Professional Documents
Culture Documents
PENDAHULUAN
Berbagai jenis senyawa beracun dari mulai bentuk cair, padat, gas kini
keberadaanya semakin meluas seiring meningkatnya aktivitas manusia. senyawa
beracun atau asing limbah adalah salah satu bentuk hasil buangan dari aktivitas
manusia yang menjadi permasalahan di berbagai belahan dunia. Berbagai jenis
limbah baik cair, padat, dan gas dapat menyebabkan masalah serius terhadap
lingkungan khususnya terhadap kehidupan organisme di sekitarnya. Hampir semua
limbah mengandung senyawa beracun dan berbahaya seperti logam berat, DDT
(diklorodifeniltrikloroetana), Oil sludge, detergen, freon dan sebagainya.
Salah satu contoh senyawa paling beracun adalah DDT. DDT merupakan
racun pembunuh serangga yang sangat efektif digunakan secara luas untuk
membasmi nyamuk malaria. DDT sulit terdegradasi menjadi senyawa yang lebih
sederhana. Ketika DDT memasuki rantai makanan, waktu paruh nya adalah delapan
tahun, artinya setengah dari dosis DDT yang terkonsumsi baru akan terdegradasi
setelah delapan tahun. Ketika tercerna oleh hewan, DDT akan terakumulasi dalam
jaringan lemak dan dalam hati. Zat tersebut memiliki dampak yang sangat merugikan.
Sehingga zat tersebut akan terus berada dalam Rantai makanan dan tidak terputus.
Residu DDT juga dapat menurunkan kemampuan reproduksi serta menyebabkan
cacat pada janin pada organisme dan manusia (Abrar,2010).
Melihat bahaya nyata dari senyawa beracun yang berada disekitar kita, oleh
karena itu perlu dipelajari bagaimana kerja dari senyawa beracun yang masuk
kedalam tubuh makhluk hidup (Toksodinamik) dan efek / respon apa yang
ditimbulkan senyawa beracun bagi tubuh makhluk hidup (Toksokinetik).
1.2 Identifikasi Masalah
1.3 Tujuan
ISI
Kata racun ”toxic” adalah berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari akar kata tox,
dimana dalam bahasa Yunani berarti panah. Dimana panah pada saat itu digunakan
sebagai senjata dalam peperangan, yang selalu pada anak panahnya terdapat racun.
Apabila zat kimia dikatakan beracun (toksik), maka kebanyakan diartikan sebagai zat
yang berpotensial memberikan efek berbahaya terhadap mekanisme biologi tertentu
pada suatu organisme. Sifat toksik dari suatu senyawa ditentukan oleh: dosis,
konsentrasi racun di reseptor “tempat kerja”, sifat zat tersebut, kondisi bioorganisme
atau sistem bioorganisme, paparan terhadap organisme dan bentuk efek yangapabila
menggunakan istilah toksik atau toksisitas, maka perlu untuk mengidentifikasi
mekanisme biologi di mana efek berbahaya itu timbul. Sedangkan toksisitas
merupakan sifat relatif dari suatu zat kimia, dalam kemampuannya menimbulkan efek
berbahaya atau penyimpangan mekanisme biologi pada suatu organisme (Wirasuta,
2006).
Pada umumnya efek berbahaya timbul apabila terjadi interaksi antara zat
kimia (tokson atau zat aktif biologis) dengan reseptor. Terdapat dua aspek yang harus
diperhatikan dalam mempelajari interakasi antara zat kimia dengan organisme hidup,
yaitu kerja tokson pada suatu organisme (aspek toksodinamik) dan pengaruh tokson
terhadap organisme (aspek toksokinetik) . Suatu kerja toksik pada umumnya
merupakan hasil dari sederetan proses fisika, biokimia, dan biologik yang sangat
rumit dan komplek. Proses ini umumnya dikelompokkan ke dalam tiga fase yaitu:
fase eksposisi, fase toksokinetik dan fase toksodinamik.
(Mutschler, 1999)
2.2 Fase Eksposisi
A. Absorbsi
B. Distribusi
C. Eliminasi
D. Eksresi
E. Konsentrasi Plasma
Sifat dan intensitas efek suatu tokson di dalam tubuh bergantung pada kadar
tokson di tempat kerjanya. Umumnya konsentrasi tokson di tempat organ sasaran
merupakan fungsi kadar tokson di dalam darah (plasma). Namun, sering dijumpai
kadar tokson di organ sasaran tidak selalu sama dengan kadarnya di darah.
Apabila terjadi ikatan yang kuat antara jaringan dengan tokson, maka konsentrasi
tokson pada jaringan tersebut umumnya lebih tinggi jika dibandingkan dengan di
darah(Wirasuta, 2006).
DDT adalah salah satu tokson yang bersifat sangat lipofil, dia akan terikat
kuat ”terdeposisi”, sehingga jaringan lemak merupakan depo. Ini berarti
konsentrasi di jaringan akan lebih tinggi dari pada di darah, selanjutnya dia akan
terlepas secara perlahanlahan. Penetapan konsentrasi tokson di darah umumnya
lebih mudah diukur dibandingkan di jaringan, terutama pada jangka waktu
tertentu, oleh sebab itu konsentrasi di darah ”plasma” yang sering digunakan
dalam penelitian toksokinetik (Wirasuta, 2006).
Fase toksodinamik adalah interaksi antara tokson dengan reseptor (tempat kerja
toksik) dan juga proses-proses yang terkait dimana pada akhirnya muncul efek toksik.
Interaksi tokson-reseptor umumnya merupakan interaksi yang bolak-balik
(reversibel). Hal ini mengakibatkan perubahan fungsional, yang lazim hilang, bila
xenobiotika tereliminasi dari tempat kerjanya (reseptor). Selain interaksi reversibel,
terkadang terjadi pula interaksi tak bolak-balik (irreversibel) antara xenobiotika
dengan subtrat biologik. Interaksi ini didasari oleh interaksi kimia antara xenobiotika
dengan subtrat biologi dimana terjadi ikatan kimia kovalen yang bersifat irreversibel
atau berdasarkan perubahan kimia dari subtrat biologi akibat dari suatu perubaran
kimia dari xenobiotika, seperti pembentukan peroksida. Terbentuknya peroksida ini
mengakibatkan luka kimia pada substrat biologi. Efek irrevesibel diantaranya dapat
mengakibatkan kerusakan sistem biologi, seperti: kerusakan saraf, dan kerusakan sel
hati (serosis hati), atau juga pertumbuhan sel yang tidak normal, seperti karsinoma,
mutasi gen (Wirasuta, 2006).
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Diharapkan dapat dilakukan dan ditingkatkan penelitian tentang toksikologi
khusunya tentang efek dari berbagai macam tokson yang membahayakan
organisme khususnya kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Wirasuta, Made A.G. Niruri, Rasmaya. 2006. Toksikologi Umum. Buku Ajar.
FMIPA Universitas Udayana