You are on page 1of 28

Laboratorium Ilmu Kesehatan Jiwa Refleksi Kasus

Fakultas Kedokteran

Universitas Mulawarman

AGORAFOBIA

Oleh:

Suhana Bt. Bahtiar

1610029014

Pembimbing:

dr. Hj. Irma Armenia, Sp. KJ

Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik

Laboratorium Ilmu Kesehatan Jiwa

Fakultas Kedokteran
Universitas Mulawarman

2017

2
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Agorafobia adalah ketakutan terhadap ruang terbuka, orang banyak serta


adanya kesulitan untuk segera menyingkir ke tempat aman. Menurut DSM-IV
TR, agora fobia berhubungan erat dengan gangguan panik. Kata panik berasal
dari kata Pan yaitu Dewa Yunani yang tinggal dipergunungan dan hutan serta
mempunyai tingkah laku yang sulit diramalkan. Riwayat gangguan panik ini
berasal dari konsep yang dikemukakan oleh Jacob Mendes DaCosta (1833-1900)
gejala-gejala seperti serangan jantung yang ditemukan pada tentara prajurit
Perang Saudara Amerika, dimana gejalanya meliputi gejala psikologik dan
somatik.

Istilah Agorafobia pertama kali dipakai pada tahun 1871 untuk


menggambarkan kondisi pasien yang takut pergi ketempat-tempat umum
sendirian. Berasal dari bahasa Yunani yaitu Agora dan Phobos yang berarti takut
terhadap situasi/suasana pasar. Agorafobia ditandai dengan ketakutan hebat yang
membuat tidak berdaya akan tempat atau situasi yang sulit untuk meloloskan diri
atau sulit untuk mendapatkan pertolongan apabila terjadi serangan cemas.2

Prevalensi hidup Gangguan panik kira-kira 1-4% populasi, sedangkan


serangan panik sekitar 3-6% wanita 2-3 kali lebih banyak menderita gangguan ini
dibandingkan laki-laki. Prevalensi Agorafobia kira-kira 2-6%. Gangguan panik
bisa terjadi kapan saja sepanjang hidup, onset tertinggi usia 20-an, ditandai
dengan perasaan serangan cemas tiba-tiba dan terus menerus, sesak nafas, disertai
perasaan akan datangnya bahaya serta ketakutan akan kehilangan kontrol atau
menjadi gila. Bila tidak diobati berisiko terjadinya ide bunuh diri dan percobaan
bunuh diri. Penatalaksanaan yang tepat kombinasi farmakoterapi dengan
psikoterpai akan memberikan hasil yang baik.2

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Tn. T

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 41 tahun

Status Perkawinan : Menikah

Agama : Islam

Suku : Bugis

Pendidikan : S1

Pekerjaan : Guru

Alamat : Jl. Provinsi RT. 14 Giri Mukti, Penajam


Paser Utara

2.2 Keluhan Utama : Sering panik

2.3 Riwayat Penyakit Sekarang

Autoanamnesis

Pasien datang dengan keluhan sering panik jika berada dikeramaian.


Keluhan ini sudah dirasakan oleh pasien sejak tahun 2011 yang lalu. Pada awal
sebelum serangan panik muncul timbul perasaan was-was dari pikiran pasien
bahwa jika maaghnya kambuh atau terjadi sesuatu pada pasien di keramaian
tersebut tidak akan ada yang membantunya sehingga timbul perasaan cemas dan

2
panik yang disertai dengan keringat dingin, jantung berdebar-debar, kepala
pusing, merasa mual namun tidak sampai muntah, kadang timbul nyeri dada
namun tidak pernah sampai pasien pingsan. Keluhan ini terus menerus pasien
rasakan apabila keluar sendirian dari rumah sejak enam tahun yang lalu, namun
keluhan ini tidak akan muncul apabila pasien berpergian keramaian bersama istri,
anak atau orang yang dikenalinya. Menurut pasien keluhan ini mulai dirasakan
pasien pada saat pasien keluar dari pintu rumah dan beberapa meter atau dalam
10-15 menit kemudian ia mulai merasakan keluhan tersebut. Pada saat serangan
panik tersebut muncul pasien berhenti dulu sebentar ditengah jalan untuk
meminum obat maagh, setelah meminum obat tersebut keluhannya mulai
berkurang dan pasien lanjutkan perjalanannya. Oleh karena keluhan ini muncul
akibat pasien memikirkan sakit maaghnya kambuh maka pasien telah rutin
berobat ke dokter spesialis penyakit dalam selama enam tahun ini untuk keluhan
sakit maaghnya namun keluhannya tidak kunjung berkurang. Pada tahun 2016
lalu, pasien dikonsulkan ke dokter spesialis kejiwaan karena keluhan tersebut dan
diberikan obat rutin No Pres dan resperidone. Selama meminum kedua obat ini
keluhan pasien telah berkurang dan pasien kini mampu keluar rumah sendiri.

Heteroanamnesis

Tidak dilakukan karena pasien datang sendirian.

2.4 Riwayat Penyakit Dahulu

Pasien mulai merasakan keluhan sering panik dikeramaian inni sejak 6 tahun
yang lalu. Menurut pasien awal dari keluhan ini adalah pada saat pasien mendapat
serangan sakit maagh hebat dirumah enam tahun yang lalu namun tiada keluarga
pasien di rumah sehingga pasien menahan sakit sendiir dirumah tanpa dapat
melakukan apapun, menurut pasien kondisinya saat itu snagat parah sehingga
pasien terfikir yang ia akan meninggal saat itu. Setelah kejadian tersebut, pasienn
sering membayangkan jika rasa sakit maagh yang berat akan muncul namun tidak

3
akan ada yang bantu dia pada saat dikeramaian nanti karrena tidak ada orang
yang dikenalinya.

