Professional Documents
Culture Documents
(DEMAM TIFOID)
Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Tutorial Klinik
Disusun oleh:
Ainuzzahrah
4151151484
Perseptor:
FAKULTAS KEDOKTERAN
CIMAHI
2016
BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM
RUMAH SAKIT DUSTIRA/FAK KEDOKTERAN UNIVERSITAS JENDRAL ACHMAD YANI
CIMAHI
Jabatan/Pekerjaan : TNI
Alamat : Jakarta
Tgl. Diperiksa : 19 Mei 2016 Tgl. Keluar: 23 Mei 2016 Jam : 14.00
Diagnosa/Diagnosa Kerja :
2
A. ANAMNESA (Auto/Hetero)
KELUHAN UTAMA :
Demam
ANAMNESA KHUSUS :
Pasien mengaku bahwa sebelum sakit, pasien lebih sering makan di dapur
asrama dan jarang jajan sembarangan di pinggir jalan dan pasien tidak memiliki
riwayat sakit maag. Pasien menyangkal pernah mengalami keluhan yang sama
sebelumnya. Pasien sudah meminum obat penurun demam. Setelah meminum obat
penurun demam, demam sempat menurun tetapi tidak lama kemudian demam
kembali meningkat. Setelah dirawat di rumah sakit, keluhan pasien mulai berkurang.
Pasien mengaku bahwa beberapa teman di asrama mengalami keluhan yang sama.
Pasien selalu mencuci tangan sebelum makan dan menggunakan air mineral dalam
kemasan untuk minum sehari-hari.
3
a. Keluhan keadaan umum : Muntah-muntah : Tidak ada keluhan
Panas badan : Ada keluhan Diare : Tidak ada keluhan
Tidur : Tidak ada keluhan Obstipasi : Ada keluhan
Edema : Tidak ada keluhan Tenesmi ad ani : Tidak ada keluhan
Ikterus : Tidak ada keluhan Perubahan dalam BAB : Tidak ada keluhan
Haus : Tidak ada keluhan Perubahan dalam miksi : Tidak ada keluhan
Nafsu makan : Ada keluhan Perubahan dalam haid :-
Berat badan : Tidak ada keluhan
f. Keluhan tangan dan kaki :
b. Keluhan organ kepala : Rasa kaku : Tidak ada keluhan
Penglihatan : Tidak ada keluhan Rasa lelah : Tidak ada keluhan
Hidung : Tidak ada keluhan Nyeri otot/sendi : Tidak adakeluhan
Lidah : Lidah terasa pahit Kesemutan/baal : Tidak ada keluhan
Gangguan menelan : Tidak ada keluhan Patah tulang : Tidak ada
Pendengaran : Tidak ada keluhan Nyeri belakang sendi lutut: Tidak ada keluhan
Mulut : Tidak ada keluhan Nyeri tekan : Tidak ada keluhan
Gigi : Tidak ada keluhan Luka/bekas luka : Tidak ada
Suara : Tidak ada keluhan Bengkak : Tidak ada keluhan
4
B. STATUS PRAESEN
I. KESAN UMUM :
a. Keadaan Umum
Kesadaran : Compos Mentis
Watak : Kooperatif
Kesan sakit : Tampak sakit sedang
Pergerakan : Aktif
Tidur : Terlentang dengan 1 bantal
Berat Badan : 60 Kg
Tinggi Badan : 170 cm
Keadaan gizi : IMT 20,7
- Gizi kulit : Baik
- Gizi otot : Baik
Bentuk badan : Atletikus
Umur yang ditaksir : Sesuai
Kulit : Kering
b. Keadaan Sirkulasi
c. Keadaan Pernafasan :
Tipe : Thoracoabdominal
Frekuensi : 20x/menit
Corak : Normal
Hawa/bau nafas : Normal
Bunyi nafas : Tidak ada
5
II. PEMERIKSAAN KHUSUS :
a. Kepala :
1. Tengkorak
- Inspeksi : Simetris
- Palpasi : Tidak ada kelainan
2. Muka
- Inspeksi : Simetris, Ikterik (-), pucat (-)
- Palpasi : Tidak ada kelainan
3. Mata
Letak : Simetris
Kelopak mata : Tidak ada kelainan
Kornea : Jernih
Refleks kornea : +/+
Pupil : Bulat, isokor
Reaksi konvergensi : +/+
Lensa mata : Jernih
Sklera : Ikterik -/-
Konjungtiva : Anemis -/-
