You are on page 1of 11

BAB I

PENDAHULUAN

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus dengue.
Sampai saat ini, infeksi virus Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia. Indonesia
dimasukkan dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD oleh World Health Organization
(WHO) yang mengindikasikan tingginya angka perawatan rumah sakit dan kematian akibat
DBD, khususnya pada anak.

Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatan dan penyebaran kasus DBD,
antara lain:

1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi,


2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,
3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis, dan
4. Peningkatan sarana transportasi.
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut (terutama kontrol vektor nyamuk)
harus terus diupayakan, di samping pemberian terapi yang optimal pada penderita DBD, dengan
tujuan menurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampai saat ini, belum ada
terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utama dalam terapi DBD adalah terapi suportif, yakni
pemberian cairan pengganti.Dengan memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaran
klinis dan pemeriksaan laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapat dilakukan secara efektif
dan efisien.

Infeksi dengue merupakan penyakit yang muncul kembali, cepat menyebar, ditularkan oleh
nyamuk Aedes, terutama Aedes aegypti1. Dalam 50 tahun terakhir ini insidensinya telah
meningkat 30 kali lipat, dan telah terjadi ekspansi geografis ke negara-negara baru terutama di
negra sub tropis. Diperkirakan ada 50 juta orang terinfeksi dengue setiap tahunnya. Terdapat 2.5
milyar orang yang tinggal di daerah endemis dengue.

Sejak tahun 1968 penyakit ini telah ditemukan di Surabaya dan Jakarta. Seiring dengan
berjalannya waktu penyakit ini tersebar ke seluruh wilayah Republik Indonesia, dan seiring
menyebabkan timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB). Angka kesakitan Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Indonesia cenderung meningkat. Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD)
terus bertambah. Secara nasional, jumlah kasus hingga tanggal 3 Februari 2019 adalah sebanyak
16.692 kasus dengan 169 orang meninggal dunia. Kasus terbanyak ada di wilayah Jawa Timur,
Jawa Tengah, NTT, dan Kupang.

Data sebelumnya pada 29 Januari 2019, jumlah kasus DBD mencapai 13.683 dengan jumlah
meninggal dunia 133 jiwa. Direktur Jenderal Pecegahan dan Pengendalian Penyakit,
Kementerian Kesehatan RI dr. Anung Sugihantono, M.Kes mengatakan Jawa Timur masih
menduduki jumlah kasus terbanyak di antaranya di Kediri dan ponorogo.
Virus Dengue menyebabkan infeksi yang bersifat simptomatik maupun asimtomatik. Infeksi
dengue simtomatik merupakan infeksi sistemik dalam perjalanan penyakit yang sangat dinamis 3,
sulit diramalkan, dengan spectrum penyakit yang luas dan bermanifestasi klinis mulai dari gejala
yang ringan sampai berat.

Meskipun manifestasi infeksi cukup kompleks tetapi secara umum tatalaksananya relatif
simple, tidak mahal, dan sangat efektif dalam menyelematkan hidup penderita, sepanjang
penanganan diambil pada waktu yang tepat. Kunci keberhasilan penanganan adalah dengan
memahami dan waspada terhadap problem klinis selama fase-fase yang berbeda sepanjang
perjalanan penyakit, sehingga tatalaksana yang dilakukan sesuai dengan pendekatan yang
rational2.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus
dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD.7 DBD adalah salah satu manifestasi
simptomatik dari infeksi virus dengue.

Gambar 1. Klasifikasi kasus Dengue menurut WHO 1997


Dikutip dan dimodifikasi dari World Health Organization.Dengue, guidelines for diagnosis, treatment,
prevention, and control. World Health Organization, Geneva, 1997.
B. Epidemiologi

