You are on page 1of 7

3.

Proses merasakan nyeri


Terdapat tiga jenis sel saraf yang berperan atau berpartisipasi dalam proses
penghantaran nyeri yaitu :
 sel syaraf aferen (neuron sensori)
 serabut konektor (interneuron)
 sel saraf eferen (neuron motoric)
Sel-sel syaraf ini mempunyai reseptor pada ujungnya yang menyebabkan impuls nyeri
dihantarkan ke sum-sum tulang belakang dan otak. Reseptor ini khusus dan memulai impuls
yang merespon stimulus nyeri yang disebabkan oleh perubahan fisik dan kimia tubuh (reseptor
yang berespon ini disebut “nosiseptor”). Nociceptor ini terdapat diseluruh jaringan dan organ
tubuh, kecuali di system saraf pusat. Mediator nyeri mengakibatkan reaksi radang dan kejang
yang mengaktivasi reseptor nyeri pada ujung-ujung saraf bebas di kulit, mukosa, dan jarigan
lainnya. Dari sini rangsangan disalurkan ke otak melalui jaringan dari neuron melalui sum-sum
tulang belakang, sum-sum tulang lanjutan dan otak tengah. Dari thalamus, impuls diteruskan
ke pusat nyeri di otak besar, dimana impuls dirasakan sebagai nyeri. Stimulus pada jaringan
akan merangsang nosiseptor melepaskan zat-zat kimia, yang terdiri dari prostaglandin,
histamin, bradikinin, leukotrien, substansi p, dan enzim proteolitik. Zat-zat kimia ini akan
mensensitasi ujung syaraf dan menyampaikan impuls ke otak.
Menurut Puspitasari (2010), proses terjadinya nyeri yaitu adanya rangsangan yang
diterima tubuh menyebabkan sel akan mengalami luka. Dinding sel terdiri atas komponen
fosfolipid (fosfat daan lemak). Adanya luka sel akan menyebabkan lepasnya enzim fosfolipase
A2. Enzim ini menyebabkan diproduksinya asam arakidonat (ARA) oleh sel yang akan
dilepaskan dalam darah. ARA tidak diam saja, namun akan berubah bentuk menjadi senyawa
mediator nyeri seperti prostaglandin (PG), prostasiklin (PGI), dan tromboksan A2 (TX).
Pembentukan senyawa-senyawa ini terjadi karena dalam tubuh terdapat enzim siklooksigenase
(COX). Selain melalui enzim COX, dapat juga ARA diubah bentuknya oleh enzim lain dalam
jalur nyeri ini, yakni lipoksigenase membentuk leukotriene (LT1).
Mediator-mediator nyeri tersebut akan menyebabkan meningkatnya potensial saraf,
khususnya diserabut saraf Ad dan C di sumsum tulang belakang. Hantaran serabut Ad
berlangsung sangat lambat, sementara serabut C sangat cepat. Perjalanan nyeri dilanjutkan oleh
serabut-serabut saraf tersebut hingga dipusat nyeri otak (thalamus), akhirnya sampai di
somatosensory korteks (otak). Di somatosensory korteks inilah rasa nyeri kita di persepsikan
(Puspitasari, 2010).
C. Penggolongan Analgetik

Menurut Tjay dan Kirana (2007), berdasarkan kerja farmakologisnya analgetika dibagi
dalam 2 kelompok besar, yakni :

1. Analgetik Perifer (non narkotik),


Analgetik ini terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral.
Secara kimiawi, analgetik perifer dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni:
 Parasetamol
 Salisilat : asetosal, salisilamida, dan benorilat
 Penghambat Prostaglandin (NSAID): ibuprofen
 Derivat-derivat antranilat :mefenaminat, asam niflumat glafenin, dan floktafenin
 Derivat-derivat pirazolinon :aminofenazon, isopropil fenazon, isopropyl amino fenazon, dan
metamizol
 Lainnya : benzidamin (tatum)
Obat-obat ini mampu menghilangkan atau menghalau rasa nyeri, tanpa mempengaruhi
sistem syaraf pusat atau menurunkan kesadaran, juga tidak menimbulkan ketagihan.
Kebanyakan zat ini juga berdaya antipiretis dan/ atau antiradang. Oleh karena itu tidak hanya
digunakan sebagai obat antinyeri, melainkan juga pada demam (infeksi virus/kuman, selesma,
pilek) dan peradangan seperti rema dan encok. Obat-obat ini banyak diberikan untuk nyeri
ringan sampai sedang, yang penyebabnya beraneka ragam, misalnya nyeri kepala, gigi, otot
atau sendi, perut, nyeri haid, nyeri akibat benturan, kecelakaan (trauma). Untuk kedua nyeri
terakhir, NSAID lebih layak. Pada nyeri lebih berat misalnya setelah pembedahan atau fraktur
(patah tulang), kerjanya kurang ampuh (Tjay dan Kirana, 2007).

