You are on page 1of 12

Anemia aplastik

Definisi

Anemia aplastik adalah suatu sindroma kegagalan sumsum tulang yang ditandai dengan
pansitopenia perifer dan hipoplasia sumsum tulang. Pada anemia aplastik terjadi penurunan
produksi sel darah dari sumsum tulang sehingga menyebabkan retikulositopenia, anemia,
granulositopenia, monositopenia dan trombositopenia. Istilah anemia aplastik sering juga
digunakan untuk menjelaskananemia refrakter atau bahkan pansitopenia oleh sebab apapun.
Sinonim lain yangsering digunakan antara lain hipositemia progressif, anemia aregeneratif,
aleukiahemoragika, panmyeloptisis, anemia hipoplastik dan anemia paralitik toksik.

Klasifikasi anemia aplastik

Anemia aplastik umumnya diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Klasifikasi menurut kausa


a. Idiopatik : bila kausanya tidak diketahui; ditemukan pada kira-kira 50% kasus
b. Sekunder : bila kausanya diketahui.
c. Konstitusional : adanya kelainan DNA yang dapat diturunkan, misalnyaanemia
Fanconi
2. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan atau prognosis
Table 1. klasifikasi anemia aplastic berdasarkan tingkat keparahan

Anemia aplastik berat  Seluraritas sumsum tulang <25% atau


25-50%dengan <30% sel
hematopoietik residu, dan
 Dua dari tiga kriteria berikut :
 netrofil < 0,5x109/l
 trombosit <20x109/l
 retikulosit < 20x109/l
Anemia aplastik sangat berat Sama seperti anemia aplastik berat
kecualinetrofil <0,2x109/l
Anemia aplastik bukan berat Pasien yang tidak memenuhi kriteria
anemiaaplastik berat atau sangat berat;
dengan sumsumtulang yang hiposelular dan
memenuhi dua daritiga kriteria berikut :
 netrofil < 1,5x109/l
 trombosit < 100x109/l
 hemoglobin <10 g/dl
Etiologi

Anemia aplastik sering diakibatkan oleh radiasi dan paparan bahan kimia.Akan tetapi,
kebanyakan pasien penyebabnya adalah idiopatik, yang berarti penyebabnya tidak diketahui
Anemia aplastik dapat juga terkait dengan infeksi virus dan dengan penyakit lain (Tabel 2)

Anemia aplastik yang didapat (Acquired aplastic anemia)


Anemia aplastik sekunder
 Radiasi
 Bahan-bahan kimia dan obat-obatan
a. Efek regular
Bahan-bahan sitotoksik
Benzene
b. Reaksi Idiosinkratik
Kloramfenikol
NSAID
Anti epileptik
Emas
Bahan-bahan kimia dan obat-obat lainya
 Virus
Virus Epstein-Barr (mononukleosis infeksiosa)
Virus Hepatitis (hepatitis non-A, non-B, non-C, non-G)
Parvovirus (krisis aplastik sementara, pure red cell aplasia)
Human immunodeficiency virus (sindroma immunodefisiensi yang didapat)
 Penyakit-penyakit Imun
Eosinofilik fasciitis
Hipoimunoglobulinemia
Timoma dan carcinoma timus
Penyakit graft-versus-host pada imunodefisiensi
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
Kehamilan
Idiopathic aplastic anemia
Anemia Aplatik yang diturunkan (Inherited Aplastic Anemia)
 Anemia Fanconi
Diskeratosis kongenita
Sindrom Shwachman-Diamond
Disgenesis reticular
Amegakariositik trombositopenia
Anemia aplastik familial
Preleukemia (monosomi 7, dan lain-lain.)
Sindroma nonhematologi (Down, Dubowitz, Seckel)