Sejak tahun 1968 penyakit ini telah ditemukan di Surabaya dan Jakarta. Seiring dengan
berjalannya waktu penyakit ini tersebar ke seluruh wilayah Republik Indonesia, dan seiring
menyebabkan timbulnya Kejadian Luar Biasa (KLB). Angka kesakitan Demam Berdarah
Dengue (DBD) di Indonesia cenderung meningkat. Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD)
terus bertambah. Secara nasional, jumlah kasus hingga tanggal 3 Februari 2019 adalah sebanyak
16.692 kasus dengan 169 orang meninggal dunia. Kasus terbanyak ada di wilayah Jawa Timur,
Jawa Tengah, NTT, dan Kupang.
Data sebelumnya pada 29 Januari 2019, jumlah kasus DBD mencapai 13.683 dengan jumlah
meninggal dunia 133 jiwa. Direktur Jenderal Pecegahan dan Pengendalian Penyakit,
Kementerian Kesehatan RI dr. Anung Sugihantono, M.Kes mengatakan Jawa Timur masih
menduduki jumlah kasus terbanyak di antaranya di Kediri dan ponorogo.
C. Etiologi

Infeksi dengue disebabkan oleh salah satu dari empat serotype virus dengue, yaitu DENV
1,2,3 dan 4 yang merupakan virus RNA single-stranded dari family flaviviridae dan genus
flavivirus. Virus dengue juga merupakan virus vector bone (arbovirus) yang penting disamping
virus chikungunya,zika,west nile virus,yellow fever virus,japanes encephalitis virus,st.louis
enchepalitis virus. Sesorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat terinfeksi lebih dari
satu kali selama hidupnya oleh serotype yang sama atau berbeda. Infeksi dengan salah satu
serotype akan menimbulkan antibody seumur hidup terhadap serotype yang bersangkutan tetapi
tidak ada perlindungan terhadap serotype yang lain. Virus dengue termasuk arthropod-borne
virus,yang ditularkan kemanusia melalui gigitan nyamuk aedes aegypti atau aedes albopictus.
Transmisi dari nyamuk ke manusia terjadi baik secara epidemic atau endemic (daerah yang
mempunyai keempat serotype virus dengue yang berirkulasi sepanjang masa). Masa inkubasi
virus dengue dalam darah nyamuk 8-12 hari sebelum menularkan ke individu yang rentan. Sekali
nyamuk terinfeksi,virus dengue akan menetap seumur hidup nyamuk dan dapat meularkan
kepada manusia yang di gigitnya. Transmisi dapat juga terjadi secara vertikal dari ibu hamil ke
janin yang di kandungnya atau saat melahirkan.
D. Patogenesis

Dari studi in vitro dan autopsy (kulit,hati,limpa,kelenjar limfe,ginjal,sumsum


tulang,paru,kelenjar timus, dan otak) diduga terdapat tiga organ penting yang terlibat dalam
pathogenesis infeksi dengue yaitu sistem imun,hati,dan sel endotel pembuluh darah. Virus masuk
kedalam tubuh manusia di awali dengan gigitan nyamuk yang mengandung virus dengue.
Setelah virus masuk ke aliran darah akan terjadi infeksi pada sel Langerhans imatur (epidermal
dendritic cells dan keratinocytes) yang berada di lapisan dermis dan epidermis. Sel yang
terinfeksi akan akan memasuki kelenjar limfe dan selanjutnya akan terjadi infeksi sel monosit
dan makrofag yang menjadi target infeksi dengue dan viremia. Viremia primer tersebut akan
mengakibatkan infeksi pada monosit dan mielosit yang bersirkulasi sehingga terjadi infeksi pada
makrofag yang berada di hati dan limpa. Respon imun pada infeksi sekunder dengan serotype
virus dengue yang berbeda di awali oleh igG anti dengue yang telah ada dengan kadar yang lebih
tinggi dan selanjutnya akan terbentuk kompleks imun dengan virus dengue yang baru masuk
(kompleks antigen-antibodi). Kompleks imun tersebut mengakibatkan uptake virus oleh reseptor
sel monosit/makrofag meningkat,replika virus meningkat,sehingga viral load juga meningkat. Sel
mononuclear yang terinfeksi akan mati (apoptosis),namun sel dendrit akan terangsang untuk
mengeluarkan mediator yang akan berperan dalam inflamasi dan hemostasis. Sel yang terinfeksi
dan viremia yang terjadi akan berperan dalam menghasilkan sitokin pro-inflamasi dan anti-
inflamasi. Saat terjadi syok virus sudah tidak dapat terdeteksi lagi sehingga respon penjamu akan
berperan penting pada pathogenesis infeksi dengue. Hati merupakan organ penting,peningkatan
enzim transmirase berhubungan dengan peningkatan tendensi terjadinya perdarahan. Virus
dengue juga mengakibatkan kematian sel hepatosit (apoptosis) dan nekrosis,walaupun reaksi
inflamasi dalam jaringan hati sangat terbatas.

