You are on page 1of 12

Dalam tes ini perbedaan individual di ukur dengan cara meminta subyek untuk

memasukkan sebuah batang ke kerangka yang berbentuk vertikal. Subyek harus fokus

pada sinyal internal, karena sinyal eksternal dari lingkungan terdistorsi. Subyek

didudukkan dalam sebuah ruangan gelap dimana tidak ada apapun yang terlihat kecuali

batang dan bingkai yang bercahaya. Subyek diminta untuk memasukkan batang ke dalam

bingkai secara vertikal. Apabila subyek memasukkan batang secara parallel pada bingkai,

berarti ia menunjukkan dominasi sinyal eksternal. Jika subyek memasukkan batang

secara vertikal pada sebuah sisi dari bingkai tersebut ia menunjukkan dominasi sinyal

internal. Subyek yang menunjukkan dominasi sinyal eksternal disebut FD, sementara

subyek yang menunjukkan ketergantungan pada sinyal internal disebut FI.

Wolf (1955) mencoba untuk melihat perubahan performa individual pada RFT dalam

ruang berputar. Dalam tes ini sinyal internal terdistorsi oleh perputaran kursi/ruangan.

Ada 2 perbedaan RRT dan RFT : (i) pada RFT sinyal eksternal dimanipulasi sementara

di dalam RRT sinyal internal yang dimanipulasi. Pada RRT tugas subyek adalah untuk

mengatur posisi tubuhnya menjadi tegak lurus. Subyek di dudukkan di dalam sebuah

kotak mirip ruangan yang berputar pada lintasan sirkular. Ruangan tersebut berputar di

atas lintasan horizontal, menciptakan sebuah kekuatan yang mendistorsi mekanisme

keseimbangan di dalam tubuh. Subyek didudukkan pada kursi yang dapat di sesuaikan

sehingga ia berada pada posisi yang tegak lurus ketika ruangan diputar. Individu yang

dapat mencapai posisi tegak lurus disebut FI, sementara individu yang persepsi

orientasinya dipengaruhi oleh ruang disebut FD.

EFT adalah sebuah tes perseptual dimana tugas subyek adalah untuk menemukan sebuah

figur sederhana dari figur yang kompleks yang telah terlihat sebelumnya. Figur tersebut

tampak sangat beraturan sehingga mengaburkan pencarian figur yang sederhana. Figur
yang sederhana dan kompleks ini dipilih berdasarkan apa yang digunakan oleh Gottschedt

(1926) dalam studi klasiknya mengenai peran relatif faktor kontekstual dan pengalaman

dalam persepsi. Dalam EFT, 24 figur kompleks dan 8 figur sederhana digabungkan,

dimana setiap figur sederhana ditanamkan pada beberapa figur kompleks yang berbeda.

Peneliti memberikan kartu dihadapan subyek dan subyek harus menelusuri figur

sederhana yang terdapat di dalam figur yang kompleks yang ada. Peneliti mencatat waktu

yang dibutuhkan oleh subyek untuk menemukan figur sederhana yang diminta.

Identifikasi FD atau FI didasarkan pada rata-rata waktu yang dibutuhkan oleh subyek,

diaman seorang FD membutuhkan waktu yang lebih lama. EFT dapat digunakan pada

usia 10 tahun hingga kisaran usia geriatrik.

Witkin dan kawan-kawan (1971) telah mengembangkan berbagai macam tes pensil-dan-

kertas- untuk meneliti FI atau FD dari seorang pelajar. Group Embedded Figurs Test

(GEFT) adalah versi yang paling banyak digunakan dalam penelitian Pemerolehan

Bahasa Kedua. Menurut Skehan (1998) para subyek diberi buklet dengan dengan figur

tertanam yang sederhana di dalamnya dan secara prgersif menjadi figur fisual yang lebih

kompleks. Para subyek diharapkan dapat menemukan bentuk sederhana didalam figur

yang kompleks dalam waktu yang telah dberikan (12 menit) subyek yang cenderung

bergantung pada sinyal eksternal disebut FD. Dengan demikian subyek yang bergantung

pada sinyal internal disebut FI. Terdapat 18 figur kompleks pada GEFT, dimana di setiap

figur ditanamkan figur yang sederhana. Berdasarkan jumlah jawaban yang benar, skor

