You are on page 1of 61

Penalaran 41

2
Penalaran (Reasoning)

Scientists, being only human, cannot always admit their errors,


even when confronted with strict proof.

(Thomas S. Kuhn, 1970)

Telah disebutkan dalam Bab 1 bahwa pengertian teori akuntansi dalam


buku ini difokuskan pada pengertian teori sebagai suatu penalaran logis
untuk menjelas-kan bagaimana suatu standar akuntansi diturunkan,
dikembangkan, atau dipilih. Penalaran sangat penting perannya dalam
belajar teori akuntansi karena teori akuntansi menuntut kemampuan
penalaran yang memadai. Teori akuntansi banyak melibatkan proses
penilaian kelayakan dan validitas suatu pernyataan dan argumen.
Penalaran memberi keyakinan bahwa suatu pernyataan atau argumen
layak untuk diterima atau ditolak. Penalaran logis merupakan salah satu
sarana untuk memverifikasi validitas suatu teori.
Penalaran merupakan pengetahuan tentang prinsip-prinsip berpikir logis
yang menjadi basis dalam diskusi ilmiah. Penalaran juga merupakan suatu ciri
sikap (attitude) ilmiah yang sangat menuntut kesungguhan (commitment)
dalam menemukan kebenaran ilmiah.1 Sikap ilmiah membentengi sikap untuk
meme-cahkan masalah secara serampangan, subjektif, pragmatik, dan
emosional. Karena pentingnya masalah penalaran ini, bab ini membahas
secara khusus pengertian penalaran dan berbagai aspeknya serta aplikasinya
dalam akuntansi.

Pengertian
Sebagai titik tolak pembahasan, diajukan pengertian penalaran oleh
Nickerson (1986) sebagai berikut:2
Reasoning encompasses many of the processes we use to form and
evaluate beliefs—beliefs about the world, about people, about the truth or
falsity of claims we encounter or make. It involves the production and
evaluation of arguments, the making of inferences and the drawing of
conclusions, the generation and

1
Istilah kebenaran dalam pembahasan di sini tidak dimaksudkan dalam pengertian kebenaran
mutlak (absolute truth) tetapi lebih dalam pengertian kebenaran ilmiah yang dibatasi oleh
kemampuan penalaran manusia. Kebenaran mutlak adalah milik Tuhan. Oleh karena itu, walaupun
digunakan isti-lah kebenaran, kebenaran di sini harus lebih diartikan sebagai validitas. Lihat
catatan kaki 16 di Bab 1.
2
Raymond S. Nickerson, Reflections on Reasoning (Hillsdale, NJ: Lawrence Erlbaum
Associates, Publisher, 1986). Pembahasan di bab ini banyak didasarkan atas buku tersebut.
42 Bab 2

testing of hypotheses. It requires both deduction and induction, both


analysis and synthesis, and both criticality and creativity (hlm. 1-2).

Dapat dikatakan bahwa penalaran adalah proses berpikir logis dan


sistematis untuk membentuk dan mengevaluasi suatu keyakinan (belief)
terhadap suatu pernyataan atau asersi (assertion). Pernyataan dapat berupa
teori (penjelasan) tentang suatu fenomena atau realitas alam, ekonomik,
politik, atau sosial. Pena-laran perlu diajukan dan dijabarkan untuk
membentuk, mempertahankan, atau mengubah keyakinan bahwa sesuatu
(misalnya teori, pernyataan, atau penjelas-an) adalah benar. Penalaran
melibatkan inferensi (inference) yaitu proses penu-runan konsekuensi logis
dan melibatkan pula proses penarikan simpulan/konklusi (conclusion) dari
serangkaian pernyataan atau asersi. Proses penurunan simpulan sebagai
suatu konsekuensi logis dapat bersifat deduktif maupun induktif. Penalar-an
mempunyai peran penting dalam pengembangan, penciptaan,
pengevaluasian, dan pengujian suatu teori atau hipotesis.
Teori (pernyataan-pernyataan teoretis) merupakan sarana untuk
menyata-kan suatu keyakinan sedangkan penalaran merupakan proses
untuk mendukung keyakinan tersebut. Oleh karena itu, keyakinan
(terhadap suatu teori atau per-nyataan) berkisar antara lemah sampai
kuat sekali atau memaksa (compelling) bergantung pada kualitas atau
keefektifan penalaran dalam menimbulkan daya bujuk atau dukung yang
dihasilkan.

Unsur dan Struktur Penalaran


Struktur dan proses penalaran dibangun atas dasar tiga konsep penting yaitu:
asersi (assertion), keyakinan (belief), dan argumen (argument). Struktur
penalaran menggambarkan hubungan ketiga konsep tersebut dalam
menghasilkan daya dukung atau bukti rasional terhadap keyakinan tentang
suatu pernyataan.
Asersi adalah suatu pernyataan (biasanya positif) yang menegaskan
bahwa sesuatu (misalnya teori) adalah benar. Bila seseorang mempunyai
kepercayaan (confidence) bahwa statemen keuangan itu bermanfaat bagi
investor adalah benar, maka pernyataan “statemen keuangan itu
bermanfaat bagi investor” merupakan keyakinannya. Asersi mempunyai
fungsi ganda dalam penalaran yaitu sebagai ele-men pembentuk
(ingredient) argumen dan sebagai keyakinan yang dihasilkan oleh
penalaran (berupa simpulan). Artinya, keyakinan yang dihasilkan
dinyatakan dalam bentuk asersi pula. Dengan demikian, asersi
merupakan unsur penting dalam penalaran karena asersi menjadi
komponen argumen (sebagai masukan penalaran) dan merupakan cara
untuk merepresentasi atau mengungkapkan keyakinan (sebagai keluaran
penalaran).
Keyakinan adalah tingkat kebersediaan (willingness) untuk menerima
bahwa suatu pernyataan atau teori (penjelasan) mengenai suatu fenomena
atau gejala (alam atau sosial) adalah benar. Orang mendapatkan keyakinan
akan suatu per-nyataan karena dia melekatkan kepercayaan terhadap
pernyataan tersebut. Orang dapat dikatakan mempunyai keyakinan yang kuat
kalau dia bersedia bertindak (berpikir, berperilaku, berpendapat, atau
berasumsi) seakan-akan
Penalaran 43

keyakinan tersebut benar. Keyakinan merupakan unsur penting penalaran


karena keyakinan menjadi objek atau sasaran penalaran dan karena
keyakinan menentu-kan posisi (paham) dan sikap seseorang terhadap
suatu masalah yang menjadi topik bahasan.
Argumen adalah serangkaian asersi beserta keterkaitan (artikulasi)
dan infe-rensi atau penyimpulan yang digunakan untuk mendukung suatu
keyakinan. Bila dihubungkan dengan argumen, keyakinan adalah tingkat
kepercayaan yang dile-katkan pada suatu pernyataan konklusi atas dasar
pemahaman dan penilaian suatu argumen sebagai bukti yang masuk
akal. Oleh karena itu, argumen menjadi unsur penting dalam penalaran
karena tia3 digunakan untuk membentuk, meme-lihara, atau mengubah
suatu keyakinan. Gambar 2.1 menunjukkan secara diagra-matik proses
penalaran secara umum.

Gambar 2.1
Proses atau Struktur Penalaran
Masukan Proses Keluaran

Asersi sebagai Keyakinan


elemen Argumen bahwa asersi
argumen konklusi benar

Asersi Asersi

inferensi inferensi Asersi

Asersi konklusi
Asersi Asersi
Asersi inferensi

Gambar di atas menunjukkan bahwa argumen dalam proses penalaran


meru-pakan salah satu bentuk bukti yang oleh Mautz dan Sharaf (1964)
disebut sebagai argumentasi rasional (rational argumentation).4 Dua jenis
bukti yang lain adalah bukti natural (natural evidence) dan bukti ciptaan
(created evidence). Bukti dalam bentuk argumen rasional akan banyak
diperlukan dalam teori akuntansi yang membahas masalah konseptual
khususnya bila akuntansi dipandang sebagai teknologi dan teori akuntansi
diartikan sebagai penalaran logis. Bukti adalah
3
Kata ini digunakan untuk menunjuk kata argumen. Dalam buku ini, kata tia (sebagai padan
kata it dalam bahasa Inggris) kadangkala digunakan sebagai kata ganti penunjuk nomina sebagai
varian kata dia yang digunakan sebagai kata ganti penunjuk orang ketiga. Sebagai objek
(pelengkap penderita) atau untuk menyatakan kata ganti posesif (padan kata its dalam bahasa
Inggris), kata nya sebagai akhiran masih tetap dapat digunakan. Dengan penalaran yang sama,
kata meretia akan digunakan dalam buku ini sebagai padan kata they untuk kata ganti penunjuk
benda (nomina) jamak.
4
R. K. Mautz dan Hussein A. Sharaf, The Philosophy of Auditing (Sarasota, FL: American
Accounting Association, 1964), hlm. 68.
44 Bab 2

sesuatu yang memberi dasar rasional dalam pertimbangan (judgment)


untuk menetapkan kebenaran suatu pernyataan (to establish the truth).
Dalam hal teori akuntansi, pertimbangan diperlukan untuk menetapkan
relevansi atau keefek-tifan suatu perlakuan akuntansi untuk mencapai
tujuan akuntansi. Gambar 2.2 di bawah ini menunjukkan peran argumen
sebagai bukti.

Gambar 2.2
Arti Penting Argumen Sebagai Bukti

Argumen Keyakinan bahwa


pernyataan benar
sebagai bukti
membentuk, sebagai bukti
memelihara,
Semua A adalah C mengubah B bukan C
B bukan A
B bukan C

Perlu dicatat bahwa keyakinan yang diperoleh seseorang karena


kekuatan atau kelemahan argumentasi adalah terpisah dengan masalah
apakah pernyataan yang diyakini itu sendiri benar (true) atau takbenar
(false). Dapat saja seseorang memegang keyakinan yang kuat terhadap
sesuatu yang salah atau sebaliknya menolak suatu pernyataan yang
benar (valid). Berikut ini dibahas lebih lanjut konsep atau komponen
penalaran.

Asersi
Asersi (pernyataan) memuat penegasan tentang sesuatu atau realitas.
Pada umumnya asersi dinyatakan dalam bentuk kalimat. Berikut ini
adalah contoh beberapa asersi (beberapa adalah asersi dalam akuntansi):

• Manusia adalah makhluk sosial.


• Semua binatang menyusui mempunyai paru-paru.
• Beberapa obat batuk menyebabkan kantuk.
• Tidak ada ikan hias yang melahirkan.
• Partisipasi mempengaruhi kinerja.
• Statemen aliran kas bermanfaat bagi investor dan kreditor.
• Perusahaan besar akan memilih metoda MPKP.
• Informasi sumber daya manusia harus dicantumkan di neraca.
• Dalam sektor publik, anggaran merupakan alat
pengendalian dan pengawasan yang paling andal.

Beberapa asersi mengandung pengkuantifikasi yaitu semua (all), tidak


ada (no), dan beberapa (some). Asersi yang memuat pengkuantifikasi semua
dan tidak ada merupakan asersi universal sedangkan yang memuat
penguantifikasi bebera-pa merupakan asersi spesifik. Asersi spesifik dapat
disusun dengan pengkuanti-
Penalaran 45

fikasi sedikit, banyak, sebagian besar, atau bilangan tertentu.


Pengkuantifikasi diperlukan untuk menentukan ketermasukan
(inclusiveness) atau keuniversalan asersi. “Burung dapat terbang” tidak
dapat diinterpretasi sebagai asersi universal karena kita tahu kecualian
terhadap asersi tersebut yaitu misalnya burung unta (yang tidak dapat
terbang). Tanpa pengkuantifikasi ketermasukan akan sangat sulit
ditentukan. Misalnya seseorang mengajukan asersi “Pria lebih berat
badannya daripada wanita.” Asersi tersebut meragukan (ambigus) karena
sulit untuk diinterpretasi apa maksud sesungguhnya asersi tersebut.
Asersi tersebut dapat berarti:

Semua pria lebih berat badannya daripada semua wanita?


Beberapa pria lebih berat badannya daripada semua wanita?
Beberapa pria lebih berat badannya daripada beberapa wanita?
Sebagian besar pria lebih berat badannya daripada sebagian besar wanita?
Berat badan rata-rata pria lebih besar daripada berat rata-rata wanita?

Asersi-asersi yang dicontohkan di atas lebih menyatakan makna atau arti


(meaning) daripada struktur atau bentuk (form). Menyajikan asersi berdasar
arti sering menimbulkan salah interpretasi karena keterbatasan bahasa atau
karena kesalahan bahasa. Bila digunakan sebagai unsur argumen, penyajian
makna dapat mengacaukan evaluasi argumen. Dalam mengevaluasi argumen
harus dipisahkan antara validitas penalaran dan kesetujuan terhadap
(kebersediaan menerima) kebenaran isi asersi. Oleh karena itu, asersi sering
disajikan dalam struktur atau diagram tanpa menunjukkan arti. Penyajian
struktur umum asersi adalah:

Semua A adalah B.
Tidak ada satupun A adalah B.
Beberapa A adalah B.

Dengan cara di atas, orang akan lebih memperhatikan validitas asersi


daripa-da isi asersi karena simbol A atau B dapat diganti dengan apapun
sesuai dengan topik yang dibahas. Misalnya A dapat berisi “badan usaha
milik negara (BUMN)” dan B berisi “perusahaan pencari laba (PPL).”
Dalam contoh ini, badan usaha disamakan dengan perusahaan. Dengan
cara ini, asersi lebih dinilai atas dasar strukturnya daripada atas dasar
penerimaan atau kesetujuan terhadap isi asersi yang diajukan. Dengan
demikian, dapat terjadi bahwa suatu asersi valid (benar secara struktural)
tetapi tidak mempunyai kandungan empiris. Pernyataan “Semua A adalah
B” adalah valid secara struktural tetapi tidak berkaitan dengan dunia
nyata atau pengamatan empiris.
Struktur asersi dapat disajikan pula dalam bentuk diagram untuk
memper-oleh kejelasan mengenai hubungan antara kelas (himpunan)
objek yang satu dengan lainnya. Gambar 2.3 di halaman berikut
merepresentasi asersi berstruk-tur “semua A adalah B” yang berisi
“Semua badan usaha milik negara adalah perusahaan pencari laba”
dalam bentuk diagram.
46 Bab 2

Gambar 2.3
Penyajian Asersi Dengan Diagram

Perusahaan Perusahaan
pencari laba
pencari laba
BUMN BUMN

Himpunan semua perusahaan Himpunan semua perusahaan Asersi:

milik negara pencari laba Semua BUMN adalah PPL

Dalam representasi di atas, semua kelas objek di luar lingkaran BUMN


merepresentasi himpunan perusahaan non-BUMN. Demikian juga, semua
kelas objek di luar lingkaran PPL merepresentasi himpunan non-PPL.
Dalam hal ini, himpunan yang merepresentasi PPL juga termasuk
himpunan yang merepresen-tasi BUMN. Gambar 2.4 di bawah ini
menunjukkan dalam bentuk diagram cara untuk merepresentasi
himpunan non-BUMN pencari laba (gambar kiri) dan non-perusahaan
pencari laba (gambar kanan).

Gambar 2.4

Non-BUMN Non-BUMN
pencari laba
pencari laba
BUMN BUMN

Non-pencari laba

Non-BUMN direpresentasi dalam Gambar 2.4 kiri dengan area abu-abu.


Non-perusahaan pencari laba di Gambar 2.4 kanan (area yang diarsir)
meliputi segala macam unit organisasi yang tidak terbatas pada unit
organisasi yang disebut peru-sahaan atau pencari laba. Jadi, area non-PPL
sebenarnya merepresentasi universa (universe) himpunan yang tak terbatas
sehingga areanya tidak dapat dibatasi menjadi empat persegi panjang seperti
di atas. Penggambaran seperti itu semata-mata merupakan konvensi untuk
merepresentasi suatu universa.
Penalaran 47

Universa non-BUMN dapat direpresentasi seperti pada Gambar 2.4 kanan


dengan mengarsir pula area pencari laba non-BUMN. Pada contoh di atas,
BUMN termasuk dalam himpunan perusahaan pencari laba. Hubungan
semacam ini merupakan hubungan inklusi (inclusion) dengan struktur
“Semua A adalah B.” Hubungan dapat pula bersifat peniadaan atau eksklusi
(exclusion) atau bersifat tumpang-tindih atau saling-isi (overlap) seperti
dalam struktur berikut:

Tidak ada satupun A adalah B (eksklusi).


Beberapa A adalah B (saling-isi).

Hubungan di atas digunakan untuk merepresentasi kenyataan bahwa


tidak satu pun BUMN adalah perusahan non-pencari laba (NPL) atau
kenyataan bahwa beberapa BUMN adalah perusahaan pencari laba (PL).
Hubungan ini dapat dilukiskan dengan diagram dalam Gambar 2.5 di
bawah ini. Dalam gambar terse-but, diagram kiri merepresentasi asersi
eksklusi dan diagram kanan merepresen-tasi asersi saling-isi (bagian yang
diarsir).

Gambar 2.5

BUMN NPL BUMN PL

Representasi asersi dengan diagram bertujuan untuk menjelaskan asersi


ver-bal yang meragukan maksudnya. Asersi verbal berbunyi “Beberapa A
adalah B” hanya memberitahu bahwa beberapa A adalah B tetapi tidak
menunjukkan hubungan antara himpunan A dan himpunan B secara lengkap.
Jadi, tidak dike-tahui apakah himpunan B termasuk di dalam himpunan A atau
tidak (saling-isi). Gambar 2.6 di halaman berikut menunjukkan cara
merepresentasi asersi verbal “Beberapa A adalah B” atas dasar informasi
tentang hubungan himpunan.
Bila diketahui bahwa terdapat A yang bukan B dan terdapat B yang
bukan A, diagram (1) merupakan representasi yang tepat. Akan tetapi,
bila area B yang bukan A tidak mempunyai anggota (kosong),
representasi dalam diagram (2) lebih tepat. Bila tidak ada informasi
tambahan apapun, kedua diagram tersebut dapat merepresentasi asersi
“Beberapa A adalah B.”5
Dalam bahasa matematika, area yang diarsir pada diagram (1) dalam
Gambar 2.6 disebut dengan interseksi (intersection), produk (product), atau
konjungsi (con-junction). Kombinasi dua kelas atau himpunan disebut dengan
uni (union), tam-
48 Bab 2

bah (sum), atau-inklusif (inclusive or), atau disjungsi (disjunction).


Kombinasi dua himpunan tidak termasuk bagian yang saling-isi disebut
dengan atau-eksklusif (exclusive or) atau disjungsi eksklusif (exclusive
disjunction).

Gambar 2.6

A B
B

(1) (2)

Dalam menyatakan asersi, perlu dibedakan penggunaan kata non


dan nir.6 Non (dari kata Inggris non) berarti bukan dan bersifat
komplementer. Walaupun demikian, dalam pemakaiannya kata non lebih
bermakna sebagai suatu orientasi daripada klasifikasi. Sebagai contoh,
kata non-profit lebih bermakna “tidak mementingkan profit” daripada
tidak ada atau tanpa profit. Berbeda dengan non, nir (dari kata Inggris
-less) berarti tanpa dan tidak harus bersifat komplementer dan juga tidak
harus mengklasifikasi. Kata yang tepat menggunakan nir misalnya
sugarless (tanpa gula atau nirgula), useless (tanpa guna atau nirguna),
riskless (tanpa risiko atau nirrisiko), atau scripless (tanpa skrip). Jadi, non-
profit jelas ber-beda dengan nir-profit. Oleh karena itu, tidak tepat pulalah
memadankatakan non-profit dengan nirlaba.7

Interpretasi Asersi
Untuk menerima kebenaran suatu asersi, harus dipastikan lebih dahulu apa
arti atau maksud asersi. Sangat penting sekali untuk memahami arti asersi
untuk menentukan keyakinan terhadap kebenaran asersi tersebut. Untuk
memahami

5
Bila benar bahwa semua A adalah B atau bila A dan B merupakan himpunan yang
sama, benar juga dikatakan bahwa beberapa A adalah B. Dalam hal ini, representasi dalam
diagram akan menun-jukkan area A ada di dalam area B atau area A berimpitan (saling isi
penuh) dengan area B. Bila tidak ada informasi tersebut, pada umumnya asersi “Beberapa A
adalah B” diartikan sebagaimana direpre-sentasi dalam diagram (1) atau (2) dalam Gambar
2.6.
6
Dalam tata bahasa, kata-kata semacam ini disebut pro-leksem. Penulisannya di depan
dan mele-kat pada kata yang diwatasi.
7
Istilah nirlaba digunakan oleh Ikatan Akuntan Indonesa (IAI) dalam Standar Akuntansi
Keu-angan 2002 (PSAK No. 45).
Penalaran 49

maksud asersi, orang juga harus mempunyai pengetahuan tentang subjek


atau topik yang dibahas. Kesalahan interpretasi dapat terjadi karena dua
bentuk asersi yang berbeda dapat berarti dua hal yang sama atau dua hal
yang sangat berbeda. Perhatikan beberapa contoh bentuk asersi berikut:

(1) Semua A adalah B.


(2) Semua B adalah A.
(3) Tidak satu pun A adalah B.
(4) Tidak satu pun B adalah A.
(5) Beberapa A adalah B.
(6) Tidak semua A adalah B.

Asersi (1) jelas berbeda arti dan bentuknya dengan asersi (3).
Demikian juga, asersi (1) jelas berbeda dengan asersi (2). Kesalahan
menginterpretasi asersi (1) sama dengan asersi (2) disebut dengan
kesalahan konversi premis (premise conver-sion error).
Asersi (3) mempunyai makna yang sama dengan asersi (4) karena
kalau asersi yang satu benar, tidak mungkin asersi yang lain salah. Dalam
hal ini, asersi yang satu merupakan implikasi asersi yang lain. Bila asersi
(3) benar, dengan sendiri-nya asersi (4) juga benar.
Dalam percakapan sehari-hari, asersi (5) sering disamakan dengan asersi
(6) dan dapat disaling-tukar penggunaannya. Artinya, dianggap bahwa bila
asersi (5) benar dengan sendirinya asersi (6) juga benar. Interpretasi yang
lebih teliti secara logis dapat menunjukkan perbedaan makna kedua asersi
tersebut. Asersi (5) menegaskan bahwa terdapat beberapa A yang juga B
tetapi tidak mementingkan apakah terdapat beberapa A yang bukan B. Dapat
saja beberapa A yang bukan B tidak ada. Di lain pihak, asersi (6)
mengandung penegasan bahwa terdapat bebera-pa A yang bukan B tetapi
tidak mementingkan informasi bahwa terdapat bebera-pa B yang bukan A.
Asersi ini biasanya merupakan penyangkalan terhadap asersi “Semua A
adalah B.” Kedua asersi dapat berbeda karena kalau asersi (5) benar tidak
dengan sendirinya asersi (6) juga benar. Jadi, makna beberapa dan tidak
semua dapat berarti dua hal yang sama atau berbeda bergantung pada
konteks yang dibahas atau informasi yang tersedia.

