You are on page 1of 12

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berbagai jenis senyawa beracun dari mulai bentuk cair, padat, gas kini
keberadaanya semakin meluas seiring meningkatnya aktivitas manusia. senyawa
beracun atau asing limbah adalah salah satu bentuk hasil buangan dari aktivitas
manusia yang menjadi permasalahan di berbagai belahan dunia. Berbagai jenis
limbah baik cair, padat, dan gas dapat menyebabkan masalah serius terhadap
lingkungan khususnya terhadap kehidupan organisme di sekitarnya. Hampir semua
limbah mengandung senyawa beracun dan berbahaya seperti logam berat, DDT
(diklorodifeniltrikloroetana), Oil sludge, detergen, freon dan sebagainya.

Salah satu contoh senyawa paling beracun adalah DDT. DDT merupakan
racun pembunuh serangga yang sangat efektif digunakan secara luas untuk
membasmi nyamuk malaria. DDT sulit terdegradasi menjadi senyawa yang lebih
sederhana. Ketika DDT memasuki rantai makanan, waktu paruh nya adalah delapan
tahun, artinya setengah dari dosis DDT yang terkonsumsi baru akan terdegradasi
setelah delapan tahun. Ketika tercerna oleh hewan, DDT akan terakumulasi dalam
jaringan lemak dan dalam hati. Zat tersebut memiliki dampak yang sangat merugikan.
Sehingga zat tersebut akan terus berada dalam Rantai makanan dan tidak terputus.
Residu DDT juga dapat menurunkan kemampuan reproduksi serta menyebabkan
cacat pada janin pada organisme dan manusia (Abrar,2010).

Melihat bahaya nyata dari senyawa beracun yang berada disekitar kita, oleh
karena itu perlu dipelajari bagaimana kerja dari senyawa beracun yang masuk
kedalam tubuh makhluk hidup (Toksodinamik) dan efek / respon apa yang
ditimbulkan senyawa beracun bagi tubuh makhluk hidup (Toksokinetik).
1.2 Identifikasi Masalah

1. Apa pengertian dari toksokinetik dan toksodinamik


2. Apa saja proses yang terjadi pada fase toksokinetik dan toksodinamik

1.3 Tujuan

1. Mengetahui sistem kerja toksokinetik dan toksodinamik


2. Mempelajari sifat dan efek suatu zat toksik bagi tubuh makhluk hidup
BAB II

ISI

2.1 Pengertian Zat Racun (Toksik)

Gambar 1. Berbagai jenis zat toksik

Kata racun ”toxic” adalah berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari akar kata tox,
dimana dalam bahasa Yunani berarti panah. Dimana panah pada saat itu digunakan
sebagai senjata dalam peperangan, yang selalu pada anak panahnya terdapat racun.
Apabila zat kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat
yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu
pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis,
konsentrasi racun di reseptor “tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme
atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yangapabila
menggunakan istilah toksik atau toksisitas, maka perlu untuk mengidentifikasi
mekanisme biologi di mana efek berbahaya itu timbul. Sedangkan toksisitas
merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam kemampuannya menimbulkan efek
berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi pada suatu organisme (Wirasuta,
2006).

Pada umumnya efek berbahaya timbul apabila terjadi interaksi antara zat
kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua aspek yang harus
diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia dengan organisme hidup,
yaitu kerja tokson pada suatu organisme (aspek toksodinamik) dan pengaruh tokson
terhadap organisme (aspek toksokinetik) . Suatu kerja toksik pada umumnya
merupakan hasil dari sederetan proses fisika, biokimia, dan biologik yang sangat
rumit dan komplek. Proses ini umumnya dikelompokkan ke dalam tiga fase yaitu:
fase eksposisi, fase toksokinetik dan fase toksodinamik.

