You are on page 1of 33

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Masyarakat Indonesia merupakan suatu masyarakat majemuk yang


memiliki keanekaragaman di dalam berbagai aspek kehidupan. Bukti nyata
adanya kemajemukan di dalam masyarakat kita terlihat dalam beragamnya
kebudayaan di Indonesia. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kebudayaan
merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang menjadi sumber kekayaan
bagi bangsa Indonesia.

Tidak ada satu pun masyarakat yang tidak memiliki kebudayaan. Begitu
pula sebaliknya tidak akan ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat. Ini berarti
begitu besar kaitannya antara kebudayaan dengan masyarakat.

Melihat realita bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang plural maka
akan terlihat pula adanya berbagai suku bangsa di Indonesia. Tiap suku bangsa
inilah yang kemudian mempunyai ciri khas kebudayaan yang berbeda - beda.
Suku Sunda merupakan salahsatu suku bangsa yang ada di pulau Jawa. Sebagai
salah satu suku bangsa di Indonesia, suku Sunda memiliki karakteristik yang
membedakannya dengan suku lain. Keunikan karakteristik suku Sunda ini
tercermin dari kebudayaan yang mereka miliki baik dari segi agama, mata
pencaharian, kesenian dan lain sebagainya. Suku Sunda dengan sekelumit
kebudayaannya merupakan salah satu hal yang menarik untuk dipelajari dalam
bidang kajian mata kuliah Kewarganegaraan yang pada akhirnya akan menjadi
bekal ilmu pengetahuan bagi kita.

I.2 Tujuan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :

a. Mengetahui sejarah Suku Sunda dan perkembangannya


b. Mengetahui sistem politik tradisional suku sunda yang meliputi
kepemimpinan dan pola penyelesaian masalah
c. Mengetahui Local Genius dan kebudayaan khas suku sunda
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Sejarah Suku Sunda

Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian barat pulau
Jawa,Indonesia, dari Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa hingga sekitar
Brebes (mencakup wilayah administrasi propinsi Jawa Barat, Banten, sebagian
DKI Jakarta, dan sebagian Jawa Tengah. Enam puluh lima persen penduduk Jawa
Barat adalah Suku Sunda yang merupakan penduduk asli provinsi ini.

Sunda berasal dari kata Su = Bagus/ Baik, segala sesuatu yang


mengandung unsur kebaikan, orang Sunda diyakini memiliki etos/ watak/
karakter Kasundaan sebagai jalan menuju keutamaan hidup. Watak / karakter
Sunda yang dimaksud adalah cageur (sehat), bageur (baik), bener (benar), singer
(mawas diri), dan pinter (pandai/ cerdas) yang sudah dijalankan sejak jaman
Salaka Nagara sampai ke Pakuan Pajajaran, telah membawa kemakmuran dan
kesejahteraan lebih dari 1000 tahun.

Sunda merupakan kebudayaan masyarakat yang tinggal di wilayah barat


pulau Jawa namun dengan berjalannya waktu telah tersebar ke berbagai penjuru
dunia. Sebagai suatu suku, bangsa Sunda merupakan cikal bakal berdirinya
peradaban di Nusantara, di mulai dengan berdirinya kerajaan tertua di Indonesia,
yakni Kerajaan Salakanagara dan Tarumanegara. Bahkan menurut Stephen
Openheimer dalam bukunya berjudul Sundaland, Tatar Sunda/ Paparan Sunda
(Sundaland) merupakan pusat peradaban di dunia. Makna kata Sunda sangat
luhur, yakni cahaya, cemerlang, putih, atau bersih. Makna kata Sunda itu tidak
hanya ditampilkan dalam penampilan, tapi juga didalami dalam hati. Karena itu,
orang Sunda yang 'nyunda' perlu memiliki hati yang luhur pula. Itulah yang perlu
dipahami bila mencintai, sekaligus bangga terhadap budaya Sunda yang
dimilikinya.
II.2 Sistem Kepemimpinan Suku Sunda

Masyarakat Jawa Barat, yaitu masyarakat Sunda, mempunyai ikatan


keluarga yang sangat erat. Nilai individu sangat tergantung pada penilaian
masyarakat. Dengan demikian, dalam pengambilan keputusan, seperti terhadap
perkawinan, pekerjaan, dll., seseorang tidak dapat lepas dari keputusan yang
ditentukan oleh kaum keluarganya. Dalam masyarakat yang lebih luas, misalnya
dalam suatu desa, kehidupan masyarakatnya sangat banyak dikontrol oleh pamong
desa. Pak Lurah dalam suatu desa merupakan “top leader” yang mengelola
pemerintahan setempat, berikut perkara-perkara adat dan keagamaan. Selain
pamong desa ini, masih ada golongan lain yang dapat dikatakan sebagai kelompok
elite, yaitu tokoh-tokoh agama. Mereka ini turut selalu di dalam proses
pengambilan keputusan-keputusan bagi kepentingan kehidupan dan
perkembangan desa yang bersangkutan. Paul Hiebert dan Eugene Nida,
menggambarkan struktur masyarakat yang demikian sebagai masyarakat suku
atau agraris.

Karakter pemimpin yang diinginkan oleh leluhur Sunda adalah jujur, adil
dan menjadi pengayom yang dipimpinnya. Pemimpin pada masyarakat Sunda
yaitu dimulai dari RT, RW, kokolot, lebe, kuwu, camat, wadana, bupati, dan
seterusnya. Mereka itu dalam kepemimpinannya sudah dibekali filosofis sebagai
pembentukan karakter. Konsep kepempinan menurut kearifan Sunda; (1) lain
palid ku cikiih, lain datang ku cileuncang, yaitu bahwa pemimpin itu tidak
sekonyong-konyong ada di tengah masyarakat, tetapi keberadaanya itu melalui
proses dan atas kepercayaan rakyat; (2) landung kandungan laer aisan, yaitu
pemimpin harus memiliki jiwa kasih sayang, sebab pemimpin itu harus jadi ibu
sekaligus bapak bagi rakyatnya; (3) kudu handap asor; yaitu pemimpin jangan
sombong, jangan semena-mena; (4) bentik curuk balas nunjuk capetang balas
miwarang, yaitu jadi pemimpin jangan otoriter, jangan main perintah, sebaiknya
sama-sama bekerja dengan bawahan; (5) ulah getas harupateun, yaitu jangan
emosional jangan cepat mengambil tindakan; (6) kudu dibeuweung diutahkeun,
yaitu sebagai pemimpin harus mempertimbangkan masalah atau “kudu asak-asak
ngejo bisi tutung tambagana, kudu asak-asak nempo bisi kaduhung jagana” (harus
penuh pertimbangan dalam memutuskan perkara atau mengambil keputusan); (7)
ngeuyeuk dayeuh ngolah nagara, yaitu pemimpin harus mampu mengelola
daerahnya dengan mempotensikan rakyat, dan mampu menjadi abdi Negara yang
baik; (8) ulah lali ka purwadaksi, yaitu jadi pemimpin jangan lupa kepada asal-
usul, jangan (9) unggah pileumpangan, yaitu berubah sikap jadi sombong setelah
jadi priayi.