GEFT dinilai dari 0 (FD terbesar hingga 18 FI terbesar). Terlepas dari halaman awal

buklet yang berisi arahan teliti dengan beberapa contoh untuk mengilustrasikan prosedur

dari subyek, tes ini terdiri atas tiga bagian: Bagian pertama bertujuan untuk membuat

siswa familiar dengan tes yang diberikan, sedangkan dua bagian lain adalah pokok dari
GEFT. Bagian pertama memiliki batasan waktu 2 menit, terdiri atas 7 pertanyaan mudah

untuk latihan, dan hasil tes tahap ini tidak disertakan dalam penilaian akhir. Tugas yang

sebenarnya dimulai pada tes tahap kedua dan tahap ketiga, dimana peserta harus memulai

pemecahan masalah pada tiap 9 set item dengan batas waktu masing-masing 5 menit.

Peserta dengan score diatas 12 dari total 18 disebut FI sementara nilai 11 kebawah disebut

FD.

Gaya Belajar Field-Dependent dan Field-Independent

Untuk menjelaskan arti dari Field-Dependent dan Field-Independent kami

mendeskripsikan perubahan dimensi. Sebuah pendekatan historis telah dipilih untuk

menekankan point penting pada penelitian ini yaitu gaya belajar kognitif yang berasal

dari laboratorium dan bahwa konsep serta metode assessment saat ini mencerminkan awal

dari metode tersebut.

Karya awal kami terfokus pada bagaimana seseorang menemukan posisi tegak lurus

dalam ruangan (sebagai contoh, Witkin, 1949, 1950, 1952; Witkin & Asch, 1948). Kami

mengetahui arah mana yang menuju ke atas melalui informasi dasar yang kami terima

dari lingkungan visual di sekitar. Sebuah ruangan, misalnya, diisi dengan banyak vertical

yang terhubung dengan sisi atas yang sebenarnya. Sebagai tambahan, kami membuat

referensi sensasi dari dalam tubuh, karena tubuh secara terus menerus menyesuaikan diri

dengan tarikan gravitasi ke bawah saat mempertahankan posisi tegak lurus dan berusaha

menyeimbangkannya. Sebenarnya standar yang diturunkan dari ranah visual dan standar

yang diturunkan dari tubuh bertemu dalam sebuah jalur, saling melemkapi satu sama lain

untuk memberikan arah lokasi yang akurat sisi atas sebenarnya. Pada eksperimen awal

kami membuang dunia visual yang kompleks tempat kita hidup dan digantikan dengan
kerangka kerja visual yang dapat dimanipulasi. Pada saat yang kami kami memisahkan

standar tubuh dan visual.

Gambar 1 menunjukkan satu dari beberapa situasi yang kami kembangkan, sesuai dengan

strategi tersebut. Dalam situasi ini, kerangka kerja visual pengganti adalah sebuah

kerangka persegi bercahaya yang diberikan pada subyek pada ruangan gelap gulita.

Kerangka ini dapat berputar sesuai arah atau berlawanan jarum jam. Sebuah batang

bercahaya berputar pada poros yang sama, juga dapat diputar sesuai arah atau berlawanan

jarum jam namun tidak bergantung pada kerangka tersebut. Kerangka dan batang yang

berputar adalah satu-satunya benda yang terlihat oleh subyek di ruang gelap (meski lebih

banyak benda terlihat pada Gambar 1 karena kebutuhan cahaya untuk mengambil

gambar). Tugas subyek adalah untuk mengatur letak batang pada posisi yang

dianggapnya sisi atas, sedangkan kerangka di sekitarnya tetap ada di posisi semula.

Hal yang penting dalam permasalahan ini adalah penemuan awal perbedaan individual

pada beberapa orang dari bagaimana mereka menjalankan tugas ini. Pada beberapa orang,

agar batang dapat tegak berdiri di sisi atas, mereka membuat batang tersebut sejajar

dengan kerangka di sekelilingnya tanpa memperdulikan posisi kerangka. Jika kerangka

miring 30 derajat ke kana, misalnya, mereka juga memiringkan batas tersebut ke arah

yang sama, kemudian mengatakan bahwa batang tersebut telah berada dalam posisi tegak

lurus ke atas. Pada sisi yang berlawanan terdapat orang-orang yang meletakkan batang

tersebut lebih dekat atau lebih jauh dari sisi atas, membuatnya lebih lurus tanpa

mempedulikan posisi kerangka. Mereka menganggap batang tersebut sebagai entitas yang

berlainan dari kerangkan visual yang ada, serta menemukan sisi atas dari batang tersebut

menurut posisi tubuh mereka dirasakan, bukan berdasarkan kerangka di sekelilingnya.


