Professional Documents
Culture Documents
Pembimbing :
Disusun Oleh :
KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN JIWA DAN PERILAKU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA
i
PERIODE 29 OKTOBER - 24 NOVEMBER 2018
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul
“Olahraga dan Pencegahan Depresi“. Referat ini penulis susun dalam periode
Berhasilnya Referat ini disusun tidak lepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang membantu penulisan Referat ini
1. dr. Dharmady Agus, SpKJ, selaku dosen pembimbing yang turut serta
ini.
2. Seluruh pihak yang membantu dalam pembuatan Referat ini yang tidak
referat ini akibat keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, dalam
kesempatan ini penulis sangat terbuka dan mengharapkan adanya kritik dan saran
Akhir kata, penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR GAMBAR
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Depresi saat ini menjadi penyebab utama permasalahan gangguan mental dan
disabilitas di dunia. World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa
secara global saat ini terdapat 300 juta orang yang mengalami depresi dan angka
ini diperkirakan terus meningkat setiap tahunnya.1 Prevalensi pasien dengan
gangguan depresi di Indonesia saat ini mencapai 3.7% yaitu sebesar 9.1 juta
kasus.2
Gangguan depresi berbeda dengan bentuk fluktuasi perasaan pada umumnya
atau respon emosi jangka pendek sehari-hari. Pada kondisi yang berat, depresi
dapat menjadi kondisi gangguan mental yang membahayakan sampai
menyebabkan kematian. WHO juga menyatakan bahwa setiap tahunnya terdapat
sekitar 800.000 orang bunuh diri akibat depresi. Bunuh diri sendiri merupakan
penyebab kematian kedua tertinggi pada kelompok usia 15-29 tahun. Selain
mengganggu fungsi aktivitas sehari – hari, depresi memiliki hubungan kuat
dengan kejadian penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, penyakit
kardiovaskular, begitupun sebaliknya dimana pasien dengan PTM berisiko tinggi
mengalami depresi.1
Pasien dengan depresi umumnya mengalami beberapa gejala seperti
penurunan napsu makan, perubahan pola tidur dan aktivitas yang berkurang,
energi yang menurun, perasaan bersalah, gangguan berpikir dan membuat
keputusan, serta pikiran berulang mengenai ide – ide bunuh diri atau percobaan
bunuh diri.3
Kurangnya dukungan pada pasien dengan gangguan mental serta rasa takut
yang tinggi terhadap stigma di masyarakat menjadi hambatan pasien dalam
mencari akses terapi. Dalam satu tahun terakhir, WHO telah melaksanakan
sebuah kampanye berjudul “Depression: let’s talk” sebagai upaya pendekatan
kepada pasien dengan depresi di seluruh dunia agar mereka dapat mencari dan
mendapatkan bantuan.1
1
2
2.1. Pengertian
Gangguan depresi merupakan gangguan mood yang ditandai dengan adanya
kehilangan minat atau motivasi, perasaan bersalah atau harga diri yang rendah,
gangguan tidur atau napsu makan, perasaan lelah, dan konsentrasi yang
menurun. Depresi dapat berlangsung dalam waktu lama atau pun berulang dan
mengganggu kemampuan individu dalam bekerja atau berkegiatan sehari – hari.
Gangguan depresi meliputi dua subkategori utama:
- Gangguan depresi mayor / episode depresi.
Gangguan ini meliputi gejala mood yang menurun, hilangnya minat atau
kesenangan, dan energi yang menurun. Berdasarkan gejala dan derajatnya,
episode depresi dapat dikategorikan sebagai episode depresi ringan/ sedang/
berat.
- Distimia
Distimia adalah bentuk kronis atau persisten dari depresi ringan. Gejala
distimia menyerupai episode depresi, namun jangka waktunya lebih lama
dan lebih ringan. 3
2.2. Etiologi
Depresi dapat disebabkan oleh interaksi berbagai faktor, seperti faktor
biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial. 3,4
- Faktor biologi
Berbagai studi menunjukkan adanya abnormalitas atau disregulasi
biologik pada pasien dengan gangguan depresi. Dari seluruh amin biogenic
yang ada, norepinefrin, serotonin, dan dopamin merupakan neurotransmitter
utama yang memengaruhi patofisiologi depresi.