Asersi untuk Evaluasi Istilah


Representasi asersi dalam bentuk diagram dapat digunakan untuk
mengevaluasi ketepatan makna suatu istilah. Sebagai contoh, manakah
istilah yang tepat antara bersertifikat akuntan publik (BAP) dan
akuntan publik bersertifikat (APB) sebagai padan kata certified
public accountant (CPA).
Bersertifikat akuntan publik bermakna himpunan (set) orang-orang yang
ber-sertifikat dan salah satu subhimpunannya adalah akuntan publik. Sesuai
dengan makna aslinya, akuntan publik bersertifikat bermakna sebagai
subhimpunan akuntan publik dan akuntan publik merupakan subhimpunan
akuntan. Diagram berikut menjelaskan perbedaan makna kedua istilah
tersebut.
50 Bab 2
Gambar 2.7

Perbedaan Makna BAP dan APB


Makna Bersertifikat Akuntan Publik Makna Akuntan Publik Bersertifikat

Bersertifikat

Akuntan
Akuntan Dukun

Publik
Akuntan Publik
Ahli Ahli Akuntan Publik

Pijat Kaca Mata Bersertifikat

Gambar di atas menunjukkan bahwa penggunaan istilah bersertifikat


akun-tan publik alih-alih (instead of) akuntan publik bersertifikat merupakan
suatu kesalahan fatal. Kesalahan tersebut disebabkan oleh tidak dipahaminya
makna istilah aslinya, tidak dipahaminya teori himpunan, dan tidak ditaatinya
kaidah diterangkan-menerangkan (DM) dalam bahasa Indonesia. Bahasa
Inggris meng-gunakan kaidah menerangkan-diterangkan (MD). Kesalahan
paling telak dalam istilah BAP adalah penyimpangan kaidah DM. Sebagai
analogi, blue round table jelas tidak dapat diterjemahkan menjadi biru meja
bundar atau meja biru bundar karena menyalahi kaidah DM sehingga
maknanya menyimpang.
Pada dasarnya, istilah merefleksi suatu asersi. Diagram sebelah kiri
mengi-syaratkan asersi-asersi antara lain sebagai berikut: 8

Semua akuntan publik adalah bersertifikat.


Semua ahli kaca mata adalah bersertifikat.
Yang tidak bersertifikat akuntan publik adalah bersertifikat dukun,
ahli pijat, dan ahli kacamata.

Di lain pihak, diagram sebelah kanan menggambarkan secara tepat


makna yang dimaksud oleh istilah aslinya dalam bentuk asersi-asersi
berikut:

8
Bersertifikat dapat dipandang sebagai komplemen himpunan takbersertifikat yang di
dalamnya terdapat subhimpunan akuntan publik, dukun, dan sebagainya. Oleh karena itu,
akan didapatkan pula subhimpunan takbersertifikat akuntan publik. Akan tetapi, untuk
menyatakan makna certified public accountant sebagai pusat perhatian, himpunan
takbersertifikat akuntan publik sebagai komple-mennya tidak relevan lagi.
Penalaran 51

Semua akuntan publik adalah akuntan.


Semua akuntan publik bersertifikat adalah akuntan publik.
Akuntan merupakan suatu himpunan dalam universa profesi.

Uraian di atas menunjukkan bahwa makna bersertifikat akuntan


publik jelas sangat berbeda dengan makna akuntan publik bersertifikat.
Penyimpangan mak-na tersebut sebenarnya mengisyaratkan bahwa
argumen atau penalaran di balik pembentukan istilah tidak valid. Orang
mestinya malu menyandang sebutan BAP yang tidak bernalar tersebut.
Kriteria validitas argumen dibahas lebih lanjut dalam bagian lain bab ini.

Jenis Asersi (Pernyataan)


Untuk menimbulkan keyakinan terhadap kebenaran suatu asersi, asersi
harus didukung oleh bukti atau fakta. Untuk keperluan argumen, suatu
asersi sering dianggap benar atau diterima tanpa harus diuji dahulu
kebenarannya. Bila dikait-kan dengan fakta pendukung, asersi dapat
diklasifikasi menjadi asumsi (assump-tion), hipotesis (hypothesis), dan
pernyataan fakta (statement of fact).
Asumsi adalah asersi yang diyakini benar meskipun orang tidak dapat
menga-jukan atau menunjukkan bukti tentang kebenarannya secara
meyakinkan atau asersi yang orang bersedia untuk menerima sebagai
benar untuk keperluan disku-si atau debat.
Hipotesis adalah asersi yang kebenarannya belum atau tidak diketahui
tetapi diyakini bahwa asersi tersebut dapat diuji kebenarannya. Untuk disebut
sebagai hipotesis, suatu asersi juga harus mengandung kemungkinan salah.
Bila tidak ada kemungkinan salah, suatu asersi akan menjadi pernyataan
fakta. Hipotesis biasanya diajukan dalam rangka pengujian teori.9 Dalam
pengujian ilmiah suatu teori (hipotesis), terdapat prinsip yang disebut prinsip
keterbuktisalahan (princi-ple of falsifiability) yang berbunyi bahwa untuk
diperlakukan sebagai teori yang serius dan ilmiah, tia harus dapat dibuktikan
salah kalau memang kenyataannya tia salah. Teori yang kuat atau yang
meyakinkan adalah teori yang tidak hanya dapat dibuktikan salah tetapi juga
yang tegar atau bertahan terhadap segala upaya untuk membuktikan salah
(to disprove). Prinsip ini didasari oleh pemikiran bahwa teori itu tidak dapat
dibuktikan benar tetapi yang dapat dibuktikan adalah bahwa tia salah. Oleh
karena itu, pengujian suatu teori baru (hipotesis) biasanya diarahkan untuk
menyanggah teori lawan. Pendekatan atau strategi semacam ini dikenal
sebagai pendekatan penyanggahan ilmiah (scientific refutation).
Pernyataan fakta adalah asersi yang bukti tentang kebenarannya
diyakini sangat kuat atau bahkan tidak dapat dibantah. Contoh asersi
sebagai pernyataan fakta adalah: semua orang akan meninggal, satu hari
sama dengan 24 jam, matahari merupakan pusat orbit tata surya, dan
penduduk kota Jakarta lebih padat daripada penduduk kota Solo.

9
Dalam penelitian empiris, hipotesis merupakan penjabaran suatu proposisi (proposition).
52 Bab 2

Fungsi Asersi
Telah ditunjukkan dalam Gambar 2.1 bahwa asersi merupakan bahan olah
dalam argumen. Dalam argumen, asersi dapat berfungsi sebagai premis
(premise) dan konklusi (conclusion). Premis adalah asersi yang digunakan
untuk mendukung suatu konklusi. Konklusi adalah asersi yang diturunkan dari
serangkaian asersi. Suatu argumen paling tidak berisi satu premis dan satu
konklusi. Karena premis dan konklusi keduanya merupakan asersi, konklusi
(berbentuk asersi) dalam suatu argumen dapat menjadi premis dalam
argumen yang lain.
Ketiga jenis asersi yang dibahas sebelum ini—asumsi, hipotesis,
pernyataan fakta—dapat berfungsi sebagai premis dalam suatu argumen.
Dalam hal ini, prin-sip yang harus dipegang adalah bahwa kredibilitas
konklusi tidak dapat melebihi kredibilitas terendah premis-premis yang
digunakan untuk menurunkan konklu-si. Artinya, kalau konklusi diturunkan
dari serangkaian premis yang salah satu merupakan pernyataan fakta dan
yang lain asumsi, konklusi tidak dapat dipan-dang sebagai pernyataan fakta.
Dengan kata lain, keyakinan terhadap konklusi dibatasi oleh keyakinan
terhadap premis.

Keyakinan
Keyakinan terhadap asersi adalah tingkat kebersediaan untuk menerima
bahwa asersi tersebut benar. Keyakinan diperoleh karena kepercayaan
(confidence) ten-tang kebenaran yang dilekatkan pada suatu asersi. Suatu
asersi dapat dipercaya karena adanya bukti yang kuat untuk menerimanya
sebagai hal yang benar. Orang dikatakan yakin terhadap suatu asersi bila dia
menunjukkan perbuatan, sikap, dan pandangan seolah-olah asersi tersebut
benar karena dia percaya bahwa asersi tersebut benar. 10 Kepercayaan
diberikan kepada suatu asersi biasanya sete-lah dilakukan evaluasi terhadap
asersi atas dasar argumen yang digunakan untuk menurunkan asersi. Oleh
karena itu, dapat dikatakan bahwa keyakinan merupa-kan produk, hasil, atau
tujuan suatu penalaran. Berbagai faktor mempengaruhi tingkat keyakinan
seseorang atas suatu asersi. Karakteristik (sifat) asersi menen-tukan mudah-
tidaknya keyakinan seseorang dapat diubah melalui penalaran.

Properitas Keyakinan
Semua penalaran bertujuan untuk menghasilkan keyakinan terhadap asersi
yang menjadi konklusi penalaran. Pemahaman terhadap beberapa properitas
(sifat) keyakinan sangat penting dalam mencapai keberhasilan berargumen.
Argumen

10
Istilah keyakinan sering digunakan sebagai padan kata belief dan confidence. Istilah
confidence sering diterjemahkan menjadi keyakinan atau kepercayaan. Dalam buku ini, keyakinan
digunakan untuk padan kata belief yang dibedakan dengan kepercayaan yang digunakan untuk
padan kata confi-dence. Keyakinan adalah hal yang diperoleh dan dianut dari asersi sedangkan
kepercayaan adalah hal yang diberikan kepada asersi. Dari segi subjek (pemegang keyakinan),
keyakinan arahnya masuk sedangkan kepercayaan arahnya keluar. Orang menjadi yakin akan
sesuatu karena dia percaya pada sesuatu tersebut. Tidak ada keyakinan tanpa adanya
kepercayaan; keduanya tidak dapat dipisahkan.
Penalaran 53

dianggap berhasil kalau argumen tersebut dapat mengubah keyakinan.


Berikut ini dibahas properitas keyakinan yang perlu disadari dalam
berargumen.

Keadabenaran
Sebagai produk penalaran, untuk dapat menimbulkan keyakinan, suatu asersi
harus ada benarnya (plausible). Keadabenaran atau plausibilitas (plausibility)
suatu asersi bergantung pada apa yang diketahui tentang isi asersi atau
penge-tahuan yang mendasari (the underlying knowledge) dan pada sumber
asersi (the source). Pengetahuan yang mendasari (termasuk pengalaman)
biasanya menjamin kebenaran asersi. Oleh karena itu, konsistensi suatu
asersi dengan pengetahuan yang mendasari akan menentukan plausibilitas
asersi. Dalam hal sumber, autori-tas sumber menentukan plausibilitas asersi.
Artinya, kalau sumber asersi diyakini dapat dipercaya dan ahli di bidangnya
(knowledgeable) tentang topik asersi, orang akan lebih bersedia meyakini
asersi daripada kalau sumbernya tidak dapat diper-caya dan tidak ahli. Oleh
karena itu, kadang-kadang orang menyerahkan penilaian plausibilitas asersi
kepada ahli dengan pemeo “serahkan saja pada ahli-nya.” Dengan pikiran ini,
keyakinan diperoleh karena keautoritatifan sumber. Mengacu argumen pada
autoritas sumber untuk mendukung kebenaran asersi disebut dengan
imbauan autoritas (appeal to authority).11

Bukan pendapat
Keyakinan adalah sesuatu yang harus dapat ditunjukkan atau dibuktikan
secara objektif apakah tia salah atau benar dan sesuatu yang diharapkan
menghasilkan kesepakatan (agreement) oleh setiap orang yang
mengevaluasinya atas dasar fakta objektif. Pendapat atau opini adalah asersi
yang tidak dapat ditentukan benar atau salah karena berkaitan dengan
kesukaan (preferensi) atau selera. Berbeda dengan keyakinan, plausibilitas
pendapat tidak dapat ditentukan. Artinya, apa yang benar bagi seseorang
dapat salah bagi yang lain. Walaupun dalam kenyataan-nya kedua konsep
tersebut tidak dibedakan secara tegas, penalaran logis yang dibahas di sini
lebih ditujukan pada keyakinan daripada pendapat.

Bertingkat
Keyakinan yang didapat dari suatu asersi tidak bersifat mutlak tetapi
bergradasi mulai dari sangat maragukan sampai sangat meyakinkan
(convincing). Tingkat keyakinan ditentukan oleh kuantitas dan kualitas bukti
untuk mendukung asersi. Orang yang objektif dan berpikir logis tentunya
akan bersedia untuk mengubah

11
Imbauan yang dimaksud di sini adalah pemanfaatan sesuatu sebagai pelarian atau taktik
untuk tidak mengajukan argumen yang valid. Pemanfaatan semacam ini sebenarnya merupakan
suatu kecohan atau salah nalar (fallacy). Imbauan lain yang merupakan kecohan logika antara lain
adalah affirming the consequence, appeal to force, appeal to pity, dan attacking the person. Lihat
kecohan lain dalam Jerry Cederblom dan David W. Paulsen, Critical Reasoning (Belmont, CA:
Wadsworth Publish-ing Co., 1986), hlm. 101-109. Kecohan dan taktik tersebut dibahas lebih lanjut
di bagian lain bab ini.
54 Bab 2

tingkat keyakinannya manakala bukti baru mengenai plausibilitas suatu


asersi diperoleh.

Berbias
Selain kekuatan bukti objektif yang ada, keyakinan dipengaruhi oleh
preferensi, keinginan, dan kepentingan pribadi yang karena sesuatu hal perlu
dipertahankan. Idealnya, dalam menilai plausibilitas suatu asersi orang harus
bersikap objektif dengan pikiran terbuka (open mind). Pada umumnya, bila
orang mempunyai kepentingan, sangat sulit baginya untuk bersikap objektif.
Dengan bukti objektif yang sama, suatu asersi akan dianggap sangat
meyakinkan oleh orang yang mem-punyai kepentingan pribadi yang besar
dan hanya dianggap agak atau kurang meyakinkan oleh orang yang netral.
Demikian pula sebaliknya.

Bermuatan nilai
Orang melekatkan nilai (value) terhadap suatu keyakinan. Nilai keyakinan
adalah tingkat penting-tidaknya suatu keyakinan perlu dipegang atau
dipertahankan seseorang. Nilai keyakinan bagi seseorang akan tinggi
apabila perubahan keya-kinan mempunyai implikasi serius terhadap
filosofi, sistem nilai, martabat, penda-patan potensial, dan perilaku orang
tersebut.

Berkekuatan
Kekuatan keyakinan adalah tingkat kepercayaan yang dilekatkan
seseorang pada kebenaran suatu asersi. Orang yang nyatanya tidak
mengerjakan apa yang ter-kandung dalam asersi menandakan bahwa
keyakinannya terhadap kebenaran asersi lemah. Dapat dikatakan bahwa
semua properitas keyakinan merupakan faktor yang menentukan tingkat
kekuatan keyakinan seseorang.

Veridikal
Veridikalitas (veridicality) adalah tingkat kesesuaian keyakinan dengan
realitas. Realitas yang dimaksud di sini adalah apa yang sungguh-sungguh
benar tentang asersi yang diyakini.12 Dengan kata lain, veridikalitas adalah
mudah tidaknya fak-ta ditemukan dan ditunjukkan untuk mendukung
keyakinan. Misalnya keyakinan bahwa besi yang dipanasi akan memuai lebih
mudah ditunjukkan (lebih veridikal) daripada keyakinan bahwa sistem sosialis
dapat mengurangi kemiskinan. Dalam banyak hal, penilaian apakah benar
suatu asersi sesuai dengan realitas merupa-kan hal yang sangat pelik dan
bersifat subjektif. Oleh karena itu, untuk tujuan
12
Realitas dalam hal ini jangan dikacaukan dengan realitas sosial yaitu apa yang
nyatanya banyak dilakukan orang. Apa yang nyatanya dilakukan banyak orang tidak
menjadikan apa yang dilakukan-nya itu benar. Walaupun banyak orang melakukan korupsi,
tidak menjadikan korupsi itu benar (paling tidak secara moral). Kenyataan bahwa banyak
akuntan menggunakan istilah beban sebagai padan kata expense tidak menjadikan istilah
tersebut benar.
Penalaran 55

ilmiah tingkat veridikalitas keyakinan dievaluasi berdasarkan kaidah


pengujian ilmiah (scientific rules of evidence).

Berketertempaan
Ketertempaan (malleability) atau kelentukan keyakinan berkaitan dengan
mudah-tidaknya keyakinan tersebut diubah dengan adanya informasi yang
rele-van. Berbeda dengan veridikalitas, ketertempaan tidak memasalahkan
apakah suatu asersi sesuai atau tidak dengan realitas tetapi lebih
memasalahkan apakah keyakinan terhadap suatu asersi dapat diubah oleh
bukti. Kelentukan ini biasanya ditentukan oleh kesungguhan pemegang
keyakinan, lamanya keyakinan telah dipegang (baik secara pribadi maupun
secara sosial/umum), dan konsekuensi perubahan keyakinan bagi diri
pemegang. Tujuan suatu argumen adalah untuk mengubah keyakinan kalau
memang keyakinan tersebut lentuk untuk berubah.

Beberapa sifat keyakinan di atas perlu disadari mengingat bahwa tujuan


argumen adalah dalam rangka mencari kebenaran (the search of truth) dan
bukan untuk menyembunyikan kebenaran dengan cara pengelabuhan
(deception) dan pengecohan. Jadi, tujuan argumen adalah untuk
merekonsiliasi ketidaksepakatan (disagreement) untuk menemukan
kebenaran. Hal inilah yang mendasari pemi-kiran ilmiah untuk
mengembangkan pengetahuan. Sifat-sifat keyakinan di atas menunjukkan
bahwa mengubah keyakinan melalui argumen dapat merupakan proses yang
kompleks karena pengubahan tersebut menyangkut dua hal yang ber-kaitan
yaitu manusia yang meyakini dan asersi yang menjadi objek keyakinan.
Manusia tidak selalu rasional dan bersedia berargumen sementara itu tidak
semua asersi dapat ditentukan kebenarannya secara objektif dan tuntas.

Argumen
Dalam kehidupan sehari-hari, istilah argumen sering digunakan secara keliru
untuk menunjuk ketidaksepakatan, perselisihan pendapat (dispute), atau
bahkan pertengkaran mulut (Jawa: padu). Dalam pengertian ini, argumen
mempunyai konotasi negatif. Orang yang suka bertengkar dan ingin
menangnya sendiri akan menikmati dan memburunya tetapi orang yang ingin
mencari solusi atau alterna-tif pemecahan masalah yang terbaik akan
menghindarinya. Dalam arti positif, argumen dapat disamakan dengan
penalaran logis untuk menjelaskan atau meng-ajukan bukti rasional tentang
suatu asersi. Bila seseorang mengajukan alasan untuk mendukung suatu
gagasan atau pandangan, dia biasanya menawarkan suatu argumen.
Argumen dalam arti positif selalu dijumpai dalam bacaan, per-cakapan, dan
dalam diskusi ilmiah. Argumen merupakan bagian penting dalam
pengembangan pengetahuan. Agar memberi keyakinan, argumen harus
dievaluasi kelayakan atau validitasnya.
Gambar 2.1 dan 2.2 menunjukkan arti argumen sebagai proses dan
sebagai suatu bukti tentang keyakinan. Pengertian argumen seperti itu
didasarkan atas definisi yang diajukan Nickerson (1986) sebagai berikut:
56 Bab 2

An argumen is an effort to convince someone to believe or to do


something. An argumen is a set of assertion, one of which is a
conclusion or key assertion, and the rest of which are intended to
support that conclusion or key assertion (hlm. 69).

Anatomi Argumen
Dari definisi di atas dan Gambar 2.1 dapat dikatakan bahwa argumen terdiri
atas serangkaian asersi. Asersi berkaitan dengan yang lain dalam bentuk
inferensi atau penyimpulan. Asersi dapat berfungsi sebagai premis atau
konklusi (atau asersi kunci) yang merupakan komponen argumen. Berikut ini
adalah beberapa contoh argumen (beberapa merupakan argumen dalam
akuntansi):

• Merokok adalah penyebab kanker karena kebanyakan


penderita kanker adalah perokok.
• Jika suatu binatang menyusui, maka binatang tersebut
mempunyai paru-paru karena semua binatang menyusui
mempunyai paru-paru.
• Kreditor adalah pihak yang dituju oleh pelaporan keuangan
sehingga statemen keuangan harus memuat informasi
tentang kemampuan membayar utang.
• Karena akuntansi menekankan substansi daripada bentuk,
statemen keuangan beberapa perusahaan yang secara yuridis
terpisah tetapi secara ekonomik merupakan satu perusahaan
harus dikonsolidasi.
• Karena akuntansi menganut kesatuan usaha ekonomik,
beberapa perusahaan yang secara yuridis terpisah harus
dianggap sebagai satu kesatuan ekonomik kalau perusahaan-
perusahaan tersebut ada di bawah satu kendali. Oleh karena
itu, laporan konsolidasian harus disusun oleh perusahaan
pengendali.

Sebagai suatu argumen, asersi yang satu harus mendukung asersi


yang lain yang menjadi konklusi. Kata-kata dengan huruf miring di atas
merupakan kata indikator argumen yang dapat digunakan untuk
menunjuk mana premis dan mana konklusi. Daftar di bagian atas
halaman berikut ini memuat beberapa kata yang biasanya menjadi
indikator suatu argumen.13
Dalam suatu kalimat argumen, kata-kata dalam daftar tersebut
secara umum mengisyaratkan suatu makna “dengan alasan bahwa.” Di
samping kata-kata di atas, beberapa kata kerja (verba) dapat menjadi
indikator argumen seperti: menunjukkan bahwa, membuktikan bahwa,
menegaskan bahwa, berimplikasi bahwa, mengakibatkan bahwa,
mempunyai konsekuensi bahwa, menjadi landasan berpikir bahwa, dan
semacamnya.

