You are on page 1of 37

REFERAT

PENCEGAHAN DAN PERAN OLAHRAGA


PADA GANGGUAN DEPRESI

Pembimbing :

Dr. dr. Dharmady Agus, Sp. KJ

Disusun Oleh :

Sherly Lawrensia 2016061053


Renandha Septaryan 201706010119
Hanselim 201706010162
Stella Andani 201706010132

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN JIWA DAN PERILAKU
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA

i
PERIODE 29 OKTOBER - 24 NOVEMBER 2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat dengan judul

“Olahraga dan Pencegahan Depresi“. Referat ini penulis susun dalam periode

program Kepaniteraan Klinik Ilmu Kedokteran Jiwa dan Perilaku.

Berhasilnya Referat ini disusun tidak lepas dari bantuan dan dukungan

berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan

terima kasih kepada berbagai pihak yang membantu penulisan Referat ini

1. dr. Dharmady Agus, SpKJ, selaku dosen pembimbing yang turut serta

memberi masukan dan dukungan kepada penulis selama penyusunan Referat

ini.

2. Seluruh pihak yang membantu dalam pembuatan Referat ini yang tidak

dapat penulis sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam

referat ini akibat keterbatasan kemampuan penulis. Oleh karena itu, dalam

kesempatan ini penulis sangat terbuka dan mengharapkan adanya kritik dan saran

pembaca dalam penyempurnaan referat ini.

Akhir kata, penulis berharap referat ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak

yang membutuhkan. Terima Kasih.

Jakarta, 21 November 2018

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................i


DAFTAR ISI ..............................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................................1
1.2 Tujuan ..........................................................................................................2
1.2.1 Tujuan Umum .....................................................................................2
1.2.2 Tujuan Khusus ....................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pengertian .....................................................................................................3
2.2 Etiologi .........................................................................................................3
2.3 Gejala Klinis.................................................................................................6
2.4 Kriteria Diagnostik .......................................................................................7
2.5 Tatalaksana Depresi .....................................................................................10
2.5.1 Tatalaksana Farmakologi ....................................................................10
2.5.1.1 Tricyclics dan Tetracyclic ......................................................12
2.5.1.2 Mono Amine Oxydase Inhibitor ............................................13
2.5.1.3 Selective Serotonin Reuptake Inhibitor .................................15
2.5.1.4 Selective Serotonin-Norepinephirne Reuptake Inhibitor .......16
2.5.1.5 Mirtazapine ............................................................................17
2.5.1.6 Nefazodone dan Trazodone ...................................................18
2.5.1.7 Bupropion ...............................................................................19
2.5.2 Tatalaksana Non Farmakologi ............................................................20
2.5.2.1 Psikoterapi ..............................................................................20
2.5.2.2 Elektokonvulsif Terapi ..........................................................22
2.5.2.3 Terapi Komplementer dan Alternatif .....................................22
2.6 Hubungan Aktivitas Olahraga dengan Gangguan Depresi ..........................24
2.7 Pencegahan Terhadap Depresi .....................................................................26
BAB III KESIMPULAN ...........................................................................................31
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................32

ii
DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 2.1 Obat Antidepresan ...........................................................................11


2. Gambar 2.2 Makanan kaya akan Tiramin ...........................................................15
3. Gambar 2.3 Sindrom Serotonin ..........................................................................16
4. Gambar 2.4 Efek Samping Mirtazapine ..............................................................18
5. Gambar 2.5 Efek Samping Nefazodone ..............................................................19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang
Depresi saat ini menjadi penyebab utama permasalahan gangguan mental dan
disabilitas di dunia. World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa
secara global saat ini terdapat 300 juta orang yang mengalami depresi dan angka
ini diperkirakan terus meningkat setiap tahunnya.1 Prevalensi pasien dengan
gangguan depresi di Indonesia saat ini mencapai 3.7% yaitu sebesar 9.1 juta
kasus.2
Gangguan depresi berbeda dengan bentuk fluktuasi perasaan pada umumnya
atau respon emosi jangka pendek sehari-hari. Pada kondisi yang berat, depresi
dapat menjadi kondisi gangguan mental yang membahayakan sampai
menyebabkan kematian. WHO juga menyatakan bahwa setiap tahunnya terdapat
sekitar 800.000 orang bunuh diri akibat depresi. Bunuh diri sendiri merupakan
penyebab kematian kedua tertinggi pada kelompok usia 15-29 tahun. Selain
mengganggu fungsi aktivitas sehari – hari, depresi memiliki hubungan kuat
dengan kejadian penyakit tidak menular (PTM) seperti diabetes, penyakit
kardiovaskular, begitupun sebaliknya dimana pasien dengan PTM berisiko tinggi
mengalami depresi.1
Pasien dengan depresi umumnya mengalami beberapa gejala seperti
penurunan napsu makan, perubahan pola tidur dan aktivitas yang berkurang,
energi yang menurun, perasaan bersalah, gangguan berpikir dan membuat
keputusan, serta pikiran berulang mengenai ide – ide bunuh diri atau percobaan
bunuh diri.3
Kurangnya dukungan pada pasien dengan gangguan mental serta rasa takut
yang tinggi terhadap stigma di masyarakat menjadi hambatan pasien dalam
mencari akses terapi. Dalam satu tahun terakhir, WHO telah melaksanakan
sebuah kampanye berjudul “Depression: let’s talk” sebagai upaya pendekatan
kepada pasien dengan depresi di seluruh dunia agar mereka dapat mencari dan
mendapatkan bantuan.1

1
2

1.2. Tujuan Referat

1.2.1. Tujuan Umum


Mengetahui perjalanan penyakit gangguan depresi serta pencegahan dan
penatalaksanaannya secara komperehensif.

1.2.2. Tujuan Khusus


• Mengetahui definisi, gejala klinis, dan kriteria diagnostic gangguan
depresi.
• Mengetahui tatalaksana farmakologis dan nonfarmakologis gangguan
depresi
• Mengetahui peran olahraga terhadap gangguan depresi
• Mengetahui pencegahan gangguan depresi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian
Gangguan depresi merupakan gangguan mood yang ditandai dengan adanya
kehilangan minat atau motivasi, perasaan bersalah atau harga diri yang rendah,
gangguan tidur atau napsu makan, perasaan lelah, dan konsentrasi yang
menurun. Depresi dapat berlangsung dalam waktu lama atau pun berulang dan
mengganggu kemampuan individu dalam bekerja atau berkegiatan sehari – hari.
Gangguan depresi meliputi dua subkategori utama:
- Gangguan depresi mayor / episode depresi.
Gangguan ini meliputi gejala mood yang menurun, hilangnya minat atau
kesenangan, dan energi yang menurun. Berdasarkan gejala dan derajatnya,
episode depresi dapat dikategorikan sebagai episode depresi ringan/ sedang/
berat.
- Distimia
Distimia adalah bentuk kronis atau persisten dari depresi ringan. Gejala
distimia menyerupai episode depresi, namun jangka waktunya lebih lama
dan lebih ringan. 3

2.2. Etiologi
Depresi dapat disebabkan oleh interaksi berbagai faktor, seperti faktor
biologi, faktor genetik, dan faktor psikososial. 3,4
- Faktor biologi
Berbagai studi menunjukkan adanya abnormalitas atau disregulasi
biologik pada pasien dengan gangguan depresi. Dari seluruh amin biogenic
yang ada, norepinefrin, serotonin, dan dopamin merupakan neurotransmitter
utama yang memengaruhi patofisiologi depresi.
o Norepinefrin
Pada pasien dengan depresi terjadi penurunan sensitivitas reseptor β-
adrenergik dan adanya respons klinis terhadap antidepresan. Bukti
lain yang juga melibatkan reseptor β2-presinaptik (berada pada
neuron serotonergik dan berfungsi untuk meregulasi jumlah serotonin

3
4

yang dilepas) pada depresi yaitu aktifnya reseptor ini sehingga


mengakibatkan pengurangan jumlah pelepasan norepinefrin. 3,4
o Serotonin
Serotonin saat ini menjadi neurotransmitter amin biogenik utama
terhadap terjadinya depresi. Serotonin bertanggung jawab untuk
control regulasi afek, agresi, tidur, dan nafsu makan. Penurunan kadar
serotonin dapat mempresipitasi terjadinya depresi. Pada pasien
dengan ide bunuh diri didapatkan memiliki konsentrasi serotonin di
CSF yang rendah. 3
o Dopamin
Pada pasien dengan depresi didapatkan aktivitas neurotransmitter
dopamin yang menurun. Dua teori mengenai hubungan dopamin
dengan depresi adalah adanya disfungsi pada jalur dopamin di
mesolimbik dan hipoaktif reseptor dopamin D1. 3,4