2.5 Riwayat Penyakit Keluarga

Keluhan yang sama didalam keluarga disangkal namun adik kandung pasien
memiliki keluhan serinng mendengar bisikan-bisikan namun tidak pernah
dibawah berobat ke dokter psikiater.

2.6 Gambaran Premorbid

Pasien merupakan orang yang mudah stress ketika memikirkan masalah


yang ia hadapi.

2.7 Faktor Pencetus

Diduga karena adanya serangan maagh yang berat yang pernah dialami
pasien dan saat itu pasien sendirian di rumah.

2.8 Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien memiliki riwayat bersosial yang baik dan ekonomi yang mencukupi
untuk keluarga

2.9 Hubungan Dengan Keluarga Dan Lingkungan

Pasien memiliki hubungan baik dengan teman – teman kerjanya.

2.10 Status Generalis

Tanda Vital :

4
Tekanan darah : 120/80

Nadi : 88 x/menit

Nafas : 20 x/menit

Suhu : 36, 8 OC

Keadaan Umum : baik

Kesadaran : compos mentis, GCS E4 V5 M6

Sistem kardiovaskuler : tidak didapatkan kelainan

Sistem respiratorik : tidak didapatkan kelainan

Sistem gastrointestinal : tidak didapatkan kelainan

Sistem urogenital : tidak didapatkan kelainan

Kelainan khusus : tidak didapatkan kelainan

2.11 Status Neurologis

Panca indera : tidak didapatkan kelainan

Tanda meningeal : tidak dilakukan pemeriksaan

Tekanan intrakranial : tidak dilakukan pemeriksaan

Mata

Gerakan : normal

Pupil : isokor; Refleks Cahaya +/+

Diplopia : tidak ditemukan

Visus : tidak dilakukan pemeriksaan

2.12 Status Psikiatrik

5
Kesan umum : Pasien tampak rapi, kooperatif.

Kontak : kontak verbal baik, kontak visual baik

Kesadaran : komposmentis, atensi baik, orientasi tempat, waktu dan


ruang baik, Daya ingat baik

Emosi / afek : stabil, afek sesuai

Proses berpikir : Koheren, linear, waham (-)

Intelegensi : cukup (pasien merupakan lulusan S1 Guru)

Persepsi : halusinasi auditori (-), halusinasi visual (-), ilusi (-)

Kemauan : ADL Mandiri

Psikomotor : normal

2.13 Diagnosis Multiaksial

Aksis I : F40.0 Agorafobia

Aksis II : tidak ada diagnosis untuk aksis ini

Aksis III : Riwayat Gangguan Dispepsia Berat

Aksis IV : Masalah psikososial dan lingkungan lain

Aksis V : GAF 90-81 Gejala minimal berfungsi baik.

2.14 Penatalaksanaan

Psikofarmakologi:

1. No Pres 20 mg ½-0-0

2. Resperidone 2 mg 0-0-½

6
2.15 Prognosis

Dubia ad bonam jika:

Jika rutin dalam melakukan terapi dan dukungan keluarga untuk sering
memberikan perhatian kepada pasien.

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3. 1 Definisi

Agorafobia adalah keadaan takut akan ruang terbuka serta aspek lainnya
seperti orang banyak dan adanya kesulitan untuk segera menyingkir ke tempat
aman.1 Agorafobia dapat disertai ansietas umum, serangan panik
perasaan dizzisness dan unsteadiness serta sering ada depresi atau
depersonalisasi.

Istilah Agorafobia pertama kali dipakai pada tahun 1871 untuk


menggambarkan kondisi pasien yang takut pergi ketempat-tempat umum
sendirian. Berasal dari bahasa Yunani yaitu Agora dan Phobos yang berarti takut
terhadap situasi/suasana pasar. Agorafobia ditandai dengan ketakutan hebat yang
membuat tidak berdaya akan tempat atau situasi yang sulit untuk meloloskan diri
atau sulit untuk mendapatkan pertolongan apabila terjadi serangan cemas.2

3.2 Epidemiologi

Agorafobia dapat muncul pada usia muda dengan rata-rata timbulnya adalah
pada usia dua puluh lima tahun. Kebanyakan penderita adalah wanita pada onset
usia muda. Angka kejadian atau prevalensi agorafobia selama masa kehidupan
adalah 2-6%.2 Pada penelitian yang dilakukan di lingkungan psikiatrik dilaporkan
sebanyak tiga perempat pasien yang terkena agorafobia juga menderita gangguan
panik. Hasil yang berbeda ditemukan pada lingkungan masyarakat di mana
separuh dari pasien yang menderita agorafobia tidak menderita gangguan panik.

7
Kriteria diagnostic yang bervariasi serta beragamnya metode penelitian
menyebabkan terjadinya perbedaan pada hasil penelitian.2

3.3 Etiologi

Etiologi dari agorafobia belum diketahui secara pasti, tetapi patogenesis fobia
secara umum berhubungan dengan faktor-faktor biologis, genetik dan psikososial.

3.3.1 Faktor Biologis

Sistem neurotransmiter utama yang terlibat adalah


neuroepinefrin, serotonin, dan gamma-aminobutyric acid (GABA). Penelitian
tentang faktor biologis pada gangguan panik menghasilkan kesimpulan bahwa
gangguan panic berhubungan dengan kelainan atau abnormalitas pada struktur dan
fungsi otak.2,3 Keseluruhan data biologis telah menyebabkan suatu perhatian
kepada batang otak (khususnya neuron noradrenergik di lokus sereleus dan neuron
seretonergik di nucleus raphe medialis), system limbic (kemungkinan bertanggung
jawab untuk terjadinya kecemasan yang terjadi lebih dahulu (anticipatory anxiety)
dan korteks prafrontalis (kemungkinan bertanggung jawab untuk terjadinya
penghindaran fobik).