Situasi lain yang kami kembangkan untuk menemukan peran standar visual dan tubuh

dalam persepsi sisi atas terlihat pada Gambar 2. Disini terlihat bahwa persepsi obyek

adalah tubuh, bukan obyek eksternal seperti batang, dan masalahnya adalah bagaimana

orang tersebut menemukan posisi tubuh di dalam ruangan. Subyek didudukkan pada kursi

yang dapat diputar searah atau berlawanan arah jarum jam. Kursi tersebut diletakkan

dalam ruang kecil yang juga dapat diputar, baik searah atau berlawanan dengan arah

jarum jam secara mandiri, terlepas dari ruang tersebut. Setelah subyek duduk, kursi dan

ruangan diputar. Subyek kemudian diminta untuk menempatkan kursi dalam posisi yang

dianggapnya adalah tegak lurus. Dari sini tidak sulit untuk melihat situasi penyesuaian

tubuh dan kerangka-dan-batang yang secara structural adalah sama. Pada masing-masing

terdapat item—batang atau tubuh—dikelilingi oleh ranah visual—kerangka atau

ruangan—dan pertanyaannya adalah sampai tahap apa persepsi item ditentukan oleh

kerangka kerja di sekelilingnya.

Perbedaan performa individual dalam situasi penyesuaian tubuh sangat mirip dengan

yang dijelaskan dalam situasi batang-dan-kerangka. Ada beberapa orang yang

menganggap tubuh mereka tegak lurus ketika mereka sejajar dengan ruang sekitar yang

dimiringkan. Mungkin terdengar luar biasa saat seseorang dapat miring sebanyak 35

derajat, dan jika dalam posisi tersebut ia sejajar dengan ruangan dan miring kea rah yang

sama, ia akan melaporkan bahwa posisi tubuhnya lurus semurna, dan bahwa “seperti

inilah posisiku duduk saat makan malam,” atau “seperti inilah posisiku duduk di kelas”.

Di sisi lain, kami menemukan seseorang yang menyesuaikan tubuhnya mendekati atau

justru menjauhi posisi tegak lurus, terlepas dari posisi ruangan di sekelilingnya. Mereka

nampaknya mampu mempersepsikan tubuhnya sebagai sebuah entitas yang terlepas dari
ranah di sekelilingnya. Inilah penjelasan mengenai pengelompokan manusia ke dalam

dua ekstrim yang berlawanan.

Disini kami dapat menambahkan bahwa setiap orang sangat akurat ketika tugas yang

sama untuk meluruskan tubuh diberikan dengan mata tertutup. Perbedaan individual yang

kami temukan adalah konsekuensi dari konflik yang diciptakan oleh standar

ketegaklurusan yang diturunkan dari ranah di sekeliling dan standar yang diturunkan dari

dalam tubuh.

Karya awal tentang field-dependence-independence dalam situasi ketiga terlihat dalam

Gambar 3. Meski tidak melibatkan percepsi tegak lurus atau badan, metode ini

sesungguhnya sangat mirip dengan situasi batang-dan-kerangka serta penyesuaian tubuh

dalam struktur perseptual yang esensial. Dalam situasi figur-tertanam ini, subyek

dihadapkan pada figur sederhana di sisi kiri yang kemudian dihilangkan. Secara

bergantian ia akan dihadapkan dengan figur kompleks di sisi kanan dengan arahan untuk

menemukan figur sederhana di dalamnya.

Tujuan penciptaan figur kompleks adalah untuk “menghabiskan” garis-garis pada figure

sederhana dalam berbagai sub bagian figur kompleks tersebut, sehingga secara perseptual

figur yang lebih sederhana tidak nampak lagi. Penjelasan yang demikian telah

memperjelas kesamaan pada situasi orientasi dua ruang. Pada tahap ini subyek juga

dihadapkan pada sebuah item—desain geometris sederhana—yang berada di dalam ranah

kompleks yang terorganisir. Dan sekali lagi, pengamatan difokuskan pada tahap mana

kerangka kerja visual di sekitar mendominasi persepsi item yang ada di dalamnya.

