You are on page 1of 7

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap hari manusia selalu mengonsumsi berbagai bahan pangan, namun
terkadang tidak pernah terbersit bahwa seringkali dalam bahan pangan yang
dikonsumsi tersebut sudah banyak sekali mengandung bahan-bahan pengawet,
seperti pada tahu, mie basah, maupun ikan asin yang sekarang sudah ada yang
diberi bahan pengawet.1 Tujuan dari pedagang-pedagang yang menambahkan
bahan pengawet dalam bahan pangan sebenarnya untuk memperpanjang masa
simpan pangan tersebut. Bahan-bahan pengawet yang berbahaya, namun
paling sering digunakan adalah bahan-bahan pengawet berjenis senyawa
kimia yang termasuk golongan zat-zat aditif, seperti salah satu contohnya
formalin.2
Penggunaan formalin yang sering dilakukan sebagai bahan pengawet
makanan dikarenakan harganya yang murah dan penggunaanya yang relatif
lebih sederhana. Formalin umumnya digunakan sebagai bahan pengawet
mayat, namun sekarang justru penggunaan dari formalin tersebut sudah
disalahgunakan sebagai bahan pengawet pada makanan. Formalin sendiri
sudah tergolong dalam salah satu dari beberapa bahan pengawet yang dilarang
penggunaanya berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang Bahan tambahan Makanan.3 Formalin
merupakan salah satu bentuk dari formaldehid dengan kandungan konsentrasi
formaldehid sebesar 10-40%. Formaldehid (CH2O) yang merupakan derivate
dari aldehid memiliki ciri-ciri sangat mudah terbakar, berbau tajam, tidak
berwarna, dan sangat reaktif. Formaldehid juga sangat mudah terpolimerisasi
pada suhu kamar, dan mudah terbakar.4,5
Formaldehid secara alami banyak ditemukan pada lapisan troposfer
selama terjadinya proses oksidasi dari hidrokarbon, sedangkan dalam
kehidupan sehari-hari banyak ditemukan pada mesin otomotif, pada berbagai
jenis material kontruksi bangunan, bahan sterilisasi, maupun bahan-bahan
pengawet.4,6 Apabila kandungan formaldehid tinggi dalam tubuh akan
menimbulkan reaksi kimia dengan hampir semua zat dalam sel, sehingga
dapat menekan fungsi dari sel tersebut yang kemudian akan merangsang
terjadinya kematian sel yang menyebabkan kerusakan pada jaringan maupun
organ tubuh. Kerusakan dan kematian sel pada organ tubuh karena terpapar
oleh formaldehid diakibatkan karena terjadinya stres oksidatif dalam tubuh
yang menyebakan terjadinya kerusakan enzim maupun DNA pada suatu sel.
Stres oksidatif merupakan suatu keadaan yang tidak seimbang antara kadar
antioksidan dengan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) dalam tubuh.
Formaldehid menyebabkan terjadinya stress oksidatif karena dapat
menurunkan kadar antioksidan dalam tubuh, akan tetapi meningkatkan
terjadinya produksi senyawa Reactive Oxygen Species (ROS) dalam tubuh.7
Penelitian yang dilakukan oleh Judarwanto pada tahun 2007
menyebutkan bahwa penggunaan formalin secara berlebihan akan
menyebabkan kerusakan sel-sel mukosa penyusun saluran pencernaan,
kerusakan sel-sel, dan gangguan metabolisme dari jaringan dalam organ
tubuh, termasuk salah satunya kerusakan pada jaringan hepar manusia.8
Penggunaan formalin yang merusak sel hepar dapat menyebabkan protein-
protein dan molekul-molekul lain keluar kedalam plasma darah termasuk
protein spesifik yang terdapat pada jaringan hepar yaitu Alanin amino
transferase (Alt) atau yang biasa dikenal sebagai glutamate piruvat
transaminase (GPT). Selain terdapat peningkatan Alt, juga terdapat
peningkatan aspartat amino transferase (Ast), yang mana peningkatan kadar
Alt maupun Ast dalam plasma darah dapat menunjukkan terjadinya kerusakan
pada sel-sel hepar.9
Hati atau hepar merupakan kelenjar terbesar dalam tubuh yang berperan
utama dalam setiap hampir fungsi metabolisme dalam tubuh dan dalam
mendetoksifikasi berbagai senyawa-senyawa berbahaya maupun racun dalam
tubuh. Terdapat berbagai kandungan dalam jaringan hepar, termasuk adanya
enzim. Beberapa enzim yang terdapat dalam hepar, seperti alkali phospatase
(ALP), lactic dehidrogenase (LDH), aspartat aminotransferase (AST), alanin
aminotransferase (ALT), dan gamma glutamyltransferase (GT). Apabila
terjadi kerusakan pada sel-sel hepar menyebabkan rusaknya membran sel dan
organel, selanjutnya enzim-enzim yang terdapat dalam hepar tersebut akan
masuk kedalam pembuluh darah. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya
peningkatan kadar enzim-enzim tersebut dalam darah.10,11,12 Kerusakan hepar
akibat meningkatnya kadar radikal bebas dalam tubuh membutuhkan terapi
yang tujuannya untuk meningkatkan kadar antioksidan dalam tubuh sehingga
mengurangi terjadinya stress oksidatif yang terjadi. Salah satu alternatif yang
dapat diberikan adalah astaxanthin.13
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat memutuskan reaksi berantai
dari radikal bebas yang terdapat dalam tubuh dan berperan dalam menetralkan
radikal bebas dengan cara memberikan satu elektronnya kepada radikal bebas,
sehingga menjadi non-radikal.14 Astaxanthin memiliki aktivitas antioksidan
terbesar dan paling kuat dibandingkan dengan lutein, lycopene, α-carotene, β-
carotene, α-tocopherol, 6-hydroxy-2,5,7,8-tetramethylcroman-2-carboxylic
acid, maupun jenis karotenoid lainnya. Aktivitas astaxanthin sebagai
antioksidan bersifat sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan dengan jenis
karotenoid lainnya, bahkan seratus kalo lebih tinggi dibandingkan vitamin E.
Aktivitas antioksidan yang tinggi pada astaxanthin dikarenakan adanya bagian
hydroxyl dan keto pada astaxanthin tersebut. Selain itu, astaxanthin juga tidak
bersifat sebagai pro-oksidan dan dapat mengurangi oksidasi dari salah satu
komponen DNA yaitu guanosine.15,16,17 Berdasarkan latar belakang yang
terurai diatas, maka penulis ingin mengetahui efektivitas terapi astaxanthin
sebagai antioksidan terhadap peningkatan kadar ALT.
B. Rumusan Masalah
1 Apakah astaxanthin memiliki efek sebagai antioksidan yang ditandai
dengan adanya penurunan enzim ALT pada Rattus norvegicus galur wistar
yang diberi formaldehid?