13
Dalam tata bahasa Indonesia, kata-kata tersebut berfungsi sebagai kata penghubung
kalimat majemuk (setara atau bertingkat) atau kata pengait kalimat dalam paragraf. Lihat kaidah
penempatan dan penggunaan kata-kata tersebut dalam kalimat atau paragraf dalam buku tata
bahasa Indonesia.
Penalaran 57
Indikator konklusi Indikator premis

Inggris Indonesia Inggris Indonesia


so karena itu, jadi, maka since oleh karena

thus dengan demikian for karena, mengingat


therefore oleh karena itu because karena
hence oleh karena itu assuming that dengan asumsi bahwa
be concluded that disimpulkan bahwa for the reason that dengan alasan bahwa
consequently sebagai akibatnya

Dalam banyak hal, argumen tidak menunjukkan secara eksplisit kata-


kata indikator sehingga tidak dapat segera diidentifikasi mana premis dan
mana kon-klusi. Akibatnya, sulit untuk menentukan mana asersi yang
mendukung dan mana asersi yang didukung sehingga dapat timbul
berbagai interpretasi terhadap argumen. Bila hal ini terjadi, premis dan
konklusi dapat diidentifikasi dengan kaidah yang oleh Cederblom dan
Paulsen (1986) disebut principle of charitable interpretation (prinsip
interpretasi terdukung). Prinsip ini menyatakan bahwa bila terdapat lebih
dari satu interpretasi terhadap suatu argumen, argumen harus
diinterpretasi sehingga premis-premis yang terbentuk memberi dukungan
yang paling kuat terhadap konklusi yang dihasilkan. Dengan kata lain,
argumen yang dipilih adalah argumen yang plausibilitasnya paling tinggi
atau yang paling masuk akal (valid) dalam konteks yang dibahas.
Cederblom dan Paulsen memberi contoh sebagai berikut: 14

Anda harus datang ke seminar itu. Anda berjanji kepada panitia bahwa
anda akan datang ke seminar itu. Jika anda berjanji untuk berbuat
sesuatu, anda harus mengerjakannya.

Serangkaian asersi di atas tidak mengandung indikator premis atau


konklusi sehingga argumen yang terbentuk dapat diinterpretasi sebagai
berikut:

Interpretasi 1: Premis (1) Jika anda berjanji untuk berbuat sesuatu, anda harus mengerjakannya.
Premis (2) Anda berjanji kepada panitia bahwa anda akan datang ke seminar itu.

Konklusi: Anda harus datang ke seminar itu.

14
Walaupun Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) menganjurkan untuk menulis
kata anda dengan huruf kapital, tia ditulis dengan huruf kecil dalam contoh ini (kecuali pada awal
kalimat) karena tia dianggap padan kata you dalam bahasa Inggris. Seperti you, kata anda
merupakan kata ganti orang kedua dan bukan kata sebutan seperti Bapak, Ibu, atau Saudara. Ciri
kata sebutan adalah tia dapat diikuti nama orang. Bila tidak, tia merupakan kata ganti. Sebagai
kata ganti, kata anda merupakan kata yang netral serta bebas gender dan kelas masyarakat
sehingga sangat dianjur-kan agar tia digunakan dalam pergaulan akademik dan ilmiah yang
menghendaki kenetralan.
58 Bab 2
Interpretasi 2: Premis (1) Anda harus datang ke seminar itu.

Premis (2) Anda berjanji kepada panitia bahwa anda akan datang ke seminar itu.
Konklusi: Jika anda berjanji untuk berbuat sesuatu, anda harus mengerjakannya.
Interpretasi 3: Premis (1) Anda harus datang ke seminar itu.

Premis (2) Jika anda berjanji untuk berbuat sesuatu, anda harus mengerjakannya.
Konklusi: Anda berjanji kepada panitia bahwa anda akan datang ke seminar itu.

Pada interpretasi 1, jelas dapat dirasakan bahwa asersi “Anda harus


datang ke seminar itu” paling tepat didukung dalam argumen daripada dua
asersi yang lain. Interpretasi 1 adalah yang terbaik (paling valid) dibanding
interpretasi yang lain karena bila semua premis benar, maka konklusi juga
benar (yang merupakan salah satu syarat validitas argumen). Dalam hal ini,
premis (1) menyatakan bahwa bila anda memenuhi kondisi tertentu (berjanji)
maka anda mempunyai kewajiban (menepati janji). Premis (2) menegaskan
bahwa anda memenuhi kondisi berjanji (akan datang ke seminar). Kalau
kedua premis benar, maka konklusi (Anda seharusnya datang ke seminar)
harus benar. Dengan demikian dapat dikatakan konklusi mengikuti atau
diturunkan secara logis dari (follow from) premis. Atas dasar prinsip
interpretasi terdukung dan syarat validitas argumen, interpretasi 2 dan 3
dapat dianalisis bahwa keduanya kurang valid dibanding interpretasi 1.

Jenis Argumen
Berbagai karakteristik dapat digunakan sebagai basis untuk
mengklasifikasi argu-men. Misalnya argumen dibedakan menjadi
argumen langsung dan taklangsung, formal dan informal, serta
meragukan dan meyakinkan. Klasifikasi yang ditinjau dari bagaimana
penalaran (reasoning) diterapkan untuk menurunkan konklusi merupakan
klasifikasi yang sangat penting dalam pembahasan buku ini. Dalam hal
ini, argumen dapat diklasifikasi menjadi argumen deduktif dan
induktif.15 Contoh argumen yang diberikan dalam interpretasi 1, 2, dan 3
di atas sebenarnya merupakan contoh argumen deduktif. Salah satu jenis
argumen yang lain adalah argumen dengan analogi (argument by
analogy). Berikut ini dibahas berbagai jenis argumen tersebut.

15
Karena argumen selalu melibatkan penalaran, argumen itu sendiri sering disebut
dengan penalaran. Oleh karena itu, argumen deduktif atau induktif sering disebut juga
penalaran deduktif atau induktif (deductive or inductive reasoning). Penalaran induktif
sebenarnya hanyalah merupakan salah satu jenis penalaran nondeduktif. Termasuk dalam
penalaran nondeduktif adalah penalaran dengan analogi, generalisasi empiris, dan
generalisasi kausal. Lihat pembahasan lebih lanjut dalam Cederblom dan Paulsen (1986),
hlm. 171-205.
Penalaran 59

Argumen Deduktif
Telah disebutkan bahwa argumen atau penalaran deduktif adalah proses
penyim-pulan yang berawal dari suatu pernyataan umum yang disepakati
(premis) ke pernyataan khusus sebagai simpulan (konklusi). Argumen
deduktif disebut juga argumen logis (logical argument) sebagai pasangan
argumen ada benarnya (plau-sible argument). Argumen logis adalah argumen
yang asersi konklusinya tersirat (implied) atau dapat diturunkan/dideduksi
dari (deduced from) asersi-asersi lain (premis-premis) yang diajukan. Disebut
argumen logis karena kalau premis-premisnya benar konklusinya harus benar
(valid). Kebenaran konklusi tidak sela-lu berarti bahwa konklusi merefleksi
realitas (truth). Hal inilah yang membedakan argumen sebagai bukti rasional
dan bukti fisis/langsung/empiris berupa fakta.16
Salah satu bentuk penalaran deduktif adalah suatu penalaran yang
disebut silogisma. Silogisma terdiri atas tiga komponen yaitu premis major
(major premise), premis minor (minor premise), dan konklusi (conclusion).
Dalam silogis-ma, konklusi diturunkan dari premis yang diajukan seperti
contoh berikut:

Premis major: Semua binatang menyusui mempunyai paru-paru.


Premis minor: Kucing binatang menyusui.

Konklusi: Kucing mempunyai paru-paru.

“Semua binatang menyusui” dalam contoh di atas disebut anteseden


(anteced-ent) sedangkan “mempunyai paru-paru” merupakan konsekuen
(consequent). Dalam silogisma, konklusi akan benar bila kedua premis benar
dan premis minor menegaskan anteseden (disebut pola modus ponens) atau
premis minor menyangkal konsekuen (disebut pola modus tollens). Konklusi di
atas benar kare-na “kucing binatang menyusui” menegaskan “semua
binatang menyusui” sebagai anteseden. Jadi, konklusi mengikuti kedua
premis secara logis. Walaupun kedua premis benar, konklusi dapat saja salah
sebagaimana contoh di bawah ini:

Premis major: Semua burung bertelur.


Premis minor: Kura-kura bertelur.

Konklusi: Kura-kura adalah burung.

Konklusi di atas salah karena premis minor menegaskan konsekuen


bukan menegaskan anteseden. Bila dipandang sebagai argumen, penalaran
di atas tidak dapat diterima (tidak valid) karena tidak lengkapnya premis
major. Memang benar

16
Dalam sistem pengadilan di Amerika, dikenal apa yang disebut bukti situasional
(circumstantial evidence) dan bukti langsung (direct evidence). Bukti langsung misalnya adalah
orang tertangkap basah pada saat melakukan kejahatan dan ada saksi. Bukti situasional adalah
bukti-bukti yang menghubung-kan tertuduh dengan kejahatan meskipun pada saat kejadian
tertuduh tidak ada di tempat atau tidak ada saksi mata. Orang dapat dinyatakan salah (misalnya
membunuh orang) atas dasar bukti situa-sional dan penalaran logis yang meyakinkan walaupun
sebenarnya dia tidak bersalah (membunuh).
60 Bab 2

bahwa semua burung bertelur tetapi tidak berarti bahwa binatang lain
tidak ada yang bertelur. Konklusi akan benar kalau premis minor
menyangkal konsekuen dan silogisma di atas dimodifikasi seperti berikut:

Premis major: Semua burung bertelur.


Premis minor: Kelelawar tidak bertelur.

Konklusi: Kelelawar bukan burung.

Penalaran deduktif berlangsung dalam tiga tahap yaitu: (1)


penentuan per-nyataan umum (premis major) yang menjadi basis
penalaran, (2) penerapan kon-sep umum ke dalam situasi khusus yang
dihadapi (proses deduksi), (3) penarikan simpulan secara logis yang
berlaku untuk situasi khusus tersebut. Penalaran deduktif lebih dari
sekadar silogisma karena penalaran deduktif dan unsur-unsurnya (asersi-
asersi) akan membentuk argumen untuk mengubah suatu keyakinan.
Misalnya, keyakinan bahwa penilaian aset atas dasar kos sekarang lebih
relevan daripada kos historis. Contoh lain adalah keyakinan bahwa istilah
biaya lebih tepat daripada beban sebagai padan kata expense.
Penalaran deduktif dalam akuntansi digunakan untuk memberi keyakinan
tentang simpulan-simpulan yang diturunkan dari premis yang dianut. Dalam
teori akuntansi, premis major sering disebut sebagai postulat (postulate).
Sebagai penalaran logis, argumen-argumen yang dihasilkan dengan
pendekatan deduktif dalam akuntansi akan membentuk teori akuntansi.
Gambar 2.8 di halaman berikut ini menunjukkan salah satu contoh penalaran
deduktif dalam akuntansi.
Dalam gambar tersebut, premis 1 merupakan premis major yang
berfungsi sebagai postulat dalam penalaran logis akuntansi. Semua
premis dan konklusi berbentuk suatu pernyataan atau penegasan yang
semuanya merupakan asersi.
Dalam akuntansi, premis major dapat berasal dari konklusi penalaran
deduk-tif. Penalaran deduktif untuk suatu masalah menghasilkan
argumen untuk masalah tersebut. Oleh karena itu, penalaran dalam
akuntansi dapat menjadi pan-jang dan terdiri atas beberapa argumen.
Apakah suatu argumen cukup meyakin-kan? Dengan kata lain,
bersediakah orang menerima kebenaran konklusi. Untuk menjawab ini,
perlu dinilai apakah struktur penalaran logis dan premis-premisnya dapat
diterima (dapat dipercaya sebagai benar).

Evaluasi Penalaran Deduktif


Tujuan utama mengevaluasi argumen adalah untuk menentukan apakah
konklusi argumen benar dan meyakinkan. Untuk menilai suatu argumen
deduktif (logis), Nickerson (1986) mengajukan empat pertanyaan yang harus
dijawab, yaitu:

(1) Apakah tia lengkap?


(2) Apakah artinya jelas?
(3) Apakah tia valid? (Apakah konklusi mengikuti premis?)
(4) Apakah premis dapat dipercaya (diterima)?
Penalaran 61

Gambar 2.8
Penalaran Deduktif Dalam Akuntansi

Investor dan kreditor merupakan pengambil keputusan


Premis 1 dominan dalam perekonomian yang didasarkan pada
mekanisme pasar.

Agar investor dan kreditor bersedia menanamkan modal


Premis 2 dalam suatu perusahaan, harus disediakan informasi
tentang perusahaan kepada investor dan kreditor.

Keputusan investasi dan kredit memerlukan informasi Argumen sebagai


Premis 3 tentang kemampuan perusahaan menghasilkan laba dan hasil penalaran
membayar utang. deduktif

Kemampuan perusahaan membayar utang dapat ditun-


Premis 4 jukkan dengan informasi tentang likuiditas, solvensi, dan
profitabilitas melalui statemen keuangan.

Laporan keuangan harus memuat elemen: aset, kewa-


Konklusi jiban, ekuitas, pendapatan, biaya, rugi, untung, investasi
pemilik, distribusi ke pemilik, dan laba.

Keempat pertanyaan di atas merupakan kriteria evaluasi yang terdiri


atas kelengkapan, kejelasan, kesahihan, dan kepercayaian. Apabila
jawaban untuk keempat pertanyaan di atas adalah positif (ya), maka
konklusi memberi keyakinan tentang kebenarannya.
Kelengkapan merupakan kriteria yang penting karena validitas
konklusi menjadi kurang meyakinkan bila premis-premis yang diajukan
tidak lengkap. Dalam hal tertentu, konklusi tidak dapat ditarik karena
tidak lengkapnya premis. Bila konklusi dipaksakan, jelas argumen menjadi
tidak logis.
Kejelasan arti diperlukan karena keyakinan merupakan fungsi kejelasan
makna. Kejelasan tidak hanya diterapkan untuk makna premis tetapi juga
untuk hubungan antarpremis (inferensi dan penyimpulan). Keterbatasan
bahasa, kesa-lahan bahasa, dan keterbatasan pengetahuan tentang topik
yang dibahas merupa-kan faktor yang menentukan kejelasan dan bahkan
pemahaman argumen.
Karena argumen merupakan bagian penting dalam pengembangan ilmu
dan pengetahuan, kecermatan bahasa dalam argumen juga menjadi penting
khusus-
62 Bab 2

nya dalam karya tulis. Arti penting kemampuan berbahasa dan kaitannya
dengan argumen untuk tujuan ilmiah dinyatakan Suriasumantri (1999) seperti
berikut:17

Kemampuan berbahasa yang baik dan benar merupakan persyaratan


mut-lak untuk melakukan kegiatan ilmiah sebab bahasa merupakan sarana
komu-nikasi ilmiah yang pokok. Tanpa penguasaan tata bahasa dan kosa
kata yang baik akan sukar bagi seorang ilmuwan untuk
mengkomunikasikan gagasannya kepada pihak lain. Dengan bahasa selaku
alat komunikasi, kita bukan saja menyampaikan informasi tetapi juga
argumentasi, di mana kejelasan kosa kata dan logika tata bahasa
merupakan persyaratan utama (hlm. 14).

Kesahihan (validitas) merupakan kriteria utama untuk menilai penalaran


logis. Validitas berkaitan dengan struktur formal argumen. Perlu dibedakan di
sini antara validitas dan kebenaran (truth). Validitas adalah sifat yang
melekat pada argumen sedangkan kebenaran adalah sifat yang melekat pada
asersi. Secara struktural, validitas argumen tidak bergantung pada kebenaran
asersi. Artinya, argumen dikatakan valid kalau konklusi diturunkan secara
logis dari premis tan-pa memperhatikan apakah premis itu sendiri benar atau
salah. Oleh karena itu, dapat saja terjadi suatu argumen yang valid dengan
premis yang salah. Tentu saja, kalau premis benar dan penalarannya valid,
konklusi juga akan benar. Secara dia-gramatik, pengaruh benar tidaknya
premis terhadap konklusi dalam argumen yang logis dilukiskan Nickerson
(1986) dalam Gambar 2.9 di bawah ini.18

Gambar 2.9
Hubungan Kebenaran Premis dan Kebenaran Logis Konklusi
dalam Penalaran Deduktif

Konklusi
Benar Takbenar

Harus/pasti Tidak mungkin


Benar (Konklusi harus benar (Konklusi tidak
kalau premis benar) mungkin takbenar
kalau premis benar)
Premis
Mungkin Mungkin
Takbenar (Konklusi mungkin (Konklusi mungkin
benar meskipun takbenar bila premis
premis takbenar) takbenar)

17
Jujun S. Suriasumantri, “Hakikat Dasar Keilmuan,” dalam M. Thoyibi (editor), Filsafat
Ilmu dan Perkembangannya (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 1999). Penebalan
kata argumen-tasi oleh penulis. Kata “di mana” seharusnya diganti dengan “yang di
dalamnya.”
18
Kata takbenar digunakan sebagai padan kata false. Falsity dipadankan dengan ketakbenaran.
Penalaran 63

Keterpercayaian melengkapi ketiga kriteria sebelumnya agar konklusi


meyakinkan sehingga orang bersedia menerima. Orang bersedia menerima
suatu asersi kalau dia percaya pada asersi tersebut. Orang dapat percaya
pada suatu asersi kalau asersi tersebut ada benarnya (plausible). Telah
disebutkan sebelum-nya bahwa plausibilitas suatu asersi bergantung pada
pemahaman pengetahuan yang mendasari dan pada sumber asersi.
Pengetahuan yang mendasari (termasuk pengalaman) biasanya diyakini
kebenarannya. Kesesuaian suatu asersi dengan pengetahuan yang mendasari
akan menentukan plausibilitas asersi. Dalam hal inilah kriteria ketiga berbeda
dengan kriteria keempat. Kriteria kesahihan ber-kaitan dengan validitas logis
(logical validity) suatu argumen sedangkan kriteria kepercayaan berkaitan
dengan kebenaran empiris (empirical truth) suatu asersi (premis). Gabungan
antara keduanya menentukan kebenaran konklusi.
Gabungan kriteria kelengkapan dan kejelasan sebenarnya digunakan
untuk meyakinkan bahwa semua premis benar atau masuk akal secara
struktural. Keempat kriteria di atas dapat diringkas menjadi:

(1) Semua premis benar (lepas dari apakah orang setuju atau tidak).
(2) Konklusi mengikuti (follow from) semua premis.
(3) Semua premis dapat diterima. Artinya, orang percaya atau
setuju dengan semua premis yang diajukan.

Kriteria (1) dan (2) diperlukan untuk memenuhi validitas logis


argumen. Kri-teria (3) diperlukan untuk memenuhi kebenaran empiris
asersi untuk melengkapi argumen agar konklusi meyakinkan
kebenarannya. Contoh argumen yang hanya memenuhi kriteria (1) dan
(2) diberikan berikut ini.

Premis major: Semua aset mempunyai manfaat ekonomik bagi perusahaan.


Premis minor: Rugi selisih kurs tidak mempunyai manfaat ekonomik bagi perusahaan.

Konklusi: Rugi selisih kurs tidak dapat menjadi aset.

Secara struktural konklusi di atas akan selalu benar tanpa


memperhatikan makna empiris kata aset. Kata aset dapat diganti dengan
kata apapun dan konklu-si akan tetap valid. Jadi, validitas konklusi
independen terhadap makna aset. Akan tetapi, secara empiris atau
observasi dunia nyata, konklusi tersebut salah sehingga tidak dapat
diterima. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa konklusi di atas valid
tetapi tidak mempunyai makna empiris (empirical content). Dunia praktik
(observasi) menunjukkan bahwa rugi selisih kurs dapat dikapitalisasi
sehingga menjadi bagian dari aset.
Perlu dicatat bahwa konklusi tidak selalu dapat mengubah keyakinan
seseo-rang. Properitas keyakinan yang dibahas sebelumnya menentukan
keyakinan seseorang akan suatu asersi konklusi. Demikian juga, dalam
beberapa hal orang tidak selalu bersedia menerima atau bahkan
mendengarkan argumen. Hal ini dibahas di bagian lain bab ini dalam
subbahasan stratagem (stratagem) dan salah nalar (reasoning fallacy).
64 Bab 2

Argumen Induktif
Penalaran ini berawal dari suatu pernyataan atau keadaan yang khusus dan
bera-khir dengan pernyataan umum yang merupakan generalisasi dari
keadaan khusus tersebut. Berbeda dengan argumen deduktif yang
merupakan argumen logis (logi-cal argument), argumen induktif lebih bersifat
sebagai argumen ada benarnya (plausible argument). Dalam argumen logis,
konklusi merupakan implikasi dari premis. Dalam argumen ada benarnya
(plausible), konklusi merupakan generalisa-si dari premis sehingga tujuan
argumen adalah untuk meyakinkan bahwa proba-bilitas atau kebolehjadian
(likelihood) kebenaran konklusi cukup tinggi atau sebaliknya, ketakbenaran
konklusi cukup rendah kebolehjadiannya (unlikely). Berikut ini adalah contoh
struktur suatu penalaran induktif:

Contoh 1: Premis Satu jeruk dari karung A manis rasanya.


Premis Satu jeruk berikutnya manis rasanya.
Konklusi: Semua jeruk dalam karung A manis rasanya.
Contoh 2: Premis Sekelompok penderita kanker semuanya perokok.

Konklusi: Merokok menyebabkan kanker.

