You are on page 1of 4

PESAN RAHBAR : “KAUM KHAWAS JANGAN SALAH MELANGKAH”

Saudara-saudaraku !

Jika kita melihat keadaan masyarakat manusia, apakah itu masyarakat kota, negara, atau
apa saja, maka ada dua tipe masyarakat yang dapat kita lihat. Pertama, masyarakat yang
melakukan sesuatu dengan penuh kesadaran, bertanggung-jawab, dan memahami apa yang
dilakukannya. Masyarakat ini kita sebut sebagai kalangan khawas (khusus), berkeahlian,
atau para pemuka. Kedua, yang melakukan sesuatu tanpa perhitungan, tanpa memeriksa
terlebih dahulu apakah jalan yang dipilihnya benar atau salah, dan tanpa berpikir mengapa
harus demikian dan apa yang harus dilakukan. Tipe kedua ini disebut dengan kalangan
awam.
Akan tetapi, kekhususan atau keawaman seseorang tak dapat diukur dari kelas mana dia
berasal; tak dapat diukur dari pakaian yang dikenakannya; dan tak dapat diukur dari jenjang
pendidikan yang diraihnya. Khusus dan awam tidak mewakili sebuah kelompok tertentu
dalam masyarakat. Dengan demikian, boleh jadi seseorang tak terdidik secara formal, tak
pernah menamatkan sekolah tertentu, dan tak memiliki ijazah, tetapi karena dia melakukan
sesuatu dengan pertimbangan-pertimbangan matang dan penuh kesadaran, maka yang
demikian ini bukan kalangan awam, melainkan khusus. Demikian pula sebaliknya, boleh jadi
seseorang ahli dalam satu bidang ilmu tertentu, tetapi karena tindakan-tindakannya tak
didasarkan atas kesadaran dan hanya ikut-ikutan, dia tak tergolong kalangan khusus, dia
awam.
Kalangan khusus dan awam ini ada di setiap masyarakat. Di masa Imam Husain as pun
demikian. Mereka yang sebelumnya membaiat Imam Husain melalui Muslim ibn Aqil di kota
Kufah, kemudian mengkhianati sendiri baiatnya karena takut akan ancaman Ibn Ziyad atau
mengikuti begitu saja pemimpin mereka. Kelompok ini adalah kalangan awam, kalangan
yang tak memiliki sikap. Mereka menentukan sebuah pilihan bukan atas dasar kesadaran,
tetapi ikut-ikutan saja. Jika kebetulan mereka mengikuti pemimpin yang saleh, seperti Imam
Ali bin Abi Thalib atau Almarhum Imam Khomeini, mereka akan dibawa menuju kebenaran;
ke surga. Namun bahayanya, jika pemimpin mereka adalah orang-orang bejat, yaitu
orang-orang yang disebut dalam al-Quran sebagai pemimpin-pemimpin yang membawa ke
neraka, maka mereka pun akan terbawa menuju kesesatan; ke neraka. Karena itu, kita tidak
boleh sampai termasuk ke dalam kalangan awam ini.
Sekali lagi, maksudnya bukan agar kita semua menempuh pendidikan tinggi dan menjadi
kaya. Sama sekali tidak. Awam dan tak awamnya kita diukur dari apakah langkah yang kita
tempuh berdasarkan kesadaran atau tidak. Atau, dalam istilah al-Quran, ‘alâ bashirah atau
tidak. Orang-orang Islam adalah orang-orang yang melakukan segala sesuatunya atas dasar
bashirah, sebagaimana firman Allah: Katakan ini adalah jalanku. Aku menyeru kepada
Allah atas dasar bashirah. Demikian pula orang- orang yang mengikutiku. (QS 12: 108)
Masing-masing kita harus mengaca diri; apakah tergolong awam atau tidak. Jika ternyata
tergolong awam, maka segeralah keluar dari barisan ini. Berupayalah agar dapat berpikir
secara cermat. Pertajam kematangan berpikir dan bergeraklah dengan landasan yang jelas.