- Faktor genetik
Faktor genetik merupakan faktor penting dalam perkembangan
gangguan depresi. Pada penelitian dalam keluarga, generasi pertama dari
keluarga yang mengalami depresi didapatkan dua sampai sepuluh kali lebih
sering mengalami depresi berat. Pada penelitian yang berkaitan dengan
adopsi, studi menunjukkan bahwa anak dari orang tua yang terkena
gangguan mood berisiko mengalami gangguan mood walaupun anak
tersebut dibesarkan oleh keluarga angkat. Penelitian pada anak kembar,
didapatkan gangguan depresi berat pada kembar dizigotik sebanyak 13-
28%, sedangkan pada kembar monozigotik sebesar 53-69%.3,4

- Faktor psikososial
Peristiwa kehidupan yang membuat seseorang merasa tertekan dapat
mencetuskan terjadinya depresi. Peristiwa kehidupan yang paling
berhubungan dengan munculnya depresi adalah peristiwa kehilangan orang
tua sebelum usia 11 tahun. Adanya tekanan pada episode pertama ini
menyebabkan perubahan biologik otak jangka panjang sehingga mengubah
fungsi neurotransmitter dan sistem sinyal intraneuron. Hal ini dapat
menyebabkan hilangnya neuron dan berkurangnya sinaps di otak dalam
5

jumlah banyak. Oleh karena itu, individu tersebut memiliki risiko tinggi
terjadinya episode gangguan mood berikutnya walaupun tanpa stressor
eksternal. 3
Semua tipe kepribadian dapat mengalami depresi pada kondisi
tertentu. Namun tipe kepribadian tertentu seperti Obsessive Compulsive
Disorder (OCD), histrionik, dan borderline merupakan tipe kepribadian yang
berisiko tinggi mengalami depresi. Pasien dengan gangguan distimia juga
memiliki risiko terjadinya gangguan depresi.
Berdasarkan teori psikodinamik yang dikemukakan oleh Sigmund
Freud dan diperluas oleh Karl Abraham, terdapat empat teori utama dari
adanya gangguan depresi. Empat teori tersebut antara lain
o Gangguan hubungan ibu anak selama fase oral (usia 10 – 18 bulan)
o Kehilangan sosok tertentu (nyata atau imajinasi)
o Introyeksi terhadap sesuatu yang hilang sebagai mekanisme
pertahanan terhadap kesulitan akan kehilangan sesuatu
o Adanya perasaan amarah yang ditujukan ke diri sendiri akibat
kehilangan sesuatu. 3

- Teori depresi lainnya


Berdasarkan teori kognitif, depresi terjadi akibat distorsi kognitif
pada seseorang yang rentang mengalami depresi. Distorsi kognitif ini
disebut depressogenic schemata, yang artinya adalah kondisi kognitif yang
melihat pada data internal dan eksternal yang berubah karena pengalaman
sebelumnya. Aaron Beck menyatakan adanya triad kognitif pada depresi,
yaitu persepsi negatif terhadap diri sendiri, adanya tendensi untuk melihat
dunia sebagai lingkungan yang saling bermusuhan dan menuntut, serta
ekspektasi negatif seperti akan gagal dan menderita di masa depan.3
Berdasarkan teori mengenai mempelajari suatu ketidakberdayaan,
fenomena depresi berhubungan dengan suatu kejadian yang tidak dapat
dikontrol. Contohnya adalah seekor anjing yang diberikan stressor (stimulus
listrik) cenderung pasif dan tidak berusaha keluar dari kondisi lingkungan
stress lainnya dibandingkan seekor anjing yang tidak diberikan stressor. Hal
ini menunjukkan bahwa adanya stressor menyebabkan defisit motivasi dan
emosional. Aplikasi teori ini pada manusia adalah bahwa stressor dari luar
6

dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan diri dan cara memperbaiki


depresi ini bergantung pada proses pembelajaran pasien untuk mengontrol
dan menguasai lingkungan. 3

2.3. Gejala Klinis


Mood yang menurun, hilangnya motivasi, dan berkurangnya energi
merupakan tanda utama pada depresi. Pasien dapat merasakan sedih, tidak ada
harapan, ataupun tidak berguna. Mood yang menurun pada pasien depresi
memiliki kualitas yang berbeda dari emosi normal saat mengalami rasa sedih
atau berduka. Pasien seringkali mendeskripsikan gejala depresi sebagai emosi
yang menyiksa dan terkadang mengeluh hingga tidak dapat menangis.3
Sekitar dua pertiga dari pasien yang mengalami depresi memiliki ide bunuh
diri, dan 10 – 15% melakukan buhuh diri. Terkadang pasien depresi tidak
menyadari kondisi mereka saat ini dan tidak mengeluhkan adanya perubahan
mood meskipun mereka mengalami penarikan diri dari keluarga, teman – teman,
dan hobi mereka. Hampir seluruh pasien depresi (97%) mengeluhkan
berkurangnya energi, kesulitan dalam menyelesaikan tugas, mengalami
gangguan dalam pekerjaan dan sekolah, dan berkurangnya motivasi untuk
menjalani tugas baru. Sekitar 80% pasien depresi akan mengeluhkan kesulitan
untuk tidur, seperti contohnya sering terbangun saat malam hari. Kemudian
pasien depresi juga mengeluhkan berkurangnya nafsu makan dan berkurangnya
berat badan, namun terkadang beberapa pasien mengeluhkan kenaikan nafsu
makan, penambahan berat badan, dan tidur yang lebih lama daripada biasanya.
Pasien – pasien yang seperti ini memiliki gejala yang atipikal.3
Cemas merupakan gejala yang umum pada pasien depresi dan mempengaruhi
sebanyak 90% pada pasien ini. Perubahan pada konsumsi makanan dan istirahat
dapat memperburuk kondisi medis yang telah ada sebelumnya seperti diabetes,
hipertensi, penyakit paru kronis, dan penyakit jantung. Selain itu dapat juga
menyebabkan pola menstruasi yang tidak normal dan penurunan minat pada
aktivitas seksual. Cemas, penggunaan alkohol, dan gangguan somatik (seperti
konstipasi dan sakit kepala) seringkali menyulitkan terapi depresi. Sekitar 50%
pasien mengatakan gejala yang dirasakan mengalami variasi diurnal, dengan
bertambah parahnya gejala pada pagi hari dan berkurang pada malam hari.
7

Selain itu gejala kognitif juga dapat ditemukan seperti sulit untuk konsentrasi
dan gangguan dalam berpikir.3
Pada anak – anak, gejala depresi dapat berupa schoolphobia dan
ketergantungan yang berlebih pada orangtua. Sedangkan pada orang dewasa
gejala depresi dapat berupa penurunan dalam performa akademik, penggunaan
obat – obat terlarang, perilaku yang antisosial, seks bebas, membolos, dan
melarikan diri.3
Depresi pada orangtua dapat berhubungan dengan status sosioekonomi
yang rendah, hilangnya pasangan hidup, adanya kondisi medis lain, dan isolasi
sosial. Seringkali depresi pada orangtua tidak terdiagnosis karena gejala yang
lebih sering timbul pada orangtua adalah gejala somatik.3

2.4. Kriteria Diagnostik


Berdasarkan PPDGJ-III gangguan depresi secara garis besar dapat dibedakan
menjadi 2, yaitu : episode depresif (F32) dan gangguan depresif berulang (F33)
yang masing-masing memiliki pembagiannya lagi.5

F32.0 Episode depresif ringan :


- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
- Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
- Tidak boleh ada gejala yang berat diantaranya.
- Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
- Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan social yang biasa
dilakukannya.

F32.1 Episode depresif sedang


- Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi
- Ditambah sekurang-kurangnya 3 dari gejala lainnya
- Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
- Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan social, pekerjaan,
dan urusan rumah tangga

F32.2 Episode depresif berat tanpa gejala psikotik


- Semua 3 gejala utama depresi harus ada
8

- Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya dan beberapa di


antaranya harus berintensitas berat.
- Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retardasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci. Jika demikian, maka penilaian
secara menyeluruh terhadap episode depresif berat masih dapat dibenarkan.
- Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minggu,
akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu.
- Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan social,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

F.32.3 Episode depresif berat dengan gejala psikotik


- Episode depresi berat harus memenuhi kriteria menurut F32.2
- Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya melibatkan
ide tentang dosam kemiskinan atau malapetaka yang mengancam, dan pasien
merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau olfatorik
biasanya berupa suara yang menghina atau menuduh, atau bau kotoran atau
daing membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat menuju pada stupor.
JIka diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasa atau
tidak serasa dengan efek (mood-congruent)

F33 Gangguan depresif berulang


- Gangguan tersebut tersifat dengan episode berulang dari depresi ringan
(F32.0), depresi sedang (F32.1), atau depresi berat (F32.2 dan F32.3).
Episode masing-masing rata-rata lamanya sekitar 6 bulan, namun
frekuensinya lebih jarang dibandingkan dengan gangguan bipolar.
- Tanpa riwayat adanya episode tersendiri dari peninggian afek dan
hiperaktivitas yang memenuhi kriteria mania (F30.1 dan F30.2). Kategori
tersebut tetap harus digunakan jika ternyata ada episode ringan yang
memenuhi kriteria hipomania (F30.0) segera sesudah suatu episode depresif
yang terkadang dapat dicetuskan oleh terapi depresi.
- Pemulihan keadaan biasanya sempurna diantara episode, sebagian kecil
menetap (pada usia lanjut)
9

- Episode masing-masing, dalam berbagai tingkat keparahan, seringkali


dicetuskan oleh peristiwa kehidupan yang penuh stress atau trauma mental
lain (adanya stress tidak esensial untuk penegakkan diagnosis).

