You are on page 1of 8

BAB I

PENDAHULUAN

Tubuh manusia terdiri atas banyak sel yang membelah dengan cepat selama
pertumbuhannya. Setelah manusia dewasa, sel membelah dengan tujuan
mengganti sel – sel yang mati atau memperbaiki sel yang rusak. Kanker terjadi
jika sel dalam tubuh mengalami pembelahan yang tidak terkontrol. Ada banyak
jenis kanker, ada salah satu kanker yang membahayakan adalah multipel
myeloma.1

Multipel myeloma adalah keganasan sel B dari sel plasma yang memproduksi
protein imunoglobulin monoklonal. Hal ini ditandai dengan adanya proliferasi
clone dari sel plasma yang ganas pada sumsum tulang, protein monoklonal pada
darah atau urin, dan berkaitan dengan disfungsi organ. Proliferasi berlebihan
dalam sumsum tulang menyebabkan matriks tulang terdestruksi dan produksi
imunoglobulin abnormal dalam jumlah besar dan melalui berbagai mekanisme
sehingga menimbulkan gejala dan tanda klinis. Setelah sumsum tulang digantikan
oleh sel plasma ganas sel normal sumsum tulang terdepresi, sel hemopoetik norma
terdestruksi, akhirnya sumsum mengalami kegagalan total, destruksi matriks
tulang menimbulkan osteosklerosis, lesi osteolitik, fraktur patologis, dan nyeri
tulang. Dalam serum muncul sejumlah besar protein monoklonal atau subunit
rantai peptida produk dari proliferasi sel plasma monoklonal, sedangkan
imunoglobulin normal berkurang. 2

Multipel myeloma merupakan keganasan sel plasma yang jarang terjadi, hanya
1% dari seluruh keganasan dan 10% dar total keganasan hematologi. Penyakit ini
menyerang pria dan wanita, dan biasanya ditemukan pada usia diatas 40 tahun,
dan puncak insiden pada usia 60 tahun, yang memiliki morbiditas dan mortalitas
tinggi 3,4
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Mieloma multipel adalah gamopati monoklonal karena keganasan sel
plasma dalam sumsum tulang yang menghasilkan protein abnormal
(paraprotein) dalam plasma dan urine, khas disertai lesi osteolitik,
akumulasi sel plasma abnormal (sel mieloma) dalam sumsum tulang, dan
adanya protein monoklonal dalam serum dan urin. 5

2.2. Epidemiologi
Multipel myeloma merupakan 1% dari semua keganasan dan 10% dari
tumor hematologik. Di Amerika Serikat, insiden multipel myeloma sekitar 3
sampai 4 kasus dari 100.000 populasi per tahun, dan diperkirakan terdapat
14.000 kasus baru tiap tahunnya. Insidennya ditemukan dua kali lipat pada
orang Afro Amerika dan pada pria. Umur median pasien rata – rata 65
tahun, dan sekitar 3% pasien kurang dari 40 tahun.3,6
Pada penelitian yang dilakukan secara multisenter di Indonesia pada
bulan November 2008 hingga November 2009 didapatkan lebih dari 60%
pasien multipel myeloma di Indonesia berusia lebih dari 50 tahun (65,71%)
dengan perbandingan jenis kelamin yang kurang lebih sama antara pria dan
wanita. 53% pasien memiliki kurang dari 30% sel plasma di sumsum
tulangnya, 70% pasien tidak memiliki protenuria bence jones dan 80%
pasien memiliki serum monoclonal gammopathy yang positif. 4
2.3. Etiologi
Hingga saat ini penyebab mulitpel myeloma belum jelas. Diperkirakan
multipel myeloma berkaitan dengan paparan radiasi, benzene, insektisida,
dan pelarut organik lainnya. Faktor genetik mungkin juga berperan pada
orang – orang yang rentan untuk terjadinya perubahan yang menghasilkan
proliferasi sel plasma yang memproduksi protein M seperti pada MGUS.
Beragam perubahan kromosom telah ditemukan pada pasien multipel
myeloma sepert delesi 13q14, 17q13, dan predominan kelainan pada 11q. 2