Pathogenesis

Setidaknya ada tiga mekanisme terjadinya anemia aplastik. Anemia aplastik yang
diturunkan inherited aplastic anemia terutama anemia Fanconi disebabkanoleh ketidakstabilan
DNA. Beberapa bentuk anemia aplastik yang didapatkan acquired aplastic anemia disebabkan
kerusakan langsung stem sel oleh agen toksik, misalnya radiasi. Patogenesis dari kebanyakan
anemia aplastik yang didapatkan melibatkan reaksi autoimun terhadap stem sel. Anemia Fanconi
barangkali merupakan bentuk inherited anemia aplastik yang paling sering karena bentuk
inherited yang lain merupakan penyakit yang langka. Kromosom pada penderita anemia Fanconi
sensitif (mudah sekali) mengalami perubahan DNA akibat obat-obat tertentu. Sebagai akibatnya,
pasien dengan anemia Fanconi memiliki resiko tinggi terjadi aplasia, myelody splastic sindrom
(MDS) dan akut myelogenous leukemia (AML). Kerusakan DNA juga mengaktifkan suatu
kompleks yang terdiri dari protein Fanconi A, C, G dan F. Hal ini menyebabkan perubahan pada
protein FANCD2. Protein ini dapat berinteraksi, contohnya dengan gen BRCA1 (gen yang terkait
dengan kanker payudara).

Mekanisme bagaimana berkembangnya anemia Fanconi menjadi anemia aplastik dari


sensitifitas mutagen dan kerusakan DNA masih belum diketahui dengan pasti. Kerusakan oleh
agen toksik secara langsung terhadap stem sel dapatdisebabkan oleh paparan radiasi, kemoterapi
sitotoksik atau benzene. Agen-agen ini dapat menyebabkan rantai DNA putus sehingga
menyebabkan inhibisi sintesis DNA dan RNA. Kehancuran hematopoiesis stem sel yang
dimediasi sistem imun mungkin merupakan mekanisme utama patofisiologi anemia aplastik.
Walaupun mekanismenya belum diketahui benar, tampaknya T limfosit sitotoksik berperan
dalam menghambat proliferasi stem sel dan mencetuskan kematian stem sel. “Pembunuhan”
langsung terhadap stem sel telah dihipotesa terjadi melalui interaksi antara Fas ligand yang
terekspresi pada sel T dan Fas (CD95) yang ada pada stem sel,yang kemudian terjadi
perangsangan kematian sel terprogram (apoptosis).

Gejala dan pemeriksaan fisik anemia aplastik

Pada anemia aplastik terdapat pansitopenia sehingga keluhan dan gejala yang timbul adalah
akibat dari pansitopenia tersebut. Hipoplasia eritropoietik akan menimbulkan anemia dimana
timbul gejala-gejala anemia antara lain lemah, dyspnoed’effort, palpitasi cordis, takikardi, pucat
dan lain-lain. Pengurangan elemen lekopoisis menyebabkan granulositopenia yang akan
menyebabkan penderita menjadi peka terhadap infeksi sehingga mengakibatkan keluhan dan
gejala infeksi baik bersifat lokal maupun bersifat sistemik. Trombositopenia tentu dapat
mengakibatkan pendarahan di kulit, selaput lendir atau pendarahan di organ-organ. Pada
kebanyakan pasien, gejala awal dari anemia aplastik yang sering dikeluhkan adalah anemia atau
pendarahan, walaupun demam atau infeksi kadang-kadang juga dikeluhkan. Anemia aplastik
mungkin asimtomatik dan ditemukan pada pemeriksaan rutin. Keluhan yang dapat ditemukan
sangat bervariasi.