F33.0 Gangguan depresif berulang, episode kini ringan


- Kriteria gangguan depresif berulang (F33) harus terpenuhi dan episode
sekarang harus memenuhi kriteria depresi ringan (F32.0)
- Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama
minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif
yang bermakna.

F33.1 Gangguan depresif berulang, episode kini sedang


- Kriteria gangguan depresif berulang (F33) harus terpenuhi dan episode
sekarang harus memenuhi kriteria depresi sedang (F32.1)
- Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama
minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif
yang bermakna.

F33.2 Gangguan depresif berulang, episode kini berat tanpa gejala psikotik
- Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.x) harus dipenuhi , dan
episode sekarang harus memenuhi kriteria episode depresif berat tanpa gejala
psikotik (F32.2)
- Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama
minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif
yang bermakna.

F33.3 Gangguan depresif berulang, episode kini berat dengan gejala


psikotik
- Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.x) harus dipenuhi , dan
episode sekarang harus memenuhi kriteria episode depresif berat dengan
gejala psikotik (F32.3)
- Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama
minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif
yang bermakna.
10

F33.4 Gangguan depresif berulang, kini dalam remisi


- Kriteria untuk gangguan depresif berulang (F33.x) harus pernah dipenuhi di
masa lampau, tetapi keadaan sekarang seharusnya tidak memenuhi kriteria
untuk episode depresif dengan derajat keparahan apa pun atau gangguan lain
apa pun dalam F30-F39
- Sekurang-kurangnya dua episode telah berlangsung masing-masing selama
minimal 2 minggu dengan sela waktu beberapa bulan tanpa gangguan afektif
yang bermakna.

F33.8 Gangguan depresif berulang lainnya

F33.9 Gangguan depresif berulang yang tak terinci

2.5. Tatalaksana Depresi

2.5.1. Tatalaksana Farmakologi


Tujuan utama dari terapi farmakologi adalah remisi dari gejala karena
bila pasien memiliki gejala residu kemungkinan akan mengalami relapse dan
gangguan dalam menjalankan fungsinya sehari – hari. 3,6
Penggunaan farmakoterapi spesifik dapat meningkatkan kemungkinan
pasien untuk sembuh dalam 1 bulan. Saat ini semua obat antidepressan
membutuhkan waktu rata – rata 3 hingga 4 minggu untuk menunjukkan hasil
terapi yang signifikan, walaupun dapat lebih cepat juga. Pemilihan antidepressan
harus berdasarkan efek samping yang terendah dalam mempengaruhi status fisik
pasien, temperamen, dan gaya hidup. Terdapat berbagai macam kelas
antidepressan yang memiliki mekanisme aksi yang berbeda – beda. Monoamine
oxidase inhibitors (MAOIs) dan tricyclic antidepressants (TCAs) merupakan
obat antidepressan pertama yang masih digunakan hingga sekarang dan saat ini
terdapat beberapa macam obat antidepressan baru yang lebih efektif dan nyaman
untuk digunakan pasien.3
11

Gambar 2.1 Obat Antidepresan

Gagalnya pengobatan antidepressan paling sering disebabkan oleh


pemberian dosis obat yang terlalu rendah dengan pemberian waktu obat yang
terlalu sebentar. Pemberian dosis antidepressan harus ditingkatkan menjadi dosis
maksimum dan dipertahankan selama 4 hingga 5 minggu kecuali terjadi efek
samping yang merugikan. Selain itu, bila pasien mengalami perbaikan klinis
dengan menggunakan obat dosis rendah, maka dosis tersebut sebaiknya
dipertahankan terlebih dahulu hingga tidak memiliki efek lagi dalam perbaikan
klinis dan dosis dapat ditingkatkan hingga maksimal. Ketika pasien tidak
menunjukkan adanya perbaikan dengan menggunakan dosis maksimal dalam 2 –
3 minggu, maka konsentrasi obat dalam plasma sebaiknya diperiksa jika
memungkinkan. Tes ini dapat menunjukkan adanya ketidakpatuhan dalam
12

meminum obat atau adanya farmakokinetik yang abnormal dari obat tersebut
sehingga membutuhkan dosis alternatif. 3
Terapi antidepressan sebaiknya dipertahankan sekurangnya 6 bulan.
Terapi profilaksis menggunakan antidepressan memberikan hal yang efektif
dalam mengurangi kejadian dan keparahan rekurensi. Pemilihan obat untuk
memulai terapi bergantung pada kronisitas dari kondisi saat ini, perjalanan
penyakit, riwayat penyakit keluarga dan responsnya terhadap terapi, keparahan
dari penyakit, kondisi medis lainnya, respons terhadap terapi sebelumnya,
interaksi obat yang dapat terjadi, dan sesuai dengan keinginan pasien.6
Terdapat beberapa penyebab gagalnya terapi akut, yaitu (1) pasien tidak
dapat mentoleransi efek samping meskipun mendapatkan respons klinis yang
baik; (2) respons klinis yang tidak adekuat; atau (3) diagnosis yang salah. Terapi
fase akut dilakukan selama 4 hingga 6 minggu untuk menentukan tercapainya
perbaikan gejala. Bila perbaikan parsial tidak tercapai dalam waktu 4 – 6
minggu maka diperlukan perubahan rencana terapi dan biasanya digunakan
medikasi kedua.6

2.5.1.2 Tricyclics dan Tetracyclics


Obeservasi yang dilakukan pada tahun 1957 terhadap imipramine,
ternyata memiliki efek antidepressan sehingga terbentuklah kelas baru untuk
antidepressan yaitu tricyclic (TCA). Setelah itu mulai diciptakan antidepressan
baru yang memiliki struktur dasar tricyclic dan memiliki efek yang sama.
Amitriptyline dan imipramine adalah 2 obat TCA yang dulu sering diresepkan,
namun karena memiliki efek samping berupa antikolinergik dan antihistamin,
penggunaannya kini menurun dan nortriptyline serta desipramine menjadi lebih
populer karena efek sampingnya yang lebih rendah. Meskipun sebagai
antidepressan, efek dari obat ini dapat digunakan untuk terapi gangguan panik,
gangguan cemas menyeluruh, post traumatic stress disorder (PTSD), obsessive
– compulsive disorder (OCD), dan nyeri.6
Dengan adanya antidepressan kelas baru yang memiliki keamanan yang
lebih baik serta aksi selektif terhadap neurotransmitter atau memiliki mekanisme
aksi yang unik, membuat peresepan TCA dan tetracyclic menjadi berkurang.
Namun walaupun demikian, TCA dan tetracylic tetap menjadi obat
antidepressan dengan efikasi yang terbaik.6
13

TCA dapat diabsorpsi seluruhnya setelah melalui administrasi oral.


Konsentrasi plasma akan mencapai puncaknya dalam 2 hingga 8 jam dan waktu
paruh obat ini beragam mulai dari 10 hingga 70 jam sehingga hanya diperlukan
pemberian satu kali sehari bila menggunakan obat ini. TCA akan memblok
tempat pelekatan norepinefrin dan serotonin sehingga meningkatkan konsentrasi
neurotransmitter tersebut. Efek sekunder dari TCA yaitu antagonis muskarinik
asetilkolin, histamin H1 serta α1 dan α2 reseptor adrenergik.
Efek samping yang dapat terjadi dari TCA sangat banyak dan dapat
mematikan bila overdosis. Efek sampingnya yaitu adanya efek antikolinergik
seperti mulut kering, konstipasi, pandangan kabur, dan retensi urin. Efek
antikolinergik ini jika sudah berat dapat menimbulkan antikolinergik sindrom
pada sistem saraf pusat sehingga menyebabkan delirum. Selain itu obat ini juga
dapat menyebabkan takikardia, perlambatan waktu konduksi jantung, hipotensi
orthostatik, sedasi dan juga tremor.
Contoh dari obat ini meliputi imipramine, desipramine, trimipramine,
amitriptyline, nortriptyline, protriptyline, amoxapine, doxepin, maprotiline, dan
clomipramine. Pada umumnya untuk memulai terapi menggunakan obat TCA
sebaiknya dari dosis 25 mg per hari kemudian ditingkatkan, kecuali
menggunakan protriptyline dan amoxapine. Pemberian obat ini sebaiknya
diberikan sewaktu malam karena dapat membantu tidur. Amoxapine dimulai
dari dosis 150 mg per hari, sedangkan protriptyline dimulai dari 15 mg per hari.6