Namun harus diingat, kalangan khusus ini pun ada dua macam. Ada kalangan khusus
yang berada di jalur kebenaran dan adapula yang berada di jalur kesesatan. Kalangan khusus
yang berada dalam kebenaran adalah kalangan khusus yang mengikuti petunjuk kebenaran,
berpihak dan berjuang untuk kebenaran. Sedangkan kalangan khusus yang berada dalam
kesesatan adalah orang-orang yang tahu kebenaran, tetapi tidak mengikutinya. Tahu bahwa
kebenaran bersama fulan, tetapi malah memusuhinya. Yang demikian ini juga termasuk
kalangan khusus, tetapi kalangan khusus yang sesat.
Pada masa awal Islam juga demikian. Ada kalangan khusus yang berpihak pada
kebenaran dan adapula yang berpihak pada kebatilan. Kalangan khusus yang berpihak pada
kebenaran misalnya adalah kalangan khusus yang berpihak pada Imam Ali atau Imam
Husain as, sedangkan yang berpihak kepada Muawiyah adalah kalangan khusus yang sesat.
Mereka tahu Muawiyah sesat, tetapi tetap berpihak padanya.
Dengan demikian, dalam setiap komunitas masyarakat ada dua kalangan khusus; yang
berpihak pada kebenaran dan yang berpihak pada kesesatan. Lalu, apa yang dapat kita
harapkan dari kalangan khusus yang berpihak pada kesesatan? Mereka akan semakin
membuat kerusakan. Karena itu, kita harus melawan mereka.
Kaum khusus harus memperhatikan diri mereka, apakah mereka tergolong kalangan
khusus yang mengikuti kebenaran, atau malah yang berpihak pada kesesatan. Kaum khusus
yang ada di antara kita, al- hamdulillâh, adalah kalangan khusus yang berpihak pada
kebenaran. Mereka mengajak kita semua mengikuti jalan Allah, jalan al-Quran, jalan Rasul,
jalan Keluarga Rasul, dan jalan Islam. Tetapi perlu diingat bahwa kaum khusus yang berada
di pihak kebenaran pun mesti kita bagi dua. Ada yang kuat menghadapi segala godaan
duniawi; kedudukan, harta, jiwa, popularitas, syahwat, dan sebagainya. Namun ada pula
yang tidak kuat menghadapi godaan duniawi tersebut sehingga terbawa arus dunia.
Kita tidak memusuhi dunia, tapi kita tak boleh hanyut oleh pusaran dunia. Nah, jika
kalangan khusus yang kuat menghadapi godaan duniawi ini lebih besar jumlahnya daripada
kalangan khusus yang kalah oleh dunia, maka masyarakat Islam akan jaya selamanya.
Namun, jika jumlah kalangan khusus yang kalah oleh dunia lebih banyak, maka, apa yang
terjadi pada Imam Husain as, akan terjadi pula pada kita. Muawiyah-Muawiyah dan
Yazid-Yazid lain akan berkuasa di antara kita. Imamah akan berubah menjadi kerajaan,
seperti yang dilakukan Bani Umayah dan Abbasiyah, yang mengubah masyarakat islami
yang bersifat imamah menjadi kerajaan dan memimpin mereka dengan tangan besi.
Benar, masyarakat Islam adalah masyarakat imamah, yakni masyarakat yang dipimpin
oleh seorang imam yang kuat dan dicintai rakyatnya dengan sepenuh hati, bukan masyarakat
kerajaan, yang dipimpin oleh seorang yang tak disenangi rakyat dan memimpin dengan
tangan besi. Namun, jika kaum kalangan khusus pemihak kebenaran lebih mencintai dunia,
lebih takut kehilangan nyawa, lebih sayang kehilangan nama atau harta, maka yang akan
menjadi korban pertama adalah Imam Husain, dan kemudian akan muncul Yazid-Yazid lain
sebagaimana yang telah kita saksikan di sepanjang sejarah dan dapat kita lihat sendiri
dewasa ini pada banyak negara.