Gambar 2. Diagram proses kerja toksik

(Mutschler, 1999)
2.2 Fase Eksposisi

Fase eksposisi merupakan kontak suatu organisme dengan zat asing


(xenobiotika), pada umumnya, kecuali radioaktif, hanya dapat terjadi efek toksik/
farmakologi setelah xenobiotika terabsorpsi. Umumnya hanya tokson yang berada
dalam bentuk terlarut, terdispersi molekular dapat terabsorpsi menuju sistem sistemik
(Wirasuta, 2006).
Laju absorpsi suatu xenobiotika ditentukan oleh sifat membran biologi dan
aliran kapiler darah tempat kontak. Suatu xenobiotika, agar dapat diserap/diabsorpsi
di tempat kontak, maka harus melewati membran sel di tempat kontak. Suatu
membran sel biasanya terdiri atas lapisan biomolekular yang dibentuk oleh molekul
lipid dengan molekul protein yang tersebar diseluruh membrane (Gambar 3). Jalur
utama bagi penyerapan xenobiotika adalah saluran cerna, paru-paru, dan kulit.
Namun pada keracunan aksidential, atau penelitian toksikologi, paparan xenobiotika
dapat terjadi melalui jalur injeksi, seperti injeksi intravena, intramuskular, subkutan,
intraperitoneal, dan jalur injeksi lainnya (Wirasuta, 2006).

Gambar 3. Diagram sistemis membran biologi


2.3 Fase Toksokinetik

Fase toksokinetik disebut juga dengan fase farmakokinetik. Setelah xenobiotika


berada dalam ketersediaan farmasetika, pada mana keadaan xenobiotika siap untuk
diabsorpsi menuju aliran darah atau pembuluh limfe, maka xenobiotika tersebut akan
bersama aliran darah atau limfe didistribusikan ke seluruh tubuh dan ke tempat kerja
toksik (reseptor). Pada saat yang bersamaan sebagian molekul xenobitika akan
termetabolisme, atau tereksresi bersama urin melalui ginjal, melalui empedu menuju
saluran cerna, atau sistem eksresi lainnya. Pada umumnya tokson melintasi
membrane saluran pencernaan menuju sistem sistemik dengan difusi pasif, yaitu
transpor dengan perbedaan konsentrasi sebagai daya dorongnya (Wirasuta, 2006).

A. Absorbsi

Absorpsi ditandai oleh masuknya xenobiotika/tokson dari tempat kontak


(paparan) menuju sirkulasi sistemik tubuh atau pembuluh limfe. Absorpsi
didefinisikan sebagai jumlah xenobiotika yang mencapai sistem sirkululasi
sistemik dalam bentuk tidak berubah. Tokson dapat terabsorpsi umumnya apabila
berada dalam bentuk terlarut atau terdispersi molekular. Absorpsi sistemik tokson
dari tempat extravaskular dipengaruhi oleh sifat-sifat anatomic dan fisiologik
tempat absorpsi (sifat membrane biologis dan aliran kapiler darah tempat kontak),
serta sifat-sifat fisiko-kimia tokson dan bentuk farmseutik tokson (tablet, salep,
sirop, aerosol, suspensi atau larutan). Jalur utama absorpsi tokson adalah saluran
cerna, paru-paru, dan kulit (Wirasuta, 2006).

B. Distribusi

Setelah xenobiotika mencapai sistem peredahan darah, ia bersama darah akan


diedarkan/ didistribusikan ke seluruh tubuh. Dari sistem sirkulasi sistemik ia akan
terdistribusi lebih jauh melewati membran sel menuju sitem organ atau ke
jaringan-jaringan tubuh. Distribusi suatu xenobiotika di dalam tubuh dapat
pandang sebagai suatu proses transpor reversibel suatu xenobiotika dari satu
lokasi ke tempat lain di dalam tubuh. Guna mempermudah pengertian tentang
proses distribusi, para ahli farmakokinetik menggambarkan tubuh terdiri dari
beberapa ruang distribusi, yang didukung oleh model sederhana. Model yang
paling sederhana untuk itu adalah model kompartimen tunggal. Dimana pada
model ini tubuh dipandang sebagai satu ruang yang homogen (seperti satu ember
besar), dalam hal ini distribusi xenobiotika hanya ditentukan oleh daya konveksi
di dalam ember. Namun pada kenyataannya, agar xenobitika dapat ditransportasi
dari saluran kapiler pembuluh darah menuju sel-sel pada jaringan tubuh, haruslah
melewati membran biologis, yaitu membran yang menyeliputi sel-sel di dalam
tubuh. Transpor transmembran dapat berlangsung melalui proses difusi pasif,
difusi terpasilitasi, difusi aktif, filtrasi melalui poren, atau proses fagositisis.
Distribusi suatu xenobiotika di dalam tubuh dipengaruhi oleh: tercampurnya
xenobiotika di dalam darah, laju aliran darah, dan laju transpor transmembran
(Wirasuta, 2006).