3.3.2 Faktor Genetik

Agorafobia diperkirakan dipicu oleh gangguan panik. Namun pada sebuah


penelitian menyatakan bahwa serangan panik akut tidak berhubungan dengan
kejadian agorafobia.6 Gangguan tersebut memiliki komponen genetik yang jelas,
gangguan panik dengan agorafobia merupakan bentuk yang lebih berat dari
gangguan panik, dan lebih mungkin diturunkan.2 Berbagai penelitian telah
menemukan bahwa adanya peningkatan resiko gangguan panik empat hingga
delapan kali lipat lebih banyak pada saudara kembar monozigotik dan cenderung
menderit ganggun panik dibandingkan dengan kembar dizigotik.

3.3.3 Faktor Psikososial

Fobia menggambarkan interaksi antara diatesis genetika-konstitusional


dan stressor lingkungan. Penelitian menyimpulkan bahwa anak-anak tertentu yang

8
ada predisposisi konstitusional terhadap fobia memiliki temperamen inhibisi
perilaku terhadap yang tak dikenal dengan stres lingkungan yang kronis akan
mencetuskan timbulnya fobia, misalnya perpisahan dengan orang tua, kekerasan
dalam rumah tangga dapat mengaktivasi diathesis laten pada anak-anak yang
kemudian akan menjadi gejala yang nyata.2,3
Pada agorafobia maupun gangguan panik, terdapat dua teori yang
menjelaskan tentang pathogenesis terjadinya gangguan tersebut. Teori perilaku-
kognitif dan teori psikoanalitik merupakan dua buah teori yang menjelaskan
etiologi agorafobia dari segi psikososialnya.

3.4 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis dari pasien dengan agorafobia adalah memiliki


kecenderungan untuk menghindari situasi yang sulit untuk mendapatkan bantuan.
Pasien dengan agorafobia lebih memilih untuk ditemani oleh orang lain seperti
teman dan anggota keluarganya di jalan yang ramai, toko yang padat, ruang
tertutup dan kendaraan tertutup.2,3 Pada keadaan yang berat, pasien agorafobia
dapat menolak keluar rumah dan ketakutan akan menjadi gila.

Gejala depresif sering ditemukan pada serangan panik dan agorafobia, dan
pada beberapa pasien suatu gangguan depresif ditemukan bersama-sama dengan
gangguan panik.

3.5 Diagnosis

Kriteria diagnostik agorafobia berdasarkan PPDGJ III dan DSM-IV-TR


memiliki perbedaan dimana kriteria berdasarkan PPDGJ III yang merujuk pada
ICD 10 tidak mengaitkan agorafobia dengan gangguan panik. Sedangkan kriteria
diagnostik berdasarkan DSM-IV-TR menggolongkan agorafobia sebagai akibat
9
dari gangguan panik (saling berkaitan). Berdasarkan penggolongan kriteria
diagnostic DSM-V yang terbaru dikatakan bahwa agorafobia merupakan diagnosa
yang independent dan tidak memiliki keterkaitan dengan gangguan panik.7

3.5.1 Kriteria Diagnostik Menurut PPDGJ III

Menurut Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa Edisi ke III


(PPDGJ-III), diagnosis pasti agorafobia harus memenuhi semua kriteria dengan
adanya gejala ansietas yang terbatas pada kondisi yang spesifik yang harus
dihindari oleh penderita.
Semua kriteria dibawah ini harus dipenuhi untuk kriteria pasti:
1. Gejala psikologis perilaku atau otonomik yang timbul harus merupakan
manifestasi primer dari ansietasnya dan bukan sekunder dari gejala-gejala lain
seperti misalnya waham atau pikiran obsesif
2. Ansietas yang timbul harus terbatas pada (terutama harus terjadi dalam
hubungan dengan) setidaknya dua dari situasi berikut banyak
orang/keramaian, tempat umum, berpergian keluar rumah, dan berpergian
sendiri, dan
3. Menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gejala yang menonjol.
3.5.2 Kriteria Diagnostik Menurut DSM-IV-TR

Menurut DSM-IV-TR, agorafobia dapat digolongkan atas gangguan panik


dengan agorafobia dan agorafobia tanpa gangguan panik. Dengan kriteria
diagnosis sebagai berikut:3

Kriteria untuk Agorafobia

A. Kecemasan berada di dalam suatu tempat atau situasi darinya kemungkinan


dirinya meloloskan diri, merasa malu, atau dimana kemungkinan tidak
terdapat pertolongan jika mendapat serangan panik atau gejala mirip panik
yang tidak diharapkan atau secara situasional. Ketakutan agorafobia biasanya
mengenai kelompok karakteristik, situasi, seperti di luar ruah sendirian;
berada ditempat ramai atau berdiri di sebuah barisan, berada diatas jembatan
atau bepergian dengan bis, kereta, atau mobil.