2. Analgetik narkotik,
Analgetik ini mempunyai sifat analgetik dan hipnotik (menyebabkan kesadaran
berkurang seperti bermimpi indah, dalam istilah sehari-hari disebut “fly”). Khususnya
digunakan untuk menghalau rasa nyeri hebat, seperti pada kanker. Penggunaan untuk jangka
waktu lama pada sebagian pemakai menimbulkan kebiasaan dan ketergantungan.
Menurut Tjay dan Kirana (2002), atas dasar cara kerjanya obat-obat ini dapat dibagi
dalam tiga kelompok yakni:
 Agonis Opiat, yang dapat dibagi dalam alkoloida candu: Morfin, Kodein, Heroin, dan
Nicomorfin.
 Antagonis Opiat: Nalokson, Nalorfin, Pentazosin dan Buprenorfin. Bila digunakan sebagai
analgetik, obat ini dapat menduduki salah satu reseptor.
 Kombinasi, zat-zat ini juga mengikat pada reseptor opiat, tetapi tidak mengaktifasi kerjanya
dengan sempurna.

Menurut Widjajanti (1991), alkaloid golongan opium, misalnya :


a. Morfina
 Sifat analgetik dari morfina berdasarkan penekanannya pada susunan saraf sentral yang
disertai dengan perasaan nyaman, menghambat pernafasan dan dapat menimbulkan batuk.
 Penggunaannya : untuk mengobati rasa sakit yang tidak dapat disembuhkan dengan analgetika
antipiretik, misalnya pada kanker, menahan rasa sakit pada waktu operasi, dan sebagainya.
 Kerja ikutannya : dapat mengakibatkan sembelit yang hebat, perasaan mual dan muntah-
muntah, alergi (gatal-gatal) dan yang terutama adalah mengakibatkan gatal-gatal.
 Morfina tidak boleh diberikan pada penderita radang hati atau asma, karena morfina menekan
pusat pernapasan. Juga tak boleh diberikan kepada bayi. Pemberian morfina kepada orang tua
dan anak-anak harus hati-hati, sebab mereka sangat peka.

b. Codein
 Dapat menekan batuk dan sering digunakan sebagai obat batuk. Codein sering dikombinasi
dengan asetosal, fanasetina dan cofeina untuk mengurangi rasa sakit yang tidak begitu keras
 Kerja ikutannya berupa sembelit dan alergi
 Dosis oral 8 – 65 mg, tiap 3-4 jam, tergantung pada kebutuhan penderita

c. Thebaina
 Yang sering digunakan adalah HCl atau fosfatnya.
 Oleh karena obat bius ini dapat mengakibatkan ketagihan dan merusak kesehatan masyarakat
 maka pemakaian obat bius ini diatur oleh undang-undang obat bius dan diawasi secara ketat
oleh pemerintah.

D. Mekanisme Kerja Analgetik

Menurut (Puspitasari, 2010), memblok rasa nyeri dimaksudkan untuk mengurangi atau
menghilangkan rasa nyeri. Banyak cara dapat dilakukan untuk memblok nyeri, berdasarkan
pemahaman mekanisme terjadinya nyeri.
1. Memblok pembentukan mediator nyeri khususnya PG, yaitu dengan pemberian analgetik
steroid (prednisone,deksametason), maupun nonsteroid (aspirin, parasetamol, ibu profen, dan
lain-lain). Analgetik steroid (NSID) ini yang lebih menonjol adalah sifat antiinflamasinya (anti
radang), sementara nonsteroid sebagian besar selain bersifat analgetik antipiretik juga beberapa
memiliki sifat antiinflamasi.
2. Memblok penghantaran nyeri oleh serabut saraf dapat dilakukan melalui anestesi (obat bius),
baik local (ditempat rangsang nyeri terjadi saja) atau sistemik (seluruh saraf tubuh). Lidokain
semprot/injeksi (pada cabut gigi, khitan) adalah contoh anestesi local. Ada juga bermacam
anestesi yang diberikan melalui injeksi intravena (masuk pembuluh darah vena), bahkan
sekarang banyak diberikan melalui sumsum tulang belakang khususnya bila diinginkan efek
obat sangat cepat seperti pada operasi section cesaria (bedah cesar)
3. Memblok pusat nyeri/reseptor nyeri di otak, yakni dengan analgetik narkotik (morfin,
pethidin). Hanya analgetik bentuk narkotik yang mampu menembus penghalang antara darah
dan otak sehingga dapat memblok rasa nyeri yang amat sangat
4. Menghambat kerja enzim siklooksigenase yang akan mengurangi produksi prostaglandin
sehingga mengurangi rasa nyeri. Contohnya pada flavonoid berkhasiat sebagai analgetik
(Syamsul, et al. 2016).
5. Menghambat enzim siklooksigenase sehingga pembentukan asam arakidonat menjadi
terganggu. Ibuprofen menghambat COX-1 dan COX-2 dan membatasi produksi prostaglandin
yang berhubungan dengan rusaknya jaringan seperti analgetik dan inflamasi. ibuprofen lebih
cepat diabsorbi dan dikenal oleh masyarakat sebagai obat yang mampu mengobati nyeri dengan
baik. Ibuprofen diketahui merupakan obat yang memiliki kemampuan analgetik. (Syamsul, et
al. 2016).
Obat analgetik steroid, anestesi, dan analgetik narkotik hanya dapat diberikan oleh
dokter (atas resep dokter), sementara analgetik nonsteroid dapat dibeli secara bebas oleh
konsumen (Puspitasari, 2010).