2.5.1.2 Mono Amine Oxydase Inhibitor


MAOI merupakan obat antidepressan yang diakui pertama kali. Obat
MAOI yang tersedia saat ini adalah phenelzine, isocarboxazid, dan
tranylcypromine. Cara kerja obat ini adalah dengan menginhibisi MAO secara
irreversibel dan tidak selektif dalam inaktivasi isoform MAO-A dan MAO-B.
Selegiline juga merupakan MAOI yang ireversibel dan selektif terhadap isoform
MAO-B, sedangkan moclobemide merupakan selektif reversibel inhibitor dari
MAO-A. Meskipun obat – obatan ini terbukti efektif, namun pemberian obat ini
sebagai terapi lini pertama masih dipertimbangkan karena dapat menyebabkan
hipertensi dan memerlukan diet yang ketat sehingga saat ini lebih sering
digunakan dalam kasus yang resisten dengan obat lain.
14

Phenelzine, tranylcypromine, dan isocarboxazid dapat mencapai kadar


puncak di plasma dalam waktu 2 jam dan memiliki waktu paruh plasma 2
hingga 3 jam. MAO merupakan enzim yang terdapat di membran luar
mitokondria dan bekerja dengan cara mendegradasi sitoplasmik dan
neurotransmitter ekstraneuronal monoamine seperti norepinefrin, serotonin,
dopamine, epinefrin, dan tyramine. Terdapat 2 tipe MAO yaitu MAO-A dan
MAO-B. MAO-A bekerja dengan memetabolisme norepinefrin, serotonin, dan
epinefrin, sedangkan dopamine dan tyramine dimetabolisme oleh MAO-A dan
MAO-B.
MAOI biasanya digunakan sebagai antidepressan, namun menurut
beberapa penelitian dapat juga digunakan sebagai antidepressan atipikal,
gangguan panik, fobia sosial, bulimia nervosa, PTSD, nyeri angina, migrain, dan
attention deficit disorder.
Efek samping yang sering dialami dalam penggunaan MAOI adalah
hipotensi orthostatik, insomnia, penambahan berat badan, edema, dan disfungsi
seksual. Efek yang paling dikhawatirkan dari MAOI adalah tyramine induced
hypertensive crisis. Asam amino tyramine normalnya dimetabolisme di traktus
gastrointestinal, namun obat MAOI akan menginaktivasi metabolisme tersebut
sehingga membuat tyramine yang tidak termetabolisme masuk ke sirkulasi.
Krisis hipertensi terjadi akibat adanya vasopressor dari asam amino tersebut.
Oleh karena itu sebaiknya menghindari makanan yang mengandung tyramine
selama 2 minggu setelah pemberian dosis terakhir dari MAOI ireversibel.
Phenelzine sebaiknya dimulai dengan dosis 15 mg per hari dan dapat
ditingkatkan menjadi tiga kali sehari dalam minggu pertama. Tranylcypromine
dan isocarboxazid dimulai dengan dosis 10 mg dan ditingkatkan menjadi tiga
kali sehari pada akhir minggu pertama penggunaan.6
15

Gambar 2.2 Makanan yang kaya akan tiramin harus dihindari dalam
merencanakan diet MAOI

2.5.1.3 Selective Serotonin Reuptake Inhibitor


SSRI merupakan obat yang saat ini sering digunakan untuk terapi depresi
dan cemas. Obat ini dikatakan selektif karena memiliki efek yang minimal
dalam reuptake norepinefrin atau dopamine, dan memfokuskan efek terapinya
pada inhibisi reuptake serotonin. Selain itu efek samping seperti mulut kering,
konstipasi, sedasi, hipotensi orthostatik, dan takikardia yang terdapat pada TCA
dan MAOI, sangat minimal pada SSRI. Obat ini meliputi fluoxetine, sertraline,
paroxetine, fluvoxamine, citalopram, escitalopram, dab vilazodone.
Setiap obat SSRI memiliki perbedaan waktu paruh serum yang berbeda –
beda. Fluoxetine memiliki waktu paruh terlama yaitu 4 hingga 6 hari dan
metabolit aktifnya memiliki waktu paruh 7 hingga 9 hari, sertraline memiliki
waktu paruh 26 jam dan waktu paruh untuk metabolit aktifnya sekitar 3 hingga 5
hari, sedangkan untuk citalopram memiliki waktu paruh 35 jam, escitalopram 27
– 32 jam, paroxetine 21 jam, dan fluvoxamine 15 jam.
SSRI dapat diserap dengan baik melalui administrasi oral dan memiliki
efek puncak dalam waktu 3 – 8 jam. Semua SSRI dimetabolisme di liver oleh
enzim CYP450. Citalopram dan escitalopram merupakan SSRI yang paling
selektif karena sangat sedikit dalam menginhibisi reuptake dari norepinefrin dan
dopamine serta memiliki afinitas yang rendah terhadap reseptor histamin H1,
GABA serta reseptor benzodiazepine.
16

SSRI biasanya digunakan untuk mengatasi depresi, bulimia nervosa dan


gangguan makan lainnya, gangguan cemas seperti obsessive compulsive
disorder, gangguan panik, fobia sosial, PTSD, dan gangguan cemas menyeluruh.
Efek samping dari pemakaian SSRI jangka panjang adalah disfungsi seksual.
Pasien biasanya mengeluhkan anorgasmia dan penurunan libido. Efek samping
lainnya adalah keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, diare, dan
dispepsia. Pemberian SSRI disertai dengan MAOI, L-tryptophan, atau litium
dapat meningkatkan konsentrasi serotonin plasma menjadi toksik, sehingga
menyebabkan serotonin syndrome yang dapat berakibat fatal. Gejalanya
meliputi (1) diare, (2) restlessness, (3) agitasi ekstrim, hiperrefleks, instabilitas
otonom dengan perubahan tanda – tanda vital, (4) mioklonus, gejang,
hipertermia, (5) delirium, koma, status epileptikus, kolapsnya kardiovaskular,
dan kematian.6

Gambar 2.3 Sindrom Serotonin

2.5.1.4 Selective Serotonin – Norepinephrine Reuptake Inhibitor


SNRI bekerja dengan memblok uptake dari serotonin dan norepinefrin.
Yang membedakan SNRI dengan TCA adalah SNRI memiliki afinitas yang
lebih rendah terhadap reseptor lainnya, terutama muskarinik, histaminergik, dan
α serta β adrenergik receptor. Perbedaan ini sangat penting karena membuat
SNRI lebih dapat diterima daripada TCA. Contoh dari obat golongan SNRI
adalah venlafaxine, desvenlafaxine succinate, duloxetine, levomilnacipran, dan
milnacipran.
Venlafaxine dan desvenlafaxine dapat digunakan untuk terapi gangguan
depresi, gangguan cemas menyeluruh, gangguan panik, dan fobia sosial.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa modulasi pada serotonin dan
norepinefrin dapat memiliki efek antidepresan yang lebih baik dibandingkan jika
hanya mempengaruhi salah satu neurotransmitter saja. Efek samping dari
venlafaxine pada umumnya adalah keluhan mual, disfungsi seksual, sakit kepala,
insomnia, mulut kering, pusing, dan konstipasi. Meskipun efek sampingnya
17

seperti menunjukkan efek antikolinergik, namun obat ini tidak memiliki afinitas
terhadap reseptor muskarinik atau nikotinik. Obat ini dimulai dengan dosis 75
mg per hari selama 4 hari dan kemudian ditingkatkan menjadi 150 mg per hari.
Duloxetine diformulasikan sebagai obat dengan pelepasan yang lambat
untuk mengurangi resiko terjadinya mual. Konsentrasi di dalam plasma akan
mencapai puncaknya setelah 6 jam. Obat ini dapat digunakan untuk terapi
depresi, nyeri neuropati yang berhubungan dengan diabetes, dan mengatasi
inkontinensia urin. Efek samping pada obat ini kurang lebih sama dengan
venlafaxine. Rekomendasi dosis obat ini adalah 60 mg per hari.
Milnacipran, selain digunakan untuk antidepressan, dapat digunakan juga
sebagai terapi fibromyalgia, sedangkan levomilnacipran tidak direkomendasikan
untuk fibromyalgia. Jika dibandingkan dengan venlafaxine, milnacipran lima
kali lebih poten dalam menginhibisi uptake norepinefrin daripada inhibisi uptake
serotonin. Rekomendasi dosis milnacipran dimulai dengan 12,5 mg per hari
kemudian ditingkatkan menjadi 25 mg hingga mencapai dosis maksimal.
Levomilnacipran juga memiliki potensi yang lebih besar dalam menginhibisi
uptake norepinefrin dibandingkan serotonin dan tidak mempengaruhi uptake
dopamin atau neurotransmitter lain.6

