You are on page 1of 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Iskemia serebri, seperti yang telah kita ketahui, biasanya disebabkan oleh gangguan
suplai darah arterial otak. Keadaan ini dapat pula disebabkan oleh gangguan aliran darah
vena, meskipun sangat jarang. Jika vena serebri tersumbat, volume darah dan tekanan vena
meningkat di region otak yang normalnya dialirkan. Perbedaan tekanan arteriovenosa pada
kapiler cerebral menurun (aliran darah yang masuk terhambat), menimbulkan penurunan
perfusi dan dengan demikian menurunkan suplai oksigen dan nutrient. Secara simultan,
gradient tekanan transkapiler meningkat, menyebabkan peningkatan pergerakan air dari
kapiler ke jaringan sekitarnya (sedema vasogenik). Neuron pada jaringan otak yang terkena
kehilangan kemampuan untuk berfungsi normal dan jika masalah ini menetap neuron tersebut
mati. Infark venosus biasanya disertai rupture pembuluh darah kecil (kemungkinan vena) di
zona infark, menyebabkan perdarahan intraparenkimal (yang disebut perdarahan vena, yang
memiliki karakteristik berupa gambaran “salt-and-pepper” pada CT scan).

Walaupun cerebral sinus venosus merupakan kasus yang jarang namun ini sangat
penting untuk dipertimbangkan karena potensi perkembangan penyakitnya yang dapat
menyebabkan kematian. Pengetahuan mengenai anatomi sistem vena adalah penting untuk
mengevaluasi pasien dengan sinus venosus thrombosis, dimana manifestasi klinis yang
muncul sangat bervariasi dan berhubungan dengan lokasi terbentuknya thrombus di sunus
venosus.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Vaskular Sistem Saraf Pusat

Suplai darah serebral berasal dari arteri karotis interna dan arteri vertebralis. Arteri
karotis interna pada kedua sisi menghantarkan darah ke otak melalui percabangan utamanya,
arteri serebri media dan arteri serebri anterior serta arteri khoroidalis anterior (sirkulasi
anterior). Kedua arteri vertebralis bergabung di garis tengah pada batas kaudal pons untuk
membentuk arteri basilaris, yang menghantarkan darah ke batang otak dan serebelum, serta
sebagian hemisfer serebri melalui cabang terminalnya, arteri serebri posterior (sirkulasi
posterior). Sirkulasi anterior dan posterior berhubungan satu dengan lainnya melalui sirkulasi
anteriosus Willisi. Terdapat pula banyak hubungan anastomosis lain diantara arteri-arteri yang
mendarahi otak, dan antara sirkulasi intracranial dan ekstrakranial; sehingga oklusi pada
sebuah pembuluh darah besar tidak selalu menimbulkan stroke karena jaringan otak di bagian
distal oklusi mungkin mendapatkan perfusi yang adekuat dari pembuluh darah kolateral.

Darah vena otak mengalir dari vena profunda serebri dan vena superfisialis serebri
menuju sinus venosus duramater, dan disinilah menuju ke vena jugularis interna kedua sisi,
yang mana akan membawa darah kembali ke jantung.

Gangguan jangka panjang pada aliran darah ke salah satu bagian otak menyebabkan
hilangnya fungsi dan akhirnya terjadi nekrosis iskemik jaringan otak (infark serebri). Iskemik
serebri umumnya bermanifestasi sebagai deficit neurologis dengan onset tiba-tiba (oleh sebab
itu disebut dengan stroke dengan stroke), akibat hilangnya fungsi bagian otak yang terkena.
Namun, kadang-kadang deficit muncul secara bertahap dan bukan tiba-tiba. Penyebab
iskemik tersering pada sisi arteri sirkulasi serebral adalah emboli (biasanya berasal dari
jantung atau dari plak ateromatosa, misalnya di aorta atau bifurkasio karotidis) dan oklusi
langsung pembuluh darah yang berukuran kecil atau menengah oleh arteriosklerosis
(mikroangiopati serebral, biasanya akibat hipertensi. Iskemik serebral juga dapat terjadi
akibat gangguan drainase vena (thrombosis vena serebral atau thrombosis sinus venosus).

Penyebab lain sindrom stroke adalah perdarahan intracranial, yang dapat terjadi ke
parenkim otak itu sendiri (perdarahan intraserebral) atau ke kompartemen meningeal
sekitarnya (perdarahan dan hematoma subarachnoid , subdural dan epidural).