o Norepinefrin
Pada pasien dengan depresi terjadi penurunan sensitivitas reseptor β-
adrenergik dan adanya respons klinis terhadap antidepresan. Bukti
lain yang juga melibatkan reseptor β2-presinaptik (berada pada
neuron serotonergik dan berfungsi untuk meregulasi jumlah serotonin
3
4
- Faktor genetik
Faktor genetik merupakan faktor penting dalam perkembangan
gangguan depresi. Pada penelitian dalam keluarga, generasi pertama dari
keluarga yang mengalami depresi didapatkan dua sampai sepuluh kali lebih
sering mengalami depresi berat. Pada penelitian yang berkaitan dengan
adopsi, studi menunjukkan bahwa anak dari orang tua yang terkena
gangguan mood berisiko mengalami gangguan mood walaupun anak
tersebut dibesarkan oleh keluarga angkat. Penelitian pada anak kembar,
didapatkan gangguan depresi berat pada kembar dizigotik sebanyak 13-
28%, sedangkan pada kembar monozigotik sebesar 53-69%.3,4
- Faktor psikososial
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang merasa tertekan dapat
mencetuskan terjadinya depresi. Peristiwa kehidupan yang paling
berhubungan dengan munculnya depresi adalah peristiwa kehilangan orang
tua sebelum usia 11 tahun. Adanya tekanan pada episode pertama ini
menyebabkan perubahan biologik otak jangka panjang sehingga mengubah
fungsi neurotransmitter dan sistem sinyal intraneuron. Hal ini dapat
menyebabkan hilangnya neuron dan berkurangnya sinaps di otak dalam
5
jumlah banyak. Oleh karena itu, individu tersebut memiliki risiko tinggi
terjadinya episode gangguan mood berikutnya walaupun tanpa stressor
eksternal. 3
Semua tipe kepribadian dapat mengalami depresi pada kondisi
tertentu. Namun tipe kepribadian tertentu seperti Obsessive Compulsive
Disorder (OCD), histrionik, dan borderline merupakan tipe kepribadian yang
berisiko tinggi mengalami depresi. Pasien dengan gangguan distimia juga
memiliki risiko terjadinya gangguan depresi.
Berdasarkan teori psikodinamik yang dikemukakan oleh Sigmund
Freud dan diperluas oleh Karl Abraham, terdapat empat teori utama dari
adanya gangguan depresi. Empat teori tersebut antara lain
o Gangguan hubungan ibu anak selama fase oral (usia 10 – 18 bulan)
o Kehilangan sosok tertentu (nyata atau imajinasi)
o Introyeksi terhadap sesuatu yang hilang sebagai mekanisme
pertahanan terhadap kesulitan akan kehilangan sesuatu
o Adanya perasaan amarah yang ditujukan ke diri sendiri akibat
kehilangan sesuatu. 3
Selain itu gejala kognitif juga dapat ditemukan seperti sulit untuk konsentrasi
dan gangguan dalam berpikir.3
Pada anak – anak, gejala depresi dapat berupa schoolphobia dan
ketergantungan yang berlebih pada orangtua. Sedangkan pada orang dewasa
gejala depresi dapat berupa penurunan dalam performa akademik, penggunaan
obat – obat terlarang, perilaku yang antisosial, seks bebas, membolos, dan
melarikan diri.3
Depresi pada orangtua dapat berhubungan dengan status sosioekonomi
yang rendah, hilangnya pasangan hidup, adanya kondisi medis lain, dan isolasi
sosial. Seringkali depresi pada orangtua tidak terdiagnosis karena gejala yang
lebih sering timbul pada orangtua adalah gejala somatik.3
F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala psikotik
- Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.x) harus dipenuhi , dan
episode sekarang harus memenuhi kriteria episode depresif berat tanpa gejala
psikotik (F32.2)
- Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama
minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif
yang bermakna.
meminum obat atau adanya farmakokinetik yang abnormal dari obat tersebut
sehingga membutuhkan dosis alternatif. 3
Terapi antidepressan sebaiknya dipertahankan sekurangnya 6 bulan.