Kapankah hal itu mulai terjadi dalam Islam? Dapat kita katakan bahwa hal itu terjadi
sekitar enam-tujuh tahun setelah wafatnya Rasululullah saw, yakni ketika muncul gagasan
untuk membedakan sahabat-sahabat Rasul yang telah berjasa dalam penyebaran Islam
dengan masyarakat biasa. Sejarah mencatat bahwa sejak saat itu mulai muncul perbedaan
kelas dalam masyarakat Islam, dimana para sahabat menjadi kelas elit yang beroleh hak-hak
istimewa yang tak dapat diraih oleh masyarakat biasa. Mereka, misalnya, mendapat hak-hak
khusus dari baitulmal, sementara masyarakat lain tidak. Perbedaan kelas ini semakin
mencolok di masa khilafah Usman bin Affan. Sahabat-sahabat seperti Thalhah, Zubair, Saad
bin Abi Waqqash, yang sesungguhnya telah menorehkan tinta emas dalam sejarah
peperangan bersama Rasul saww, malah berubah menjadi konglomerat-konglomerat.
Keadaan ini merusak jiwa kalangan khusus itu, yang berakibat pada rusaknya moral
masyarakat umum. Ketika Imam Ali bin Abi Thalib berkuasa, tak mudah bagi beliau untuk
mengubah masyarakat yang sudah rusak sedemikian rupa. Di samping itu, Imam juga harus
berhadapan dengan sekelompok orang yang haus kekuasaan, sehingga Imam terpaksa harus
berperang dengan mereka. Malah, sepanjang kekuasaan beliau yang empat tahun sembilan
bulan itu harus dihabiskan untuk memerangi kelompok-kelompok itu. Imam akhirnya syahid
di tangan manusia bejat, Ibn Muljam.
Imam Ali bin Abi Thalib syahid karena nilai-nilai agung yang diperjuangkannya.
Demikian pula Imam Husain as. Kedua darah yang tertumpah itu adalah darah-darah mulia,
darah-darah Allah Swt. Pemilik darah-darah itu adalah Allah, karena mereka berjuang demi
kebesaran Allah.
Setelah Imam Ali mangkat, yang berkuasa adalah Imam Hasan. Tapi Imam Hasan tak
dapat bertahan lebih dari enam bulan. Masyarakat yang dihadapinya adalah masyarakat yang
moralnya begitu hina sehingga sekalipun beliau harus mengorbankan nyawanya, mereka
takkan berpihak pada beliau dan akan menyalahkannya. Mereka membiarkan Imam Hasan
berjuang sendirian. Bagi mereka, harta, Muawiyah, dan janji-janji Muawiyah jauh lebih
penting ketimbang Imam Hasan. Imam Hasan melihat bahwa mati dalam peperangan
bukanlah jalan yang tepat bagi beliau. Beliau melihat bahwa perjuangan ada di medan lain.
Karena itu, Imam Hasan akhirnya meninggalkan medan peperangan.
Adakalanya memang, mati lebih ringan ketimbang menanggung beban hidup. Para
urafa', ahli-hikmah, tahu betul betapa kadangkala mati jauh lebih ringan daripada menjalani
kehidupan. Hidup malah bisa terasa begitu berat. Namun justru dalam kehidupan yang berat
itulah terkandung makna perjuangan. Maka, jalan ini pulalah yang dipilih Imam Hasan as.