Dalam contoh di atas, argumen mengalir dari informasi atas pengamatan


khusus atau tertentu (sampel) menuju ke konklusi yang diterapkan untuk
seluruh pengamatan yang mungkin dilakukan (populasi). Konklusi melewati
(mencakupi lebih dari) apa yang dapat ditunjukkan oleh fakta/bukti empiris
(manisnya bebera-pa jeruk yang telah dicicipi) atau meliputi pula apa yang
tidak diamati (seluruh jeruk dalam karung). Dengan demikian konklusi atau
generalisasi akan bersifat prediktif. Dalam Contoh 1, misalnya, kalau sebuah
jeruk diambil dari karung A, dapat diprediksi bahwa jeruk tersebut akan
manis. Demikian pula dalam Contoh 2, bila konklusi benar maka dapat
diprediksi bahwa seorang perokok kemung-kinan besar terkena kanker.
Karena konklusi (generalisasi) didasarkan pada peng-amatan atau
pengalaman yang nyatanya terjadi, penalaran induktif disebut pula
generalisasi empiris (empirical generalization).
Akibat generalisasi, hubungan antara premis dan konklusi dalam
penalaran induktif tidak langsung dan tidak sekuat hubungan dalam
penalaran deduktif. Dalam penalaran deduktif, kebenaran premis menjamin
sepenuhnya kebenaran konklusi asal penalarannya logis. Artinya, jika semua
premis benar dan penalarannya logis, konklusi harus benar (disebut
necessary implication dan oleh karenanya necessarily true). Dalam penalaran
induktif, kebenaran premis tidak selalu menjamin sepenuhnya kebenaran
konklusi. Kebenaran konklusi hanya dijamin dengan tingkat keyakinan
(probabilitas) tertentu. Artinya, jika premis benar, konklusi tidak selalu benar
(not necessarily true). Perbedaan struktural antara argumen deduktif dan
induktif dapat ditujukkan dalam contoh berikut.19
Penalaran 65

Argumen Deduktif Argumen Induktif

Premis (1): Semua burung mempunyai Premis (1): Kebanyakan burung dapat
bulu. terbang.
Premis (2): Bebek adalah burung. Premis (2): Bebek adalah burung.

Konklusi: Bebek mempunyai bulu. Konklusi: Bebek dapat terbang.


(pasti) (boleh jadi)

Contoh di atas menunjukkan bahwa dalam argumen deduktif bila


semua pre-mis benar maka konklusi pasti atau harus benar. Akan tetapi,
dalam argumen induktif, konklusi tidak selalu benar meskipun kedua
premis benar. Perbedaan tersebut menjadi dasar untuk menilai perbedaan
keefektifan atau keberhasilan kedua jenis argumen. Argumen deduktif
dengan premis benar dapat dikatakan berhasil jika kebenaran premis
menjadikan konklusi tidak mungkin (impossible) takbenar. Di lain pihak,
argumen induktif dengan premis benar dapat dikatakan berhasil jika
kebenaran premis menjadikan konklusi kecil kemungkinan atau kecil
kebolehjadian takbenarnya. Karena ada kebolehjadian takbenar, asersi
ilmiah yang bersandar pada penalaran induktif diperlakukan sebagai
hipotesis bukan pernyataan fakta.

Argumen dengan Analogi


Argumen induktif sebenarnya merupakan salah satu jenis penalaran
nondeduktif. Salah satu penalaran nondeduktif lainnya adalah argumen
dengan analogi (argu-ment by analogy). Penalaran dengan analogi adalah
penalaran yang menurunkan konklusi atas dasar kesamaan atau kemiripan
(likeness) karakteristik, pola, fung-si, atau hubungan unsur (sistem) suatu
objek yang disebutkan dalam suatu asersi. Analogi bukan merupakan suatu
bentuk pembuktian tetapi merupakan suatu sarana untuk meyakinkan bahwa
asersi konklusi mempunyai kebolehjadian untuk benar. Dengan kata lain, bila
premis benar, konklusi atas dasar analogi belum tentu benar. Struktur
argumen ini digambarkan sebagai berikut:

Premis (1) X dan Y mempunyai kemiripan dalam hal a, b, c, ...


Premis (2) X mempunyai karakteristik z.

Konklusi: Y mempunyai karakteristik z.

Kemiripan dalam suatu analogi merupakan suatu hubungan konseptual


dan bukan hubungan fisis atau keidentikan. Hubungan analogis bersifat
implisit dan

19
Dalam percakapan sehari-hari, kata bulu (feather) sering dirancukan dengan rambut
atau ram-but kulit (fur). Orang sering mengatakan “bulu kucing” padahal yang dimaksud
sebenarnya adalah “rambut kucing.” Kera, anjing, dan kelinci tidak mempunyai bulu tetapi
mempunyai rambut sehingga meretia tidak termasuk dalam kelas burung.
66 Bab 2

kompleks. Dalam banyak hal, penalar harus mengidentifikasi dan


menyimpulkan sendiri hubungan kemiripan tersebut dalam analogi.
Berikut adalah suatu contoh argumen dengan analogi.

Premis (1) Negara adalah ibarat sebuah kapal pesiar dengan presiden sebagai
nahkoda.

Premis (2) Dalam keadaan darurat, semua penumpang harus tunduk pada
perintah nahkoda tanpa kecuali.

Konklusi: Dalam keadaan krisis, presiden harus diberi kekuasaan khusus untuk
mengeluarkan undang-undang darurat yang harus diikuti semua warga
tanpa kecuali.

Dalam contoh di atas, hubungan kemiripan negara dan kapal dapat


diinter-pretasi bahwa keduanya sama-sama merupakan suatu wilayah
(teritori) yang di dalamnya hidup sekelompok warga yang menyerahkan
sebagian kedaulatannya kepada seorang pemimpin. Penalar dapat juga
menginterpretasi bahwa kemiripan tersebut berkaitan dengan
pemerintahan atau manajemen. Karena kemiripan tersebut, disimpulkan
bahwa kekuasaan (karakteristik, fungsi, atau sistem peme-rintahan)
presiden sama dengan kekuasaan nahkoda. Kesamaan kekuasaan meru-
pakan argumen untuk mendukung konklusi bahwa presiden dapat
mengeluarkan undang-undang darurat dalam situasi krisis.
Walaupun analogi banyak digunakan dalam argumen, argumen semacam
ini banyak mengandung kelemahan. Perbedaan-perbedaan penting yang
mempe-ngaruhi (melemahkan) konklusi sering tersembunyi atau
disembunyikan. Perbe-daan sering lebih dominan daripada kemiripan. Dalam
analogi nahkoda misalnya, warga dalam kapal jumlahnya lebih kecil dan tidak
terdapat lembaga perwakilan seperti dalam negara. Karena bukan merupakan
pembuktian, analogi sering disalahgunakan untuk pembuktian sebagai cara
untuk mengecoh orang.

Argumen Sebab-Akibat
Menyatakan konklusi sebagai akibat dari asersi tertentu merupakan salah
satu bentuk argumen yang disebut argumen dengan penyebaban (argument
by causa-tion) atau generalisasi kausal (causal generalization). Hubungan
penyebaban biasanya dinyatakan dalam struktur “X menghasilkan Y” atau “X
memaksa Y ter-jadi” atau “X menyebabkan Y terjadi” atau “Y terjadi akibat X”
atau “Y berubah karena X berubah.” Akan tetapi, pernyataan tersebut
sebenarnya hanyalah cara memverbalkan bahwa A bervariasi atau
berasosiasi dengan B tetapi tidak menun-jukkan bahwa apa yang sebenarnya
terjadi merupakan hubungan kausal.
Untuk dapat menyatakan adanya hubungan kausal perlu diadakan
pengujian tentang apa yang sebenarnya terjadi. Kaidah untuk menguji
adanya hubungan kausal adalah apa yang disebut kaidah kecocokan (method
of agreement), kaidah kecocokan negatif (negative canon of agreement) dan
kaidah perbedaan (method of
Penalaran 67

difference) yang dikemukakan oleh John Stuart Mill (sehingga seluruh


kaidah disebut dengan kaidah Mill).20
Kaidah kecocokan menyatakan bahwa jika dua kasus (atau lebih)
dalam suatu fenomena mempunyai satu dan hanya satu kondisi atau
faktor yang sama (C), maka kondisi tersebut dapat menjadi penyebab
timbulnya gejala (Z).
Kaidah kecocokan negatif menyatakan bahwa jika tiadanya suatu
faktor (C) berkaitan dengan tiadanya gejala (Z), maka ada bukti bahwa
hubungan faktor dan gejala tersebut bersifat kausal.
Kaidah perbedaan menyatakan bahwa jika terdapat dua kasus atau
lebih dalam suatu fenomena, dan dalam salah satu kasus suatu gejala (Z)
muncul sementara dalam kasus lainnya gejala tersebut (Z) tidak muncul;
dan jika faktor tertentu (C) terjadi ketika gejala tersebut (Z) muncul, dan
faktor tersebut (C) tidak terjadi ketika gejala tersebut (Z) tidak muncul;
maka dapat dikatakan bahwa ter-dapat hubungan kausal antara faktor (C)
dan gejala (Z) tersebut.
Dalam argumen, kasus-kasus dalam ketiga kaidah di atas dapat
diperlakukan sebagai premis. Kaidah ketiga sebenarnya merupakan gabungan
antara kaidah pertama dan kedua. Kaidah Mill didasarkan pada asumsi bahwa
tidak ada faktor lain (selain C) yang mempengaruhi gejala Z. Kaidah Mill
digunakan untuk meyakinkan apakah hubungan dua faktor bersifat
korelasional atau kausal. Kai-dah Mill ini didiagramkan dalam Gambar 2.10 di
halaman berikut.

Kriteria Penyebaban
Kaidah perbedaan Mill sebenarnya merupakan suatu rancangan untuk
menguji secara ekperimental apakah memang terdapat hubungan kausal.
Akan tetapi, kaidah tersebut belum dapat sepenuhnya meyakinkan
karena mungkin ada faktor lain (selain C) yang menyebabkan gejala Z
terjadi. Oleh karena itu, untuk menguji dan menyatakan bahwa suatu
faktor atau variabel (C) menyebabkan suatu gejala atau variabel lain (Z)
terjadi, tiga kriteria berikut harus dipenuhi:

(1) C dan Z bervariasi bersama. Bila C berubah, Z juga berubah.


(2) Perubahan C terjadi sebelum atau mendahului perubahan Z terjadi.
(3) Tidak ada faktor lain selain C yang mempengaruhi perubahan Z.

Kriteria (1) harus dipenuhi karena hubungan sebab-akibat hanya terjadi


jika ada perubahan baik faktor sebab maupun faktor akibat. Bila salah satu
faktor berubah sementara yang lain tetap, maka jelas bahwa kedua faktor
tersebut tidak berhubungan sama sekali. Perubahan di sini harus diartikan
secara luas sebagai perbedaan keadaan (status/klasifikasi/gejala) atau nilai
(skor/peringkat). Misalnya keadaan kena kanker dan tidak kena kanker,
merokok dan tidak merokok, diberi obat dan tidak diberi obat, muncul dan
tidak muncul, serta sembuh dan tidak sem-buh merupakan suatu perbedaan
keadaan yang menggambarkan perubahan. Demikian juga, perbedaan skor
hasil pengukuran dua kasus atau lebih menunjuk-

20
Lihat Cooper and Schindler (2001), hlm. 148-149.
68 Bab 2

kan adanya perubahan. Misalnya perbedaan skor rata-rata tes potensi


akademik (TPA) sebelum dan sesudah mengikuti kursus, perbedaan tingkat
kecerdasan yang diukur pada waktu yang berbeda, perbedaan kinerja
sekelompok karyawan yang diukur pada waktu yang berbeda atau, dan
perbedaan kinerja dua kelompok sete-lah adanya suatu percobaan
merupakan indikasi adanya perubahan.

Gambar 2.10
Kaidah Penyebaban Mill

Kaidah Kecocokan
Faktor Penjelas Gejala

Kasus 1 A B C Z

Kasus 2 E C D Z

Kasus 3 C F G Z

menyebabkan
Konklusi C Z
Kaidah Perbedaan

Faktor Penjelas Gejala


Kasus 1 A B C
Z
Kasus 2 A B −C
-Z (Tak ada Z)

Konklusi menyebabkan
C Z

Kriteria (2) harus dipenuhi karena penyebaban menuntut adanya


pengaruh satu faktor terhadap faktor yang lain dalam selang waktu
tertentu. Jadi, harus ada selang waktu antara terjadinya perubahaan
faktor sebab dan faktor akibat. Oleh karena itu, perubahan faktor sebab
harus terjadi dahulu sebelum perubahan faktor akibat terjadi. Dengan
kata lain, harus ada semacam ketergantungan atau dependensi faktor
akibat pada faktor sebab. Selang waktu tersebut dapat sekejap atau lama
bergantung pada masalah yang dibahas.
Untuk meyakinkan bahwa faktor sebab benar-benar menyebabkan faktor
aki-bat, kriteria (3) harus dipenuhi. Tidak adanya faktor-faktor lain selain
faktor sebab yang diteorikan harus diartikan bahwa faktor-faktor lain tersebut
memang tidak ada atau kalau ada, pengaruh faktor-faktor lain tersebut dapat
dikendalikan, diukur, atau diisolasi sehingga diperoleh keyakinan yang tinggi
bahwa perubahan
Penalaran 69

faktor sebab benar-benar menyebabkan perubahaan faktor akibat.21


Misalnya, untuk meyakinkan apakah kegaduhan (noise) menyebabkan
turunnya produktivi-tas ayam petelur, faktor lain yang diduga juga
merupakan penyebab seperti penyi-naran, temperatur, dan jenis makanan
harus dikendalikan atau dijaga konstan.

Penalaran Induktif dalam Akuntansi


Penalaran induktif dalam akuntansi pada umumnya digunakan untuk
menghasil-kan pernyataan umum yang menjadi penjelasan (teori) terhadap
gejala akuntansi tertentu. Pernyataan-pernyataan umum tersebut biasanya
berasal dari hipotesis yang diajukan dan diuji dalam suatu penelitian empiris.
Hipotesis merupakan generalisasi yang dituju oleh penelitian akuntansi. Bila
bukti empiris konsisten dengan (mendukung) generalisasi tersebut maka
generalisasi tersebut menjadi teori yang valid dan mempunyai daya prediksi
yang tinggi. Contoh pernyataan umum sebagai hasil penalaran induktif
(generalisasi) antara lain adalah:

• Perusahaan besar memilih metoda akuntansi yang menurunkan laba.


• Tingkat likuiditas perusahaan perdagangan lebih tinggi
daripada tingkat likuiditas perusahaan pemanufakturan.
• Tingkat solvensi berasosiasi positif dengan probabilitas
kebankrutan perusahaan.
• Partisipasi manajer divisi dalam penyusunan anggaran
mempunyai pengaruh positif terhadap kinerja divisi.
• Ambang persepsi etis wanita lebih tinggi dibanding ambang
persepsi etis pria dalam menilai kasus pelanggaran etika atau
hukum.
• Ukuran atau besar-kecilnya (size) perusahaan berasosiasi
positif dengan tingkat pengungkapan sukarela (voluntary
disclosures) dalam statemen keuangan.

Secara statistis, generalisasi berarti menyimpulkan karakteristik


populasi atas dasar karakteristik sampel melalui pengujian statistis.
Misalnya, suatu teori harus diajukan untuk menjelaskan mengapa terjadi
perbedaan luas atau banyak-nya pengungkapan dalam statemen
keuangan antarperusahaan. Teori tersebut misalnya dinyatakan dalam
pernyataan umum (proposisi) terakhir dalam daftar di atas yaitu ukuran
perusahaan berasosiasi positif dengan tingkat pengungkapan sukarela.
Proses penalaran induktif dalam contoh ini dapat dilukiskan dalam
Gambar 2.11 di halaman berikut.
Untuk sampai pada proposisi dalam contoh tersebut, tentu saja
diperlukan argumen dalam bentuk rerangka atau landasan teoretis.
Dalam proposisi ini, “ukuran perusahaan” dan “tingkat pengungkapan
sukarela” merupakan konsep sedangkan “berasosiasi positif” merupakan
hubungan yang diteorikan. Agar proposisi dapat diuji, konsep dalam
proposisi harus didefinisi secara operasional

21
Dalam suatu percobaan atau penelitian eksperimental, tingkat keyakinan bahwa
faktor tertentu benar-benar merupakan penyebab faktor yang lain disebut dengan validitas
internal.
70 Bab 2

menjadi suatu variabel yang dapat diamati dalam dunia nyata sehingga
konsep abstrak dapat diukur. Dalam contoh ini, aset (dapat juga
penjualan) dijadikan defi-nisi operasional (proksi) ukuran perusahaan
sedangkan banyaknya butir peng-ungkapan yang tidak diatur oleh
standar akuntansi merupakan definisi pengungkapan sukarela. Dalam
pengujian statistis, hubungan teoretis antarvaria-bel sering dinyatakan
dalam bentuk hipotesis.22

Gambar 2.11
Contoh Penalaran Induktif dalam Akuntansi

Tataran abstrak

Rerangka/landasan
teoretis

Hubungan teoretis

Konsep: Konsep:
Tingkat pengungkapan
Ukuran perusahaan Proposisi sukarela

Tataran empiris Definisi operasional Generalisasi

Variabel X: Variabel Y: sebagai


Banyaknya pengung- penalaran

Aset Hipotesis kapan yang tidak diwa- induktif

jibkan oleh standar.


Pengukuran Pengukuran

sampel sampel

Sampel X Y
Pengujian hubungan secara statistis
(dengan regresi, korelasi, atau lainnya)

Setelah definisi operasional diukur untuk sampel amatan, konsep-konsep


yang diteorikan direpresentasi dalam bentuk variabel dan diberi notasi
(misalnya X dan Y) agar analisis data mudah dilakukan. Untuk menguji
hipotesis, hubungan

22
Proposisi sering disebut dengan hipotesis. Istilah proposisi biasanya digunakan dalam
tataran (level) teoretis atau abstrak sedangkan istilah hipotesis biasanya digunakan dalam
tataran empiris atau pengujian. Dalam penelitian akuntansi, kedua istilah sering tidak
dibedakan dan digunakan secara saling tukar.
Penalaran 71

antara variabel diuji dengan alat statistis tertentu (misalnya regresi). Bila
pengujian secara statistis menunjukkan bahwa hubungan antara variabel
secara statistis signifikan, berarti ada keyakinan tinggi (misalnya tingkat
keyakinan 95%) bahwa teori yang diajukan didukung secara empiris sehingga
dapat dilaku-kan generalisasi. Dari contoh di atas, generalisasi secara formal
dapat dinyatakan dalam penalaran induktif sebagaimana tampak pada
argumen di bawah ini.

Premis: Pengamatan (sampel) menunjukkan bahwa makin besar


aset perusahaan makin banyak butir pengungkapan yang
disajikan perusahaan dalam statemen keuangan.
Hubungan ini secara statistis signifikan pada α = 0,05.

Konklusi: Ukuran atau besar-kecilnya (size) perusahaan beraso-


siasi positif dengan tingkat pengungkapan sukarela
(voluntary disclosures) dalam statemen keuangan.

Dalam praktiknya, penalaran induktif tidak dapat dilaksanakan terpisah


dengan penalaran deduktif atau sebaliknya. Kedua penalaran tersebut saling
ber-kaitan. Premis dalam penalaran deduktif, misalnya, dapat merupakan
hasil dari suatu penalaran induktif. Demikian juga, proposisi-proposisi
akuntansi yang dia-jukan dalam penelitian biasanya diturunkan dengan
penalaran deduktif.
Bila dikaitkan dengan perspektif teori yang lain, teori akuntansi normatif
biasanya berbasis penalaran deduktif sedangkan teori akuntansi positif
biasanya berbasis penalaran induktif. Secara umum dapat dikatakan bahwa
teori akuntansi sebagai penalaran logis bersifat normatif, sintaktik, semantik,
dan deduktif sementara teori akuntansi sebagai sains bersifat positif,
pragmatik, dan induktif. Buku ini memandang teori akuntansi sebagai
penalaran logis dalam bentuk perekayasaan pelaporan keuangan. Oleh
karena itu, pembahasan buku ini lebih berhaluan normatif sehingga banyak
menerapkan penalaran deduktif dengan fokus bahasan yang bersifat
struktural (sintaktik) dan semantik.

Kecohan (Fallacy)
Dalam kehidupan sehari-hari (baik akademik maupun nonakademik),
acapkali dijumpai bahwa argumen yang jelek, lemah, tidak sehat, atau
bahkan tidak masuk akal ternyata mampu meyakinkan banyak orang
sehingga mereka terbujuk oleh argumen tersebut padahal seharusnya
tidak. Bila hal ini terjadi, akan banyak praktik, perbuatan, atau tindakan
dalam masyarakat yang dilandasi oleh teori atau alasan yang tidak sehat.
Akibatnya praktik itu sendiri menjadi tidak sehat. Cederblom dan Paulsen
(1986) membahas hal ini dengan mengajukan pertanyaan: “Why are bad
arguments sometimes convincing?” Pertanyaan tentang adanya kecohan
penalaran dalam akuntansi misalnya adalah “Mengapa istilah yang salah
banyak dipakai orang?”
Telah dibahas sebelumnya bahwa keyakinan mempunyai beberapa sifat
yang menjadikan perubahan atau pemertahanan keyakinan tidak semata-
mata dilan-dasi oleh validitas dan kekuatan argumen tetapi juga oleh faktor
manusia. Dalam
72 Bab 2

kasus tertentu (bahkan dalam konteks ilmiah atau akademik), manusia


lebih ter-bujuk atau terkecoh oleh emosi atau kepentingan pribadi
daripada logika. Dengan kata lain, keyakinan tidak selalu diperoleh
melalui argumen logis atau akal sehat. Apapun faktor yang
menyebabkan, bila terdapat suatu asersi yang nyatanya mem-bujuk dan
dianut banyak orang padahal seharusnya tidak lantaran argumen yang
diajukan mengandung cacat (faulty), maka pasti terjadi kesalahan yang
disebut kecohan atau salah nalar (fallacy). Cederblom dan Paulsen (1986)
mendefinisi pengertian kecohan sebagai berikut:

A fallacy is a kind of argument or appeal that tends to persuade us,


even though it is faulty. ... Fallacies are arguments that tend to
persuade but should not per-suade (hlm. 102).

Kita harus mengenal berbagai kecohan agar kita waspada bahwa hal
semacam itu memang ada sehingga kita tidak terkecoh atau mengecoh orang
lain secara tak sengaja. Orang dapat terkecoh oleh dirinya sendiri sehingga
dia berpikir bahwa dia mengajukan argumen yang valid padahal sebenarnya
tidak valid. Sebaliknya, orang dapat mengecoh orang lain dengan sengaja
semata-mata karena ingin memaksakan kehendak atau ingin menangnya
sendiri sehingga dia akan meng-gunakan segala taktik untuk meyakinkan
orang lain tentang keyakinan atau pendapatnya dengan menyampingkan
masalah pokok atau menyembunyikan argumen yang valid. Oleh karena itu,
perlu dibedakan kecohan lantaran taktik atau akal bulus (yang oleh Nickerson
disebut dengan stratagem) dan kecohan lan-taran salah logika atau nalar
dalam argumen (reasoning fallacy).23 Ciri yang mem-bedakan keduanya
adalah maksud atau niat (intention) untuk berargumen.