C. Eliminasi

Metabolisme dan ekskresi dapat dirangkum ke dalam eliminasi. Yang


dimaksud proses eliminasi adalah proses hilangnya xenobiotika dari dalam tubuh
organisme. Eliminasi suatu xenobiotika dapat melalui reaksi biotransformasi
(metabolisme) atau ekskresi xenobiotika melalui ginjal, empedu, saluran
pencernaan, dan jalur eksresi lainnya (kelenjar keringan, kelenjar mamai, kelenjar
ludah, dan paru-paru). Jalur eliminasi yang paling penting adalah eliminasi
melalui hati (reaksi metabolisme) dan eksresi melalui ginjal (Wirasuta, 2006).

D. Eksresi

Setelah diabsorpsi dan didistrubusikan di dalam tubuh, xenobiotika/tokson dapat


dikeluarkan dengan capat atau perlahan. Xenobiotika dikeluarkan baik dalam
bentuk asalnya maupun sebagai metabolitnya. Jalus ekskresi utama adalah
melalui ginjal bersama urin, tetapi hati dan paru-paru juga merupakan alat
ekskresi penting bagi tokson tertentu. Disamping itu ada juga jalur ekskresi lain
yang kurang penting seperti, kelenjar keringan, kelenjar ludah, dan kelenjar
mamae (Wirasuta, 2006).

E. Konsentrasi Plasma

Sifat dan intensitas efek suatu tokson di dalam tubuh bergantung pada kadar
tokson di tempat kerjanya. Umumnya konsentrasi tokson di tempat organ sasaran
merupakan fungsi kadar tokson di dalam darah (plasma). Namun, sering dijumpai
kadar tokson di organ sasaran tidak selalu sama dengan kadarnya di darah.
Apabila terjadi ikatan yang kuat antara jaringan dengan tokson, maka konsentrasi
tokson pada jaringan tersebut umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan di
darah(Wirasuta, 2006).
DDT adalah salah satu tokson yang bersifat sangat lipofil, dia akan terikat
kuat ”terdeposisi”, sehingga jaringan lemak merupakan depo. Ini berarti
konsentrasi di jaringan akan lebih tinggi dari pada di darah, selanjutnya dia akan
terlepas secara perlahanlahan. Penetapan konsentrasi tokson di darah umumnya
lebih mudah diukur dibandingkan di jaringan, terutama pada jangka waktu
tertentu, oleh sebab itu konsentrasi di darah ”plasma” yang sering digunakan
dalam penelitian toksokinetik (Wirasuta, 2006).

2.4 Fase Toksodinamik

Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat kerja
toksik) dan juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul efek toksik.
Interaksi tokson-reseptor umumnya merupakan interaksi yang bolak-balik
(reversibel). Hal ini mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim hilang, bila
xenobiotika tereliminasi dari tempat kerjanya (reseptor). Selain interaksi reversibel,
terkadang terjadi pula interaksi tak bolak-balik (irreversibel) antara xenobiotika
dengan subtrat biologik. Interaksi ini didasari oleh interaksi kimia antara xenobiotika
dengan subtrat biologi dimana terjadi ikatan kimia kovalen yang bersifat irreversibel
atau berdasarkan perubahan kimia dari subtrat biologi akibat dari suatu perubaran
kimia dari xenobiotika, seperti pembentukan peroksida. Terbentuknya peroksida ini
mengakibatkan luka kimia pada substrat biologi. Efek irrevesibel diantaranya dapat
mengakibatkan kerusakan sistem biologi, seperti: kerusakan saraf, dan kerusakan sel
hati (serosis hati), atau juga pertumbuhan sel yang tidak normal, seperti karsinoma,
mutasi gen (Wirasuta, 2006).