Pemeriksaan penunjang

A. Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan darah
Pada stadium awal penyakit, pansitopenia tidak selalu ditemukan. Anemia yang
terjadi bersifat normokrom normositer, tidak disertai dengan tanda-tanda regenerasi.
Adanya eritrosit muda atau leukosit muda dalam darah tepi menandakan bukan anemia
aplastik. Kadang-kadang pula dapat ditemukan makrositosis, anisositosis, dan
poikilositosis
Jumlah granulosit ditemukan rendah. Pemeriksaan hitung jenis sel darah putih
menunjukkan penurunan jumlah neutrofil dan monosit. Limfositosis relatif terdapat pada
lebih dari 75% kasus. Jumlah neutrofil kurang dari 500/mm dan trombosit kurang dari
20.000/mm menandakan anemia aplastik berat. Jumlah neutrofil kurang dari 200/mm
menandakan anemia aplastik sangat berat.
Jumlah trombosit berkurang secara kuantitias sedang secara kualitas normal.
Perubahan kualitatif morfologi yang signifikan dari eritrosit, leukosit atau trombosit bukan
merupakan gambaran klasik anemia aplastik yang didapat acquired aplastic anemia Pada
beberapa keadaan, pada mulanya hanya produksi satu jenis sel yang berkurang sehingga
diagnosisnya menjadi red sel aplasia atau amegakariositik trombositopenia. Pada pasien
seperti ini, lini produksi sel darah lain juga akan berkurang dalam beberapa hari sampai
beberapa minggu sehingga diagnosis anemia aplastik dapat ditegakkan.
Laju endap darah biasanya meningkat. Waktu pendarahan biasanya memanjang dan
begitu juga dengan waktu pembekuan akibat adanya trombositopenia. Hemoglobin F
meningkat pada anemia aplastik anak dan mungkin ditemukan pada anemia aplastik
konstitusional. Plasma darah biasanya mengandung growth factor hematopoiesis,
termasuk erittropoietin, trombopoietin, dan faktor yang menstimulasi koloni myeloid.
Kadar Fe serum biasanya meningkat dan klirens Fe memanjang dengan penurunan
inkorporasi Fe ke eritrosit yang bersirkulasi
2. Pemeriksaan sumsum tulang
Aspirasi sumsum tulang biasanya mengandung sejumlah spikula dengan daerah
yang kosong, dipenuhi lemak dan relatif sedikit sel hematopoiesis. Limfosit,sel plasma,
makrofag dan sel mast mungkin menyolok dan hal ini lebih menunjukkan kekurangan sel-
sel yang lain daripada menunjukkan peningkatan elemen-elemen ini. Pada kebanyakan
kasus gambaran partikel yang ditemukan sewaktu aspirasi adalah hiposelular. Pada
beberapa keadaan, beberapa spikula dapat ditemukan normoseluler atau bahkan
hiperseluler, akan tetapi megakariosit rendah.
Biopsi sumsum tulang dilakukan untuk penilaian selularitas baik secara kualitatif
maupun kuantitatif. Semua spesimen anemia aplastik ditemukan gambaran hiposelular.
Aspirasi dapat memberikan kesan hiposelular akibat kesalahan teknis (misalnya terdilusi
dengan darah perifer), atau dapat terlihat hiperseluler karena areafokal residual
hematopoiesis sehingga aspirasi sumsum tulang ulangan dan biopsy dianjurkan untuk
mengklarifikasi diagnosis.
Suatu spesimen biopsi dianggap hiposeluler jika ditemukan kurang dari 30% sel
pada individu berumur kurang dari 60 tahun atau jika kurang dari 20% pada individu yang
berumur lebih dari 60 tahun.
International Aplastic Study Group mendefinisikan anemia aplastik berat bila
selularitas sumsum tulang kurang dari 25% atau kurang dari 50% dengan kurang dari30%
sel hematopoiesis terlihat pada sumsum tulang.
B. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan radiologis umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa anemia
aplastik. Survei skletelal khusunya berguna untuk sindrom kegagalan sumsum tulang yang
diturunkan, karena banyak diantaranya memperlihatkan abnormalitas skeletal. Pada
pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging) memberikan gambaran yang khas yaitu
ketidakhadiran elemen seluler dandigantikan oleh jaringan lemak.

Penatalaksanaan
1. Manajemen awal anemia aplastik
 Menghentikan semua obat-obat atau penggunaan agen kimia yang diduga menjadi
penyebab anemia aplastik.
 Anemia : transfusi PRC bila terdapat anemia berat sesuai yang dibutuhkan.
 Pendarahan hebat akibat trombositopenia : transfusi trombosit sesuai yang dibutuhkan.
 Tindakan pencegahan terhadap infeksi bila terdapat neutropenia berat.
 Infeksi : kultur mikroorganisme, antibiotik spektrum luas bila organisme spesifik tidak
dapat diidentifikasi, G-CSF pada kasus yang menakutkan; bila berat badan kurang dan
infeksi ada (misalnya oleh bakteri gram negatif dan jamur) pertimbangkan transfusi
granulosit dari donor yang belum mendapat terapi G-CSF.
 Assessment untuk transplantasi stem sel allogenik : pemeriksaan histocompatibilitas
pasien, orang tua dan saudara kandung pasien. Pengobatan spesifik aplasia sumsum
tulang terdiri dari tiga pilihan yaitu transplantasi stem sel allogenik, kombinasi terapi
imunosupresif (ATG, siklosporindan metilprednisolon) atau pemberian dosis tinggi
siklofosfamid.