10
Catatan: pertimbangkan diagnosis fobia spesifik jika penghindaran adalah
terbatas pada satu atau beberapa situasi spesifik atau penghindaran terbatas
pada situasi sosial.
B. Situasi dihindari (misalnya jarang berpergian) atau jika dilakukan dengan
penderitaan yang jelas atau dengan kecemasan mendapat serangan panic atau
gejala panik atau perlu didampingi teman.
C. Kecemasan atau penghindaran fobik tidak lebih baik diterangkan
oleh gangguan mental lain seperti fobia sosial (misalnya penghindaran
terbatas pada situasi sosial karena takut dipermalukan), fobia spesifik
misalnya penghindaran terbatas situasi seperti lift, gangguan obsesif-
kompulsif misalnya menghidari kotoran pada seseorang dengan obsesi
tentang kontaminasi, gangguan stress pasca trauma misalnya menghindari
stimuli yang berhubungan dengan stressor yang berat, dan gangguan
cemas perpisahan misalnya menghindari meninggalkan rumah atau sanak
keluarga.
Catatan: Agorafobia bukanlah suatu gangguan yang diberi kode. Catatlah
diagnosis yang spesifik saat agorafobia terjadi misalnya gangguan panik
dengan agorafobia atau agorafobia tanpa riwayat gangguan panik.

Kriteria Diagnostik Agorafobia Tanpa Riwayat Gangguan Panik

A. Adanya agorafobia berhubungan dengan rasa takut mengalami gejala mirip


panic (misalnya, pusing atau diare)
B. Tidak pernah memenuhi kriteria untuk panic
C. Gangguan bukan karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya,
obat yang disalahgunakan, medikasi) atau suatu kondisi medis umum
D. Jika ditemukan suatu kondisi medis umum yang berhubungan, rasa takut yang
dijelaskan dalam kriteria A jelas melebihi dari apa yang biasanya
berhubungan dengan kondisi.

11
Kriteria Diagnostik Gangguan Panik dengan Agorafobia

Memenuhi dua kriteria:

A. Serangan panik berulang

B. Setidaknya satu dari serangan diikuti oleh satu atu lebih gejala di bawah ini
selama 1 bulan :

a) Pemikiran akan tejadinya serangan kembali

b) Merasa khawatir terhadap konsekuensi dari serangan itu sendiri


(serangan jantung, menjadi gila)

c) Perubahan sikap yang nyata yang berhubungan dengan serangan panik

C. Memenuhi kriteria agorafobia. Serangan panik bukan merupakan pengaruh


dari penggunaan zat maupun kondisi medik khusus

D. Serangan panik tidak lebih baik dicatat sebagai gangguan mental lainnya,
seperti fobia sosial, fobia spesifik, OCD, PTSD atau gangguan cemas
perpisahan.

3.6 Diagnosis Banding

Gangguan medis
Tabel 1. Diagnosis banding ganguan medis pada gangguan panik3

12
Penyakit kardiovaskular Anemia
Gagal jantung kongestif
Hipertensi
Angina, Miokard infark
Penyakit paru Asma
Hiperventilasi
Emboli paru
Penyakit neurologis Epilepsi
Huntington disease
Penyakit meniere
Multiple sklerosis
Migrain, tumor, infeksi
Penyakit endokrin Hipertiroid
Diabetes
Intoksikasi obat Amfetamin
Kokain
Hallusinogen
Nikotin
Gejala putus zat Alkohol
Opiat dan opioid
Obat hipnotik sedatif
Kondisi lainnya Anafilaksis
Uremia

Gangguan mental: gangguan cemas lainnya

Agorafobia tanpa Gangguan Panik:2,3

a. Gangguan Depresi Mayor

b. Skizofrenia

c. Gangguan Kepribadian Paranoid

d. Gangguan Kepribadian Cemas Menghindar

e. Gangguan Kepribadian Dependen

3.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan agorafobia sama dengan penatalaksanaan pada gangguan


panik yang terdiri dari penatalaksanaan secara farmakoterapi dan psikoterapi.2
Penatalaksanaan psikoterapi yang efektif salah satu diantaranya yaitu terapi
kognitif dan perilaku. Dengan terapi, sebagian besar pasien mengalami perbaikan
13
dramatis terhadap gejala serangan panik. Kombinasi terapi farmakologi dan
psikoterapi dinyatakan menjadi terapi yang paling efektif dalam mengatasi
agorafobia maupun gangguan panik.3,4

3.7.1 Farmakoterapi

Tujuan utama penatalaksanaan agorafobia adalah mengurangi atau


mengeliminasi gejala serangan panik, mencegah dan mengantisipasi ansietas serta
mengatasi keadaan komorbid yang menyertainya.4 Penggunaan modalitas terapi
harus diperhatikan dari segi faktor resiko serta keuntungan dari masing-masing
terapi sesuai dengan kebutuhan masing-masing dari penderita. Alprazolam
(xananx) dari golongan benzodiazepin dan paroksetin (paxil) dari golongan SSRI
(Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) adalah dua obat yang disetujui untuk
terapi gangguan panik.3

a. Selective Serotonine Reuptake Inhibitor (SSRI)

SSRI menjadi lini pertama dalam pengobatan farmakoterapi pada


gangguan mood dan ansietas, termasuk gangguan panik.4,5 SSRI efektif untuk
terapi gangguan panik akut maupun sebagai pengobatan jangka panjang gangguan
panik. Terapi awal pemberian SSRI dapat memberikan efek seperti meningkatnya
ansietas, rasa gelisah, gemetar dan agitasi.8 Oleh karena itu pemberian initial dose
harus diberikan dalam dosis kecil, yang kemudian dititrasi meningkat secara
perlahan. Terapi inisial dosis rendah diberikan selama 3 sampai 7 hari , kemudian
peningkatan dosis dilakukan perlahan tergantung dari toleransi tiap individu
hingga mencapai standar dosis terapi rumatan.5,8 Obat diberikan selama 3 sampai
6 bulan atau lebih, tergantung dari kondisi individu agar kadarnya stabil dalam
darah sehingga dapat mencegah terjadinya kekambuhan.1

Efek samping yang paling sering ditimbulkan SSRI antara lain adalah sakit
kepala, iritabel, mual serta gangguan gastrointestinal lainnya, insomnia, disfungsi
seksual, meningkatkan ansietas, rasa kantuk dan tremor. Pada SSRI penggunaan
dosis yang berlebihan lebih aman, efek pada fungsi kardiovaskular lebih sedikit
serta efek antikolinergik yang ditimbulkan lebih rendah.