A. Interaksi tokson dengan reseptor

Interaksi obat-reseptor umumnya dapat disamakan dengan prisip kunci-anak


kunci. Letak reseptor neuro(hormon) umumnya di membrane sel dan terdiri dari
suatu protein yang dapat merupakan komplemen ”kunci” daripada struktur ruang
dan muatan-ionnya dari hormone bersangkutan ”anak-kunci”. Setelah
hormonditangkap dan terikat oleh reseptor, terjadilah interaksi yang mengubah
rumus dan pembagian muatannya. Akibatnya adalah suatu reaksi dengan
perubahan aktivitas sel yang sudah ditentukan (prefixed) dan suatu efek fisiologik.
Konsep interaksi kunci-anak kunci telah lama digunakan untuk menjelaskan
interaksi enzim dengan subtratnya. Beberapa efek toksik suatu tokson muncul
melalui mekanisme interaksi tokson dengan enzim, baik dia menghambat atau
memfasilitasi interaksi tersebut, yang pada akhirnya akan menimbulkan efek yang
merugikan bagi organisme (Wirasuta, 2006).
B. Mekanisme kerja efek toksik

Bila memperhatikan kerumiatan sistem biologi, baik kerumitan kimia


maupun fisika, maka jumlah mekanisme kerja yang mungkin, praktis tidak
terbatas, terutama sejauh ditimbulkan efek toksik.

Pada kenyataanya kebayakan proses biokimiawi di dalam tubuh organisme


berlangsung melalui peranata enzim atau kebanyakan kerja biologi disebabkan
oleh interaksi dengan enzim. Seperti pada reaksi biotransformasi umumnya tidak
akan berlangsung tanpa pertolongan sistem enzim, disamping itu beberapa
transpor sinyal divasillitasi oleh sistem enzim. Interaksi xenobiotika terhadap
enzim yang mungkin dapat mengakibatkan menghambat atau justru mengaktifkan
kerja enzim. Tidak jarang interaksi xenobiotika dengan sistem enzim dapat
menimbulkan efek toksik. Inhibisi (hambatan) inhibisi enzim dapat menimbulkan
blokade fungsi saraf (Wirasuta, 2006).
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan ulasan yang telah dijelaskan , dapat disimpulkan bahwa:

1. Toksokinetik merupakan suatu respon atau pengaruh tokson (zat toksik)


terhadap organisme. Sedangkan toksodinamik merupakan mekanisme atau
cara kerja tokson pada suatu organisme.
2. Fase toksokinetik meliputi proses Absorbsi, Distribusi, Eliminasi, Eksresi dan
Konsentrasi Plasma. Sedangkan fase toksodinamik meliputi proses Interaksi
tokson dengan reseptor dan Mekanisme kerja efek toksik

3.2 Saran
Diharapkan dapat dilakukan dan ditingkatkan penelitian tentang toksikologi
khusunya tentang efek dari berbagai macam tokson yang membahayakan
organisme khususnya kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Mutschler.1999. Arzneimittelwirkungen: Lehrbuch der Pharmakologie un


Toxikologie; mit einführenden Kapiteln in die Anatomie, Phyiologie und
Pathophysiologie. Unter mitarb. Von Schäfer-Korting. -7völlig neu bearb. und
erw. Aufl., Wiss. Verl.-Ges., Stuttgart.

Sudrajat.2011.Toksikokinetika Racun. FMIPA UNMUL.

Wirasuta, Made A.G. Niruri, Rasmaya. 2006. Toksikologi Umum. Buku Ajar.
FMIPA Universitas Udayana

Abrar.2010. Pengertian dan dampak DDT. Diakses dalam


http://abrar4lesson4tutorial4ever.wordpress.com/2010/02/20/pengertian-dan-
dampak-ddt-dichloro-diphenyl-trichloroethane-dalam-kehidupan/

You might also like