Pemilihan pemimpin dalam suku sunda mengikuti pola pemilihan


nasional. Namun dalam beberapa hal terntentu, pada suku sunda yang masih
kental kebudayaan dan adat istiadatnya, pemimpin dipilih berdasarkan
musyawarah, tidak harus turun-temurun tetapi harus memenuhi kriteria pemimpin.
Masa kepemimpinan pun terkadang tidak terbatas tergantung kemampuan dan
kesediaan pemimpin serta kesepakatan yang dipimpin. Dalam penyelesaian
masalah pun , orang sunda mengutamakan musyawarah untuk mencari solusi dari
masalahnya.

Sementara itu, masalah keadilan harus tertanam juga dalam manusia


Sunda. Leluhur Sunda sudah memberikan filosofis tentang keadilan, tujuannya
agar manusia Sunda memiliki jiwa adil dan beradab, seperti yang tercermin
dalam: (1) ulah cueut ka nu hideung ulah ponteng koneng, yaitu katakan salah bila
salah, katakan benar kalau memang benar, jangan berpihak kepada yang salah;
(2) kudu nyanghulu ka hukum, nunjang ka nagara, mupakat ka balarea, yaitu
aturan harus bersumber kepada hukum, harus berbakti benar ke Negara, dan
kebenaran itu harus menurut orang banyak (rakyat); (3) kudu puguh bule
hideungna, yaitu perkara itu harus jelas aturannya bila ingin mengambil tindakan;
(4) bobot pangayon timbang taraju, yaitu menimbang kesalah harus dengan
aturan yang jelas seusuai dengan kesalahan yang diperbuatnya; (5) nu lain kudu
dilainkeun, nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun; yaitu harus
berkata jujur jangan melarang-larang sesuatu yang tidak sesuai dengan kebenaran.
II. 3 Local Genius (Kearifan Lokal)

Kearifan lokal tersebar dalam adat istiadat, tradisi lisan, seni tradisi,
naskah-naskah tua, dan bentuk-bentuk kebudayaan lain yang mencerminkan
peradaban masa lalu. Karena suku Sunda terbentuk bukan dalam waktu sebentar,
tetapi terbentuk beratur-ratus tahun, sejak zaman prasejarah hingga menjadi
bagian masyarakat modern. Tentunya dari perjalanan peradaban suku Sunda
tersebut akan meninggalkan jejak yang berharga berupa kearifan budaya untuk
dipelajari, dan untuk ditafsir ulang nilai-nilainya.

II.3.1 Pendidikan Karakter Orang Sunda

Jauh sebelum pendidikan karakter menjadi wacana akan dimasukan ke


dalam kelas, menjadi pembelajaran kurikuler di sekolah dan di kampus, orang
Sunda sudah memiliki landasan hidup yang berorientasi kepada pembentukan
karakter. Orang Sunda memiliki filosofi hidup silih asah, silih asih, silih asuh.
Filosofi ini, kalau ditafsirkan kepada teori Benjamin S. Bloom dalam bukunya
Taxonomy of Education of Objectives, Cognitive Domain (1959), dapat
disejajarkan dengan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sebab silih asah itu
orientasi nilainya kepada peningkatan kualitas berpikir, mengasah kemampuan
untuk mempertajam pikiran dengan tempaan ilmu dan pengalaman. Seperti
tercermin dalam ungkapan “peso mintul mun terus diasah tangtu bakal seukeut”
artinya pisau tumpul kalau terus diasah akan tajam juga; atau “cikaracak
ninggang batu laun-laun jadi legok” artinya air tempias menimpa batu lama-lama
batunya akan berlubang. Dengan kata lain, sebodoh-bodohnya orang kalau terus
ditempa, suatu saat akan ada bekasnya dari hasil pembelajaran itu.

Makna silih asih, orientasi nilainya kepada makna tingkah laku atau sikap
individu yang memiliki empati, rasa belas kasihan, tenggang rasa, simpati
terhadap kehidupan sekelilingnya atau memiliki rasa sosial yang tinggi. Tercermin
dalam ungkapan “ka cai kudu saleuwi ka darat kudu selebak” arti utamanya
adalah kebersamaan. “Ulah pagiri-giri calik, ulah pagirang-girang tampian”
artinya jangan ada permusuhan di antara manusia. Sebab manusia itu harus
“sareundeuk saigel, sabobot sapihanean, sabata sarimbagan” artinya harus
memiliki jiwa kebersamaan, gotong royong atau saling menolong.

Makna silih asuh, orientasi nilainya adalah kasih sayang dalam tindakan
yang nyata, sikap pragmatik seseorang di masyarakat, eksistensi diri, menerapkan
potensi diri di masyarakat. Kepada yang lebih tua harus lebih hormat, kepada
sesama harus saling menjaga, kepada yang lebih muda harus mampu mengayomi
dan memberi contoh yang baik. Seperti tercermin dalam ungkapan “kudu landung
kandungan kedah laer aisan” artinya hidup harus mengayomi orang lain selain
mengoyomi diri sendiri. “Hirup ulah manggih tungtung, paeh ulah manggih beja”
artinya selamanya dikenang dalam kebaikan dan kalau meninggal tidak
meninggalkan sifat buruk.