2. Penatalaksaan pasien anemia aplastik berat


a. Pengobatan suportif
Bila terapat keluhan akibat anemia, diberikan transfusi eritrosit berupa packed red
cells sampai kadar hemoglobin 7-8 g% atau lebih pada orang tua dan pasien dengan
penyakit kardiovaskular. Resiko pendarahan meningkat bila trombosis kurang dari
20.000/mm3. Transfusi trombosit diberikan bila terdapat pendarahan atau kadar
trombosit dibawah20.000/mm3sebagai profilaksis. Pada mulanya diberikan trombosit
donor acak. Transfusi trombosit konsentrat berulang dapat menyebabkan pembentukan
zat anti terhadap trombosit donor. Bila terjadi sensitisasi, donor diganti dengan yang
cocok HLA-nya (orang tua atau saudara kandung). Pemberian transfusi leukosit
sebagai profilaksis masih kontroversial dan tidak dianjurkan karena efek samping
yang lebih parah daripada manfaatnya. Masa hidup leukosit yang ditransfusikan sangat
pendek
b. Terapi imunosupresif
Obat-obatan yang termasuk terapi imunosupresif adalah antithymocyte
globulin
(ATG) atau antilymphocyte globulin (ALG) dan siklosporin A (CSA). ATGatau ALG
diindikasikan pada:
- Anemia aplastik bukan berat
- Pasien tidak mempunyai donor sumsum tulang yang cocok
- Anemia aplastik berat, yang berumur lebih dari 20 tahun dan pada saat pengobatan
tidak terdapat infeksi atau pendarahan atau dengan granulosit lebihdari 200/mm3
Mekanisme kerja ATG atau ALG belum diketahui dengan pasti dan mungkin melalui
koreksi terhadap destruksi T-cell immunomediated pada sel asal dan
stimulasilangsung atau tidak langsung terhadap hemopoiesis
Metilprednisolon juga dapat digunakan sebagai ganti predinison. Kombinasi
ATG, siklosporin dan metilprednisolon memberikan angka remisi sebesar 70% pada
anemia aplastik berat. Kombinasi ATG dan metilprednisolon memiliki angka remisi
sebesar 46%.
c. Terapi penyelamatan
Terapi ini antara lain meliputi siklus imunosupresi berulang, pemberian
faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik dan pemberian steroid anabolik. Pasien yang
refrakter dengan pengobatan ATG pertama dapat berespon terhadap siklus
imunosupresi ATG ulangan. Pada sebuah penelitian, pasien yangrefrakter ATG kuda
tercapai dengan siklus kedua ATG kelinci.
Pemberian faktor-faktor pertumbuhan hematopoietic seperti Granulocyte-
Colony Stimulating Factor (G-CSF) bermanfaat untuk meningkatkan neutrofil akan
tetapi neutropenia berat akibat anemia aplastik biasanya refrakter. Peningkatan
neutrofil oleh stimulating faktor ini juga tidak bertahan lama. Faktor-faktor
pertumbuhan hematopoietik tidak boleh dipakai sebagai satu-satunya modalitas terapi
anemia aplastik. Kombinasi G-CSF dengan terapi imunosupresif telah digunakan
untuk terapi penyelamatan pada kasus-kasus yang refrakter dan pemberiannya yang
lama telah dikaitkan dengan pemulihan hitung darah pada beberapa pasien.
Steroid anabolik seperti androgen dapat merangsang produksi eritropoietin
dan sel-sel induk sumsum tulang. Androgen terbukti bermanfaat untuk anemia aplastk
ringan dan pada anemia aplastik berat biasanya tidak bermanfaat. Androgen digunakan
sebagai terapi penyelamatan untuk pasien yang refrakter terapi imunosupresif.
d. Transplantasi sum-sum tulang
Transplantasi sumsum tulang merupakan pilihan utama pada pasien anemia
aplastik berat berusia muda yang memiliki saudara dengan kecocokan HLA. Akan
tetapi, transplantasi sumsum tulang allogenik tersedia hanya pada sebagan kecil pasien
(hanya sekitar 30% pasien yang mempunyai saudara dengan kecocokan HLA). Batas
usia untuk transplantasi sumsum tulang sebagai terapi primer belum dipastikan, namun
pasien yang berusia 35-35 tahun lebih baik bila mendapatkan terapi imunosupresif
karena makin meningkatnya umur, makin meningkat pula kejadian dan beratnya reaksi
penolakan sumsum tulang donor (Graft Versus Host Disesase/GVHD). Pasien dengan
usia > 40 tahun terbukti memiliki respon yanglebih jelek dibandingkan pasien yang
berusia muda.

