunaan inhalan,
intoksikasi inhalanm delirium pada intoksikasi inhalan, demensia persisten
terinduksi inhalan, gangguan psikotik terinduksi inhalan, gangguan mood
terinduksi inhalan, atau gangguan ansietas terinduksi inhalan.
Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of
Mental Disorder 4th ed, Text rev. Washington DC. American
Psychiatric Association; copyright 2000, dengan izin

GAMBARAN KLINIS
Pada dosis awal yang kecil, inhalan dapat menyebabkan disinhibisi serta
dapat menimbulkan perasaan euforia dan eksitasi serta sensasi mengambang yang
menyenangkan, yang kemungkinan merupakan efek yang dicari oleh orang yang
menggunakan obat tersebut. Dosis tinggi inhalan dapat menyebabkan gejala
psikologis ketakutan, ilusi sensorik, halusinasi auditorik dan visual, serta distorsi
ukuran tubuh. Gejala neurologis dapat mencakup bicara cadel, penurunan
kecepatan bicara, dan ataksia. Penggunaan jangka panjang dapat dikaitkan dengan
iritabilitas, labilitas emosi, dan hendaya memori.
Toleransi terhadap inhalan bisa terjadi; meski tidak diakui DSM-IV-TR,
sindrom putus zat dapat menyertai penghentian penggunaan inhalan. Sindrom
putus zat tidak sering terjadi; bila terjadi, dapat ditandai dengan gangguan tidur,
iritabilitas, kegugupan, berkeringat, mual, muntah, takikardi, dan kadang-kadang
waham serta halusinasi.

Efek Simpang
Inhalan dikaitkan dengan banyak efek simpang yang potensial serius.
Kematian dapat terjadi akibat depresi napas, aritmia jantung, asfiksia, aspirasi
muntahan, serta kecelakaan atau cedera (cth : mengemudi saat terintoksikasi
inhalan). Efek simpang serius lain dari penggunaan inhalan jangka panjang
meliputi kerusakan hepatik atau renal yang ireversibel dan kerusakan otot

90
permanen yang dikaitkan dengan rhabdomiolisis. Kombinasi pelarut organik dan
konsentrasi tinggi tembaga, seng, dan logam berat telah dikaitkan dengan
terjadinya atrofi otak, epilepsi lobus temporal, penurunan IQ, dan perubahan
elektroensefalogram. Sejumlah studi terhadap pengecat rumah dan pekerja pabrik
yang terpajan pelarut dalam jangka waktu lama menunjukkan bukti atrofi otak
pada pemindaian CT scan serta penurunan aliran darah otak. Efek simpang
tambahan mencakup gejala kardiovaskular dan paru (cth : nyeri, mual, muntah,
dan hematesis), serta tanda dan gejala-gejala neurologis lain (contoh : neuritis
perifer, sakit kepala, parestesia, tanda serebelar dan ensefalopati timbal). Terdapat
laporan atrofi otak, asidosis tubular ginjal, hendaya motorik jangka panjang pada
penggunaan toluena. Beberapa laporan mengkhawatirkan efek simpang serius
pada perkembangan janin ketika seorang wanita hamil yang menggunakan atau
terpajan zat inhalan.

PENANGANAN
Intoksikasi inhalan, seperti halnya intoksikasi alkohol, biasanya tidak
memerlukan perhatian medis dan sembuh spontan. Namun efek intoksikasi seperti
koma bronkospasme, laringospasme, aritmia jantung, trauma, atau luka bakar
memerlukan penanganan. Bila tidak, perawatan utamanya mencakup
penentraman, dukungan dalam diam (quiet support), dan perhatian pada tanda
vital dan tingkat kesadaran.
Tidak ada penanganan baku untuk masalah memori dan kognitif pada
demensia persisten terinduksi inhalan. Penjangkauan ke jalanan dan dukungan
yang luas dari dinas sosial telah ditawarkan untuk tunawisma dewasa yang
ketergantungan inhalan dan sangat terdeteriorasi. Pasien mungkin memerlukan
dukungan luas dalam keluarga atau perawatan asuh atau domiciliary.
Perjalanan penyakit dan penanganan gangguan psikotik terinduksi
inhalan menyerupai intoksikasi inhalan. Gangguan berlangsung singkat selama
beberapa jam sampai (paling lama) beberapa minggu setelah intoksikasi.
Penanganan agresif terhadap penyulit yang mengancam nyawa seperti henti
jantung atau napas bersama dengan penatalaksanaan konservatif intoksikasi,