II.3.2 Sistem Religi

Manusia Sunda tercipta dari budaya ladang atau masyarakat huma dengan
sistem religi bermula dari tidak mengenal Tuhan, berlanjut mengenal Tuhan
dengan ditandai masuknya Hindu-Budha, dan terakhir datangnya agama Islam.
Tetapi jauh sebelum Islam masuk, pada saat Sunda ada dalam dinasti Pajajaran,
orang Sunda sudah memiliki agama Sunda Wiwitan, sebuah agama hasil
akulturasi dari nilai-nilai masa lalu dengan agama Hindu-Budha sebagai agama
baru. Orang Sunda sangat percaya akan adanya Sanghyang Taya (Tuhan yang
tidak terlihat) atau disebut juga Sanghyang Tunggal (Tuhan Maha Esa).
Munculnya analogi bahwa Tuhan itu tidak terlihat, tidak ada dalam wujud
kehidupan tetapi ada di atas sana dan hanya satu atau esa, mungkin pengaruh dari
kepercayaan orang tua dahulu terhadap dunia kahiangan (kayangan) yang gaib.
Sistem religius tersebut tercermin dari dua pantun Sunda yang fenomenal, yaitu
pantun Mundinglaya Dikusumah dengan Lutung Kasarung. Kedua pantun tersebut
isinya bercerita tentang dunia atas yang gaib, dunia atas sebagai penolong, dunia
atas sebagai tempatnya roh-roh suci. Tapi dunia atas dalam pantun ini tidak
digambarkan berupa nama-nama dewa seperti halnya dalam kepercayaan Hindu-
Budha, dunia atas dalam kepercayaan Sunda sudah beradaptasi dengan
kepercayaan orang Sunda terdahulu. Dunia atas dalam versi pantun ini adalah
berisi tokoh gaib versi kepercayaan orang Sunda, serpeti Sunan Ambu, Sanghyang
Tunggal, atau Sanghyang Taya.

II.3.3 Karakter Personal

Karakter manusia Sunda yang diharapkan sebagai manusia yang memiliki


kepribadian, memiliki sikap, memiliki kharisma, dan memiliki jiwa kepedulian
sosial, yaitu (1) kudu hade gogog hade tagog, yaitu memiliki penampilan yang
meyakinkan, optimistik, dan karismatik; (2) nyaur kudu diukur, nyabda kudu
diungang, yaitu harus menjaga ucapan, tindakan atau perbuatan agar tidak
menyakiti orang; (3) batok bulu eusi madu, yaitu harus memiliki otak atau
kecerdasan yang baik; (4) ulah bengkung bekas nyalahan, yaitu jangan salah
berbuat karena hasilnya akan sia-sia atau hasilnya tidak akan baik; (5) ulah elmu
ajug, yaitu jangan menasehati orang tetapi diri sendirinya butuh nasihat orang lain
atau jangan mengajak orang lain berbuat baik sendirinya saja tidak baik; (6)
sacangreud pageuh sagolek pangkek, yaitu hidup harus memiliki prinsip; (7) ulah
gindi pikir belang bayah, yaitu jangan berbuat jahat, memiliki pikiran jelek pada
orang, atau dengki kepada orang; (8) kudu leuleus jeujeur liat tali, yaitu hidup itu
harus kuat, menanggung beban sebarat apapun jangan menyerah.

II.3.4 Etos Kerja

Manusia Sunda pun dituntut memiliki katakter menjadi manusia pekerja,


manusia mandiri, manusia yang memiliki etos kerja. Filosofis manusia Sunda
sebagai manusia pekerja di antaranya: (1) mun teu ngoprek moal nyapek, mun teu
ngakal moal ngakeul, mun teu ngarah moal ngarih, yaitu kalau mau makan atau
mau mempertahankan hidup maka bekerjalah; (2) tungkul ka jukut tanggah ka
sadapan, yaitu kerjakan apa yang mesti dikerjakan, jangan terganggu oleh hal-hal
lain yang mengganggu perkerjaan utama dan harus rendah hati jika telah
mendapatkan kesuksesan; (3) ulah kumeok memeh dipacok, yaitu jangan pernah
menyerah sebelum melakukan pekerjaan, harus tetap optimis; (4) ulah kurung
batokkeun, yaitu manusia harus banyak bergaul agar banyak teman dan
menambah pengalaman; (5) kudu bisa ka bala ka bale, yaitu manusia itu harus
berusaha untuk memiliki banyak pengetahuan dan keterampilan, mau bekerja apa
saja asal halal, jangan memilih-milih pekerjaan yang akhirnya malah menganggur;
(6) ulah muragkeun duwegan ti luhur, yaitu jangan mengerjakan sesuatu yang
hasilnya malah gagal atau sia-sia; (7) ulah cacag nangkaeun, yaitu jangan
mengerjakan sesuatu setangah-setengah sebab hasilnya tidak akan memuaskan,
malah menjadi berantakan; (8) ulah puraga tanpa kateda, yaitu jangan
mengerjakan sesuatu asal jadi saja, pada akhirnya bos atau orang yang
mengerjakan kitu merasa kecewa akan hasil kerja kita; (9) ulah ngarawu ku siku,
jangan menerima pekerjaan jangan serakah, semua tawaran diambil, sebab pada
akhirnya akan sia-sia bahkan tidak akan berbuah; (10) hejo tihang, yaitu jangan
pindah-pindah tempat kerja; (11) muru julang ngaleupaskeun peusing, jangan
tergiur dengan iming-iming yang belum tentu menghasilkan, lebih baik tekuni
yang sedang digarap tetapi hasilnya sudah menjanjikan.

II.3.5 Arah Pendidikan Manusia Sunda

Manusia Sunda dibesarkan hidupnya di alam pegunungan, sebab


nenekmoyangnya adalah manusia ladang. Berbeda dengan manusia Jawa, mereka Commented [i-[1]:
Commented [i-[2]:
dibesarkan di lahan pesawahan. Ciri manusia ladang mengandalkan pepohonan
yang hidup di ladang sebagai alat untuk bertahan hidupnya. Tidaklah heran
manusia Sunda memanfaatkan pepohonan sebagai makanannya, maka pendidikan
pun mengarah kepada bagaimana memanfaatkan potensi yang ada di pegunungan.
Tercermin dari pembuatan rumah, alat rumah tangga, bahkan alat berburu pun
menggunakan potensi yang ada di ladang.

Karakteristik orang Sunda ibarat “ayam”, karena ayam merupakan simbol


hewan manusia ladang. Berbeda dengan manusia Jawa, bebek sebagai simbol
hewan peliharaannya karena orang Jawa adalah manusia sawah. Tercermin dari
ungkapannya; (1) ulah ngepek jawer, maksudnya jangan menjadi manusia
penakut; (2) ulah ipis burih, sama artinya yaitu jangan menjadi manusia penakut
dann peragu; (3) bengkung ngariung bongkok ngaronyok, maksudnya selalu
berkumpul ibarat untuk menjalin kebersamaan. Dari ungkapan babasan dan
paribasa di atas terdapat istilah jawer, burih, dan ngaronyok, itu adalah simbol
ayam.

Dalam mendidik anak untuk tidak menjadi sombong, manusia Sunda


menggunakan simbol alam sebagai perumpamaanya; (1) alak-alak cunampaka;
(2) piit ngeundeuk-ngeundeuk pasir; (3) pacikrak ngawan merak; (4) cecendet
mande kiara; (5) jogjog neureuy buah loa; maksud dari ungkapan di atas artinya
sama, manusia jangan sombong, jangan menyepelekan hidup.