Iris : Tidak ada kelainan
Pergerakan : Normal, ke segala arah
Reaksi cahaya : Direk +/+, Indirek +/+
Visus : Tidak dilakukan pemeriksaan
Funduskopi : Tidak dilakukan pemeriksaan
4. Telinga
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Tidak ada kelainan
Pendengaran : Tidak ada kelainan
5. Hidung
Inspeksi : Tidak ada kelainan, rhinnorea (-), PCH (-)
Sumbatan : Tidak ada
Ingus : Tidak ada
6. Bibir
Sianosis : Tidak ada
Kheilitis : Tidak ada
Stomatitis angularis : Tidak ada
6
Rhagaden : Tidak ada
Perleche : Tidak ada
7. Gigi dan gusi : 87654321 12345678 caries
87654321 12345678 X tanggal
b. Leher
1. Inspeksi
- Trakea : Tidak terlihat ada deviasi
- Kel.tiroid : Tidak membesar
- Pembesaran vena : Tidak tampak dilatasi vena jugularis
- Pulsasi vena leher : Terlihat
2. Palpasi
- Kel. getah bening : Tidak teraba
- Kel. Tiroid : Tidak tampak pembesaran
- Tumor : Tidak ada
- Otot leher : Tidak ada kelainan
- Kaku kuduk : Tidak ada
3. Pemeriksaan Tekanan Vena Jugularis : 5+2 cmH2O
Hepato Jugular Refluks : Tidak ada
c. Ketiak
1. Inspeksi
7
- Rambut ketiak : Tidak ada kelainan
- Tumor : Tidak ada
2. Palpasi
- Kel. getah bening : Tidak teraba
- Tumor : Tidak ada
d. Pemeriksaan Thorax
Thorax depan :
1. Inspeksi :
Bentuk umum : Simetris
Sela iga : Tidak melebar
Sudut epigastrium : < 90°
Diameter frontal - sagital : Diameter frontal < diameter sagital
Pergerakan : Simetris
Muskulatur : Tidak ada kelainan
Kulit : Tidak ada kelainan, rose spit (-)
Tumor : Tidak ada
Ictus cordis : Tidak terlihat
Pulsasi lain : Tidak ada
Pelebaran vena : Tidak ada
2. Palpasi :
Kulit : Tidak ada kelainan
Muskulatur : Tidak ada kelainan
Mammae : Tidak ada kelainan
Sela iga : Normal, tidak melebar, tidak menyempit
Paru-paru : Kanan Kiri
- Pergerakan : Simetris Kanan = Kiri
- Vocal Fremitus : Normal Kanan = Kiri
Ictus Cordis : Teraba
- Lokalisasi : ICS V, Linea midclavicularis sinistra
- Intensitas : Normal
- Pelebaran : Tidak ada
- Thrill : Tidak ada
3. Perkusi :
Paru-paru : Kanan Kiri
Suara perkusi : Sonor Sonor
Batas paru-hepar : ICS V, linea midclavikularis dextra
8
Peranjakan : Satu sela iga Satu sela iga
Jantung :
Batas kanan : ICS IV, Linea sternalis dextra
Batas kiri : ICS V, Linea midclavicularis sinistra
Batas atas : ICS II, Linea sternalis Sinistra
4. Auskultasi
Paru-paru : Kanan Kiri
Suara pernafasan pokok: VBS Kanan = Kiri
Suara tambahan : Ronki -/-, wheezing -/-
Vokal Resonansi : Kanan = Kiri
Jantung :
Irama : Reguler
Bunyi jantung pokok : M1 > M2 P1 < P2
T1 > T2 A1 <A2A2>P2
Bunyi jantung tambahan : Tidak ada
Bising jantung : Tidak ada
Bising gesek jantung : Tidak ada
Thorax belakang :
1. Inspeksi :
Bentuk : Simetris
Pergerakan : Simetris
Kulit : Tidak ada kelainan, rose spot (-)
Muskulator : Tidak ada kelainan
2. Palpasi
Sela iga : Tidak ada kelainan
Muskulatur : Tidak ada kelainan
Vocal Fremitus : Normal, Kanan = kiri
3. Perkusi: Kanan Kiri
Perkusi perbandingan : Sonor Sonor
Batas bawah : Vertebra Th.X Vertebra Th.XI
Peranjakan : Satu sela iga Satu sela iga
4. Auskultasi :
Suara pernafasan : VBS Kanan = Kiri
Suara tambahan : ronki-/-, wheezing -/-