Sel endotel pembuluh darah memegang peran dalam respons koagulasi akibat inflamasi.
Keterlibatan sel endotel terutama terdapat pada pembuluh darah pulmonal dan abdominal. Dalam
studi in vitro tampak replica virus mengakibatkan kelainan fungsi endotel dan tidak terjadi
perusakan morfologi sel. Mengapa hanya terjadi efusi pleura dan ascites sedangkan edema tidak
terjadi di tempat lain. Pada autopsi dijumpai apoptosis pada sel endotel di paru dan abdomen,
mungkin hal tersebut yang menyebabkan mengapa pembesaran plasma hanya terbatas pada
jaringan paru dan abdomen. Di samping itu, jarak antara infeksi primer dan sekunder juga
memegang peran,makin lama jaraknya kecenderungan menjadi infeksi dengue berat semakin
tinggi. Hipotesis yang masih di anut sampai saat ini adalah hipotesis secondary of heterotype
dengue infection atau dikenal sebagai antibody dengue enhanchment (ADE), yaitu jika seseorang
mendapat infeksi untuk kedua kalinya dengan serotype yang berbeda akan menyebakan dengue
berat . hipotesis tersebut dilaporkan pada tahun 1930-an oleh Hawkes pada penelitian in vitro.
Beberapa faktor yang memegang peran pada teori ADE in vitro, yang terpenting adanya reseptor
Fcg terdapat pada permukaan sel makrofag mononuclear. Antibody enhancing immune-globulin
G (un-neutralized antibody) akan mengikat virus untuk menempel pada permukaan sel makrofag
dan membawa infectious virion mendekati reseptor. Jadi virus specific antibody dan reseptor Fc
bekerja sama sebagai co-receptor,sehingga ikatan menjadi kuat dan meningkatkan jumlah sel
yang terinfeksi. Dilaporkan juga peningkatan jumlah sel yang terinfeksi virus dengue dipicu oleh
IgM dan receptor komlemen C3. Jadi pada seorang pasien yang terinfeksi viru dengue, pre
exiting antibody dapat mengakibatkan peningkatan viral load,memperpendek masa inkubasi,dan
meningkatkan derajat keparahan penyakit. Di lain pihak cell mediated immune system (CMI)
berperan pada keberadaan reseptor Fcg pada permukaan sel,maka ADE dapat merusak sel
tersebut.

Peran sel T pada pathogenesis virus dengue juga sangat penting.berdasarkan penelitian in
vitro dan in vivo,dilaporkan bahwa aktivasi sel T bereran pada terjadinya perembesan plasma
(plasma leakage). Interaksi antigen-precenting cell (APC) dan sel T akan memicu proliferas dan
produksi sitokin pro-inflamasi seperti IFN ˠ dan TNF-α. Sitokin tersebut secara langsung
berdampak pada endotel vakular sehingga terjadi perembesan plasma.

Manisfestasi trombositopeni pada infeksi dengue memiliki beberapa hipotesa penyebab:

1. terjadi destruksi trombosit akibat interaksi antibody-antigen virus dengue di permukaan


trombosit;
2. kerusakan dinding endotel oleh virus dengue sehingga menyebabkan interaksi trombosit
dengan kolagen subendotel sehingga terjadilah agregasi dan destruksi trombosit;
3. IL-6 menginduksi antibodi IgM antitrombosit sehingga terjadilah destruksi trombosit;
4. manifestasi pendarahan pada DBD meningkatkan kebutuhan akan trombosit. Manifestasi
(nomor 3) menguatkan bahwa tidak perlu diberikan infus trombosit pada pederita DBD,
karena pada akhirnya trombosit yang di berikan akan didestruksi dengan adanya antibodi
antitrombosit.
E. Manifestasi Klinis

Tanda dan karakteristik DBD jika semua terdapat gejala demam dengue disertai manifestasi
perdarahan (uji torniket positif atau perdarahan spontan),hepatomegaly,dan dijumpai
paningkatan permeabilitas kapiler (peningkatan hemokonsentrasi atau adanya efusi pleura dan
ascites). Demam berdarah dengue terbagi menjadi 4 stadium,stadium I,II,III,IV. Stadium I dan II
termasuk dalam DBD tanpa syok,sedangkan stadium III dan IV merupakan DBD dengan syok.

