Professional Documents
Culture Documents
Disusun oleh :
Asri Auliana Anggraeni
20174011046
Diajukan kepada :
i
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
Oleh :
Asri Auliana Anggraeni
20174011046
Disetujui oleh :
Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif
RSUD KRT Setjonegoro, Wonosobo
ii
KATA PENGANTAR
diberikan. Alhamdulilah, dengan penuh mengucap rasa syukur, penulis dapat menyelesaikan
Ilmu Anestesi dan Terapi Intensif sekaligus pembimbing presus di RSUD KRT
Setjonegoro, Wonosobo.
2. Seluruh Penata Anestesi, Perawat Instalasi Bedah Sentral, tenaga medis dan staf
Semoga pengalaman dalam membuat Presentasi Kasus ini dapat memberikan hikmah
bagi semua pihak. Mengingat penyusunan Presentasi Kasus ini masih jauh dari kata
sempurna, penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat menjadi masukan berharga
Penulis
DAFTAR ISI
REFERAT...................................................................................................................................i
LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................................ii
KATA PENGANTAR...............................................................................................................iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iv
iii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
BAB II........................................................................................................................................2
TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................................2
A. Definisi............................................................................................................................2
B. Etiologi............................................................................................................................3
C. Patofisiologi....................................................................................................................4
D. Klasifikasi.......................................................................................................................4
E. Gambaran Klinis.............................................................................................................5
F. Diagnosa..........................................................................................................................6
G. Diagnosa Banding...........................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................15
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang
dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel, bersiffat progresif, dan berhubungan dengan respon
inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun atau berbahaya, disertai
efek ekstra-paru yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit (PDPI,
2009).
Menurut WHO, PPOK merupakan penyakit paru-paru obstruksi kronis
yang ditandai oleh aliran udara paru-paru yang mengganggu pernapasan
normal dan tidak sepenuhnya reversibel. Sedangkan menurut American
Thoracic Society (ATS) tahun 1995, PPOK didefinisikan sebagai keadaan
penyakit kronis yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara akibat
bronkitis kronis dan emphysema. Pada tahun 2009, The Global Initiative for
Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) mendefinisikan PPOK sebagai
gangguan aliran udara yang kronis dengan beberapa perubahan patologis
pada baru disertai efek ekstra pulmonal dan berbagai komorbiditas yang
dapat berpengaruh terhadap derajat beratnya penyakit (GOLD, 2009).
Bronkitis kronik dan emfisema merupakan dua penyakit yang
digolongkan dalam PPOK, namun tidak dimasukkan dalam definisi PPOK
karena bronkitis kronik merupakan diagnosa klinis, sedangkan emfisema
merupakan diagnosa patologis. Selain itu, keduanya tidak selalu
mencerminkan gangguan dalam aliran udara pada saluran napas (PDPI,
2009).
Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh
batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya
dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema
merupakan suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga
udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Terdapat
2
tiga jenis emfisema berdasarkan lokasinya, yaitu emfisema sentriasinar
(sentrilobular), emfisema panasinar (panlobular), dan emfisema paraseptal.
(Robbins dan Kumar,2007).
B. Etiologi
Peradangan merupakan elemen kunci terhadap patogenesis PPOK.
Inhalasi asap rokok atau gas berbahaya lainnya mengaktifasi makrofag dan
sel epitel untuk melepaskan faktor kemotaktik yang merekrut lebih banyak
makrofag dan neutrofil. Kemudian, makrofag dan neutrofil ini melepaskan
protease yang merusak elemen struktur pada paru-paru. Protease sebenarnya
dapat diatasi dengan antiprotease endogen namun tidak berimbangnya
antiprotease terhadap dominasi aktivitas protease yang pada akhirnya akan
menjadi predisposisi terhadap perkembangan PPOK. Pembentukan spesies
oksigen yang sangat reaktif seperti superoxide, radikal bebas hydroxyl dan
hydrogen peroxide telah diidentifikasi sebagai faktor yang berkontribusi
terhadap patogenesis karena substansi ini dapat meningkatkan penghancuran
antiprotease (Fitriani, 2009).
Inflamasi kronis mengakibatkan metaplasia pada dinding epitel
bronchial, hipersekresi mukosa, peningkatan massa otot halus, dan fibrosis.
