You are on page 1of 20

Pengaruh Aktivitas Matahari pada Variasi ..... (Wilson Sinambela et al.

PENGARUH AKTIVITAS MATAHARI


PADA VARIASI CURAH HUJAN DI INDONESIA
Wilson Sinambela , Tiar Dani, Iyus E. Rusnadi dan Jalu Tejo Nugroho
Peneliti Matahari dan Antariksa, LAPAN
Email:wilson@bdg.lapan.go.id

ABSTRACT

Solar activities give influence for long-term climate parameter.


Ultraviolet radiation, visible radiation and heat radiation is represent the
primary factor influencing this earth climate. This radiation parameter is
varying to follow the variation of solar activities with periods around 11 year.
Research on solar activities influence at precipitation variability over
Indonesia during 105 years (1900 – 2005) conducted with the analysis of
wavelet and empirical correlation at annual rainfall data, December, January,
February (DJF) season data, and June, July, August (JJA) season data that
grouped with fuzzy clustering methods. Through the combination of fuzzy
clustering method, wavelet transform, and correlation method clarify that
precipitation in Indonesia influenced by long-term solar activities. The
similarity between rainfall periodicity and that of solar activity, especially
about 11- and 22- year is one of the indications of the effect of solar activity
on the Indonesian climate parameter. Correlation analyzes using 11 year-
running moving averages, showed that the pattern of rainfall anomaly
changes follows the pattern of solar activity variability, although they are
varies in phase and sometimes are out of phase with it and move ahead in
about 15-20 years. Meanwhile, results shows that variation of rainfall in
western cluster of Indonesian have a good correlation with a long-term solar
activity with approximatelly-11 years solar cycle length indicators, and the
value of the coefficient correlation reaching up to r = 0.75. On the contrary,
results shows that variation of rainfall in Eastern cluster of Indonesian have
a good correlation with solar activity variation and the value of the coefficient
correlation reaching up to r = 0.81.

ABSTRAK

Aktivitas matahari dapat mempengaruhi parameter iklim jangka


panjang. Radiasi ultraviolet, radiasi tampak (visible) dan radiasi panas adalah
faktor utama yang mempengaruhi parameter iklim bumi. Radiasi-radiasi ini
bervariasi mengikuti variasi aktivitas matahari dengan periode sekitar 11
tahun. Penelitian pengaruh aktivitas matahari pada variabilitas curah hujan
di atas Indonesia selama 105 tahun (1900-2005) dilakukan dengan analisis
wavelet dan korelasi empirik pada data variasi tahunan curah hujan, musim

149
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 5 No. 2 Juni 2008:149-168

DJF dan JJA yang telah dikelompokkan dengan metode fuzzy clustering.
Melalui kombinasi metode fuzzy clustering, wavelet, dan metode korelasi
memperjelas bahwa curah di Indonesia dipengaruhi oleh aktivitas matahari
jangka panjang. Kesamaan periodisitas curah hujan dengan aktivitas
matahari, terutama periode -11 dan 22-tahun, merupakan indikasi pertama
pengaruh aktivitas matahari pada variabilitas iklim Indonesia. Dari hasil
analisis keterkaitan antara bilangan sunspot dan curah hujan dengan
menggunakan pemulusan rata-rata bergerak 11 tahun dari rata-rata
tahunan, curah hujan cenderung mengikuti pola variasi aktivitas matahari
jangka panjang walaupun variasi curah hujan ada yang sefasa dan yang
mendahului, variasi bilangan sunspot berkisar 15-20 tahun. Sementara itu,
hasil analisis menunjukkan bahwa variasi curah hujan di cluster Indonesia
Barat mempunyai korelasi yang baik dengan aktivitas matahari jangka
panjang dengan indikator panjang siklus matahari sekitar 11 tahun, dan
koefisien korelasinya mencapai r = 0,75. Sedangkan variasi curah hujan di
cluster Indonesia Timur memiliki korelasi yang baik dengan variasi siklus
matahari-11 tahun dan koefisien korelasinya bisa mencapai 0,81.
Kata kunci : Variabilitas curah hujan, Aktivitas matahari, Panjang siklus
matahari, Fuzzy Clustering

1 PENDAHULUAN
Aktivitas matahari menyebabkan perubahan-perubahan besar dari
plasma dan populasi partikel-partikel energetik, dan perubahan-perubahan
ini berakibat pada Antariksa yang mempengaruhi bumi dan lingkungannya.
Cuaca antariksa dapat berdampak pada atmosfer atas dan dapat
mempengaruhi variasi iklim jangka panjang. Keluaran energi matahari
diketahui berubah mengikuti variasi siklus aktivitas matahari dengan periode
utama sekitar 11 tahun dan periode yang lebih panjang. Zhao dkk (2003)
melakukan analisis spektral wavelet pada bilangan sunspot yang meng-
hasilkan beberapa periode yang jelas antara lain, sekitar 11, 22, 33, 78, dan
179 tahun, dan bervariasi terhadap waktu. Periode sekitar 11 tahun (Siklus
Schwabe) terkait dengan siklus bilangan sunspot, 22 tahun (siklus magnetik
Hale) terkait dengan perubahan magnetik matahari, 33 tahun terkait dengan
siklus Bruckner (1890), dan 78 tahun terkait dengan siklus Gleissberg (1944)
aktivitas matahari. Rentang panjang siklus matahari 11 tahun juga tidak
konstan tetapi bervariasi terhadap waktu.
Aktivitas matahari dapat mempengaruhi parameter iklim, termasuk
variasi curah hujan dengan berbagai cara dan skala waktu yang berbeda.
Pertama, karena matahari merupakan penyumbang energi terbesar bagi
permukaan bumi, maka setiap ada perubahan keluaran radiatif matahari
juga akan mempengaruhi kesetimbangan energi permukaan bumi. Kedua,
perubahan spektrum radiasi matahari yang bervariasi mengikuti siklus
matahari 11 tahun terutama pada pita radiasi ultraviolet (UV) matahari,
150
Pengaruh Aktivitas Matahari pada Variasi ..... (Wilson Sinambela et al.)