2.4. Patofisiologi
Tahap patogenesis pertama pada perkembangan multipel myeloma adalah
munculnya sejumlah sel plasma klonal yang secara klinis dikenal sebagai
MGUS (Monoclonal Gamopathy of Undetermined Signficance). Pasien
dengan MGUS tidak memiliki gejala atau bukti kerusakan organ. Tetapi
memiliki 1% resiko progesi menjadi myeloma, atau keganasan lain yang
berkaitan.2
Perkembangan sel plsama maligna ini mungkin merupakan suatu proses
multi langkah, diawali dengan adanya serial perubahan gen yang
mengakibatkan penumpukan sel plasma maligna, adanya perkembangan
perubahan di lingkungan mikro sumsum tulang, dan adanya kegagalan
sistem imun untuk mengontrol penyakit. Dalam proses ini aktivitas onogen
seluler, inaktvasi gen supresor tumor dan gangguan regulasi gen sitokin
mungkin terlibat.2
Keluhan dan gejala multipel myeloma berhubungan dengan ukuran masa
tumor, kinetik pertumbuhan sel plasma, dan efek visikokimia imunologi dan
humoral produk yang dibuat dan disekresi oleh sel plasma ini, seperti
paraprotein, dan faktor pengaktivasi osteoklastik (osteoclastic activating
factor/OAF).2
Paraprotein dalam sirkulasi dapat memberi berbagai komplikasi seperti
hipervolemia, hiperviskositas, diatesis hemoragik, dan kriyoglobulinemia.
Karena pengendapan rantai ringan, dalam bentuk almiloid atau sejenisnya,
dapat terjadi gangguan fungsi ginjal dan jantung. OAF seperti ILI-B,
limfotoksin dan TNF bertanggung jawab atas osteolisis dan osteoporosis
yang demikian khas untuk penyakit ini, seperti fraktur mikro yang
menyebaban nyeri tulang, hiperkalsemia, dan hiperkalsiuria. Konsentrasi
imunoglobulin normal dalam serum yang sering sangat menurun, fungsi
sumsum tulang yang menurun, dan neutropenia dapat meningkatkan
kerentanan infeksi.2
Gagal ginjal pada multipel myeloma disebabkan oleh karena
hiperkalsemia, adanya deposit amiloid pada glomerulus, hiperurisemia,
infeksi yang rekuren, infiltrasi sel plasma pada ginjal, dan kerusakan tubulus
ginjal oleh karena infiltrasi rantai berat pergantian sumsum tulang dan
inhibisi secara langsung terhadap proses hematopoesis, perubahan
megaloblastik akan menurunkan produk vitamin B12 dan asam folat.2
2.5. Gejala Klinis
Gambaran klinis yang paling sering dijumpai pada multipel myeloma adalah
nyeri tulang, terutama nyeri punggung. Selain itu dapat dijumpai gejala
sebagai berikut :5
1. Gejala anemia berupa lemah, lesu, pucat, dan sesak nafas.
2. Gejala infeksi berulang terutama infeksi paru.
3. Gejala gagal ginjal dan hiperkalsemia, seperti polidipsi, poliuria,
anoreksia, mual muntah, konstipasi, dan gangguan mental.
4. Gejala perdarahan.
5. Sindrom hiperviskositas, meliputi gangguan pengelihatan, kesadaran
menurun, atau payah jantung.
6. Fraktur patologis oleh karena adanya lesi osteolitik.
7. Gangguan saraf berupa parastesi atau paraplegia.
8. Sebagian penderita bersifat asimtomatis dan dijumpai kebetulan saat
check up.