Terapi profilaksis menggunakan antidepressan memberikan hal yang efektif
dalam mengurangi kejadian dan keparahan rekurensi. Pemilihan obat untuk
memulai terapi bergantung pada kronisitas dari kondisi saat ini, perjalanan
penyakit, riwayat penyakit keluarga dan responsnya terhadap terapi, keparahan
dari penyakit, kondisi medis lainnya, respons terhadap terapi sebelumnya,
interaksi obat yang dapat terjadi, dan sesuai dengan keinginan pasien.6
Terdapat beberapa penyebab gagalnya terapi akut, yaitu (1) pasien tidak
dapat mentoleransi efek samping meskipun mendapatkan respons klinis yang
baik; (2) respons klinis yang tidak adekuat; atau (3) diagnosis yang salah. Terapi
fase akut dilakukan selama 4 hingga 6 minggu untuk menentukan tercapainya
perbaikan gejala. Bila perbaikan parsial tidak tercapai dalam waktu 4 – 6
minggu maka diperlukan perubahan rencana terapi dan biasanya digunakan
medikasi kedua.6
Gambar 2.2 Makanan yang kaya akan tiramin harus dihindari dalam
merencanakan diet MAOI
seperti menunjukkan efek antikolinergik, namun obat ini tidak memiliki afinitas
terhadap reseptor muskarinik atau nikotinik. Obat ini dimulai dengan dosis 75
mg per hari selama 4 hari dan kemudian ditingkatkan menjadi 150 mg per hari.
Duloxetine diformulasikan sebagai obat dengan pelepasan yang lambat
untuk mengurangi resiko terjadinya mual. Konsentrasi di dalam plasma akan
mencapai puncaknya setelah 6 jam. Obat ini dapat digunakan untuk terapi
depresi, nyeri neuropati yang berhubungan dengan diabetes, dan mengatasi
inkontinensia urin. Efek samping pada obat ini kurang lebih sama dengan
venlafaxine. Rekomendasi dosis obat ini adalah 60 mg per hari.
Milnacipran, selain digunakan untuk antidepressan, dapat digunakan juga
sebagai terapi fibromyalgia, sedangkan levomilnacipran tidak direkomendasikan
untuk fibromyalgia. Jika dibandingkan dengan venlafaxine, milnacipran lima
kali lebih poten dalam menginhibisi uptake norepinefrin daripada inhibisi uptake
serotonin. Rekomendasi dosis milnacipran dimulai dengan 12,5 mg per hari
kemudian ditingkatkan menjadi 25 mg hingga mencapai dosis maksimal.
Levomilnacipran juga memiliki potensi yang lebih besar dalam menginhibisi
uptake norepinefrin dibandingkan serotonin dan tidak mempengaruhi uptake
dopamin atau neurotransmitter lain.6
2.5.1.5 Mirtazapine
Mirtazapine digunakan untuk terapi depresi dengan cara meningkatkan
norepinefrin dan serotonin tanpa efek yang signifikan terhadap uptake
monoamine atau inhibisi monoamine oksidase. Efek obat ini merupakan hasil
dari inhibisi reseptor α2-adrenergik dan blok dari reseptor postsinaps serotonin
tipe 2 (5-HT2) dan tipe 3 (5-HT3). Mirtazapine dapat mengurangi mual dan diare
karena efeknya terhadap reseptor serotonin 5-HT3. Efek samping yang umum
pada obat ini adalah peningkatan nafsu makan dan sedasi.
Mirtazapine dapat diserap dengan baik melalui administrasi oral. Waktu
paruh obat ini adalah 30 jam dan konsentrasi puncaknya dicapai setelah 2 jam.
Mekanisme dari obat ini adalah antagonis dari reseptor presinaptik sentral α2-
adrenergik dan blokade postsinaptik serotonin 5-HT2 dan 5-HT3. Antagonis
reseptor α2-adrenergik menyebabkan peningkatan pengeluaran norepinefrin dan
serotonin. Antagonis terhadap reseptor serotonin 5-HT2 dan 5-HT3 akan
18
seperti pada SSRI, namun ternyata obat ini menimbulkan sedasi yang cukup
berat, mual, pusing, dan gangguan visual. Nefadozone dapat diabsorpsi dengan
baik melalui oral. Meskipun nefazodone merupakan inhibitor dari uptake
serotonin dan secara minimal juga menginhibisi uptake norepinefrin, namun
antagonis reseptor 5-HTA ini dapat memiliki efek anti ansietas dan anti
depressan. Nefazodone juga merupakan antagonis lemah terhadap α1-
adrenergik, sehingga terkadang dapat menyebabkan hipotensi orthostatik. Selain
untuk depresi, nefazodone juga dapat digunakan sebagai terapi gangguan panik,
gangguan cemas menyeluruh, dan nyeri kronis.6
2.5.1.7 Bupropion
Bupropion merupakan antidepressan yang menginhibisi reuptake dari
norepinefrin dan dopamine serta tidak memiliki efek terhadap sistem serotonin.