pengaruhnya bertambah pada lapisan stratosfer yang pada gilirannya dapat


mempengaruhi troposfer bawah (tempat fenomena iklim). Terakhir, matahari
dapat juga mempengaruhi awan dan aktivitas hujan melalui media sinar
kosmik galaksi (Galactic Cosmic Ray/GCR) yang merupakan sumber ion-ion.
Karena pembentukan awan merupakan fungsi dari suhu lingkungan (suhu
ambient), setiap perubahan dari suhu ambient atmosfer bumi langsung
mempengaruhi pembentukan tetesan air yang akan mempengaruhi
variabilitas curah hujan.
Sejumlah studi (Hiremath dan Mandi, 2004) menunjukkan forcing
matahari pada iklim global bumi dan lingkungan. Beberapa gejala, parameter
dan variabel di permukaan bumi (baik skala global, regional, maupun lokal)
menunjukkan tanggapan yang signifikan terhadap variasi keluaran matahari
antara lain adalah suhu permukaan laut (SST) di tiga lautan utama (lautan
Atlantik, Pasifik dan lautan Hindia), suhu permukaan daratan, curah hujan,
konsentrasi ozon, Quasi-biennial Oscillation (QBO), ketinggian isobar tertentu,
dan fluks sinar kosmik galaksi dengan liputan awan. Studi sebelumnya
(Anantha Krishnan dan Parthasarathy, 1985; Beer et al., 1990; Labitzke dan
van Loon, 1997; Parthasarathy et al., 1993; Haigh, 2001; Hiremath dan
Mandi, 2004; Bhattacharya dan Narashima 2005; Hiremath, 2005)
menunjukkan korelasi kuat antara aktivitas matahari dan variabilitas curah
hujan monsun. Pengaruh aktivitas matahari terhadap curah hujan juga
memiliki karakteristik lokal yang jelas, bergantung pada waktu, posisi
geografik dalam skala lokal, regional bahkan global dengan waktu tunda dan
tanpa waktu tunda dengan korelasi positif, negatif atau tidak berkorelasi.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas penelitian pengaruh
aktivitas matahari pada variasi iklim Indonesia berdasarkan kajian dan
analisis data deret waktu variasi curah hujan di Indonesia dengan tujuan
untuk mengetahui berapa besar pengaruh aktivitas matahari pada variasi
curah hujan jangka panjang di Indonesia. Jika ketergantungan curah hujan
terhadap aktivitas matahari diketahui, diharapkan prediksi iklim jangka
panjang di Indonesia dapat dilakukan lebih teliti, sehingga dapat digunakan
sebagai masukan untuk mengurangi dampaknya.

2 DATA DAN METODE


2.1 Data
Parameter aktivitas matahari yang digunakan dalam penelitian ini
adalah deret waktu data bilangan sunspot bulanan yang bersumber dari
kompilasi Royal Observatory of Belgium dan Sunspot Index Data Center (SIDC)
(http://www.astro.oma.be/SIDC), dan data variasi panjang siklus matahari
(Solar Cycle Length/SCL) (Gleissberg, 1944). Sementara parameter iklim yang
dipergunakan adalah deret waktu data variasi anomali curah hujan di atas
wilayah Indonesia {(95°- 145°) BT; (10°LU-15°LS)} yang diambil dari data
global anomali curah hujan bulanan NOAA dengan grid (5°x5°) dalam
151
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 5 No. 2 Juni 2008:149-168

rentang tahun 1900-2005 (http://www.ncdc.noaa.gov/oa/climate/research/


ghcn/ghcngrid_prcp.html).
Wilayah Indonesia yang luas memiliki anomali curah hujan yang
berbeda-beda untuk masing masing grid selama rentang waktu tahun 1900-
2005 (105 tahun data). Dengan menggunakan teknik Data Mining akan lebih
mudah memisahkan data anomali curah hujan berdasarkan tingkat
kemiripan nilai anomali curah hujan antar grid dalam rentang 105 tahun
data, sehinggga pengolahan dan analisis data lebih mudah dilakukan. Teknik
clustering yang dilakukan adalah fuzzy clustering menggunakan perangkat
lunak NCSS 2007 yang diambil dari internet. Data anomali curah hujan hasil
clustering ini kemudian diolah menggunakan teknik spektral wavelet untuk
melihat sinyal-sinyal yang dominan dari aktivitas matahari pada anomali
curah hujan di Indonesia.

2.2 Metode
Tahap awal dikembangkan basis data acuan untuk keseluruhan
tahapan penelitian, yaitu deret waktu data bilangan sunspot, dan data
anomali curah hujan di atas Indonesia. Pada tahap pertama yang dilakukan
adalah mengekstraksi data anomali curah hujan bulanan per grid di atas
wilayah Indonesia {(95°-145°) BT; (10° LU-15°LS)} yang diambil dari data
global NOAA grid (5°x5°) untuk kurun waktu tahun 1900-2005, dengan
menggunakan perangkat lunak khusus yang dibuat dalam bahasa FORTRAN.
Data anomali curah hujan ini kemudian dihitung rataan tahunannya. Pada
saat bersamaan, juga dilakukan ekstraksi data anomali curah hujan bulanan
di atas Indonesia untuk bulan Desember, Januari dan Februari (seterusnya
disebut musim DJF) dan untuk bulan Juni, Juli, dan Agustus (seterusnya
disebut musim JJA) untuk setiap grid. Data Musim DJF dan JJA ini juga
diolah menjadi rataan tahunan. Kemudian dilakukan pengclusteran data
tersebut dengan menggunakan teknik fuzzy clustering yang terdapat pada
perangkat lunak NCSS 2007, baik untuk keseluruhan data anomali curah
hujan musim DJF dan JJA, sehingga menghasilkan cluster-cluster yang
memiliki pola kemiripan nilai anomali curah hujan untuk masing-masing
grid di wilayah Indonesia.
Tahap berikutnya melakukan analisis spektral wavelet pada cluster-
cluster anomali curah hujan di Indonesia dengan bantuan piranti lunak The
Weighted Wavelet Z-Transform/WWZ (Foster, 1996). Maksudnya untuk
menyelidiki sinyal-sinyal dominan pada anomali curah hujan di Indonesia.
Setelah diketahui sinyal-sinyal dominannya terutama sinyal-sinyal yang
terkait dengan aktivitas matahari, maka tahap selanjutnya dilakukan analisis
korelasi empirik untuk mengetahui berapa besar pengaruh aktivitas matahari
jangka panjang pada anomali curah hujan di Indonesia.