91
sudah memadai. Kebingungan, panik, dan psikosis mengharuskan perhatian
khusus terhadap keamanan pasien. Agitasi berat mungkin memerlukan
pengendalian ketat dengan haloperidol (5mg secara intramuskular per 70 kg berat
badan). Obat sedatif sebaiknya dihindari karena dapat memperparah psikosis,
gangguan ansietas dan mood terinduksi inhalan dapat mempresipitasi ide bunuh
diri dan pasien sebaiknya dievaluasi dengan cermat terhadap adanya kemungkinan
tersebut. Antiansietas dan antidepresan tidak berguna pada fase akut gangguan
tersebut; kedua agen tersebut dapat digunakan jika terdapat penyakit depresi atau
ansietas yang terjadi bersamaan.

F19. GANGGUAN MENTAL DAN PERILAKU AKIBAT PENGGUNAAN


ZAT PSIKOAKTIF LAINNYA

GAMMA HIDROKSIBUFIRAT
Gamma Hidroksibufirat (GHB) adalah taransmiter yang teradapat secara
alami di otak yang berhubungan dengan pengaturan tidur. GHB meningkatkan
kadar dopamine dalam otak. Secara umum GHB adalah depresan system saraf
pusat dengan efek melalui system opioid endogen. Zat ini digunakan untuk
menginduksi anesthesia dan sedasi jangka panjang, tapi durasi kerjanya yang tidak
dapat diramalkan membatasi penggunaannya. Belakangan zat ini diteliti sebagai
penanganan keadaan putus alcohol dan opioid serta narkolepsi.
GHB disalahgunakan karena efek mengintoksikasi dan sifatnya yang
mengubah kesadaran. Zat ini dengan berbagai cara disebut “GHB” dan “ekstasi
cair” dan dijual illegal dalam bentuk (cth., serbuk dan cairan). Zat kimia serupa,
yang oleh tubuh diubah menjadi GHB, mencakup gamma butirolakton (GBL) dan
1,4-butanediol. Efek samping meliputi mual, muntah, masalah pernapasan,

92
kejang, koma, dan kematian. Pada beberapa laporan, penyalahgunaan GHB
dikaitkan dengan sindrom lirWernickle-Korsakoff.

INHALAN NITRIT
Inhalan nitrit mencakup nitrit amil, butyl, dan isobutyl, yang semuanya
disebut “popper = peletup” dalam isitilah populernya. Inhalan nitrit digunakan
oleh orang yang mencari euphoria ringan yang terkait dengannya, sensasi waktu
berubah, perasaan penuh di kepala, dan kemungkinan peningkatan perasaan
seksual. Senyawa nitrit digunakan oleh beberapa orang untuk meningkatkan
stimulasi seksual selama orgasme dan, pada beberapa kasus merelaksasikan
sfingter ani untuk penetrasi penis. Pada keadaan seperti itu, seseorang dapat
menggunakan zat sebanyak beberapa dalam beberapa jam.
Efek samping mencakup sindrom toksik yang ditandai mual, muntah,
nyeri kepala, hipotensi, mengantuk, dan iritasi traktus respiratorius. Sejumlah
bukti mengindikasikan bahwa inhalan nitrit memiliki efek samoing yang
mempengaruhi fungsi imun. Karena sildenafil (Viagra) bersifat lebih letal bila
dikombinasikan dengan senyawa nitrit, orang yang beresiko sebaiknya
diperingatkan untuk tidak menggunakan kedua obat ini secara bersamaan.

NITROSE OKSIDA
Nitrose Oksida biasa dikenal dengan “gas tertawa” ada;ah agen anastetik
yang tersedia luas yang menjadi subjek penyalahgunaan karena kemampuannya
menimbulkan perasaan kepala ringan serta mengambang, yang terkadang dialami
sebagai hal yang menyenangkan atau secara spesifik bersifat seksual. Dengan pola
penyalahgunaan jangka panjang, konsumsi nitrose oksida menyebabkan delirium
dan paranoia.