2.5.1.5 Mirtazapine
Mirtazapine digunakan untuk terapi depresi dengan cara meningkatkan
norepinefrin dan serotonin tanpa efek yang signifikan terhadap uptake
monoamine atau inhibisi monoamine oksidase. Efek obat ini merupakan hasil
dari inhibisi reseptor α2-adrenergik dan blok dari reseptor postsinaps serotonin
tipe 2 (5-HT2) dan tipe 3 (5-HT3). Mirtazapine dapat mengurangi mual dan diare
karena efeknya terhadap reseptor serotonin 5-HT3. Efek samping yang umum
pada obat ini adalah peningkatan nafsu makan dan sedasi.
Mirtazapine dapat diserap dengan baik melalui administrasi oral. Waktu
paruh obat ini adalah 30 jam dan konsentrasi puncaknya dicapai setelah 2 jam.
Mekanisme dari obat ini adalah antagonis dari reseptor presinaptik sentral α2-
adrenergik dan blokade postsinaptik serotonin 5-HT2 dan 5-HT3. Antagonis
reseptor α2-adrenergik menyebabkan peningkatan pengeluaran norepinefrin dan
serotonin. Antagonis terhadap reseptor serotonin 5-HT2 dan 5-HT3 akan
18

menyebabkan berkurangnya rasa cemas, memperbaiki insomnia, dan stimulasi


nafsu makan.
Mirtazapine efektif untuk terapi depresi dan karena efek dari obat ini
dapat menyebabkan sedasi, maka obat ini dapat digunakan untuk pasien depresi
dengan insomnia yang parah. Mirtazapine seringkali dikombinasikan dengan
SSRI atau venlafaxine untuk augmentasi antidepressan atau untuk mencegah
terjadinya efek samping serotonergik seperti mual, agitasi, dan insomnia.
Sedangkan efek samping dari obat ini yang paling umum adalah somnolence,
oleh karena itu sebaiknya obat ini diminum sebelum tidur.6

Gambar 2.4 Efek samping dari Mirtazapine

2.5.1.6 Nefazodone dan Trazodone


Nefazodone dan trazodone memiliki mekanisme dan struktur yang dapat
digunakan sebagai terapi depresi karena memiliki efek antagonis reseptor 5-
HT2A. Trazodone memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan obat –
obat yang sebelumnya, namun obat ini dapat menyebabkan sedasi yang ekstrim
walaupun dalam dosis kecil sehingga membatasi efektivitas dari obat ini.
Trazodone diserap dengan baik melalui oral dan mencapai kadar puncak plasma
dalam 1 jam. Trazodone merupakan inhibitor lemah terhadap reuptake serotonin
dan antagonis poten terhadap reseptor serotonin 5-HT2A dan 5-HT2C. Metabolit
aktif dari trazodone adalah mCPP yang merupakan agonis dari reseptor 5-HT2C
dan memiliki waktu paruh 14 jam. Indikasi utama dari trazodone adalah untuk
terapi depresi, namun obat ini juga dapat digunakan untuk insomnia dan
gangguan ereksi.
Nefazodone merupakan analog dari trazodone. Nefazodone diharapkan
tidak menyebabkan efek samping terhadap fungsi seksual dan gangguan tidur
19

seperti pada SSRI, namun ternyata obat ini menimbulkan sedasi yang cukup
berat, mual, pusing, dan gangguan visual. Nefadozone dapat diabsorpsi dengan
baik melalui oral. Meskipun nefazodone merupakan inhibitor dari uptake
serotonin dan secara minimal juga menginhibisi uptake norepinefrin, namun
antagonis reseptor 5-HTA ini dapat memiliki efek anti ansietas dan anti
depressan. Nefazodone juga merupakan antagonis lemah terhadap α1-
adrenergik, sehingga terkadang dapat menyebabkan hipotensi orthostatik. Selain
untuk depresi, nefazodone juga dapat digunakan sebagai terapi gangguan panik,
gangguan cemas menyeluruh, dan nyeri kronis.6

Gambar 2.5 Efek Samping dari Nefazodone

2.5.1.7 Bupropion
Bupropion merupakan antidepressan yang menginhibisi reuptake dari
norepinefrin dan dopamine serta tidak memiliki efek terhadap sistem serotonin.
Oleh karena ini, efek samping seperti disfungsi seksual dan sedasi sangat
minimal pada obat ini. Terdapat tiga formulasi dari obat ini yaitu immediate
release (diminum 3 kali sehari), sustained release (diminum 2 kali sehari), dan
extended release (diminum 1 kali sehari). Bupropion yang immediate release
dapat diabsorpsi dengan baik di traktus gastrointestinal. Konsentrasi puncak
plasma bupropion dapat dicapai dalam 2 jam, pada sustained release mencapai 3
jam, dan pada extended release mencapai 5 jam.
Selain untuk depresi, obat ini dapat digunakan untuk gangguan bipolar,
attention deficit/hyperactivity disorder, detoksifikasi kokain, hypoactive sexual
desire disorder, menurunkan berat badan, dan orang yang berniat untuk berhenti
20

merokok. Efek samping yang dapat terjadi dari obat ini adalah sakit kepala,
insomnia, mulut kering, tremor, mual, agitasi dan iritabilitas. Pasien dengan
gangguan cemas atau panik tidak diperbolehkan diberikan obat ini. Bupropion
dapat menimbulkan gejala psikotik seperti halusinasi, delusi, dan katatonia
karena efek dari neurotransmisi dopaminergik.6

2.5.2 Tatalaksana Non Farmakologi


Terapi non farmakologi biasanya dianggap sebagai pendekatan terapeutik
yang lebih penting dalam praktek klinis. Beberapa terapi non farmakologi yang
dapat ddipertimbangkan pada pasien depresi yaitu psikoterapi, elektrokonvulsif,
terapi komplementer dan alternatif.
2.5.2.1 Psikoterapi
Psikoterapi dapat dipertimbangkan sebagai initial terapi pada depresi
ringan sampai sedang. Gambaran klinis yang dapat disarankan untuk
penggunaan psikoterapi yaitu adanya stresor psikososial, konflik intrapsikik,
dan kesulitan interpersonal. Pada pasien depresi terdapat beberapa macam
psikoterapi yang dapat dilakukan, dikatakan Cognitive Behavioral Therapy
dan psikoterapi interpersonal memiliki efikasi yang paling baik dalam
managemen depresi.7
 Cognitive Behavioral Therapy
Terapi kognitif yaitu terapi struktur jangka pendek yang
menggunakan kolaborasi aktif antar pasien dan terapis untuk mencapai
tujuan terapeutiknya yang ditujukan pada masalah saat ini serta
penyelesaiaanya. Gangguan depresif merupakan fokus utama terapi
kognitif. Disfungsi kognitif merupakan inti dari depresi, dan perubahan
afektif serta fisik dan ciri depresi yang terkait lainnya merupakan akibat
disfungsi kognitif. Tujuan terapi adalah memperbaiki depresi dan
mencegah kekambuhannya dengan membantu pasien mengidentifikasi dan
menguji kognisi negatif, mengembangkan skema alternatif dan lebih
fleksibel, serta melatih kognitif dan respons perilaku. Mengubah cara
berpikir orang dapat memperbaiki gangguan depresif.3
Terapi ini relatif singkat dan berlangsung selama 25 minggu. Terapi
kognisi di setiap awal sesi menyusun agenda, menugaskan pekerjaan
rumah untuk dilakukan di antara sesi, dan mengajarkan keterampilan baru.
21

Teknik kognitif mencakup empat proses, yang pertama mencetuskan


pikiran otomatik yaitu pikiran yang muncul atau reaksi emosional
seseorang terhadap peristiwa, yang kedua menguji pikiran otomatik yang
bertujuan mendorong pasien untuk menolak pikiran yang tidak akurat,
mengidentifikasi dugaan maladptif misalnya “agar saya bahagia saya harus
sempurna” hal seperti ini dapat menimbulkan kekecewaan dan depresi.
Terakhir menguji validitas dugaan maladptif dengan meminta pasien untuk
mempertahankan dugaannya lalu ditanyakan “Mengapa hal itu begitu
penting bagi anda?”
Teknik kognitif dan perilaku sangat terkait. Teknik perilaku menguji
dan mengubah kognisi maladaptif dan tidak akurat yang bertujuan
membantu pasien mengerti ketidak akuratan dugaan kognitif mereka dan
mempelajari strategi baru untuk menghadapi masalah tersebut. Hal ini
dapat dilakukan dengan mendorong pasien untuk bergantung kepada diri
sendiri seperti membereskan tempat tidur sendiri, berbelanja sendiri, dan
menyapkan makanannya sendiri.3
 Psikoterapi interpersonal
Psikoterapi interpersonal umumnya menghadapi hubungan
interpersonal saat ini bukannya masa lalu, berfokus pada konteks social
terdekat pasien. Terapi ini berupaya untuk menghalangi pembentukan
gejala dan disfungsi social yang terkait dengan depresi. Terapi ini
mengambil hubungan antara onset gangguan mood dengan konteks
interpersonal saat gangguan ini timbul. Psikoterapi interpersonal terdiri
dari tiga fase.3
Tujuan fase pertama adalah mengumpulkan riwayat psikiatrik
(menggali fungsi sosial saat ini), menegakkan diagnosis, dan mengenalkan
kerangka kerja terapi. Perhatiaan khusus diberikan mengenai peristiwa
interpersonal yang dapat mencetuskan depresi. Hubungan interpersonal
pasien juga ditinjau kembali (asaal keluarga, persahabatan, hubungan
dengan masyarakat). Keputusan penggunaan obat tergantung keparahan
gejala, respon sebelumnya terhadap intervensi, dan keinginan pasien.
Fase pertengahan diarahkan pada menyelesaikan area masalah.
Apabila terdapat perselisihan maka perselisihan diidentifikasi, rencana
tindakan dipilih, dan penyelesaian dicari. 3
22

