You are on page 1of 3

Hidradenitis Suppurativa

I. Definisi
Hidradenitis suppurativa merupakan penyakit peradangan kronik supuratif yang
berasal dari kelenjar apokrin. Tempat predileksinya didaerah aksila, anogenital dan jarang
pada kulit kepala (cicatrizing perifolliculitis). Nama lain dari hidradenitis suppurativa
adalah apocrinitis, hidradenitis axillaris dan abscess apocrine sweat glands.

II. Epidemiologi
Penyakit ini dilaporkan lebih sering pada perempuan. Pada pria predileksi cenderung
di daerah anogenital, sedangkan pada wanita di axilla. Kejadian terbanyak pada masa
pubertas sampai masa klimaterik. Berdasarkan ras, penyakit ini terjadi pada semua ras.
Pada pasien yang mengalami hidradenitis supurativa ditemukan adanya riwayat keluarga
nodulocystic acne dan hidradenitis suppurativa.

III. Etiologi and patogenesis


Penyebab hidradenitis suppurativa adalah oklusi pada kelenjar apokrin yang
disebabkan oleh hiperkeratosis folikular yang diikuti ruptur epitel folikel dan pelepasan
keratin, sebum, bakteri dan rambut ke lapisan dermis. Oklusi pada kelenjar apokrin
tersebut menyebabkan ruptur pada kulit, fibrosis dan pembentukan sinus. Hidradenitis
suppurativa dapat juga disebabkan oleh infeksi sekunder bakteri Staphylococcus aureus,
Streptococcus pyogens dan berbagai bakteri gram negatif lainnya.1
Faktor pemicu masih belum jelas, namun diketahui beberapa faktor yang berkaitan
antara lain genetic, hormonal (adanya pengaruh androgen), obesitas (peningkatan gaya
gesek, oklusi, hidrasi keratinosit dan maserasi, serta peningkatan androgen), obstruksi
kelenjar apokrin dan infeksi sekunder (Staphylococcus aureus, coagulase-negative-
staphylococcus dan streptococcus basil gram negative).2

IV. Pathogenesis
Hidradenitis suppurativa berawal dari oklusi apokrin atau duktus folikuler oleh
sumbatan keratin yang menyebabkan dilatasi duktus dan stasis komponen glandular.
Bakteri memasuki sistem apokrin melalui folikel rambut dan terperangkap dibawah
sumbatan keratin yang kemudian bermultiplikasi dengan cepat dalam lingkungan yang
mengandung banyak nutrisi dari keringat apokrin. Kelenjar dapat ruptur sehingga

1. 1
James WD, Berger TG, and Elston DM. Acne in Andrews’ Disease of the Skin Clinical
Dermatology, 11st edition. Philadelphia: saunders Elsevier. 2011:239-240.

2
2. Zouboulis CC, Tsatsou F. Disorder of the Apocrine Sweet Glands. Goldsmith LA, Katz
SI, Gilchrest BA, Leffell DJ, Wolff K. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine,
8th edition. New York: Mc Graw Hill. 2012: 953-9.
menyebabkan penyebaran infeksi ke kelenjar dan area sekitarnya. Infeksi Streptococcus,
Staphylococcus dan organisme lain menyebabkan inflamasi lokal yang lebih luas,
destruksi jaringan dan kerusakan kulit. Proses penyembuhan yang kronis menimbulkan
fibrosis luas dan sikatriks hipertrofi pada kulit diatasnya