Tabel. 1 Stadium Demam Berdarah Dengue

Stadium I Terdapat demam tinggi terus menerus selama 2-7 hari,nyeri otot, nyeri
dibelakang mata,nyeri sendi,disertai uji tourniquet positif
Stadium II Jika disertai perdarahan spontan (mimisan,perdarahan gusi,menorrhagia
pada anak perempuan)
Stadium III Jika disertai kegagalan sirkulasi (syok)
Stadium IV Jikaa terjadi syok berat (profound syok)

Gejala Klinis berupa :

- Demam terus menerus 2-7 hari


- Nyeri dibelakang mata,nyeri sendi,nyeri otot
- Manifestasi perdarahan dapat berupa uji tourniquet positif
- peteki spontan di daerah ekstremitas,muka,dan palatum mole
- Epistaksis dan pendarahan gusi dapat ditemukan
- kadang disertai dengan perdarahan ringan saluran cerna,sedangkan hematuria lebih jarang
ditemukan. Pada remaja perempuan dapat disertai menorrhagia
- Hepatomegali dapat ditemukan sejak fase demam dengan pembesaran bervariasi antara 2-
4 cm dibawah arcus kosta.

Manifestasi klinis DBD selama perjalanan penyakit dapat dibagi dalam 3 fase yaitu fase
demam,fase kritis,dan fase penyembuhan atau konvalesens. Fase demam terjadi pada hari sakit
pertama sampai ketiga,pada fase ini sulit, dibedakan dengan demam dengue. Masalah yang harus
diwaspadai pada fase demam adalah dapat terjadi kejang pada anak yang mempunyai riwayat
kejang demam. Pada fase demam tesebut pada umumnya anak menolak makan/minum,mengeluh
mual dan muntah,disertai demam tinggi, maka perlu diawasi tanda-tanda dehidrasi. Hal ini
penting diperhatikan karena dehidrasi yang terjadi dapat mempercepat terjadi syok hipovolemik
dan mempercepat pasien masuk ke fase kritis.

Fase kritis terjadi pada hari sakit ke empat sampai ketujuh, ditandai dengan perembean
plasma yang secara klinis dijumpai tanda syok disertai efusi pleura dan pada kasus berat dapat
ditemukan ascites. Jika syok tidak segera ditangani akan terjadi syok yang berkepanjangan
(prolonged shock), mengakibatkan anoksia dan memicu perdarahan masih gastrointestinal
sebagai akibat koagulasi intravaskuler diseminata (KID). Perdarahan
gastrointestinal,asidosis,hipoglikemia,serta hypokalemia mengakibatkan kematian pada DBD
(terjadi pada 12 sampai 36 jam kemudian). Hal ini berbeda dengan kejadian perdarahan pada
awal penyakit (perdarahan ringan) sebagai akibat dari infeksi virus dengue dan kombinasi
dengan produksi vasculogenic cytokine.

Fase penyembuhan terjadi setelah hari sakit ketujuh,plasma dari ekstravaskular akan masuk
kembali kedalamm ruang intravascular. Cairan intravena harus segera dikurangi atau
dihentikan,untuk mencegah kelebihan cairan (fluid overload). Jika terjadi kelebihan cairan,klinis
tampak memburuk karena anak mengalami distress pernapasan serta asidosis. Pada fase
penyembuhan anak tampak lebih tenang,mau makan,walaupun abdomen masih tampak
kembung. Tanda penyembuhan lain adalah peteki konfluens (kemerahan yang diselingi dengan
bintik-bintik kulit normal) dikenal sebagai white island in the sea of red. Kelainan kulit ini dapat
terjadi baik pada DBD maupun DD.