Stratagem
Stratagem adalah pendekatan atau cara-cara untuk mempengaruhi
keyakinan orang dengan cara selain mengajukan argumen yang valid atau
masuk akal (rea-sonable argument). Stratagem merupakan salah satu bentuk
argumen karena merupakan upaya untuk menyakinkan seseorang agar dia
percaya atau bersedia mengerjakan sesuatu. Berbeda dengan argumen yang
valid, stratagem biasanya digunakan untuk membela pendapat yang
sebenarnya keliru atau lemah dan tidak dapat dipertahankan secara logis.
Karenanya, stratagem dapat mengandung kebo-hongan (deceit) dan muslihat
(trick). Biasanya, stratagem digunakan dengan niat semata-mata untuk
memaksakan kehendak, membujuk orang agar meyakini sesuatu, menjadikan
hal yang tidak baik/benar kelihatan baik/benar, atau menja-tuhkan lawan
bicara dalam debat atau perselisihan. Stratagem dapat melibatkan salah
nalar walaupun tidak harus selalu demikian. Artinya, argumen yang logis
tidak selalu dapat membujuk. Oleh karena itu, keyakinan kadang-kadang
dianut bukan karena kekuatan argumen semata-mata tetapi juga karena
stratagem.
23
Pengertian kecohan yang diajukan oleh Cederblom dan Paulsen meliputi pula stratagem
sedang-kan istilah kecohan oleh Nickerson dibatasi pada pengertian sebagai salah nalar.
Stratagem juga sering disebut sebagai argumen informal sementara penalaran logis disebut
sebagai argumen formal.
Penalaran 73

Stratagem banyak dijumpai dalam arena politik walaupun tidak tertutup


kemung-kinan bahwa hal tersebut dijumpai dalam diskusi ilmiah. Pakar
atau ilmuwan kadang kala lebih menunjukkan stratagem daripada
argumen yang valid. Berikut ini dibahas beberapa stratagem yang sering
dijumpai dalam diskusi atau perde-batan baik politis maupun akademik.

Persuasi Taklangsung
Persuasi taklangsung merupakan stratagem untuk menyakinkan seseorang
akan kebenaran suatu pernyataan bukan langsung melalui argumen atau
penalaran melainkan melalui cara-cara yang sama sekali tidak berkaitan
dengan validitas argumen. Contoh persuasi taklangsung banyak dijumpai
dalam periklanan (adver-tising). Untuk membujuk agar orang mau membeli
produk, orang tidak disuguhi argumen tentang mengapa produk tersebut
berkualitas melainkan ditunjuki pemandangan bahwa seorang selebritis
menggunakan produk tersebut. Harapan-nya adalah orang yang tidak
menggunakan produk akan merasa bahwa dia tidak termasuk dalam
golongan yang bergaya hidup selebritis.
Orang yang rasional tentunya tidak mudah terbujuk oleh stratagem
tersebut. Akan tetapi, teknik-teknik persuasi sudah canggih dan halus
sehingga orang yang rasional pun masih terkecoh secara emosional.

Membidik Orangnya
Stratagem ini digunakan untuk melemahkan atau menjatuhkan suatu posisi
atau pernyataan dengan cara menghubungan pernyataan atau argumen yang
diajukan seseorang dengan pribadi orang tersebut. 24 Alih-alih mengajukan
kontra-argumen (counter-argument) yang lebih valid, pembicara mengajukan
kejelekan atau sifat yang kurang menguntungkan dari lawan berargumen.
Jadi, yang dilawan orang-nya bukan argumennya. Dengan cara ini diharapkan
bahwa daya bujuk argumen akan menjadi turun atau jatuh. Taktik ini sering
disebut argumentum ad hom-inem. Berikut ini adalah beberapa contoh
stratagem ini.

• Dia tidak mungkin menjadi pemimpin yang andal karena dia


bekas militer (atau tahanan politik yang pernah dihukum).
• Praktisi akuntansi yang tidak mengikuti standar akuntansi
seperti apa adanya adalah orang yang tidak loyal dan tidak
profesional.
• Jangan menggunakan istilah tersebut karena yang
mengusulkan orang Yogya. (Saya tidak setuju istilah itu karena
itu istilah Yogya.)
• Program tersebut tidak valid didukung karena yang
mengajukan adalah partai politik A.
• Kurikulum ini harus diganti total karena yang mengembangkan
adalah pengelola lama (rezim orde baru).

24
Posisi yang dimaksud di sini adalah posisi setuju (mendukung) atau tidak sejutu
(menolak) ter-hadap suatu gagasan, ide, usul, konsep, atau kebijakan.
74 Bab 2

Berkaitan dengan stratagem ini, orang sering menggunakan taktik


ungkapan merendahkan (put-downs) untuk menyanggah/menghindari
argumen dengan ungkapan-ungkapan berikut (diucapkan dengan nada
meninggi):

• “Semua orang tahu itu!”


• “Saya tidak percaya anda dapat mengatakan hal itu!”
• “Yang anda katakan itu adalah lelucon baru yang belum
pernah saya dengar!”
• “Apa itu kok aneh-aneh, seperti kurang pekerjaan saja!” (Sebagai
reaksi terhadap istilah akuntansi baru yang baru saja
didengarnya.)

Menyampingkan Masalah
Stratagem ini dilakukan dengan cara mengajukan argumen yang tidak
bertumpu pada masalah pokok atau dengan cara mengalihkan masalah ke
masalah yang lain yang tidak bertautan. Hal ini sering dilakukan orang jika
dia (karena sesuatu hal) tidak bersedia menerima argumen yang dia tahu
lebih valid dari argumen yang dipegangnya. Penyampingan masalah ini juga
merupakan salah satu contoh salah nalar karena penyampingan dilakukan
dengan memberi penjelasan yang tidak menjawab masalah. Berikut ini
adalah beberapa contoh stratagem ini.

• Gerakan antikorupsi tidak perlu digalakkan lagi karena


nyatanya banyak orang yang melakukan korupsi tidak
mendapatkan sanksi hukum.
• Pembenahan istilah akuntansi tidak perlu dilakukan karena
dalam komunikasi yang penting kita tahu maksudnya.
• Mengapa istilah kos seharusnya digunakan alih-alih biaya?
Stratagem: Apa bedanya dengan kos-kosan (tempat mondok)?

Dari contoh di atas, penyampingan masalah terjadi karena orang tidak


lagi menyajikan argumen tandingan yang valid terhadap pernyataan yang
ingin disanggahnya (yaitu perlunya pemberantasan korupsi). Dalam contoh
kedua, misalnya, orang tidak lagi membahas arti pentingnya pembenahan
melainkan mematikan atau memotong diskusi dengan mengajukan alasan
yang menyimpang dari masalah pokok. Dalam contoh ketiga, penyanggah
tidak bertanya secara ilmi-ah atau akademik mengapa demikian tetapi
malahan mengolok-olok penggagas atau gagasan untuk menyampingkan
masalah pokok. Bila hal semacam ini terjadi dalam forum ilmiah atau
akademik, hal tersebut sebenarnya merefleksi kepicikan penyanggah yang
justru pantas untuk diolok-olok.
Stratagem penyampingan masalah (avoiding the issue) sering digunakan
oleh politikus untuk menghidari pertanyaan yang dapat memalukannya
dalam suatu jumpa pers dengan cara menyalahartikan pertanyaan dan
menjawab pertanyaan yang disalahartikan tersebut. Hal ini sama dengan
taktik mahasiswa yang tidak dapat menjawab pertanyaan dalam ujian tetapi
kemudian sengaja menyalaharti-kan maksud pertanyaan dan menjawab
pertanyaan yang disalahartikan tersebut
Penalaran 75

dengan baik. Kemudian dia datang ke dosennya, setelah tahu nilainya


jelek, untuk memprotes dan berargumen bahwa itulah yang dipahami
tentang pertanyaan ujian (meskipun dia tahu benar maksud sebenarnya
pertanyaan).
Penyampingan masalah pokok sering disebut dengan taktik red
herring dalam perdebatan politik untuk menutupi atau menghindari
kekalahan dalam argumen. Red herring adalah praktik dalam perburuan
untuk menghalangi anjing pelacak membaui sasaran dengan cara
memasang ikan herring melintang pada jalan seta-pak atau jejak (trail).

Misrepresentasi
Stratagem ini digunakan biasanya untuk menyanggah atau menjatuhkan
posisi lawan dengan cara memutarbalikkan atau menyembunyikan fakta baik
secara halus maupun terang-terangan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara
misalnya: mengekstremkan posisi lawan, menyalahartikan maksud baik posisi
lawan, atau menonjolkan kelemahan dan menyembunyikan keunggulan
argumen lawan.
Sebagai contoh, seorang anggota DPR dari Partai A mengajukan
argumen untuk mendukung agar pemerintah mengurangi anggaran untuk
pertahanan dan menambah anggaran untuk pendidikan. Anggota dari
Partai B, sebagai penyang-gah, menuduh anggota dari Partai A ingin
menghancurkan militer dan menempat-kan negara pada kondisi kurang
aman. Ini merupakan misrepresentasi dengan mengekstremkan posisi
lawan.
Contoh lain misalnya adalah seorang mahasiswa, Amin, meminta
dosennya untuk mengomentari tulisan atau proposal skripsinya.
Dosennya menyarankan perbaikan-perbaikan yang rinci dan jelas. Amin,
yang mengharapkan untuk mendapat pujian dari dosennya, mengeluh
dengan mengatakan kepada teman-temannya bahwa dosen tersebut
sangat rewel padahal tulisan atau proposalnya memang amburadul.
Berkaitan dengan strategi ini adalah apa yang dikenal dengan istilah
the deceptive use of truth. Dengan taktik ini, penalar menunjukkan fakta
atau kebe-naran (truth) tetapi tidak secara utuh atau hanya sebagian.
Pengiklan obat menunjukkan khasiat obat tanpa menunjukkan efek
samping. Peneliti menunjuk-kan perbedaan karakteristik dua kelompok
dengan menggambar grafik perbedaan di bagian ujung saja sehingga
perbedaan yang secara statistis tidak signifikan menjadi tampak secara
ekonomik signifikan. Ada berbagai cara lain untuk menge-labuhi dengan
statistik tanpa harus berbohong.

Imbauan Cacah
Stratagem ini biasanya digunakan untuk mendukung suatu posisi dengan
menun-jukkan bahwa banyak orang melakukan apa yang dikandung posisi
tersebut. Sebagai contoh, suatu kelompok memegang posisi untuk
membolehkan penaikan harga (mark-up) kontrak atau tender karena banyak
rekanan melakukan hal tersebut. Dalam promosi produk, pengiklan membuat
klaim “Sembilan dari sepu-luh bintang film menggunakan sabun merek X”
untuk membujuk konsumer agar
76 Bab 2

membeli sabun tersebut. Imbauan cacah (appeal to number) didasarkan


pada asumsi bahwa majoritas orang melakukan suatu hal atau
popularitas suatu hal menunjukkan bahwa hal tersebut adalah benar atau
tidak dapat salah. Mengaju-kan asumsi ini untuk mendukung posisi tidak
sama dengan mengajukan argumen tetapi lebih merupakan stratagem.
Agar tidak terkecoh, orang harus memegang prinsip bahwa suatu hal
tidak menjadi benar lantaran banyak orang yang melakukannya atau popular
sebagai-mana pepatah yang berbunyi the fact that many people do thing
does not make it right. Misalnya, kenyataan bahwa banyak orang melakukan
korupsi tidak mem-buat korupsi menjadi benar. Penalar (reasoner) yang bijak,
lebih-lebih akademisi, akan mempertimbangkan suatu gagasan atas dasar
bukti pendukung (argumen) yang valid dan bukan atas dasar banyaknya
orang yang memegang gagasan itu.
Mirip dengan stratagem ini adalah apa yang dikenal dengan istilah
peringan-an lewat generalisasi (dilution by generalization). Misalnya seorang
politikus men-dukung posisi bahwa Ketua DPR yang dijatuhi hukuman karena
tindakan korupsi masih tetap dapat menjabat dengan argumen bahwa tidak
ada orang yang sem-purna (no one is perfect). Apa yang sebenarnya
dikatakan adalah bahwa melaku-kan korupsi adalah suatu bentuk
ketidaksempurnaan manusia. Tindakan korupsi sah-sah saja selama orang
mengakui ketidaksempurnaan manusia. Akan tetapi, penalar terkecoh dalam
hal ini karena dia menyamaratakan semua jenis ketidak-sempurnaan. Dengan
kecohan ini, orang dapat menerima argumen bahwa pem-bunuh dan pencuri
tidak perlu dihukum karena tidak seorangpun sempurna.

Imbauan Autoritas
Stratagem ini mirip dengan imbauan cacah kecuali bahwa banyaknya orang
atau popularitas diganti dengan autoritas. Stratagem ini dapat juga dianggap
sebagai salah satu jenis argumen ad hominem (membidik orangnya).
Argumen membidik orangnya yang dibahas sebelumnya berusaha
menjatuhkan daya bujuk argumen dengan menjatuhkan kredibilitas
penggagasnya. Dengan imbauan autoritas, orang berusaha meningkatkan
daya bujuk suatu posisi dengan menunjukkan bah-wa posisi tersebut
dipegang oleh orang yang mempunyai autoritas dalam masalah
bersangkutan tanpa menunjukkan bagaimana autoritas bernalar. Apakah
strata-gem ini dapat dianggap sebagai kecohan bergantung pada situasi
nyata yang mela-tarbelakangi karena kalau autoritas dan penalarannya
memang layak orang akan terbujuk ke arah yang benar. Akan tetapi, kalau
autoritas semata-mata dijadikan alat untuk membujuk maka kecohanlah yang
terjadi. Lebih-lebih dalam hal aka-demik atau pengembangan ilmu
pengetahuan, kalau autoritas akademik diganti dengan autoritas politis
(kekuasaan/jabatan) dalam mengevaluasi suatu gagasan atau idea,
kemungkinan terjadinya kecohan akan semakin besar. Memang selayak-
nyalah bahwa pernyataan orang autoritatif akan lebih mendapat bobot
dibanding orang awam. Akan tetapi, penalaran di balik pernyataan harus
tetap menjadi per-timbangan utama.
Sebagai contoh, seorang akademisi ditanya mengapa dia memakai istilah
beban bukan biaya untuk padan kata expense. Akademisi tersebut dapat
menga-
Penalaran 77

jukan stratagem bahwa dia menggunakan istilah beban karena autoritas


(Ikatan Akuntan Indonesia) menggunakan istilah tersebut tanpa
mempersoalkan apakah istilah tersebut layak atau tidak padahal dia tahu
bahwa istilah beban tidak valid (tidak dapat didukung secara
argumentatif).25
Agar kita tidak terkecoh atau terperangkap ke stratagem, beberapa
prinsip yang diajukan Nickerson (1986, hlm. 114-115) berikut dapat
dijadikan dasar untuk mengembangkan argumen atau penalaran:

• The fact that an authoritative person holds a particular view


does not make that view correct.
• The fact that a highly knowledgeable individual holds a
certain belief with respect to his particular area of knowledge
should carry some weight.
• A belief is not necessarily right because it is held by an expert.

Berkaitan dengan stratagem ini adalah imbauan autoritas yang tidak


tepat (appeal to inappropriate authority). Dengan taktik ini, penalar
berusaha untuk meningkatkan kredibilitas dan daya bujuk suatu posisi
dengan menunjukkan bah-wa posisi tersebut juga dipegang oleh orang
yang diakui sebagai ahli di bidang yang tidak berpautan dengan masalah
yang dibahas. Memang orang yang telah menyandang julukan ahli atau
pakar pada umumnya mempunyai kemampuan yang baik juga dalam
menalar suatu gagasan di luar bidang keahliannya. Akan tetapi, tidak
selayaknyalah dalam berargumen kita berasumsi bahwa orang yang
memenuhi kualifikasi untuk berbicara dengan penuh autoritas dalam
suatu bidang ilmu (karena telah menekuninya cukup lama) juga dengan
sendirinya memenuhi kualifikasi untuk berbicara dengan penuh autoritas
dalam bidang ilmu lain yang tidak berkaitan. Untuk tujuan sensasional,
jurnalis media masa atau televisi sering mengundang pakar atau
penguasa untuk berbicara tentang masalah yang tidak dikuasainya atau
yang keahliannya tidak bersangkutan sama sekali dengan masalah yang
diberitakan.

Imbauan Tradisi
Dalam beberapa hal, orang sering mengerjakan sesuatu dengan cara tertentu
semata-mata karena memang begitulah cara yang telah lama dikerjakan
orang. Dalam dunia ilmiah atau akademik, orang sering memegang suatu
keyakinan dengan mengajukan argumen bahwa memang demikianlah orang-
orang mempu-nyai keyakinan. Namun, kenyataan bahwa sesuatu telah lama
dikerjakan dengan cara tertentu di masa lampau tidak dengan sendirinya
menjadi argumen untuk

25
Stratagem yang lebih parah adalah bilamana ada seorang akademisi yang memilih
istilah aka-demik yang menyimpang dengan alasan enak didengar bukan dengan alasan
kaidah bahasa. Di sini, suatu istilah yang sifatnya akademik dinilai atas dasar telinga bukan
atas dasar apa yang ada di balik telinga. Alasan enak didengar saja tidak cukup untuk
membentuk istilah. Bila alasan ini digunakan padahal terdapat alternatif istilah yang lebih
baik maka alasan tersebut dapat dikatakan sebagai strat-agem menyampingkan masalah.
78 Bab 2

meneruskan cara tersebut khususnya kalau terdapat cara lain yang


terbukti lebih valid atau baik (secara rasional dan praktis).
Misalnya seorang dosen berargumen bahwa skripsi mahasiswa harus
ditulis dengan mesin ketik (bukan komputer) karena tradisi penulisan jaman
dulu atau, bila boleh menggunakan komputer, dosen melarang mahasiswa
mencetak kata yang biasanya diberi garis bawah dengan huruf miring karena
mempertahankan tradisi penulisan ilmiah jaman sebelum datangnya
komputer. Di sini, dosen terse-but tidak lagi berkepentingan untuk
mengevaluasi argumen bahwa jaman dulu suatu kata diberi garis bawah
karena mesin ketik tidak dapat menghasilkan huruf miring sementara itu
secara tipografis penekanan kata akan lebih baik tampilan-nya kalau kata
dicetak dengan huruf miring (garis bawah merupakan distraksi).
Imbauan terhadap tradisi juga mempunyai justifikasi sehingga tradisi
tidak dapat ditinggalkan begitu saja. Akan tetapi, justifikasi tersebut dapat
menjadi kecohan kalau tia dipaksakan secara membabi buta. Hal yang perlu
dicatat dalam kaitannya dengan argumen ini adalah bahwa maksud baik
tradisi tidak merupa-kan alasan yang kuat untuk mempertahankannya atau
untuk menolak memper-timbangkan bukti baru kalau memang terdapat bukti
kuat baru bahwa maksud tersebut tidak lagi valid. Prinsip ini sering disebut
the purpose defeats the law.

Dilema Semu
Dilema semu (false dilemma) adalah taktik seseorang untuk mengaburkan
argu-men dengan cara menyajikan gagasannya dan satu alternatif lain
kemudian mengkarakterisasi alternatif lain sangat jelek, merugikan, atau
mengerikan sehingga tidak ada cara lain kecuali menerima apa yang
diusulkan penggagas. Misalnya, dalam suatu perdebatan tentang
amandemen udang-undang dasar, seo-rang anggota fraksi mengatakan
(untuk meyakinkan anggota dewan yang lain):

“Kita harus menyetujui amandemen ini atau negara kita akan hancur.”

Dasar pikiran argumen di atas adalah bahwa negara kita tidak boleh
hancur dan karenanya simpulannya adalah kita harus menyetujui
amandemen. Kecohan terjadi karena pengargumen mengklaim bahwa hanya
ada dua alternatif dan yang satu jelas tidak diinginkan sehingga hanya
alternatif yang diusulkannya yang harus diterima. Akan tetapi, dia mengecoh
seakan-akan hanya ada dua alternatif padahal kenyataannya ada beberapa
alternatif lain yang lebih valid. Sayangnya, dalam banyak hal, orang tidak
cukup kritis untuk menanyakan apakah ada alter-natif lain yang lebih masuk
akal. Struktur dilema semu (sering disebut inapprori-ate dichotomizing) dapat
dinyatakan secara umum sebagai berikut:

Kalau kita tidak memilih alternatif A, maka kita akan mengalami penderitaan atau kerugian
akibat dipilihnya alternatif B.

Dalam mengajukan stratagem di atas, orang sering menambahkan


ungkapan penyangat seperti take it or leave it atau “pokoknya.” Penyangat
“pokoknya”
Penalaran 79

sering dilandasi oleh kekuasaan atau autoritas pengargumen (arguer).


Argumen di atas memang valid kalau dievaluasi atas dasar struktur
argumen saja, yaitu:

Premis major: Baik A atau B.


Premis minor: Bukan B.

Konklusi: A.

Walaupun valid strukturnya, dilema semu merupakan argumen yang


tidak layak (unsound) karena premis majornya “Baik A atau B” adalah
takbenar meng-ingat bahwa kenyataannya ada alternatif-alternatif lain yang
tidak disebutkan.