Suplai darah medulla spinalis terutama diperoleh dari arteri spinalis anterior yang tidak
berpasangan dan sepasang arteri spinalis posterolateralis. Arteri spinalis anterior menerima
kontribusi dari berbagai arteri segmentalis. Seperti pada otak, medulla spinalis dapat
mengalami kerusakan akibat perdarahan atau iskemia yang berasal dari arteri atau vena.

2.2 Defenisi

2
Sinus dura atau sinus venosus merupakan aliran dari vena-vena superfisialis dan profunda
serebri. Sinus dura tersebut terdiri dari : Sinus venosus kranialis, Sinus sagitalis superior,
Sinus rectus, Sinus transverses, Sinus sigmoideus, Sinus kavernosus. Terjadinya oklusi pada
salah satu daerah sinus venosus yang disebabkan oleh thrombus disebut dengan cerebral sinus
venosus thrombosis. Bagian sinus yang paling sering terkena adalah sinus sagitalis superior
(72%) dan sinus lateral (70%). Dalam sepertiga kasus lebih dari satu sinus yang terlibat
namun juga dapat melebitkan lebih dari satu sinus dan pada kasus yang lebih lanjut lagi
disertai dengan keterlibatan vena-vena serebri.

Nama lain yang juga sering digunakan untuk menyebutkan cerebral sinus venosus thrombosis
yaitu :

- Cerebral venous thrombosis (CVT)


- Cerebral vein thrombosis
- Cerebral venous and sinus thrombosis
- Cerebral venous sinus thrombosis (CVST)
- Cerebral sinovenous thrombosis (CSVT)
- Cerebral vein and dural sinus thrombosis
- Sinus and cerebral vein thrombosis

2.3 Etiologi

Faktor pencetus dapat diidentifikasa pada 80% pasien CSVT. Sejumlah kondisi dapat
menyebabkan atau mencetuskan terjadinya CVST dan sering lebih dari satu penyebab yang
akan ditemukan pada seorang pasien. Faktor pencetus tersebut antara lain koagulopati seperti
defesiensi protein C dan protein S, defesiensi faktor V, dan antibody kardiolipin, serta
penggunaan kontrasepsi oral, merokok, terapi steroid, dehidrasi, penyakit autoimun seperti
penyakit Behcet dan penyakit Crohn, serta puerpurium.

Pada anak baru lahir (newborn) faktor pencetus tersering adalah infeksi seperti otitis,
mastoiditis dan sinusitis.

2.4 Epidemiologi

CVT merupakan bentuk stroke yang jarang terjadi. Hanya 1500 orang di USA yang
didiagnosa sebagai CVT per tahunnya. CVT dapat mengenai semua umur tetapi anak-anak
lebih sering dibandingkan dewasa. Bayi yang baru lahir pada bulan pertamanya memiliki
resiko yang lebih besar terkena CVT. Secara keseluruhan, hanya 3 dari 300.000 anak-anak
dan remaja hingga usia 18 tahun yang menderita CVT.

2.5 Patofisiologi

Patofisiologi penting untuk membedakan antara thrombosis pada arteri atau pada
vena. CVT dideskripsikan sebagai proses yang berkelanjutan yang mana terjadi gangguan
keseimbangan proses prothrombotik dan trombolitik, mengarah kepada perkembangan waktu
terjadinya thrombus di venous. Perkembangan yang lambat dari thrombus dan aliran
pembuluh vena kolateral yang baik mungkin dapat menjelaskan perkembangan onset hingga

3
timbul gejala yang biasanya dapat terjadi setelah beberapa minggu atau beberapa bulan.
Onset yang tiba-tiba bagaimanpun juga dapat terjadi.

Obstruksi dari aliran darah karena bekuan darah di vena menyebabkan


terbendungnya darah dan meningkatkan tekanan darah di pembuluh darah yang sebelumnya
telah obstruksi.Peningkatan tekanan mengakibatkan pembengkakan bagian dari serebri,
sehingga menghasilkan sakit kepala; tekanan tersebut dapat merusak jaringan otak, sehingga
menyebabkan symptom seperti stroke.Peningkatan tekanan dari pembuluh darah dapat juga
menyebabkan terjadinya rupture pembuluh darah dan perdarahan ke dalam otak yang disebut
cerebral hemorarhage. Ini mengacu pada venous hemorrhage infarction atau venous
hemorrhage stroke. Itu dapat mengarah kepada kerusakan jaringan otak yang lebih lanjut.
Lebih dari sepertiga pasien dengan CVT mengalami perdarahan.