152
Pengaruh Aktivitas Matahari pada Variasi ..... (Wilson Sinambela et al.)

3 HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1 Hasil Clustering Data Anomali Curah Hujan Indonesia
Pengelompokan (Clustering) data anomali curah hujan di Indonesia
yang telah diekstrak dari data bulanan global dalam kurun waktu tahun
1900 – 2005 dengan bantuan teknik fuzzy clustering menggunakan
perangkat lunak NCSS 2007 pada data anomali curah hujan Indonesia, data
musim DJF, dan musim JJA yang menghasilkan dua cluster besar. Gambar
3-1 menunjukkan pengclusteran anomali curah hujan Indonesia yang
menghasilkan dua cluster besar yaitu, cluster Indonesia Barat, berpusat di
sekitar Pontianak dengan posisi geografis (0° 01,23’20” LS; 109° 21,18’31”
BT), dan cluster Indonesia Timur, berpusat di sekitar Merauke dengan
posisi geografis (8° 29,45’65”LS; 140° 23,40’16” BT). Dengan proses yang
sama dilakukan pengclusteran terhadap data anomali curah hujan musim
DJF untuk tiap-tiap grid dalam kurun waktu yang sama. Pengclusteran
anomali curah hujan musim DJF ini juga menghasilkan dua cluster besar
seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 3-2. Pusat cluster Indonesia Barat
masih berpusat di sekitar Pontianak, sedangkan untuk pusat cluster
Indonesia Timur bergeser ke arah selatan di sekitar Teluk Carpentaria
(Australia) dengan posisi geografis (12,5° LS; 137,5° BT). Sementara Gambar 3-3
menunjukkan pengclusteran anomali curah hujan musim JJA, yang juga
menghasilkan dua cluster besar. Pusat cluster Indonesia Barat masih
berpusat di sekitar wilayah Pontianak, dan pusat cluster Indonesia Timur
bergeser ke arah utara di sekitar Jayapura dengan posisi geografis
(2°32,35’37”LS; 140° 42,53’86” BT). Dua cluster besar hasil pengelompokan
ini selanjutnya disingkat sebagai cluster KIB untuk cluster Indonesia Barat,
dan cluster KIT untuk cluster Indonesia Timur. Selain itu, proses fuzzy
clustering juga terlihat bahwa batas antar cluster sama dengan batas daerah
hujan antara KIB dan KIT yaitu pada garis bujur 120° BT.

3.2 Analisis Spektral Wavelet Anomali Curah Hujan Indonesia


3.2.1 Analisis spektral wavelet anomali curah hujan Indonesia
Analisis spektral wavelet dari data anomali curah hujan Indonesia,
data setiap anggota cluster musim DJF dan musim JJA dilakukan dengan
menggunakan perangkat lunak WWZ. Maksudnya adalah untuk menyelidiki
sinyal-sinyal dominan yang muncul pada anomali curah hujan tersebut,
khususnya sinyal-sinyal yang berasal dari aktivitas matahari. Gambar 3-4
menunjukkan hasil analisis WWZ dari anomali curah hujan tahunan
Indonesia.

153
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 5 No. 2 Juni 2008:149-168

Pontianak
Merauke

Gambar 3-1: Pengelompokan (Fuzzy clustering) anomali curah hujan


Indonesia menghasilkan 2 (dua) cluster besar. Cluster KIB
berpusat di sekitar Pontianak (0°01 23’20”LS; 109°21,18’31”BT),
dan cluster KIT berpusat di sekitar Merauke (8°29,45’65”LS;
140°23,40’16”BT) (bulatan merah). Dua cluster anomali curah
hujan ini dibatasi oleh garis bujur 120° BT

Pontianak

Carpentaria

Gambar 3-2: Pengelompokan (Fuzzy clustering) anomali curah hujan musim


DJF menghasilkan 2 (dua) cluster besar. Cluster KIB berpusat
di sekitar Pontianak (0° 01,23’20”LS; 109°21,18’31”BT) dan cluster
KIT bergeser ke selatan yang berpusat di sekitar di Teluk
Carpertaria Australia (12,5°LS; 137,5°BT) (bulatan merah). Dua
cluster anomali curah hujan ini dibatasi oleh garis bujur 120° BT.

154
Pengaruh Aktivitas Matahari pada Variasi ..... (Wilson Sinambela et al.)

Pontianak Jayapura

Gambar 3-3: Pengelompokan (Fuzzy clustering) anomali curah hujan musim


JJA menghasilkan 2 (dua) cluster besar. Cluster KIB berpusat di
sekitar Pontianak (0° 01,23’20” LS; 109° 21,18’31” BT), dan
cluster KIT kembali bergeser ke arah utara yang berpusat di
sekitar Jayapura (2°32,35’37”LS; 140°42,53’86”BT) (bulatan
merah). Dua cluster anomali curah hujan ini dibatasi oleh garis
bujur 120° BT

50
40
30
m
n(m)

20
10
u
hHja

0
a

-10
u
Cr

-20
-30
-40
-50
1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010
Tahun

70
10
40
60
8 2.44
9.10 11.11
50
a) b)
50
6.90
Perioda (Tahun)

6
22.22
WWZ

40

4 30

2 11.11 20
2.44
22.2
40 10
0
0 10 20 30 40 50 60 70
Perioda (Tahun) 1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000
Tahun

Gambar 3-4: Panel atas, data rataan tahunan variasi anomali curah hujan
Indonesia dalam kurun waktu tahun 1900-2005. Panel bawah,
a) Hasil analisis WWZ variasi anomali curah hujan Indonesia,
dan b) evolusi kontur dari periode dominannya. Tampak
sejumlah sinyal dengan puncak dan evolusi periodenya sekitar;
2,4 tahun (kuat), 6,9 tahun (sedang), (9,10-11,11) tahun (sangat
kuat), 22,22 tahun (sedang), dan (40-50) tahun (sangat kuat)

155
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 5 No. 2 Juni 2008:149-168

Sinyal-sinyal dengan periode sekitar 2,4 tahun tampak kuat, dan 6,9
tahun tampak sedang terkait dengan efek Quasi Biennual Oscillation (QBO),
dan El Nino Sourthen Oscillation (ENSO). Sinyal-sinyal dengan periode sekitar,
(9, 10-11, 11) tahun tampak kuat terkait dengan efek siklus aktivitas
matahari-11 tahun, 22,22 tahun tampak sedang terkait dengan efek siklus
magnetik Hale, dan (40-50) tahun tampak sangat kuat terkait dengan efek
siklus aktivitas matahari antar dekadean. Gambar 3-4a menunjukkan puncak-
puncak amplitudo dari setiap periode, sementara Gambar 3-4b menunjukkan
kontur evolusi dari setiap periode anomali curah hujan yang didapat dengan
bantuan piranti lunak Winsurf, yang menyatakan bahwa setiap periode tidak
konstan, tetapi bervariasi terhadap waktu.
Gambar 3-5 menunjukkan hasil analisis spektral WWZ dari rataan
tahunan anomali curah hujan Indonesia untuk cluster KIB. Tampak adanya
sinyal-sinyal aktivitas matahari pada anomali curah hujan untuk cluster KIB
meskipun lemah. Sinyal QBO dan ENSO tampak sangat kuat dibandingkan
dengan sinyal-sinyal dari aktivitas matahari dengan periode sekitar 10,53
tahun, 16,39 tahun terkait dengan efek pasang surut bulan-matahari, 30,3
tahun terkait dengan siklus Bruckner aktivitas matahari, dan periode sekitar
76,92 tahun tampak sedang terkait dengan siklus Glessberg aktivitas
matahari.
Gambar 3-6 menunjukkan hasil analisis spektral WWZ dari anomali
curah hujan Indonesia untuk cluster KIT. Tampak adanya beberapa periode
yang muncul untuk cluster KIT. Sinyal dengan periode sekitar 5,29 tahun
tampak sangat kuat terkait dengan efek fenomena ENSO, tetapi periode
sekitar 12,99 tahun yang terkait dengan efek siklus aktivitas matahari 11
tahun lebih menonjol. Tampak juga sinyal-sinyal jangka panjang dengan
periode sekitar 21,28 tahun yang terkait dengan siklus magnetik Hale, dan
37,04 tahun yang terkait dengan siklus matahari antar dekadean tetapi
lemah. Dari kedua gambar tersebut tampak bahwa aktivitas matahari
mempengaruhi anomali curah hujan Indonesia, baik untuk cluster KIB, dan
cluster KIT, meskipun tidak sebesar pengaruh fenomena QBO dan ENSO.

