Professional Documents
Culture Documents
Definisi
Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan
pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. Pada anemia aplastik terjadi penurunan
produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia,
granulositopenia, monositopenia dan trombositopenia. Istilah anemia aplastik sering juga
digunakan untuk menjelaskananemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun.
Sinonim lain yangsering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif,
aleukiahemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.
Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia.Akan tetapi,
kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak diketahui
Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit lain (Tabel 2)
Pathogenesis
Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang
diturunkan inherited aplastic anemia terutama anemia Fanconi disebabkanoleh ketidakstabilan
DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan acquired aplastic anemia disebabkan
kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan
anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel. Anemia Fanconi
barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling sering karena bentuk
inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi
sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya,
pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelody splastic sindrom
(MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu
kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan perubahan pada
protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait
dengan kanker payudara).
Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang timbul adalah
akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia dimana
timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoed’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat
dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang akan
menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan
gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat
mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ. Pada
kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau
pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan. Anemia aplastik
mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin. Keluhan yang dapat ditemukan
sangat bervariasi.
Pemeriksaan penunjang
A. Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang
terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi.
Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia
aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan
poikilositosis
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih
menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat pada
lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm dan trombosit kurang dari
20.000/mm menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang dari 200/mm
menandakan anemia aplastik sangat berat.
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal.
Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit bukan
merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat acquired aplastic anemia Pada
beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga
diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien
seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai
beberapa minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan.
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan
begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F
meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik
konstitusional. Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis,
termasuk erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid.
Kadar Fe serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan
inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi
2. Pemeriksaan sumsum tulang
Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah
yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit,sel plasma,
makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-
sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada kebanyakan
kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada
beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler atau bahkan
hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah.
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran hiposelular.
Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi
dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena areafokal residual
hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsy dianjurkan untuk
mengklarifikasi diagnosis.
Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30% sel
pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada individu yang
berumur lebih dari 60 tahun.
International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila
selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari30%
sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.
B. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa anemia
aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom kegagalan sumsum tulang yang
diturunkan, karena banyak diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada
pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu
ketidakhadiran elemen seluler dandigantikan oleh jaringan lemak.
Penatalaksanaan
1. Manajemen awal anemia aplastik
Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi
penyebab anemia aplastik.
Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.
Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan.
Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.
Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak
dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan
infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi
granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-CSF.
Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan histocompatibilitas
pasien, orang tua dan saudara kandung pasien. Pengobatan spesifik aplasia sumsum
tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi
imunosupresif (ATG, siklosporindan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi
siklofosfamid.
Prognosis
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah absolut
netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang dari 500/l
(0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah netrofil kurang dari
200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang
jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang
lebih baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap
androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi
sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang berusia
kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan sekitar 50% pada
pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien yang bertahan karena
mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan menderita gangguan akibat GVHD kronik dan
resiko mendapatkan kanker sekitar 11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi
siklosporin sebelum transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang
belum mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum
tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam hal conditioning
untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi kombinasi
imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien setelah terapi memiliki
jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian mendapatkan anemia sedang atau
trombositopenia. Penyakit ini juga akan berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal
nokturnal hemoglobinuria, sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40%
pasien yang padamulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang
mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama15 tahun dan
pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38% yang bertahan dalam 15
tahun.
Dapus
William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: LeeGR, Foerster J, et
al (eds). Wintrobe’s Clinical Hematology 9th ed. Philadelpia-London: Lee& Febiger, 1993;911-
43.
Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds). CurrentMedical
Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill, 2007;510-11
Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan DepartemenIlmu Penyakit Dalam FK UI,
2006;637-43
Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failuresyndromes. In:
Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s Principle of InternalMedicine. 16th ed. New York:
McGraw Hill, 2007:617-25
Anemia Megaloblastik
Pengertian
Anemia megaloblastik adalah kumpulan penyakit heterogen yang memiliki karakteristik
yang sama yaitu adanya sel megaloblast, sel megaloblas adalah sel precursor eritrosit dengan
bentuk sel yang besar
Etiologi
Anemia megaloblastik paling banyak disebabkan oleh defiensi folat dan vitamin B12.
Defek yang disebabkan karena defisiensi folat dan dan vitamin B12 adalah penurunan sintesis
DNA. Vitamin B12 diperlukan untuk melepaskan folat dari bentuk methyl sehingga bisa kembali
menuju tetrahydrofolate pool untuk dikonversi menjadi 5, 10-methylene tetrahydrofolate.