2.6 Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis dari CVT sangat bervariasi tergantung pada lokasi dan luas oklusi
vena, proses terjadinya oklusi serta tingkat drainase kolateral yang tersedia.Pada satu pasien ,
oklusi yang relative terbatas dapat menimbulkan perdarahan intraparenkimal luas, sedangkan
pada pasien lain, oklusi yang luas dapat hampir tidak menimbulkan gejala.

Efek CVT terhadap status mental agak bervariasi, terhadap beberapa pasien tidak
menunjukkan perubahan pada kesadaran, pada perkembangan yang lain dapat berkembang
menjadi mid confuse dan proses lebih lanjut dapat terjadi koma.

Pada gangguan nervus kranialis dapat ditemukan papilledema, hemianopia dan parese
abducens, kelemahan wajah dan keadaan tuli. Jika thrombosis menyebar ke vena jugular,
dapat berkembang melibatkan nervus kranialis IX,X,XI dan XII dengan sindrom vena
jugular.

Trombosis pada sinus sagitalis superior dapat menimbulkan paralysis unilateral yang
kemudian dapat menyebar ke sisi bagian yang lain (paraplegia). Trombosis sinus cavernosus
dapat menghambat vena optalmica yang berhubungan dengan proptosis dan edema periorbital
ipsilateral. Perdarahan retina dan papiledema juga dapat terjadi. Paralysis dari gerakan
extraocular, ptosis dan menurunnya sensasi rasa adalah bagian pertama dari gangguan nervus
trigeminal.Secara umum berikut beberapa gejala yang mungkin terjadi :

- Onset dapat tiba-tiba atau perlahan-lahan selama beberapa jam atau beberapa hari
- Sakit kepala
- Mual dan muntah
- Pandangan kabur
- Defisit neurologis fokal : hemipareses dan hemisensoris, kejang, kelemahan berbicara
(afasia), heminanopia, confuse,penurunan kesadaran.
- Peningkatan tekanan intracranial : papiledema

4
Pada kasus-kasus thrombosis sinus venosus, perburukan klinis yang nyata dapat terjadi
pada waktu yang sangat singkat, kemungkinan dalam beberapa jam. Keadaan tersebut
biasanya diakibatkan keterlibatan vena internae serebri atau perdarahan intraparenkim yang
luas.

2.7 Diagnosa Banding

- Parese Nervus Abducens

- Blood dyscrassias dan stroke

- Sindrom sinus cavernosus

- Head Injury

- HIV-1 berhubungan deng infeksi opportunistic : cytomelovirus ensefalitis

- Intrakranial epidural abses

- Pseudotumor cerebri

- Sarcoidosis dan neuropaty

- Meningitis staphylococcal

- Status epileptikus

- Subdural empiema

- SLE (Systemic Lupuis Erythematosus)

2.8 Evaluasi Diagnostik

Diagnosis thrombosis sinus venosus umumnya sulit bahkan bila menggunakan


metode pencitraan modern – CT, MRI dan digital substraction angiography (DSA).

Computed Tomography (CT). Kasus akut yang klasik dapat didiagnosa dengan CT,
terutama bila menggunakan CT venografi dengan medium kontras. Masalah sering
disebabkan oleh varian congenital pada anatomi vaskuler, oklusi yang tidak terlalu luas, dan
oleh thrombosis sinus rectus dan vena internae serebri. Trombosis sinus venosus yang lama
juga sulit dinilai dengan CT.

Magnetic Resonance Imaging (MRI). MRI saat ini merupakan teknik diagnostic terpenting
untuk evaluasi aliran vena di otak. Pemeriksaan ini menunjukkan vena pada berbagai bidang,
dan dilakukan dengan sekuens sensitive-aliran untuk memperlihatkan aliran intravena.
Resolusinya cukup tinggi sehingga vena internae serebri dapat terlihat dengan baik.

