You are on page 1of 8

TUTORIAL KLINIK

ENCEPHALITIS

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Mengikuti Ujian


Stase Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Tidar Magelang

Diajukan Kepada:
dr. Resa Gratya Sp.A.

Disusun Oleh:
Tika Kurnia Illahi
Fauziyah Rifdah DR
Hendrian Ade Herdianto

SMF BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TIDAR MAGELANG
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2018
1. Etiologi meningitis non-infeksi
a. AIDS
b. Keganasan
c. Diabetes mellitus
d. Cedera fisik
e. Obat-obatan tertentu yang daat melemahkan sistem imun
2. Pemeriksaan penunjang pada pneumonia
a. Pemeriksaan Radiologis
 Pasien dengan gejala infeksi pernafasan napas bawah ringan tanpa
komplikasi tidak diperlukan pemeriksaan penunjang foto dada
 Indikasi pemeriksaan foto thorax yaitu pada
i. pasien yang telah terduga pneumonia dan di rawat inap
ii. apabila belum terdiagnosis namun terdapat keraguan dalam
penegakan diagnosis
iii. Curiga adanya komplikasi dari pneumonia
iv. Apabila terdapat gejala lain selain gejala dari pneumonia, seperti
ketertinggalan gerak napas, bentuk dada tidak simetris, dll
 Pada pemeriksaan foto thorax dapat ditemukan infiltrat parahiler unilateral
yang mengacu ke arah pneumonia. Foto thorax tidak dapat digunakan
untuk mengetahui agen penyebab pneumonia
b. Pemeriksaan laboratorium
 Darah rutin: untuk melihat adanya leukosit sebagai penanda infeksi bakteri
dan untuk menentukan pemberian antibiotik
 Kultur dan pewarnaan pada sputum
 Pada anak dengan pneumonia berat dan anak dengan kecurigaan adanya
pneumonia bakteria bida dilakukan kultur darah. Selain indikasi tersebut,
kultur darah tidak direomendasikan
 Jika terdapat adanya kontak dengan pasien TB aktif dewasa perlu
dipertimbangkan adanya tes tuberkulin, untuk melihat adanya pneumonia
ec TB paru
 Selain pemeriksaan darah rutin, pemberian antibiotik juga dapat di
tentukan berdasarkan pungsi pleura terutama jika terdapat efusi pleura
3. Walgreens time table meningitis TB

Meningitis TB dapat terjadi pada 12 bulan pasca infeksi. Dimulai dari


pembentukan fokus primer, selama masa inkubasi, kuman TB menyebar secara
hematogen, lalu menembus lapisan meningens dalam jumlah besar sehingga terjadi
emeningitis TB. Penegakan diagnosis meningitis TB tidak mudah sehingga diperlukan
adanya kewaspadaan jika di dapatkan adanya tanda-tanda TB milier diserta dengan
kelainan neurologis maupun penurunan kesadaran. Jika perlu dapat dilakukan pungsi
lumbal untuk mendeteksi adanya kuman TB pada cairan serebrospinal.

4. Apa saja etiologi dari osteomyelitis?


Osteomielitis adalah infeksi pada tulang panjang yang mengenai pada korteks dan
sumsum tulang. Infeksi ini dapat masuk melalui jalur hematogen ataupun melalui
paparan langsung dari luar, misalnya trauma.
Menurut Robert dkk dalam buku Nelson, etiologi tersering pada masing-masing usia
dan kondisi pasien adalah:
a. Neonatus  Grup B Streptococus, Staphylococus aureus, Eschericia coli
a. Usia 6 tahun atau lebih  S. aureus, Streptococus, Pseudomonas aeruginosa,
b. Pasien dengan sickle cell anemia  Salmonella species dan S. aureus
c. Pasien kurang dari 24 bulan dan dengan sickle cell anemis  S. pneumoniae
Penyebab terbanyak kedua osteomielitis pada usia < 5 tahun adalah Kingella
kingae
Etiologi menurut usia (Marier, 1989):
b. Neonatal (<1 tahun) : Grup B Streptococus, Staphylococus aureus,
Eschericia coli
c. Anak (1-16 tahun) : S. aureus, Streptococus pyogenes, Haemophilus
influenzae
d. Dewasa (16 tahun) : Staphylococus epidermidis, S. aureus, Pseudomonas
aeruginosa, Serratia marcesens, E. coli
5. Parasit apa yang dapat menyebabkan ensephalitis?
Menurut Robert dkk dalam buku Nelson, parasit yang dapat menyebabkan
encephalitis adalah Naegleria, Acanthamoeba, dan Balamuthia. Yang paling sering
menjadi penyebab enchepalitis pada anak anak dan dewasa adalah Naegleria.
a. Naegleria adalah ameboflagellate berupa kista, trofozoit, dan bentuk flagellate.
Trophozoit adalah satu-satunya tahap yang invasif, meskipun kista berpotensi
infektif, karena mereka dapat berubah menjadi bentuk vegetatif dengan sangat
cepat di lingkungan yang tepat.
b. Acanthamoeba ada dalam bentuk kista dan trofozoit, hanya bentuk trofozoit yang
invasif. Acanthamoeba sering terjadi pada kasus trauma kornea yang dilanjutkan
dengan penyiraman kornea dengan air keran yang terkontaminasi. Selain itu,
penggunaan lensa kontak yang dibersihkan atau direndam dalam air keran yang
terkontaminasi.
c. Balamuthia adalah etiologi utnuk granulomatosa amebic encephalitis.
6. Berapa dosis amoksisilin pada pneumonia?
Menurut WHO, dosis amoksisilin untuk penumonia adalah 25 mg/kgBB 2 x sehari.
Dosis berdasarkan BB anak:
3 - <6 kg  5 mg (syrup) atau ½ tab
6 - <10 kg  10 ml (syrup) atau 1 tab
10 - < 15 kg  15 ml (syrup) atau 1 ½ tab
7. Tatalaksana Pneumonia ringan
Tatalaksana