Prognosis
Prognosis berhubungan dengan jumlah absolut netrofil dan trombosit. Jumlah absolut
netrofil lebih bernilai prognostik daripada yang lain. Jumlah netrofil kurang dari 500/l
(0,5x109/liter) dipertimbangkan sebagai anemia aplastik berat dan jumlah netrofil kurang dari
200/l (0,2x109/liter) dikaitkan dengan respon buruk terhadap imunoterapi dan prognosis yang
jelek bila transplantasi sumsum tulang allogenik tidak tersedia. Anak-anak memiliki respon yang
lebih baik daripada orang dewasa. Anemia aplastik konstitusional merespon sementara terhadap
androgen dan glukokortikoid akan tetapi biasanya fatal kecuali pasien mendapatkan transplantasi
sumsum tulang.
Transplantasi sumsum tulang bersifat kuratif pada sekitar 80% pasien yang berusia
kurang dari 20 tahun, sekitar 70% pada pasien yang berusia 20-40 tahun dan sekitar 50% pada
pasien berusia lebih dari 40 tahun. Celakanya, sebanyak 40% pasien yang bertahan karena
mendapatkan transplantasi sumsum tulang akan menderita gangguan akibat GVHD kronik dan
resiko mendapatkan kanker sekitar 11% pada pasien usia tua atau setelah mendapatkan terapi
siklosporin sebelum transplantasi stem sel. Hasil yang terbaik didapatkan pada pasien yang
belum mendapatkan terapi imunosupresif sebelum transplantasi, belum mendapatkan dan belum
tersensitisasi dengan produk sel darah serta tidak mendapatkan iradiasi dalam hal conditioning
untuk transplantasi.
Sekitar 70% pasien memiliki perbaikan yang bermakna dengan terapi kombinasi
imunosupresif (ATG dengan siklosporin). Walaupun beberapa pasien setelah terapi memiliki
jumlah sel darah yang normal, banyak yang kemudian mendapatkan anemia sedang atau
trombositopenia. Penyakit ini juga akan berkembang dalam 10 tahun menjadi proxysmal
nokturnal hemoglobinuria, sindrom myelodisplastik atau akut myelogenous leukimia pada 40%
pasien yang padamulanya memiliki respon terhadap imunosupresif. Pada 168 pasien yang
mendapatkan transplantasi sumsum tulang, hanya sekitar 69% yang bertahan selama15 tahun dan
pada 227 pasien yang mendapatkan terapi imunosupresif, hanya 38% yang bertahan dalam 15
tahun.

Dapus
William DM. Pancytopenia, aplastic anemia, and pure red cell aplasia. In: LeeGR, Foerster J, et
al (eds). Wintrobe’s Clinical Hematology 9th ed. Philadelpia-London: Lee& Febiger, 1993;911-
43.

Linker CA. Aplastic anemia. In: McPhee SJ, Papadakis MA, et al (eds). CurrentMedical
Diagnosis and Treatment. New York: Lange McGraw Hill, 2007;510-11

Solander H. Anemia aplastik In: Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid I Edisi Keempat. Jakarta: Pusat Penerbitan DepartemenIlmu Penyakit Dalam FK UI,
2006;637-43

Young NS. Aplastic anemia, myelodysplasia, and related bone marrow failuresyndromes. In:
Kasper DL, Fauci AS, et al (eds). Harrison’s Principle of InternalMedicine. 16th ed. New York:
McGraw Hill, 2007:617-25
Anemia Megaloblastik
Pengertian
Anemia megaloblastik adalah kumpulan penyakit heterogen yang memiliki karakteristik
yang sama yaitu adanya sel megaloblast, sel megaloblas adalah sel precursor eritrosit dengan
bentuk sel yang besar