Imbauan Emosi
Apa yang dibahas sebelumnya adalah stratagem yang semata-mata
menggunakan muslihat (trick) yang oleh Cederblom dan Paulsen (1986)
disebut tipu daya (kecekatan) tangan pesulap (sleight of hand) tanpa
melibatkan emosi pihak yang dituju. Daya bujuk argumen sering dicapai
dengan cara membaurkan emosi dengan nalar (disebut confusing
emotion with reason atau motive in place of sup-port). Pendeknya, daya
nalar orang dimatikan dengan cara menggugah emosinya. Membidik
orangnya (argumen ad hominem) atau imbauan autoritas sebenarnya
merupakan salah satu bentuk imbauan emosi.
Dengan menggugah emosi, pengargumen sebenarnya berusaha
menggeser dukungan nalar (support) validitas argumennya dengan motif
(motive). Dengan taktik ini, emosi orang yang dituju diagitasi sehingga
dia merasa tidak enak untuk tidak menerima alasan yang diajukan. Dua
stratagem yang dapat digunakan untuk mencapai hal ini adalah imbauan
belas kasih (appeal to pity) dan imbauan tekanan/kekuasaan (appeal to
force).
Orang dikatakan telah memanfaatkan imbauan belas kasih ke anda
bilamana dia memaksa anda menyetujui sesuatu karena kalau anda tidak
setuju dia akan menderita. Misalnya, seorang mahasiswa yang telah
dikeluarkan dari universitas (memang secara akademik tidak mampu
menyelesaikan kuliahnya dalam waktu yang ditentukan) datang ke anda
(kebetulan menjabat rektor) dan mengajukan pencabutan keputusan tersebut
dan mengajukan argumen bahwa keputusan pengeluarannya akan
menyebabkan dia dalam kesulitan dan penderitaan. Hal itu diajukan karena
dia tahu benar bahwa memang dia pantas dikeluarkan atas dasar argumen
akademik dan rasional. Anda tidak jadi mengeluarkannya karena anda tahu
bahwa orang tersebut akan makin menderita kalau permohonan tidak dika-
bulkan. Akhirnya anda mengeluarkan surat untuk membolehkan mahasiswa
tersebut meneruskan kuliah dengan menyatakan bahwa mahasiswa tersebut
mampu secara akademik. Konklusi di sini adalah mahasiswa mampu
menyelesai-kan kuliah meskipun bukti tidak mendukung.
Kebalikan dari imbauan belas kasih adalah bilamana seseorang
mamaksa anda menyetujui sesuatu karena kalau anda tidak setuju anda
akan menderita atau menanggung akibatnya. Anda (mahasiswa) diminta
untuk mengevaluasi
80 Bab 2

pendapat dalam artikel dosen anda. Anda tidak setuju dengan pendapat
tersebut karena memang pendapat itu tidak valid secara akademik tetapi
anda mendukung secara penuh pendapat tersebut karena dosen tersebut
akan keras terhadap anda. Konklusi di sini adalah pendapat dosen
tersebut valid meskipun bukti akademik tidak mendukung.
Dari dua contoh di atas, faktor yang membuat argumen menjadi
persuasif adalah motif bukan validitas argumen. Kedua stratagem
tersebut menempatkan orang menjadi tidak enak kalau tidak menerima
(meyakini) konklusi meskipun keduanya tidak mengajukan bukti
pendukung untuk meyakinkan bahwa konklusi adalah benar (valid).
Cederblom dan Paulsen (1986) mendeskripsi karakteristik kedua
stratagem ini sebagai berikut:

When a person gets you to agree to something because he will be


hurt if you don’t agree, this is an appeal to pity. If someone gets you
to agree because he will hurt you if you don’t agree, this is an appeal
to force (hlm. 115).

Salah Nalar (Reasoning Fallacy)


Suatu argumen boleh jadi tidak meyakinkan atau persuasif karena argumen
terse-but tidak didukung dengan penalaran yang valid. Dengan kata lain,
argumen men-jadi tidak efektif karena tia mengandung kesalahan struktur
logika atau karena tia tidak masuk akal (unreasonable). Salah nalar terjadi
apabila penyimpulan tidak didasarkan pada kaidah-kaidah penalaran yang
valid. Jadi, salah nalar adalah kesalahan struktur atau proses formal
penalaran dalam menurunkan sim-pulan sehingga simpulan menjadi salah
atau tidak valid.
Berbeda dengan stratagem yang lebih merupakan taktik atau
pendekatan yang sengaja digunakan untuk meyakinkan kebenaran suatu
asersi, salah nalar merupakan suatu bentuk kesalahan penyimpulan
lantaran penalarannya mengan-dung cacat sehingga simpulan tidak valid
atau tidak dapat diterima. Demikian juga, salah nalar biasanya bukan
kesengajaan (intentional) dan tidak dimaksud-kan untuk mengecoh atau
mengelabuhi (to deceive). Kalau toh kecohan atau pengelabuhan terjadi,
hal tersebut semata-mata karena penalar tidak menyadari bahwa proses
atau struktur penalarannya keliru sehingga dia sendiri terkecoh. Jadi,
kecohan atau salah nalar terjadi lantaran penalar salah dalam
mengaplikasi kaidah penalaran.
Walaupun salah nalar dapat dipakai sebagai suatu stratagem atau
penalaran yang layak sering didukung dengan stratagem, tidak selayaknyalah
kaidah pena-laran yang sangat baik ditolak semata-mata karena tia sering
disalahgunakan. Penalaran juga bersifat kontekstual. Artinya, penalaran valid
yang efektif dalam konteks yang satu belum tentu efektif dalam konteks yang
lain. Demikian juga, stratagem yang efektif dalam suatu situasi belum tentu
efektif dalam situasi yang lain. Berikut ini dibahas beberapa salah nalar yang
banyak dijumpai dalam diskusi atau karya tulis profesional, akademik, atau
ilmiah.
Penalaran 81

Menegaskan Konsekuen
Telah disinggung sebelumnya bahwa agar argumen valid maka tia harus
mengiku-ti kaidah menegaskan anteseden (affirming the antecedent atau
modus ponens). Bila simpulan diambil dengan pola premis yang menegaskan
konsekuen, akan ter-jadi salah nalar. Berikut struktur dan contoh argumen
yang valid dan salah nalar.

Valid: Takvalid:
Menegaskan anteseden (modus ponens) Menegaskan konsekuen
Premis (1): Jika A, maka B. Premis (1): Jika A, maka B
Premis (2): A. Premis (2): B.
Konklusi: B. Konklusi: A.

Contoh:

Premis (1): Jika saya di Semarang, maka Premis (1): Jika saya di Semarang, maka
saya di Jawa Tengah. saya di Jawa Tengah.
Premis (2): Saya di Semarang. Premis (2): Saya di Jawa Tengah.

Konklusi: Saya di Jawa Tengah. Konklusi: Saya di Semarang.

Dalam contoh di atas, premis (2) “Saya di Semarang” menegaskan


anteseden “Jika saya di Semarang” sehingga konklusi pasti benarnya secara
umum sedang-kan premis (2) “Saya di Jawa Tengah” di sebelah kanan
menegaskan konsekuen sehingga konklusinya tidak valid secara umum. Jadi,
untuk contoh sebelah kanan, simpulan “Saya di Semarang” adalah tidak valid
karena simpulan tidak mengikuti premis (does not follow from the premises).
Kenyataan bahwa seseorang ada di Jawa Tengah tidak dengan sendirinya dia
ada di Semarang.
Dalam hal ini, penalar terkecoh karena menyamakan atau
merancukan per-nyataan atau premis (1) “Jika saya di Semarang, maka
saya di Jawa Tengah” dengan premis “Jika saya di Jawa Tengah, maka
saya di Semarang.” Premis tera-khir ini menjadikan konklusi di sebelah
kanan (“Saya di Semarang”) valid.26 Salah nalar terjadi karena premis
“Jika A, maka B” disamakan dengan premis “Jika B, maka A” padahal
kenyataannya tidak selalu demikian. Kecohan ini sering terjadi karena
dalam beberapa hal memang benar bahwa kalau B mengikuti A maka
benar pula bahwa A mengikuti B. Misalnya pernyataan “bila ada api,
maka ada asap” dapat dinyatakan pula “bila ada asap, maka ada api”
karena memang demikian adanya. Kedua pernyataan tersebut
merupakan pernyataan fakta yang tidak dapat disangkal.

26
Walaupun demikian, makna kedua pernyataan tersebut berbeda. “Jika saya di
Semarang, maka saya di Jawa Tengah” merupakan pernyataan fakta sedangkan “Jika saya di
Jawa Tengah, maka saya di Semarang” merupakan pernyataan empiris atau sekadar janji.
82 Bab 2

Menyangkal Anteseden
Kebalikan dari salah nalar menegaskan konsekuen adalah menyangkal
anteseden. Suatu argumen yang mengandung penyangkalan akan valid
apabila konklusi ditarik mengikuti kaidah menyangkal konsekuen
(denying the consequent atau modus tollens). Bila simpulan diambil
dengan struktur premis yang menyangkal anteseden, simpulan akan
menjadi tidak valid. Berikut struktur dan contoh argu-men yang valid dan
salah nalar.

Valid: Takvalid:
Menyangkal konsekuen (modus tollens) Menyangkal anteseden

Premis (1): Jika A, maka B. Premis (1): Jika A, maka B


Premis (2): Tidak B. Premis (2): Tidak A.

Konklusi: Tidak A. Konklusi: Tidak B.

Contoh:

Premis (1): Jika saya di Semarang, maka Premis (1): Jika saya di Semarang, maka
saya di Jawa Tengah. saya di Jawa Tengah.
Premis (2): Saya tidak di Jawa Tengah. Premis (2): Saya tidak di Semarang.

Konklusi: Saya tidak di Semarang. Konklusi: Saya tidak di Jawa Tengah.

Konklusi di sebelah kanan tidak valid karena premis (2) menyangkal


antese-den (“Jika saya di Semarang”). Konklusi akan valid bila premis (1)
diubah menjadi “Jika saya di Jawa Tengah, maka saya di Semarang”
sehingga argumen mengikuti pola modus tollens. Akan tetapi, makna
premis ini tidak lagi sama dengan makna premis semula. Jadi, salah nalar
akibat menegaskan konsekuen atau menyangkal anteseden dapat terjadi
karena makna “jika A, maka B” disamakan atau dikacau-kan dengan “jika
B, maka A.”

Pentaksaan (Equivocation)
Salah nalar dapat terjadi apabila ungkapan dalam premis yang satu
mempunyai makna yang berbeda dengan makna ungkapan yang sama
dalam premis lainnya. Dapat juga, salah nalar terjadi karena konteks
premis yang satu berbeda dengan konteks premis lainnya. Argumen
dalam bahasa Inggris berikut memberi ilustrasi salah nalar ini (Nickerson,
1986, hlm. 4).

Premis major: Nothing is better than eternal happiness.


Premis minor: A ham sandwhich is better than nothing.

Konklusi: A ham sandwhich is better than eternal happines.


Penalaran 83

Secara struktural, argumen di atas menjadi salah nalar karena kata


nothing dalam premis major berbeda maknanya dengan kata nothing dalam
premis minor. Dalam premis major, nothing bermakna tidak ada satupun
dari himpunan objek yang memenuhi syarat sehingga kebahagiaan abadi
adalah satu-satunya yang ter-baik.27 Sementara itu, nothing dalam premis
minor bermakna tidak tersedianya anggota lain dalam himpunan yang di
dalamnya ham sandwhich merupakan salah satu anggota sehingga ham
sandwhich bukan satu-satunya yang terbaik. 28 Jadi, nothing dalam premis
major mensyiratkan kebahagiaan abadi sebagai sesuatu yang terbaik
sedangkan nothing dalam premis minor mensyiratkan ham sand-which
sebagai sesuatu yang terjelek sehingga konklusi tidak masuk akal atau tidak
valid. Salah nalar seperti ini terjadi karena penalar bermaksud menerapkan
kaidah transitivitas (transitivity) tetapi tidak memenuhi syarat. Transitivitas
dan contoh dapat dinyatakan sebagai berikut:

Kaidah: Contoh:

Premis (1): B > C. Premis (1): Baroto lebih rajin daripada Candra.
Premis (2): A > B. Premis (2): Anton lebih rajin daripada Baroto.

Konklusi: A > C. Konklusi: Anton lebih rajin daripada Candra.

Argumen dalam contoh di atas valid apabila unsur B atau Baroto


mengacu pada makna atau objek yang sama sehingga tidak terjadi
pentaksaan.

Perampatan-lebih (Overgeneralization)29
Salah nalar yang banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari adalah
melekat-kan (mengimputasi) karakteristik sebagian kecil anggota ke
seluruh anggota him-punan, kelas, atau kelompok secara berlebihan. Bila
seseorang menyimpulkan bahwa warga Kampung X adalah pencuri
karena dia mendapati bahwa dua pen-curi yang baru saja ditangkap
berasal dari Kampung X maka dia telah melakukan salah nalar.
Perampatan atau generalisasi itu sendiri bukan merupakan salah nalar.
Kemampuan merampatkan merupakan suatu kemampuan intelektual yang
sangat penting dalam pengembangan ilmu. Masalahnya adalah bila derajat
peram-patan begitu ekstrem (atas dasar sampel atau pengamatan terbatas)
sehingga mengabaikan kemungkinan bahwa apa yang diamati merupakan
peluar (outlier) atau pengecualian (exceptions to the rule). Dalam penelitian
empiris, ukuran

27
Dalam bahasa statistika atau matematika, nothing di sini bermakna himpunan kosong
(tidak mempunyai anggota).
28
Ham sandwhich merupakan salah satu anggota himpunan sandwhich yang dapat
terdiri atas beef, cheese, chicken, ham, peanut-butter, dan tuna sandwhich. Dalam hal ini,
dapat saja beef atau cheese sandwhich lebih baik daripada ham sandwhich.
29
Istilah perampatan digunakan oleh Anton M. Moeliono dalam Kembara Bahasa: Kumpulan
Karangan Tersebar (Jakarta: PT Gramedia, 1989), hlm. 125.
84 Bab 2

sampel yang terlalu kecil dan kurangnya kerepresentatifan sampel dapat


meng-hasilkan konklusi yang keliru.
Salah nalar yang bartalian dengan perampatan lebih adalah apa yang
dikenal dengan istilah penstereotipaan (stereotyping). Salah nalar ini
terjadi bila penalar mengkategori seseorang sebagai anggota suatu
kelompok kemudian melekatkan semua sifat atau kualitas kelompok
kepada orang tersebut. Misalnya, orang mengetahui bahwa para akuntan
publik umumnya adalah kaya (sifat kelompok). Salah nalar dapat terjadi
kalau penalar menyimpulkan bahwa Hariman pasti kaya karena dia
adalah akuntan publik.

Parsialitas (Partiality)
Penalar kadang-kadang terkecoh karena dia menarik konklusi hanya atas
dasar sebagian dari bukti yang tersedia yang kebetulan mendukung konklusi.
Hal ini mirip dengan perampatan lebih lantaran sampel kecil atau
ketakrepresentatifan bukti. Kadang-kadang kita sengaja memilih dan
melekatkan bobot yang tinggi pada bukti (argumen) yang cenderung
mendukung konklusi atau keyakinan yang kita sukai dengan mengabaikan
bukti yang menentang konklusi tersebut. Kesa-lahan semacam ini tidak harus
merupakan suatu stratagem karena penalar tidak bermaksud mengecoh atau
menjatuhkan lawan tetapi karena semata-mata dia tidak objektif (bias) dalam
penggunaan atau pengumpulan bukti.
Dalam penelitian, peneliti sering bias dalam pengumpulan data dengan
mem-buat pertanyaan yang mengarahkan responden (disebut leading
questions). Bila peneliti berupaya untuk mendukung teori yang disukainya
dengan mengarahkan bukti secara bias, hal tersebut disebut membangun
kasus (building the case).

Pembuktian dengan Analogi


Telah dibahas sebelumnya bahwa analogi bukan merupakan cara untuk
membuk-tikan (to prove) validitas atau kebenaran suatu asersi. Analogi lebih
merupakan suatu sarana untuk meyakinkan bahwa asersi konklusi
mempunyai kebolehjadian (likelihood) untuk benar. Dengan kata lain, bila
premis benar, konklusi atas dasar analogi belum tentu benar. Jadi, analogi
dapat menghasilkan salah nalar.
Menyatakan bahwa dua objek sama atau serupa dalam beberapa
aspek (misal-nya a, b, dan c) lebih dimaksudkan untuk menunjukkan
kemiripan kedua objek tersebut. Namun demikian, mengetahui bahwa
dua objek sama dalam aspek a, b, dan c tidak menjadi bukti bahwa
kedua objek tersebut juga sama dalam aspek d. Bila diketahui bahwa
kedua objek tersebut serupa dalam aspek d maka analogi tidak
diperlukan untuk membuktikannya.
Bila tidak diketahui bahwa dua objek sama dalam aspek d, salah nalar
dapat terjadi bila orang mengatakan bahwa karena X analogus dengan Y
dalam aspek a, b, dan c, X juga pasti punya d karena Y punya d. Jadi, Y
punya d bukan merupa-kan bukti bahwa X punya d meskipun X dan Y
analogus. Kesalahan semacam ini dapat dicontohkan sebagai berikut:
Penalaran 85

Premis (1): Komputer mempunyai CPU yang bekerja seperti otak.


Premis (2): Otak berpikir.

Konklusi: Komputer berpikir.

Dalam pengembangan istilah, analogi sering diartikan sebagai mengikuti


kaidah atau struktur ungkapan yang sama. Dengan makna ini, menggunakan
analogi untuk menurunkan istilah bukan merupakan salah nalar tetapi
merupa-kan sarana untuk mengaplikasi kaidah secara taat asas. Salah nalar
justru akan terjadi kalau kaidah tidak diikuti. Berikut ini adalah contoh
penurunan istilah (padan kata) Indonesia atas dasar penerjemahan istilah
Inggris dengan analogi.

Premis (1): Real number diterjemahkan atau diserap menjadi bilangan real.
Premis (2): Real asset diterjemahkan atau diserap menjadi aset real.
Premis (3): Round table diterjemahkan atau diserap menjadi meja bundar.

Konklusi: Real estate diterjemahkan atau diserap menjadi estat real.

Konklusi atas dasar analogi di atas valid karena konklusi mengikuti kaidah
(struktur) yang melekat pada tiap premis. Bahasa Indonesia mengikuti kaidah
DM (diterangkan-menerangkan) sedangkan bahasa Inggris mengikuti kaidah
MD (menerangkan-diterangkan). Salah nalar terjadi justru kalau real estate
diserap menjadi real estat sebagaimana terlihat dalam Standar Akuntansi
Keuangan, PSAK No. 44. Salah nalar terjadi karena kaidah penalaran
pembentukan istilah dilanggar yaitu menggunakan kaidah MD untuk istilah
bahasa Indonesia.30

Merancukan Urutan Kejadian dengan Penyebaban


Dalam percakapan sehari-hari atau diskusi, kesalahan yang sering dilakukan
orang adalah merancukan urutan kejadian (temporal succession) dengan
penye-baban (causation). Bila kejadian B selalu mengikuti kejadian A, orang
cenderung menyimpulkan bahwa B disebabkan oleh A. Karena malam selalu
mengikuti siang, tidak berarti bahwa siang menyebabkan malam. Salah nalar
terjadi bila urutan kejadian disimpulkan sebagai penyebaban. Kesalahan ini
sering disebut dalam bahasa Latin post hoc ergo propter hoc (setelah ini,
maka karena ini).
Telah dibahas sebelumnya bahwa urutan kejadian hanyalah merupakan
salah satu syarat untuk menyatakan adanya penyebaban (lihat kembali
subbahasan Argumen Sebab-Akibat di halaman 60). Syarat ini merupakan
syarat perlu (neces-sary condition) untuk penyebaban tetapi bukan syarat
cukup (sufficient condi-tion). Kalau A memang menyebabkan B maka perlu
dipenuhi syarat bahwa A selalu mendahului B. Syarat ini makin kuat
mendukung penyebaban bilamana

30
Penerjemahan atau penyerapan estate menjadi estat sudah sangat tepat mengikuti analogi
penyerapan accurate, senate, candidate, carbonate, atau variate menjadi akurat, senat,
kandidat, karbonat, atau variat sebagaimana ditentukan dalam Pedoman Umum Pembentukan
Istilah (PUPI).
86 Bab 2

hubungan A dan B adalah asimetri. Artinya, kejadian “A mendahului B”


tidak sama atau tidak berpasangan dengan kejadian “B mendahului A”
(kejadian “B mendahului A” tidak ada). Dua syarat lain yang harus
dipenuhi agar cukup untuk menyatakan adanya penyebaban adalah B
bervariasi dengan A dan tidak ada fak-tor lain selain A yang
menyebabkan B berubah.
Dalam penelitian ekperimental yang bertujuan untuk menguji
hubungan penyebaban, konklusi dapat salah atau meragukan karena
terdapat faktor penyebab selain yang diteliti yang ternyata juga
mempengaruhi faktor akibat. Bila hal ini terjadi, maka dikatakan bahwa
penelitian tersebut mempunyai validitas internal (internal validity) yang
rendah.31

Menarik Simpulan Pasangan


Kemampuan seseorang untuk menyajikan argumen sering menjadikan
argumen yang valid atau benar menjadi kurang meyakinkan. Akibatnya,
orang sering lalu menyimpulkan bahwa konklusinya tidak benar atau valid.
Hal penting yang perlu diingat adalah bahwa kemampuan seseorang untuk
menyajikan argumen yang mendukung atau menyangkal suatu posisi tidak
menentukan kebenaran (truth) atau ketakbenaran (falsity) konklusi (posisi).
Kebenaran konklusi atau posisi memang harus didukung oleh argumen yang
meyakinkan.
Salah nalar terjadi kalau orang menyimpulkan bahwa suatu konklusi
salah lantaran argumen tidak disajikan dengan meyakinkan (tidak
konklusif) sehingga dia lalu menyimpulkan bahwa konklusi atau posisi
pasanganlah yang benar. Kecohan ini mirip dengan bentuk salah nalar
menyangkal anteseden yang telah dibahas sebelumnya. Kecohan ini
dapat dinyatakan sebagai berikut:

Premis (1): Jika seseorang dapat menyajikan suatu argumen yang meyakinkan,
maka konklusinya benar (valid).
Premis (2): Pak Antoni menyajikan argumennya dengan tidak meyakinkan.

Konklusi: Konklusi atau posisinya takbenar. Posisi pasangannya yang benar.