Vokal resonance : Normal Kanan = Kiri
9
e. Abdomen
1. Inspeksi :
Bentuk : Datar
Otot dinding perut : Tidak ada kelainan
Kulit : Tidak ada kelainan, rose spot (-)
Umbilikus : Tidak ada kelainan
Pergerakan usus : Tidak terlihat
Pulsasi : Tidak ada
Venektasi : Tidak ada
2. Auskultasi
Bising usus : (+) Normal
Bruit : Tidak ada
Lain-lain : Tidak ada kelainan
3. Perkusi :
- Suara perkusi : Tympani
- Ascites : Tidak ada
Pekak samping :-
Pekak pindah :-
Fluid Wave :-
4. Palpasi :
Konsistensi : Kenyal
Permukaan : Rata
Tepi : tajam
Nyeri tekan : Tidak ada
Lien : Tidak teraba, ruang Traube kosong
Pembesaran :-
Konsistensi :-
Permukaan :-
10
Incissura :-
Nyeri tekan :-
Tumor/massa : Tidak teraba
Ginjal : Tidak teraba, Nyeri tekan: -/-
Ballotement ginjal : -/-
g. Lipat paha :
11
A. poplitea (+/+)
A. femoralis (+/+)
l. Sendi-sendi :
S. Paratyphi AO : Negatif
S. Paratyphi BO : 1/80
12
IV. Resume
Pemeriksaan Fisik
Tanda vital
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu : 37,8 0C
Kepala
Konjungtiva tak anemis, sklera tak ikterik, PCH (-), sianosis perioral (-), tepi lidah
Leher
Cor:
Ictus Cordis tidak terlihat. Ictus Cordis teraba di bawah areola mamae. Batas
13
Pulmo:
Hepar: Teraba 3cm bac dan 4cm bpx, kenyal, rata, tepi tajam, NT (-)
Ekstremitas
Pemeriksaan laboratorium
2. Tes Widal
S. Typhi O : 1/320 S. Paratyphi AH : Negatif
S. Paratyphi AO : Negatif S. Paratyphi BH : 1/80
S. Paratyphi BO : 1/80 S. Paratyphi CH : Negatif
S. Paratyphi CO : Negatif
S. Typhi H : 1/160
V. Diagnosis Banding
1. Demam Tifoid
2. Malaria
3. Tb Milier
14
VI. Diagnosis Kerja
Demam Tifoid
1. Gall Culture
2. SADT dan tetas darah tebal / rapid test malaria
VIII. Tatalaksana
Non Farmakologi:
Farmakologi:
1. Kloramfenikol 4 x 500 mg hingga 7 hari bebas demam (min 14 hari)
3. Vit B complex 3 x 1
IX. Prognosis
15
DISKUSI STATUS
16
Diskusi Anamnesa Khusus
17
Pasien sudah meminum obat penurun Pengobatan tidak adekuat karena tidak
demam. Setelah meminum obat penurun mengobati etiologi
demam, demam sempat menurun tetapi
tidak lama kemudian demam kembali
meningkat.
Setelah dirawat di rumah sakit, keluhan Untuk mengetahui ada atau tidaknya
pasien mulai berkurang. perbaikan
Pasien mengaku bahwa beberapa teman di Salmonella dapat ditularkan secara
asrama mengalami keluhan yang sama. fekal oral
Pasien selalu mencuci tangan sebelum Untuk mengetahui faktor risiko host
makan dan menggunakan air mineral
dalam kemasan untuk minum sehari-hari
18
Kepala Penyulit
Konjungtiva tak anemis, sklera tak Anemia hemolitik: konjungtiva
ikterik, PCH (-), sianosis perioral (-), anemis, sklera ikterik
tepi lidah hiperemis (+), lidah tremor Hepatitis tifosa: sklera ikterik
(+)
Khas: typhoid tongue
Leher -
JVP 5+2 CmH2O, KGB tidak teraba
membesar
Thorax Rose spot timbul pada akhir minggu 1
rose spot (-) atau akhir minggu 3, berbentuk
Cor: makula berwarna jingga atau papula
Ictus Cordis tidak terlihat. Ictus datar dengan diameter 2-4 mm, timbul
Cordis teraba di bawah areola dalam kelompok dan bertahan 3-4
mamae. Batas jantung normal. hari, tersebar di daerah dada dan perut.
Bunyi jantung SI-S2 MR.