Adapun ungkapan yang menyuruh manusia Sunda untuk belajar; (1) elmu
tungtut dunya siar, maksudnya tuntutlah ilmu sambil mencari penghidupan; (2)
ngundeur luang mah ka daluang jeung papada urang, artinya mencari ilmu itu
dari buku (daluang) dan dari sesama manusia (guru, orang tua, atau masyarakat);
(3) manuk hiber ku jangjangna jalma hirup ku akalna, pergunakan akal sebagai
alat kehidupan; (4) mending bodo alewoh, artinya lebih baik bodoh tetapi mau
bertanya dari pada pintar tapi tidak mau bertanya kepada orang; (5) mending
waleh manan leweh, lebih baik bertanya pada orang dari pada tidak bisa apa-
apa; (6) nete taraje nincak hambalan, belajar itu sebuah proses alami; (7) moal
nukang ka burang, moal nonggong ka rombongan, nyanghareup mah ka kolot ka
lalakon, artinya segala sesuatu segala sesuatu belajar dulu dari pengalaman.

II.3.6 Sistem Kekerabatan

Hubungan seseorang dengan orang lain dalam lingkungan kerabat atau


keluarga dalam masyarakat Sunda menempati kedudukan yang sangat penting.
Hal itu bukan hanya tercermin dari adanya istilah atau sebutan bagi setiap tingkat
hubungan itu yang langsung dan vertikal (bao, buyut, aki, bapa, anak, incu)
maupun yang tidak langsung dan horisontal (dulur, dulur misan, besan),
melainkan juga berdampak kepada masalah ketertiban dan kerukunan sosial.
Bapa/indung, aki/nini, buyut, bao menempati kedudukan lebih tinggi dalam
struktur hubungan kekerabatan (pancakaki) daripada anak, incu, alo, suan. Begitu
pula lanceuk (kakak) lebih tinggi dari adi (adik), ua lebih tinggi dari paman/bibi.
Karena hubungan kekerabatan seseorang dengan orang lain akan menentukan
kedudukan seseorang dalam struktur kekerabatan keluarga besarnya, menentukan
bentuk hormat menghormati, harga menghargai, kerjasama, dan saling menolong
di antara sesamanya, serta menentukan kemungkinan terjadi-tidaknya pernikahan
di antara anggota-anggotanya guna membentuk keluarga inti baru.

Pancakaki dapat pula digunakan sebagai media pendekatan oleh seseorang


untuk mengatasi kesulitan yang sedang dihadapinya. Dalam hubungan ini yang
lebih tinggi derajat pancakaki-nya hendaknya dihormati oleh yang lebih rendah,
melebihi dari yang sama dan lebih rendah derajat pancakaki-nya.

Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat parental, garis keturunan


ditarik dari pihak ayah dan ibu bersama. Dalam keluarga Sunda, ayah yang
bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan
agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi
kehidupan suku Sunda.Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai
istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya,
pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak,
incu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg,
kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung
dan horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau
nenek, anak saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan
langsung serta vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan
seterusnya. Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah
(salsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan
silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur/garis
keturunan.

II. 3. 7 Bahasa

Bahasa yang digunakan oleh suku ini adalah bahasa Sunda. Bahasa Sunda
adalah bahasa yang diciptakan dan digunakan sebagai alat komunikasi oleh Suku
Sunda, dan sebagai alat pengembang serta pendukung kebudayaan Sunda itu
sendiri. Selain itu bahasa Sunda merupakan bagian dari budaya yang memberi
karakter yang khas sebagai identitas Suku Sunda yang merupakan salah satu Suku
dari beberapa Suku yang ada di Indonesia.
II.3.8 Ilmu Pengetahuan dan Teknologi

Masalah pendidikan dan teknologi di dalam masyarakat suku Sunda sudah


bisa dibilang berkembang baik.Ini terlihat dari peran dari pemerintah Jawa Barat.
Pemerintah Jawa Barat memiliki tugas dalam memberikan pelayanan
pembangunan pendidikan bagi warganya, sebagai hak warga yang harus dipenuhi
dalam pelayanan pemerintahan. Visi Pemerintah Jawa Barat, yakni “Dengan Iman
dan Takwa Jawa Barat sebagai Provinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan
Ibukota Negara Tahun 2010″ merupakan kehendak, harapan, komitmen yang
menjadi arah kolektif pemerintah bersama seluruh warga Jawa Barat dalam
mencapai tujuan pembangunannya.

Pembangunan pendidikan merupakan salah satu bagian yang sangat vital


dan fundamental untuk mendukung upaya-upaya pembangunan Jawa Barat di
bidang lainnya. Pembangunan pendidikan merupakan dasar bagi pembangunan
lainnya, mengingat secara hakiki upaya pembangunan pendidikan adalah
membangun potensi manusia yang kelak akan menjadi pelaku pembangunan.

Dalam setiap upaya pembangunan, maka penting untuk senantiasa


mempertimbangkan karakteristik dan potensi setempat. Dalam konteks ini,
masyarakat Jawa Barat yang mayoritas suku Sunda memiliki potensi, budaya dan
karakteristik tersendiri. Secara sosiologis-antropologis, falsafah kehidupan
masyarakat Jawa Barat yang telah diakui memiliki makna mendalam adalah
cageur, bageur, bener, pinter, tur singer. Dalam kaitan ini, filosofi tersebut harus
dijadikan pedoman dalam mengimplementasikan setiap rencana pembangunan,
termasuk di bidang pendidikan. Cageur mengandung makna sehat jasmani dan
rohani. Bageur berperilaku baik, sopan santun, ramah, bertata krama. Bener yaitu
jujur, amanah, penyayang dan takwa. Pinter, memiliki ilmu pengetahuan. Singer
artinya kreatif dan inovatif.Sebagai sebuah upaya mewujudkan pembangunan
pendidikan berfalsafahkan cageur, bageur, bener, pinter, tur singer tersebut,
ditempuh pendekatan social cultural heritage approach. Melalui pendekatan ini
diharapkan akan lahir peran aktif masyarakat dalam menyukseskan program
pembangunan pendidikan yang digulirkan pemerintah
II.3 9 Kebudayaan Suku Sunda

Kebudayaan sunda termasuk kebudayaan tertua.kebudayaan sunda yang


ideal kemudian sering dikaitkan sebagai kebudayaan raja – raja sunda. Ada
beberapa watak dalam budaya Sunda tentang satu jalan menuju keutamaan hidup.
Etos dan watak Sunda itu adalah cageur,bageur,singer dan pinter. Kebudayaan
sunda juga merupakan salah satu kebudayaan yang menjadi sumber kekayaan bagi
bangsa Indonesia yang dalam perkembangannya perludilestarikan. Hampir semua
masyarakat sunda beragama Islam namun ada beberapa yang bukan beragama
islam, walaupun berebeda namun pada dasarnya seluruh kehidupan di tujukan
untuk alam semesta.