 Psikoterapi supotif
Psikoterapi suportif memberikan pasien dukungan dari figur
berwenang selama periode sakit, ketidakpastiaan, atau dekompensasi
sementara. Bertujuan untuk memulihkan dan menguatkan oertahanan
pasien serta kapasitas integrasi pasien yang telah terganggu.3
 Terapi psikodinamik
Terapi psikodinamik didasarkan pada asumsi bahwa seseorang
mengalami masalah emosional karena belum terselesaikan, konflik yang
umumnya tidak disadari, yang sering berasal dari masa kanak-kanak.
Tujuan dari jenis terapi bagi pasien untuk memahami dan mengatasi
perasaan dengan lebih baik ini dengan berbicara tentang pengalaman.
Terapi psikodinamik diberikan selama setidaknya beberapa bulan,
meskipun dapat bertahan lebih lama, bahkan bertahun-tahun.3
 Terapi keluarga
Intervensi yang berfokus untuk mengubah interaksi di antara anggota
keluarga dan berupaya untuk memperbaiki fungsi keluarga sebagai suatu
unit yang terdiri dari individu-individu. Tujuan terapi ini yaitu untuk
menyelesaikan atau mengurangi konflik patogenik dan ansietas di dalam
susunan hubungan interpersonal.3

2.5.2.2 Elektrokonvulsif Terapi (Electro Convulsive Therapy / ECT)


Indikasi ECT paling sering digunakan untuk gangguan depresif berat
karena ECT terapi yang tercepat dan paling efektif tersedia. ECT harus
dipertimbangkan untuk digunakan pada pasien yang telah gagal dengan
pengobatan, tidak mentoleransi obat, memiliki gejala yang berat atau gejala
psikotik, memiliki kecendrungan bunuh diri atau membunuh. Onset dari
kerjanya dapat dilihat dalam 1 minggu pengobatan.3

2.5.2.3 Terapi Komplementer dan Alternatif

 Intervensi herbal, suplemen nutrisional


Dikatakan bahwa Hypericum perforatum (St John’s wort) merupakan
satu satunya herbal yang efektif dalam mengatasi depresi ringan sampai
sedang. Dari penelitian yang pernah dilakukan ditemukan bahwa St John’s
wort memiliki keefektifan yang sama dengan obat anti depresan dalam
23

menangani depresi ringan sampai sedang.Tetapi harus berhati-hati


memberikannya bersama dengan obat lain karena dapat meningkatkan kadar
plasma obat dan bisa memicu psikosis pada pasien yang menggunakan SSRI.
Selain St John’s wort terdapat terapi alternatif lain yaitu tryptophan/5-
hydroxytryptophan, S-adeno- syl methionine, inositol dan folat. Namun yang
paling efektif hanyalah St John’s wort, folat memiliki efek yang signifikan
apabila diberikan bersamaan dengan antidepresan. Selain itu terdapat juga
suplemen asam lemak omega-3 termasuk asam eicosapentaenoik (EPA) dan
asam dokosaheksanoik (DHA). Dikatakan bahwa suplemen EPA dan DHA
dengan dosis 5 kali lebih tinggi dari standar asupan normal memiliki efek
sebagai antidepresan atau mood stabilizer. Aromaterapi yang mengandung
minyak seperti bergamot (Citrus bergamia) dan geranium (Pelargonium
graveolens) dikatakan memiliki efek seperti antidepresan. Aromaterapy
dikatakan dapat meningkatkan mood namun diperlukan penelitian yang lebih
lanjut.8

 Intervensi fisik
Akupuntur dikatakan memiliki efektivitas yang sama dengan
antidepresan dalam mengatasi depresi. Akupuntur merupakan intervensi yang
kompleks karena kesulitan dalam mengetahui komposisi dan hubungannya
antara satu sama lain. Selain itu terdapat juga terapi cahaya yang digunakan
untuk mengobati depresi dan gangguan depresi. Terapi ini dilakukan dengan
menghadapkan pasien ke tempat dengan cahaya terang, biasanya antara 1 dan
3 jam. Pasien dapat membaca atau terlibat dalam aktivitas lain selama periode
paparan. Dalam penelitiannya Jorm et al. menemukan bukti untuk
kemanjuran terapi cahaya pada depresi.8

 Olahraga
Olahraga diketahui dapat meningkatkan mood. Dari penelitian yang
dilakukan dalam 4 bulan pada pasien depresi didapatkan hasil yang signifikan
dalam mengatasi depresi. Dan setelah 10 bulan dilakukan follow up
ditemukan angka relapse yang rendah. Untuk penjelasan lebih lanjut akan
dibahas di sub-bab berikutnya.8
24

2.6. Hubungan Aktivitas Olahraga dengan Gangguan Depresi


Meningkatnya kasus gangguan depresi dan anxietas di negara berkembang
maupun negara maju telah menjadi masalah kesehatan publik yang harus
mendapat pusat perhatian. Meskipun sudah terdapat pengobatan yang efektif,
jika dipertimbangkan dari sisi harga-efektivitas maka dari total biaya yang
dikeluarkan hanya 35-50% kasus depresi yang dapat sembuh.9-11 Oleh karena
demikian, beberapa pihak mulai mempertimbangkan strategi baru yang
ditujukan untuk mencegah terjadinya gangguan depresi. Sebagai contoh,
pedoman dari American Psychiatric Association (APA) telah
merekomendasikan bahwa aktivitas olahraga dapat dijadikan terapi adjuvan
antidepresan dan psikoterapi.11
Gangguan depresi merupakan penyebab disabilitas terbesar (40,5%) dari total
disability-adjusted life years (DALYs) akibat gangguan mental dan
penyalahgunaan obat. Aktivitas fisik dan olahraga dipercaya dapat menjadi
salah satu terapi penting untuk gangguan depresi ringan maupun sedang dan
harus diikutkan ke dalam pedoman tatalaksana.9 Sebuah studi meta-analisis
menemukan efek antidepresan yang signifikan dari olahraga pada pasien dengan
gangguan depresi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak
melakukan olahraga. Bahkan, terdapat indikasi bahwa olahraga memiliki
efektivitas yang sama dengan cognitive behavioral therapy dalam mengurangi
gangguan depresi. Efek antidepresan yang lebih tinggi dapat ditemukan pada
studi yang mengikutsertakan pasien dengan diagnosa gangguan depresi mayor.
Selain efek antidepresan, berdasarkan meta analisis yang mengkaji 400 uji coba
secara acak didapatkan adanya sedikit penurunan anxietas pada pasien. 12
Aktivitas fisik dan olahraga telah terbukti dapat menginduksi adaptasi
neurobiologis tubuh secara luas. Hasil pencitraan otak pada pasien dengan
depresi menunjukkan adanya perubahan struktural pada dareah hippocampus,
amygdala striatum, dan korteks frontal. Daerah-daerah tersebut saling
berkoneksi dan berinteraksi satu sama lain. Salah satu perubahan yang paling
sering ditemukan adalah penurunan volume dari daerah hippocampus. Suatu
hipotesa menunjukkan bahwa olahraga dapat meningkatkan neurogenesis otak
terutama pada daerah hippocampus. Neurogenesis tersebut diduga diperantarai
oleh 4 mekanisme, yaitu : B-endorfin, vascular endothelial growth factor, faktor
neutrofik dari otak, dan serotonin. Mekanisme lainnya yang mungkin terjadi
25