156
Pengaruh Aktivitas Matahari pada Variasi ..... (Wilson Sinambela et al.)

50
40
30

m
(m)
20

n
10

Hja
u
0

ah
-10
u
Cr -20
-30
-40
-50
1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010
Tahun

100

8 90

7 5.41 80

6
70
5

Perioda(Tahun)
WWZ

60
4 76.92
50
3 10.53
30.30
2 16.39 40

1 30

0 20
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
10
Peri oda
1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000
Tahun

a) b)
Gambar 3-5: Panel atas, data variasi rataan tahunan anomali curah hujan
Indonesia untuk cluster KIB dalam kurun waktu tahun 1900-
2005. Panel bawah, a) Hasil analisis WWZ variasi data anomali
curah hujan cluster KIB, dan b) evolusi kontur dari periode
dominannya. Tampak sejumlah sinyal dengan puncak dan evolusi
periodenya sekitar; 4-6 tahun (sangat kuat ), (10-11) tahun
(sedang), 16,39 tahun (sedang), 25 tahun (lemah), 33,33 tahun
(lemah), dan sekitar 76,92 tahun (sedang)
70

50
m
(m)

30
H
liC

10
n
Aoma

-10

-30

-50
1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010
Tahun
100

8 90

7 5.29 12.99 80

6
70

5
Perioda(Tahun)

60
WWZ

4
21.28 50
3
2 37.04 40

1 30

0 20

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
10
Perioda
1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000
Tahun

a) b)
Gambar 3-6: Panel atas, data variasi rataan tahunan anomali curah hujan
tahunan Indonesia untuk cluster KIT dalam selang tahun 1900-
2005. Panel bawah, a) Hasil analisis WWZ variasi data anomali
curah hujan cluster KIT, dan b) evolusi kontur dari periode
dominannya. Tampak sejumlah sinyal dengan puncak dan evolusi
periodenya sekitar; 5,29 tahun (sangat kuat), 12,99 tahun (sangat
kuat), 21, 28 tahun (lemah), dan sekitar 37,04 tahun (lemah)
157
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 5 No. 2 Juni 2008:149-168

Selain itu, tampak bahwa pengaruh aktivitas matahari lebih besar


untuk cluster KIT daripada untuk cluster KIB. Hal ini diduga disebabkan oleh
perbedaan penyerapan energi radiasi matahari. Untuk cluster KIT terdapat
lautan lebih luas sehingga lebih banyak menyerap energi radiasi matahari
dibandingkan dengan cluster KIB. Seperti diketahui energi radiasi matahari
yang dipancarkan akan bertambah dengan bertambahnya tingkat aktivitas
matahari.

3.2.2 Analisis spektral wavelet anomali curah hujan Indonesia musim DJF
Dengan proses yang sama dilakukan analisis spektral wavelet pada
anomali curah hujan musim DJF untuk cluster KIB, dan untuk cluster KIT.
Gambar 3-7 menunjukkan analisis WWZ pada anomali curah hujan musim
DJF untuk cluster KIB dalam kurun waktu yang sama. Dari gambar
tersebut, sinyal dengan periode sekitar (1,5 dan 3,7) tahun tampak sangat
kuat dibandingkan dengan sinyal-sinyal aktivitas matahari dengan periode-
periode sekitar (9,5; 16,67; 25; 33,33, dan 66,67) tahun yang lemah. Sinyal
dengan periode sekitar 9,5 tahun terkait dengan efek siklus matahari 11
tahun, 16,67 tahun terkait dengan efek pasang surut bulan-matahari, 25
tahun terkait dengan efek siklus magnetik Hale, 33,33 tahun terkait dengan
efek siklus Bruckner, dan sekitar 66,67 tahun terkait dengan efek siklus
Gleissberg aktivitas matahari.

150

100
m
(m)

50
H
liC

0
n
Aoma

-50

-100
DJF Cl1
-150
1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010
Tahu n

100

8 90
3.70
7 80

6 70

5 60
erioda(Tahun)
WWZ

4 50
16.67
25.00 33.33
P

3 9.52 40
66.67
2 30

1 20

0 10

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000
Tahun
Perioda(Tahun)

a) b)
Gambar 3-7: Panel atas, variasi data anomali curah hujan musim DJF untuk
cluster KIB dalam kurun waktu tahun 1900-2005. Panel bawah, a)
Hasil analisis WWZ variasi data anomali curah hujan cluster
KIB, dan b) evolusi kontur dari periode dominannya. Tampak
sejumlah sinyal dengan puncak dan evolusi periodenya sekitar;
3,70 tahun (sangat kuat), 9,5 tahun (lemah), 16,67 tahun (lemah),
25 tahun (lemah), 33,33 tahun (lemah), dan 66,67 tahun (lemah)
158
Pengaruh Aktivitas Matahari pada Variasi ..... (Wilson Sinambela et al.)

Gambar 3-8 menunjukkan hasil analisis WWZ dari anomali curah


hujan musim DJF untuk cluster KIT. Dari gambar tersebut, sinyal-sinyal
dengan periode sekitar (1,3-6,45) tahun tampak sangat kuat dibandingkan
dengan sinyal-sinyal aktivitas matahari dengan periode (20, dan 33,33)
tahun. Sinyal dengan periode sekitar 20 tahun terkait dengan efek siklus
magnetik Hale (22 tahun), dan 33,33 tahun terkait dengan efek siklus
Bruckner aktivitas matahari. Dari kedua gambar tersebut tampak bahwa efek
fenomena QBO dan ENSO memberikan pengaruh yang lebih besar pada
anomali curah hujan untuk cluster Indonesia Barat dan cluster Indonesia
Timur dibandingkan dengan pengaruh aktivitas matahari jangka panjang.
Seperti diketahui, pada bulan-bulan musim DJF posisi matahari berada di
selatan khatulistiwa. Hal ini dapat menjelaskan mengapa sinyal-sinyal
matahari lebih kuat pada anomali curah hujan untuk cluster KIT (walaupun
lemah) dibandingkan dengan sinyal-sinyal aktivitas matahari pada anomali
curah hujan untuk cluster KIB. Hal ini juga diduga menyebabkan pengaruh
terhadap terjadinya musim kering di cluster KIT dan musim basah di cluster
KIB.