Perbedaan performa individual ditandai dan sangat mirip dengan apa yang dijelaskan

pada dua tahap sebelumnya. Pada orang-orang yang cenderung mencari figur yang

sederhana dapat menemukannya dalam waktu singkat di antara figur yang kompleks,
sedangkan orang-orang di sisi yang lain tidak dapat mengidentifikasi figur sederhana

dalam jangka waktu yang diberikan.

Pada ketiga situasi tersebut, kami menemukan indicator kuantitatif pada tahap dimana

ranah sekeliling yang terorrganisir telah mempengaruhi persepi seseorang terhadap item

yang ada di dalamnya. Pada dua situasi awal, skor subyek ditentutkan oleh kemiringan

batang atau tubuh dalam derajat, sementara item pada situasi ketiga dileporkan lurus.

Pada situasi figur-tertanam ini, skor diambil dari waktu yang dibutuhkan untuk

menemukan figur sederhana di dalam figur yang kompleks.

Pentingnya hal ini untuk isu gaya kognitif adalah bukti konsistensi-diri dalam performa

lintas tugas. Jika orang yang sama diuji dalam situasi yang telah kami amati, dietmukan

bahwa seseorang yang memiringkan batang menjauhi kerangka yang miring untuk

membuatnya lurus adalah orang yang cenderung memiringkan tubuhnya menjauhi ruang

yang miring dengan anggapan tubuhnya tegak lurus, dan ia juga seseorang yang

memerlukan waktu lama untuk menemukan figur sederhana dalam figur yang kompleks.

Konsistensi-diri semacam ini telah ditemukan pada tahap lintas tugas yang meliputi

modalitas akal yang tidak termasuk dalam tiga tugas yang telah kami amati—termasuk,

misalnya, tugas figur-tertanam auditorial. Pada tugas tersebut, sebuah nada sederhana

harus ditemukan di antara melodi yang kompleks, menyusun kontur yang meningkat,

harus diidentifikasi dalam figur yang kompleks, mirip dengan penyusunan kontur yang

meningkat. (Axelrod & Cohen, 1961; White, 1954; Witkin, Birnbaum, Lomonaco, Lehr,

& Herman, 1968).

Analisis Kesalahan Newman

Pada tahun 1980-an dan 1990-an, AKN dikembangkan di Australia oleh Clements (1980,

1982, 1984) bekerja sama dengan Ellerton (misalnya Celemnts dan Ellerton, 1992, 1993,
1995; Ellerton dan Clements 1991, 1996, 1997) juga penelitian lainnya (misalnya, Casey,

1978; Clarkson, 1980; Watson, 1980; Tuck, 1983; Faulkner, 1992). AKN juga menyebar

luas di seluruh wilayah Asia Pasifik seperti Brunei (Mohidin, 1991); India (Kaushil,

Sajjin Singh & Clements, 1985); Malaysia (Marinas & Clements, 1990; Clements &

Ellerton, 1992; Sulaiman & Remorin, 1993); Papua Nugini (Clements, 1982; Clarkson,

1983, 1991); Singapura (Kaur, 1995); Filipina (Jiminez, 1992); dan Thailand (Singhatat,

1991; Thongtawat, 1992).

Momentum awal ini ditolak di New South Wales dan AKN hamper menghilang menyusul

inkulsi pada program Counting On tahun 2007 yang sangat kebetulan. Clements

berpindah ke University of Brunei Darussalam, mendesain dan mengimplementasi

program belajar professional nasional untuk guru dengan judul Matematika Aktif di

dalam Kelas (Active Mathematics In Classrooms, AMIC; White & Clements. 2005).

Program ini menarget perhitungan angka dan memiliki Sembilan aspek spesifik, salah

satunya adalah AKN. Enam aspek dari AMIC dilaporkan dalam jurnal sekolah utama

New South Wales, Square One untuk Asosiasi Guru Matematika New South Wales.

Sebuah artikel tentang penggunaan AKN dipilih dan ditambahkan ke dalam sesi pada

para guru dalam laman NSWDET pada 2006 (White, 2005). Artikel ini menciptakan

ketertarikan baru dari para guru terhadap AKN dan kemudian ditambahkan pada program

Counting On tahun 2007.

