You are on page 1of 33

MIPA/BIOLOGI

PENERAPAN TEKNOLOGI MUTAGENESIS UNTUK KETAHANAN TERHADAP


LAYU FUSARIUM PADA CABAI MERAH (Capsicum annuum L.)

LAPORAN PENELITIAN
HIBAH BERSAING

Ir. MADE RIA DEFIANI, MSc


Ir. MADE PHARMAWATI, MSc, PhD
Dr. Ir I KETUT SUADA, MP

Dibiayai dari Dana DIPA RM Universitas Udayana Tahun Anggaran 2012 dengan Surat
Perjanjian Kontrak No 21.17/UN14/LPPM/KONTRAK/2012 tanggal 19 Januari 2012

UNIVERSITAS UDAYANA
NOPEMBER 2012

 
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN PENELITIAN HIBAH BERSAING

1. Judul : Penerapan Teknologi Mutagenesis Untuk Ketahanan Terhadap


Layu Fusarium Pada Cabai Merah (Capsicum annuum L.)
2. Ketua peneliti
a. Data Pribadi
a. Nama lengkap : Ir. Made Ria Defiani, MSc.(Hons)
b. Jenis Kelamin :P
c. NIP/Golongan : 19660820 199303 2 002?IVa
d. Strata/Jabatan Fungsional : S2/Lektor Kepala
e. Jabatan Struktural :
f. Fakultas/Jurusan :MIPA/Biologi
g. Bidang Ilmu : Fisiologi Tumbuhan
h. Alamat Kantor : Jurusan Biologi, Universitas Udayana, Kampus Bukit
Jimbaran
i. Telepon/Faks/E-mail : 701954/703137
j. Alamat Rumah : Jl. Gandapura no 26 Denpasar
k. Telepon/Faks : (0361) 7400612)

b. Mata Kuliah Yang diampu dan Jumlah sks


a. Mata Kuliah I :Fisiologi Tumbuhan 4 sks
b. Mata Kuliah II :Hortikultura 3 sks
c. Mata Kuliah III : Fitohormon 3 sks
d. Mata Kuliah IV : Kultur Jaringan Tumbuhan 2 sks
c. Penelitian terakhir
a. Judul Penelitian I : Manipulasi warna bunga pada tanaman kembang seribu
(Hydrangea macrophylla) dengan pengaturan pH tanah
b. Judul Penelitian II : Perubahan Genetik Tanaman Pacar Air (Impatiens
balsamina L.) Dengan Pemberian Kafein Th 1
c. Judul Penelitian III : Perubahan Genetik Tanaman Pacar Air (Impatiens
balsamina L.) Dengan Pemberian Kafein Th 1
3. Lokasi penelitian : Persawahan di Desa penasan Klungkung
4. Jangka Waktu Penelitian : tahun ke-1 dari usulan 2 tahun

Mengetahui Denpasar, 6 Nopember 2012


Dekan Fakultas MIPA Ketua Peneliti

(Ir. Anak Agung Gde Raka Dalem, MSc(Hons)) (Ir. Made Ria Defiani, MSc.(Hons))
NIP. NIP 196507081992031000 NIP. 196807071993032001

Menyetujui
Ketua Lembaga Penelitian Universitas Udayana

(Prof. Dr. Ir. I Ketut Satriawan, MT)


NIP 196407171989031001

iii 

 
RINGKASAN

Penelitian ini merupakan bagian pertama dari dua bagian penelitian mengenai
mutagenesis pada cabai merah (Capsicum annuum L.). Penelitian tahun pertama ini
bertujuan meningkatkan keragaman genetik tanaman cabai merah melalui induksi mutasi
dengan EMS (Ethylmetane sulphonate).
Cabai merah merupakan salah satu komoditas sayuran yang bernilai ekonomi tinggi.
Cabai merah dimanfaatkan sebagai bumbu masakan serta bahan obat-obatan. Produktivitas
cabai merah dipengaruhi oleh ketersediaan lahan, cuaca serta serangan hama dan penyakit.
Keragaman genetik cabai merah sangat diperlukan sebagai bahan seleksi untuk
mendapatkan tanaman yang tahan terhadap penyakit dan hama serta memiliki produktivitas
yang tinggi. Salah satu cara untuk meningkatkan keragaman genetik tanaman adalah dengan
induksi mutasi yang dapat dilakukan menggunakan EMS.
Penelitian dibagi menjadi dua topik yaitu pengaruh EMS pada perkecambahan dan
pengaruh EMS pada penelitian lapangan. Perkecambahan dilakukan dalam petridish. Tahap
meliputi tahap perlakuan benih dengan EMS, persemaian, penanaman di lapang dan
pengamatan. Biji yang telah direndam dalam air selama 6 jam diberi perlakuan EMS pada
konsentrasi 0.5%, 0.75% dan 1% selama 6 jam. Biji-biji tersebut selanjutnya disemai dalam
oker kertas. Setelah bibit memiliki 2 daun, maka bibit dipindahkan ke lapang dengan disain
RAK 4 kali ulangan. Pengamatan dilakukan terhadap persentase perkecambahan serta
karakter morfologi yang meliputi tinggi tanaman dan jumlah cabang; karakter reproduktif
yaitu umur 50% tanaman berbunga, viabilitas polen dan jumlah buah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi penghambatan perkecambahan cabai
besar akibat pemberian EMS. Hal ini disebabkan terhambatnya proses fisiologis dan biologis
untuk perkecambahan biji yang meliputi aktivitas enzim katalase dan lipase, ketidakseimbangan
hormon dan terhambatnya proses mitosis. Panjang tunas dan akar juga dipengaruhi oleh EMS.
Semakin tinggi konsentrasi EMS, panjang tunas dan akar semakin kecil.
iv 

 
Tinggi tanaman hasil perlakuan EMS setelah berumur 12 minggu dan 16 minggu
lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman mengembangkan
adaptasi terhadap pengaruh EMS, sehingga dapat tumbuh menjadi lebih tinggi dibanding
tanaman kontrol. Jumlah cabang juga bertambah pada tanaman hasil perlakuan biji dengan
EMS, tetapi tidak ada perbedaan di antara konsentrasi EMS yang digunakan. Tanaman
dengan perlakuan EMS memiliki umur 50% tanaman berbunga yang lebih cepat disbanding
kontrol. Beberapa karakter yang ditunjukkan memiliki nilai positif yang dapat digunakan
dalam program penuliaan tanaman cabai besar.