14
Dosis pemberian obat SSRI sebaiknya diturunkan secara perlahan
(tapering) apabila pengobatan akan dihentikan, minimal 7 sampai 10 hari sebelum
menghentikan pengobatan. Terapi SSRI yang dihentikan secara tiba-tiba dapat
menyebabkan discontinuation syndrome8 pada sistem neurosensorik (parestesia,
shock-like reaction, mialgia), neuromotorik (tremor, gangguan keseimbangan
motorik, gangguan visual), gastrointestinal (mual, diare), neurophsyciatric
(cemas, iritabel), vasomotor (berkeringat) dan berbagai manifestasi lainnya seperti
insomnia, pusing, sakit kepala serta rasa lelah. Apabila terjadi gejala
diskontinuitas tersebut, maka terapi SSRI diberikan kembali sesuai dengan dosis
yang terakhir diberikan selama beberapa hari diikuti penurunan dosis secara
perlahan.8

Berikut ini adalah beberapa obat yang tergolong dalam SSRI:

a) Paroksetin
Paroksetin memiliki efek sedatif dan membuat pasien lebih tenang.
Pemberian dimulai pada dosis kecil dan dititrasi meningkat secara perlahan.
Pemberian awal 5 sampai 10 mg per hari selama 1 sampai 2 minggu pertama
kemudian dosisnya ditingkatkan 10 mg setiap 1 sampai 2 minggu hingga dosis
maksimum 60 mg.2 Apabila sedasi tidak dapat ditoleransi, dosis diturunkan
kembali hingga 10 mg per hari dan digantii fluoxetine pada 10 mg per hari dan
dititrasi meningkat.
Pendekatan konservatif adalah dengan memulai paroksetin, sentralin
(Zoloft) atau fluvoxamin (Luvox) pada gangguan panik terisolasi.3 Dosis rumatan
20-40 mg/hari.8 Mekanisme aksi terhadap neutransmiter lain terbatas, termasuk
pada reseptor muskarinik. Konsentrasi plasma dicapai setelah 5 jam. Metabolisme
di hati dan di ekskresi melalui urin dan feses dalam bentuk metabolit.10
b) Fluoxetine
Merupakan serotonin selektif reuptake inhibitor yang potensial. Fluoxetine
tidak berikatan dengan adrenoreseptor atau histamine, GABA-B atau reseptor
muskarinik. Konsentrasi plasma dicapai setelah 6-8 jam. Penggunaan jangka
panjang fluoxetin (Prozac) adalah obat yang efektif untuk panik yang bersamaan
dengan depresi, efek samping awalnya dapat menyerupai gejala panik selama
beberapa minggu.3 Dosis rumatan 20-40 mg/hari.
15
c) Fluvoxamin
Fluvoxamin merupakan derivat alkylketone, bekerja dalam mencegah
pengambilan (reuptake) serotonin di neuron otak. Diabsorbsi secara oral pada
traktus gastrointestinal. Metabolisme di hati menjadi bentuk inaktif melalui proses
oksidasi demetilasi dan deaminasi, ikatan protein plasma 70%. Ekskresi melalui
urin. Dosis efektif 100-300 mg/hari4,5,8

b. Benzodiazepin

Awitan kerja paling cepat, sering pada minggu pertama dapat digunakan
untuk waktu yang lama tanpa timbul toleransi terhadap efek antipanik.
Alprazolam yang paling luas digunakan untuk gangguan panik. Lorazepam
(ativan) dan klonazepam (klonopin) juga menunjukkan efektifitas yang sama.
Benzodiazepin dapat digunakan awal bersama serotonergik dan dosis dititrasi
hingga dosis terapeutik hingga 4-12 minggu dosis dapat dirunkan minggu dan
obat serotonergik (SSRI) diteruskan. Pemberian singkat aprazolam bersamaan
dengan SSRI dapat digunakan pada keadaan yang berat, diikuti dengan penurunan
dosis secara perlahan.3 Benzodiazepin dapat menyebabkan ketergantungan,
gangguan kognitif terutama penggunaan jangka panjang. Penghentian
benzodiazepin dapat menimbulkan gejala putus zat dan meningkatkan angka
kekambuhan pada gangguan panik. Berikut ini adalah beberapa golongan
benzodiazepine yang digunakan pada terapi gangguan panik:

a) Alprazolam

Alprazolam memiliki efek anti-ansietas, muscle relaxan, antikonvulsan,


antidepresi.10 Alprazolam berikatan dengan reseptor-reseptor spesifik yang
terdapat pada susunan saraf pusat seperti GABA. Seperti senyawa benzodiazepine
lainnya, aprazolam menyebabkan depresi susunan saraf pusat yang bervariasi.
Konsentrasi plasma dicapai setelah 1-2 jam.

b) Lorazepam

Merupakan benzodiazepin jenis short-acting yang memodulasi GABAA


reseptor. Konsentrasi plasma dicapai dalam 2 jam. Onset pemberian secara
intramuskular sekitar 20-30 menit untuk memberikan efek hypnosis, efek sedasi

16
melalui intravena dicapai dalam 5-20 menit, sedangkan onset peroral adalah 30-60
menit.10

c) Clonazepam

Clonazepam adalah antikonvulsan yang efektif dengan meningkatkan


aktivitas GABA dan bekerja sebagai anti cemas. Kadar plasma dicapai dalamm 4
jam. Clonazepam dapat melalui sawar plasenta.10