Jadi, mengambil konklusi pasangan lantaran konklusi yang diajukan tidak


disajikan secara meyakinkan merupakan suatu salah nalar. Kalau suatu per-
nyataan yang memang valid disajikan dengan argumen yang kurang efektif,
maka hal terbaik yang dapat disimpulkan adalah bahwa validitas atau
kebenaran per-nyataan tersebut belum terungkap atau ditunjukkan tetapi
tidak berarti bahwa pernyataan tersebut takbenar. Dengan demikian, kurang
meyakinkannya suatu konklusi tidak dengan sendirinya membenarkan
konklusi yang lain (pasangan).
Dalam pengembangan ilmu dikenal suatu pendekatan atau semangat
untuk menguji suatu teori yang disebut penyanggahan atau refutasi ilmiah
(scientific

31
Validitas internal dapat menjadi rendah karena hal-hal yang dikenal sebagai: history,
maturity, mortality, pretesting, instrumentation, selection bias, dan statistical regression.
Lihat pembahasan lebih lanjut dalam Uma Sekaran, Research Methods for Business: A Skill
Building Approach (New York: John Wiley & Sons, Inc., 2003), hlm. 151-156.
Penalaran 87

refutation). Semangat ini dilandasi oleh pikiran bahwa suatu teori ilmiah tidak
harus dapat dibuktikan benar tetapi harus dapat disanggah (dibuktikan salah)
kalau tia memang salah; misalnya dengan pengajuan teori baru yang lebih
baik. Dasar pikiran ini sering disebut dengan prinsip ketersalahan atau
keterbuktisa-lahan (principle of falsifiability). Bila ilmuwan tidak dapat
menunjukkan dengan meyakinkan bahwa teori barunya lebih valid, maka
ilmuwan terpaksa “meneri-ma” teori yang disanggahnya. 32 Prosedur
penyimpulan semacam ini bukan meru-pakan salah nalar tetapi lebih
merupakan usaha untuk mencapai ketegaran ilmiah (scientific rigor). Hal ini
penting agar orang tidak dengan mudah menggan-ti teori dengan teori yang
belum teruji secara meyakinkan. Namun, prosedur ini mengandung risiko
yaitu ilmuwan tidak menolak teori yang disangkalnya padahal teori tersebut
sebenarnya salah. Jadi, ilmuwan “menerima” teori yang salah. Risi-ko ini
disebut kesalahan penyimpulan (error of inference) dan harus dihindari.
Dalam penelitian ilmiah (empiris), konklusi atau teori biasanya
dinyatakan dalam bentuk hipotesis. Konklusi pasangan yang dibahas di atas
sering ditempat-kan sebagai hipotesis nol (null atau default hypothesis)
sedangkan hipotesis (teori baru) yang diajukan dan akan diuji ditempatkan
sebagai hipotesis alternatif (alter-native hypothesis). Kalau peneliti tidak
dapat menunjukkan bukti-bukti yang sangat kuat untuk mendukung teorinya
(bukti-bukti empiris yang diajukan tidak mendukung secara statistis hipotesis
alternatif), maka peneliti terpaksa menyim-pulkan (tidak menolak) hipotesis
nol. Jadi, bila bukti empiris tidak cukup meyakinkan untuk menyimpulkan
hipotesis alternatif, maka dikatakan bahwa peneliti gagal menolak hipotesis
nol (to fail to reject the null or default hypothesis). Dalam hal ini, peneliti
menghadapi dua jenis risiko kesalahan penyimpulan yaitu menyimpulkan
hipotesis nol padahal sebenarnya tia salah atau menyimpulkan hipotesis
alternatif padahal sebenarnya tia salah.
Dalam bahasa statistika, kesalahan menyimpulkan hipotesis alternatif
(atau menolak hipotesis nol) padahal kenyataannya hipotesis alternatif
adalah salah disebut dengan kesalahan Tipa I atau α. Sebaliknya, kesalahan
menyimpulkan hipotesis nol (tidak menolak hipotesis nol) padahal
kenyataannya hipotesis nol adalah salah disebut dengan kesalahan Tipa II
atau β.
Prosedur refutasi ilmiah juga diterapkan dalam sistem pengadilan dengan
dianutnya asas praduga takbersalah (presumption of innocence). Pengadilan
harus memutuskan (menyimpulkan) bahwa seorang terdakwa bersalah
(guilty) atau tak-bersalah (innocent atau not guilty). Penyimpulan ini sejalan
dengan pengujian hipotesis yang dibahas di atas. Dengan asas praduga
takbersalah, terdakwa harus dianggap takbersalah sampai terbukti memang
bersalah (until proven guilty) sehingga posisi takbersalah ditempatkan
sebagai hipotesis nol dan posisi bersalah sebagai hipotesis alternatif. Tugas
jaksalah atau penuntutlah untuk menunjukkan bukti-bukti yang meyakinkan
bahwa terdakwa bersalah. Dengan kata lain, beban
32
Bahwa ilmuwan menerima teori yang disangkal tidak berarti bahwa teori tersebut benar.
Makna menerima di sini harus diinterpretasi bahwa ilmuwan tidak dapat menolak teori tersebut
karena tidak dapat menunjukkan bukti yang meyakinkan untuk menyanggahnya. Jadi, masih ada
kemungkinan teori yang disanggahnya tersebut salah. Itulah sebabnya buku-buku statistika
menganjurkan meng-gunakan ungkapan “tidak menolak H0” untuk menyimpulkan H0 bukan
“menerima H0.”
88 Bab 2

pembuktian (burden of proof) ada di tangan penuntut. Bila penuntut tidak


dapat mengajukan bukti-bukti yang sangat meyakinkan, maka hakim atau juri
harus memutuskan bahwa terdakwa takbersalah dengan risiko kesalahan
bahwa terdak-wa sebenarnya memang bersalah (benar-benar melakukan
kejahatan yang ditu-duhkan). Kesalahan ini dapat dipadankan dengan
kesalahan Tipa II. Dapat juga terjadi risiko kesalahan bahwa terdakwa yang
memang tidak bersalah dinyatakan salah. Risiko ini merupakan kesalahan
Tipa I. Hal yang perlu diingat adalah bahwa, dengan bukti yang sama,
mengecilkan risiko yang satu akan berakibat memperbesar risiko yang lain.
Masalah bagi pengadilan atau negara adalah mana-kah risiko yang akan
ditekan sekecil-kecilnya. Asas praduga takbersalah pada umumnya
diterapkan dengan harapan bahwa risiko kesalahan Tipa I adalah sekecil-
kecilnya atau bahkan mendekati nol.33

Aspek Manusia Dalam Penalaran


Stratagem dan salah nalar yang dibahas di atas belum mencakup semua
stratagem dan kecohan yang mungkin terjadi. Masih banyak cara atau
proses yang mengaki-batkan kecohan. Uraian di atas juga belum
menyinggung aspek manusia dalam penalaran. Namun, pembahasan di
atas memberi gambaran bahwa penalaran untuk meyakinkan kebenaran
atau validitas suatu pernyataan bukan merupakan proses yang
sederhana.
Telah disinggung sebelumnya bahwa mengubah keyakinan melalui
argumen dapat merupakan proses yang kompleks karena pengubahan
tersebut menyangkut dua hal yang berkaitan yaitu manusia yang meyakini
dan asersi yang menjadi objek keyakinan. Manusia tidak selalu rasional dan
bersedia berargumen sementa-ra itu tidak semua asersi dapat ditentukan
kebenarannya secara objektif dan tun-tas. Hal ini tidak hanya terjadi dalam
kehidupan umum sehari-hari tetapi juga dalam dunia ilmiah dan akademik
yang menuntut keobjektifan tinggi. Yang mem-prihatikan dunia akademik
adalah kalau para pakar pun lebih suka berstratagem daripada berargumen
secara ilmiah. Berikut ini dibahas beberapa aspek manusia yang dapat
menjadi penghalang (impediments) penalaran dan pengembangan ilmu,
khususnya dalam dunia akademik atau ilmiah.

Penjelasan Sederhana
Rasionalitas menuntut penjelasan yang sesuai dengan fakta. Kebutuhan akan
penjelasan terhadap apa yang mengusik pikiran merupakan fundasi
berkembang-nya ilmu pengetahuan. Namun, keingingan yang kuat untuk
memperoleh penje-lasan sering menjadikan orang puas dengan penjelasan
sederhana yang pertama

33
Untuk melindungi hak sipil warga negara, pengadilan di Amerika menetapkan bahwa risiko
yang sekecil-kecilnya dinyatakan dalam ungkapan beyond reasonable doubt. Artinya, juri sangat
dian-jurkan untuk tidak membuat keputusan (verdict) bahwa terdakwa bersalah kalau terdapat
keraguan sedikit pun akan bukti-bukti yang diajukan penuntut. Hal ini dimaksudkan untuk
mencegah terja-dinya orang yang tidak bersalah masuk penjara. Namun akibatnya, akan sering
terjadi bahwa orang yang bersalah dibebaskan (dinyatakan tak bersalah) dan berkeliaran di
masyarakat.
Penalaran 89

ditawarkan sehingga dia tidak lagi berupaya untuk mengevaluasi secara


saksama kelayakan penjelasan dan membadingkannya dengan
penjelasan alternatif. Dengan kata lain, orang menjadi tidak kritis dalam
menerima penjelasan. Akibat-nya, argumen dan pencarian kebenaran
akan terhenti sehingga pengembangan ilmu pengetahuan akan
terhambat.

Kepentingan Mengalahkan Nalar


Hambatan untuk bernalar sering muncul akibat orang mempunyai
kepentingan tertentu (vested interest) yang harus dipertahankan.
Kepentingan sering memaksa orang untuk memihak suatu posisi
(keputusan) meskipun posisi tersebut sangat lemah dari segi argumen.
Dalam dunia akademik dan ilmiah, kepentingan untuk menjaga harga diri
individual atau kelompok (walaupun semu) dapat menyebabkan orang
(akademisi atau ilmuwan) berbuat yang tidak masuk akal. Hal ini terjadi
umumnya pada mereka yang sudah mendapat julukan pakar atau ilmuwan
yang kebetulan mem-punyai kekuasaan politis (baik formal atau informal).
Nickerson (1986) menggam-barkan hal ini dengan mengatakan bahwa people
with good reasoning ability may find themselves behaving in an unreasonable
way.34
Kebebasan akademik merupakan suatu ciri penting lingkungan
akademik yang kondusif untuk pengembangan pengetahuan dan profesi
(khususnya akun-tansi). Kebebasan akademik harus diartikan sebagai
kebebasan untuk berbeda pendapat secara akademik dalam suatu forum
yang memungkinkan akademisi berargumen secara terbuka. Sikap
akademisi yang patut dihargai adalah keberse-diaan untuk berargumen.
Sikap ilmiah menuntut akademisi (termasuk pengelola suatu institusi)
untuk berani membaca dan memahami gagasan alternatif dan, kalau
gagasan tersebut valid dan menuju ke perbaikan, bersedia membawa
gagasan tersebut ke kelas atau diskusi ilmiah dan bukan malahan
mengisolasinya. Keberanian dan keberse-diaan seperti itu merupakan suatu
ciri sikap ilmiah dan akademik yang sangat ter-puji (respected). Ini tidak
berarti bahwa ilmuwan/akademisi harus selalu setuju dengan suatu gagasan.
Ketidaksetujuan dengan suatu gagasan itu sendiri (setelah berani membaca)
merupakan suatu sikap ilmiah asal dilandasi dengan argumen yang bernalar
dan valid. Ketidakberanian dan ketidakbersediaan itulah yang merupakan
sikap tidak ilmiah (akademik) dan justru hal ini sering terjadi dalam dunia
akademik tidak hanya pada masa sekarang tetapi juga masa lalu.
Sikap pakar dan akademisi yang tidak masuk akal tersebut, yang
sering dise-but sebagai sikap yang insulting the intelligence, dikemukakan
Hirshleifer (1988, hlm. 4) sebagai berikut: 35

34
Pakar atau akademisi dapat dianggap mempunyai kemampuan penalaran yang baik
karena pengetahuan ilmiah atau akademiknya umumnya harus dipahami dengan proses
penalaran yang baik dan objektif.
90 Bab 2

All sciences advance through disagreement. In astronomy the


geocentric model of Ptolemy was opposed by the new heliocentric
model of Copernicus; in chemistry Priestley supported the phlogiston
theory of combustion while Lavoisi-er propounded the oxidation
theory; and in biology the creationisme of earlier naturalists was
countered by Darwin’s theory of evolution. It is not universal
agreement but rather the willingness to consider evidence that
signals the scientific approach. For Galileo’s opponents to disagree
with him about Jupi-ter’s moons was not unscientific of itself; what
was unscientific was their refusal to look through his telescope
and see.

Sikap kolega senior Galileo untuk tidak bersedia mempertimbangkan


bukti yang diajukan Galileo melalui teleskopnya sebenarnya merupakan sikap
tidak ilmiah. Apapun motifnya, sikap tersebut menjadi tidak masuk akal
mengingat kolega Galileo tersebut adalah para pakar dan ilmuwan (bahkan
juga merupakan pemuka masyarakat dan penguasa). Sikap kurang terpuji ini
akan menjadikan perbedaan pandangan (disagreement) tidak akan terbuka
untuk didiskusi dan kebenaran ilmiah tidak akan dicapai. Keadaan ini dapat
membingungkan masyarakat akademik dan menghambat pengembangan
pengetahuan.
Lingkungan akademik seperti di atas biasanya berkembang akibat
sikap aka-demisi itu sendiri yang membentuk budaya akademik. Budaya
akademik yang dapat menghambat kemajuan pengetahuan adalah apa
yang penulis sebut sebagai sindroma tes klinis (kalau diinggriskan
menjadi clinical test syndrom) dan men-talitas Djoko Tingkir (Djoko
Tingkir mentality).

Sindroma Tes Klinis


Sindroma ini menggambarkan seseorang yang merasa (bahkan yakin) bahwa
ter-dapat ketidakberesan dalam tubuhnya dan dia juga tahu benar apa yang
terjadi karena pengetahuannya tentang suatu penyakit. Akan tetapi, dia tidak
berani untuk memeriksakan diri dan menjalani tes klinis karena takut bahwa
dugaan tentang penyakitnya tersebut benar. Akhirnya orang ini tidak
memeriksakan diri ke dokter dan mengatakan pada orang lain bahwa dirinya
sehat. Jadi, orang ini takut mengetahui kebenaran gagasan sehingga
menghindarinya secara semu.
Dalam dunia akademik, sindroma semacam ini dapat terjadi kalau
seseorang mempunyai pandangan yang menurut dirinya sebenarnya keliru
atau tidak valid lagi karena adanya pandangan atau gagasan baru. Gagasan
baru dia peroleh kare-na dia sering mendengar dari kolega atau mahasiswa.
Orang lain memperoleh gagasan baru tersebut dari artikel atau hasil
penelitian ilmiah. Dalam kondisi

35
Jack Hirshleifer, Price Theory and Applications (Englewoods Cliffs, NJ: Prentice Hall,
1988), hlm. 4. Penebalan oleh penulis. Konon pada suatu petang, para lawan (para kolega
senior) Galileo datang ke apartemen Galileo untuk mengejek dan mengancam Galileo agar
tidak menyebarkan dan mengajarkan teorinya. Pada saat para senior akan meninggalkan
apartemen Galileo, mereka bertanya tentang sikap Galileo. Galileo mengatakan bahwa dia
tidak dapat mengatakan lain daripada apa yang telah dipikir dan ditulisnya dan kemudian
meminta kepada para seniornya untuk membuktikan sendiri apa yang diteorikannya dengan
melihat teleskop di apartemennya. Ternyata tidak seorang kolega seniorpun bersedia
melakukan hal itu.
Penalaran 91

seperti ini, akademisi sering tidak berani untuk membaca sumber


gagasan karena takut jangan-jangan pendapatnya yang telah telanjur
disebarkan kepada maha-siswa benar-benar keliru. Dapat juga, akademisi
tersebut memang berani mem-baca dan benar-benar dapat menerima
argumen tetapi di muka umum (kelas) dia bersikap seolah-olah tidak
pernah tahu gagasan baru tersebut (bersikap tak pedu-li) apalagi
membahasnya di kelas dengan cukup dalam. Manifestasi lain dari sin-
droma ini adalah akademisi (dosen) mengisolasi gagasan baru agar
mahasiswa tidak pernah tahu semata-mata untuk menutupi kelemahan
suatu gagasan lama yang dianutnya.
Bila sindroma semacam ini banyak diindap oleh akademisi, dapat
dipastikan kemajuan pengetahuan dan profesi akan terhambat dan rugilah
dunia pendidikan.

Mentalitas Djoko Tingkir


Bila kepentingan mengalahkan nalar sebagaimana digambarkan dalam
kasus Galileo di atas, maka pengembangan ilmu pengetahuan dapat
terhambat dan pada gilirannya praktik kehidupan yang lebih baik juga
ikut terhambat. Sayangnya, ilmuwan atau akademisi yang merasa ada di
bawah kekuasaan kolega senior sering memihak seniornya dan
mengajarkan apa yang sebenarnya salah dengan menyembunyikan apa
yang sebenarnya valid semata-mata untuk menghormati kolega senior
(atau kelompoknya) atau untuk melindungi diri dari tekanan senior.
Akibatnya, timbul situasi yang di dalamnya argumen yang lemah harus
dimenang-kan dan dilestarikan semata-mata karena kekuasaan. Ini
berarti kekuasaan lebih unggul dari penalaran.
Budaya Djoko Tingkir digunakan untuk menggambarkan lingkungan aka-
demik atau profesi seperti ini karena konon perbuatan Djoko Tingkir yang
tidak terpuji harus dibuat menjadi terpuji dengan cara mengubah skenario
yang sebe-narnya terjadi semata-mata untuk menghormatinya karena dia
bakal menjadi raja (kekuasaan). Dalam dunia akademik, status pakar
merupakan kekuasaan atau autoritas akademik. Kepakaran merupakan
kekuasaan karena orang dapat mem-peroleh kekuasaan dan kedudukan (baik
politik, struktural, atau institusional) lantaran pengetahuan atau ilmunya.
Namun, tidak semestinya kalau kekuasaan tersebut lalu menentukan ilmu.
Dunia akademik harus mengembangkan ilmu atas dasar validitas argumen
dan bukan atas dasar kekuasaan politik/jabatan.

Merasionalkan Daripada Menalar


Bila karena keberpihakan, kepentingan, atau ketakkritisan, orang telanjur
meng-ambil posisi dan ternyata posisi tersebut salah atau lemah, orang ada
kalanya berusaha untuk mencari-cari justifikasi untuk membenarkan
posisinya. Dalam hal ini, tujuan diskusi bukan lagi untuk mencari kebenaran
atau validitas tetapi untuk membela diri atau menutupi rasa malu. Bila hal ini
terjadi, orang tersebut sebenarnya tidak lagi menalar (to reason) tetapi
merasionalkan (to rationalize).
Sikap merasionalkan posisi dapat terjadi karena keterbatasan
pengetahuan orang bersangkutan dalam topik yang dibahas tetapi orang
tersebut tidak mau
92 Bab 2

mengakuinya. Agar argumen berjalan dengan baik, para penalar paling


tidak harus mempunyai pengetahuan yang cukup dalam topik yang
dibahas. Kurangnya pengetahuan (topical knowledge) dapat menjebak
orang untuk lari ke stratagem daripada argumen yang layak.
Sikap merasionalkan dalam diskusi dapat menimbulkan pertengkaran
mulut, perselisihan pendapat (dispute), atau debat kusir. Dalam situasi ini,
pihak yang terlibat dalam diskusi biasanya tidak lagi mengajukan argumen
yang sehat untuk mendukung posisi tetapi mengajukan argumen kusir
(pedestrian argument) untuk menyalahkan pihak lain dan memenangi
perselisihan. Jadi, tujuan diskusi bukan lagi mencari solusi tetapi mencari
kemenangan (kadang-kadang menangnya sendi-ri). Memenangi debat (selisih
pendapat) dan meyakinkan suatu gagasan adalah dua hal yang sangat
berbeda. Untuk memenangi selisih pendapat, faktor emosio-nal lebih banyak
berperan daripada faktor rasional atau penalaran. Pakarpun kadang-kadang
lebih suka berdebat daripada berargumen. Hal ini dikemukakan Nickerson
(1986, hlm. 97) sebagai berikut:36

Disputes often arise when each of the two people builds a case
favoring the oppo-site conclusion and tries to convince the other
person that he or she is wrong. Disputes can be very frustrating. Even
highly intelligent people sometimes act childishly when
engaged in them.
... “winning” a dispute and persuading someone to believe
something are not necessarily the same things. Indeed, winning a
dispute may be the least like-ly way of winning an opponent over your
point of view. Disputes are rarely resolved by reason, because the
disputing parties typically are not seeking resolu-tion; rather each is
seeking to win.

Persistensi
Karena kepentingan tertentu harus dipertahankan atau karena telah lama
mele-kat dalam rerangka pikir, seseorang kadang-kadang sulit
melepaskan suatu keya-kinan dan menggantinya dengan yang baru.
Dengan kata lain, orang sering berteguh atau persisten terhadap
keyakinannya meskipun terdapat argumen yang kuat bahwa keyakinan
tersebut sebenarnya salah sehingga dia seharusnya melepaskan
keyakinan tersebut.
Sampai tingkat tertentu persistensi merupakan sikap yang penting agar
orang tidak dengan mudahnya pindah dari keyakinan atau paradigma yang
satu ke yang lain. Paradigma adalah satu atau beberapa capaian ilmu
pengetahuan pada masa lalu (past scientific achievements) yang diakui oleh
masyarakat ilmiah pada masa tertentu sebagai basis atau tradisi untuk
mengembangkan ilmu penge-tahuan dan praktik selanjutnya. Capaian
(achievements) dalam ilmu pengetahuan (sciences) dapat berupa filosofi,
postulat, konsep, teori, prosedur ilmiah, atau pendekatan ilmiah. Untuk
menjadi paradigma, suatu capaian harus mempunyai penganut yang cukup
teguh dan capaian tersebut bersaing dengan capaian atau kegiatan ilmiah
lain yang juga mempunyai sekelompok penganut. Paradigma

36
Penebalan oleh penulis.
Penalaran 93

harus terbuka untuk diperbaiki atau diganti oleh capaian pesaing atau baru
sehingga dimungkinkan terjadi pergeseran atau pergantian paradigma dari
masa ke masa (conversion of paradigm). Konversi dapat terjadi pada diri
ilmuwan secara individual pada masa hidupnya atau pada generasi ilmuwan
ke generasi ilmuwan berikutnya. Riwayat terjadinya konversi paradigma
antargenerasi disebut oleh Thomas Kuhn sebagai revolusi ilmiah (scientific
revolution).37
Dalam dunia ilmiah, persistensi untuk tidak melepaskan suatu
keyakinan dapat dimaklumi kalau tujuannya adalah untuk memperoleh
argumen atau bukti yang kuat untuk menunjukkan bahwa keyakinan yang
dianut memang salah. Tidak selayaknyalah suatu keyakinan atau
paradigma dipertahankan kalau memang terdapat bukti yang sangat
meyakinkan bahwa tia salah. Namun, manu-sia tidak selalu dapat
bersikap objektif dan tidak memihak (impartial). Karena kepentingan
tertentu yang perlu dipertahankan, ilmuwan atau pakar pun sering
bersikap demikian sehingga konversi keyakinan sulit terjadi. Thomas Kuhn
(1970) menunjukkan contoh sebagai berikut:

Priestley never accepted the oxygen theory, nor Lord Kelvin the
electromagnetic theory, and so on. The difficulties of conversion have often
been noted by scien-tists themselves. Darwin, in a particulary perceptive
passage at the end of his Origin of Species, wrote: “Although I am fully
convinced of the truth of the views given in this volume..., I by no means
expect to convince experienced naturalists whose mind are stocked with a
multitude of facts all viewed, during a long course of years, from a point of
view directly opposite to mine. ... [B]ut I look with confidence to the future,
—to young and rising naturalists, who will be able to view both sides of the
question with impartiality.” And Max Planck, ..., sadly remarked that “a new
scientific truth does not triumph by convincing its oppo-nents and making
them see the light, but rather because its opponents eventually die, and a
new generation grows up that is familiar with it” (hlm. 151).