 
SUMMARY

Research on application of mutagenesis technology to obtain resistency to fusarium


on Capsicum annuum L. consisted of two parts. In the first part was development and
characterization of M1 population. This research aimed to increase genetic diversity of C.
annuum through induced mutation using EMS (Ethylmethane sulphonate).
C. annuum is one of the vegetable crops that has high economic value. It is used as
food ingridients and component of medicine. The productivity of C annuum is influenced
by availability of land, climate as well as pest and diseases. Improvement of genetic
diversity of C. annuum is needed as source of individual selection to obtain plant that
resistant to pest and diseases and has high productivity. One method to increase plant
genetic diversity is using induced mutation with EMS.
This research was divided into two topics which were the influence of EMS on C.
annuum germination and influence of EMS on C. annuum in field experiment. Germination
was done in petridish. The research steps include seed treatment with EMS, seedling
development, seedling transfer to filed and observation. Seeds that have been soaked in
water for 6 hours were then treated with different concentration of EMS ( 0.5%, 0.75% and
1%) for 6 hours. Seeds were then planted on seedling development tubes made from paper.
After seedlings have 2 leaves, the seedlings were transferred to field. The experiment was
done using block randomized design usng 4 repeatations. Observation on percentage of
germination was done as weel as length of shoot and root. Morphplogical characters such as
plant height, number of branch, and time of 50% flowering, pollen viability were conducted.
Results showed that there was an inhibition in the germination of C. annuum when
treated with EMS. This inhibition was due to the inhibition of physiological process for
germination including inhibition of enzyme catalase and lipapase activities, hormone
imbalance and inhibition of mitosis. Shoot length and root legth wre also inhibited by EMS.
Plant height of plants derived from EMS-treated seeds at age of 12 weeks and 16
week was higher than that of control plants. This result shows that plants were able to
developed adaptation against the effect of EMS, so that they grew higher than control plants.
The number of branch increased because of EMS treatments, but there was no different

vi 

 
between EMS concentrations used. The number of branch was higher in plant from EMS-
treated seeds than that in control plants. Plants with EMS treatments showed earlier time for
50% flowering as compared to control plants. Several characters that showed positive value
effect can be used for further study of C. annuum breeding program.

vii 

 
PRAKATA

Penelitian dengan judul ”Penerapan Teknologi Mutagenesis Untuk Ketahanan


terhadap Fusarium Pada cabai Merah (Capsicum annumm L.)” dilakukan untuk menambahs
keragaman genetik tanaman cabai merah sebagai dasar seleksi untuk ketahanan sifat
terhadap penyakit.
Pada penelitian ini, teknik induksi mutasi dengan EMS (Ethylmethane sulfonate(
digunakan dengan cara merendam benih cabai merah pada konsentrasi EMS yang berbeda.
Pengamatan s=dilakukan terhadap beberapa karakter seperti perkecambahan, tinggi
tanaman, jumlah cabang, viabilitas polen, dll.
Penelitian ini Dibiayai oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian
Pendidikan Nasional, sesuai dengan surat perjanjian pelaksanaan kegiatan no
21.17/UN14/LPPM/Kontrak/2012. Untuk itu tim peneliti mengucapkan banyak terimakasih.
Tim peneliti juga mengucapkan terimakasih kepada petani di Desa Penasan,
Kabupaten Klungkung atas bantuan pemeliharan tanaman. Terimakasih juga disampaikan
kepada pimpinan Lab Bioteknologi Universitas Udayana, atas ijin penggunaan fasilitas yang
ada. Tak lupa puji syukur dipanjatkan kepada Tuhan, atas berkatnya sehingga penelitian ini
dapat terlaksana dan laporan hasil penelitian dapat diselesaikan.
Akhirnya tim peneliti berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi
yang memerlukan dan dapat menginspirasi penelitian-penelitian selanjutnya.

viii 

 
DAFTAR ISI

RINGKASAN…………………………………………………………………… iii
SUMMARY……………………………………………………………………… v
PRAKATA………………………………………………………………………. vii
DAFTAR TABEL……………………………………………………………….. ix
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………………. x
PENDAHULUAN……………………………………………………………….. 1
Latar Belakang……………………………………………………………………. 1
Tujuan Khusus……………………………………………………………………. 2
Urgensi Penelitian………………………………………………………………… 2
STUDI PUSTAKA……………………………………………………………….. 4
Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L.)……………………………………. 4
Penyakit Layu Fusarium Pada Cabai Merah……………………………………… 4
Pemuliaan Mutasi…………………………………………………………………. 5
Pemuliaan Mutasi Dengan Ethyl Methanesulphonate…………………….. 6
Evaluasi Hasil Mutagenesis Tanaman....................................................................... 7
Penelitian Induksi Mutasi yang Telah Dilakukan………………………………….. 7
METODE PENELITIAN………………………………………………………….. 10
Waktu dan Tempat…………………………………………………………………. 10
Bahan………………………………………………………………………………. 10
Perlakuan Pemberian Mutagen…………………………………………………….. 10
Uji Perkecambahan………………………………………………………………… 10
Pemeriksaan karakter Morfologi…………………………………………………... 11
Analisis Data……………………………………………………………………… 11
HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………………….. 12
Pekecambahan…………………………………………………………………….. 12
Pengamatan di Lapang…………………………………………………………… 14
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………... 18
LAMPIRAN………………………………………………………………………. 21

ix 

 
DAFTAR TABEL

No Hal.
1. Jumlah Biji Berkecambah Akibat Pemberian Sodium Azida………… 8
2. Persentase Perkecambahan Akibat Pemberian EMS…………………. 12
3. Panjang Hipokotil dan Panjang Akar…………………………………. 13
4. Persentase Tanaman dengan Daun yang Menyatu……………………. 14
5. Rata-rata tinggi tanaman pada umur 6, 8, 12 dan 16 minggu setelah semai 15
6. Umur 50% Tanaman Berbunga dan Viabilitas Polen…………………. 16
7. Jumlah Cabang dan Jumlah Buah pada Umur 16 Minggu Setelah Semai 16