320

240 DCF Cl2


m)

160
H (m

80
maliC

0
n
Ao

-80

-160

-240
1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010
Tahu n
100

10
1.33 90
9
80
8
7 3.03 70

6
WWZ

60
Perioda(Tahun)

5
33.33 50
4 20
3 40

2 30

1
20
0
10
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Perioda 1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000
Tahun

a) b)
Gambar 3-8: Panel atas, variasi data anomali curah hujan musim DJF untuk
cluster KIT dalam kurun waktu tahun 1900-2005. Panel bawah,
a) Hasil analisis WWZ variasi data anomali curah hujan cluster
KIT, dan b) evolusi kontur dari periode dominannya. Tampak
sejumlah sinyal dengan puncak dan evolusi periodenya sekitar;
1,33 tahun (sangat kuat), 3,03 tahun (sangat kuat ), 20 tahun
(lemah) , dan 33,33 tahun

159
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 5 No. 2 Juni 2008:149-168

3-2-3 Analisis spektral wavelet anomali curah hujan Indonesia musim


JJA
Dengan proses yang sama dilakukan analisis spektral wavelet pada
anomali curah hujan untuk musim JJA. Gambar 3-9 menunjukkan hasil
analisis WWZ pada anomali curah hujan musim JJA untuk cluster KIB. Dari
gambar tersebut, sinyal dengan periode sekitar 20 tahun tampak lebih kuat
terkait dengan efek siklus magnetik Hale dibandingkan dengan sinyal-sinyal
QBO dan ENSO dengan periode sekitar (1,3 dan 6) tahun. Selain itu muncul
juga sinyal aktivitas dengan periode sekitar 50 tahun yang tampak lemah
terkait dengan siklus aktivitas matahari antar dekadean.

200

150
JJA CL1
m)

100
H(m

50
omaliC

0
An

-50

-100

-150
1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010
T ahun

100
14
20 90
12 3.64
80

10

8 6
a) 70
b)
WWZ

60
un)
ah

6
erioda(T

50

50
P

4 40

2 30

0 20

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
10

Perioda (tahun)
1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000
Tahun

Gambar 3-9: Panel atas, variasi data anomali curah hujan musim JJA untuk
cluster KIB dalam kurun waktu tahun 1900-2005. Panel
bawah, a) Hasil analisis WWZ variasi data anomali curah hujan
cluster KIB, dan b) evolusi kontur dari periode dominannya.
Tampak sejumlah sinyal dengan puncak dan evolusi periodenya
sekitar (3,64-6) tahun (sedang), 20 tahun (sangat kuat), dan 50
tahun (lemah)

Gambar 3 -10 menunjukkan hasil analisis WWZ anomali curah hujan


musim JJA untuk cluster KIT. Tampak bahwa sinyal-sinyal QBO dan ENSO
dengan periode sekitar (1,3 dan 3,64) tahun muncul sangat kuat
dibandingkan dengan sinyal-sinyal aktivitas matahari dengan periode sekitar
(8,7-11,11,dan 25) tahun. Periode sekitar (8,7-11,11) tahun terkait dengan
siklus aktivitas matahari 11 tahun dan 25 tahun terkait dengan efek siklus
magnetik Hale.

160
Pengaruh Aktivitas Matahari pada Variasi ..... (Wilson Sinambela et al.)

150

JJA Cl2
100

H m
(m)
50
mliC
a

0
n
Ao

-50

-100
1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010
T ahun
100

9 90
3.64
8
7 a) 80

70
b)
6 25
60

n)
WWZ

da(Thu
a
4 8.7
50

Prio
e
3 11.11 40

2 30

1
20

0
10
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Perioda (Tahun) 1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000
Tahun

Gambar 3-10: Panel atas, variasi data anomali curah hujan musim JJA untuk
cluster KIT dalam kurun waktu tahun 1900-2005. Panel
bawah, a) Hasil analisis WWZ variasi data anomali curah hujan
cluster KIT, dan b) Evolusi kontur dari periode dominannya.
Tampak sejumlah sinyal-sinyal dengan puncak dan evolusi
periodenya sekitar; 3,64 tahun (sangat kuat), (8,7-11,11) tahun
(lemah), dan sekitar 25 tahun (sangat kuat)

Pada bulan-bulan musim JJA posisi matahari berada di sebelah utara


khatulistiwa, sehingga di wilayah Indonesia terjadi musim kering untuk
cluster KIB, dan musim basah untuk cluster KIT. Sinyal-sinyal aktivitas
matahari pun muncul sangat kuat pada anomali curah hujan untuk cluster
KIB (terutama siklus magnetik Hale 22 tahun) dan berskala sedang pada
anomali curah hujan untuk cluster KIT.

3-3 Hasil Analisis Korelasi Curah Hujan Indonesia dengan Aktivitas


Matahari
Dari hasil-hasil analisis spektral wavelet anomali curah hujan baik
untuk anomali curah Indonesia, maupun untuk setiap anggota cluster yang
memiliki kesamaan periodisitas dengan aktivitas matahari terutama dengan
periode-periode sekitar (9-11), (22-25), (30-50), dan (67-76,92) tahun,
menunjukkan adanya pengaruh aktivitas matahari jangka panjang pada
anomali curah hujan di Indonesia. Untuk menyelidiki lebih lanjut berapa
besar pengaruh aktivitas matahari jangka panjang pada rataan tahunan dari
anomali curah hujan di Indonesia dilakukan analisis korelasi empirik setelah
dilakukan terlebih dahulu pemulusan dengan rata-rata bergerak 11, 22, 33
tahun dari ke dua set data yang dikorelasikan. Tujuan pemulusan ini adalah
untuk mengeliminasi pengaruh-pengaruh fenomena QBO dan ENSO yang
memiliki periode lebih pendek daripada periode aktivitas matahari. Zhao dkk
(2003) juga melaporkan bahwa selama rentang waktu (1870-2002) terjadi
161
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 5 No. 2 Juni 2008:149-168

persitiwa El.Nino sebanyak 32 kali yang jelas sangat mempengaruhi curah


hujan di wilayah Indonesia.
Gambar 3-11 menunjukkan hubungan antara rataan tahunan
bilangan sunspot dan variasi anomali curah hujan Indonesia setelah
melakukan pemulusan dengan rata-rata bergerak masing-masing, 11, 22,
dan 33 tahun.
100 8 8 y = 0.0758x - 5.3582
6

Anomali Curah Hujan (mm)


90 SSN-11 thn 6 R2 = 0.1831

An. Curah Hujan (mm)