Memang menyedihkan apa yang dikatakan Planck bahwa gagasan baru


yang benar (a new scientific truth) mengungguli atau menang atas gagasan
yang keliru bukan lantaran pemegang gagasan lama sadar dan melihat sinar
kebenaran melainkan lantaran generasi baru telah menggantinya. Mengapa
hal ini terjadi? Kuhn menjelaskan hal ini dengan menyatakan (penebalan oleh
penulis):

... scientists, being only human, cannot always admit their errors,
even when confronted with strict proof. I would argue, rather, that in
these matters neither proof nor error is at issue. The transfer of
allegience from paradigm to paradigm is a conversion experience
that cannot be forced (hlm. 151).

Sebagai manusia, ilmuwan atau pakar tidak selalu dapat mengakui


kesalah-annya meskipun dihadapkan pada bukti yang sangat telak (strict
proof). Lagi pula,

37
Lihat pembahasan selanjutnya dalam Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific
Revolutions (Chicago: The University of Chicago Press, 1970). Thomas Kuhn menyebut tradisi
kegiatan ilmuwan yang mendasarkan diri pada capaian-capaian ilmiah pada masanya disebut ilmu
normal (normal sci-ences). Ilmu ini biasanya terefleksi dalam buku-buku teks pada masa dianutnya
paradigma.
94 Bab 2

konversi paradigma (atau keyakinan) bukanlah hal yang dapat


dipaksakan sehing-ga resistensi adalah takterhindarkan dan sah-sah saja
(legitimate).
Berkaitan dengan persistensi adalah gejala psikologis atau perilaku
manusia untuk terpaku pada makna suatu simbol atau objek dan kemudian
menjadikan orang tidak mampu melihat makna alternatif atau objek
alternatif. Orang secara intuitif melekatkan makna pada suatu objek melalui
pengalamannya dan sering tidak menyadari bahwa makna tersebut bersifat
kontekstual di masa lalu dan tidak lagi relevan dengan situasi yang baru.
Perilaku semacam ini dikenal dengan istilah keterpakuan atau fiksasi
fungsional (functional fixation). Dalam akuntansi, keterpakuan ini digunakan
untuk menjelaskan mengapa investor tidak mampu untuk mengubah
keputusannya sebagai tanggapan atas perubahan proses akun-tansi dalam
menyediakan data laba. Orang hanya melihat angka laba (bottom line) dalam
statemen laba-rugi tanpa memperhatikan bagaimana laba tersebut ditentu-
kan atau terpengaruh oleh perubahan metoda (proses) akuntansi.
Keterpakuan fungsional juga merupakan penghambat terjadinya argumen
yang sehat.38 Orang yang sudah terpaku dengan istilah “harga pokok
penjualan” akan sangat sulit untuk dapat menerima istilah “kos barang
terjual” yang sebenarnya lebih tepat menggambarkan makna istilah aslinya
yaitu cost of goods sold.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa aspek manusia sangat
berperan dalam argumen yang bertujuan mencari kebenaran.
Rasionalitas merupakan unsur penting dalam argumen. Walaupun
demikian, faktor-faktor psikologis dan emosional, kekuasaan, dan
kepentingan pribadi atau kelompok juga berperan dan dapat menghalangi
terjadinya argumen yang sehat.

Rangkuman
Praktik yang sehat harus dilandasi oleh teori yang sehat pula. Teori yang
sehat harus dilandasi oleh penalaran yang sehat karena teori akuntansi
menuntut kemampuan penalaran yang memadai. Penalaran merupakan
proses berpikir logis dan sistematis untuk membentuk dan mengevaluasi
suatu keyakinan akan asersi.
Unsur-unsur penalaran adalah asersi, keyakinan, dan argumen. Interaksi
antara ketiganya merupakan bukti rasional untuk mengevaluasi kebenaran
suatu pernyataan teori. Asersi merupakan pernyataan bahwa sesuatu adalah
benar atau penegasan tentang suatu realitas. Keyakinan merupakan
kebersediaan untuk menerima kebenaran suatu pernyataan. Argumen adalah
proses penurunan sim-pulan atau konklusi atas dasar beberapa asersi yang
berkaitan secara logis.
Asersi dapat dinyatakan secara verbal atau struktural. Asumsi,
hipotesis, dan pernyataan fakta merupakan jenis tingkatan asersi. Jenis
tingkatan konklusi tidak dapat melebihi jenis tingkatan asersi yang
terendah.
Keyakinan merupakan hal yang dituju oleh penalaran. Keyakinan
mengan-dung beberapa sifat penting yaitu: keadabenaran, bukan
pendapat, bertingkat, mengandung bias, memuat nilai, berkekuatan,
veridikal, dan tertempa.

38
Lihat pembahasan lebih mendalam dalam Belkaoui, op. cit., hlm.117-118.
Penalaran 95

Argumen bertujuan untuk mengubah keyakinan kalau memang


keyakinan tersebut lentuk untuk berubah. Argumen terdiri atas beberapa
asersi yang ber-fungsi sebagai premis dan konklusi. Argumen dapat
bersifat deduktif dan non-deduktif (induktif dan analogi).
Argumen deduktif berawal dari pernyataan umum dan berakhir
dengan suatu pernyataan khusus berupa konklusi. Penalaran ini terdiri
atas tiga tahap yaitu: penentuan premis, proses deduksi, dan penarikan
konklusi. Kelengkapan, keje-lasan, kesahihan, dan keterpercayaan
merupakan kriteria validitas konklusi yang diturunkan atas dasar
penalaran deduktif.
Argumen induktif berawal dari suatu keadaan khusus dan berakhir
dengan pernyataan umum berupa konklusi sebagai hasil generalisasi.
Berbeda dengan penalaran deduktif yang kebenaran konklusinya
merupakan konsekuensi logis (pasti benar atau takbenar), penalaran
induktif menghasilkan konklusi yang boleh jadi benar atau takbenar. Bila
premis benar, konklusi penalaran deduktif harus (necessarily) benar
sedangkan konklusi penalaran induktif tidak harus (not neces-sarily)
benar atau boleh jadi benar.
Di samping argumen deduktif dan induktif, dikenal pula argumen
dengan analogi dan argumen penyebaban. Kemiripan merupakan basis
untuk menurun-kan simpulan dengan analogi. Analogi bukan merupakan
pembuktian tetapi lebih merupakan alat untuk menjelaskan atau
klarifikasi. Argumen penyebaban bertu-juan untuk meyakinkan bahwa
suatu gejala timbul karena gejala yang lain atau perubahan suatu variabel
diakibatkan oleh perubahaan variabel tertentu. Keya-kinan tentang
adanya penyebaban dapat dicapai kalau tiga kriteria penyebaban
dipenuhi yaitu: adanya kovariasi, adanya urutan kejadian, dan tiadanya
faktor lain selain faktor sebab yang diamati.
Karena tujuan argumen adalah untuk mengevaluasi dan mengubah
keyakin-an, ada kalanya argumen yang jelek dapat meyakinkan banyak
orang. Orang sering terkecoh oleh atau mengecoh dengan argumen. Kecohan
atau salah nalar adalah argumen yang dapat membujuk meskipun
penalarannya mengandung cacat. Kecohan dapat terjadi akibat stratagem
atau akibat salah logika.
Stratagem adalah cara-cara untuk meyakinkan orang akan suatu
pernyataan, konklusi, atau posisi selain dengan mengajukan argumen yang
valid. Cara-cara ini dapat berupa persuasi taklangsung, membidik orangnya,
menyampingkan masalah pokok, misrepresentasi, imbuan cacah, imbauan
autoritas, imbauan tra-disi, dilema semu, dan imbuan emosi. Pada umumnya
stratagem digunakan dengan niat semata-mata untuk memenangkan posisi
dan bukan untuk mencari solusi yang terbaik. Argumen yang valid tidak
selalu dapat membujuk sehingga stratagem sering digunakan tanpa
melibatkan salah nalar.
Salah nalar adalah kesalahan konklusi akibat tidak diterapkannya
kaidah-kaidah penalaran yang valid. Beberapa bentuk salah nalar adalah
menegaskan konsekuen, menyangkal anteseden, pentaksaan,
perampatan-lebih, parsialitas, pembuktian analogis, perancuan urutan
kejadian dengan penyebaban, dan peng-ambilan konklusi pasangan.
Aspek manusia sangat berperan dalam argumen khususnya apabila suatu
kepentingan pribadi atau kelompok terlibat dalam suatu perdebatan. Orang
cen-
96 Bab 2

derung bersedia menerima penjelasan sederhana atau penjelasan yang


pertama kali didengar. Sebagai manusia, orang tidak selalu dapat mengakui
kesalahan. Sindroma tes klinis dan mentalitas Djoko Tingkir dapat
menghalangi terjadinya argumen yang sehat. Bila keputusan telanjur diambil
padahal keputusan tersebut mengandung kesalahan, orang cenderung
melakukan rasionalisasi bukan lagi argumen untuk mendukung keputusan.
Karena tradisi atau kepentingan, orang sering bersikap persisten terhadap
keyakinan yang terbukti salah.
Sampai tingkat tertentu persistensi mempunyai justifikasi yang dapat
diper-tanggungjelaskan. Namun, bila sikap persisten menghalangi atau
menutup diri untuk mempertimbangkan argumen-argumen baru yang
kuat dan lebih mengarah untuk meninggalkan keyakinan atau paradigma
yang tidak valid lagi, sikap persis-ten menjadi tidak layak lagi. Lebih-lebih,
bila sikap tersebut dilandasi oleh motif untuk melindungi kepentingan
tertentu (vested interest). Persistensi semacam ini akan menjadi
resistensi terhadap perubahan yang pada gilirannya akan meng-hambat
pengembangan pengetahuan.

Diskusi
1. Jelaskan pengertian penalaran serta sebutkan unsur-unsur penalaran.
2. Berilah beberapa contoh asersi.
3. Jelaskan pengertian argumen dan apa bedanya dengan perselisihan pendapat (dispute).
4. Apa yang dimaksud bahwa penalaran merupakan suatu bentuk bukti? Berilah
suatu contoh situasi yang menunjukkan bahwa penalaran merupakan suatu
bukti.
5. Apakah suatu pernyataan atau asersi selalu benar apabila didukung oleh
argumen yang kuat? Berilah suatu contoh.
6. Dapatkah seseorang memegang keyakinan yang kuat terhadap suatu asersi
yang salah atau sebaliknya menyangkal suatu asersi yang benar? Berilah
contoh.
7. Interpretasilah berbagai makna asersi yang berbunyi “Manajer perusahaan
swasta lebih profesional daripada manajer perusahaan negara (BUMN).”
8. Berilah beberapa contoh cara menyatakan asersi dalam strukturnya bukan maknanya.
9. Bedakan antara asersi universal dan asersi spesifik serta berilah beberapa
contoh untuk masing-masing sifat asersi.
10. Berilah contoh-contoh asersi yang menunjukkan hubungan inklusi, eksklusi,
dan saling-isi dan gambarkan dengan diagram asersi-asersi tersebut.
11. Gambarkan dengan diagram asersi “Beberapa burung adalah karnivor.”
12. Bedakan makna nir dan non sebagai proleksem serta berilah beberapa contoh
peng-gunaan kedua proleksem tersebut secara benar dalam istilah akuntansi.
13. Dapatkah rumah sakit dikatakan sebagai organisasi nirlaba?
14. Jelaskan apakah makna asersi-asersi berikut sama atau berbeda antara satu
dan lain-nya. Bila perlu gambarkan secara diagramatik asersi tersebut.

(1)Semua mahasiswa adalah anggota Koperasi Serba Usaha.


(2)Semua anggota Koperasi Serba Usaha adalah mahasiswa.
(3)Tidak satu pun mahasiswa adalah anggota Koperasi Serba Usaha.
(4)Tidak satu pun anggota Koperasi Serba Usaha adalah mahasiswa.
(5)Beberapa mahasiswa adalah anggota Koperasi Serba Usaha.
(6)Tidak semua mahasiswa adalah anggota Koperasi Serba Usaha.
Penalaran 97

15. Berilah suatu contoh situasi untuk menunjukkkan bahwa pernyataan


“Beberapa A adalah B” berbeda dengan “Tidak semua A adalah B.”
16. Sebut dan jelaskan jenis tingkatan asersi dan berilah contoh untuk masing-masing.
17. Jelaskan pengertian keyakinan (belief) terhadap suatu asersi.
18. Sebut dan jelaskan sifat-sifat keyakinan. Mengapa mengubah suatu keyakinan
melalui argumen merupakan suatu proses yang tidak mudah dan kompleks?
19. Apakah perbedaan karakteristik antara keyakinan dan opini?
20. Jelaskan apakah pernyataan berikut merupakan keyakinan atau pendapat:

(1) Sepakbola lebih mengasyikkan daripada badminton.


(2) Sungai Nil adalah sungai terpanjang di dunia.
(3) Pisang lebih banyak mengandung potasium daripada pepaya.
(4) Merokok dapat menyebabkan kanker.
(5) Susu lebih banyak mengandung nutrisi daripada kopi.
(6) Teori akuntansi adalah pelajaran yang sangat sulit dan membosankan.
(7) Es krim rasa coklat lebih enak daripada rasa vanila.
(8) Informasi aliran kas bermanfaat bagi investor.
(9) Kolesterol adalah penyebab utama gangguan jantung.
(10) Istilah estat real lebih tepat daripada real estat.
(11) Menjadi auditor lebih memberi tantangan daripada menjadi pengacara.
(12) Ada makluk hidup di Planet Mars.

21. Sebutkan komponen-komponen pembentuk argumen dan berilah beberapa


contoh argumen dalam akuntansi.
22. Apakah yang dimaksud dengan prinsip interpretasi terdukung (principle of
charitable interpretation) dalam suatu argumen dan berilah beberapa contoh.
23. Jelaskan secara umum pengertian argumen deduktif dan induktif serta berilah
contoh untuk tiap jenis argumen tersebut.
24. Apakah syarat-syarat (kriteria) validitas suatu argumen deduktif?
25. Apakah perbedaan antara kebenaran/validitas logis dan kebenaran/validitas
empiris? Berilah suatu contoh untuk menjelaskan perbedaan atara kedua konsep
tersebut.
26. Dalam argumen deduktif, apakah premis yang benar dapat menghasilkan
konklusi yang salah?
27. Jelaskan pengertian argumen logis (logical argument) dan argumen ada
benarnya (plausible argument) sebagai pembeda argumen deduktif dan
induktif.
28. Berilah beberapa contoh pernyataan dalam akuntansi yang dapat dikatakan
sebagai hasil penalaran induktif.
29. Gambarkan secara diagramatik suatu proses penalaran induktif dalam akuntansi.
30. Berilah suatu contoh argumen dengan analogi dalam akuntansi.
31. Apakah kelemahan argumen dengan analogi (argument by analogy)?
32. Jelaskan kaidah Mill untuk mengidentifikasi adanya kausalitas antara dua faktor.
33. Sebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk meyakinkan bahwa faktor X
benar-benar merupakan penyebab faktor Y. Mengapa syarat-syarat tersebut harus
dipenuhi?
34. Jelaskan pengertian kecohan (fallacy) dalam berargumen. Mengapa argumen
yang tidak valid (cacat) kadang-kadang dapat meyakinkan dan dianut orang
banyak?
35. Jelaskan perbedaan dan persamaan antara stratagem (stratagem) dan salah
nalar (rea-soning fallacy).
36. Sebut dan jelaskan serta berilah contoh berbagai jenis stratagem (sedapat-
dapatnya dalam bidang akuntansi).
98 Bab 2

37. Sebut dan jelaskan serta berilah contoh berbagai jenis salah nalar (sedapat-
dapatnya dalam bidang akuntansi).
38. Evaluasilah penyimpulan deduktif berikut ini:

Premis major: Semua burung mempunyai bulu.


Premis minor: Kucing mempunyai bulu.

Konklusi: Kucing adalah burung.

39. Aspek-aspek apa saja yang harus anda perhatikan agar anda tidak terjebak
dalam stratagem?
40. Bagaimana pendapat anda tentang prisip penilaian plausibilitas asersi yang
berbunyi: “Serahkan saja pada ahlinya.” Apa kelemahan prinsip ini?
41. Seseorang yang cukup terpandang di bidang profesi dan penyusunan standar
akuntansi membuat pernyataan dalam suatu seminar nasional di bawah ini.
Evaluasilah apakah pernyataan tersebut merupakan stratagem atau salah
nalar?

“Kita tidak perlu macam-macam tentang istilah beban. Istilah beban untuk expense adalah
benar karena nyatanya semua kantor akuntan publik menggunakan istilah tersebut.”

42. Evaluasilah kecohan (fallacy) yang terkandung dalam pernyataan-pernyatan berikut:

“Karena saya berada di Amerika, daging ayam yang disembelih tanpa mengikuti rukun
agama adalah halal.”
“Dia pasti kaya karena dia seorang pejabat.”
“Dia pasti rajin belajar Akuntansi Pengantar karena dia mendapat nilai A untuk mata kuliah
tersebut.”
“Dalam pembentukan istilah tidak perlu kita memperhatikan kaidah bahasa karena dalam
komunikasi yang penting adalah orang tahu maksudnya.”
“Sekarang ini adalah jaman globalisasi. Oleh karena itu, kita harus mampu berbahasa Ing-
gris. Tanpa kemampuan berbahasa Inggris kita tidak akan mampu mengglobal.” “Walaupun
dia telah terbukti sebagai koruptor, dia tetap dapat menjadi presiden karena tidak ada
seorangpun yang sempurna.”

43. Jelaskan pengertian beberapa konsep berikut ini dan bila perlu berilah contoh
situasi nyata untuk lebih menjelaskan konsep tersebut.

put-downs appeal to pity leading question


red herring appeal to force building the case
deceptive use of truth modus tollens stereotyping
sleight of hand modus ponens error of inference
dilution by generalization affirming the pedistrian
consequent arguments
appeal to inappropriate denying the antecedent functional fixation
authority principle of falsifiability clinical test
syndrom
inappropriate false dilemma
dechotomizing

44. Sebut dan jelaskan berbagai aspek manusia yang dapat menjadi
penghalang terjadinya argumen yang sehat.!
Penalaran 99

Bahan ini diambil dari buku:

Teori Akuntansi
Perekayasaan Pelaporan Keuangan

Suwardjono
Fakultas Ekonomika dan Busines
Universitas Gadjah Mada

Penerbit:

BPFE
Yogyakarta

2005

Walaupun buku Teori Akuntansi ditujukan untuk bidang akuntansi,


Bab 2 membahas topik yang cukup umum dan relevan untuk
bidang ilmu yang lain. Bahan ini khusus disediakan oleh penulis
untuk bahan diskusi terbatas dalam mata kuliah Filsafat Ilmu
program pascasarja-na. Bahan ini digunakan pula sebagai
pengganti bahan Logika Formal (Formal Logics) yang mendasari
mata kuliah, kursus, atau pelatihan Negosiasi atau Pelobian.
Penggandaan/penggunaan untuk keperluan di luar pendidikan
harus mendapat persetujuan dari penulis/penerbit.
100 Bab 2

Daftar Isi

Pengertian 41 Kecohan (Fallacy) 71


Unsur dan Struktur Penalaran Strategem 72
42 Asersi 44 Persuasi Taklangsung 73
Interpretasi Asersi 48 Membidik Orangnya 73
Asersi untuk Evaluasi Istilah Menyampingkan Masalah
49 Jenis Asersi (Pernyataan) 74 Misrepresentasi 75
51 Fungsi Asersi 52 Imbauan Cacah 75
Keyakinan 52 Imbauan Autoritas 76
Properitas Keyakinan 52 Imbauan Tradisi 77
Keadabenaran 53 Dilema Semu 78 Imbauan
Bukan Pendapat 53 Emosi 79
Bertingkat 53
Berbias 54 Salah Nalar (Reasoning Fallacy)
Bermuatan nilai 54 80 Menegaskan Konsekuen
Berkekuatan 54 81 Menyangkal Anteseden 82
Veridikal 54 Pentaksaan (Equivocation) 82
Berketertempaan 55 Perampatan-lebih
Argumen 55 (Overgeneral-
Anatomi Argumen 56 ization) 83
Jenis Argumen 58 Parsialitas (Partiality) 84
Argumen Deduktif 59 Pembuktian dengan Analogi 84
Evaluasi Penalaran Deduktif Merancukan Urutan Kejadian
60 dengan Penyebaban 85
Argumen Induktif 64 Argumen Menarik Simpulan Pasangan
dengan Analogi 65 86
Argumen Sebab-akibat 66 Aspek Manusia dalam Penalaran 88
Kriteria Penyebaban Penjelasan Sederhana 88
67 Penalaran Induktif Kepentingan Mengalahkan
dalam Nalar 89
Akuntansi 69 Sindroma Tes Klinis 90
Mentalitas Djoko Tingkir 91
Merasionalkan Daripada
Menalar 91
Persistensi 92
Rangkuman 94
Diskusi 96

Kontak: suwardjono@ugm.ac.id
Penalaran 101

Penalaran
dan
Sikap Ilmiah

Suwardjono
Fakultas Ekonomika dan Busines
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta

You might also like