2.6. Pemeriksaan Penunjang


Pada pemeriksaan laboratorium kasus mieloma multipel dapat dijumpai :5
- Anemia normokromik normositer, laju endap darah meningkat, serta
bentukan roulleaux pada apusan darah. Kadang-adang dapat dijumpai
sel plasma pada darah tepi
- Leukopenia dan trombositopenia dapat dijumpai pada fase lanjut
- Pada sumsum tulang dijumpai sel plasma lebih dari 10%. Sel mieloma
adalah sel plasma abnormal dengan inti besar, bizzarre, ukuran
bervariasi. Sering ada bentukan multinukleus.
- Pada elektroforesis protein didapatkan paraprotein atau M protein yang
berbentuk spike pada daerah gamma. Secara elektroforesis didapatkan
jenis IgG (59%), IgA (23%), IgD (1%), hanya light chain (16%) dan
tidak ada M-protein (1%). Pada mieloma multipel tipe IgA, spike sering
dijumpai pada daerah globulin beta.
- Pada pemeriksaan urine dapat dijumpai : bence Jones’s protein positif.
Yang lebih sensitif adalah pengukuran light chan dalam urine selama 24
jam.
- Sering dijumpai hiperkalsemia, hiperurikemia, peningkatan ureum dan
kreatini serum
- Pemeriksaan serum β2 microglobulin dan plasma cell labelling index
diperlukan untuk menentukan prognosis.
Pada penderita MM dapat dilakukan bone survey, yaitu foto tulang pipih
dan pangkal tulang panjang. Khas ditemukan adanya lesi osteolitik :
punched out lesion pada tulang pipih, tengkorak, costae, sternum, juga pada
tulang belakang, tulang-tulang pelvis, bagian proksimal femur dan
humerus.5

2.7. Diagnosis
Diagnosis Multipel Mieloma dapat ditegakkan dengan beberapa kriteria :5
A. Kriteria Klinik
1. Jika sel plasma sumsum tulang lebih dari 10% dengan
“malignant looking plasma cell”
2. Jika sel plasma menunjukkan gambaran mendekati normal,
untuk diagnosis diperlukan tambahan :
a. Hpergamaglobulinemia (>2gr/dl) dengan spike pada
daerah gamma.
b. Protein Bence jones positif dalam urine
c. Lesi osteolitik dalam tulang
B. Kriteria Wintrobe
1. Kriteria sitologik
a. Sumsum tulang: sel plasma/sel mieloma > 10%
b. Biopsi sumsum tulang/ jaringan lain menunjukkan
plasmacytoma
2. Kriteria klinik dan laboratorik
a. Protein mieloma yang dibuktikan secara eletroforesis
dalam plasma
b. Protein mieloma yang dibuktikan secara
elektroforesis dalam urine
c. Lesi osteoltik dalam tulang
d. Ditemukan sel plasma dari 2 sediaan hapus darah tepi
Diagnosis dibuat jika :
- 1a dan 1b positif
- 1a atau 1b positif + sala satu darii 2 positif
- Sel plsama/sel mieloma tulang > 30% yang disertai les
osteoltik
C. Kriteria Durie dan Salmon
Kriteria Mayor :
1. Plasmasitoma pada biopsi jaringan
2. Plasmasitosis pada sumsum tulang dengan sel plasma > 30%
3. Spike dari globulin monoklonal pada elektroforesis : IgG >
35 g/l, IgA > 20 g/l, ekskresi light chain urine
(elektroforesis) > 1 g/24jam tanpa adanya amiloidosis.
Kriteria Minor :
1. Plasmasitosis sumsum tulang dengan sel plasma 10 – 30%
2. Terdapat spike globulin monoklonal, tetapi nilainya kurang
dari nilai diatas.
3. Lesi osteolitik
4. IgM Normal <0,5 g/l, IgA <1 g/l atau IgG <6 g/l
Dagnosis ditegakkan jika 1 mayor dan 1 minor (tidak boleh 2 + 1)
positif, atau 3 minor positif termasuk 1+2.