5
MRI juga memungkinkan visualisasi parenkim otak. Lokasi dan gambaran lesi parenkimal
dapat memberikan petunjuk mengenai lokasi obstruksi vena: oklusi venae interna serebri,
misalnya menimbulkan lesi talamik yang khas, sedangkan thrombosis sinus tranversus
menimbulkan lesi khas di lobus temporalis. Namun, kekuatan diagnostic MRI oleh varian
anatomi pembuluh darah otak (seperti pasa CT) dan juga oleh beberapa efek yang berkaitan
dengan aliran yang hingga saat ini belum dipahami. Karena itu, MRI tidak dapat mendeteksi
semua kasus thrombosis sinus venosus, dan kadang-kadang dapat memberikan hasil positif
palsu. Selain itu, pemindaian MRI pada pasien yang tidak kooperatif atau tidak sadar kadang-
kadang sangat sulit dan hasil gambarannya memiliki makna diagnostic yang rendah. Pada
kasus ekstrim, pasien harus dilakukan pemeriksaan dengan anastesia umum.

Digital Substraction Angiography (DSA) intra-arterial. Angiografi atau DSA intra-arterial


dulu satu satunya metode diagnosis thrombosis sinus venosus dengan pasti. Sayangnya,
keterbatasan kegunaan metode ini terbatas pada kondisi yang persis sama dengna metode lain
gagal menunjukan temuan yang konklusif. DSA tidak lagi digunakan untuk diagnosis
thrombosis sinus venosus, kecuali pada kasus-kasus yang jarang, karena menimbulkan
komplikasi yang lebih tinggi dibandingkan MRI.

2.9 Terapi

Terdapat beberapa percobaan terepeutik pada CVT yaitu dengan pemberian


antitrombotik yang termasuk heparin, thrombolysis dan antikoagulan oral. Intervenous
heparin merupakan penangan lini peretama, bahkan jika terjadi perdarahan intraparenkimal
akibat thrombosis sinus venosus. Pada kasus tersebut, interprestasi perdarahan secara tepat
sebagai akibat thrombus sangat penting, karena jika tidak demikian merupakan kontraindikasi
basolut pemberian antikoagulasi. Teknik fibrinolitik tidak terlihat bermakna pada terapi
thrombosis sinus venosus. Reseksi beda pada perdarahan vena tidak diindikasikan.

Antikoagulasi terapeutik diduga menghambat progresivitas thrombosis sinus venosus,


untuk membuka jalur kolateral vena dan untuk memperbaiki mikrosirkulasi. Heparin
intravena diberikan pada fase akut, kemudian diganti dengan antikoagulan oral selama enam
bulan kemudain. Pemeriksaan follow-up dilakukan untuk mendeteksi rtekurrensi dini,
terutama bila terdapat faktor resiko yang telah diketahui. Pasien yang diketahui mengalami
thrombus sinus venosus karena gangguan hiperkoagulasi yang mendasarinya harus mendapat
antikoagulasi terepeutik seumur hidup.

Selanjutnya dapat diberikan terapi symptomatic sesuai dengan gejala yang ada seperti
pemberian antikonvulsan untuk menangani kejang, penanganan untuk menurunkan tekanan
intracranial, control agitasi psikomotorik dan pemberian analgesic.

Untuk trombolysis, pada tahun 2006 European Federation of Neurological Societies


guedline merekomendasikan trombolysis hanya digunakan pada pasien yang semakin
memburuk walaupun telah diberi terapi yang adekuat, dan penyebab-penyebab lain yang
memperberat telah dieliminasi. Perdarahan di otak dan di bagian tubuh yang lain adalah
6
perhatian utama digunakannya trombolysis. American guidline tidak memberikan
rekomendasi sama sekali untuk pemberian trombolysisi, penelitian yang lebih dalam masih
dibutuhkan dalam hal ini..

2.10 Prognosis

Perjalanan spontan thrombosis sinus venosus tidak jelas. Dahulu pernah diduga
sebagian kasus fatal, kemungkinan karena sebagian besar kasus oklusi yang tidak terlalu
berat tidak terdeteksi dan hanya kasus-kasus yang berat akhirnya terdiagnosis. Oklusi sinus
rektus dan/atau vena internae serebri sangat berbahaya; tipe obstruksi vena umumnya sangat
letal, karena sering menyebabkan nekrosis pada diensefalon yang luas hingga mengancam
jiwa. Obstruksi ini juga dapat perdarahan serebelum dengan efek massa. Sinus rectus dan
vena internae serebri kadang-kadang mengalami thrombosis terisolasi, tetapi umumnya
terjadi pada fase lanjut progresivitas thrombosis luas pada sinus venosus lainnya.