C. Tujuan Penelitian
C.1 Tujuan Umum
Mengetahui adanya efek terapi astaxanthin sebagai antioksidan terhadap
kadar ALT pada Rattus norvegicus yang diberi formaldehid.
C.2 Tujuan Khusus
1 Mengetahui efektifitas antioksidan dari astaxanthin terhadap peningkatan
kadar enzim ALT pada Rattus norvegicus gtalur wistar yang diberi
formaldehid.
2 Mengetahui dosis efektif astaxanthin sebagai antioksidan pada Rattus
norvegicus galur wistar yang diberi formaldehid berdasarkan peningkatan
kadar enzim ALT.

D. Manfaat Penelitian
1 Bagi peneliti dapat digunakan dalam memberi informasi tentang
pemanfaatan efek terapi astaxanthin sebagai antioksidan terhadap
penggunaan formaldehid yang bersifat hepatotoksik sehingga dapat
memperkaya pengetahuan di bidang farmakologi klinik dan berbagai
disiplin ilmu lainnya.
2 Sebagai pilihan antioksidan yang dapat digunakan dalam terapi oleh
masyarakat.
3 Sebagai data dalam pengembangan pemanfaatan astaxanthin sebagai
antioksidan.
4 Sebagai masukan bagi penelitian selanjutnya yang lebih komprehensif.
E. Keaslian Penelitian