Tabel 2. Dosis pemberian obat antidepresan dan benzodiazepine pada


gangguan panik

(Stein, MB et al. Practice Guideline for The Treatment of Patients With Panic Disorder,
Second Edition, 2009)

3.7.2 Psikoterapi

Psikoterapi merupakan terapi atau pengobatan yang menggunakan cara-


cara psikologis, yang dilakukan oleh seseorang yang terlatih khusus yang
menjalin hubungan kerjasama secara professional dengan seorang pasien dengan
tujuan untuk menghilangkan, mengubah, atau menghambat gejala-gejala dan
17
penderitaan akibat penyakit.11 Psikoterapi dilakukan dengan wawancara atau
interview. Hal penting dalam wawancara adalah tujuan terapeutik dan penegakan
diagnosis yang diperoleh dengan menjalin hubungan interpersonal yang baik dari
waktu ke waktu setiap kali wawancara dilakukan.

Terapi kognitif dan perilaku

Merupakan terapi yang efektif untuk gangguan panik yang memerlukan


usaha serta kerjasama dari terapis dan individu itu sendiri. Beberapa penelitian
mengatakan bahwa psikoterapi ini mengungguli terapi secara farmakologis,
beberapa yang lain mengatakan hal yang sebaliknya. Tetapi kombinasi
farmakologi dan psikoterapi lebih efektif dibandingkan terapi itu secara
tersendiri.3 Tujuan utama dari terapi kognitif pada gangguan panik adalah
mengenai keyakinan pasien yang salah dan informasi mengenai serangan panik.3,4
Instruksi yang salah menyebabkan pasien salah mengartikan sensasi tubuh ringan
sebagai tanda akan terjadinya serangan panik, gangguan fisik yang akan
mengancam atau menyebabkan kematian.

Terapi ini secara tidak langsung mengajak individu untuk membentuk


kembali pola perilaku menjadi lebih rasional serta restrukturisasi kognitif.
Individu dilatih untuk membuat daftar pengalaman harian serta cara individu
dalam menyikapi berbagai peristiwa yang dialami dan dilakukan evaluasi setiap
kali pertemuan. Pada sebuah penelitian mengenai perbandingan terapi kognitif
dan perilaku dengan terapi perilaku itu sendiri, diperoleh fakta bahwa terapi
kognitif dan perilaku, keduanya menjadi kombinasi terapi yang lebih unggul
secara bersama-sama dibandingkan dengan terapi perilaku secara tunggal.9

Terapi Relaksasi

Terapi ini bermanfaat secara relatif cepat untuk meredakan serangan panik
dan memenangkan individu. Tujuan terapi relaksasi adalah memberikan pasien
rasa kendali mengenai tingkat ansietas dan relaksasi. Teknik dasar menggunakan
terapi relaksasi otot dan membayangkan situasi yang membuat santai, sehingga
pasien menguasai teknik yang dapat membantu saat terjadi serangan panik.1,4
Individu diperkenalkan kepada sensasi ketegangan dan sesudah itu sensai relaks.

18
Individu harus bisa membedakan antara sensasi saat panik dengan sensasi relaks.
Lazarus menggabungkan teknik terapi relaksasi dengan pernapasan.11
Hiperventilasi dianggap berhubungan dengan serangan panik yang mungkin
berkaitan dengan sejumlah gejala seperti pusing dan pingsan, pendekatan
langsung adalah melatih pasien untuk melakukan hiperventilasi. Lazarus juga
mengatakan bahwa terapi hipnosis dapat digunakan untuk menginduksi relaksasi.

Relaksasi dapat berfungsi sebagai teknik tunggal atau sebagai kombinasi


bersama terapi lainnya, seperti terapi perilaku dan desentisasi sistematik. Sebelum
dilakukan terapi relaksasi, individu perlu dipersiapkan dan diberi penjelasan yang
cukup agar dapat bekerja sama dan memfokuskan dirinya untuk melakukan
relaksasi itu sendiri. Tenkik relaksasi ini sebaiknya tidak digunakan untuk keadaan
asma bronkial, pasien dengan psikosis akut, depresi agitatif atau yang mudah
terkena disosiasi. Pada permulaan terapi relaksasi pada gangguan panik dapat
timbul ansietas yang diinduksi oleh relaksasi itu sendiri.11

Pajanan in Vivo

Teknik ini meliputi pemajanan terhadap stimulus yang ditakuti dan semakin lama
semakin berat. Dengan demikian pasien akan mengalami desensitisasi terhadap
stimulus yang ditakuti.4 Saat ini selain digunakan stimulus eksternal yang ditakuti,
juga digunakan stimulus atau pajanan internal yang ditakuti oleh individu seperti
pernafasan yang cepat dan rasa takut mengalami rasa panik.

Psikoterapi dinamik

Psikoterapi dinamik merupakan sebuah terapi psikiatri yang diterapkan


dari teori Sigmund Freud. Terapi berfokus membantu pasien mengerti arti ansietas
yang tidak disadari telah dihipotesiskan, simbolis situasi yang dihindari,
kebutuhan untuk menekan impuls dan keuntungan sekunder gejala tersebut.
Individu diajak untuk lebih memahami diri dan lingkungannya (berdasarkan
tilikan), bukan hanya sekedar menghilangkan gejalanya semata.