Prognosis thrombus sinus venosus semakin membaik sejak adanya antikoagulasi


terapeutik dengan heparin. Sekitar 86% pasien mengalami perbaikan fungsional yang
lengkap. Kematian sekitar 18% dari kasus CVT. Faktor penyebab yang berat memberikan
prognosis yang buruk. Kemungkinan terajdinya rekurrensi sekitar 12% dan 14% dapat terjadi
proses CVT

di bagian yang lain dari sinus. Secara umum prognosis CVT adalah baik.

7
BAB III

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : RSD
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 26 tahun
Alamat : Jalan Bumbak Umalas gang Pulau no 53
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Kewarganegaraan : Indonesia
Status : Single
Tanggal Pemeriksaan : 11 Maret 2019

2.2 Keluhan Utama


Kejang
2.3 Anamnesa
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien awalnya datang ke UGD dengan keluhan nyeri di leher terutama kanan, nyeri
lokal dan tidak menjalar sejak 3 hari ini, dikatakan pasien merasakan kelemahan di
bagian tubuh kiri tapi pasien masih bisa untuk berjalan. Selain itu pasien juga
mengeluhkan kepala bergerak-gerak dan menoleh ke kanan dengan sendirinya saat ia
sadar. Ada gerakan involunter di bagian tubuh kanan. Makan dan minum dikatakan
masih baik. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada kendala. Saat di UGD, pasien
disarankan untuk rawat inap namun keluarga menolak, namun saat persiapan pulang
dari UGD, pasien tiba-tiba mengalami kejang selama + 1 menit. Kejang menghentak-
hentak pada seluruh tubuh, dengan bibir mengelurkan busa. Setelah kejang, pasien
kembali sadar. Saat di HCU, pasien juga mengalami kejang sebanyak 1 kali tanggal
10/3/2019. Tubuh dikatakan kaku dan mata mendelik ke atas. Kejang berlangsung +
selama 10 detik. Setelah kejang, pasien sadar.

8
Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan
Pasien mengatakan memiliki riwayat penyakit tekanan darah tinggi, namun tidak rutin
meminum obat. Pasien mengatakan dirinya tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-
obatan dan makanan tertentu. Pasien juga mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit
kronis lain.
Riwayat Keluarga
Tidak ada yang mengalami keluhan yang sama di keluarga pasien.

Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dengan 4 orang anak.

2.4 Pemeriksaan Fisik

Status Present :

KU : Tampak sakit sedang


Kesadaran : Compos mentis (GCS : E4V5M6)
Tekanan darah : 150/90 mmHg
Nadi : 80 kali/menit, reguler, isi cukup
Respirasi : 20 kali/menit
Temp. Axilla : 36.2oC

Status General

Mata : Anemis -/-, Ikterus -/-, Oedema palpebra -/-, Refleks pupil (+/+)
Isokor, Mata cowong (-)

THT

Telinga : Bentuk normal, tidak ada tanda-tanda radang, ataupun bekas luka

Hidung : Bentuk normal, tidak ada tanda-tanda radang, ekskoriasi, maupun


bekuan-bekuan darah.

Tenggorokan : Mulut kering (-), tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)

Leher : JVP : PR ± 0 cmH2O

Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran

9
Thoraks : Bentuk dada normal, simetris, tidak terlihat pembuluh kolateral,
tidak ada bekas luka ataupun jaringan parut.

- Cor

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis tidak teraba

Perkusi : Batas kanan : PSL D ICS IV

Batas atas : ICS II

Batas kiri : MCL S ICS V

Auskultasi : S1 S2 tunggal regular, murmur (-)

- Pulmo

Inspeksi : Gerakan napas simetris

Palpasi : Vokal fremitus N/N

Perkusi : Sonor/Sonor

Auskultasi : Ves +/+, Rhonki -/-, Wh -/-

Abdomen : Turgor kulit normal, Distensi (-), BU (+) meningkat, ascites (-)

Hepar/Lien tidak teraba.