 
DAFTAR GAMBAR

No Hal
1. Penampilan kecambah cabai merah yang berasal dari biji
yang direndam NaN3………………………………………………………………………. 8
2. Tanaman cabai dengan daun kimera yang diperoleh
pada perlakuan 5mM NaN3……………………………………….. 9
3. Perbandingan Penampilan Kecambah Kontrol dan Perlakuan…….. 13
4. Tanaman Dengan Daun yang Menyatu……………………………. 14
5. Beberapa variasi bentuk dan ukuran buah cabai besar…………….. 17

xi 

 
BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Cabai merah (Capsicum annuum L.) merupakan tanaman sayuran yang penting di
Indonesia. Cabai merah memiliki banyak kandungan gizi dan vitamin. Selain dimanfaatkan
sebagai bumbu masak atau bahan campuran pada berbagai industri pengolahan makanan dan
minuman, cabai juga digunakan untuk pembuatan obat-obatan (Setiadi, 1996). Produktivitas
cabai menurun 40% pada akhir tahun 2010 (Republica.co.id). Menurunnya produktivitas
cabai ini menyumbang sebesar 0.22% dalam menyebabkan inflasi di Indonesia pada tahun
2010 (Badan Pusat Statistik, 2011).
Salah satu penyebab menurunnya produktivitas cabai rawit adalah perubahan iklim
seperti musim hujan yang berkepanjangan (Badan Pusat Statistik, 2011). Penyebab lain
adalah tingginya serangan hama dan penyakit serta adanya bencana di beberapa sentra
produksi cabai yang terkena dampak letusan Gunung Merapi dan Gunung Bromo (Badan
Pusat Statistik, 2011).
Faktor varietas yang berdaya hasil rendah juga menjadi penyebab rendahnya rata-
rata hasil (Wardani dan Ratnawilis, 2002). Oleh karena itu peningkatan keragaman genetik
tanaman cabai merah diperlukan untuk mendapatkan tanaman yang lebih tahan terhadap
perubahan iklim, tahan terhadap serangan hama dan penyakit serta berdaya hasil tinggi.
Satu di antara penyakit penting cabai merah adalah penyakit layu fusarium yang disebabkan
oleh jamur Fusarium oxysporum f.sp. capsici (Sahi dan Khalid, 2007). Penyakit ini ditandai
menguningnya tajuk cabai dan tulang daun sebelah atas memucat serta tangkainya
menunduk. Penyakit ini umumnya menyerang tanaman, jika kelembaban sangat tinggi pada
musim hujan.
Peningkatan variasi genetik dapat diperoleh dengan melakukan modifikasi genetik
dari varietas lokal atau varietas-varietas yang telah dikembangkan, salah satunya dengan
pemuliaan mutasi. Mutasi merupakan alat untuk mempelajari karakteristik dan fungsi gen
dan untuk menghasilkan bahan mentah untuk perbaikan genetik tanaman ekonomi (Adamu
et al., 2004).

 
Induksi mutasi dapat dilakukan dengan perlakuan fisik menggunakan sinar gamma
atau secara kimia dengan menggunakan mutagen kimia atau menggunakan kombinasi antara
perlakuan fisik dengan kimia. Salah satu mutagen kimia yang sering digunakan untuk
menginduksi mutasi pada tanaman adalah ethyl methansulphonate (EMS). Mutagen kimia
ini bekerja dengan sangat efisien dan potensial pada tanaman (Natarajan, 2005). Pada
penelitian ini induksi mutasi pada cabai merah untuk mencari varian yang tahan layu
fusarium dilakukan menggunakan EMS.

1.2. Tujuan Khusus


Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan variasi tanaman cabai merah melalui
pembentukan mutan cabai merah yang tahan terhadap penyakit layu fusarium. Secara lebih
rinci, tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengevaluasi konsentrasi EMS yang dapat menimbulkan mutasi pada cabai merah.
2. Menganalisis variasi mutan yang dihasilkan secara morfologi dan molekuler
3. Menentukan mutan yang tahan terhadap penyakit layu fusarium
4. Menemukan penanda molekuler yang berhubungan dengan sifat ketahanan terhadap layu
fusarium pada cabai merah

1.3. Urgensi Penelitian


Penelitian ini penting dilakukan berdasarkan aspek berikut:
1. Aspek keilmuan
- Dapat ditentukan konsentrasi EMS yang menimbulkan mutasi pada cabai merah
- Melalui penelitian ini dapat dievaluasi variasi morfologi dan molekuler tanaman
mutan yang dihasilkan.
2. Aspek ketahanan pangan
- Melalui penelitian ini akan didapatkan mutan-mutan cabai merah sehingga dapat
meningkatkan plasma nutfah cabai merah
- Diperoleh mutan yang memiliki ketahanan terhadap penyakit layu fusarium

 
- Dapat dikembangkan penanda molekuler pada cabai merah untuk sifat ketahanan
terhadap penyakit layu fusarium yang dapat digunakan untuk melakukan screening
karakter pada tahap pertumbuhan tanaman yang masih dini.

 
-
BAB II. STUDI PUSTAKA

2.1. Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L.)