adalah peningkatan kadar endocannabinoid yang selanjutnya memberikan rasa


nyaman, analgesic, dan anxiolysis. Perubahan dari aksis adrenal
hipotalamopituitari yang menyebabkan peningkatan hormon adrenokortikotropik
(ACTH) dan penurunan produksi kortisol berkolerasi erat dengan aktivitas
olahraga. Kedua mekanisme tersebut juga mempunyai peran memberikan
dampak positif pada mood pasien. 11
Aktivitas olahraga yang di supervisi oleh tenaga profesional yang sudah
terlatih akan memberikan dampak positif yang paling besar serta tingkat drop
out yang lebih rendah. Hal ini berkaitan erat dengan tenaga professional yang
dapat memberikan program olahraga yang sudah dirancang dan disesuaikan
dengan masing-masing pasien sehingga memudahkan pasien untuk mengikuti
aktivitas olahraga secara maksimal.12 Selain itu, adanya motivasi dan dorongan
dari professional yang sudah terlatih akan meningkatkan kemauan dan
konsistensi pasien dalam melakukan aktivitas olahraga. Penemuan tersebut
berimplikasi pada pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan
mengkorporasikan tenaga professional dalam membuat program terapi pasien
dengan gangguan mental.12,13
Pada beberapa studi ditemukan bahwa olahraga aerobik dan olahraga
campuran (aerobik dan anaerobik) dapat memberikan efek yang besar. Olahraga
aerobik yang dimaksud mencakup berjalan di atas treadmill, berjalan di ruang
terbuka, atau bersepeda. Durasi program olahraga antara 4-12 minggu (3-4 sesi
perminggu) teruji efektif dalam meminimalisir gejala depresi. Penemuan
tersebut sejalan dengan pedoman NICE yang juga merekomendasikan
setidaknya memasukkan aktivitas olahraga setidaknya 3 kali dalam seminggu
untuk menjaga kesehatan mental maupun fisik. Masing-masing sesi
direkomendasikan minimal selama 30-40 menit.12,14 Dari suatu penelitian
didapatkan bahwa baik program aktivitas olahraga berkelompok maupun
individual memiliki tingkat efektivitas yang sama. Studi lain membandingkan
aktivitas olahraga intensitas tinggi (16 kkal/kg/minggu) dengan intensitas rendah
(4 kkal/kg/minggu). Didapatkan tingkat ketaatan yang lebih tinggi pada
kelompok dengan aktivitas olahraga intensitas rendah (99,4%) dibandingkan
dengan intensitas tinggi (63,8%). Hal tersebut diduga akibat lebih besarnya
respons afek negatif dari aktivitas olahraga dengan intensitas tinggi. Penemuan
tersebut juga didukung oleh studi yang membuktikan bahwa pasien yang
26

melakukan olahraga dengan intensitas tinggi tidak menambah efek protektif


terhadap terjadinya depresi di masa yang akan datang.9,14,15
Secara keseluruhan, pemberi pelayanan kesehatan harus merekomendasikan
pasien yang mengalami gangguan depresi untuk melakukan aktivitas olahraga
selain mengikuti terapi farmakologis. Beberapa prinsip penting yang dapat
menjadi acuan dalam memberikan program aktivitas olahraga adalah :
1. Semakin banyak aktivitas semakin baik
2. Durasi lebih penting dibandingkan intensitas (30-40 menit/hari, >3x
perminggunya)
3. Aktivitas olahraga yang tersupervisi oleh tenaga professional akan
memberikan hasil yang lebih baik.
4. Diusahakan untuk mengkorporasikan aktivitas fisik ke dalam kehidupan
sehari-hari (berjalan kaki atau menggunakan sepeda untuk berpergian,
menggunakan tangga untuk naik).
Penggunaan Teknik 5A (assess, Advise, Agree, Assist, Arrange) sering
direkomendasikan sebagai alat bantu yang berguna oleh dokter untuk
memberikan rekomendasi aktivitas olahraga yang terfokus dan cocok untuk tiap
pasien.11

2.6. Pencegahan Terhadap Depresi


Depresi merupakan salah satu masalah kesehatan yang mengkahwatirkan dan
diproyeksikan menjadi penyebab utama kecacatan di seluruh dunia pada tahun
2030. Secara umum, penelitian intervensi psikologis dan psikiatri berfokus pada
pengembangan dan intervensi kuratif. Namun, meskipun telah dilakukan
penelitian selama puluhan tahun, banyak pasien yang tidak memberikan respon
dari pengobatan yang ada. Selain itu, sebagian besar individu yang terkena
dampak di seluruh dunia, termasuk negara-negara berpenghasilan tinggi, banyak
yang tetap tidak terobati. Penelitian menunjukkan bahwa tingkat pengobatan
yang rendah ini disebabkan bukan hanya karena kesenjangan dalam ketersediaan
pengobatan, tetapi juga karena sikap seperti takut terhadap stigma masyarakat
atau memilih untuk memecahkan masalah sendiri.1
Intervensi psikologis mampu mengurangi risiko MDD sebesar 21% rata-rata
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Sebuah penelitian terbaru menunjukkan
bahwa intervensi tersebut juga dapat secara efektif disampaikan melalui internet
27

berbasis intervensi self-help. Penggunaan intervensi digital tidak hanya


menjangkau individu yang tidak bersedia untuk menggunakan intervensi tatap
muka, tetapi juga bertujuan untuk menyediakan pelayanan intervensi secara luas
di seluruh dunia.1
Metode yang paling tepat untuk mencegah penyakit multifaktorial ini adalah
menghilangkan faktor risiko yang diketahui. Namun, sebagian besar faktor
risiko depresi yang diketahui, seperti risiko keluarga, keadaan sosial ekonomi,
dan peristiwa kehidupan merupakan faktor risiko yang sulit atau tidak mungkin
dimodifikasi. Ada beberapa bukti yang muncul bahwa faktor gaya hidup, seperti
olahraga, dapat menjadi target potensial untuk strategi yang ditujukan untuk
mencegah depresi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jumlah keseluruhan
waktu yang dihabiskan untuk berolahraga per minggu dapat mencegah sejumlah
kasus depresi baru. Hasil menunjukkan bahwa setidaknya 12% kasus depresi
baru dapat dicegah jika semua orang dewasa berpartisipasi dalam setidaknya 1
jam latihan setiap minggu. Intensitas latihan tidak tampak penting, yang paling
efektif adalah yang mendorong dan memfasilitasi peningkatan aktivitas sehari-
hari, seperti berjalan kaki atau bersepeda.2
Depresi sering muncul untuk pertama kalinya pada masa remaja. Terdapat
banyak bukti bahwa program pencegahan depresi memiliki efektivitas dalam
mengurangi dampak depresi ketika disampaikan di lingkungan sekolah. Sekolah
adalah lokasi yang ideal untuk menyampaikan intervensi kesehatan mental untuk
mengatasi kesulitan-kesulitan, bukan hanya karena orang muda menghabiskan
lebih banyak waktu di sekolah, tetapi juga karena peran sekolah dalam di
perkembangan sosial, akademik, kognitif, emosional, dan perilaku. Pada
penelitian di Australia, penggunaan intervensi secara online dengan
menggunakan format game fantasi bertujuan membantu menguatkan
kemampuan dalam mengatasi masalah yang datang. Hasil menunjukkan bahwa
intervensi online yang disampaikan sebelum pengalaman yang menegangkan
dapat mengurangi berkembangnya depresi.3
Pada kelompok yang memiliki resiko tinggi terkena depresi dapat
menerapkan intervensi berbasis pendekatan perilaku kognitif. Berdasarkan hasil
penelitian yang ada dengan program pencegahan ini, gejala-gejala mereka, dan
juga risiko terkena gangguan depresi berkurang. Tetapi didapatkan hasil yang
tidak bermakna setelah dilakukan follow up 6 bulan setelah intervensi.4
28

Studi observasional menunjukkan bahwa orang-orang dengan diet sehat


cenderung jarang mengalami depresi. Penelitian menunjukkan bahwa komponen
makanan tertentu dan nutrisi dapat berdampak pada depresi. Misalnya, asupan
ikan yang tinggi telah dikaitkan dengan penurunan risiko depresi dalam studi
longitudinal. Sejumlah studi epidemiologi yang terbatas menunjukkan bahwa
kadar serum vitamin D yang lebih rendah dapat dikaitkan dengan onset depresi
dan skor depresi yang lebih tinggi. Asupan lebih rendah dari asam folat dan
vitamin B yang terutama ditemukan dalam sayuran hijau, buah, kacang-
kacangan dan produk gandum - juga dikaitkan dengan peningkatan risiko
depresi dan kekambuhan episode depresi. Suplementasi dengan vitamin B,
termasuk asam folat, dapat mengurangi risiko jangka panjang onset depresi
melalui faktor-faktor risiko metabolik (misalnya obesitas atau disfungsi kognitif)
untuk depresi. Suplementasi dengan asam folat, vitamin B12 dan B6 telah
terbukti mengurangi depresi berat pada beberapa tetapi tidak semua studi.5
Pada dasarnya terdapat tiga tipe intervensi dalam penyampaian program,
 Universal yaitu program intervensi pencegahan yang menargetkan grup
besar seperti anak sekolah, semua wanita hamil yang datang ke klinik
antenatal, atau semua pasien diabetes. Contohnya termasuk program
berbasis sekolah yang menargetkan kognitif, pemecahan masalah dan
keterampilan sosial anak-anak dan remaja dan program latihan untuk
orang tua. Beberapa program ini ditemukan dapat menurunkan tingkat
gejala depresi sebesar 50% atau lebih, satu tahun setelah intervensi.
 Selektif yaitu program intervensi pencegahan yang menargetkan
subkelompok beresiko tinggi terkena gangguan mental seperti anak dari
orang tua yang depresi, wanita hamil yang abusive relationship, atau
pasien diabetes dengan beberapa komplikasi. Intervensi ini menunjukkan
penurunan gejala depresi pada orangtua sekitar 30%. Selain itu, beberapa
intervensi selektif yang ditargetkan untuk mengatasi peristiwa-peristiwa
besar dalam kehidupan telah menunjukkan penurunan yang signifikan
dan jangka panjang dari tingkat gejala depresi yang tinggi, seperti
program untuk anak-anak yang orang tuanya telah meninggal atau
bercerai, mereka yang menganggur dan orang tua yang sakit kronis.
 Indicated yaitu program intervensi pencegahan yang menargetkan
individu yang memiliki gejala prodromal atau merker biologi terhadap
29