Kebudayaan sunda memiliki ciri khas tertentu yang membedakannya dari


kebudayaan – kebudayaan lain. Secara umum masyarakat Jawa Barat atau Tatar
sunda , sering dikenal dengan masyarakat religius.Kecenderungan ini tampak
sebagaimana dalam pameo “ silih asih, silih asah dan silih asuh, saling mengasihi,
saling mempertajam diri dan saling malindungi.Selain itu Sunda juga memiliki
sejumlah budaya lain yang khas seperti kesopanan,rendah hati terhadap sesama,
kepada yang lebih tua dan menyayangi kepada yang lebih kecil.Pada kebudayaan
sunda keseimbangan magis di pertahankan dengan cara melakukan upacara-
upacara adat sedangkan keseimbangan sosial masyarakat sunda melakukan gotong
royong untuk mempertahankannya.

Budaya sunda memiliki banyak kesenian , diantaranya adalah kesenian


sisngaan, tarian khas sunda, wayang golek,permainan anak kecil yang khas,alat
musik sunda yang bisanya digunakan pada pagelaran kesenian.

1. Kirap Helaran

Kirap helaran atau yang disebut sisingaan adalah suatu jenis kesenian
tradisional atau seni pertunjukan rakyat yang dilakukan dengan arak-arakan dalam
bentuk helaran. Pertunjukannya biasa ditampilkan pada acara khitanan atau acara-
acara khusus seperti ; menyambut tamu, hiburan peresmian, kegiatan HUT
Kemerdekaan RI dan kegiatan hari-hari besar lainnya.
2. Kuda Renggong

Kuda Renggong atau Kuda Depok ialah salah satu jenis kesenian helaran
yang terdapat di Kabupaten Sumedang, Majalengka dan Karawang. Cara
penyajiannya yaitu, seekor kuda atau lebih di hias warna-warni, budak sunat
dinaikkan ke atas punggung kuda tersebut, Budak sunat tersebut dihias seperti
seorang Raja atau Satria, bisa pula meniru pakaian para Dalem Baheula, memakai
Bendo, takwa dan pakai kain serta selop.

3. Karya Sastra

Beberapa contoh karya sastra Sunda adalah sebagai berikut :

1. Babad Cirebon
2. Cariosan Prabu Siliwangi
3. Carita Ratu Galuh
4. Carita Purwaka Caruban Nagari
5. Carita Waruga Guru
6. Kitab Waruga Jagat
7. Layang Syekh Gawaran
8. Pustaka Raja Purwa
9. Sajarah Banten
10. Suluk Wuyung Aya
11. Wahosan Tumpawarang
12. Wawacan Angling Darma
13. Wawacan Syekh Baginda Mardan
14. Kitab Pramayoga/jipta Sara

4. Pencak Silat Cikalong

Pencak silat Cikalong tumbuh dikenal dan menyebar, penduduk setempat


menyebutnya “Maempo Cikalong”. Khususnya di Jawa Barat dan diseluruh
Nusantara pada umumnya, hampir seluruh perguruan pencak silat melengkapi
teknik perguruannya dengan aliran ini. Daerah Cianjur sudah sejak dahulu
terkenal sebagai daerah pengembangan kebudayaan Sunda seperti; musik kecapi
suling Cianjuran, klompen cianjuran, pakaian moda Cianjuran yang sampai kini
dipergunakan dll.

4. Seni tari

a. Tari jaipong

Tanah Sunda (Priangan) dikenal memiliki aneka budaya yang unik dan
menarik, Jaipongan adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari daerah ini.
Jaipongan atau Tari Jaipong sebetulnya merupakan tarian yang sudah moderen
karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional khas Sunda
yaitu Ketuk Tilu.Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik yang khas
pula, yaitu Degung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik seperti
Kendang, Go’ong, Saron, Kacapi, dsb. Degung bisa diibaratkan ‘Orkestra’ dalam
musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari Tari Jaipong ini adalah musiknya yang
menghentak, dimana alat musik kendang terdengar paling menonjol selama
mengiringi tarian. Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang, berpasangan atau
berkelompok. Sebagai tarian yang menarik, Jaipong sering dipentaskan pada
acara-acara hiburan, selamatan atau pesta pernikahan.

b. Tari merak

c. Ketuk Tilu adalah suatu tarian pergaulan dan sekaligus hiburan yang
biasanya diselenggarakan pada acara pesta perkawinan, acara hiburan penutup
kegiatan atau diselenggrakan secara khusus di suatu tempat yang cukup luas.
Pemunculan tari ini di masyarakat tidak ada kaitannya dengan adat tertentu atau
upacara sakral tertentu tapi murni sebagai pertunjukan hiburan dan pergaulan.
Oleh karena itu tari ketuk tilu ini banyak disukai masyarakat terutama di pedesaan
yang jarang kegiatan hiburan.

5. Seni Musik dan Seni Suara


Selain seni tari, tanah Sunda juga terkenal dengan seni suaranya. Dalam
memainkan Degung biasanya ada seorang penyanyi yang membawakan lagu-lagu
Sunda dengan nada dan alunan yang khas. Penyanyi ini biasanya seorang wanita
yang dinamakan Sinden. Tidak sembarangan orang dapat menyanyikan lagu yang
dibawakan Sinden karena nada dan ritme-nya cukup sulit untuk ditiru dan
dipelajari. Dibawah ini salah salah satu musik/lagu daerah Sunda :

1. Bubuy Bulan
2. Es Lilin
3. Manuk Dadali
4. Tokecang

Sementara itu, kesenian musik yang lainnnya adalah sebagai berikut :

a. Calung adalah alat musik Sunda yang merupakan prototipe dari


angklung. Berbeda dengan angklung yang dimainkan dengan cara digoyangkan,
cara menabuh calung adalah dengan mepukul batang (wilahan, bilah) dari ruas-
ruas (tabung bambu) yang tersusun menurut titi laras (tangga nada) pentatonik
(da-mi-na-ti-la). Jenis bambu untuk pembuatan calung kebanyakan dari awi
wulung (bambu hitam), namun ada pula yang dibuat dari awi temen (bambu yang
berwarna putih).