Cabai merah merupakan salah satu komoditas hortikultura yang memiliki nilai
ekonomi penting di Indonesia. Cabai merah merupakan tanaman perdu dari famili
terong‐terongan (Solanaceae). Tanaman ini berasal dari benua Amerika tepatnya daerah
Peru dan menyebar ke negara‐negara benua Amerika, Eropa dan Asia termasuk Negara
Indonesia (Setiadi, 1996)
Secara umum, cabai dapat ditanam di lahan basah (sawah) maupun di lahan kering
(tegalan). Tanaman cabai merah tumbuh pada ketinggian 0.5 – 1.250 dpl (Ipteknet-Sentra
Informasi Iptek: www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=213). Tanaman cabai rentan
terhadap perubahan lingkungan serta serangan hama dan penyakit.
Cabai merah selain digunakan sehari-hari sebagai bumbu dapur, sayuran, acar, dan
asinan, juga dapat digunakan untuk keperluan industri diantaranya,industri bumbu masakan,
industri makanan. Daun muda dapat dikukus untuk lalap. Di samping itu, cabai rawit juga
berguna sebagai obat (Heyne, 1987). Cabal merah dapat digunakan untuk menambah nafsu
makan, menormalkan kembali kaki dan tangan yang lemas, antirematik, obat batuk
berdahak, serta melegakan rasa hidung tersumbat (Heyne, 1987, Ipteknet-Sentra Informasi
Iptek: www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=213).
Buahnya mengandung kapsaisin, kapsantin, karotenoid, alkaloid asiri, resin, minyak
menguap, vitamin (A dan C). Kapsaisin memberikan rasa pedas pada cabai, berkhasiat untuk
melancarkan aliran darah serta pematirasa kulit. Biji mengandung solanine, solamidine,
solamargine, solasodine, solasomine, dan steroid saponin (kapsisidin). Kapsisidin berkhasiat
sebagai antibiotik (Ipteknet-Sentra Informasi Iptek:
www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=213).     

2.2. Penyakit Layu Fusarium Pada Cabai Merah


Penyakit layu Fusarium oleh jamur F. orysporum f.sp. capsici, merupakan penyakit
penting pada tanaman cabe merah sejak fase penemaian hingga tanaman dewasa. Layu

 
fusarium mempengaruhi pertumbuhan tanaman dengan memblok transport air dan unsur
hara (Suryanto et al., 2010).
Penyakit layu fusarium pada cabai memiliki tanda-tanda menguningnya tulang daun
pada bagian luar daun-daun yang muda, diikuti dengan gugurnya daun yang lebih tua. Pada
tahap pembibitan, tanaman yang terinfeksi F. oxysporum akan layu dan segera mati setelah
tanda-tanda penyakit muncul. Pada tanaman yang lebih tua, menguningnya tulang daun,
gugurnya daun sering diikuti dengan menguningnya daun-daun yang lebih tua, layunya daun
dan cabang muda, nekrosis pada daun-daun yang masih ada dan akhirnya tanaman mati
(Sahi dan Khalid, 2007).
Tanaman yang sehat dapat menjadi terinfeksi oleh F. oxysporum jika tanah tempat
tumbuhnya terkontaminasi jamur Fusarium.

2.3. Pemuliaan Mutasi


Usaha pemuliaan penting dilakukan untuk memperbaiki sifat keturunan dan
menambah keragaman genetik. Pemuliaan tanaman dapat dilakukan dengan cara
konvensional (persilangan) dan modern. Pada pemuliaan konvensional, persilangan intra
dan interspesifik umum dilakukan untuk memperoleh sifat tanaman yang diinginkan dan
mendapatkan hibrida unggul (Stoskopf et al., 1993). Pemuliaan tanaman modern
memanfaatkan teknologi molekular untuk menentukan keragaman genetik dan hubungan
kekerabatan antar kultivar atau spesies.
Pemuliaan mutasi pada tanaman merupakan satu teknik yang melengkapi teknik
pemuliaan tanaman konvensional sebagai sumber untuk meningkatkan keanekaragaman
yang pada gilirannya melalui proses seleksi dapat menghasilkan tanaman dengan dengan
sifat-sifat yang unggul misalnya memiliki produktivitas yang tinggi. Sebagai contoh
keberhasilan pemuliaan mutasi adalah pemberian sinar gamma pada padi yang
menghasilkan beberapa mutan padi yang telah dilepas di Cina seperti mutan Gh-2, yang
memiliki gen eui yang berfungsi mengurangi aplikasi GA3 pada produksi benih padi hybrid
(Zhu et al., 2006).
Mutasi dapat terjadi secara spontan ataupun diinduksi dengan perlakuan fisik seperti
sinar gamma (Zhu et al., 2006) atau dengan senyawa kimia (Priyono dan Susilo, 2002)

 
maupun kombinasinya (Mondal et al., 2007). Beberapa mutagen kimia yang umum
digunakan adalah kolkisin, oryzalin untuk penggandaan kromosom. Kedua mutagen ini
merupakan senyawa yang bersifat anti-mikrotubul yang menyebabkan tidak terbentuknya
mikrotubul sehingga terjadi penggandaan kromosom dan terbentuk tanaman poliploid.
Tanaman poliploid biasanya memiliki karakter lebih besar, lebih kuat, lebih cepat tumbuh
dibandingkan tanaman normal diploid (Liu et al., 2009). Penggunaan kolkisin untuk
menghasilkan tanaman poliploid telah banyak dilaporkan antara lain pada kencur (Ajijah
dan Bermawie, 2003), anggrek (Sulistianingsih et al., 2004). Oryzalin bersifat kurang
beracun dibandingkan kolkisin dan lebih efektif menginduksi poliploid pada konsentrasi
yang lebih rendah dibandingkan kolkisin (Takamura et al., 2002). Mutagen kimia lain
adalah diethyl sulphonate (DES), ethyl methanesulphonate (EMS), dan kelompok azida.
EMS merupakan agen pengalkilasi yang menyebabkan perubahan pada sekuens nukleotida
(Van Harten, 1998).

2.3.1. Pemuliaan Mutasi Dengan Ethyl Methanesulphonate


EMS merupakan agen pengelkilasi yang menyebabkan modifikasi nukleotida
sehingga menyebabkan perubahan basa dan kesalahan pasangan basa. Alkilasi guanine
menyebabkan terbentuknya O6-ethylguanin yang berpasangan dengan timin (T) (Chopra,
2005). Dibandingkan dengan mutagen kimia lainnya, EMS paling banyak digunakan karena
mudah diperoleh, murah, dan tidak bersifat mutagenik setelah terhidrolisis (Van Harten,
1998).
Penggunaan EMS untuk memicu terjadinya mutasi telah banyak dilaporkan,
diantaranya untuk mendapatkan tanaman paprika yang memiliki polen dan buah yang tahan
penyakit busuk buah (Ashok et al., 1995), tanaman pisang yang tahan atau toleran banana
bunchy top nanovirus (Imelda et al., 2000), tanaman kentang dengan keragaman fenotipe
(Saba dan Mirza, 2002), dan tanaman kacang kijau (Vigna radiata L.) (Khan dan Goyal,
2009). Semua studi tersebut menyatakan bahwa EMS adalah suatu mutagen yang efektif
oleh karenanya dapat digunakan untuk menghasilkan mutan pada tanaman cabai. Hal ini
dibuktikan oleh Jabeen dan Mirza (2004) yang melakukan induksi mutasi pada cabai cv
Longhi dengan EMS dan menghasilkan mutan-mutan dengan tanaman kerdil dengan tingkat
dewasa bervariasi dari lambat ke cepat.

