You are on page 1of 3

Bandung - Anggota Dewan dari Fraksi PKS (Partai Keadilan Sejahtera) Kota Bandung, Bu Hj.

Salmiah Rambe, S.Pd.I menyempatkan diri untuk menghadiri undangan Ormas Persatuan

Muslimah (Salimah) Kota bandung dari kesibukannya yang super padat di acara Seminar

Parenting "Mengokohkan Cinta Keluarga Surga" dalam rangka milad ke-19 Salimah. Seminar ini

diselenggarakan di Ruang Pendopo Rumah Dinas Walikota Bandung, H. Oded Muhammad

Danial. Seminar Parenting yang diselenggarakan pada hari Sabtu, 16 Maret 2019 ini dihadiri

sekitar 500an peserta bapak dan ibu muda se-kota bandung dan cimahi.

Bu Mia, panggilan akrab Bu Salmiah Rambe mengutamakan hadir di acara ini karena

bersesuaian dengan misi dari PKS. Selain itu dalam mensupport Penolakan RUU Penghapusan

Kekerasan Seksual yang menjadi sorotan banyak pihak karena isinya dinilai berpotensi memberi

ruang bagi perilaku seks bebas. Hal ini otomatis bertentangan dengan Pancasila dan norma

agama. Sekaligus akan berdampak pada keharmonisan keluarga.

Setelah terlibat dalam beberapa kali pembahasan akhirnya Fraksi PKS di DPR memutuskan

menolak RUU ini, lanjut Bu Salmiah Rambe yyang saat ini menduduki sebagai wakil ketua

Komisi D dari Fraksi PKS Kota Bandung.

Bu Salmiah Rambe menjelaskan alasan PKS menolak RUU ini. “Sekilas tujuan RUU ini nampak

baik yaitu untuk melindungi perempuan dan anak dari berbagai tindak kekerasan seksual,

namun setelah dipelajari lebih dalam, pasal demi pasal, ayat demi ayat, ada yang secara makna

dan tafsiran bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila dan norma-norma agama,” papar Bu

Salmiah Rambe yang diusung kembali oleh PKS untuk maju kembali sebagai calon legislatif

periode 2019-2024 dari Daerah Pemilihan (Dapil) 2 Kota Bandung (16/3).

Ia menjelaskan Fraksi PKS tidak serta merta menolak. Dalam perjalanan pembahasan RUU ini,

Fraksi PKS telah mengajukan empat poin perubahan yang dianggap penting dan mendasar.

Pertama adalah usulan pergantian nomenklatur ‘kekerasan seksual’ menjadi ‘kejahatan seksual’,

agar memiliki ketegasan derajat hukum yang berat.


Istilah kejahatan seksual menggambarkan unsur kesalahan dan derajat tindak pidana yang lebih

tegas sehingga dapat mempermudah dalam perumusan delik dan pemenuhan unsur-unsur

pidana dalam pembuktian.

"Istilah Kejahatan Seksual juga lebih memenuhi kriteria 'darurat kejahatan seksual' yang sedang

terjadi di masyarakat. Selain itu istilah kejahatan seksual juga sudah digunakan dalam Undang-

undang Pelindungan Anak," ungkap ibu Mia yang pernah menjabat sebagai Ketua Bidang

Kewanitaan DPW PKS Jawa Barat.

Kedua, papar Bu Mia, melakukan perubahan definisi dari kekerasan seksual itu sendiri. Definisi

yang dirumuskan dalam RUU yang ada sekarang masih ambigu sehingga menimbulkan

keraguan, kekaburan, dan ketidakjelasan.

"Diantaranya dengan tidak memperhitungkan risiko korban dapat kehilangan nyawa dari

tindakan kejahatan seksual; memasukkan unsur 'hasrat seksual' yang luas yang dapat

berimplikasi pada sikap permisif terhadap perilaku seksual menyimpang juga karena

menggunakan istilah 'relasi kuasa' yang dapat disalahpahami dengan 'relasi suami-istri'," papar

Ibu Dewan yang Hafizah Haal Al Quran 30 Juz..

Ketiga, berkaitan dengan peran pemerintah, FPKS mengusulkan untuk memasukkan klausul

langkah-langkah preventif terhadap kejahatan seksual.

Diantaranya dengan mewajibkan kepada pemerintah untuk memerangi pornografi, peredaran

ilegal narkotika, zat psikotropika, serta minuman keras sebagai bagian yang tidak terpisahkan

dari upaya pencegahan kejahatan seksual.

Keempat, F-PKS mengajukan untuk menambahkan nilai “Ketuhanan Yang Maha Esa” menjadi

asas pertama dalam Rancangan Undang-undang tersebut.

Fraksi PKS berpandangan menjadi penting untuk menggunakan pendekatan ketaatan terhadap

Agama sebagai salah satu perspektif dalam pencegahan kejahatan seksual. Ketaatan terhadap

ajaran Agama yang dianut akan menimbulkan kesadaran hakiki seseorang untuk senantiasa

berbuat baik dan menghindari perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat seseorang

karena dianggap sebagai perbuatan dosa.


Hal ini sejalan pula dengan makna filosofis Sila ke-2 Pancasila yang dijiwai oleh Sila ke-1 bahwa

upaya-upaya untuk mewujudkan kemanusiaan yang adil dan beradab dengan menentang segala

perbuatan keji, jahat, tercela yang tidak mencerminkan keberadaban sebagai manusia, haruslah

dijiwai oleh nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sayangnya, tutur dia, keempat poin perubahan tersebut tersebut tidak terakomodasi dalam RUU

hingga pembahasan terakhir. Maka setelah menimbang dengan cermat serta mendengarkan

aspirasi dari banyak pakar dan tokoh umat, dengan tegas Fraksi PKS memutuskan menolak

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual ini.

“Sesuai dengan semangat UUD Negara Republik Indonesia 1945 dan Pancasila maka FPKS

dengan tegas menolak RUU ini demi tetap terjaganya NKRI dan terjaganya moral bangsa kita di

masa sekarang dan masa yang akan datang," tegas wakil rakyat dari Dapil 2 Kota Bandung

(Coblong, Cidadap, Bandung Wetan, Sumur Bandung, Cibeunying Kaler, Cibeunying Kidul)

You might also like