Oleh karena ini, efek samping seperti disfungsi seksual dan sedasi sangat
minimal pada obat ini. Terdapat tiga formulasi dari obat ini yaitu immediate
release (diminum 3 kali sehari), sustained release (diminum 2 kali sehari), dan
extended release (diminum 1 kali sehari). Bupropion yang immediate release
dapat diabsorpsi dengan baik di traktus gastrointestinal. Konsentrasi puncak
plasma bupropion dapat dicapai dalam 2 jam, pada sustained release mencapai 3
jam, dan pada extended release mencapai 5 jam.
Selain untuk depresi, obat ini dapat digunakan untuk gangguan bipolar,
attention deficit/hyperactivity disorder, detoksifikasi kokain, hypoactive sexual
desire disorder, menurunkan berat badan, dan orang yang berniat untuk berhenti
20
merokok. Efek samping yang dapat terjadi dari obat ini adalah sakit kepala,
insomnia, mulut kering, tremor, mual, agitasi dan iritabilitas. Pasien dengan
gangguan cemas atau panik tidak diperbolehkan diberikan obat ini. Bupropion
dapat menimbulkan gejala psikotik seperti halusinasi, delusi, dan katatonia
karena efek dari neurotransmisi dopaminergik.6
Psikoterapi supotif
Psikoterapi suportif memberikan pasien dukungan dari figur
berwenang selama periode sakit, ketidakpastiaan, atau dekompensasi
sementara. Bertujuan untuk memulihkan dan menguatkan oertahanan
pasien serta kapasitas integrasi pasien yang telah terganggu.3
Terapi psikodinamik
Terapi psikodinamik didasarkan pada asumsi bahwa seseorang
mengalami masalah emosional karena belum terselesaikan, konflik yang
umumnya tidak disadari, yang sering berasal dari masa kanak-kanak.
Tujuan dari jenis terapi bagi pasien untuk memahami dan mengatasi
perasaan dengan lebih baik ini dengan berbicara tentang pengalaman.
Terapi psikodinamik diberikan selama setidaknya beberapa bulan,
meskipun dapat bertahan lebih lama, bahkan bertahun-tahun.3
Terapi keluarga
Intervensi yang berfokus untuk mengubah interaksi di antara anggota
keluarga dan berupaya untuk memperbaiki fungsi keluarga sebagai suatu
unit yang terdiri dari individu-individu. Tujuan terapi ini yaitu untuk
menyelesaikan atau mengurangi konflik patogenik dan ansietas di dalam
susunan hubungan interpersonal.3
Intervensi fisik
Akupuntur dikatakan memiliki efektivitas yang sama dengan
antidepresan dalam mengatasi depresi. Akupuntur merupakan intervensi yang
kompleks karena kesulitan dalam mengetahui komposisi dan hubungannya
antara satu sama lain. Selain itu terdapat juga terapi cahaya yang digunakan
untuk mengobati depresi dan gangguan depresi. Terapi ini dilakukan dengan
menghadapkan pasien ke tempat dengan cahaya terang, biasanya antara 1 dan
3 jam. Pasien dapat membaca atau terlibat dalam aktivitas lain selama periode
paparan. Dalam penelitiannya Jorm et al. menemukan bukti untuk
kemanjuran terapi cahaya pada depresi.8
Olahraga
Olahraga diketahui dapat meningkatkan mood. Dari penelitian yang
dilakukan dalam 4 bulan pada pasien depresi didapatkan hasil yang signifikan
dalam mengatasi depresi. Dan setelah 10 bulan dilakukan follow up
ditemukan angka relapse yang rendah. Untuk penjelasan lebih lanjut akan
dibahas di sub-bab berikutnya.8
24
memecah stigma ini, yang pada akhirnya mengarah ke lebih banyak orang yang
mencari bantuan.7
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari referat ini antara lain:
- Depresi saat ini masih menjadi permasalahan kesehatan mental di dunia
dan Indonesia.