4 4 r =0.43
80 ACH-11 thn
Bilangan Sunspot

2 2
70
0 0
60 -2
-2
50 -4
-4
40
30
a) -6
-6
-8
-8
-10
20 -10 30 40 50 60 70 80 90 100
1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 Bilangan sunspot
Tahun

4
90 4 y = 0.0605x - 4.0469
3

Anomali Curah Hujan (mm)


SSN- 22 thn 3 R2 = 0.295
80 ACH-22 thn 2 r =0.543
2
1
Bilangan Sunspot

1
70 0
0
-1
60 -1 -2
-2 -3
50
-3 -4
40 b) -4 -5
-5 -6
30 -6 30 40 50 60 70 80 90
1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 Bilangan sunspot
Tahun

90 3.4 4
Anomali Curah hujan (mm)

85 SSN-33 thn 3 y = 0.0677x - 4.3638


80 2.4
ACH-33 t hn 2 R2 = 0.4061
An. Curah Hujan (mm)

75 r = 0,64
1.4
Bilangan Sunspot

70 1
65 0.4 0
60
-0.6 -1
55
50 -2
-1.6
45
40
35
c) -2.6
-3
-4
30 -3.6 35 45 55 65 75 85
1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 Bilangan sunspot
Tahun

Gambar 3-11: Panel kiri; Hubungan antara rataan tahunan dari bilangan
sunspot dan anomali curah hujan Indonesia masing-masing
untuk, a) rata-rata bergerak 11 tahun, b) 22 tahun, dan c) 33
tahun. Panel kanan; Koefisien korelasi antara bilangan
sunspot dan anomali curah hujan setelah pemulusan masing-
masing sebesar, a) r = 43 (RMA-11 tahun), b) r = 543 (RMA - 22
tahun), dan c) r = 0,64 (RMA - 33 tahun)

Sebenarnya, penggunaan rata-rata bergerak (running mean moving


averages/RMA) adalah bentuk khusus dari low-pass filter dan pemulusan
dengan rata-rata bergerak akan memperlemah kebebasan himpunan data,
karena tingkat kebebasan akan berkurang, tetapi koefisien korelasi yang
diperoleh akan bertambah. Dari Gambar 3-11, tampak bahwa pemulusan
data masing-masing dengan rata-rata bergerak 11, 22, dan 33 tahun variasi
curah hujan dari rataan tahunan cenderung mengikuti pola bilangan
sunspot. Makin tinggi derajat pemulusan data, maka hubungan kedua
parameter makin baik yang dibuktikan oleh koefisien korelasinya yang
meningkat dari r = 0,061 (untuk rata-rata tahunan) menjadi r = 0,43 (pemulusan
162
Pengaruh Aktivitas Matahari pada Variasi ..... (Wilson Sinambela et al.)

dengan rata-rata bergerak-11 tahun), 0.543 (pemulusan dengan rata-rata


bergerak-22 tahun), dan 0,64 (pemulusan dengan rata-rata bergerak-33
tahun). Ini menunjukkan bahwa aktivitas matahari jangka panjang memberikan
kontribusi yang besar mempengaruhi curah hujan di Indonesia. Hasil ini juga
didukung oleh hasil analisis wavelet anomali curah hujan tahunan di
Indonesia (Gambar 3-4) bahwa aktivitas matahari jangka panjang, (terutama
siklus 11 tahun dan 40-50 tahun sangat kuat) memberikan pengaruh yang
kuat pada curah hujan di Indonesia
Dengan cara yang sama dilakukan analisis korelasi antara rataan
tahunan dari bilangan sunspot dan curah hujan Indonesia untuk cluster KIB
setelah dimuluskan dengan rata-rata bergerak 11 tahun curah hujan dan
bilangan sunspot yang hasilnya ditunjukkan pada Gambar 3-12.
100 18
16
90 SSN 14

urahhujan(mm)
12
ilanganSunspot

80 CH KIB
10
8
70 6
60 4
2

n. C
50 0
B

-2

A
40 -4
-6
30 -8
1900 1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000
T ahun

Gambar 3-12: Hubungan antara rataan tahunan dari bilangan-bilangan


sunspot dan anomali curah hujan Indonesia untuk cluster KIB
setelah dimuluskan dengan rata-rata bergerak 11 tahun
dalam kurun waktu 1900-2005. Tampak bahwa anomali curah
hujan untuk cluster KIB mendahului sekitar (15-20) tahun
daripada perubahan bilangan sunspot

Dari Gambar 3-12, tampak jelas bahwa variasi anomali curah hujan
untuk cluster KIB cenderung mengikuti pola bilangan sunspot, tetapi pola
curah hujan mendahului sekitar (15-20) tahun daripada perubahan bilangan
sunspot. Hasil ini, mirip dengan yang diketemukan oleh Friis-Christensen
dan Lassen (1991), ketika mereka menghubungkan antara bilangan sunspot
dan suhu permukaan global selama kurun waktu tahun 1750-1990, dengan
suhu permukaan mendahului sekitar 20 tahun daripada perubahan bilangan
sunspot, dan kemudian, ternyata berkorelasi sangat baik dengan panjang
siklus matahari. Hasil analisis WWZ dari anomali curah hujan untuk cluster
KIB dengan periode lebih panjang sekitar 76,92 tahun seperti yang telah
ditunjukkan dalam Gambar 3-5 yang terkait dengan siklus Gleissberg
aktivitas matahari tampak lebih kuat mempengaruhi curah hujan untuk
cluster KIB dibandingkan dengan pengaruh aktivitas matahari lainnya
dengan periode yang lebih pendek daripada siklus Gleissberg tersebut.
Oleh karena itu, maka anomali curah hujan untuk cluster KIB
dihubungkan dengan panjang siklus matahari menggunakan filter 12221
(SCL12221) sebagai indikator aktivitas matahari. Hasilnya ditunjukkan
163
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 5 No. 2 Juni 2008:149-168

dalam Gambar 3-13. Dari gambar tersebut, tampak bahwa pola variasi
curah hujan cenderung mengikuti pola panjang siklus matahari. Data variasi
curah hujan yang bersesuaian waktunya dengan data panjang siklus
matahari ditentukan dengan metode fitting. Koefisien korelasi dihitung dengan
anggapan bahwa hubungan kedua set data adalah linier. Tampak bahwa
curah hujan untuk cluster KIB ternyata berkorelasi baik dengan panjang
siklus matahari SCL12221, bukan dengan bilangan sunspot-nya. Koefisien
korelasi makin meningkat dengan meningkatnya derajat pemulusan dengan
rata-rata bergerak, dari koefisien korelasi 0,12 untuk deret waktu data
tahunan anomali curah hujan meningkat menjadi koefisien korelasi sebesar
r = 0,50 (untuk rata-rata bergerak 11 tahun), dan r = 0,75 (untuk rata-rata
bergerak 22 tahun). Seperti diketahui bahwa panjang siklus matahari 11
tahun tidak konstan, tetapi bervariasi terhadap aktivitas matahari.
Interpretasi fisis dari panjang siklus matahari adalah jika interval panjang
siklus matahari pendek menyatakan aktivitas matahari tinggi, akibatnya
energi radiasi yang dipancarkan oleh matahari lebih besar, sebaliknya
interval panjang siklus matahari lebih panjang menyatakan aktivitas
matahari rendah, akibatnya energi radiasi matahari yang dipancarkan oleh
matahari lebih rendah. Tampaknya parameter panjang siklus matahari
menjadi indikator dari variasi keluaran energi total matahari yang lebih
panjang dari 11 tahun, yang pada gilirannya berakibat pada variasi jangka
panjang dari curah hujan di cluster Indonesia Barat.