Ekstremitas : Akral hangat +/+, edema -/-

+/+ -/-

2.5 Hasil Pemeriksaan Penunjang

1. Darah Lengkap

Komponen Hasil Nilai Rujukan

Leukosit 12.11 10^3/uL 4.5 - 11.0

Hemoglobin 14.40 g/dl 12.0 - 16.0


Hematocrite 41.40 % 38.0 - 47.0
Trombosit 280 10^3/uL 150.0 - 440

Neutrophil % 73.50 50.0 - 75.0

Limfosit % 14.50 20.0 - 50.0


10
Eosinofil % 1.10 1.0 – 5.0

Basofil % 0.50 0.0 – 2.0


LED 15.00 mm/hour 0.0 - 20.0

Natrium 130 mmol/L 137.0 – 145.0

Kalium 3.0 mmol/L 3.5 - 5.1

Clorida 98 mmol/L 98.0 - 107.0

Glukosa random 282 mg/dL 74.0 – 199.0

Ureum 14.40 mg/dL <=50

Creatinin 0.58 mg/dL 0.5 – 1.0

D-Dimer 5144.34 ng/ml <500

Glukosa puasa 268 mg/dL 74.0 – 125.0

HbA1C 12.2 % < 6.5

Cholesterol total 229 mg/dL <200.0

HDL cholesterol 34 mg/dL 40.0 – 60.0

LDL cholesterol 177 mg/dL <= 100

Trigliserida 211 mg/dL <= 150.0

Asam urat 7.40 mg/dL 2.4 – 5.7

2. Rontgen thorax PA

Sinus kostofrenikus kanan, kiri baik.


Diagfragma kanan-kiri baik.
Jantung membesar ke kiri, CTR 57 %, LVH
Aorta elongasi
Mediastinum tidak melebar,
Paru : Tidak tampak infiltrate/ perselubungan.
Hilus baik
Corakan bronkhovaskuler agak kasar di parakardial,
Corakan vaskuler supra hiler bertambah.

Kesimpulan :
Paru : bendungan paru grade 1.
Kardiomegali , LVH.

3. CT- Scan kepala dengan kontras


11
Kalvarium baik.
Tampak lesi hiperdens 73 Hu pada fossa posterior , area occipital kanan,
dekat kalvarium minimal dan pada area sinus sagitalis superior, volume 2,4 cc,
tidak tampak pergeseran struktur garis tengah / efek massa.
Tidak tampak lesi hipodens intra cerebral .
Tampak lesi hipodens 25 Hu punctate batas tegas pada pons dan mid brain
Ventrikel lateralis kanan - kiri tidak melebar
Ventrikel tiga tidak melebar, Ventrikel empat baik.
Sisterna basalis, ambient, quadrigemina, tidak melebar.
Fissura Sylvii bilateral tidak melebar
Fisura interhemisferika anterior tidak melebar.
Sulci dan gyri kedua hemisfer cerebri tidak melebar
Tidak tampak kalsifikasi abnormal.
Vermis dan sulci cerebelum baik
Tidak tampak "mid line shift"
Dengan kontras IV, tidak tampak adanya abnormal enhancement.

Kesan :
1. Perdarahan intra cerebral dd/ SAH pada occipital kanan, +/- 2,4cc, dan pada area
sinus sagitalis superior.
2. Infark iskhemik kronik punctate pada area pons.

2.6 Resume
Pasien perempuan, awalnya datang ke UGD dengan keluhan nyeri di leher terutama
kanan, nyeri lokal dan tidak menjalar sejak 3 hari ini, dikatakan pasien merasakan
kelemahan di bagian tubuh kiri tapi pasien masih bisa untuk berjalan. Selain itu pasien
juga mengeluhkan kepala bergerak-gerak dan menoleh ke kanan dengan sendirinya saat
ia sadar. Ada gerakan involunter di bagian tubuh kanan. Makan dan minum dikatakan
masih baik. Buang air besar dan buang air kecil tidak ada kendala. Saat di UGD, pasien
disarankan untuk rawat inap namun keluarga menolak, namun saat persiapan pulang
dari UGD, pasien tiba-tiba mengalami kejang selama + 1 menit. Kejang menghentak-
hentak pada seluruh tubuh, dengan bibir mengelurkan busa. Setelah kejang, pasien
kembali sadar. Saat di HCU, pasien juga mengalami kejang sebanyak 1 kali tanggal
10/3/2019. Tubuh dikatakan kaku dan mata mendelik ke atas. Kejang berlangsung +
selama 10 detik. Setelah kejang, pasien sadar.