Pengalaman traumatik yang terutama terjadi pada awal kehidupan dapat


menimbulkan konflik psikologis. Sebagian besar aktivitas mental dipengaruhi
oleh alam bawah sadar dan pikiran sadar dilindungi dari pengalaman konflik

19
dengan mekanisme yang dirancang untuk mengurangi kecemasan. Mekanisme
tersebut berkembang dalam kehidupan dewasa dan menghasilkan gejala
psikologis atau kurangnya kemampuan untuk pertumbuhan dan pemenuhan
personal. Keluarga individu dan hubungan pribadi sebelumnya dapat bermakna
dalam mencapai tujuan psikoterapi itu sendiri, yaitu pemahaman dan perubahan
pada individu. Pada sebuah penelitian, penerapan psikotereapi dinamik dengan
pemberian Clomipramine menunjukkan bahwa angka kekambuhan berkurang
dibandingkan dengan terapi clomipramine itu sendiri (Wilborg and Dahl 1996).5

Terapi Keluarga

Terapi keluarga dan kelompok dapat membantu penderita dan keluarganya


menyesuaikan diri dengan kenyataan bahwa pasien memiliki gangguan dan
menyesuaikan diri dengan kesulitan psikososial yang dapat dicetuskan gangguan
tersebut.

3.8 Prognosis

Agorafobia dapat menjadi kronis dan dapat terjadi kormobiditas dengan


gangguan lain seperti depresi, penyalahgunaan alcohol dan obat bila tidak
mendapat terapi. Menurut National Institute of Mental Health, 30% hingga 40%
akan bebas dari gejala untuk waktu yang lama dan 50% masih ada gejala ringan
yang secara bermakna tidak mengganggu kehidupan sehari-hari. Hanya 10%
hingga 20% yang tidak membaik.2 Agorafobia tnpa riwayat gangguan panik
seringkai menyebabkan ketidakberdayaan dan kronis. Gangguan depresif dan
ketergantungan alkohol sering kali menjadi komplikasi pada perjalanan penyakit
agorafobia.

20
21
BAB IV
PEMBAHASAN

Teori Fakta
Anamnesis Anamnesis
Istilah Agorafobia pertama kali Sering panik jika berada dikeramaian.
dipakai pada tahun 1871 untuk Keluhan ini sudah dirasakan oleh
menggambarkan kondisi pasien yang pasien sejak tahun 2011 yang lalu.
takut pergi ketempat-tempat umum Pada awal sebelum serangan panik
sendirian. Berasal dari bahasa Yunani muncul timbul perasaan was-was dari
yaitu Agora dan Phobos yang berarti pikiran pasien bahwa jika maaghnya
takut terhadap situasi/suasana pasar. kambuh atau terjadi sesuatu pada
Agorafobia ditandai dengan ketakutan pasien di keramaian tersebut tidak akan
hebat yang membuat tidak berdaya ada yang membantunya sehingga
akan tempat atau situasi yang sulit timbul perasaan cemas dan panik yang
untuk meloloskan diri atau sulit untuk disertai dengan keringat dingin, jantung
mendapatkan pertolongan apabila berdebar-debar, kepala pusing, merasa
terjadi serangan cemas. mual namun tidak sampai muntah,
kadang timbul nyeri dada namun tidak
Manifestasi klinis dari pasien pernah sampai pasien pingsan. Keluhan
dengan agorafobia adalah memiliki ini terus menerus pasien rasakan
kecenderungan untuk menghindari apabila keluar sendirian dari rumah
situasi yang sulit untuk mendapatkan sejak enam tahun yang lalu, namun
bantuan. Pasien dengan agorafobia keluhan ini tidak akan muncul apabila
lebih memilih untuk ditemani oleh pasien berpergian keramaian bersama
orang lain seperti teman dan anggota istri, anak atau orang yang dikenalinya.
keluarganya di jalan yang ramai, toko Menurut pasien keluhan ini mulai
yang padat, ruang tertutup dan dirasakan pasien pada saat pasien
kendaraan tertutup.2 keluar dari pintu rumah dan beberapa
meter atau dalam 10-15 menit
kemudian ia mulai merasakan keluhan
tersebut. Pada saat serangan panik
tersebut muncul pasien berhenti dulu
sebentar ditengah jalan untuk
meminum obat maagh, setelah
meminum obat tersebut keluhannya
mulai berkurang dan pasien lanjutkan
perjalanannya.

Diagnosis
Pasien menunjukkan gejala panik apabila
berada dikeramaian saat berpergian

22
Diagnosis sendiri namun tidak merasakan adanya
keluhan saat pasien berpergian dengan
Kriteria diagnostik agorafobia keluarga atau orang yang dikenalinya.
berdasarkan PPDGJ III dan DSM-IV-
Pada awal sebelum serangan panik
TR menggolongkan agorafobia
muncul timbul perasaan was-was dari
sebagai akibat dari gangguan panik
pikiran pasien bahwa jika maaghnya
(saling berkaitan). Berdasarkan
kambuh atau terjadi sesuatu pada pasien
penggolongan kriteria diagnostic
di keramaian tersebut tidak akan ada
DSM-V yang terbaru dikatakan bahwa
yang membantunya sehingga timbul
agorafobia merupakan diagnosa yang
perasaan cemas dan panik yang disertai
independent dan tidak memiliki
dengan keringat dingin, jantung
keterkaitan dengan gangguan panik.7
berdebar-debar, kepala pusing, merasa
Kriteria Diagnostik Menurut mual namun tidak sampai muntah,
PPDGJ III kadang timbul nyeri dada namun tidak
pernah sampai pasien pingsan. Keluhan
Menurut Pedoman Penggolongan ini terus menerus pasien rasakan apabila
Diagnostik Gangguan Jiwa Edisi ke keluar sendirian dari rumah sejak enam
III (PPDGJ-III), diagnosis pasti tahun yang lalu.
agorafobia harus memenuhi semua
kriteria dengan adanya gejala ansietas Status Psikiatri Pasien:
yang terbatas pada kondisi yang
Kesan umum: Pasien tampak rapi,
spesifik yang harus dihindari oleh
kooperatif.
penderita.
Semua kriteria dibawah ini harus Kontak: kontak verbal baik, kontak
dipenuhi untuk kriteria pasti: visual baik
1. Gejala psikologis perilaku atau
otonomik yang timbul harus Kesadaran: komposmentis, atensi baik,
merupakan manifestasi primer dari orientasi tempat, waktu dan ruang baik,
ansietasnya dan bukan sekunder Daya ingat baik
dari gejala-gejala lain seperti Emosi / afek : stabil, afek sesuai
misalnya waham atau pikiran
obsesif Proses berpikir: Koheren, linear,
2. Ansietas yang timbul harus terbatas waham (-)
pada (terutama harus terjadi dalam Intelegensi: cukup (pasien merupakan
hubungan dengan) setidaknya dua lulusan S1 Guru)
dari situasi berikut banyak
orang/keramaian, tempat umum, Persepsi: halusinasi auditori (-),
berpergian keluar rumah, dan halusinasi visual (-), ilusi (-)
berpergian sendiri, dan
Kemauan: ADL Mandiri
3. Menghindari situasi fobik harus
atau sudah merupakan gejala yang Psikomotor: normal
menonjol.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan secara farmakoterapi