2.8. Staging
Salmon Durie Staging : 2,7,8,9
a. Stadum I
 Level Hemoglobin lebih dari 10 g/dl
 Level Kalsium kurang dari 12 mg/dl
 Gambaran radiograf tulang normal atau plasmositoma soliter
 Protein M rendah (mis : IgG 5 g/dl, Costa < 3 g/dl, urine
<4g/24 jam)
b. Stadium II
 Gambaran yang tidak sesuai untuk stadium I maupun
stadium III
c. Stadium III
 Level Hemoglobin kurang dari 8,5 g/dl
 Level Kalsium lebih dari 12 g/dl
 Gambaran radiologi litik pada tulang
 Nilai protein M tinggi (mis : IgG > 7 g/dl, Costa > 5 g/dl,
urine > 12 g/dl)
d. Subklasifikasi A meliputi nilai kreatinin kurang dari 2 g/dl
e. Subklasifikasi B meliputi nilai kreatinin lebih dari 2 g/dl
Internasional Staging System :
a. Stadium I
 β2 mikroglobulin ≤3,5 g/dl dan albumin ≥ 3,5 g/dl
 CRP ≥ 4,0 mg/dl
 Plasma cell labelin index ≤ 1%
 Tidak ditemukan delesi kromosom 13
 Serum II-6 reseptor rendah
 Durasi yang panjang dari awal fase plateau
b. Stadium II
 Yang bukan stadium I atau stadium III
c. Stadium III
 β2 mikroglobulin ≥ 5 g/dl

2.9. Tata Laksana3

2.10.Prognosis
Meskipun rata – rata pasien multipel mieloma bertahan kira – kira 3 tahun,,
beberapa pasien yang mengidap multipel mieloma dapat bertahan hingga 10
tahun tergantung pada tingkatan penyakit. 9
Berdasarkan derajat stadium menurut Salmon Durie system, angka rata –
rata pasien bertahan hidup sebagai berikut :8
 Stadium I > 60 bulan
 Stadium II, 41 bulan
 Stadium III, 23 bulan
 Stadium B memiliki dampak yang lebih buruk
Berdasarkan klasifikasi derajat penyakit menurut the International
Stagng System maka rata – rata angka bertahan hidup pasien dengan
multipel mieloma sebagai berikut :8
 Stadium I, 62 bulan
 Stadium II, 44 bulan
 Stadium III, 29 bulan

DAFTAR PUSTAKA

1. Longo, Dan L., Kenneth C. Anderson, Denniis L. Kasper, et all. 2005.


Plasma Cell Discrasia in Harrison’s Principles of Internal Medicine 16 th
ed. New york : McGraw Hill Medical Publishing Division
2. Sudoyo, W Aru. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Ed. V.
Jakarta : Interna Publishing
3. Moreau, dkk. 2013. Multipel Myeloma : ESMO Clinical Practice
Guidelnes for diagnosis, treatment, and follow up. Oxforf University Press
on Behalf of the European Society for Medical Oncology.
4. Tadjoedin, Hilman, dkk. 2011. Multipel myeloma in. Jakarta : SMF
Hematologi dan Onkologi RS Kanker Dharmais
5. Bakta, I Made. 2012. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta : Penerbit Buku
Kedokteran EGC
6. Angtuaco, Edgardo J.C M. D, et al. Multipel Myeloma :Clinical Review
and Diagnostic Imaging. Department of Radiology and the Myeloma
Institute University of Arkansas
7. Wenqi, Jiang. Mieloma Multipel. Buku Ajar – Onkologi Klinis Edisi 2.
Balai Penerbit FK UI. Jakarta : 2008
8. Besa, Emanuel C, M. D. Multipel Myeloma. Medscape Reference. 2011
9. Vickery, Eric, PA-C. Multipel Myeloma : Vague Symptomps can chalenge
diagnostic skill. Journal of the American Academy of Physician Assistant.
2008

You might also like