Terdapat pula disfungsi silier pada epitel, menyebabkan terganggunya klirens
produksi mucus yang berlebihan. Secara klinis, proses inilah yang
bermanifestasi sebagai bronkhitis kronis, ditandai oleh batuk produktif
kronis. Pada parenkim paru, penghancuran elemen struktural yang dimediasi
protease menyebabkan emfisema. Kerusakan sekat alveolar menyebabkan
berkurangnya elastisitas recoil pada paru dan kegagalan dinamika saluran
udara akibat rusaknya sokongan pada saluran udara kecil non-kartilago.
Keseluruhan proses ini mengakibatkan obstruksi paten pada saluran napas
dan timbulnya gejala patofisiologis lainnya yang karakteristik untuk PPOK
(Fitriani, 2009).
Obstruksi saluran udara menghasilkan alveoli yang tidak terventilasi
atau kurang terventilasi; perfusi berkelanjutan pada alveoli ini akan
3
menyebabkan hypoxemia (PaO2 rendah) oleh ketidakcocokan antara ventilasi
dan aliran darah (V/Q tidak sesuai). Ventilasi dari alveoli yang tidak
berperfusi atau kurang berperfusi meningkatkan ruang buntu (Vd),
menyebabkan pembuangan CO2 yang tidak efisien. Hiperventilasi biasanya
akan terjadi untuk mengkompensasi keadaan ini, yang kemudian akan
meningkatkan kerja yang dibutuhkan untuk mengatasi resistensi saluran
napas yang telah meningkat, pada akhirnya prosesini gagal, dan terjadilah
retensi CO2 pada beberapa pasien dengan PPOK berat (Fitriani, 2009).
C. Patofisiologi
Perubahan patologi pada PPOK ditemukan pada saluran napas
proksimal, perifer, parenkim, dan vaskular paru. Asap rokok dan berbagai
partikel gas beracun lainnya menyebabkan proses inflamasi kronis pada paru,
ditandai oleh peningkatan jumlah sel inflamasi berupa neutrofil, makrofag,
dan sel T sitotoksik. Proses inflamasi tersebut mengakibatkan perubahan
struktur yang berbeda pada setiap bagian paru, mengakibatkan cedera dan
penyembuhan yang berulang. Proses inflamasi pada paru ini juga diperberat
oleh adanya stress oksidatif dan peningkatan jumlah protease pada paru.
Terjadinya eksaserbasi dapat memperberat respon inflamasi pada PPOK,
yang seringkali dipicu oleh adanya infeksi bakteri atau virus (GOLD, 2009).
Perubahan fisiologis yang terjadi pada PPOK antara lain hipersekresi
dari mukus, keterbatasan aliran udara paru, air trapping, dan gangguan
pertukaran gas. Terdapat berbagai gangguan sistemik yang dapat berkaitan
dengan bertambah beratnya PPOK, antara lain yaitu anoreksia, muscle
wasting, peningkatan resiko penyakit kardiovaskuler, anemia, osteoporosis,
dan depresi (GOLD, 2009)
D. Klasifikasi
Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
2009, dibagi atas 4 derajat:
Derajat Klinis Faal paru
4
E. Gambaran Klinis
PPOK memiliki tiga gejala klinis utama adalah batuk kronis, produksi
sputum, dan sesak napas yang bertambah saat aktivitas (Reilly, et al., 2005).
Gejala awal yang ditemukan pada PPOK tahap awal (PPOK stage I)
adalah batuk kronis dan produksi sputum. Pada derajat ini pasien tidak
menyadari bahwa fungsi paru sudah menurun. Gejala-gejala ini dapat terjadi
selama bertahun-tahun sebelum timbulnya limitasi pada jalan napas, dan
gejala-gejala ini seringkali diabaikan oleh pasien, dan seringkali dianggap
sebagai bagian dari proses penuaan. Gejala pada tahap selanjutnya (PPOK
stage II) adalah sesak yang sering mengganggu aktivitas sehari-hari pasien.