NO Peneliti dan Judul Perbedaan


Metodologi Penelitian
Penelitian Penelitian
1 Gulten D. Curek, Variabel Bebas: Penelitian
Aysegul Cort, Gultekin Astaxanthin sebelumnya memakai
Yucel, Necdet Demir, 5mg/kg/hari. dosis astaxanthin 5
Saffet Ozturk, Gulsum mg/kg/hari, dan
O Elpek, Berna Savas, Variabel Terikat: Kadar dilihat dengan adanya
Mutay Aslan. Effect of enzim alanin luka iskemik
Astaxanthin on aminotransferase reperfusi pada hepar.
hepatocellular injury (ALT) dan xanthine Penelitian ini
following oksidase (XO) dalam menggunakan dosis
ischemia/reperfusion. plasma. astaxanthin secara
2009. bertingkat dari 0.4,
0.8, dan 80
mg/kg/hari,
menggunakan
parameter hanya
enzim alanin
aminotransferase
(ALT) saja, dan
dberikan formaldehid
secara oral.

2 Ni Made Laksmi Utari. Variabel bebas: Penelitian yang


Efek Astaxanthin Astaxanthin 8 mg. dilakukan
Terhadap Kadar sebelumnya
Vascular Endothelial Variabel Terikat: Kadar menggunakan
Growth Factor Plasma VEGH dalam Plasma. parameter kadar
Pada Non-Proliferative VEGH dalam Plasma.
Diabetic Retinopathy Penelitian ini
Ringan: Uji Klinik menggunakan
Terkendali. 2014. parameter kadar ALT
dalam plasma..
DAFTAR PUSTAKA
1 Cahyadi, W. Analisis dan Aspek Kesehatan: Bahan Tambahan Pangan.
Jakarta: Penerbit Bumi Aksara; 2006.
2 Aswatan, M. Ahli Teknologi Pangan dan Gizi. Mengenal Formalin dan
Bahaya dari Paparan Formalin. 2009.
3 BPOM RI. Bahan Tambahan Illegal – Boraks, Formalin, Rhodamin dalam
foodwatch Sistem Keamanan Terpadu. 2004.
4 WHO. 2002. Concise International Chemical Assesment Document 40:
Formaldehyde. World Health Organization, Geneva. Diakses pada:
http://www.whp.int/ipcs/publications/en/index.html tanggal 03 Januari 2015
5 Mcnary JE, Jackson EM. Inhalation Exposure to Formaldehyde and Toluene
in the same occupational and consumer setting. Inhal Toxicol. 2007; 19: 573-
6
6 Mitsui R, Omori M, Kitazawa H, Tanaka M. Formaldehyde-limited
cultivation of a newly isolated methylothropic bacterium, Methylobacterium
sp. MF1: Enzymatic analysis related to C1 metabolism. J. Biosci. Bioeng.
2005; 99:18-22
7 Bray T.M. The Role of Free Radical In Nutrrition and Prevention of Chronic
Desease. College of Health and Human Science, Oregon State University,
Oregon USA. 2006.
8 Judarwanto W. Pengaruh Formalin Bagi Sistem Tubuh. Jakarta. 2007.
9 Sacher and McPherson. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan Laboratorium.
Jakarta: EGC; 2004.
10 Murray, et al. Biokimia Harper. Edisi 25. Alih Bahasa andry hartono. Jakarta:
penerbit EGC. 2003.
11 Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari sel Ke Sistem. Jakarta: EGC; 2011.
12 Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku Ajar Patologi 7th ed, vol.2. Jakarta:
EGC; 2007.
13 Biswal S. Oxidative Stress and Astaxanthin: The Novel Supernutrient
Carotenoid. International Journal of Health & Allied Sciences 2014; 3(3):
147-153.
14 Liu Q, Huiyuan Y. Antioxidant Activities of Barley Seeds Extracts. Food
Chemistry. 2007; 102: 732-737.
15 Yuan JP, et al. Potential Health-promoting effects of astaxanthin: A high
value carotenoid mostly from microalgae. Mol Nutr Food Res. 2011; 55: 150-
65.
16 Yamasitha E. The effects of a dietary supplement containing astaxanthin on
skin condition. Carotenoid Science. 2006; 10: 91-5.
17 Tominaga K, et al. Cosmetic Benefits of astaxanthin on humans subjects. Acta
Biochimica Polonica. 2012; 59(1): 43-7.

You might also like