Gangguan sintesis DNA disebabkan karena adanya konversi deoksiridilat menjadi thimidilat
yang tidak adekuat karena kekurangan 5, 10-methylene tetrahydrofolate.2
Representasi dari penurunan sintesis DNA ini adalah terdapatnya sel megaloblast yang
menjadi karakteristik anemia megaloblastik. Sel megaloblast adalah sel prekursor eritrosit
dengan ukuran sel yang besar, lacy chromatin, pola parakromatin menonjol, dan adanya
kesenjangan pematangan inti dan sitoplasma. Terdapat peningkatan rasio inti-sitoplasma dimana
maturasi inti terhambat dengan ukuran besar dan susunan kromosomnya longgar sedangkan
maturasi sitoplasma lebih cepat mendekati normal. Pada anemia megaloblastik , sel darah merah
bersifat makrositer dengan MCV meningkat dengan rentang dari 105-160 fl.2
Megaloblastik bercirikan adanya makro-ovalosit dan hypersegmented neutrofil yang tidak
ditemukan dalam anemia makrositer non-megaloblastik yang memiliki makrosit bulat atau
makroretikulosit. Dalam anemia megaloblastik, prekursor eritrogenik lebih besar daripada sel
darah merah matur karena defisiensi folat dan vitamin B12 menyebabkan kerusakan sintesis
DNA dan RNA. Peningkatan serum pada homosystein dan methylmaloni acid (MMA) terjadi
karena kelainan proses biokimia pada defisiensi asam folat dan B12, dan ini bisa digunakan
untuk mengklarifikasi anemia megaloblastik.
Manifestasi klinis
Pada Defisiensi Kobalami : Gangguan Neurologis
Pada gangguan gastrointestinal dapat timul gejala : kehilangan nafsu makan, penurunan berat
badan, mual dan sembelit
Pasien Mungkin diikuti sariawan dan sakit pada lidah
Tanda-Tanda Anemia
Gangguan Neurologis : parastesi tangan dan kaki, kehilangan memori selanjutnya jika
keadaan memberat dapat mempengaruhi gaya berjalan, kebutaan akibat atropi N.Optikus dan
Gangguan Kejiwaan
Diagnosis
Temuan makrositosis yang bermakna (volume korpuskula rerata (MCV) > 110 fL)
mengisyaratkan adanya anemia megaloblastik. Penyebab lain makrositosis adalah hemolisis,
penyakit hati, alkoholisme, hipotiroidisme dan anemia aplastik. Apusan darah memperlihatkan
anisitosis mencolok dan poikilositosis, disertai makrovalosit, yaitu, eritrosit yang mengalami
hemoglobinisasi penuh, besar, oval dan khas untuk anemia megaloblastik. Beberapa stippling
basofilik ditemui, dan kadang – kadang ditemukan pula sel darah merah yang berinti. Pada
turunan sel darah putih, neutrofil memperlihatkan hipersegmentasi nucleus. Temuan ini sangat
khas sehingga ditemukan sebuah sel dengan nucleus enam lobus atau lebih mengharuskan kita
harus mencurigai adanya anemia megaloblastik. Sumsum tulang tampak hiperseluler dengan
penurunan rasio myeloid/ertitroid dan peningkatan besi. Anemia megaloblastik ditandai oleh
eritropoesis yang tidak efektif.
Pada evaluasi pasien anemia megaloblastik, perlu ditentukan apakah terdapat defidiensi
vitamin spesifik dengan mengukur kadar kobalamin dan folat serum. Rentang normal kobalamin
dalam serum adalah 200 sampai 900 pg/mL, nilai yang lebih rendah dari pada 100 pg/mL
mengindikasikan defisiensi bermakna klinis. Bila defisiensi kobalamin telah dipastikan, maka
patogenesisnya dapat diketahui dengan melakukan uji schheling
Penatalaksanan
Kobalamin 1000 mcg parenteral selama 2 Minggu, dengan gangguan neurologis 1000 mcg
setiap hari selama 2 minggu, kemudian selama 2 minggu sampai 6 bulan dan 1000 mcg
kobalamin untuk pasien dengan hemoflia.
As. Folat (1-5 mg) secara oral dan diberikan secara paerenteral dengan dosis yang sama
Terapi Folat 1 mg/hari harus diberikan selama periode kehhamilan
Sindroma Blind-loop ditangani dengan antibiotic
Dapus
Sudoyo, Aru W, Setiyohhadi, Bambang, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Volume II.
Jakrata : Penerbit Buku Kedokteran FK UI
Silbernagl, Stefan.,Lang, Florian. 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC