You are on page 1of 66

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bahan pangan pada umumnya tidak dikonsumsi dalam bentuk seperti
bahan mentahnya, tetapi sebagian besar diolah menjadi berbagai bentuk dan
jenis pangan lain. Selain untuk menambah ragam pangan, pengolahan pangan
juga bertujuan untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan tersebut.
Pengolahan dan pengawetan berbagai jenis bahan pangan berasal dari hasil
pertenakan dan perikanan, pengolahan disini meliputi pengolahan dan
pengawetan dengan cara penggaraman, fermentasi pengeringan, perebusan,
pengasapan, atau kombinasi cara-cara tersebut. Cara pengawetan dengan
menggunakan gula misalnya pada pembuatan susu kental manis untuk
memperpanjang masa simpan atau untuk memperoleh bentuk dan makanan
baru dengan rasa dan aroma tertentu (Muchtadi.R Tien & Sugiyono. 2014).
Dasar dari ilmu pengetahuan dan teknologi produk susu adalah air-
susu karena air susu adalah bahan baku dari semua produk susu, sebagian
besar digunakan sebagai produk pangan. Susu kental manis adalah susu yang
diuapkan produk ini dihasilkan oleh penguapan hampa terhadap susu, baik
susu keseluruhan maupun susu skim dengan atau tanpa penambahan sukrosa.
Perbandingan konsentrasi produk-produk krim adalah kira-kira 2,5:1 dan
untuk produk susu skim kira-kira 3:1. Secara umum istilah “susu kental”
berarti susu yang dimaniskan (Buckle, dkk. 2013).
Dalam mempertahankan nilai gizi dan agar dapat disimpan lama,
dipasaran banyak diperoleh susu yang dikemas dalam kaleng dan aluminium
foil merupakan produk dari teknologi pengolahan minuman, dimana proses
produksinya melalui beberapa tahap pengolahan, dimulai dari pemilihan
bahan-bahan yang akan diproduksi sampai kepada proses pengalengannya
(Wulandari, dkk. 2012). Berbagai bahan pencemar terkandung dalam makanan
dapat disebabkan karena penggunaan bahan baku pangan yang terkontaminasi
pada saat proses awal pengolahan maupun penyimpanan atau wadah yang
digunakan pada saat setelah diproduksi. Kaleng yang terbuat dari logam atau

1
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
2

campuran logam jelas bukan merupakan bahan yang inert, sehingga


kemungkinan dapat bereaksi dengan isi kaleng dan melepaskan unsur-unsur
logam ke dalam makanan dan minuman yang dikalengkan. Pelepasan unsur
logam tersebut terutama terjadi apabila kaleng tidak dilapisi zat inert (lapisan
pelindung) secara baik atau terjadi cacat pada bagian dalam kaleng dan adanya
korosi, sehingga isi kaleng mengadakan kontak langsung dengan logam.
Unsur yang dilepaskan kemungkinan terdapat logam berat seperti Timbal
(Pb), Timah (Sn), Kadmium (Cd), dan Aluminium (Al) yang dapat
mengganggu kesehatan. Adanya logam tersebut, walaupun dengan kadar kecil
akan membahayakan kesehatan konsumen dan mengingat logam berat akan
tertimbun di dalam tubuh, sehingga lambat laun kadarnya akan meningkat dan
sangat membahayakan kesehatan (Rasyid, dkk. 2013).
Penelitian terdahulu ditemukan adanya 2 sampel susu kental manis
kaleng terdeteksi logam Pb dengan metode Spektrofotometri Serapan Atom
(AAS) (Rasyid, dkk. 2013). Logam Sn terdeteksi dengan kadar masih dalam
batas aman (Wulandari, dkk. 2012). Dari data penelitian sebelumnya
menunjukan bahwa untuk sampel susu kental manis kemasan utuh dengan
keadaan sesudah dan sebelum kedaluwarsa, dapat terlihat kadar logam lebih
banyak pada waktu sesudah kedaluwarsa. Hal tersebut dapat terjadi karena
lama penyimpanan yang membuat wadah kaleng melepaskan logam berat
tersebut. Namun logam Cd tidak terdeteksi dengan metode AAS hal tersebut
mungkin disebabkan kandungannya Cd relatif sangat kecil atau tidak
terdapatnya kandungan logam Cd sehingga alat tersebut tidak dapat
mengidentifikasi adanya logam Cd di dalam kental manis tersebut (Rasyid,
dkk. 2013). Kontaminasi Logam Al kemungkinan bisa saja terjadi karena
wadah yang digunakan terbuat dari logam (Wulandari, dkk. 2012).
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap logam Al karena
logam tersebut termasuk kedalam logam esensial dengan potensi beracun
(BPOM RI. 2010). Penelitian tentang logam Cd, Pb, Sn, dan Al dalam kental
manis dengan menggunakan metode ICP-OES perlu dilakukan karena deteksi
limit dari alat tersebut lebih rendah dari pada AAS dan memungkinkan logam
berat dapat terdeteksi dengan alat tersebut. Diharapkan kadar logam dalam
2
Institut Sains dan Teknologi Nasional
3

kental manis kemasan kaleng yang beredar kadar yang terdeteksi tidak
melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan oleh Peraturan Kepala BPOM
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 yaitu Cd 0,05 mg/kg, Pb 0,02
mg/kg dan Sn 250 mg/kg untuk yang dikemas dalam kaleng serta 40 mg/kg
untuk yang tidak dikemas dalam kaleng (BPOM. 2018). Batas maksimum
konsentrasi Al yang boleh dikonsumsi per minggu (Maximum Weekly Intake)
menggunakan angka ambang batas yang diterbitkan oleh lembaga pangan
internasional World Health Organization dan Joint FAO/WHO Expert
Committee on Food Additive (JEFCA) 1 mg/kgbb (Food And Enviromental
Hygiene Departement. 2009).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana validasi metode analisis ICP-OES terhadap logam Cd, Pb, Sn,
dan Al dalam sampel kental manis?
2. Berapakah kadar logam Cd, Pb, Sn, dan Al dalam kental manis dengan
menggunakan metode ICP-OES?
3. Adakah pengaruh lama penyimpanan terhadap besarnya logam Cd, Pb, Sn,
dan Al dalam sampel kental manis dengan menggunakan metode ICP-
OES?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Mengetahui hasil validasi metode analisis ICP-OES terhadap logam Cd,
Pb, Sn dan Al dalam sampel susu kental manis.
2. Mengetahui kadar logam Cd, Pb, Sn dan Al dalam susu kental manis
dengan menggunakan metode ICP-OES.
3. Mengetahui adanya pengaruh lama penyimpanan terhadap besarnya
kandungan logam Cd, Pb, Sn, dan Al dalam sampel susu kental manis
dengan metode ICP-OES.

1.4 Manfaat Penelitian


Hasil penelitian ini diharapkan memberikan data informasi ilmiah
mengenai kadar logam Cd, Pb, Sn, dan Al yang diduga terdapat dalam susu
3
Institut Sains dan Teknologi Nasional
4

kental manis yang belum atau sudah mendekati masa kedaluwarsa dengan alat
ICP-OES.

4
Institut Sains dan Teknologi Nasional
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Susu


Susu adalah cairan bergizi berwarna putih yang dihasilkan oleh kelenjar
susu mamalia, salah satunya manusia. Dasar dari ilmu pengetahuan dan teknologi
produk susu adalah air susu, karena air susu adalah bahan baku dari semua produk
susu, sebagian besar digunakan sebagai produk pangan (Buckle, dkk.2013).
Secara umum masyarakat mengenal susu sebagai komoditas pangan berbentuk
cair dan berwarna putih kekuningan. Susu juga dapat diartikan sebagai cairan
berbentuk koloid agak kental berwarna putih sampai kekuningan, tergantung dari
jenis hewan, pakan/ransum dan jumlah lemaknya.

Gambar 2.1. Susu


Sumber: Teknologi Pangan

Dalam jumlah besar susu kelihatannya berwarna putih atau kekuningan


(opaque), tetapi dalam suatu lapiran tipis kelihatan transparan. Susu yang telah
dipisahkan lemaknya, atau berkadar lemak rendah, kelihatan berwarna kebiru-
biruan. Warna putih susu merupakan reaksi cahaya dari globula lemak, kalsium
kaseinat dan koloid fosfat. Warna kekuningan yang sering nampak pada susu
disebabkan oleh pigmen karoten yang berasal dari pakan hijauan. Susu rasanya
sedikit manis bagi kebanyakan orang, baunya agak harum atau bau khas susu. Jika
terkena udara mengalir atau dipanaskan baunya hilang. Di bawah mikroskop susu
terlihat seperti cairan yang mengandung butiran-butiran. Butiran-butiran tersebut

5
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
terdiri dari lemak. Butiran-butiran lemak dalam susu memiliki garis tengah
berbeda-beda mulai dari 0,1-22μ (mikron).
Faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan kualitas susu antara lain:
pertumbuhan dan aktivitas mikroba, aktivitas enzim-enzim di dalam bahan
pangan, suhu udara dan jangka waktu penyimpanan serta sanitasi peralatan
maupun ternak.
Meskipun susu pada umumnya dapat dihasilkan oleh semua hewan menyusui,
namun yang dikonsumsi manusia di Indonesia khususnya adalah susu sapi dan
kambing. Selain susu-susu tersebut, susu dari hewan lain juga kadang-kadang
dimanfaatkan untuk dikonsumsi manusia, diantaranya susu kerbau, susu domba,
dan susu unta. Saat ini juga marak munculnya susu kuda atau susu kuda liar. Susu
jenis ini banyak dimanfaatkan oleh masyarakat untuk tujuan pengobatan.
Disamping susu yang berasal dari hewan, ada juga susu nabati seperti susu kedelai
dan susu kacang hijau (Rini, dkk. 2008).

2.2 Komposisi Susu (Buckle, dkk. 2013)


Susu mengandung: air 87,10 %, lemak 3,9 %, protein 3,4 %,
karbohidrat (laktosa) 4,8 %, abu, vitamin dan mineral 0,72%.

Lemak Protein Laktosa


Jenis Abu (%) Air (%)
(%) (%) (%)
Kambing 4,09 3,17 4,20 0,79 87,81
Ikan paus 22,24 11,90 1,79 1,66 63,00
Kelinci 13,60 12,95 2,40 2,55 68,50
Kerbau 7,40 4,74 4,64 0,78 82,44
Kuda 1,59 2,00 6,14 0,41 89,86
Domba 8,28 5,44 4,78 0,90 80,60
Anjing laut 54,00 12,00 Tidak ada 0,53 34,00
Sapi 3,90 3,40 4,80 0,72 87,10
Manusia 3,90 1,20 7,00 0,21 87,60
Tabel 2.1 Komposisi rata-rata beberapa jenis susu mamalia

6
Institut Sains dan Teknologi Nasional
1. Lemak susu: terdapat dalam susu kira kira 1000 x 106 butiran lemak dalam
setiap ml susu. Butiran ini mempunyai daerah permukaan yang luas dan
hal tersebut menyebabkan susu mudah dan cepat menyerap flavor asing.
Butiran-butiran lemak ini biasanya akan muncul ke permukaan susu untuk
membentuk lapisan/krim. Sekurang-kurangnya 50 macam asam lemak
yang berbeda telah ditemukan dalam lemak susu dimana 60-75% bersifat
jenuh 25-30% tidak jenuh dan sekitar 4% merupakan asam lemak
polyunsaturated. Asam lemak yang paling banyak adalah miristat,
palmitat, stearat. Asam lemak tak jenuh utama adalah oleat, linoleat. Asam
butirat dan kaproat juga terdapat dalam jumlah kecil sebagai trigliserida.
2. Protein susu: terbagi menjadi 2 kelompok utama yaitu kasein yang dapat
diendapkan oleh asam dan enzim renin dan protein whey yang dapat
mengalami denaturasi oleh panas pada suhu kira-kira 65ºC. Kasein adalah
protein utama susu yang jumlahnya mencapai kira-kira 80% dari total
protein. Setelah lemak dan kasein dihilangkan dari susu, air sisanya
dikenal sebagai whey kira-kira 0,5-0,7 %.
3. Laktosa: adalah karbohidrat utama yang terdapat dalam susu. Laktosa
adalah disakarida yang terdiri dari glukosa dan galaktosa. Laktosa tidak
semanis gula tebu dan mempunyai daya larut hanya sekitar 20% pada suhu
kamar. Laktosa akan mengendap sebagai kristal yang keras seperti pasir.
Oleh karena itu harus dijaga jangan sampai terbentuk pada pembuatan
eskrim dan kental manis.
4. Mineral: Bila air dihilangkan dengan penguapan dan sisa yang kering
dibakar dengan panas rendah akan diperoleh sisa abu putih yang berisi
bahan-bahan mineral.

Unsur Dalam susu (%) Dalam abu (%)


Potassium 0,140 20,0
Kalsium 0,125 17,4
Chlorine 0,103 14,5
Fosforus 0,096 13,3
Sodium 0,056 7,8

7
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Tab Magnesium 0,012 1,4
el Sulfur 0,025 3,6

2.2 Kandungan mineral rata – rata dalam susu dan abu

5. Komponen lain

Tabel 2.3. Kandungan berbagai vitamin rata-rata susu segar

Vitamin Kandungan per 100 g susu


Vitamin A 160 IU (International Unit)
Vitamin C 2,0 mg
Vitamin D 0,5-4,4 IU
Vitamin E 0,08 mg
Vitamin B
Thiamine 0,035 mg
Riboflavin 0,17 mg
Niacin 0,08 mg
Pantothenic acid 0,35-0,45 mg
Folic acid 3-8 µg
Biotin 0,5µg
Pyridoxine 0,05-0,1 mg
Vitamin B12 0,5µg

6. Enzim terdapat secara normal pada susu. Beberapa enzim yang terdapat
pada susu adalah katalase, reduktase, laktase, galaktase, amilase, fosfatase
dan peroksidase (Rini, dkk. 2008).

2.3 Produk Susu dan Hasil Olahannya


1. Susu krim (whole milk/ full cream) dan susu skim (skim milk).
Komponen utama susu terdiri dari dua lapisan yang dapat
dipisahkan berdasarkan berat jenisnya. Komponen tersebut adalah krim
(cream) dan skim. Krim adalah bagian yang lebih ringan dari skim,
terdapat dibagian atas susu. Jumlah krim dipengaruhi oleh jumlah dan

8
Institut Sains dan Teknologi Nasional
ukuran lemak dalam susu. Volume krim kira-kira 12-20 % dari volume
susu. Sebagian besar bahan yang terdapat di dalam krim adalah lemak.
Skim adalah bagian yang terdapat di bagian bawah krim.
Komponen utama skim terdiri dari air dan protein. Bagian krim dan skim
susu dapat dipisahkan dengan alat pemisah krim yang lebih dikenal
dengan nama cream separator. Susu telah dipisahkan antara krim dengan
skimnya, maka komposisi masing-masing bagian akan jauh berbeda. Krim
banyak mengandung lemak, sedangkan skim lebih banyak mengandung
protein Krim dapat diolah menjadi mentega, sedangkan skim digunakan
untuk hasil-hasil pengolahan susu lainnya (Buckle, dkk.2013).
2. Kental manis dan susu yang diuapkan
Secara umum istilah kental manis berarti susu yang dimaniskan,
yakni susu yang berbentuk cairan kental, warna putih kekuningan atau
warna lain yang tergantung dari aroma yang ditambahkan, dengan bau dan
rasa khas. Susu kental tak manis atau biasa disebut dengan susu yang
diuapkan (evaporated milk) adalah susu dimana proses pembuatannya
hampir sama dengan susu kental manis hanya dengan sedikit perubahan
dengan tidak dilakukan penambahan sukrosa (Buckle, dkk. 2013).
3. Susu kering atau susu bubuk
Produk-produk susu kering atau tepung susu adalah produk susu
berwarna putih kekuningan, bau dan rasa khas susu, yang diperoleh
dengan menghilangkan sebagian besar air dari susu dengan cara
pengeringan yang pada umumnya melalui proses pengabutan, dibuat
sebagai kelanjutan dari proses penguapan biasa kadar air dikurangi sampai
di bawah 5% dan sebaiknya harus kurang dari 2% (Buckle, dkk. 2013).
4. Es krim (Ice cream)
Unsur pokok eskrim adalah : susu, krim, gula bahan flavor, bahan
penstabil dan pembentuk emulsi. Makanan yang bergizi dan sumber energi
yang terkonsentrasi, tetapi kandungan lemak dan gula tinggi (Buckle, dkk.
2013).
5. Keju (Cheese)

9
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Keju berupa produk susu berbentuk padat atau setengah padat yang
diperoleh dengan cara mengkoagulasikan susu krim, susu skim, komponen
susu ataupun dapat berupa campurannya dengan enzim lainnya dengan
atau tanpa penambahan rempah-rempah, dan bahan tambahan makanan
yang diizinkan (Rini, dkk. 2008).

2.4 Susu Kental Manis


Susu kental dan susu yang diuapkan. Kedua jenis produk ini
dihasilkan oleh penguapan hampa terhadap susu, baik susu keseluruhan
maupun susu skim dengan atau tanpa penambahan sukrosa. Perbandingan
konsentrasi produk-produk krim adalah kira-kira 2,5:1 dan untuk produk susu
skim kira-kira 3:1. Secara umum istilah “susu kental” berarti susu yang
dimaniskan sedang istilah susu yang diuapkan (evaporated milk), berarti
produk-produk yang tidak dimaniskan.
Susu kental manis yang diperoleh dari pertenakan distandarisasi
pada suatu perbandingan tetap dari lemak : benda padat bukan lemak yaitu
9:22 baik dengan ditambah krim maupun susu skim. Susu itu kemudian
dihangatkan dahulu dengan suhu pemanasan 65-95oC selama 10-15 menit.
Pemanasan pendahuluan ini penting, sebab hal ini akan menolong
menstabilkan susu terhadap pengentalan selama penyimpanan produk jadi dan
juga akan menghancurkan mikroorganisme patogen dan enzim tidak akan
diinaktifkan pada prosedur penguapan susu selanjutnya. Sesudah pemanasan
pendahuluan ditambahkan gula tebu sehingga diperoleh konsentrasi gula
62,5% sebagai sukrosa dalam produk akhir. Gula yang ditambahkan harus
bebas dari mikroorganisme patogen pencemar dan harus bebas dari gula
invert, karena hal ini akan membantu terjadinya pengentalan selama
penyimpanan. Fungsi gula terutama adalah sebagai pengawet, karena sebagian
besar mikroorganisme kecuali bakteri osmofilik (bakteri yang tumbuh pada
media dengan konsentrasi gula yang tinggi) tak dapat hidup pada konsentrasi
gula 62,5%.

10
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Proses selanjutnya meliputi penguapan susu yang sudah
mengadung gula dengan kondisi yang sangat ringan dengan menggunakan
penguap hampa pada suhu 77ºC. Pada suhu 49ºC, fase air dari produk yang
dikentalkan menjadi jenuh dengan laktosan, dan pada waktu susu kental
didinginkan terjadi larutan jenuh dan kristalisasi. Jika tidak dilakukan dengan
sangat hati-hati, akan terbentuk laktosa dalam jumlah sedikit dan ini akan
tumbuh menjadi kristal berukuran makroskopis yang cukup keras dan terasa
kasar. Akibat kristalisasi laktosan ini adalah “ rasa seperti pasir” yang
dianggap dapat mengurangi mutu susu kental manis, untuk menghindari hal
ini harus diadakan pendinginan sedemikian rupa sehingga terjadi kristalisasi
laktosa secara cepat dan dengan demikian terbentuk kristal-kristal kecil. Hal
ini dijalankan dengan mendinginkan susu sampai suhu 30ºC yang akan
menghasilkan keadaan lewat jenuh dari larutan laktosan dan kemudian
dilakukan pembibitan dengan menambahkan laktosa yang terbentuk halus
dengan jumlah 0,6 g/L susu kental. Kristalisasi akan selesai dalam waktu 3
jam. Kristal-kristal sangat halus terdapat dalam susu kental yang bermutu
tinggi biasanya berdiameter kira-kira 10 mikron dan kristal-kristal ini begitu
halusnya sehingga tidak dapat dirasakan oleh lidah.
Bila proses kristalisasi telah selesai, susu kental didinginkan
dimasukan dalam drum-drum penyimpanan dalam jumlah besar untuk diisikan
ke dalam kaleng. Produk itu kemudian ditutup dan tidak memerlukan proses
pemanasan lagi. Stabilitas mikrobiologis produk tersebut ditentukan oleh
kandungan gula yang tinggi dan masalah kerusakan biasanya terbatas pada
pertumbuhan jenis bakteri osmofilik (bakteri dan khamir). Susu kental tidak
manis atau susu yang diuapkan pembuatan susu yang diuapkan mengikuti
teknik yang hampir sama dengan pembuatan susu kental manis, hanya dengan
sedikit perubahan dengan tidak dilakukannya penambahan sukrosa. Suhu
pemanasan pendahuluan 130oC dipergunakan karena suhu ini menghasilkan
produk dengan stabilitas yang lebih baik. Setelah pemanasan, susu diuapkan
dalam penguapan hampa dengan cara yang sama seperti susu kental manis dan
dapat dilakukan sampai kandungan bahan padat mencapai 35% sebelum
terjadi kehilangan stabilitas karena proses pengentalan.
11
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Setelah diangkat dari alat penguap (evaporator) susu kental ini
dicampur secara homogen untuk mencegah pemisahan lemak selama proses
sterilisasi pada tahap selanjutnya. Sesudah homogenisasi, produk ditutup di
dalam kaleng dan diproses selama 10-15 menit pada suhu 100-110o C. Setelah
pemanasan akhir ini, produk sudah mencapai keadaan steril komersial.
Pengolahan yang kurang sempurna akan menimbulkan kerusakan oleh
organisme, pembentukan spora dari jenis Bacillus. Terutama aktivitas Bacilus
Coagulan (bakteri yang menghasilkan asam laktat) dan Bacilus Cereu
menyebabkan penggumpalan. Bacilus Subtilis juga menyebabkan kerusakan
pada produk ini (Buckle, dkk. 2013).

2.4.1 Klasifikasi Kental Manis (SNI. 2011)


a. Susu kental manis : Produk susu berbentuk cairan kental yang diperoleh
dengan menghilangkan sebagian air dari susu segar atau hasil rekonstitusi
susu bubuk berlemak penuh atau hasil rekombinasi susu bubuk tanpa
lemak dengan lemak susu/lemak nabati, yang telah ditambah gula, dengan
atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan
lain yang diizinkan.
b. Susu skim kental manis: Susu kental manis yang bahan baku susunya
berupa susu skim.
c. Susu skim sebagian kental manis : Susu kental manis yang bahan baku
susunya sebagian berupa susu skim.
d. Susu kental manis tinggi lemak : Susu kental manis yang bahan baku
susunya berupa susu yang ditambah dengan lemak susu.

2.4.2 Komposisi Kental Manis (SNI. 2011)


a. Bahan baku utama : Susu segar dan/ atau susu bubuk, air, gula.
b. Bahan pangan lain : Bahan pangan lain yang diizinkan.
c. Bahan tambahan pangan : Bahan tambahan pangan yang diizinkan untuk
produk susu sesuai dengan ketentuan tentang bahan tambahan pangan.

12
Institut Sains dan Teknologi Nasional
2.4.3 Syarat Mutu Kental Manis (SNI. 2011)

Tabel 2.4. Syarat mutu kental manis


Persyaratan
Susu Susu
Susu
skim kental
Kriteria Susu skim
No Satuan sebagian manis
Uji kental kental
kental tinggi
manis manis
manis lemak

1 Keadaan
Normal Normal Normal Normal
(sesuai (sesuai (sesuai (sesuai
1.1 Bau -
label) label) label) label)

Normal Normal Normal Normal


(sesuai (sesuai (sesuai (sesuai
1.2 Rasa -
label) label) label) label)

2 Kadar air % b/b 20 – 30 20 – 30 20 - 30 20 - 30


3 Lemak % b/b Min. 8 Maks.1 1-8 Min. 16
Min.
6,5*/
4 Protein (Nx6,38) % b/b Min. 7,8 Min. 6,8 Min. 4,8
6,0**

Total gula
dihitung sebagai
5 % b/b 43-48 43-48 43-48 43-48
sakarosa

6 Padatan Susu % b/b Min. 28 Min 24 Min. 24 Min.30

13
Institut Sains dan Teknologi Nasional
7 Cemaran logam
Maks. Maks. Maks. Maks.
7.1 Timbal (Pb)**** mg/kg 0,02
0,02 0,02 0,02
Maks. Maks. Maks. Maks.
40,0/ 40,0/ 40,0/ 40,0/
7.2 Timah (Sn) mg/kg 250,0 250,0 250,0 250,0
*** *** *** ***

Merkuri Maks. Maks. Maks. Maks.


7.3 mg/kg 0,03
(Hg)**** 0,03 0,03 0,03
Maks. Maks. Maks Maks.
7.4 Arsen (As) **** mg/kg 0,1
0,1 0,1 .0,1
(Sambungan)
8 Cemaran mikroba
Angka lempeng Maks. Maks. Maks. Maks.
4
8.1 total (ALT) Koloni/g 1x10 1x104 1x104 1x104

APM/g
Bakteri
atau Maks. Maks. Maks. Maks.
8.2 Coliform
Koloni/g 10 10 10 10

Negatif/ Negatif/ Negatif/ Negatif/


8.3 Salmonella - 25 g
25 g 25 g 25 g
Staphylococcus Maks. Maks. Maks. Maks.
8.4 aureus Koloni/g 1x102 1x102 1x102 1x102

Kapang dan Maks. Maks. Maks. Maks.


8.5 khamir Koloni/g 1x102 1x102 1x102 1x102

* untuk produk susu kental manis tanpa penambahan perisa


** untuk produk susu kental manis dengan penambahan perisa
*** untuk kemasan kaleng
**** dihitung terhadap produk siap konsumsi

2.5 Pengemasan
Pengertian umum dari kemasan adalah suatu benda yang
digunakan untuk wadah atau tempat dan dapat memberikan perlindungan
sesuai dengan tujuannya. Adanya kemasan dapat membantu
mencegah/mengurangi kerusakan, melindungi bahan yang ada di dalamnya

14
Institut Sains dan Teknologi Nasional
dari pencemaran serta gangguan fisik seperti gesekan, benturan dan getaran
(Rini, dkk. 2008).

2.5.1 Fungsi Kemasan (Rini, dkk. 2008)


a. Harus dapat mempertahankan produk agar bersih, memberikan
perlindungan terhadap kotoran dan pencemaran lainnya.
b. Harus memberi perlindungan pada bahan pangan terhadap kerusakan
fisik, air, oksigen dan sinar.
c. Harus berfungsi secara benar, efisien dan ekonomis dalam proses
pengepakan yaitu selama pemasukan bahan pangan ke dalam kemasan.
Hal ini berarti bahan pengemas harus sudah dirancang untuk siap pakai
pada mesin-mesin yang ada atau yang baru akan dibeli atau disewa.
d. Harus mempunyai tingkat kemudahan untuk dibentuk menurut
rancangan, dimana bukan saja memberi kemudahan pada konsumen
misalnya kemudahan dalam membuka atau menutup kembali wadah
tersebut, tetapi juga harus mempermudah pada tahap selanjutnya selama
pengelolaan di gudang dan selama pengangkutan untuk distribusi.
Terutama harus dipertimbangkan dalam ukuran, bentuk, berat dari unit
pengepakan.
e. Harus memberi pengenalan, keterangan dan daya tarik penjualan.

2.5.2 Bahan-Bahan Kemasan


1. Logam seperti lempeng timah, Aluminium.
Aluminium foil (alufo) seperti halnya kaleng aluminium merupakan
jenis kemasan berbahan dasar aluminium. Aluminium foil banyak
digunakan sebagai bagian dari kemasan bentuk kantong bersama-sama
dilaminasi dengan berbagai jenis plastik dan banyak digunakan industri
makanan ringan dan susu bubuk. Alufo mengandung aluminium tidak
kurang dari 99% merupakan jenis kemasan yang ringan, atraktif, tidak
berbau/berasa dan inert terhadap sebagian besar makanan. Kelemahannya
tidak tahan secara mekanis, mudah bocor jika ditusuk. Penggunaan
aluminium sebagai wadah kemasan, menyebabkan bagian sebelah dalam
15
Institut Sains dan Teknologi Nasional
wadah tidak dapat kontak dengan oksigen, ini menyebabkan terjadinya
perkaratan di bagian sebelah dalam kemasan untuk mencegah terjadinya
karat, maka di bagian dalam dari wadah aluminium ini harus diberi
lapisan enamel. Secara komersial penggunaan aluminium murni tidak
menguntungkan, sehingga harus dicampur dengan logam lainnya
untuk mengurangi biaya dan memperbaiki daya tahannya terhadap
korosi. Logam-logam yang biasanya digunakan sebagai campuran pada
pembuatan wadah aluminium adalah tembaga, magnesium, mangan,
khromium dan seng (pada media alkali). Sifat-sifat dari aluminium foil
adalah hermetis, fleksibel, tidak tembus cahaya sehingga dapat
digunakan untuk mengemas bahan-bahan yang berlemak dan bahan-
bahan yang peka terhadap cahaya seperti margarin dan yoghurt.
Aluminium foil banyak digunakan sebagai bahan pelapis atau laminan
(Syarif. 2009).
Kemasan yang terbuat dari aluminium dapat dikategorikan sebagai
kemasan kaku (rigid) dan kemasan fleksibel seperti aluminium laminasi.
Aluminium memiliki sifat antara lain: mempunyai bobot yang lebih
ringan dibandingkan dengan baja, daya korosif oleh atmosfir rendah,
mudah dibentuk karena sifatnya yang lemas dan lentur, cukup
melindungi produk dari pengaruh kelembaban, gas dan cahaya, tidak
menimbulkan noda dengan adanya sulfur pada produk. Melalui proses,
aluminium dapat dilaminasi dengan plastik khusus atau kertas menjadi
kemasan fleksibel yang biasa digunakan untuk produk pangan cair, semi
padat, bakery, serealia, dan lain-lain (Tjahjadi. 2011).
Dari sifat-sifat aluminium tersebut ditemukan pula beberapa
kelemahan dalam hubungannya dengan bentuk kemasan berupa kaleng,
antara lain: (1) sukar/sulit untuk ditutup atau direkat dengan solder; (2)
dari sifatnya yang lentur clan sulit ditutup, cenderung ada lubang-lubang
yang merugikan; (3) seringkali dapat memudarkan warna beberapa
produk yang dikemas; (4) bila digunakan untuk mengemas produk
pangan cair atau berair, daya awetnya lebih kecil dari tinplate dan (4)
kekuatannya lebih rendah dibandingkan lembaran timah pada ketebalan
16
Institut Sains dan Teknologi Nasional
yang sama (Tjahjadi. 2011). Bentuk kemasan yang menggunakan
aluminium foil antara lain kotak, lonjong, piring, bulat, persegi, dan lain-
lain. Penggunaan aluminium foil sering disertai dengan laminasi dan
bahan-bahan lain seperti kertas, plastik, dan lain-lain atau dengan
pelapisan/coating dengan nitro-selulosa, polietilena, etil-selulosa, selofan,
dan lain-lain. Keuntungan-keuntungan menggunakan aluminium foil
sebagai bahan pengemas adalah:
a. Mempunyai luas permukaan yang lebih besar per satuan berat.
b. Tidak tembus cahaya.
c. Ukuran yang tebal, daya tahan terhadap oksigen dan uap air
baik.
d. Tidak terpengaruh cahaya matahari.
e. Tidak terbakar.
f. Tidak bersifat menyerap.
g. Tidak mengalami perubahan akibat variasi kelembaban.
Aspek pasar lebih menguntungkan dikarenakan harga bahan yang
lebih murah dan tahan terhadap bahannya lebih tinggi. Kemasan tidak
transparan sehingga tahan terhadap sinar matahari, kemasan tahan
tekanan sehingga tidak mudah rusak, desain kemasan menarik, tidak
mudah terkontaminasi, bentuk kemasan yang unik.
2. Gelas.
3. Plastik. Termasuk beraneka ragam plastik tipis, yang berlapis
laminates dengan plastik lainnya, kertas atau logam (aluminium).
4. Kertas, paper board, fiber board.
5. Lapisan (laminate) dari satu atau lebih bahan bahan di atas.
6. Tinplate
Tinplate terdiri atas 9 lapisan dengan bagian tengah terbuat dari
baja yang pada tiap sisinya dilapisi oleh suatu lapisan campuran timah-
besi. Kemudian timah berlapis pernis mempunyai lapisan lainnya yang
biasanya hanya pada satu sisi. Ketebalan relatif dari masing-masing
lapisan kira-kira baja dasar 10.000, campuran 5, timah 50, oksida 0,1 dan
minyak 0,2. Baja dasar dibuat dengan berbagai komposisi kimia agar
17
Institut Sains dan Teknologi Nasional
dapat tahan terhadap berbagai macam sifat karat yang diakibatkan bahan
panas. Tiga tipe utama dari baja ditunjukan dengan kode L, MR, MC
dengan urutan menurun dalam hal daya tahannya terhadap karat.
Ketebalan tinplate diukur secara langsung dalam mm, mulai dari 0,2 mm
sampai 0,9 mm dan kadang sampai 1,4 mm.
Daya tahan tinplate terhadap karat penting untuk menentukan daya
tahan makanan olahan dengan panas selama peyimpanan. Beberapa
faktor yang menentukan besarnya pengkaratan pada bagian dalam kaleng
yang dibuat dengan tinplate adalah:
a. Sifat dari bahan pangan terutama pH.
b. Adanya pemicu karat seperti nitrat, belerang, zat warna
anthosianin.
c. Banyak sisa oksigen dalam bahan pangan khususnya pada
bagian atas kaleng.
d. Macam tinplate, macam lapisan pernisnya.
e. Suhu dan waktu penyimpanan.
7. Aluminium
Metoda yang digunakan untuk membuat kaleng aluminium
termasuk penarikan dan penarikan kembali (draw and redraw) ekstrusi
dengan tekanan penarikan serta pelicinan (Rini, dkk. Jilid 2. 2008).

2.6 Logam
Logam berasal dari kerak bumi yang berupa bahan-bahan murni, organik
dan anorganik. Logam merupakan bahan pertama yang dikenal oleh manusia dan
digunakan sebagai alat-alat yang berperan penting dalam sejarah peradaban
manusia. Logam awalnya diambil dari pertambangan di bawah tanah (kerak
bumi), yang kemudian dicairkan dan dimurnikan dalam pabrik menjadi logam-
logam murni misalnya, emas, perak, besi, dan lain-lain (Darmono. 1995). Logam
berat adalah logam yang bertahan lama dilingkungan, selain itu bersifat permanen
toksisitas karena lamanya bertahan dilingkungan. Logam berat umumnya bersifat
racun bagi tanaman, hewan dan juga manusia (Surtipanti. 1994).

18
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Logam berat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu logam berat esensial dan
logam berat non esensial. Logam berat esensial adalah logam dalam jumlah
tertentu sangat dibutuhkan oleh organisme hidup, namun dalam jumlah yang
berlebihan cepat menimbulkan efek racun, sebagai contoh antara lain Zn, Cu, Fe,
Co, Mn, dan Se. Logam berat non esensial merupakan logam yang beracun (toxic
metal) yang keberadaannya dalam tubuh masih belum diketahui manfaatnya,
sebagai contoh antara lain Hg, Cd, Pb, Sn, Cr (VI), dan logam As. Logam berat
dapat menimbulkan efek yang merugikan kesehatan manusia, sehingga sering
disebut sebagai logam beracun. Senyawa ini tidak dapat dirusak di alam dan tidak
berubah menjadi bentuk lain. Penggolongan logam beracun dapat dilihat dalam
gambar 2.2 (BPOM RI. 2010).

Gambar 2.2. Bagan logam berat


Sumber : (BPOM RI 2010)

2.6.1 Macam–Macam Logam


1. Kadmium
Kadmium (Cd) memiliki nomor atom 48; bobot atom 112,41 g;
bobot jenis 8,642 g/cm3 pada 20°C; titik leleh 320,9°C; titik didih 767 °C;
tekanan uap 0,013 Pa pada 180°C. Kadmium merupakan logam yang
ditemukan alami dalam kerak bumi. Kadmium murni berupa logam lunak
berwarna putih perak. Namun sejauh ini belum pernah ditemukan
kadmium dalam keadaan logam murni di alam. Kadmium biasa
ditemukan sebagai mineral yang terikat dengan unsur lain seperti oksigen,

19
Institut Sains dan Teknologi Nasional
klorin, atau sulfur. Kadmium tidak memiliki rasa maupun aroma spesifik.
Kadmium digunakan dalam industri sebagai bahan dalam pembuatan
baterai, pigmen, pelapisan logam dan plastik.
Toksisitas
LD50 : 225 mg/kg; PTWI : 0,007 mg/kgbb.
Kajian keamanan
Dalam kondisi asam lemah, kadmium akan mudah terabsorpsi ke
dalam tubuh. Sebanyak 5% kadmium diserap melalui saluran
pencernaan, dan terakumulasi dalam hati dan ginjal. Kadmium dan
senyawanya bersifat karsinogen dan bersifat racun kumulatif. Selain
saluran pencernaan dan paru-paru, organ yang paling parah akibat
mencerna kadmium adalah ginjal. Kerusakan yang terjadi disebabkan
oleh proses destruksi eritrosit, proteinuria, rhinitis, emphysema dan
bronkhitis kronis.
Gejala keracunan kronis adalah terjadinya ekskresi ß
mikroglobulin dalam urin akibat kerusakan fungsi ginjal. Kadmium juga
mengakibatkan terjadinya deformasi tulang. Di Jepang, penyakit “Itai-
itai” disebabkan konsumsi beras berkadar Cd lebih dari 0,4 mg/kg. Di
Indonesia terdapat kajian kadar kadmium dalam beras coklat (beras
pecah kulit) 0,04 mg/kg-0,39 mg/kg. Kajian domestik menunjukkan
bahwa kandungan kadmium dalam kacang tanah lebih rendah dari 0,2
mg/kg, dalam polong-polongan lebih rendah dari 0,1 mg/kg, dan dalam
kedelai (kering) lebih rendah dari 0,2 mg/kg. Kandungan kadmium pada
ikan predator misalnya cucut, tuna, marlin dan lain-lain di Indonesia
mencapai hingga 0,6 mg/kg, namun sebagian besar mendekati 0,5 mg/kg;
pada kekerangan (bivalve) moluska dan teripang < 1,0 mg/kg (SNI.
2009). Olahan susu dan analognya yaitu 0,05 mg/kg (BPOM 2018).
2. Timbal
Deskripsi
Timbal (Pb) memiliki nomor atom 82; bobot atom 207,21; Valensi
2-4. Timbal merupakan logam yang sangat beracun terutama terhadap
anak-anak. Secara alami ditemukan pada tanah. Timbal tidak berbau dan
20
Institut Sains dan Teknologi Nasional
tidak berasa. Timbal dapat bereaksi dengan senyawa-senyawa lain
membentuk berbagai senyawa-senyawa timbal, baik senyawa-senyawa
organik seperti timbal oksida (PbO), timbal klorida (PbCl2) dan lain-lain.
Sumber-sumber timbal antara lain cat usang, debu, udara, air, makanan,
tanah yang terkontaminasi dan bahan bakar bertimbal. Penggunaan
senyawa-senyawa timbal antara lain pembuatan gelas, penstabil pada
senyawa-senyawa PVC, cat berbasis minyak, zat pengoksidasi, bahan
bakar.
Toksisitas
LD50 : Tikus 100-825 mg/kg (oral, timbal arsenat), Tikus 109 mg/kg
(oral, tetrametil timbal), Kelinci 125 mg/kg (oral, timbal arsenat), Ayam
450 mg/kg (oral, timbal arsenat).
LD: Tikus 11000 mg/kg (oral, timbal asetat), Anjing 2000-3000 mg/kg
(oral, timbal sulfat)
LDLo: Manusia perkiraan 1,70 mg/kg (trietil timbal) PTWI: 0,025
mg/kgbb
Kajian Keamanan
Pada tubuh, timbal diperlakukan seperti halnya kalsium. Tempat
penyerapan pertama adalah plasma dan membran jaringan lunak. Bayi,
janin dalam kandungan dan anak-anak lebih sensitif terhadap paparan
timbal karena timbal lebih mudah diserap pada tubuh yang sedang
berkembang. Selain itu jaringan otot anak-anak lebih sensitif sekitar 99%
timbal yang masuk ke dalam tubuh orang dewasa dapat diekskresikan
setelah beberapa minggu, sedangkan untuk anak-anak hanya 32 % yang
dapat diekskresikan. Timbal dapat masuk kedalam tubuh melalui
pernafasan dan makanan. Konsumsi timbal dalam jumlah banyak secara
langsung menyebabkan kerusakan jaringan, termasuk kerusakan jaringan
mukosal. Sistem yang paling sensitif adalah sistem sintetis jaringan darah
(hematopoietic/ sel- sel sumsum tulang belakang yang menghasilkan
darah merah, darah putih) sehingga biosintetis haema terganggu. Semua
sel-sel yang sedang aktif berkembang sensitif terhadap timbal.

21
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Timbal juga dapat merusak syaraf pada bayi dan anak-anak,
paparan terhadap timbal yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan
otak; penghambatan pertumbuhan anak-anak, kerusakan ginjal, gangguan
pendengaran, mual, sakit kepala, kehilangan nafsu makan dan gangguan
pada kecerdasan dan tingkah laku. Pada orang dewasa, timbal dapat
menyebabkan peningkatan tekanan darah dan gangguan pencernaan,
kerusakan ginjal, kerusakan syaraf, sulit tidur, sakit otak dan sendi,
perubahan mood dan gangguan reproduksi. Data penelitian Balai Besar
Pasca Panen Departemen Pertanian menunjukkan kadar timbal dalam
tomat dan hasil olahannya berkisar antara 0,05 mg/kg–0,17 mg/kg. Hasil
pengujian timbal dalam Ikan predator misalnya cucut, tuna, marlin dan
lain-lain di Indonesia berkisar 0,4 mg/kg, dalam kekerangan (bivalve)
berkisar 1,5 mg/kg, dalam udang dan krustasea lainnya berkisar 0,1
mg/kg-0,24 mg/kg (SNI. 2009). Olahan susu dan analognya bekisar 0,02
mg/kg (BPOM RI. 2018).
3. Timah (Stannum, Tin)
Deskripsi
Timah (Sn) memiliki nomor atom 50; bobot atom 118,69; bobot
jenis 7,29g/cm3; titik leleh 231,97°C; titik didih 2270°C. Timah
merupakan unsur logam yang dapat ditempa dan berwarna keperakan.
Secara kimia unsur ini reaktif. Timah bereaksi langsung dengan klorin
dan oksigen dan menggantikan hidrogen dari asam encer. Timah juga
larut dalam alkali membentuk stanat. Timah ada dalam beberapa bentuk
antara lain garam +2 dan +4 (garam sitrat, garam fluorida, garam sulfat,
garam klorida), oksida dan logam. Timah digunakan sebagai penyalut
pelindung tipis pada lempeng baja dan merupakan komponen dari
sejumlah aloi (misalnya kuningan fosfor, logam senjata, solder, logam
babbitt, dan pewter).
Toksisitas
LD50: mencit 592,9 mg/kgbb (oral), tikus 573,1 mg/kgbb (oral).
PTDI: 2 mg/kgbb, PTWI 14 mg/kgbb (JECFA)
Kajian Keamanan
22
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Pada makanan yang tidak diolah kandungannya amat sangat
rendah. Ditemukan pada produk makanan kaleng (buah dan sayur, ikan
herring), pasta gigi, timah logam ditemukan pada debu atau asap polusi
industri. Makanan berlemak lebih mudah menyerap timah. Timah dalam
pangan diserap oleh usus halus kurang dari 5%, sebagian dibuang melalui
urin dan keringat. Timah disebut sebagai mildly toxic mineral. Timah
menurunkan absorpsi kalsium, seng dan menurunkan aktivitas enzim
alkalin fosfatase. Konsumsi timah dalam pangan yang berlebihan dapat
menyebabkan iritasi saluran pencernaan yang ditandai dengan gejala
muntah, diare, kelelahan dan sakit kepala. Pada dosis akut dapat
menyebabkan anoreksia, ataxia dan kelemahan otot, serta pembengkakan
usus halus hingga kematian. Konsentrasi timah antara 150 μg/g-250 μg/g
di dalam makanan kalengan dapat mengakibatkan luka lambung secara
akut (SNI. 2009). Olahan susu dan analognya 250 mg/kg dalam kemasan
kaleng dan 40 mg/kg dalam kemasan bukan kaleng (BPOM RI. 2018).
4. Aluminium (Al)
Aluminium adalah unsur kimia dengan nomor atom 13 dan massa
atom 26, 9815. Unsur ini mempunyai isotop alam: Al-27. Sebuah isomer
dari Al-26 dapat meluruhkan sinar dengan waktu paruh 105 tahun.
Aluminium berwarna putih keperakan, mempunyai titik lebur 659,7oC
dan titik didih 2.057oC, serta berat jenisnya 2,699 gr/cm-3 (pada
temperatur 20oC). Termasuk dalam kelompok boron dalam unsur kimia
(Al-13) dengan massa jenis 2,7 gr/cm-3. Jari-jari atomnya adalah 117,6
pikometer (1x10-10 m). Aluminium adalah unsur terbanyak ketiga yang
ditemukan di bumi setelah oksigen dan silikon. Jumlahnya sekitar 7,6%
dari berat kerak bumi. Aluminium mudah dilengkungkan dan dibuat
mengkilat, serta larut dalam asam klorida dan asam sulfat berkonsentrasi
di atas 10%, tetapi tidak larut dalam asam organik.
Aluminium ditemukan pada tahun 1825 oleh Hans Christian
Oersted. Baru diakui secara pasti oleh F. Wohler pada tahun 1827.
Sumber unsur ini tidak terdapat bebas, bijih utamanya adalah bauksit.
Penggunaan Aluminium antara lain untuk pembuatan kabel, kerangka
23
Institut Sains dan Teknologi Nasional
kapal terbang, mobil dan berbagai produk peralatan rumah tangga.
Senyawanya dapat digunakan sebagai obat, penjernih air, fotografi serta
sebagai ramuan cat, bahan pewarna, ampelas dan permata sintesis.
Aluminium dapat larut pada pH yang rendah, pH asam dapat
meningkatkan konsentrasi aluminium di dalam makanan. Aluminium
dapat menjadi racun bagi tulang, sumsum tulang dan sistem saraf (Saiyed
dan Yokel, 2005). Konsumsi aluminium berlebih dapat menyebabkan
anemia (Samani, dkk. 2015). Toksisitas LD50: 1000 mg/kgbb, PTWI: 1
mg/kgbb (Food And Enviromental Hygiene Departement. 2009).