Pasien-pasien PPOK umumnya mulai mencari pengobatan jika sudah dalam
stage ini. Pada PPOK tahap yang berat (PPOK stage III) terjadi jika obstruksi
jalan napas sudah semakin parah, dimana gejala-gejala yang terjadi antara
lain batuk dan produksi sputum terus berlanjut, sesak yang bertambah parah,
yang amat berpengaruh dalam kualitas hidup pasien. Pada tahap yang sangat
berat (PPOK stage IV) dan muncul gejala-gejala lain seperti gagal napas,
gagal jantung kanan, dan penurunan berat badan. Pada derajat ini kualitas
5
hidup pasien sangat memburuk dan eksaserbasi dapat mengancam jiwa
(GOLD, 2009).
Terjadinya sesak pada PPOK, dapat dideskripsikan sebagai peningkatan
usaha napas, rasa berat untuk bernapas, atau terjadinya gasping, yang makin
lama makin memberat, terutama karena aktivitas. Peningkatan obstruksi
aliran udara pada PPOK juga diikuti bertambah seringnya
serangan/eksaserbasi. Pasien juga mungkin mengalami sesak saat isirahat dan
membutuhkan terapi oksigen (Reilly, et al., 2005).
F. Diagnosa
Diagnosis untuk PPOK dapat dipertimbangkan untuk pasien dengan
batuk kronis, produksi sputum, sesak yang memberat dengan aktivitas, dan
riwayat adanya faktor-faktor resiko untuk terjadinya PPOK, seperti usia >40
tahun dan riwayat merokok, atau riwayat terpapar polusi udara dalam waktu
lama (PDPI, 2009).
Diagnosa untuk PPOK dapat diperoleh dari anamnesa, pemeriksaan,
dan dibantu dengan pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan radiologis
dan spirometri. Anamnesa untuk PPOK antara lain diarahkan kepada ada
tidaknya paparan faktor resiko seperti perokok aktif maupun pasif, paparan
polusi udara atau debu. Jenis aktivitas fisik yang dapat dilakukan pasien dan
sejauh mana penurunan kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-
hari juga perlu ditanyakan, karena pasien PPOK umumnya mengalami
penurunan kemampuan untuk melakukan aktivitas fisik terutama yang
membutuhkan kerja lengan dan gerak bahu secara signifikan. Awalnya pasien
PPOK hanya merasakan sesak ketika melakukan aktivitas berat, dan seiring
bertambahnya perjalanan penyakit, pasien lama-kelamaan akan merasa sesak
walaupun hanya melakukan aktivitas
ringan saja (Reilly, et al., 2005).
Adanya riwayat penyakit dahulu seperti gangguan jalan napas sejak
kecil juga perlu ditanyakan, seperti asma, riwayat alergi, sinusitis, polip nasal,
infeksi saluran napas saat anak-anak. Adanya penyakit yang serupa dalam
6
keluarga, riwayat serangan terdahulu, adanya riwayat penyakit lain seperti
penyakit jantung, riwayat pengobatan sebelumnya, dan riwayat perubahan
sosial yang terjadi terhadap pasien setelah PPOK terjadi juga perlu
ditanyakan (GOLD,2009).
Gejala-gejala pada PPOK mulai terlihat seiring memberatnya
perjalanan penyakit. Dari inspeksi dapat ditemukan barrel chest, yang
merupakan tanda adanya hiperinflasi pada paru, pursed-lip breathing, dan
posisi tripod, yaitu pada pasien dengan obstruksi jalan napas yang berat.
Posisi ini dapat memaksimalkan penggunaan otot-otot tambahan pernapasan,
antara lain otot sternocleidomastoideus, scalenus, dan otot-otot intercostalis.
Dari palpasi dinding thoraks dapat ditemukan sela iga yang melebar
dan cekung. Perkusi paru menjadi hipersonor. Terjadi penambahan volume
paru, letak diafragma menjadi lebih rendah dan hepar tertekan ke bawah. Dari
auskultasi terdengar suara ekspirasi yang memanjang, suara napas melemah,
dan bunyi jantung yang menjauh. Pada pasien PPOK dapat terjadi sianosis
yang tampak pada bibir dan kuku jari. Pada pasien emfisema lebih jarang
ditemukan sianosis, sedangkan pada pasien bronkitis kronis, sianosis lebih
sering ditemukan (Reilly, et al., 2005).