 
2.4. Evaluasi Hasil Mutagenesis Tanaman
Variasi genetik yang dihasilkan dari induksi dengn mutagen baik secara in-vitro
maupun in-vivo dapat dievaluasi dengan beberapa cara. Cara yang paling sederhana adalah
dengan pengamatan morfologi. Variabel morfologi yang umumnya diamati adalah variasi
bentuk lamina daun, orientasi daun maupun multifoliation (Tah, 2006). Karakter lain yang
dapat diamati adalah panjang petiole, tinggi tanaman, luas daun maupun hasil (Tah, 2006).
Sedangkan karakter fisiologi yang data diamati dari pengaruh mutagen adalah kandungan
klorofil (Badr et al., 1995).
Untuk mengamati perubahan pada tingkat DNA, tanaman dievaluasi menggunakan
metode molekuler. Pendekatan molekuler telah banyak digunakan untuk mengevaluasi
keragaman dan keseragaman genetik yang dihasilkan oleh perlakuan mutagen. Sebagai
contoh, melalui analisis RAPD (Random Amplified Polymorphic DNA) ditemukan bahwa
EMS menyebabkan perubahan frekuensi maupun perubahan munculnya band-band tertentu
sebagi penanda DNA pada paprika (Kumar dan Ponnuswami, 2010).
Beberapa tanaman hortikultura yang diregenerasikan secara kultur jaringan telah
diuji keragaman somatiknya, seperti pada Asparagus dimana dihasilkan fenotipe, ploidi,
dan pembelahan meiosis serta profil molekuler AFLP (amplified fragment length
polymorphism) yang berbeda (Pontaroli dan Camadro, 2005). Juga pada tanaman kentang
yang berasal dari kalus, menunjukkan keragaman genetik yang tinggi yang terlihat dari
profil RAPD (Bordallo et al., 2004).

2.5. Penelitian Induksi Mutasi yang Telah Dilakukan


Penelitian induksi perubahan genetik pada tanaman melalui induksi mutai telah
dilakukan pada tanaman hortikultura. Misalnya modifikasi genetik pada tanaman pacar air
(Impatiens balsamina L.) dengan menggunakan kafein. Pada penelitian tersebut, kafein
menyebabkan tanaman bertambah tinggi, dengan jumlah daun, cabang dan bunga yang
meningkat secara signifikan dibandingkan tanaman kontrol (Pharmawati dan Defiani, 2011).
Penelitian yang dilakukan sebuhungan dengan induksi mutasi pada tanaman cabai
adalah pengujian pemberian sodium azida (NaN3) sebagai agen penginduksi mutasi.
Sodium azida menghambat germinasi cabai merah (Gambar 1 dan Tabel 1).

 
Tabel 1. Jumlah biji berkecambah akibat pemnerian sodium azida

Konsentrasi Jumlah biji yang berkecambah


1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Hari
Kontrol 0 0 27 28 28 29 30 30 30 30
0,5 mM 0 0 7 23 25 29 30 30 30 30
1 mM 0 0 2 5 10 28 30 30 30 30
1,5 mM 0 0 0 10 23 28 29 30 30 30
2 mM 0 0 0 2 20 27 29 30 30 30
2,5 mM 0 0 0 0 10 24 28 30 30 30
3 mM 0 0 0 1 10 24 27 27 27 27
4 mM 0 0 0 5 20 30 30 30 30 30
5 mM 0 0 0 0 6 16 27 30 30 30

kontro 05 1 mM

15 2 mM 25

3 mM 4 mM 4 mM

Gambar 1. Penampilan kecambah cabai merah yang berasal dari biji yang direndam NaN3

 
Gambar 2. Tanaman cabai dengan daun kimera yang diperoleh pada perlakuan 5mM
NaN3

Dari penelitian tersebut, variasi fenotipik (Gambar 2) yang dihasilkan sangat rendah
(hanya 1 tanaman yang menghasilkan daun kimera). Di samping itu terjadi kisaran variasi
pertumbuhan tanaman yang sangat besar baik pada tanaman perlakuan maupun tanaman
kontrol sehingga menyulitkan pengambilan kesimpulan. Tanaman kontrol memiliki variasi
tinggi tanaman kemungkinan akibat perendaman dalam buffer posfat dengan pH 3 yang
sangat rendah. Bufer posfat digunakan sebagai larutan perendam dalam kontrol karena
sodium azida dilarutkan dalam buffer posfat, sehingga diharapkan yang berpengaruh
hanyalah sodium azida saja.
Oleh karena itu, pada penelitian ini induksi mutasi akan dilakukan dengan
menggunakan mutagen yang lebih umum dan lebih banyak digunakan dalam induksi mutasi
tanaman yaitu EMS.

 
BAB III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat


Penelitian akan dilaksanakan selama dua tahun di sawah di Desa Penasan Kabupaten
Klungkung dan di Laboratorium Bioteknologi Pertanian, Fakultas Pertanian Universitas
Udayana dari Bulan April sampai September 2012.

3.2. Bahan
Bahan yang digunakan adalah biji tanaman cabai besar kultivar ’SMART”
(Capsicum annum L.) yang diperoleh dari toko pertanian di Denpasar, tanah subur, urea,
gandasil, insektisida.