AKN didesain sebagai sebuah prosedur diagnostic sederhana. Newman (1977,1983)

mengatakan bahwa ketika seseorang berupaya untuk menjawab permasalahan standar

matematika yang tertulis, maka orang tersebut harus melewati serangkaian masalah yang

berurutan: Tingkat 1 Membaca (atau Mengkode), 2 Komprehensi, 3 Transformasi, 4

Ketrampilan proses, dan 5 Menyandi (lihat Tabel 1 untuk perintah wawancara). Selama
proses tersebut, selalu ada kemungkinan untuk membuat kesalahan yang ceroboh dan ada

pula yang memberikan jawaban salah karena mereka tidak menjawab sesuai dengan

kemampuan mereka. Penelitian Newman menghasilkan banyak bukti yang menyoroti

bahwa anak-anak mengalami kesulitan lebih jauh pada struktur semantic, kosa kata, dan

simbolisme matematika dibandingkan dengan alogaritma standar. Di sebagian besar

penelitian Newman yang dilakukan di sekolah-sekolah, proporsi kesalahan kali pertama

terjadi pada tahap Komprehensi dan Transformasi sangatlah besar (Marinas &

Clements,1990; Ellerton & Clements, 1996; Singhatat, 1991). Dengan demikian,

sebagian besar penelitian melaporkan bawah sekitar 70 persen kesalahan dibuat oleh

siswa Kelas 7 pada pertanyaan umum matematika ada pada tahap Komprehensi atau

Transformasi. Penelitian ini juga menemukan bawah kesalahan Membaca (Mengkode)

terhitung kurang dari 5 persen dari seluruh kesalahan awal. Jumlah yang sama juga

berlaku pada kesalahan dalam Ketrampilan proses, sebagian besar terkait dengan operasi

numeric standar (Ellerton & Calrkson, 1996). Penelitian Newman secara konsisten juga

menyoroti banyak program remedial matematika yang tidak sesuai di sekolah, dimana

revisi alogaritma terlalu ditekankan tanpa memberikan perhatian pada kesulitan yang

berhubungan dengan Komprehensi dan Transformasi (Ellerton & Calrkson, 1996).

Terdapat dua macam prosedur dan adaptasi yang memodifikasi prosedur wawancara yang

digunakan Newman (1977), seperti berikut ini:

Pedoman Wawancara Analsisi Kesalahan Newman

1. Mohon bacakan pertanyaan kepada saya. Jika Anda tidak mengerti satu kata pun,

tinggalkan saja.

2. Katakana kepada saya apa yang pertanyaan tersebut meminta Anda melakukan

apa.
3. Katakn kepada saya bagaimana Anda akan mencari jawabannya.

4. Tunjukkan kepada saya apa yang harus dilakaukan untuk mendapatkan jawaban.

“Berbicara keras” seperti yang Anda lakukan, sehingga saya dapat mengerti apa

yang Anda pikirkan.

5. Sekarang, tuliskan jawaban Anda.

Analisis Semua Tahap

Adaptasi pertama oleh Casey (1978) dalam sebuah penelitian terhadap keselahan yang

dilakukan oleh 120 siswa Kelas 7 di sebuah sekolah menengah menginstruksikan

pewawancara untuk membantuk kesalahan yang dibuat siswa tersebut. Jika seseorang

membuat kesalahan Komprehensi, pewawancara akan mengetahui hal ini dan

menjelaskan makna pertanyaan tersebut. Proses ini akan terus berlanjut hingga siswa

mampu menjawab pertanyaan. Dengan demikian dalam penelitian yang dilakukan oleh

Casey, seseorang dapat melakukan beberapa kesalahan dalam satu pertanyaan sehingga

sulit untuk membandingkan interpretasi Casey dan Newman. Meskipun demikian,

metode Casey dianggap menarik oleh para guru yang terfokus pada performa para siswa

di tahap Proses.