Pada perjalanan penyakit yang lanjut dapat ditemukan keadaan
penurunan berat badan yang signifikan, wasting pada bitemporal, dan
kehilangan lemak subcutan secara menyeluruh. Hal ini dihubungkan dengan
intake oral yang seringkali tidak adekuat serta peningkatan sitokin inflamasi
yaitu (TNF-a). Cor pulmonale dapat terjadi bila pemberian terapi oksigen
tidak adekuat (Reilly,et al., 2005).
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat mendukung diagnosa
PPOK antara lain pemeriksaan faal paru, pemeriksaan analisa gas darah,
pemeriksaan radiologis, baik foto thoraks konvensional maupun CT scan, dan
spirometri. Dari pemeriksaan faal paru dapat ditemukan tanda adanya
obstruksi aliran udara paru berupa penurun VEP1 dan VEP1/KVP. Seiring
bertambah buruknya perjalanan penyakit, volume paru meningkat,
menyebabkan peningkatan kapasitas total paru, kapasitas residu fungsional
7
paru, dan volume residu. Pada pasien emfisema, kapasitas paru secara
menyeluruh dapat berkurang, karena terjadinya destruksi dari alveoli. Derajat
dari obstruksi aliran udara paru menjadi factor penentu prognosis pada PPOK
(Reilly, et al., 2005).
Pemeriksaan radiologis dapat membantu penegakan diagnosa PPOK
bila didapatkan kecurigaan dari gejala klinis yang timbul pada pasien. Dari
pengamatan foto thoraks, pada emfisema terjadi pembesaran volume paru,
sela iga yang melebar dan menjadi datar, diafragma menjadi rendah dan
terjadi pendataran, vascular yang menipis, gambaran jantung yang
menggantung, serta dapat ditemukan adanya bulla, sedangkan pada bronkitis
kronis gambaran radiologis lebih dominan adalah bertambahnya corakan
bronkovaskuler pada paru, penebalan bronkiolus, dan peningkatan liner
marking pada paru. Pemeriksaan CT scan lebih sensitif untuk menegakkan
diagnose emfisema pada pasien PPOK daripada foto thorax konvensional
(Gunderman, 2006).
G. Diagnosa Banding
PPOK merupakan penyakit paru yang onsetnya umumnya terjadi di
usia pertengahan (>40 tahun), dengan gejala progresif yang lambat,
ditemukan riwayat merokok pada pasien, adanya sesak yang memberat
dengan aktivitas, dan hambatan aliran udara yang umumnya ireversibel
(PDPI, 2009).Beberapa diagnosa banding untuk PPOK antara lain (PDPI,
2009):
8
2.11 Penatalaksaan
Penatalaksaan yang tepat pada PPOK meliputi beberapa program,
yaitu (1) evaluasi dan monitoring penyakit, (2) mengurangi faktor resiko, (3)
tatalaksana PPOK yang stabil, dan (4) tatalaksana PPOK dengan
eksaserbasi. Manajemen utama untuk PPOK derajat I dan II antara lain
dengan menghindari faktor resiko, mencegah progresivitas PPOK, dan
penggunaan obat-obatan untuk mengontrol gejala dari PPOK, sedangkan
untuk PPOK derajat III dan IV memerlukan manajemen terapi yang lebih
terpadu dengan berbagai pendekatan untuk membantu pasien dalam
melewati perjalanan penyakitnya. Selain pendekatan farmakologis, edukasi
9
dan nasihat pada pasien, diperlukan juga konseling untuk penghentian
rokok, olahraga, kebutuhan nutrisi, dan perawatan untuk pasien. Setelah
pasien didiagnosa PPOK, ada beberapa tujuan terapi yang ingin dicapai,
antara lain (PDPI, 2009):
1. Mengurangi gejala penyakit
2. Mencegah progresivitas penyakit
3. Meningkatkan toleransi aktivitas
4. Meningkatkan kualitas hidup penderita
5. Mencegah dan mengobati komplikasi
6. Mencegah dan mengobati eksaserbasi ulang
7. Menurunkan angka kematian
10
derajat PPOK (PDPI, 2009) :
12
Tujuan perawatan ICU adalah sebagai pengawasan dan terapi intensif,
hindari inturbasi, bila diperlukan intubasi gunakan pola ventilasi mekanik yang
tepat dan mencegah kematian.
13
BAB III
PENUTUP
14
DAFTAR PUSTAKA
15