3.3. Perlakuan Pemberian Mutagen

Perlakuan pemberian EMS dilakukan terhadap biji berdasarkan metode dari Jabeen
dan Mirza (2004). Biji direndam dalam air selama 6 jam, selanjutnya direndam dalam EMS
dengan konsentrasi yang berbeda (0%, 0.5%, 0.75%, dan 1%) dalam buffer fosfat pH 7
selama 6 jam. Perlakuan dilakukan pada temperatur ruang. Sebagai kontrol adalah biji yang
direndam dalam buffer fosfat pH 7 (EMS 0%). Biji selanjutnya dibilas dengan akuades
untuk menghilangkan sisa-sisa mutagen.

3.4. Uji Perkecambahan

Uji perkecambahan dilakukan dalam petridish. Sebanyak 30 biji diberi perlakuan


EMS dengan konsentrasi 0%, 0.5%, 0.75%, dan 1%, selanjutnya diletakkan dalam petridish
yang dialasi kertas saring basah dengan 3 kali ulangan. Perkecambahan diamati tiap hari.
Setelah 12 hari, diukur panjang tunas dan panjang akar serta berat tunas dan akar..

10 

 
3.5. Pemeriksaan Karakter Morfologi
Biji yang telah diberi perlakuan kemudian disemaikan. Bibit yang dihasilkan
selanjutnya ditanam di lapang pada areal sawah seluas 2 are. Rancangan percobaan dalam
penelitian ini disusun berdasarkan rancangan acak kelompok (RAK). Areal percobaan
dibagi ke dalam 4 kelompok atau ulangan, masing-masing kelompok terdiri dari 4 petak
percobaan sesuai dengan perlakuan (kontrol, 0.5% EMS, 0.75% EMS dan 1% EMS), dan
masing-masing petak percobaan terdiri dari 20 tanaman. Pengamatan dilakukan terhadap
beberapa karakter morfologi yaitu tinggi tanaman, jumlah cabang (karakter sifat vegetatif),
dan umur 50% tanaman berbunga. Karakter lain yang diamati adalah bentuk, warna dan
jumlah bunga, bentuk, warna dan jumlah buah.

3.6. Analisis Data


Analisis data terhadap karakter pertumbuhan dan konsentrasi klorofil dilakukan
dengan ANOVA.  

11 

 
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.Perkecambahan
Penelitian pengaruh EMS terhadap perkecambahan dilakukan dalam petridish.
Konsentrasi EMS yang digunakan adalah 0%, 0.5%, 0.75% dan 1%. Persentase
perkecambahan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentase Perkecambahan Akibat Pemberian EMS. Angka merupakan rata-


rata persentase biji berkecambah ± SE

Konsentrasi Persentase biji yang berkecambah


3 5 7 9 11
Hari
Kontrol 58.6±1.2 83.3±0.66 100±0 100±0 100±0
0.5% 30.2±0.8 60.6±0.92 82±0.6 100±0 100±0
0.75% 18.7±1.4 41±0.55 84.2±0.8 93.7±0 93.7±0
1% 2.4±0.7 28.5±0.48 60±0.5 80.5±0.5 87.7±0.6

Dari Tabel 1 di atas terlihat bahwa perendaman dengan EMS memperlambat


perkecambahan. Hal ini disebabkan EMS bersifat racun, namun semakin lama, biji dapat
beradaptasi sehingga pada akhirnya mampu berkecambah, walaupun persentase
perkecambahan lebih kecil dari kontrol. Pengaruh mutagen kimia dipengaruhi oleh permeabilitas
kulit biji dan sifat alami dari mutagen (Al-Qurainy dan Khan, 2009). Rendahnya persentase
perkecambahan biji dalam perlakuan mutagenik dapat disebabkan karena terhambatnya
proses fisiologis dan biologis untuk perkecambahan biji yang meliputi aktivitas enzim
katalase dan lipase (Chrispeeds dan Varner, 1976), ketidakseimbangan hormon
(Ananthaswamy et al., 1971) dan terhambatnya proses mitosis (Sato dan Gaul, 1967).
Parameter lain yang diamati adalah panjang serta berat tunas dan akar ditampilkan
pada Tabel 3 dan Gambar 3. Pada Tabel 3 terlihat bahwa semakin tinggi konsentrasi EMS,
panjang tunas dan akar semakin kecil. Hal ini berbanding lurus dengan mulainya

12 

 
perkecambahan. Pada konsentrasi EMS yang lebih tinggi, kecambah yang muncul lebih
lambat, akibatnya panjang tunas dan akar lebih kecil dibanding kontrol. Berat tunas dan
berat akar semakin menurun dengan semakin tingginya konsentrasi EMS yang diberikan.
Hal ini disebabkan terhambatnya proses mitosis oleh mutagen, sehingga jumlah sel lebih
sedikit dibandingkan kontrol.

Tabel 3. Panjang Hipokotil dan Panjang Akar. Angka merupakan rata-rata ± SE

Konsentrasi Panjang Panjang Berat Berat


tunas (cm) akar (cm) tunas akar (mg)
(mg)
Kontrol 1.84±0.46 8.66±0.8 28.4±0.4 20.3±0.33
0.5% 1.56±0.32 9.16±1.06 28.16±0.6 21.9±0.35
0.75% 1.5±0.4 7.31±0.55 25.2±0.8 18.65±0.2
1% 2.0±1.47 7.55±0.88 26.3±0.5 18.2±0.5

Gambar 3. Perbandingan Penampilan Kecambah Kontrol dan Perlakuan. Atas dari kiri ke
kanan: kontrol, 0/1%, 0.3%, 0.5%; bawah 0.75%, 1% dan 1.2%

13 

 
4.2.Pengamatan di Lapang
Set penelitian lain yang dilakukan adalah penelitian di lapang dengan menanam bibit
cabai baik kontrol maupun perlakuan dalam rancangan RAK dengan 4 kali ulangan. Tiap
ulangan ditanam 30 tanaman, dan dari 30 tanaman diamati 6 tanaman.

4.2.1.Pengamatan morfologi
Pengamatan terhadap morfologi menunjukkan bahwa terbentuk daun yang menyatu
pada tanaman hasil perlakuan (Gambar 4). Jumlah tanaman dengan daun yang menyatu
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi (Tabel 4).