 Anak di rawat jalan


 Beri antibiotik: Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari
atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien
HIV diberikan selama 5 hari.

Tindak lanjut
Anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk membawa
kembali anaknya setelah 2 hari, atau lebih cepat kalau keadaan anak memburuk atau
tidak bisa minum atau menyusu.
Ketika anak kembali:

 Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan


membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari.
 Jika frekuensi pernapasan, demam dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti ke
antibiotik lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali 2 hari lagi.

Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai
pedoman di bawah ini.
8. Tatalaksana Pnemonia Berat

Tatalaksana

 Anak dirawat di rumah sakit

Terapi Antibiotik

 Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), yang


harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons
yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah
atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali tiga kali sehari)
untuk 5 hari berikutnya.
 Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat
(tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang,
letargis atau tidak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
 Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan
pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin.
 Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari).
 Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan buat foto dada.
 Apabila diduga pneumonia stafilokokal (dijelaskan di bawah untuk pneumonia
stafilokokal), ganti antibiotik dengan gentamisin (7.5 mg/kgBB IM sekali sehari)
dan kloksasilin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15
mg/kgBB/hari –3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan
kloksasilin (atau dikloksasilin) secara oral 4 kali sehari sampai secara keseluruhan
mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu.

Terapi Oksigen

 Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat


 Bila tersedia pulse oximetry, gunakan sebagai panduan untuk terapi oksigen
(berikan pada anak dengan saturasi oksigen < 90%, bila tersedia oksigen yang
cukup). Lakukan periode uji coba tanpa oksigen setiap harinya pada anak yang
stabil. Hentikan pemberian oksigen bila saturasi tetap stabil > 90%. Pemberian
oksigen setelah saat ini tidak berguna
 Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal. Penggunaan nasal
prongs adalah metode terbaik untuk menghantarkan oksigen pada bayi muda.
Masker wajah atau masker kepala tidak direkomendasikan. Oksigen harus tersedia
secara terus-menerus setiap waktu. Perbandingan terhadap berbagai metode
pemberian oksigen yang berbeda
 Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti tarikan dinding dada
bagian bawah ke dalam yang berat atau napas > 70/menit) tidak ditemukan lagi.

Perawat sebaiknya memeriksa sedikitnya setiap 3 jam bahwa kateter atau


prong tidak tersumbat oleh mukus dan berada di tempat yang benar serta memastikan
semua sambungan baik.
Sumber oksigen utama adalah silinder. Penting untuk memastikan bahwa
semua alat diperiksa untuk kompatibilitas dan dipelihara dengan baik, serta staf
diberitahu tentang penggunaannya secara benar.
9. Pencegahan Ensefalitis

Beberapa vaksin yang digunakan untuk mencegah meningitis meliputi:


 Vaksin pneumococcal. Vaksin ini memberikan perlindungan terhadap
bakteri pneumococcal.
 Vaksin Hep B. Vaksin ini melindungi pasien dari bakteri Haemophilus
influenzae tipe B penyebab meningitis.
 Vaksin Hib/Men C. Vaksin ini melindungi pasien dari
bakteri meningococcal grup C.
 Vaksin MMR. Vaksin MMR berfungsi untuk melindungi pasien dari kondisi yang
memicu meningitis, seperti gondongan, campak, dan rubella.
 Vaksin ACWY. Vaksin ini memberikan perlindungan pada pasien terhadap
bakteri meningococcal grup A, C, W, dan Y.

Vaksin meningitis B. vaksin meningitis B berfungsi untuk melindungi pasien dari


bakteri meningococcal tipe B
DAFTAR PUSTAKA
Tacon CL, Flower O. Diagnosis and management of bacterial meningitis in the paediatric
population: A review. Emerg Med Int. 2012;2012:320309. doi: 10.1155/2012/320309
http://www.ichrc.org/421-pneumonia-berat
http://www.ichrc.org/421-pneumonia-ringan
Marier RL, Thorofare NJ. (1989). Adult chronic osteomyelitis: an overview. Orthopaedic
Infections.
Robert, M. Bonita, F. Joseph, W. (2011). Nelson Textbook of Pediatrics 19th Edition. US of
America: Elsevier.
WHO. (2005). Pocket Book of Hospital Care for Choldren, Guidelines for the Management of
Common Illnesses with Limited Recources.
Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Volume 3. Editor, Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman,
Ann M. Arvin. Editor edisi bahasa Indonesia A, Samik Wahab. Edisi 15. EGC, 2000. Jakarta

You might also like