b. Angklung adalah sebuah alat atau waditra kesenian yang terbuat dari
bambu khusus yang ditemukan oleh Bapak Daeng Sutigna sekitar tahun 1938.
Ketika awal penggunaannya angklung masih sebatas kepentingan kesenian lokal
atau tradisional.

c.Seni Bangreng adalah pengembangan dari seni “Terbang” dan


“Ronggeng”. Seni terbang itu sendiri merupakan kesenian yang menggunakan
“Terbang”, yaitu semacam rebana tetapi besarnya tiga kali dari alat rebana.
Dimainkan oleh lima pemain dan dua orang penabu gendang besar dan kecil.

d. Kacapi Suling adalah salah satu jenis kesenian Sunda yang memadukan
suara alunan Suling dengan Kacapi (kecapi), iramanya sangat merdu yang
biasanya diiringi oleh mamaos (tembang) Sunda yang memerlukan cengkok/
alunan tingkat tinggi khas Sunda. Kacapi Suling berkembang pesat di daerah
Cianjur dan kemudian menyebar kepenjuru Parahiangan Jawa Barat dan seluruh
dunia.

6. Wayang Golek

Jepang boleh terkenal dengan ‘Boneka Jepangnya’, maka tanah Sunda


terkenal dengan kesenian Wayang Golek-nya. Wayang Golek adalah pementasan
sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan dimainkan oleh seorang sutradara
merangkap pengisi suara yang disebut Dalang. Seorang Dalang memiliki keahlian
dalam menirukan berbagai suara manusia. Seperti halnya Jaipong, pementasan
Wayang Golek diiringi musik Degung lengkap dengan Sindennya. Wayang Golek
biasanya dipentaskan pada acara hiburan, pesta pernikahan atau acara lainnya.
Waktu pementasannya pun unik, yaitu pada malam hari (biasanya semalam
suntuk) dimulai sekitar pukul 20.00 – 21.00 hingga pukul 04.00 pagi. Cerita yang
dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan kejahatan (tokoh baik
melawan tokoh jahat). Ceritanya banyak diilhami oleh budaya Hindu dari India,
seperti Ramayana atau Perang Baratayudha. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambil
nama-nama dari tanah India.Dalam Wayang Golek, ada ‘tokoh’ yang sangat
dinantikan pementasannya yaitu kelompok yang dinamakan Purnakawan, seperti
Dawala dan Cepot. Tokoh-tokoh ini digemari karena mereka merupakan tokoh
yang selalu memerankan peran lucu (seperti pelawak) dan sering memancing
gelak tawa penonton. Seorang Dalang yang pintar akan memainkan tokoh tersebut
dengan variasi yang sangat menarik.

7. Adat Istiadat

UPACARA ADAT PERKAWINAN SUKU SUNDA

Adat Sunda merupakan salah satu pilihan calon mempelai yang ingin
merayakan pesta pernikahannya. Khususnya mempelai yang berasal dari Sunda.
Adapun rangkaian acaranya dapat dilihat berikut ini.
1. Nendeun Omong, yaitu pembicaraan orang tua atau utusan pihak pria yang
berminat mempersunting seorang gadis.
2. Lamaran. Dilaksanakan orang tua calon pengantin beserta keluarga dekat.
Disertai seseorang berusia lanjut sebagai pemimpin upacara. Bawa
lamareun atau sirih pinang komplit, uang, seperangkat pakaian wanita
sebagai pameungkeut (pengikat). Cincin tidak mutlak harus dibawa. Jika
dibawa, bisanya berupa cincing meneng, melambangkan kemantapan dan
keabadian.
3. Tunangan. Dilakukan ‘patuker beubeur tameuh’, yaitu penyerahan ikat
pinggang warna pelangi atau polos kepada si gadis.
4. Seserahan (3 – 7 hari sebelum pernikahan). Calon pengantin pria
membawa uang, pakaian, perabot rumah tangga, perabot dapur, makanan,
dan lain-lain.
5. Ngeuyeuk seureuh (opsional, Jika ngeuyeuk seureuh tidak dilakukan,
maka seserahan dilaksanakan sesaat sebelum akad nikah.)
o Dipimpin pengeuyeuk.
o Pengeuyek mewejang kedua calon pengantin agar meminta ijin dan
doa restu kepada kedua orang tua serta memberikan nasehat
melalui lambang-lambang atau benda yang disediakan berupa
parawanten, pangradinan dan sebagainya.
o Diiringi lagu kidung oleh pangeuyeuk
o Disawer beras, agar hidup sejahtera.
o dikeprak dengan sapu lidi disertai nasehat agar memupuk kasih
sayang dan giat bekerja.
o Membuka kain putih penutup pengeuyeuk. Melambangkan rumah
tangga yang akan dibina masih bersih dan belum ternoda.
o Membelah mayang jambe dan buah pinang (oleh calon pengantin
pria). Bermakna agar keduanya saling mengasihi dan dapat
menyesuaikan diri.
o Menumbukkan alu ke dalam lumpang sebanyak tiga kali (oleh
calon pengantin pria).
6. Membuat lungkun. Dua lembar sirih bertangkai saling dihadapkan.
Digulung menjadi satu memanjang. Diikat dengan benang kanteh. Diikuti
kedua orang tua dan para tamu yang hadir. Maknanya, agar kelak rejeki
yang diperoleh bila berlebihan dapat dibagikan kepada saudara dan handai
taulan.
7. Berebut uang di bawah tikar sambil disawer. Melambangkan berlomba
mencari rejeki dan disayang keluarga.
8. Upacara Prosesi Pernikahan
o Penjemputan calon pengantin pria, oleh utusan dari pihak wanita
o Ngabageakeun, ibu calon pengantin wanita menyambut dengan
pengalungan bunga melati kepada calon pengantin pria, kemudian
diapit oleh kedua orang tua calon pengantin wanita untuk masuk
menuju pelaminan.
o Akad nikah, petugas KUA, para saksi, pengantin pria sudah berada
di tempat nikah. Kedua orang tua menjemput pengantin wanita dari
kamar, lalu didudukkan di sebelah kiri pengantin pria dan
dikerudungi dengan tiung panjang, yang berarti penyatuan dua
insan yang masih murni. Kerudung baru dibuka saat kedua
mempelai akan menandatangani surat nikah.
o Sungkeman,
o Wejangan, oleh ayah pengantin wanita atau keluarganya.
o Saweran, kedua pengantin didudukkan di kursi. Sambil
penyaweran, pantun sawer dinyanyikan. Pantun berisi petuah
utusan orang tua pengantin wanita. Kedua pengantin dipayungi
payung besar diselingi taburan beras kuning atau kunyit ke atas
payung.
o Meuleum harupat, pengantin wanita menyalakan harupat dengan
lilin. Harupat disiram pengantin wanita dengan kendi air. Lantas
harupat dipatahkan pengantin pria.
o Nincak endog, pengantin pria menginjak telur dan elekan sampai
pecah. Lantas kakinya dicuci dengan air bunga dan dilap pengantin
wanita.
Buka pintu. Diawali mengetuk pintu tiga kali. Diadakan tanya jawab
dengan pantun bersahutan dari dalam dan luar pintu rumah. Setelah kalimat
syahadat dibacakan, pintu dibuka. Pengantin masuk menuju pelaminan