Etiologi
Anemia megaloblastik paling banyak disebabkan oleh defiensi folat dan vitamin B12.
Defek yang disebabkan karena defisiensi folat dan dan vitamin B12 adalah penurunan sintesis
DNA. Vitamin B12 diperlukan untuk melepaskan folat dari bentuk methyl sehingga bisa kembali
menuju tetrahydrofolate pool untuk dikonversi menjadi 5, 10-methylene tetrahydrofolate.
Gangguan sintesis DNA disebabkan karena adanya konversi deoksiridilat menjadi thimidilat
yang tidak adekuat karena kekurangan 5, 10-methylene tetrahydrofolate.2
Representasi dari penurunan sintesis DNA ini adalah terdapatnya sel megaloblast yang
menjadi karakteristik anemia megaloblastik. Sel megaloblast adalah sel prekursor eritrosit
dengan ukuran sel yang besar, lacy chromatin, pola parakromatin menonjol, dan adanya
kesenjangan pematangan inti dan sitoplasma. Terdapat peningkatan rasio inti-sitoplasma dimana
maturasi inti terhambat dengan ukuran besar dan susunan kromosomnya longgar sedangkan
maturasi sitoplasma lebih cepat mendekati normal. Pada anemia megaloblastik , sel darah merah
bersifat makrositer dengan MCV meningkat dengan rentang dari 105-160 fl.2
Megaloblastik bercirikan adanya makro-ovalosit dan hypersegmented neutrofil yang tidak
ditemukan dalam anemia makrositer non-megaloblastik yang memiliki makrosit bulat atau
makroretikulosit. Dalam anemia megaloblastik, prekursor eritrogenik lebih besar daripada sel
darah merah matur karena defisiensi folat dan vitamin B12 menyebabkan kerusakan sintesis
DNA dan RNA. Peningkatan serum pada homosystein dan methylmaloni acid (MMA) terjadi
karena kelainan proses biokimia pada defisiensi asam folat dan B12, dan ini bisa digunakan
untuk mengklarifikasi anemia megaloblastik.

Manifestasi klinis
 Pada Defisiensi Kobalami : Gangguan Neurologis
 Pada gangguan gastrointestinal dapat timul gejala : kehilangan nafsu makan, penurunan berat
badan, mual dan sembelit
 Pasien Mungkin diikuti sariawan dan sakit pada lidah
 Tanda-Tanda Anemia
 Gangguan Neurologis : parastesi tangan dan kaki, kehilangan memori selanjutnya jika
keadaan memberat dapat mempengaruhi gaya berjalan, kebutaan akibat atropi N.Optikus dan
Gangguan Kejiwaan

Diagnosis
Temuan makrositosis yang bermakna (volume korpuskula rerata (MCV) > 110 fL)
mengisyaratkan adanya anemia megaloblastik. Penyebab lain makrositosis adalah hemolisis,
penyakit hati, alkoholisme, hipotiroidisme dan anemia aplastik. Apusan darah memperlihatkan
anisitosis mencolok dan poikilositosis, disertai makrovalosit, yaitu, eritrosit yang mengalami
hemoglobinisasi penuh, besar, oval dan khas untuk anemia megaloblastik. Beberapa stippling
basofilik ditemui, dan kadang – kadang ditemukan pula sel darah merah yang berinti. Pada
turunan sel darah putih, neutrofil memperlihatkan hipersegmentasi nucleus. Temuan ini sangat
khas sehingga ditemukan sebuah sel dengan nucleus enam lobus atau lebih mengharuskan kita
harus mencurigai adanya anemia megaloblastik. Sumsum tulang tampak hiperseluler dengan
penurunan rasio myeloid/ertitroid dan peningkatan besi. Anemia megaloblastik ditandai oleh
eritropoesis yang tidak efektif.
Pada evaluasi pasien anemia megaloblastik, perlu ditentukan apakah terdapat defidiensi
vitamin spesifik dengan mengukur kadar kobalamin dan folat serum. Rentang normal kobalamin
dalam serum adalah 200 sampai 900 pg/mL, nilai yang lebih rendah dari pada 100 pg/mL
mengindikasikan defisiensi bermakna klinis. Bila defisiensi kobalamin telah dipastikan, maka
patogenesisnya dapat diketahui dengan melakukan uji schheling

Penatalaksanan
 Kobalamin 1000 mcg parenteral selama 2 Minggu, dengan gangguan neurologis 1000 mcg
setiap hari selama 2 minggu, kemudian selama 2 minggu sampai 6 bulan dan 1000 mcg
kobalamin untuk pasien dengan hemoflia.
 As. Folat (1-5 mg) secara oral dan diberikan secara paerenteral dengan dosis yang sama
 Terapi Folat 1 mg/hari harus diberikan selama periode kehhamilan
 Sindroma Blind-loop ditangani dengan antibiotic

Dapus
Sudoyo, Aru W, Setiyohhadi, Bambang, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit dalam Volume II.
Jakrata : Penerbit Buku Kedokteran FK UI

Silbernagl, Stefan.,Lang, Florian. 2007. Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC

You might also like