ZAT LAIN
PALA

93
Dapat dikonsumsi melalui beberapa preparat. Bila dikonsumsi dalam dosis
yang cukup tinggi, dapat menginduksi depersonalisasi, derealisasi, dan perasaan
berat ditungkai.
BIJI MORNING GLORRY
Dapat menyebabkan sindrom yang mirip dengan penggunaan asam lisergat
dietilamid (LSD), yang ditandai dengan perubahan persepsi sensorik dan
halusinasi visual ringan.
CATNIP
Dapat menimbulkan intoksikasi lir-kanabis pada dosis rendah dan
intoksikasi lir-LSD pada dosis tinggi.
BETEL NUTS
Bila dikunyah dapat menimbulkan euphoria ringan dan perasaan
mengambang diangkasa.
KAVA
Berasal dari tanaman lada yang aslinya dari pasifik selatan, menyebabkan
sedasi dan inkoordinasi serta dikaitkan dengan hepatitis, abnormalitas paru, dan
penurunan berat badan.
EFEDRA
Zat alami yang terdapat dalam teh herbal, bekerja seperti epinefrin dan bila
disalahgunakan, menyebabkan aritmia jantung dan fatalitas.
COKLAT
Anamid, suatu bahan yang terdapat dalam coklat, merangsang reseptor
yang sama dengan mariyuana. Senyawa lain dalam cokelat mencakup triptofan,
precursor serotonin, dan fenilalanin, suatu zat lir-amfetamin, yang keduanya
meningkatkan mood. Orang yang disebut chocoholic mungkin melakukan swa-
pengobatan pada dirinya sendiri karena adanya diathesis depresi.

GANGGUAN TERKAIT POLIZAT


Pada DSM -IV-TR, diagnosis ketergantungan polizat tepat bila, selama periode
sekurangnya 12 bulan, seseorang secara berulang menggunakan zat dari
setidaknya tiga kategori (tidak termasuk nikotin dan kafein), bahkan bila kriteria

94
diagnosis untuk gangguan terkait zat tidak terpenuhi untuk satu zat pun, asalkan,
dalam periode ini, kriteria untuk ketergantungan zat terpenuhi untuk zat yang
dianggap sebagai satu kelompok.

Lampiran

Tabel 1. perkiraan waktu deteksi dalam urin beberapa jenis opiat


Jenis obat Lama waktu dapat dideteksi
Amfetamin 2 hari
Barbiturat 1 hari (kerja pendek)
3 hari (kerja panjang)
Benzodiazepin 3 hari
Kokain 2-4 hari
Kodein 2 hari
Heroin 1-2 hari
Methadone 3 hari
Morfin 2-5 hari

95
Daftar pustaka

1. Klagenberg KF, Zeigelboim BS, Jurkiewicz AL, Martins-Bassetto J.


Substance Related Disorders in Teenagers. PMC Journal. 2007 May-Jun; 73:
353-8.
2. Maslim Rusdi, Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari
PDGJ-III, PT. Nuh Jaya. 2001. H. 34-43.
3. Morgan, Segi Praktis Psikiatri. Jakarta: Bina rupa aksara. 2001. H. 110-145.
4. Sadock Benjamin J, Sadock Virginia A. Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri
Klinis. Ed. 2. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2014. Bab 9.
Gangguan Terkait Zat. H. 86-146
5. Smith, CM. Community Health Nursing: Theory and Practice. Philadelphia:
W.B. Saunders Company. Dalam: www.pdfsearch.com/ebook/

96
6. Stuart Sundeen. Principles and Practice of Psychiatric Nursing. St Louis:
Mosby Year Book. 2001. Dalam: www.pdfsearch.com/ebook/
7. Sukmana Nanang. Ilmu Penyakit Dalam. Ed.V. Jakarta : Pusat Penerbitan Ilmu
Penyakit Dalam: 2009. Bab 41. Intoksikasi Narkotika (Opiat). H. 284-288
8. The Indonesian Florence Nightingale Foundation, Kiat Penanggulangan dan
Penyalahgunaan Ketergantungan NAPZA. Dalam: www.ifnf.org/NAPZA/
9. Tom, Kus, Tedi. Bahaya NAPZA Bagi Pelajar. Bandung :Yayasan Al-Ghifari.
2009. H. 20-57.
10. Warninghoff JC, Bayer O, Straube A, Ferarri U. Treatment and Rehabilitation
in Substance Related disorders. Review Article on: British Psychiatry Journal.
Juli 2009

97

You might also like