9. Makanan Khas Sunda


Beberapa Makanan Khas Sunda

1. Hayam Bakakak
Seekor ayam yang dibakar di atas suluh, setelah dibersihkan dan diberi bumbu
khusus. Biasanya juru masak memakai sebilah bambu buat menjepit badan
ayam supaya mudah dibolak-balik selama proses pembakaran. Biasanya
dihidangkan pada acara pernikahan.

2. Cumi Hideung
Cumi yang dimasak selama 2-3 jam bersama tinta dan bumbu-bumbu khusus.
Dihidangkan sebagai teman nasi (rencang sangu).

3. Sambal Goreng Ati Kentang


Sering dianggap sebagai makanan mewah yang hanya dihidangkan pada waktu-
waktu tertentu. Seperti saat lebaran, resepsi pernikahan, khitanan, dan
sebagainya.

4. Sambal Goreng Kentang Mustofa


Bahan dasar berupa kentang yang dirajang halus seperti batang korek api.
Kemudian diaduk bersama sambal merah. Belum ada keterangan pasti tentang
pencantuman kata Mustofa yang terdengar seperti nama orang Arab.
Diperkirakan Mustofa adalah nama orang yang mempopulerkan menu ini.

5. Kadedemes atau Oseng Kulit Sampeu


Kulit singkong direbus buat menghilangkan getah. Kemudian ditumis lagi
bersama bumbu-bumbu serta ditaburi cabe rawit hijau. Setelah masak
bentuknya hampir mirip gudeg nangka.

6. Kerupuk Melarat
Dibuat dari tepung aci (tapioka) kemudian dimasak hanya menggunakan pasir
panas.

7. Putri No'ong
Berbahan adonan singkong parut yang dipipihkan, diisi pisang lalu digulung.
Campuran itu dikukus dan dihidangkan dengan taburan parutan kelapa.

8. Gurandil
Termasuk makanan penutup yang terbuat dari adonan tepung beras, ketan
hitam, dan aci. Biasa disajikan dengan taburan kelapa parut, gula putih, atau
gula aren.

10. Rumah Adat Sunda

Tiap rumah adat tentu memiliki ciri dan keunikannya masing-masing.


Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung dengan ketinggian 0,5
m - 0,8 m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada rumah-rumah yang sudah
tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter. Kolong ini sendiri
umumnya digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang peliharaan seperti
sapi, kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti cangkul, bajak, garu
dan sebagainya. Untuk naik ke rumah disediakan tangga yang disebut Golodog
yang terbuat dari kayu atau bambu, yang biasanya terdiri tidak lebih dari tiga anak
tangga. Golodog berfungsi juga untuk membersihkan kaki sebelum naik ke dalam
rumah. Rumah adat Sunda sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda
bergantung pada bentuk atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap
yang bernama suhunan Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu
Kemureb, Jubleg Nangkub, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong
adalah bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar
budaya atau di desa-desa. Jolopong memiliki dua bidang atap yang dipisahkan
oleh jalur suhunan di tengah bangunan rumah. Batang suhunan sama panjangnya
sedangkan lainnya lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong tegak
lurus di kedua ujung suhunan itu. Interior yang dimiliki Jolopong pun sangat
efisien. Ruang Jolopong terdiri atas ruang depan yang disebut emper atau tepas;
ruangan tengah disebut tengah imah atau patengahan; ruangan samping disebut
pangkeng (kamar); dan ruangan belakang yang terdiri atas dapur yang disebut
pawon dan tempat menyimpan beras yang disebut padaringan. Ruangan yang
disebut emper berfungsi untuk menerima tamu. Dulu, ruangan ini dibiarkan
kosong tanpa perkakas atau perabot rumah tangga seperti meja, kursi, ataupun
bale-bale tempat duduk. Jika tamu datang barulah yang empunya rumah
menggelarkan tikar untuk duduk tamu. Seiring waktu, kini sudah disediakan meja
dan kursi bahkan peralatan lainnya. Ruang balandongan berfungsi untuk
menambah kesejukan bagi penghuni rumah. Untuk ruang tidur, digunakan
Pangkeng. Ruangan sejenis pangkeng ialah jobong atau gudang yang digunakan
untuk menyimpan barang atau alat-alat rumah tangga. Ruangan tengah digunakan
sebagai tempat berkumpulnya keluarga dan sering digunakan untuk melaksanakan
upacara atau selamatan dan ruang belakang (dapur) digunakan untuk memasak.
Ditilik dari segi filosofis, rumah tradisional milik masyarakat Jawa Barat ini
memiliki pemahaman yang sangat mengagumkan. Secara umum, nama suhunan
rumah adat orang Sunda ditujukan untuk menghormati alam sekelilingnya.
Hampir di setiap bangunan rumah adat Sunda sangat jarang ditemukan paku besi
maupun alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar tiang digunakan
paseuk (dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa, sedangkan bagian
atap sebagai penutup rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau daun rumia,
karena rumah adat Sunda sangat jarang menggunakan genting. Hal menarik
lainnya adalah mengenai material yang digunakan oleh rumah itu sendiri.
Pemakaian material bilik yang tipis dan lantai panggung dari papan kayu atau
palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat perlindungan di komunitas
dengan peradaban barbar. Rumah untuk komunitas orang Sunda bukan sebagai
benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi semata dari alam berupa hujan,
angin, terik matahari dan binatang. Bentuk dan gaya rumah adat Sunda sudah
sangat jarang dijumpai apalagi di daerah perkotaan. Perkembangan jaman
membuat rumah-rumah bergaya barat lebih mendominasi, namun bukan berarti
gaya tradisional ini hilang sama sekali. Rumah orang Sunda kini sebagian besar
tidak dalam model tradisional, baik dalam penggunaan segala jenis material
maupun dalam bentuk dan arsitektur. Namun, bila orang Sunda atau yang lain
menjalani hidup dengan menerapkan nilai-nilai kesundaan di dalam huniannya,
rumah itu akan memiliki aura Sunda dan tentu saja masih layak disebut rumah
Sunda. Hal ini karena dalam semua kebudayaan termasuk Sunda, dibalik materi
ada nilai lain yang dalam penerapannya bersifat fleksibel, mengingat karakter
orang Sunda yang mudah beradaptasi. Meskipun demikian, masih ada komunitas
Sunda yang setia dengan peninggalan arsitektur warisan karuhun yang satu paket
dengan nilai-nilai lain sebagai pandangan hidup. Keberadaan kampung adat
maupun kampung budaya di Jawa Barat sangat menolong eksistensi bentuk dan
gaya suhunan rumah adat Sunda. Bukan hanya nama-nama suhunan rumah yang
dipertahankan, tetapi bentuknya pun dipertahankan dan dikembangkan sesuai
bentuk aslinya.
II.3. 10 Akasa Sunda