E. Analgetik untuk Terapi Nyeri

Pada pengobatan rasa nyeri pemilihan obat analgetika tergantung dari jenis nyeri yang
dialami, maka dapatlah digunakan obat- obat sebagai berikut :
1. Nyeri ringan, seperti sakit gigi, kepala, otot-otot pada infeksi virus, kesleo, obat yang
digunakan yaitu analgetik perifer misalnya asetosal dan parasetamol.
2. Nyeri ringan yang menahun, seperti rematik dan artrosis. Obat yang digunakan yaitu yang
berkhasiat anti radang golongan salisilat, ibu profen, dan indometasin.
3. Nyeri yang hebat, seperti nyeri organ-organ dalam (lambung, usus). Obat yang digunkan
sebaiknya analgetik sentral (narkotik) dengan suatu obat pelawan kejang, misalnya morfin
dengan atropin.
4. Nyeri Hebat menahun, seperti kanker kadang-kadang rematik dan neuralgia. Dalam hal ini
yang digunakan adalah obat-obat yang berkhasiat kuat antara lain analgetik narkotik fentanil,
dekstromoramida atau bezitramida, bila perlu bersama suatu neuroleptikum dengan kerja
analgetik.

F. Memilih Analgetik Nonsteroid

Menurut (Puspitasari, 2010). Walaupun analgetik jenis ini dapat dibeli secara bebas,
bukan berarti semua jenis NSAID ini aman dan pas untuk semua individu. NSAID digolongkan
berdasarkan sifat kimianya, yakni :
1. Golongan narkotik (hanya dipasarkan secara bebas di Australia) : codein (biasanya dalam
bentuk kombinasi dengan analgetik nonsteroid lain seperti parasetamol, asetosal atau
ibuprofen).
2. Golongan salisilat : asetosal/aspirin, piroksikam, fenilbutazon, asam mefenamat, ibu profen,
diklofenak.
Semua jenis obat dalam golongan obat ini bersifat sangat asam sehingga harus dihindari oleh
penderita yang mempunyai gangguan di lambung dan usus (dispensia, gastritis/maag,
ulkus/tukak peptikum). Keasaman yang sangat tinggi akan memicu, bahkan memperparah
gangguan di lambung dan usus tersebut.
3. Golongan parasetamol. Hanya ada satu jenis yakni parasetamol.
Parasetamol juga tidak selamanya aman, terutama bagi penderita yang telah memiliki
gangguan di hati/hepar/liver. Penderita hepatitis, sorosis hepatic sebaiknya menghindari
parasetamol jika tidak ingin heparnya makin rusak. Parasetamol jika dikonsumsi dalam jumlah
besar akan menyebabkan rusak hingga kematian sel-sel dihepar
4. Golongan dypyron: metampiron/antalgin.
Antalgin ini selain memiliki sifat analgetik, juga menonjol sifat antispasmusnya. Spasmus
adalah kejang otot yang menyertai nyeri. Namun antalgin ini juga memiliki efek samping
mengganggu pembentukan komponen darah, seperti : sulinya darah menggumpal, anemia,
penurunan trombosit. Penderita yang memiliki gangguan darah sebaiknya menghindari
analgetik golongan ini.
5. Golongan lain : contohnya tramadol. Beberapa ahli menggolongkan tramadol sebagai jenis
seminarkotik. Biasanya obat ini diberikan pada nyeri akibat trauma (kecelakaan patah tulang,
pascaoperasi).
Golongan penghambat enzim siklooksigenase 2 (COX-2) : PARECOXIB, CELEXOCIB,
rofecoxib dan meloxicam. Karena merupakan obat yang baru saja ditemukan, biasanya dijual
dengan harga sangat mahal. Analgetik golongan baru ini menghambat COX secara spesifik
sehingga tidak menyebabkan iritasi lambung.

H. Efek Samping

Efek samping yang paling umum adalah gangguan lambung usus untuk salisilat,
penghambat prostaglandin (NSAID) dan derivat-derivat pirazolino. Kerusakan darah untuk
parasetamol, salisilat, derivat-derivat antranilat dan derivat-derivat pirazolinon. Kerusakan hati
dan ginjal untuk untuk parasetamol dan penghambat prostaglandin (NSAID) serta reaksi alergi
pada kulit. Efek-efek samping ini terutama terjadi pada penggunaan lama atau dalam dosis
tinggi. Oleh karena itu, penggunaan analgetik secara kontinyu tidak dianjurkan (Tjay dan
Rahardja, 2002).

You might also like