F. Diagnosis

Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila semua hal ini terpenuhi:

1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending positif; petekie, ekimosis,
atau purpura; perdarahan mukosa; hematemesis dan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
 Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai umur dan jenis kelamin.
 Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan, dibandingkan dengan nilai
hematokrit sebelumnya.
 Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites, hipoproteinemia, hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:

Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji
torniquet.

Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit dan perdarahan lain.

Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah menurun
(20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan
lembab, tampak gelisah.

Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah tidak terukur.

G. Penatalaksanaan

Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportif dan simtomatis. Penatalaksanaan
ditujukan untuk mengganti kehilangan cairan akibat kebocoran plasma dan memberikan terapi
substitusi komponen darah bilamana diperlukan. Dalam pemberian terapi cairan, hal terpenting
yang perlu dilakukan adalah pemantauan baik secara klinis maupun laboratoris. Proses
kebocoran plasma dan terjadinya trombositopenia pada umumnya terjadi antara hari ke 4 hingga
6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proses kebocoran plasma akan berkurang dan cairan
akan kembali dari ruang interstitial ke intravaskular. Terapi cairan pada kondisi tersebut secara
bertahap dikurangi. Selain pemantauan untuk menilai apakah pemberian cairan sudah cukup atau
kurang, pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya kelebihan cairan serta terjadinya efusi
pleura ataupun asites yang masif perlu selalu diwaspadai. Terapi nonfarmakologis yang
diberikan meliputi tirah baring (pada trombositopenia yang berat) dan pemberian makanan
dengan kandung-an gizi yang cukup, lunak dan tidak mengandung zat atau bumbu yang
mengiritasi saluaran cerna. Sebagai terapi simptomatis, dapat diberikan antipiretik berupa
parasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasi keluhan dyspepsia.
Pilihan cairan adalah kristaloid isotonic,ringer lactat dan ringer asetat. Untuk bayi <6 bulan
diberikan cairan NaCl 0,45%. Pada umumnya pemberian cairan diperlukan selama 24-48 jam.
Jika perembesan plasma hebat dan tidak terdapat perbaikan klinis dengan pemberian cairan
kristaloid maka cairan diganti dengan cairan koloid yaitu dextran 40,gelatin,atau hydroxyl ethyl
starch (HES).

H. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit,


dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit
plasma biru (sejak hari ke 3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak
timbulnya demam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke 3 demam.5

Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau kecurigaan terjadinya gangguan
koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan hemostasis (PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau
FDP). Pemeriksaan lain yang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/ kreatinin.

Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostic melalui pemeriksaan isolasi
virus, pemeriksaan serologi atau biologi molekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang
dianggap sebagai baku emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkan
tenaga laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari 1–2 minggu), serta biaya yang relatif
mahal. Oleh karena keterbatasan ini, seringkali yang dipilih adalah metode diagnosis molekuler
dengan deteksi materi genetik virus melalui pemeriksaan reverse transcriptionpolymerase chain
reaction (RT-PCR). Pemeriksaan RT-PCR memberikan hasil yang lebih sensitif dan lebih cepat
bila dibandingkan dengan isolasi virus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal serta mudah
mengalami kontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil positif semu. Pemeriksaan
yang saat ini banyak digunakan adalah pemeriksaan serologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan
IgG-anti dengue. Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai
minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada
hari ke 14, sedangkan pada infeksi sekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.11

Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembang adalah pemeriksaan antigen
spesifik virus Dengue, yaitu antigen nonstructural protein 1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan
di permukaan sel yang terinfeksi virus Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam berbagai
literatur mengenai berapa lama antigen NS1 dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaan
mencatat dengan metode ELISA, antigen NS1 dapat terdeteksi dalam kadar tinggi sejak hari
pertama sampai hari ke 12 demam pada infeksi primer Dengue atau sampai hari ke 5 pada infeksi
sekunder Dengue. Pemeriksaan antigen NS1 dengan metode ELISA juga dikatakan memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulan
tersebut, WHO menyebutkan pemeriksaan deteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik untuk
pelayanan primer.

You might also like