Hubungan SCL1221 dan rata-rata bergerak 11 thn di KIB


10.0 18
20
SCL12221
Anomali curah hujan (mm)

ACH 14 y = -10.079x + 109.44


10.2 15
R2 = 0.2448
Pjg. siklus matahari (Tahun)

Anomali Curah Hujan (mm)

10 r = 0,50
10.4 10

6
5
10.6
2 0
10.8
-2 -5

11.0
-6 -10
11.2 11.0 10.8 10.6 10.4 10.2 10.0
11.2 -10
190 0 19 10 19 20 193 0 19 40 1950 196 0 19 70 19 80 199 0 2 00 0 Panjang siklus mat ahari (Tahun)
Ta hun

Hubungan SCL 1221 dan rata-rata bergerak -22 tahun di KIB


10.0 14
10.1 SCL12221 14
ACH 12
Panjang siklus Matahari (tahun)

12 y = -14.174x + 152.3
Anomali Curah Hujan (mm)

10.2
Anomali Curah hujan (mm)

10 10
10.3 R2 = 0.5606
8 8 r = 0.75
10.4
10.5 6 6
10.6 4
4
10.7 2
2
10.8
0
0 -2
10.9
11.0 -2 -4

11.1 -4
-6
1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 11.2 11.0 10.8 10.6 10.4 10.2 10.0

Tahun Panjang siklus Matahari (Tahun)

Gambar 3-13: Panel kiri, analisis hubungan antara panjang siklus matahari
SCL12221 dan rataan tahunan anomali curah hujan setelah
dilakukan pemulusan dengan rata-rata bergerak masing-masing
11, dan 22 tahun untuk cluster KIT. Panel kanan, koefisien
korelasi antara panjang siklus matahari SCL12221 dan hujan
rata-rata bergerak 11 tahun, dan 22 tahun dari rataan tahunan,
masing-masing sebesar r = 0,50 dan r = 0,75

164
Pengaruh Aktivitas Matahari pada Variasi ..... (Wilson Sinambela et al.)

Gambar 3-14 menunjukkan hubungan antara rataan tahunan


bilangan sunspot dan anomali curah hujan Indonesia untuk cluster KIT
dalam rentang tahun 1900-2005, setelah dilakukan pemulusan dengan rata-
rata bergerak masing-masing dengan 11, 22 dan 33 tahun dari rataan
tahunan.
y = 0.1542x - 15.134
100 10 10
R2 = 0.2925
90 5 r = 0.54
5

An. Curahhujan (mm)


SSN 11 thn
Bilangan sunspot (mm)

An.Curah hujan (mm)


80 CH 11 thn 0 0

70 -5
-5
60 -10
-10
50 -15
-15
40 -20
-20
30 -25 30 40 50 60 70 80 90 100
1905 1915 1925 1935 1945 1955 1965 1975 1985 1995 Bilangan Sunspot
Tahun

90 6 6
4 4 y = 0.1895x - 16.89

An.Curah hujan (mm)


80 SSN 22th
Bilangan Sunspot (mm)

2
An.Curah Hujan (mm) 2 R2 = 0.4823
CH 22th 0 r = 0,694
0
70 -2
-2 -4
60 -4 -6
-6 -8
50 -10
-8
-12
-10 -14
40
-12 -16
30 -14 35 45 55 65 75 85 95
1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990 2000 Bilangan Sunspot
Tahun

80 4
75 4
2
SSN33 thn 2
70
An.Curah Hujan (mm)

An.CurahHujan (mm)

0
Bilangan Sunspot

CH33 thn 0 y = 0.2177x - 18.542


65
-2 R2 = 0.6615
-2
60 r = 0.81
-4 -4
55
-6 -6
50
-8 -8
45
-10
40 -10
-12
35 -12
35 40 45 50 55 60 65 70 75 80
1910 1920 1930 1940 1950 1960 1970 1980 1990
Bilangan Sunspot
Tahun

Gambar 3-14: Panel kiri, hubungan antara rataan tahunan bilangan sunspot
dan anomali curah hujan tahunan untuk cluster KIT, setelah
dilakukan pemulusan masing-masing dengan rata-rata
bergerak-11 tahun (atas), 22-tahun (tengah), dan 33-tahun
(bawah). Panel kanan, koefisien korelasi antara bilangan
sunspot dan anomali curah hujan, dengan koefisien korelasi
masing-masing sebesar r = 0,54 (atas), r = 0,70 (tengah), dan
r = 0,81 (bawah)

Tampak bahwa variasi curah hujan tahunan mengikuti pola bilangan


sunspot, dan memiliki korelasi yang baik. Makin tinggi derajat pemulusan
yang dilakukan t 0erhadap kedua parameter yang dihubungkan makin erat
hubungan antara variasi aktivitas matahari dan curah hujan tahunan untuk
cluster KIT. Hal itu dapat dilihat dari koefisien korelasi yang meningkat
masing-masing dari koefisien korelasi r = 0,09 untuk variasi tahunan antara
kedua set data (sebelum dilakukan pemulusan data) meningkat menjadi
r = 0,54 (pemulusan dengan rata-rata bergerak 11 tahun), dan r = 0,70
(untuk rata-rata bergerak 22 tahun), dan r = 0,81 (untuk rata-rata bergerak
33 tahun). Hasil ini juga didukung oleh hasil analisis wavelet dari anomali
165
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 5 No. 2 Juni 2008:149-168

curah hujan untuk cluster KIT (Gambar 3-6) bahwa aktivitas matahari
jangka panjang memberikan pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dengan
anomali curah hujan untuk cluster KIB, terutama siklus aktivitas matahari
11 tahun sangat kuat. Jadi variasi curah hujan untuk cluster Indonesia
Timur sama halnya dengan variasi curah hujan di seluruh Indonesia
dipengaruhi langsung oleh aktivitas matahari dengan indikator bilangan
sunspot, tetapi pengaruh aktivitas matahari pada variasi curah hujan untuk
cluster KIT lebih kuat dibandingkan dengan pengaruhnya pada variasi curah
hujan untuk seluruh wilayah Indonesia.