Beliau memiliki dua pilihan, mati syahid atau tetap hidup. Namun, jika beliau mati syahid,
maka hal itu tak banyak memberi arti. Hidup malah lebih bermanfaat, dan lebih banyak yang
dapat beliau lakukan bila beliau tetap hidup. Maka, ketika dihadapkan pada pilihan ini,
Imam Hasan lebih memilih hidup karena di situlah perjuangan beliau. Ini berbeda dengan
Imam Husain. Ketika Yazid berkuasa, tak ada pilihan lagi bagi Imam Husain kecuali bangkit
dan mati syahid. Beliau tidak memiliki dua pilihan sebagaimana Imam Hasan. Imam Husain
hanya memiliki satu pilihan, yaitu mencapai syahadah. Jika tidak, maka hidup beliau takkan
berarti. Maka, Imam Husain memilih bangkit melawan Yazid dan mati sebagai syahid.
Namun, di manakah kalangan khusus pemihak kebenaran di masa Imam Husain?
Memang, orang-orang tertentu pada masa Imam Husain adalah kalangan khusus
pemihak kebenaran, karena mereka tidak berpihak pada Yazid. Mereka berpihak pada Imam
Husain. Mereka mengakui bahwa Imam Husain-lah yang benar. Tetapi, ketika mereka
dihadapkan pada pilihan mati atau hidup; pilihan antara kehilangan dunia atau akhirat,
kehilangan harta, nama, dan sebagainya atau akhirat, mereka lebih memilih dunia, yaitu
meninggalkan Imam Husain. Padahal, tidak ada kekurangan sedikit pun pada Imam Husain.
Imam Husain adalah manusia terbesar di zamannya. Semua menghormati Imam Husain. Jika
bertemu dengan Imam Husain, mereka mengatakan, “Saya adalah tebusan bagi Anda.” Akan
tetapi, karena takut mati dan lebih cinta pada dunia, kalangan khusus ini lebih memilih
mengorbankan Islam ketimbang diri mereka sendiri.
Warga Kufah yang menulis surat kepada Imam Husain (agar beliau datang ke Kufah)
bukan orang sembarangan. Mereka adalah para pembesar. Tetapi, ketika pedang Yazid telah
mengancam, mereka lebih memilih untuk meninggalkan Muslim bin Aqil, utusan Imam
Husain, padahal mereka telah membaiatnya. Ungkapan Abdullah bin Muti’ yang datang
kepada Imam Husain di kota Mekah menyiratkan makna ini dengan baik. Dia berkata
kepada Imam Husain, “Wahai putra Rasulullah, jika engkau terbunuh, mereka justru akan
menjadikan kami budak-budak mereka.” Ya, kalangan khusus pada masa Imam tahu persis
siapa beliau. Tetapi, karena lebih cinta pada dunia. Akhirnya, terjadilah apa yang terjadi,
sementara rakyat awam hanya mengikuti mereka saja.
Dengan demikian, posisi kalangan khusus sangat penting. Mereka dapat berguna bagi
masyarakat, tetapi pada saat yang sama mereka dapat pula menjadi bencana bagi ma-
syarakat. Sebab, jika mereka salah langkah, maka seluruh masyarakat akan menjadi rusak.
Ini sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Betapa tindakan kalangan khusus
sangat berpengaruh bagi masyarakat. Jika mereka kuat, maka awam pun kuat. Tapi jika
kalangan khusus ini lemah, maka awam pun ikut menjadi lemah. Apa yang menimpa Muslim
bin Aqil, utusan Imam Husain di Kufah, menjelaskan hal ini dengan baik. Pertama-tama
Muslim bin Aqil dibaiat oleh tak kurang dari 18.000 warga Kufah yang menyatakan ke-
setiaannya pada Muslim. Namun karena kalangan khusus Kufah ini mundur, takut pada
pedang Ibn Ziyad, awam Kufah pun akhirnya mundur dan mengikuti langkah mereka. Salah
seorang di antara mereka adalah Qadhi Syuraih. Jika Qadhi Syuraih berani mengatakan yang
haq mengenai Hani bin Urwah, yang tetap setia kepada Muslim bin Aqil, maka mungkin
keadaan tak seburuk itu. Mungkin sejarah akan lain. Mungkin Imam Husain tak terbunuh di
Karbala. Jika Imam Husain berkuasa enam bulan saja, misalnya, mungkin banyak hal yang
dapat beliau lakukan.