Pulmo:
Bentuk dan pergerakan simetris ,
Vocal fremitus kanan = kiri, sela
iga normal, Sonor kanan = kiri,
VBS kanan = kiri. Ronki -/-,
Wheezing -/-, Vocal resonance
kanan = kiri.
Abdomen Hapatomegali merupakan gejala yang
rose spot (-) sering dijumpai, biasanya timbul
Datar lembut, NT regio epigastrium setelah minggu 1 selama suhu tubuh
dan ileocaecal. BU (+) normal masih tinggi dan mengecil pada masa
Hepar: Teraba 3cm bac dan 4cm konvalesensi.
bpx, kenyal, rata, tepi tajam, NT (-)
Lien: Tidak teraba
Ekstremitas -
Edema (-), sianosis (-), clubbing
finger (-)
19
Diskusi Pemeriksaan laboratorium
Darah Rutin
Hb : 14,4 g/dL Dalam batas normal
Ht : 44,7% Dalam batas normal
Lekosit : 5,9 x 103/mm3 Dalam batas normal
Eritrosit : 5,1 x 106 juta/mm3 Dalam batas normal
3 3
Trombosit : 275 x10 /mm Dalam batas normal
Hitung Jenis
Basofil : 0,7 % Dalam batas normal
Eosinofil : 0,7 % Sedikit menurun (nilai rujukan 1.0-4.0)
Segmen : 61,6 % Dalam batas normal
Limfosit : 29,2 % Dalam batas normal
Monosit : 5,9 % Dalam batas normal
Tes Widal
S. Typhi O : 1/320 Infeksi akut Salmonella typhi
S. Paratyphi AO : Negatif
S. Paratyphi BO : 1/80
S. Paratyphi CO : Negatif
S. Typhi H : 1/160
S. Paratyphi AH : Negatif
S. Paratyphi BH : 1/80
S. Paratyphi CH : Negatif
Diskusi diagnosa
Demam Tifoid
Diagnosa Demam Tifoid didapatkan dari hasil anamnesis berupa adanya keluhan
berupa panas badan lebih dari 7 hari, panas badan naik bertahap seperti anak tangga
dan meningkat terutama pada sore atau malam hari, keluhan disertai sakit kepala
bagian frontal, perasaan lelah, rasa tidak enak di bagian perut, mual tanpa muntah,
tidak ada napsu makan, dan obstipasi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan bradikardi
relatif, tepi lidah hiperemis dan terdapat tremor pada lidah, hepatomegali, dan nyeri
tekan pada daerah epigastrium dan ileocaecal. Pada pemeriksaan penunjang lab
darah rutin didapatkan eosinofil menurun dan pemeriksaan widal S.Typhi O 1/320.
20
Diskusi usul pemeriksaan
- Gall culture. Gold standard untuk demam tifoid adalah kultur darah atau aspirasi
sumsum tulang. Kultur darah memiliki sensitivitas yang rendah hanya 40%-60%
bila dibandingkan dengan aspirasi sumsum tulang yaitu lebih daari 80%. Selain
kultur darah dan sumsum tulang, dapat juga dilakukan kultur tinja dan urine.
- SADT dan tetes darah tebal atau rapid test malaria. Pemeriksaan ini untuk
mengingkirkan kemungkinan adanya malaria.
Diskusi Pengobatan
Kloramfenikol merupakan salah satu obat pilihan untuk demam tifoid. Obat ini
bersifat bakteriostatik dan dapat mengikat 50S subunit dari ribosom dan
menghambat sintesa protein bakteri. Obat ini memiliki spektrum yang luas, dapat
menyerang bakteri gram positif dan gram negatif termasuk bakteri anaerob dan
ricketsia. Kloramfenikol baik diabsorbsi secara oral dan juga tersedia dalam bentuk
intravena. Kloramfenikol di metabolisme dalam hati. Kloramfenikol diberikan
dengan dosis 100mg/kgBB/hari dibagi dalam empat kali pemberian diberikan hingga
7 hari bebas demam. Selain itu pilihan obat lainnya adalah tiamfenikol 4 x 500 mg /
hari, ko-trimoksasol 2 x 2 tablet/ hari (untuk dewasa, setai tablet mengandung 80mg
trimetoprim dan 400mg sulfametoksasol).
Diskusi Prognosis
Quo ad vitam: ad bonam. Pada pasien ini tidak terdapat tanda-tanda yang
mengancam jiwa.