- Upaya pencegahan depresi dapat menurunkan masalah kesehatan mental
dan angka kematian di Indonesia. Pencegahan dapat dimulai dari masa
remaja karena masa remaja adalah masa yang rentan terhadap berbagai
masalah. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk pencegahan yaitu
dengan berolahraga, konsumsi makanan sehat seperti ikan, makanan yg
mengandung asam folat dan vit D dan vit B. Selain itu, beberapa cara
pencegahan depresi adalah pertemuan tatap muka atau dengan
menggunakan e-health.
- Aktivitas olahraga sebagai terapi tambahan telah teruji efektif dalam
mencegah dan memininalisir gangguan depresi. Olahraga aerobik
intensitas rendah yang disupervisi dan berdurasi 30-40 menit serta
dilakukan minimal 3x seminggu dapat dijadikan prinsip dalam memberi
terapi tersebut.
3.2. Saran
Saran dari referat ini antara lain:
- Kampanye “Depression: Let’s talk” dari WHO perlu disebarkan dan
diaplikasikan lebih luas agar dapat menjaring masyarakat yang mulai
mengalami gejala depresi, sehingga kejadian depresi dapat terdeteksi dan
ditangani lebih awal.
- Pemberi pelayanan kesehatan sebaiknya mempertimbangkan aktivitas
olahraga yang bersifat patient-oriented sebagai terapi adjuvan pasien
dengan gangguan depresi sehingga hasil yang dicapai dapat maksimal.
31
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization [Internet]. Geneva: WHO; 2017. Judul; 2017 March
30 [cited 2018 Nov 5]. Available from: http://www.who.int/news-
room/detail/30-03-2017--depression-let-s-talk-says-who-as-depression-tops-list-
of-causes-of-ill-health
2. Depression and Other Common Mental Disorders: Global Health Estimates.
Geneva: World Health Organization; 2017.
3. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry 11th
ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015. Chapter 8, Mood Disorder; p.333-354.
4. Elvira S. Buku Ajar Psikiatri. 3rd edition. Depok: Badan Penerbit FKUI, 2017.
5. Maslim, Rusdi. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III
dan DSM-V. Cetakan 2 – Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Unika Atma Jaya. Jakarta: PT Nuh Jaya.
6. Sadock BJ, Sussman N, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s pocket handbook of
psychiatric drug treatment. 7th ed. Wolters Kluwer; 2019.
7. Gautam S, Jain A, Gautam M, Vahia VN, Grover S. Clinical Practice Guidelines
for the management of Depression. Indian J Psychiatry. 2017;59(Suppl 1):S34-
S50.
8. Ravindran A, Balneaves L, Faulkner G, Ortiz A, McIntosh D, Morehouse R et
al. Canadian Network for Mood and Anxiety Treatments (CANMAT) 2016
Clinical Guidelines for the Management of Adults with Major Depressive
Disorder: Section 5. Complementary and Alternative Medicine Treatments.
FOCUS. 2018;16(1):85-94.
9. Rebar AL, Stanton R, Geard D, Short C, Duncan MJ, Vandelanotte C. A meta-
meta-analysis of the effect of physical activity on depression and anxiety in non-
clinical adult populations. Health Psychology Review. 2015 Aug 7;9(3):366–78.
10. Harvey SB, Øverland S, Hatch SL, Wessely S, Mykletun A, Hotopf M. Exercise
and the Prevention of Depression: Results of the HUNT Cohort Study. American
Journal of Psychiatry. 2018 Jan;175(1):28–36.
11. Carek PJ, Laibstain SE, Carek SM. Exercise for the Treatment of Depression
and Anxiety. The International Journal of Psychiatry in Medicine. 2011
Jan;41(1):15–28.
32
12. Schuch FB, Vancampfort D, Richards J, Rosenbaum S, Ward PB, Stubbs B.
Exercise as a treatment for depression: A meta-analysis adjusting for publication
bias. Journal of Psychiatric Research. 2016 Jun;77:42–51.
13. Stanton R, Reaburn P. Exercise and the treatment of depression: A review of the
exercise program variables. Journal of Science and Medicine in Sport. 2014
Mar;17(2):177–82.
14. Son JW. Exercise and Depression. Endocrinology and Metabolism.
2015;30(3):270.
15. Stubbs B, Koyanagi A, Schuch FB, Firth J, Rosenbaum S, Veronese N, et al.
Physical activity and depression: a large cross-sectional, population-based study
across 36 low- and middle-income countries. Acta Psychiatrica Scandinavica.
2016 Dec;134(6):546–56.
33