Analisis Semua Pertanyaan

Adaptasi kedua yang dilakukan oleh Ellerton dan Clements (1997) yang menggunakan

bentuk modifikasi dari metode wawancara Newman untuk menganalisa tanggapan siswa

dari Kelas 5 hingga Kelas 8 terhadap 46 set pertanyaan. Semua jawaban dianalisa, terlepas

dari itu benar atau salah. Jawaban yang benar setelah analisis tidak dianggap memadai

untuk dihubungkan dengan pengertian konsep utama, dan/atau ketrampilan dan.atau

hubungan, atau dihubungkan dengan kategori kesalahan Newman yang diuji melalui

sebuah pertanyaan meski jawabannya benar. Modifikasi Ellerton dan Clements


emenghasilkan definisi yan sedikit berbeda tentang kesalahan “ceroboh” yang diberikan

Clements (1982) sebelumnya.

Terfokus pada menghubungkan jawaban yang benar yang setara dengan pemahaman dan

telah diteliti dalam konteks yang lain. sebagai contoh, Ellerton dan Olson (2005)

melakukan studi pada 83 siswa Kelas 7 dan Kelas 8 di Amerika dalam sebuah tes yan

terdiri atas item yang diambil dari Illinois Standards Achievement Tests. Penemuan

mereka memperkuat fakta bahwa skor yang diperoleh siswa dalam tes tersebut tidak

menunjukkan tingkat pemahaman mereka atas sebuah konsep matematika dan hubungan.

Hasil penelitian mengindikasikan adanya 35 persen ketidakcocokan terhadap para siswa

yang memberikan jawaban benar dengan sedikit atau tidak adanya pemahaman, dengan

siswa yang memberikan jawaban salah namun memiliki sedikit pemahaman. Peneliti

meragukan adanya penggunakan program uji skala besar sebagai alat untuk membuat

perbandingan atau digunakan sebagai dasar alokasi sumber daya.

AKN menawarkan salah satu strategi termudah yang dapat digunakan dan dipalikasikan,

serta telah membuktikan popularitasnya di antara guru di New South Wales karena fitur

diagnostiknya yang mudah. AKN berbeda dengan pendekatan teoretis lain yang

ditawarkan kepada para guru. Hal yang mengejutkan adalah bagaimana AKN telah

digunakan oleh para guru sebagai strategi pemecahan masalah untuk para siswa dan

sebagai strategi pedagogis di dalam kelas. Pada bagian berikutnya, data yang didapatkan

dari laporan evaluasi tahun 2008 (White, 2009) akan mengamatai hasil belajar siswa dan

penggunaan AKN oleh guru.

Group Embedded Figure Test (GEFT)

Witkins dan kawan kawan (1971) telah mengembangkan berbagai macam tes tulis untuk

menginvestigasi pelajar tipe FI dan FD. GEFT adalah versi yang paling umum digunakan
dalam penelitian Pemerolehan Bahasa Kedua. Menurut Skehan (1998), para subyek diberi

sebuah buklet dengan figure visual sederhana yang ditanamkan di dalamnya dan menjadi

figure visual yang kompleks secara progresif. Para subyek diharapkan untuk menemukan

bentuk atau figure sederhana yang tersembunyi di dalam figure yang lebih kompleks

dalam jangka waktu yang diberikan (12 menit). Mereka yang bergantung pada sinyak

eksternal akan kesulitan dalam menemukan figure tersebut, sehingga disebut FD.

Sementara mereka yang bergantung pada sinyal internal dapat menemukan figur dengan

lebih baik, disebut FI. Terdapat 18 figur kompleks di dalam GEFT, di mana masing-

masing memiliki figure sederhana sendiri. Berdasarkan jumlah jawaban benar yang

diberikan oleh para siswa, skor GEFT diukur mulai angka 0 (FD terbesar) hingga 18 (FI

terbesar). Terlepas dari halaman awal buklet yang berisi arahan tegas dengan beberapa

contoh untuk mengilustrasikan prosedur pada subyek, tes ini terdiri ada tiga tahap: tahap

pertama bertujuan untuk membuat siswa familiar dengan tes tersebut, dan dua bagian

lainnya adalah bagian utama GEFT. Bagian pertama yang memiliki batas waktu 2 menit

meliputi 7 pertanyaan mudah untuk latihan, dan hasil dari tahap ini tidak masuk dalam

penilaian. Tugas yang sebenarnya dimulai pada tes tahap kedua dan tahap ketiga, dimana

peserta harus memulai pemecahan masalah pada tiap 9 set item dengan batas waktu

masing-masing 5 menit. Peserta dengan score diatas 12 dari total 18 disebut FI sementara

nilai 11 kebawah disebut FD.

You might also like