21
TINJAUAN PUSTAKA
DEMAM TIFOID
DEFINISI
Demam typhoid yang dikenal juga dengan typhoid fever atau typhus abdominalis,
adalah penyakit sistemik akut yang disebabkan infeksi bakteri gram negatif, genus
salmonella, yaitu salmonella typhi, yang masuk kedalam tubuh melalui makanan,
minuman atau bahan-bahan lain yang dicemari bakteri tersebut.
Penyakit ini merupakan penyakit endemis di negara-negara asia termasuk di
Indonesia, Afrika, dan Amerika Latin. Typhoid terdapat di seluruh dunia dan
penyebarannya tidak tergantung pada keadaan iklim. Penyakit ini lebih banyak di
jumpai di negara-negara berkembang di daerah tropis di mana penyediaan air bersih,
sanitasi lingkungan dan kebersihan individu kurang baik. Jadi selama persedian air
bersih belum memadai, sanitasi lingkungan masih buruk, serta sosial ekonomi dan
tingkat pendidikan yang masih rendah, maka insidensi penyakit ini akan tetap tinggi.
EPIDEMIOLOGI
- Case fatality rate demam tifoid pada 1996: 1,08% dari seluruh kematian di
indonesia.
- Survey kesehatan rumah tangga departemen kesehatan RI (SKRT Depkes RI)
tahun 1995 deman tifoid tidak termasuk dalam 10 penyakit dengan mortalitas
tinggi.
- Indonesia ; rata rata 900 ribu/tahun, 20 ribu kematian 91% pada usia 3-19 tahun
- 2007 : morbiditas 500/100.000 penduduk kematian 0,6-5%
- WHO : 22 juta/tahun, 216.000 kematian.
22
1. Truncus coeliacus – a.gastroduadenale
Pars superior (suplai darah sedikit): A.supraduodenale
Pars descendens, transversa, dan ascendens (suplai darah banyak): A
pancreoticoduodenale superior anterior et posterior
2. A.mesenterica superior, hanya untuk bagian distal: A pancreoticoduodenale
inferior anterior et posterior.
Jejunum dan ileum memiliki panjang sekitar 6 meter. Dua perlima bagian atas
merupakan jejunum dimulai dari juncture duodenojejunalis dan berakhir pada
juncture ileocaecalis. Lengkung-lengkung jejunum dan ileum melekat pada dinding
posterior abdomen melalui mesenterium yang di dalamnya dilalui oleh cabang-
cabang arteri dan vena mesenterica superior, pembuluh limf, dan saraf. Vaskularisasi
bersal dari Aa. jejenalis dan ilealis (cabang dari a.mesenterica superior) dan vena ke
Vv. Jejenalis dan ilealis bermuara ke v.mesenterica superior. Inervasi parasimpatis
oleh n.vagus sedangkan simpatis oleh n.splanchnicus minus (T10-11). Afferen via
serabut simpatis dan reffered pain dari dermatome T9-11 (regio umbilicus).
Histologi Ileum
Dinding ileum memiliki karakteristik yang sama dengan dinding saluran cerna
yang lain yaitu terdiri atas lapisan mukosa, submukosa, muskularis, dan
serosa/adventitia. Lapisan mukosa terdiri atas 3 lapisan yaitu jaringan epitel selapis
silindris, jaringan ikat lamina propria, dan jaringan otot polos pada muskularis
mukosa. Epitel mukosa terdiri atas berbagai jenis sel dengan karakteristik dan fungsi
yang berbeda. Beberapa epitel mukosa diantaranya adalah: sel absorbtif, sel goblet
(penghasil mukus untuk melumasi dan melindungi dinding sel), sel paneth, dan sel
M (epitel khusus yang melindungi folikel limfoid di plak peyer. Sel ini dapat
mengendositosis antigen dan mentransportnya kepada makrofag dan limfosit di
bawahnya). Peran mukosa sebagai proteksi terhadap mikroorganisme yaitu
menghasilkan IgA, taut erat/ tight junction antarsel epitel yang berperan sebagai
sawar, terdapat GALT (gut-assocoated lymphatic tissue) pada plak peyer. Kerusakan
mukosa pada reaksi hiperplasia plak peyer menyebabkan rusaknya kapier pada
lamina propria dan dapat menjadi sumber perdarahan yang pertama.
Submukosa merupakan lapisan jaringan ikat padat dengan banyak pembuluh
darah dan pembuluh limfe serta suatu pleksus saraf submukosa. Pada lapisan
submukosa ileum banyak terdapat kumpulan folikel limfoid yang disebut plak peyer
23
yang dapat menembus sampai ke mukosa. Kerusakan submukosa pada reaksi
hiperplasia plak peyer dapat menyebabkan rusaknya kapiler yang banyak terdapat
pada jaringan ikat submukosa sehingga dapat menjadi smber perdarahan yang kedua.