Benar, adakalanya satu langkah yang tepat dapat menyelamatkan sejarah secara
keseluruhan. Tapi sebaliknya, langkah yang salah, yang lahir dari ketakutan, kelemahan,
cinta dunia, takut mati, dan sebagainya dapat membuat sejarah menjadi kelam. Andaisaja
Qadhi Syuraih berani memberikan kesaksian tentang Hani bin Urwah; andai saja
tokoh-tokoh Kufah seperti Syubuts bin Rub’iy, orang yang menulis surat kepada Imam
Husain dan mengundangnya ke Kufah, tidak mematuhi Ubaidillah lbn Ziyad sehingga
memaksanya membubarkan kaumnya, maka tentu sejarah menjadi lain.
Di sinilah letak kesalahan kalangan khusus itu. Di saat-saat genting seperti itu,
seharusnya mereka lebih memilih Tuhan ketimbang dunia; berpikir jernih dan mengikuti hati
yang bersih, bukan hawa nafsu. Andai begitu, maka Karbala takkan terjadi. Saat-saat yang
genting adalah saat-saat yang amat menentukan. Jika langkah yang diambil salah, meskipun
sedikit, maka akibatnya akan fatal. Penyesalan tak lagi berguna. Lihatlah nasib (negara)
Aljazair. Betapapun kelompok Islam yang menang, tapi karena salah mengambil langkah,
maka pihak lainlah yang berkuasa. Andai pada saat-saat genting waktu itu, sebelum diambil
alih rezim militer, mereka dapat mengambil tindakan yang tepat, keadaan tentu tak seperti
sekarang ini. Tapi karena ragu-ragu, takut, dan sebagainya, maka terjadilah apa yang terjadi.
Sekiranya pada tanggal 10 Februari 1979, sehari sebelum kemenangan Revolusi Islam,
Imam Khomeini tidak mengambil langkah yang tepat, dengan memerintahkan rakyat agar
tidak mematuhi keadaan darurat dan terus turun ke jalan, maka boleh jadi sampai saat ini
Syah akan tetap berkuasa dan pembunuhan demi pembunuhan akan terus dilakukannya.
Karena itu, pengambilan keputusan pada saat yang genting oleh kalangan khusus
merupakan sesuatu yang sangat penting. Jika keputusan diambil dengan tepat, mereka dapat
menyelamatkan sejarah dari kehancuran. Namun, jika salah dalam mengambil keputusan,
maka Karbala demi Karbala akan terus berulang.
Allah telah berjanji bahwa orang yang membela-Nya akan dibela-Nya. Orang yang
berjuang untuk-Nya pasti akan meraih kemenangan: Allah pasti memberikan kemenangan
kepada orang yang membela- Nya.(QS 47: 7) Namun, ini bukan berarti bahwa perjuangan
akan berlangsung tanpa adanya kematian atau tanpa kesulitan. Kesulitan-kesulitan tentu
akan dialami: Mereka membunuh lalu dibunuh.(QS 9: 111) Namun, di balik
kesulitan-kesulitan itu ada kemenangan. Inilah sunnatullah. Tetapi, jika kita takut mati,
takut kehilangan kedudukan, takut kehilangan harta, takut kehilangan pekerjaan, takut
kehilangan rumah; lebih memilih keluarga, lebih memilih teman, dan lebih memilih
kehidupan santai, maka sekalipun yang datang adalah 10 orang Imam Husain, tetap saja
Imam Husain akan menjadi korban. Karena itu, kalangan khusus harus lebih waspada dan
jangan sampai mengambil langkah keliru, yang dapat merugikan semua pihak. Semoga Allah
memberikan taufik dan hidayah-Nya kepada kita semua.

(Dikutip dari Majalah “WARIS”, no. 11, tahun III, Muharram-Rabiul Awwal 1418 H)

You might also like