Representasi grafis

=a =é =i =o

=u =e = eu
Representasi grafis

= ka = ga = nga

= ca = ja = nya

= ta = da = na

= pa = ba = ma

= ya = ra = la

= wa = sa = ha

Berdasarkan letak penulisannya, 14 rarangkén dikelompokkan sebagai berikut:

 rarangkén di atas huruf = 5 macam


 rarangkén di bawah huruf = 3 macam
 rarangkén sejajar huruf = 5 macam

a. Rarangkén di atas huruf


panghulu, membuat vokal aksara Ngalagena dari [a] menjadi [i].

Contoh: = ka → = ki.
pamepet, membuat vokal aksara Ngalagena dari [a] menjadi [ə ].

Contoh: = ka → = ke.
paneuleung, membuat vokal aksara Ngalagena dari [a] menjadi [ɤ].

Contoh: = ka → = keu.
panglayar, menambah konsonan [r] pada akhir suku kata.

Contoh: = ka → = kar.
panyecek, menambah konsonan [ŋ] pada akhir suku kata.

Contoh: = ka → = kang.

b. Rarangkén di bawah huruf

panyuku, membuat vokal aksara Ngalagena dari [a] menjadi [u].

Contoh: = ka → = ku.
panyakra, menambah konsonan [r] di tengah suku kata.

Contoh: = ka → = kra.

panyiku, menambah konsonan [l] di akhir suku kata.


Contoh: = ka → = kla.

c. Rarangkén sejajar huruf

panéléng, membuat vokal aksara Ngalagena dari [a] menjadi [ɛ].

Contoh: = ka → = ké.
panolong, membuat vokal aksara Ngalagena dari [a] menjadi [ɔ].

Contoh: = ka → = ko.
pamingkal, menambah konsonan [j] di tengah suku kata.

Contoh: = ka → = kya.
pangwisad, menambah konsonan [h] di akhir suku kata.

Contoh: = ka → = kah.
patén atau pamaéh, meniadakan vokal pada suku kata.

Contoh: = ka → pamaeh = k.

Representasi grafis

=1 =2
=3 =4

=5 =6

=7 =8

=9 =0

Dalam teks, angka diapit oleh dua tanda pipa | ... |.

Contoh: | | = 240
BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

Suku Sunda adalah salah satu suku bangsa di Indonesia yang memiliki
jumlah penduduk terbanyak dan banyak tersebar di Pulau Jawa bagian barat. Suku
sunda telah berkembang sejak zaman kerajaan dahulu dan masih ada hingga saat
ini. Suku sunda memiliki karakteristik yang khas yang membedakannya dari suku
lain dalam berbagai aspek mulai dari local genius, adat istiadat, bahasa,
kebudayaan dan lain-lain.

III.2 Saran

Kebudayaan adalah salah satu kekayaan bangsa yang perlu dijaga dan
dilestarikan. Pengaruh perkembangan zaman yang berdampak buruk pada
kebudayaan tradisional hendaknya dapat dihindari. Sebagai generasi muda,
hendaknya kita tetap menjaga dan melestarikan kebudayaan tradisional Indonesia.
Banyak cara yang dapat dilakukan seperti menggunakan bahasa daerah secara
kontekstual, memakai pakaian adat pada acara-acara kebudayaan tertentu, bahkan
kita bisa juga memperkenalkan kebudayaan melalui bahasa, etika, dan pakaian.
LAMPIRAN

Sisingaan

Tari Jaipong

Pakaian Adat Sunda


Rumah Adat Sunda

Lotek

Kue Surabi
Kerupuk Malarat

Peuyeum Bandung

Nasi Tutug Oncom


Kue Putri No’ong

Cilok

Tahu Gejrot
DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. C. 2006. Pokoknya Sunda, Interpretasi untuk Aksi. Bandung:


Kiblat.

Azis, H.A. 2011. Pendidikan Karakter Berpusat Pada Hati, Akhlak Mulia
Pondasi Membangun Karakter Bangsa. Jakarta: Al-Mawardi.

Danandjaja, J. 1998. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain.


Jakarta:Grafiti.

Dienaputra, R. D. 2006. Sejarah Lisan: Konsep dan Metode. Bandung: Balatin


Pratama.

Ekadjati, E. S. 1988. Naskah Sunda. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Endraswara, Suwardi. 2006. Metode, Teori, Teknik Penelirian Kebudayaan:


Ideologi, Epistemologi, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Hidayat, R. T, dkk. 2005. Peperenian Urang Sunda. Bandung: Kiblat.

Khan, D. Y. 2010. Pendidikan Karakter Berbasis Potensi Diri: Mendongkrak


Kualitas Pendidikan. Semarang: Pelangi Publishing.

LBSS. 1995. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: Tarate.

Rohaedi, A. 1986. Kepribadian Budaya Bangsa: Local Genius. Jakarta: Pustaka


Jaya.

Rosidi, A. 2004. Sastera dan Kebudayaan: Kedaerahan dalam Keindonesiaan.


Jakarta: Pustaka Jaya.

Sumardjo, J. 2003. Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda: Tafsir-tafsir Pantun


Sunda. Bandung: Kelir.

Sumardjo, J. 2004. Hermeneutika Sunda. Bandung: Kelir.

Warnaen, S., dkk. 1987. Pandangan Hidup Orang Sunda, Seperti Tercermin
dalam Tradisi Lisan dan Sastra Sunda. Bandung: Sundanologi.

You might also like