Muskularis merupakan lapisan jaringan otot polos yang tersusun sirkular (di
bagian dalam) dan longitudinal (di bagian luar). Pada lapisan muskularis terdapat
pleksus saraf mienterikus Auerbach.
Serosa adalah lapisan tipis jaringan ikat longgar yang kaya akan pembuluh darah,
pembuluh limfe, dan jaringan lemak, serta epitel selapis gepeng kelanjutan dari
peritoneum. Perforasi akibat reaksi hiperplasia plak peyer dapat menyebabkan
rusaknya kapiler yang banyak terdapat pada jaringan ikat serosa sehingga dapat
menjadi sumber perdarahan yang ketiga.
24
PATOFISIOLOGI
Penularan S.typhi terjadi apabila seseorang makan makanan atau minuman yang
tercemar kuman S.typhi, dimana kuman tersebut selanjutnya akan masuk ke lambung
dan di dalam lambung sebagian kuman akan musnah oleh asam lambung, dan
sebagian lagi masuk ke lumen usus halus.
Sebuah penelitian menunjukan bahwa apabila kuman yang masuk sebanyak 103
atau kurang belum dapat menimbulkan gejala pada penderita, tapi bila jumlahnya
mencapai 105 atau lebih menimbulkan gejala pada 27% sukarelawan. Semakin tinggi
jumlah kuman yang masuk, semakin besar kemungkinan seseorang terkena penyakit
demam tyhoid, apalagi apabila kuman tersebut termasuk jenis yang menghasilkan
antigen polisakarida kapsul, Vi.
Selanjutnya kuman akan menembus dinding usus halus masuk ke kelenjar
mensterika, ke duktus thoraksikus dan masuk ke peredaran darah menimbulkan
bakteriemi I. Kuman-kuman ini kemudian ditangkap oleh sel R.E.S. dari limpa, hati,
dan organ-organ lainnya. Setelah beberapa lama, kuman-kuman tersebut kembali
masuk peredaran darah menimbulkan bekteriemi II dan menyebar ke seluruh tubuh,
termasuk melalui kandung empedu dan aliran empedu, masuk ke dalam lumen usus
menembus hingga plaque payeri.
Kelainan patologik utama terjadi di usus halus, terutama di ileum bagian distal.
Pada minggu pertama penyakit, terjadi hiperplasia plaque payeri, disusul di minggu
kedua terjadi nekrosis, dan dalam minggu ketiga terjadi ulserasi paque payeri dan
selanjutnya pada minggu keempat terjadi penyembuhan dengan meninggalkan
sikatriks. Ulkus yang terjadi berbentuk bulat lonjong dengan sumbu memanjang
sejajar sumbu usus. Ulkus dapat mengakibatkan timbulnya perdarahan bahkan
sampai perforasi dan menimbulkan peritonitis.
Hepar membesar dengan infiltrasi limfosit, sel plasma dan mononuklear, serta
nekrosis fokal. Sistem RES menunjukkan hiperplasia dan kelenjar-kelenjar
mesenterial dan limpa membesar. Kelainan patologik dapat pula ditemukan pada
ginjal, paru, jantung, selaput otak, otot, dan tulang.
25
PENDEKATAN DIAGNOSTIK
Gambaran Klinis
Demam tifoid merupakan penyakit sistemik dengan keluhan yang beragam. Oleh
sebab itu, akan sangat membantu apabila berbagai keluhan/gejala klinis tersebut
dapat dikumpulkan dan dipilih berdasarkan kekerapannya.
Gambaran Laboratorium
1. Pemeriksaan serologik darah (Tes Widal)
Tes widal dilakukan untuk melihat ada atau tidaknya kenalkan titer antibodi
terhadap S. Typhi. Dalam menilai tes widal perlu diperhatikan hal hal yang
mempengaruhinya:
- Saat pemeriksaan tes widal
Antibodi terhadap S. Typhi paling cepat timbul pada hari ke-5, umumnya pada
hari ke 7-10, dan mencapai puncaknya pada minggu III.
26
- Pengobatan yang telah diberikan
Pengobatan dini dengan kloramfenikol atau ampisilin, serta kortikosteroiddan
immunosupresif lainnya, dapat menghambat pembentukan antibodi.