23
dan psikoterapi.2 Penatalaksanaan
Terapi Farmakoterapi Farmakoterapi :
- SSRI - No Pres 20 mg ½-0-0
- Benzodiazepin - Resperidone 2 mg 0-0-½
Terapi Fisioterapi
- Terapi Kognitif dan Perilaku
- Terapi Relaksasi
- Terapi Pajanan In Vivo
- Terapi Keluarga
- Psikoterapi Dinamik
BAB V
PENUTUP

Agorafobia merupakan keadaan takut terhadap ruang terbuka serta


terhadap orang banyak di mana penderita di dalam keadaan yang sulit untuk
mendapatkan pertolongan. Angka kejadiannya pada wanita lebih banyak
dibandingkan pada pria pada onset usia muda. Agorafobia tidak selalu terjadi oleh
karena gangguan panik. Penyebab terjadinya agorafobia dilihat dari patogenesis
terjadinya, dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu, faktor biologis, faktor genetik
dan faktor psikososial. Gejala klinis dari agorafobia antara lain adalah memiliki
kecenderungan untuk menghindari situasi yang sulit mendapatkan pertolongan
dan lebih memilih untuk didampingi orang terdekat saat berpergian. Diagnosis
agorafobia ditegakkan berdasarkan kriteria diagnostic DSM-IV-TR dan PPDGJ III
membagi agorafobia tanpa riwayat gangguan panik dan agorafobia dengan
gangguan panik.

Penatalaksanaan agorafobia sama seperti pada penatalaksanaan gangguan


panik. Penatalaksanaan itu antara lain merupakan terapi farmakologis dan
psikoterapi. Penatalaksanaan farmakoterapi yang digunakan ialah obat-obat
golongan SSRI (Selective Serotonin Reuptake Inhibitor) sebagai anti depresan
serta obat-obat golongan benzodiazepine yang bekerja sebagai anti ansietas.
Penatalaksanaan psikoterapi yang terbaik ialah terapi kognitif dan perilaku, selain
24
itu juga dapat dilakukan terapi relaksasi, pajanan in vivo, terapi psikodinamik
serta terapi keluarga. Agorafobia dapat berlangsung kronis dan berulang,
komplikasi yang dapat menyertai agorafobia adalah keadaan depresi.

DAFTAR PUSTAKA

1. Kusumadewi I, Elvira SD. Gangguan Panik. Dalam: Buku Ajar Psikiatri


Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi Kedua. Badan Penerbit FK
UI. Jakarta: 2013. Hal 258-263
2. Kandou, JE. Fobia. Dalam: Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Edisi Kedua. Badan Penerbit FK UI. Jakarta: 2013. Hal
265-272
3. Kaplan & Sadock. Buku Ajar Psikiatri Klinis. Edisi 2. Penerbit ECG. Jakarta:
2010. Hal. 239-241
4. Kinrys G, Pollack MH. Panic Disorder and Agorafobia dalam Clinical Manual
Of Anxiety Disorders. American Psychiatric Publishing. 2004. 13-36.
5. Stein DJ, Hollander E et al. Textbook of Anxiety Disorders. American
Psychiatric Publishing. 2009. 367-417
6. Bienvenu, OJ et al. Agorafobia in adults: incidence and longitudinal
relationship with panic. The British Journal of Psychiatry. 2006. Diunduh dari:
http:/bjp.rcpsych.org/

25
7. Wittchen, Hans-Ulrich et al. Agorafobia: A Review of The Diagnostik
Classificatory Positionand Criteria. 2010. Diunduh dari: http:/dsm5.org/
8. Stein MB et al. Practice Guideline For The Treatment of Patients With Panic
Disorder. Second Edition. American Psychiatric Association: 2009. Diunduh
dari: http://psychiatryonline.org/content.aspx?bookid=28&sectionid=1680635
9. Manjula M, Kumariah, V et al. Cognitive behavior therapy in the treatment of
panic disorder. Indian Journal of Psychiatry. 2009 Apr-Jun; 51(2): 108-116.
Diunduh dari: www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2755166/
10. Antidepressan, Anxyolitics Drugs. Diunduh dari:
www.mims.com/Indonesia/drug/search/
11. Elvira SD. Psikoterapi. Dalam: Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Edisi Kedua. Badan Penerbit FK UI. Jakarta: 2013. Hal
390-405

26

You might also like