Sumbatan keratin

Folikel rambut

Kelenjar
apokrin Abses

Bakteri

Gambar 1. Patogenesis Hidradenitis suppurativa

V. Manifestasi klinis
Nyeri yang hilang timbul dan nyeri tekan pada abses. Hidradenitis suppurativa terjadi
pada kulit yang mengandung kelenjar apokrin. Predileksi hidradenitis suppuratifa adalah
aksila dan daerah anogenital. Predileksi dapat menyebar hingga daerah bokong dan kulit
kepala.
Hidradenitis suppurativa diawali dengan nodul atau abses yang bisa sembuh secara
lambat, ruptur spontan dan menghasilkan discharge purulent atau seropurulent, dapat
pula berkembang dan bergabung dengan nodul disekitarnya menjadi abses inflamasi yang
besar dan nyeri.
Hidradenitis suppurativa terbagi atas tiga stadium. Stadium primer berupa abses
berbata tegas. Stadium sekunder berupa saluran sinus dengan bekas luka akibat bekas
garukan serta abses yang berulang. Stadium tersier menunjukkan lesi konfluen, terbentuk
skar, serta adanya inflamasi dan discharge saluran sinus.

VI. Pemeriksaan penunjang


Penyebab hidradenitis suppuratifa salah satunya adalah infeksi seperti Staphylococcus
aureus, Steptococci, Escherichia coli, Proteus mirabilis dan Pseudomonas aeruginosa.
Sehingga pada pemeriksaan laboratorium dapat terjadi peningkatan laju endap darah dan
C-reactive protein. Jika terdapat tanda infeksi yang cukup jelas, dapat dilakukan kultur
bakteri dengan sampel yang diambil pada lesi.
VII. Diagnosis Banding
• Infeksi
- Bakteri
Karbunkel, furunkel, abses, abses perirektal, abses kelenjar Batholini
Mikrobakteria – abses tuberkulosa
Infeksi menular seksual – granuloma inguinale, limpogranuloma venereum, sifilis
noduloulseratif
- Jamur – blastomikosis,
• Tumor
Kista – epidermoid, pilonidal Bartholini, multipel steatokistoma
• Lainnya
Crohn’s, fistula anal atau vulvovaginal

VIII. Tatalaksana
Penatalaksanaan topikal berupa pengobatan pada lesi nyeri akut seperti nodul dapat
digunakan triamsinolon (3-5 mg/mL) intralesi. Pada abses digunakan triamsinolon (3-5
mg/mL) intralesi yang diikuti insisi dan drainase cairan abses. Penatalaksanaan sistemik
untuk lesi kronik derajat ringan dapat diberikan antibiotik oral yaitu eritromisin (250-500
mg qid), tetrasiklin (250-500 mg qid), atau minosiklin (100 mg bid) hingga lesi sembuh.
Prednison dapat diberikan bila nyeri dan inflamasi sangat berat dengan dosis 70 mg
perhari selama 2-3 hari, diturunkan selama 14 hari. Pemberian isotretinoin oral tidak
bermanfaat pada penyakit yang kronis, namun bermanfaat pada awal penyakit untuk
mencegah sumbatan folikuler dan saat dikombinasikan dengan eksisi pada lesi.
Apabila penatalaksanaan dengan obat-obatan tidak memberikan hasil yang
memuaskan maka pembedahan pada semua jaringan yang terlibat dapat dijadikan sebagai
modalitas pengobatan. Pembedahan yang dilakukan dapat berupa insisi dan drainase
abses akut, eksisi nodul fibrotik. Pada penyakit yang luas dan kronis, dibutuhkan eksisi
komplit pada aksila atau area yang terlibat. Eksisi dalam hingga lapisan fascia
membutuhkan penutupan skin grafting.

IX. Komplikasi
Komplikasi lokal dapat berupa sikatriks yang membatasi mobilitas. Inflamasi pada
genitofemoral dapat mengakibatkan striktur anus, uretra atau rectum.

X. Prognosis
Tingkat keparahan penyakit ini sangat bervariasi. Banyak pasien hanya mengalami
gejala ringan yang rekuren, dapat sembuh sendiri, sehingga tidak berobat. Penyakit ini
biasanya mengalami remisi spontan pada usia >35 tahun. Pada beberapa individu,
gejalanya dapat menjadi progresif, dengan morbiditas nyata terkait pada penyakit kronis,
pembentukan sinus, dan sikatriks yang menimbulkan keterbatasan gerak.

You might also like