- Vaksinasi dengan TAB (Typus, paratypus A & B)
Penderita dengan vaksinasi TAB, titer H akan meninggi dan menetap selama
bertahun-tahun. Penderita yang pernah divaksinasi : terdapat penginggian titer
O dengan puncak pada minggu III
Penderita yang belum pernah divaksinasi : kenalkan titer H maupun O sebesar
1/50 pada akhir minggu I sudah mencurigakan, titer O 1/100 sudah sangat
mencurigakan.
- Keadaan penderita
Gizi dan keadaan penderita yang buruk mempengaruhi pembentukan antibodi
sehingga tes widal dapat negatif atau tetap rendah.
- Insidensi menurut daerah
Tes widal yang bernilai diagnostik apabila didapatkan kenaikan 4x dari titer
semula atau nilai yang tinggi (1/160) pada pemeriksaan tunggal.
2. Gall Culture
- Darah
Pada minggu pertama hingga 10 hari biakan darah akan memberikan hasil yang
positif pada 70 – 90% penderita. Insiden ini akan menurun dengan bertambah
lamanya penyakit sehingga pada minggu ketiga hanya di dapatkan 40 – 50%
penderita yang menunjukan kuman dalam darahnya.
- Biakan tinja
Biasanya negatif pada minggu I, tapi postif pada 75% penderita selama minggu
ke-3, sedangkan pada minggu ke-8 hanya positif pada 10% penderita.
- Biakan sumsum tulang
Setelah menghilang dari dalam darah, S. Thyphi dapat bersembunyi di dalam
sumsum tulang sehingga dapat diisolir dari sumsum tulang, bahkan setelah terapi
antimikroba.
3. Uji Tubex
Mudah dilakukan dan hanya membutuhkan waktu singkat untuk dilakukan
(kurang lebih 5 menit)). Untuk meningkatkan spesivisitas, pemeriksaan ini
menggunakan antigen O9 yang hanya ditemukan pada Salmonellae seragroup D
dan tidak pada mikroorganisme lain.
27
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen, meliputi:
- Tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas.
- Reagen A, yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen
S. typhi O9.
- Reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi
dengan antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9.
Interprestasi basil uji Tubex
Skor interpretasi
<2 Negatif Tidak menunjukan infeksi tifoid aktif
3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi pengujian,
apabila masih meragkan lakukan pengulangan beberapa
hari kemudian.
4 – 5 Postif Menunjukan infeksi tifoid aktif
>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid aktif
4. Uji Typhidot
Menggunakan antigen seberat 50 kD untuk mendeteksi antibodi IgM dan IgG
terhadap S.typi.
5. IgM Dipstick
Uji ini secara khusus mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap S.typi pada
spesimen serum atau whole blood.
6. Ureum & Kreatinin
Didapatka peninggian kadar bila terdapat penyulit ginjal seperti Nephrotyposa,
pyelonephritis.
7. SGOT/SGPT
Didapatkan peninggian kadar pada Hepatitis Typosa.
PENATALAKSANAAN
Terapi umum
1. Tirah Baring
Penderita demam typoid perlu dirawat untuk isolasi, observasi dan pengobatan.
Penderita harus tirah baring sampai minimal 7 hari bebas demam, atau bahkan
sebaiknya sampai akhir minggu III, karena resiko komplikasi berupa perdarahan
dan perforasi usu masih cukup besar dalam minggu ini. Sedangkan untuk
mobilisasi, harus dilakukan secara bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan
penderitaan.
Ada berbagai pendapat mengenai cara-cara mobilisasi penderita, diantaranya:
28
Di RS Mangkun Kusumo
- Duduk (pada waktu makan) dilakukan pada hari ke 2 bebas panas
- Berdiri dilakukan pada hari ke 7 bebas panas
- Berjalan dilakukan pada hari ke 10 bebas panas
Terapi Khusus
Yang dapat digunakan untuk pengobatan demam typoid: Kloramfenikol, Tiamfenikol,
Ko-trimoksasol, Ampisili, dan Amoksisilin, 4 fluoroquinolone seperti Ciprofloxacin
atau Ofloxacin, Ceftriaxone (golongan sefalosporin generasi ketiga)
1. Kloramfenikol
Kloramfenikol Merupakan otat pilihan utama untuk pengobatan demam tifoid di
Indonesia. Dosis untuk orang dewasa 4 x 500 mg per hari baik oral maupun
intravena, diberikan hingga 7 hari bebas demam. Efek samping obat: Supresi Sel
Darah Merah.