gangguan mental tetapi tidak memenuhi kriteria diagnosis. Program-


program semacam itu terutama menggunakan format kelompok untuk
mendidik orang yang berisiko untuk berpikir positif, menantang gaya
berpikir negatif dan meningkatkan keterampilan memecahkan masalah.
Program-program ini telah ditawarkan kepada kelompok pasien primary
care, remaja, dan beberapa kelompok lain yang diindikasikan. Dalam
kasus remaja yang dilakukan penelitian secara acak ditemukan bukti
dalam penurunan episode depresi, dengan penurunan onset dan
kekambuhan 40-70% pada tahun pertama setelah intervensi.6
Dalam penyampaian intervensi pencegahan dapat dilakukan dengan
pertemuan tatap muka yang diberikan oleh orang yang terlatih. Selain itu ada
juga self-help tools seperti buku atau program yang tersedia di internet (e-health)
dan dapat diakses melalui handphone atau tablet. Terdapat banyak manfaat
dalam penggunaan self-help tools seperti biaya rendah, privasi, stigma yang
lebih sedikit, kemudahan penggunaan. Berdasrkan penelitian dikatakan bahwa
intervensi e-kesehatan, terutama ketika ditawarkan dengan dukungan terapis
minimal, dapat seefektif intervensi tatap muka yang ditawarkan oleh terapis
yang berkualifikasi. Namun, kepatuhan pengguna intervensi e-health bisa rendah
ketika ditawarkan tanpa bimbingan terapis-terapis. Sehingga dibuatllah
intervensi campuran intervensi pencegahan e-health dengan beberapa panduan
oleh terapis yang terlatih.6
Dalam mendukung pencegahan depresi, WHO membuat kampanye
bertemakan “Depression: Let’s Talk” yang bertujuan agar masyarakat umum
mengetahui tentang depresi, penyebabnya dan konsekuensi yang mungkin,
termasuk bunuh diri, dan bantuan apa yang bisa atau dapat tersedia untuk
pencegahan dan pengobatan. Selain itu diharapkan agar penderita depresi
mencari bantuan dari keluarga, teman, ataupun kolega orang yang hidup dengan
depresi dapat memberikan dukungan. Inti kampanye ini adalah pentingnya
berbicara tentang depresi sebagai komponen penting dalam pemulihan. Stigma
seputar penyakit mental, termasuk depresi, tetap menjadi penghalang bagi
orang-orang yang mencari bantuan di seluruh dunia. Berbicara mengenai depresi
entah dengan anggota keluarga, teman atau profesional medis dalam kelompok
yang lebih besar, misalnya di sekolah, tempat kerja dan pengaturan sosial atau
dalam domain publik, di media berita, blog atau media sosial, dapat membantu
30

memecah stigma ini, yang pada akhirnya mengarah ke lebih banyak orang yang
mencari bantuan.7
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan
Kesimpulan dari referat ini antara lain:
- Depresi saat ini masih menjadi permasalahan kesehatan mental di dunia
dan Indonesia.
- Upaya pencegahan depresi dapat menurunkan masalah kesehatan mental
dan angka kematian di Indonesia. Pencegahan dapat dimulai dari masa
remaja karena masa remaja adalah masa yang rentan terhadap berbagai
masalah. Beberapa hal yang bisa dilakukan untuk pencegahan yaitu
dengan berolahraga, konsumsi makanan sehat seperti ikan, makanan yg
mengandung asam folat dan vit D dan vit B. Selain itu, beberapa cara
pencegahan depresi adalah pertemuan tatap muka atau dengan
menggunakan e-health.
- Aktivitas olahraga sebagai terapi tambahan telah teruji efektif dalam
mencegah dan memininalisir gangguan depresi. Olahraga aerobik
intensitas rendah yang disupervisi dan berdurasi 30-40 menit serta
dilakukan minimal 3x seminggu dapat dijadikan prinsip dalam memberi
terapi tersebut.

3.2. Saran
Saran dari referat ini antara lain:
- Kampanye “Depression: Let’s talk” dari WHO perlu disebarkan dan
diaplikasikan lebih luas agar dapat menjaring masyarakat yang mulai
mengalami gejala depresi, sehingga kejadian depresi dapat terdeteksi dan
ditangani lebih awal.
- Pemberi pelayanan kesehatan sebaiknya mempertimbangkan aktivitas
olahraga yang bersifat patient-oriented sebagai terapi adjuvan pasien
dengan gangguan depresi sehingga hasil yang dicapai dapat maksimal.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization [Internet]. Geneva: WHO; 2017. Judul; 2017 March
30 [cited 2018 Nov 5]. Available from: http://www.who.int/news-
room/detail/30-03-2017--depression-let-s-talk-says-who-as-depression-tops-list-
of-causes-of-ill-health
2. Depression and Other Common Mental Disorders: Global Health Estimates.
Geneva: World Health Organization; 2017.
3. Sadock BJ, Sadock VA, Ruiz P. Kaplan & Sadock’s Synopsis of Psychiatry 11th
ed. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2015. Chapter 8, Mood Disorder; p.333-354.
4. Elvira S. Buku Ajar Psikiatri. 3rd edition. Depok: Badan Penerbit FKUI, 2017.
5. Maslim, Rusdi. (2013). Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas PPDGJ-III
dan DSM-V. Cetakan 2 – Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran
Unika Atma Jaya. Jakarta: PT Nuh Jaya.
6. Sadock BJ, Sussman N, Sadock VA. Kaplan & Sadock’s pocket handbook of
psychiatric drug treatment. 7th ed. Wolters Kluwer; 2019.
7. Gautam S, Jain A, Gautam M, Vahia VN, Grover S. Clinical Practice Guidelines
for the management of Depression. Indian J Psychiatry. 2017;59(Suppl 1):S34-
S50.
8. Ravindran A, Balneaves L, Faulkner G, Ortiz A, McIntosh D, Morehouse R et
al. Canadian Network for Mood and Anxiety Treatments (CANMAT) 2016
Clinical Guidelines for the Management of Adults with Major Depressive
Disorder: Section 5. Complementary and Alternative Medicine Treatments.
FOCUS. 2018;16(1):85-94.
9. Rebar AL, Stanton R, Geard D, Short C, Duncan MJ, Vandelanotte C. A meta-
meta-analysis of the effect of physical activity on depression and anxiety in non-
clinical adult populations. Health Psychology Review. 2015 Aug 7;9(3):366–78.
10. Harvey SB, Øverland S, Hatch SL, Wessely S, Mykletun A, Hotopf M. Exercise
and the Prevention of Depression: Results of the HUNT Cohort Study. American
Journal of Psychiatry. 2018 Jan;175(1):28–36.
11. Carek PJ, Laibstain SE, Carek SM. Exercise for the Treatment of Depression
and Anxiety. The International Journal of Psychiatry in Medicine. 2011
Jan;41(1):15–28.

32
12. Schuch FB, Vancampfort D, Richards J, Rosenbaum S, Ward PB, Stubbs B.
Exercise as a treatment for depression: A meta-analysis adjusting for publication
bias. Journal of Psychiatric Research. 2016 Jun;77:42–51.
13. Stanton R, Reaburn P. Exercise and the treatment of depression: A review of the
exercise program variables. Journal of Science and Medicine in Sport. 2014
Mar;17(2):177–82.
14. Son JW. Exercise and Depression. Endocrinology and Metabolism.
2015;30(3):270.
15. Stubbs B, Koyanagi A, Schuch FB, Firth J, Rosenbaum S, Veronese N, et al.
Physical activity and depression: a large cross-sectional, population-based study
across 36 low- and middle-income countries. Acta Psychiatrica Scandinavica.
2016 Dec;134(6):546–56.

33

You might also like