Gambar 4. Tanaman Dengan Daun yang Menyatu. Tanaman berumur 4 minggu


setelah semai. Tanda panah menunjukkan daun yang menyatu.

Tabel 4. Persentase Tanaman dengan Daun yang Menyatu

Konsentrasi Tanaman dengan daun menyatu (%)

Kontrol 0
0.5% 3.3
0.75% 5
1% 11.2

14 

 
Tinggi tanaman pada umur 6 minggu, 8 minggu, 12 minggu dan 16 minggu
ditampilkan pada Tabel 5. Tanaman hasil perlakuan dengan konsentrasi EMS 1% pada umur
6 minggu terlihat lebih pendek dibanding tanaman dengan perlakuan lainnya. Tetapi pada
umur 8 minggu, tidak terdapat perbedaan antara tinggi tanaman (Tabel 4)

Tabel 5. Rata-rata tinggi tanaman pada umur 6, 8, 12 dan 16 minggu setelah semai.
Angka menunjukkan rata-rata tinggi ±SE

Konsentrasi Tinggi
6 minggu 8 minggu 12 minggu 16 minggu

Kontrol 12.25±2.46 15.8±2.8 36.55±1.22 53.17±1.06


0.5% 12.5±1.42 16±1.06 38.40±1.64 57.04±0.97
0.75% 12.34±1.03 15.5±1.55 39.14±2.02 57.5±1.05
1% 10.85±2.55 15.42±1.77 44.62±1.08 63.67±1.67

Setelah tanaman berumur 12 minggu, tanaman perlakuan menjadi lebih tinggi


dibandingkan kontrol. Demikian juga setelah tanaman berumur 16 minggu, dengan rata-rata
tinggi tanaman tertinggi dimiliki oleh tanaman hasil perlakuan biji dengan 1% EMS (63.67
cm). Hal ini menunjukkan bahwa tanaman mengembangkan adaptasi terhadap pengaruh
EMS, sehingga dapat tumbuh menjadi lebih tinggi dibanding tanaman kontrol. Hipotesis
adanya stimulasi pertumbuhan adalah meningkatnya kecepatan pembelahan sel dan aktivitas
auxin (Zaka et al., 2004 and Gunckel and Sparrow 1961) dan giberelin.
Umur 50% tanaman berbunga dan persentase viabilitas polen disajikan dalam Tabel
6. Tanaman yang berasal dari biji yang diberi perlakuan EMS mencapai 50% berbunga
lebih awal dibandingkan kontrol.

15 

 
Tabel 6. Umur 50% Tanaman Berbunga dan Viabilitas Polen

Perlakuan Umur 50% Berbunga (hss) Viabilitas Polen


Kontrol 102 78
0.5% 95 82
0.75% 92 82
1% 85 70

Jumlah cabang dan jumlah buah yang diamati pada umur 16 minggu ditampilkan
pada Tabel 7. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanaman hasil perlakuan biji dengan
EMS memiliki jumlah cabang yang lebih banyak dibandingkan tanaman kontrol, tetapi tidak
ada perbedaan jumlah cabang antar perlakuan EMS. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
Singh dan Chaturvedi (1990) yang menemukan bahwa perlakuan mutagen menyebabkan
meningkatnya jumlah rata-rata cabang pada Lathyrus sativus.
Jumlah buah meningkat akibat perlakuan EMS, tetapi tidak ada perbedaan antar
perlakuan EMS. Jumlah buah yang meningkat pada perlakuan EMS 1% juga ditemukan
pada Jatropa curcas, sedangkan penggunaan EMS diatas 1% menyebabkan penurunan
jumlah buah pada tanaman tersebut (Bolbhat et al., 2012). Jumlah buah dan jumlah cabang
terlihat berkorelasi. Jumlah cabang tertinggi terdapat pada perlakuan 0.5% dan jumlah buah
terbanyak juga terdapat pada perlakuan 0.5%.

Tabel 7. Jumlah Cabang dan Jumlah Buah pada Umur 16 Minggu Setelah Semai

Perlakuan EMS Jumlah Cabang Jumlah Buah


Kontrol 12.08 8.83
0.5% 14.71 12.21
0.75% 14.54 10.21
1% 14.29 11.13

16 

 
Dari pengamatan terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang dan jumlah buah, terlihat
bahwa EMS memberikan pengaruh positif. Konsentrasi EMS 0.5%, 0.75% dan 1% yang
digunakan pada penelitian ini menunjukkan efek yang menstimulasi pertumbuhan setelah
fase kecambah. Tinggi tanaman, jumlah cabang, jumlah buah yg lebih tinggi dari kontrol
juga ditemukan pada perlakuan EMS pada Lycopersicum esculentum (Saba dan Mirza,
2002).
Morfologi buah menunjukkan variasi seperti ditampilkan pada Gambar 5.

Gambar 5. Beberapa variasi bentuk dan ukuran buah cabai besar. Atas dari kiri ke kanan:
1%EMS, 1%EMS, 1%EMS, 1%EMS, kontrol. Bawah: 0.75% EMS, 0.75% EMS,
0.75%EMS, 0.5%EMS, 0.5%EMS.

17 

 
DAFTAR PUSTAKA

Ajijah N, Bermawie, N. 2003. Pengaruh kolkisin terhadap pertumbuhan dan produksi dua
tipe kencur (Kaempferia galanga Linn.). Buletin TRO 14:46-55

Adamu, A. K., Clung, S. S. and Abubakar, S. 2004. Effects of ionizing radiation (gamma-
rays) on tomato (Lycopersicon esculentum). Nigeria Journal of Experimental and
Applied Biology 5: 185-193.

Al-Qurainy, F., Khan, S. 2009. Mutagenic Effects of Sodium Azide and its Application in
Crop Improvement. World Applied Sciences Journal 6(12): 1589-1601.

Ashok, Y.P., P. Sharma, A. Yadav. 1995. Effect of different ethyl methane sulfonate
treatments on pollen viability and fruit rot incidence in bell pepper. Annal of
Agricultural. Research 16:442-444.