4 KESIMPULAN
Variasi curah hujan di Indonesia terbagi atas dua cluster besar, yaitu
Cluster Indonesia Barat dan Cluster Indonesia Timur, baik itu untuk data
tahunan, data musim DJF maupun data musim JJA. Adanya dua cluster ini
menunjukkan bahwa variasi curah hujan di Indonesia juga dipengaruhi
salah satunya oleh pola pergerakan matahari yang berpindah dari 23.5 ° LU
ke 23.5° LS sepanjang tahun mengakibatkan perubahan pola angin dan
tekanan yang mempengaruhi variasi curah hujan di Indonesia. Dua cluster
besar ini dibatasi oleh garis batas daerah hujan, yaitu pada garis 120° BT.
Adanya sinyal-sinyal dari aktivitas matahari pada anomali curah
hujan untuk semua cluster, yang tampak lemah ataupun kuat pada data
tahunan, data musim DJF maupun data musim JJA memperlihatkan bahwa
energi radiasi matahari turut memberikan pengaruhnya terhadap curah
hujan di Indonesia. Walaupun mekanisme fisis pengaruh aktivitas matahari
pada variabilitas curah hujan sampai saat ini belum difahami seutuhnya.
Sinyal-sinyal dari anomali curah hujan yang berkaitan dengan aktivitas
matahari mulai dari periode sekitar, 11 tahun (siklus sunspot 11 tahun ), 22
tahun (siklus magnetik Hale), (33-37) tahun (siklus matahari Brucner),
(40-50) tahun (siklus matahari antar dekade), hingga periode jangka panjang
70-90 tahun (siklus matahari Gleissberg) menunjukkan adanya pengaruh
aktivitas matahari jangka panjang pada variasi curah hujan di Indonesia.
Untuk pengaruh jangka pendek pada curah hujan di Indonesia masih
didominasi oleh pengaruh fenomena ENSO (periode sekitar 3-7 tahun), dan
fenomena QBO (periode sekitar 22-34 bulan).
Diperoleh pula bahwa anomali curah hujan di Indonesia dan anomali
curah hujan untuk Cluster Indonesia Timur, baik untuk data tahunan,
musim DJF maupun musim JJA selalu muncul sinyal-sinyal aktivitas
matahari yang lebih kuat dibandingkan dengan sinyal aktivitas matahari
pada anomali curah hujan untuk Cluster Indonesia Barat, karena
penyerapan energi radiasi matahari lebih besar untuk Cluster Indonesia
Timur yang mempunyai lautan lebih luas dibandingkan dengan di Cluster
Indonesia Barat. Kuat lemahnya sinyal-sinyal aktivitas matahari pada curah
hujan, secara kuantitatif menujukkan bahwa tidak setiap daerah
166
Pengaruh Aktivitas Matahari pada Variasi ..... (Wilson Sinambela et al.)

memberikan tanggapan yang sama terhadap variasi aktivitas matahari, yang


tampaknya bergantung kepada wilayah, topografi (darat atau laut), dan pola
curah hujan di Indonesia.
Kecenderungan pola yang mirip antara variasi curah hujan dan
bilangan sunspot tahunan membuktikan bahwa variasi curah hujan di
wilayah Indonesia dan untuk Cluster Indonesia Timur pada umumnya
dipengaruhi oleh siklus aktivitas matahari 11 tahun. Sementara curah hujan
untuk KIB ternyata berkorelasi baik dengan panjang siklus matahari
SCL1222. Tampaknya variasi curah hujan jangka panjang untuk Cluster
Indonesia Barat, bukan dipengaruhi oleh bilangan sunspot-nya (sebagai
inidikator aktivitas matahari), tetapi dipengaruhi oleh panjang siklus
matahari yang terkait dengan siklus Gleissberg (70-90) aktivitas matahari.
Panjang siklus matahari bervariasi dengan aktivitas matahari, interval panjang
siklus matahari lebih pendek, aktivitas matahari kuat, sehingga energi
radiasi yang dipancarkan oleh matahari lebih besar, sebaliknya interval
panjang siklus matahari lebih panjang menyatakan aktivitas matahari
rendah, sehingga energi radiasi matahari yang dipancarkan oleh matahari
lebih rendah. Pengaruh aktivitas matahari pada variasi curah hujan ada yang
bersifat global, lokal maupun regional dengan waktu tunda dan dengan tanpa
waktu tunda.

DAFTAR RUJUKAN
Anantha Krishnan, R. dan R. Parthasarathy, 1985. J.Clim, Vol.4, hal. 149.
Beer, J.; Mende, W.; and Stellmacher, R., The Role of Sun in Climate Forcing.
Quat. Sci.Rev., 2000, Vol.19, hal.403–415.
Bhattacharya, S. dan R. Narashimha, 2005. Geophys.Res.Lett, Vol.32, hal.
L05813.
Bruckner, 1890. Geographische Abhandlugen, Vol.14, hal.325.
Foster, G., 1996. Wavelets for Period Analysis of Unevenly Sampled Time
Series, Astronomical Journal, Vol.112, hal. 1709.
Friis-Christensen, E. dan Lassen, K., 1991. Length of the Solar Cycle : An
Indicator of Solar Activity Closely Assciated with Climate, Science,
Vol.254, hal. 698-700.
Gleissberg W., 1944. A Table of Secular Variations of Solar Cycle, Terr. Magn.
Atm. Electr. 49, hal.243-244.
Haigh, J., 1996. The Impact of Solar Variability on Climate. Science 272, hal.
981-984.
Hiremath K.M., 2005. Influence of Solar Activity on the Rainfall over India,
Astrophysics Journal, Vol. 27, hal. 367-372.
Hiremath, K. M. dan P. I. Mandi, 2004. Influence of Solar Activity on the
Indian Monsoon Rainfal, New Astronomy, vol.9, hal. 651-662.

167
Jurnal Sains Dirgantara Vol. 5 No. 2 Juni 2008:149-168

Labitzke, K. dan van Loon, 1997. The Signal of the 11-Year Sunspot Cycle in
the UpperTroposphere – Lower Stratosphere, Space Sci. Rev.80, hal.
393-410.
Parthasarathy, B.; K. Rupa Kumar; dan A. Munnot, 1993. Homogeneous
Indian Monsoon Rainfall:Variability and Prediction, Proc. Indian. Acad.
Sci. (Earth Planet. Sci), Vol. 102, hal. 121-155.
Zhao J.; Yan-Ben Han; dan Zhi-An Li, 2003. The Effect of Solar Activity on the
Annual Precipitation in the Beijing Area, Journal of Beijing Normal
University (Natural Science, 35 (1).

168

You might also like