Pasien mengatakan memiliki riwayat penyakit tekanan darah tinggi, namun tidak rutin
meminum obat. Pasien mengatakan dirinya tidak memiliki riwayat alergi terhadap obat-
obatan dan makanan tertentu. Pasien juga mengatakan tidak memiliki riwayat penyakit
kronis lain.

12
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga dengan 4 orang anak.
Pada pemeriksaan fisik umum didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, pasien
sadar penuh, tekanan darah 150/90 mmhg, tanda-tanda vital lain dalam batas normal ,
pemeriksaan status general juga dalam batas normal.

Hasil pemeriksaan penunjang menunjukkan sedikit peningkatan jumlah leukosit.


Peningkatan gula darah acak dan D-Dimer. Gula darah puasa, kolesterol, trigliserida juga
meningkat.

13
2.6 Diagnosis
Susp CVT dd SNH + DM + HT stg I

2.7 Penatalaksanaan
a. O2 3 lpm nasal kanul
b. IVFD RL 20 tpm
c. Diazepam injeksi 5 mg bila kejang
d. Cpg 1 x 75
e. Cardioaspirin 1 x 100
f. Truvaz 1 x 20
g. Proclozam 3x 10 mg
h. Arcoxia 2x90 mg kp nyeri leher
i. Diet b1 1900 calori, rendah lemak, rendah purin
j. Novorapid 4 unit/jam sd/ bs < 200 mg/dl
k. Simvastatin 1 x 10 mg po

2.8 Rencana Monitoring

 Tanda-tanda bangkitan kejang


 Ttanda-tanda hipoglikemia
 Keluhan
 Cek BS setiap sebelum meberikan Novorapid
 Cek Kalium setiap 6 jam

3.9 Prognosis

 Ad vitam : Dubius ad bonam

 Ad fungsional : Dubius ad bonam

 Ad sanactionam : Dubius ad bonam

14
DAFTAR PUSTAKA

1. Riddle, M., DuPont, H. and Connor, B. (2016). ACG Clinical Guideline: Diagnosis,
Treatment, and Prevention of Acute Diarrheal Infections in Adults. The American Journal
of Gastroenterology, 111(5), pp.602-622.
2. Barr, w. and smith, a. (2017). [online] Available at: http://Acute Diarrhea in Adults
WENDY BARR, MD, MPH, MSCE, and ANDREW SMITH, MD Lawrence Family
Medicine Residency, Lawrence, Massachusetts [Accessed 5 Des. 2018].
3. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II eidsi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009
4. Al-Thani, A., Baris, M., Al-Lawati, N. and Al-Dhahry, S. (2013). Characterising the
aetiology of severe acute gastroenteritis among patients visiting a hospital in Qatar
using real-time polymerase chain reaction. BMC Infectious Diseases, 13(1).
5. Depkes RI., 2012. Angka Kejadian Gastroenteritis Masih Tinggi.
http://www.depkes.go.id/index.php [Accessed 5 Des. 2018 ]
6. Anon, (2017). [online] Available at: (http://www.who.int/child-adolescent-
health/Emergencies/Diarrhoea_guidelines.pdf) A manual for physicians and other
senior health workers [Accessed 5 Des. 2018].
7. How, C. (2010). Acute gastroenteritis: from guidelines to real life. Clinical and
Experimental Gastroenterology, p.97.
8. Dennis L., Anthony S., Stephen H., Dan L., Larry J., Joseph L. 2016. Harrison's
Gastroenterology and Hepatology. 3rd Edition. Philadelphia: McGraw Hill.
9. Worldgastroenterology.org. (2017). English | World Gastroenterology Organisation.
[online] Available at: http://www.worldgastroenterology.org /guidelines/global-
guidelines/acute-diarrhea/acute-diarrhea-english [Accessed 5 Des. 2018]
10. Bresee, J., Bulens, S., Beard, R., Dauphin, L., Slutsker, L., Bopp, C., Eberhard, M., Hall,
A., Vinje, J., Monroe, S. and Glass, R. (2012). The Etiology of Severe Acute
Gastroenteritis Among Adults Visiting Emergency Departments in the United States.
Journal of Infectious Diseases, 205(9), pp.1374-1381.
11. Amin L. Tatalaksana Diare Akut. Continuing Medical Education. 2015;42(7):504-8.

15

You might also like