Badr, M., Abdel-Maksoud, B. A., Omar, S. S. 1995. Growth, flowering and induced
variability in Gomphrena globosa, L. plant grown from dry and water-soaked seeds
treated with gamma-rays. Alexandria Journal of Agricultural Research 2: 1-6

Badan Pusat Statistik. 2011. Laporan ringkas studi cabai. Laporan bulanan data sosial
ekonomi. Edisi 9. Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Bordallo, P.N.; Silva, D.H.; Maria, J.; Cruz, C.D.; Fontes, E.P. 2004. Somaclonal variation
on in vitro callus culture potato cultivars. Horticultura Brasileira 22: 300-304.

Chrispeeds, M.J., Varner, J.E., 1976. Gibberelic Acid Induced Synthesis and Release of α-
Amylase and Ribonuclease by Isolated Barley Aleurons Layers. Plant Physiology
42:346-406

Chopra., V.L. 2005. Mutagenesis: Investigating the process and processing the outcome for
crop improvement. Current Science 89; 353-359

Gunckel J.K. and A.H. Sparrow, 1961, Ionizing radiations: biochemical, physiological and
morphological aspects of their effects on plants. Encycl. Plant Physiology 16:. 555-
611.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia Jilid III. Yayasan Sarana Wana Jaya,
Jakarta

Imelda, M., P. Deswina, S. Hartati, A. Estiati, S. Atmowijoyo. 2000. Chemical mutation by


Ethyl Methane Sulfonate (EMS) for bunchy top virus resistence in Banana. Annales
Bogorienses 7:19-25.
18 

 
Khan, S., Goyan, S. 2009. Improvement of mungbean varieties through induced
Mutations. African Journal of Plant Science, 3 :174-180

Kumar, G.A., Ponnuswami, V. 2010. Effect of Physical and Chemical Mutagenesis on


DNA Polymorphism in Paprika. Research Journal of Agricultural Sciences 1: 193-
195

Liu, X.Z., Lin,H., Mo, X. Y., Long, T., Zhang, H. Y.. 2009. Genetic variation in
colchicine-treated regenerated plants of Eucalyptus globulus Labill. Journal of
Genetics, Vol. 88: 345-348

Mondal,S., Badigannavar, A.M., Kale, D.M., Murty, G.S.S. 2007. Induction of genetic
variability in a disease-resistant groundnut breeding line. BARC Newsletter
258:237-247

Natarajan, A. T. 2005. Chemical mutagenesis: from plants to human. Current Science 89:
312-317

Pharmawati, M., Defiani, M.R. 2009. Perubahan genetik tanaman pacar air (Impatiens
balsamina, L) dengan pemberian kafein. Universitas Udayana. Laporan penelitian
Fundamental.

Priyono, Susilo, A.W. 2002. Respons regenerasi in vitro eksplant sisik mikro kerk Lily
(Lilium longiflorum) terhadap Ethyl Methane Sulfonate (EMS). Jurnal Ilmu Dasar 3:
74-79

Republica.co.id. Produksi cabai turun 40%. Republika.co.id 01/02/2011. Diakses 7


Februari 2011

Saba, N, Mirza, B. 2002. Ethyl Methane Sulfonate Induced Genetic Variability in


Lycopersicon esculentum. International Journal of Agriculture and Biology 4: 89-
92

Sahi, I.Y., Khalid, A.N. 2007. In vito biological control of Fusarium oxysporum-
causing wilt in Capsicum annuum. Mycopath 5: 85-88

Sentra Informasi Iptek. Cabai Rawit. Ipteknet :


www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/view.php?id=213) diakses 7 Februari 2011

Setiadi. 1996. Bertanam Cabai. Penebar Swadaya, Jakarta.

Stoskopf, N.C.D., D.T. Tomes and B.R. Christie. 1993. Plant Breeding, Theory and
Practice. Westview Press, Oxford

19 

 
Sulistianingsih, R., Suyanto, ZA., Noer, AE. 2004. Peningkatan kualitas anggrek
Dendrobium hibrida dengan pemberian kolkhisin. Ilmu Pertanian 11: 13-21

Suryanto, D., Patonah, S., Munir, R. 2010. Control of Fusarium Wilt of Chili With
Chitinolytic Bacteria. HAYATI Journal of Biosciences 17 : 5-8

Tah, RR. 2006. Induced macromutation in mungbean (Vigna radiata (L). Wilczek).
International Journal of Botany 2: 219-228

Ura, T, Lim, K.B. Van Tuyl, J.M. 2002. Effect of a new compound on the mitotic
polyploidization of Lilium longiflorum and ornamental hybrid lilies, Acta Hort. 572:
37-42

Van Harten, A.M. 1998. Mutation Breeding: Theory and Practical Application.
Cambridge University Press, New York.

Wardani, N., Ratnawilis. 2002. Ketahanan beberapa varietas tanaman cabai terhadap
penyakit antraknosa (Colletrotichum sp). Jurnal Agrotropika7: 25-31

Zaka R., Chenal, C., Misset, M.T. 2004, Effect of low doses of short-term gamma radiation
on growth and development through two generations of Pisum sativum. Science of
the Total
Environment 320: 121-129.

Zhu, X.D., Chen, H.Q. and Shan, J.X. 2006. Nuclear Techniques for Rice Improvement
and Mutant Induction in China National Rice Research Institute. Plant Mutation
Reports, 1: 7-10

20 

 
LAMPIRAN

Gambar Lampiran 1. Bedengan tanaman cabai di lahan sawah di Desa Penasan, Klungkung

Gambar Lampiran 2. Tanaman berumur 7 minggu. Tanda panah menunjukkan daun yang
menyatu pada perlakuan EMS 1%

21 

 
Gambar Lampiran 3. Tanaman cabai umur 16 minggu setelah tanam hasil perlakuan dengan
1% EMS

Gambar Lampiran 4. Tanaman cabai umur 16 minggu setelah tanam hasil perlakuan dengan
0.75% EMS

22 

 
Gambar Lampiran 5. Tanaman cabai umur 16 minggu setelah tanam hasil perlakuan dengan
0.5% EMS

Gambar Lampiran 6. Tanaman cabai umur 16 minggu setelah tanam (kontrol)

23 

You might also like