2. Tiamfenikol
Dosis dan efektivitasnya sama dengan kloramfenikol. Efek samping obat lebih
rendah dibandingkan kloramfenikol.
3. Ko-trimoksasol
Dosis untuk orang dewasa 2 x 2 tablet / hari (setiap tablet mengandung 80 mg
trimetoprim dan 400 mg sulfametoksasol).
4. Ampisilin dan Amoksisilin
Efektivitas obat-obat ini lebih kecil dibandingkan dengan kloramfenikol.
Diberikan pada pasien dengan leukopeni atau ibu hamil dan menyusui, dengan
dosis 75 – 150 mg/kg BB/hari samapi 7 hari bebas demam. Demam akan turun
setelah 7-9 hari pengobatan.
5. 4 fluoroquinolone seperti ciprofloxacin atau ofloxacin
29
Untuk usia dewasa di atas 17 tahun, pada kasus “multidrug resistance”. Obat ini
dilaporkan efektif untuk demam tifoid.
6. Ceftriaxone
Juga digunakan pada kasus “multidrug resistance”, dan dapat diberikan kepada
anak-anak.
Pencegahan
Secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu:
1. Identifikasi dan eradikasi S.typhi pada pasien tifoid asimtomatik, karies, dan akut.
Sasaran aktif lebih diutamakan pada populasi tertentu seperti pengelola sarana
makanan-minuman baik tingkat usaha rumah tangga, restoran, hotel, sampai
pabrik beserta distributornya.
2. Pencegahan transmisi langsung dari penderita terinfeksi S.typhi akut maupun
karier. Kegiatan ini dilakukan di rumah sakit, klinik, maupun di rumah dan
lingkungan sekitar orang yang telah diketahui penghidap kuman S.typhi.
3. Proteksi pada orang yang berisiko tinggi tertular dan terinfeksi. Sarana proteksi
pada populasi ini dilakukan dengan cara vaksinasi tifoid di daerah endemik
maupun hiperendemik.
- Vaksin oral (Ty21a) Vivotif Berna. Vaksin ini tersedia dalam kapsul yang
diminum selang sehari dalam 1 minggu (3kali), diminum 1 jam sebelum makan.
Vaksin ini kontraindikasi pada wanita hamil, ibu menyusui, demam, sedang
mengkonsumsi antibiotik. Lama proteksi 5 tahun.
- Vaksin perenteral sel utuh: K vaccine dan L vaccine. Dosis untuk anak 6-12 tahun
0,25 ml dan anak 1-5 tahun 0,1 ml yang diberikan 2 dosis dengan interval 4
minggu. Efek sampingnya adalah demam, nyeri kepala, lesu, bengkak pada
tempat suntikan.
- Vaksin polisakarida Typhim Vi Aventis Pasteur Merrieux. Vaksin yang diberikan
secara intramuscular dan booster setiap 3 tahun.
30
REFERENSI
1. Katzung, BG. Basic & Clinical Pharmacology, 9th Edition. Mc. Graw Hill co.
USA: 2004.
2. Miller SI, Pegues DA, Salmonella Species in Mandell, Bennett and Dolin
(Editors). Principles and Practice of Infectious Diseases 5th Edition. New York
Churchill Livingstone: 2000. 2344-2362.
3. Pegues DA, Miller SI. Salmonellosis in Fauci AS., Braunwald E, Kaspr DL,
Hauser SL, Longo DL, Jameson JL and Loscalzo J (Editors). Harrison’s
Principles of Internal Medicine 17th Edition. New York, McGraw Hill Medical:
2008. 956-962.
4. Setiawan B, Perkembangan Terbaru Dalam Penatalaksanaan Demam Tifoid
dalam Setiati S, Syam AF, Laksmi PW, Sumaryono (Editors). Naskah Lengkap
Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 14, Jakarta. Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam FKUI: 2009. 181-193.
5. Widodo D, Demam Tifoid dalam Sudoyo W, Setiyohadi B, Alwi I, Simaadibrata
M, Setiati S (Editirs). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi ke 5, Jakarta. Pusat
Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam: 2009. 2797-2806.
6. Zulkarnain I. Demam Tifoid: Perkembangan Terbaru dalam Diagnosis dan
Terapi dalam Sumaryono, Stiati S, Gustaviani R, Sukrisman L, Sari NK, Lydia
A, Wijaya IK, Laksmi PW (Editors) Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah
Tahunan Ilmu Penyakit Dalam 11, Jakarta. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit
Dalam FKUI: 2006. 35-43.
31