2.7 Prinsip Kerja ICP-OES (Hou dan Jones. 2000)


ICP- OES merupakan perangkat canggih untuk penentuan logam
dalam berbagai matriks sample yang berbeda pada pertengahan tahun 1960
yang pertama secara komersial. Instrumen ICP/OES diperkenalkan di tahun
1974. Tekniknya adalah berdasarkan pancaran spontan foton dari atom dan
ion yang tereksitasi pada pelepasan RF. Sampel cairan dan gas dapat
disuntikkan langsung ke dalam instrumen, sedangkan sampel padat
membutuhkan ekstraksi atau digesti asam sehingga analit akan didapatkan
dalam larutan.
Larutan sampel diubah menjadi aerosol dan diarahkan ke saluran pusat
plasma. Pada bagian inti indutively coupled plasma (ICP) suhunya sekitar
10.000 K, sehingga aerosol cepat diuapkan. Elemen analit dibebaskan sebagai
atom bebas dalam bentuk gas. Lebih lanjut eksitasi dalam plasma memberikan
energi tambahan untuk atom. Kedua jenis tereksitasi atomik maupun ionik
dapat kembali ke keadaan dasar melalui emisi foton. Foton memiliki energi
khas yang ditentukan oleh struktur tingkat energi terkuantisasi untuk atom
atau ion dengan demikian panjang gelombang foton dapat digunakan untuk
mengidentifikasi unsur dari mana berasal. Jumlah foton berbanding lurus
dengan konsentrasi unsur asal dalam sampel. Sebagian dari foton yang
dipancarkan oleh ICP dikumpulkan dengan lensa atau cermin cekung. Optik
pemfokusan ini membentuk perangkat pemilihan panjang gelombang seperti
monokromator. Panjang gelombang tertentu keluar dari monokromator diubah
24
Institut Sains dan Teknologi Nasional
menjadi sinyal listrik oleh detektor gambar. Sinyal diperkuat dan diproses oleh
elektronik detektor, kemudian ditampilkan dan disimpan dalam komputer.
Dibandingkan dengan teknik lain, ICP-OES ini memiliki atomisasi suhu yang
lebih tinggi, suasana yang lebih lembab, dan kemampuan untuk menyediakan
penentuan simultan hingga 70 elemen.
Pada ICP-OES ‘‘Torch” biasanya terdiri dari tiga tabung silika
konsentris bagian luar, tengah, dan tabung gas dalam. Diameter tabung luar
berkisar 9-27 mm. Kumparan tembaga, yang disebut load koil, mengelilingi
bagian atas bagian dari torch, dan terhubung ke generator RF. Daya RF,
biasanya 700–1500 W, diterapkan pada load coil, arus bolak-balik arus
berosilasi di dalam kumparan pada tingkat yang sesuai ke frekuensi generator
untuk sebagian besar instrumen ICP-OES generator RF memiliki frekuensi
baik 27 atau 40 MHz. Osilasi RF menyebabkan medan listrik dan magnet
harus diatur di bagian atas dari torch. Dengan gas argon yang mengalir
melalui torch, percikan dari kumparan digunakan untuk menghasilkan
elektron ‘‘seed” dan ion dalam gas argon di dalam wilayah load coil. Ion dan
elektron ini kemudian dipercepat oleh medan magnet, dan bertabrakan dengan
atom argon lain, menyebabkan ionisasi lebih lanjut dengan cara reaksi
berantai.

2.8 Komponen Utama Dan Susunan Instrumen ICP-OES (Boss dan Kenneth.
1997)

Gambar 2.3. komponen utama ICP-OES

1. Nebulizer

25
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Alat yang mengubah cairan sampel menjadi aerosol yang dapat
dibawa ke plasma. Cara yang dapat digunakan untuk memecah cairan
menjadi aerosol; pneumatic dan mekanik ultrasonik. Kebanyakan nebulizer
ICP komersial adalah dari jenis pneumatic.

Gambar 2.4. Nebulizer ICP-OES

2. Pompa
Pompa memanfaatkan serangkaian rol yang mendorong larutan sampel
melalui selang dengan gerakan peristaltik. Pompa tersebut tidak kontak
dengan larutan, hanya dengan selang yang membawa larutan dari bejana
sampai ke nebulizer.

Gambar 2.5. Pompa peristaltik ICP-OES

3. Spray Chamber
Spray chamber di tempatkan di antara nebulizer dan torch. Fungsi
utama dari spray chamber adalah menghilangkan tetesan besar dari aerosol.
Fungsi kedua dari spray chamber adalah untuk melancarkan pulse yang
terjadi selama nebulisasi yang sering disebabkan oleh pemompaan larutan.
Secara umum spray chamber ICP dirancang untuk memungkinkan tetesan
dengan diameter sekitar 10 mm atau lebih kecil lolos ke plasma.
26
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Gambar 2.6. Spray chamber ICP-OES

Beberapa alternatif untuk nebulizer dan spray chamber telah


digunakan sebagai sistem penghantar sampel untuk ICP-OES. Tenik alternatif
yang paling banyak digunakan adalah hybride generation (generasi hibrida).
Alasan kemajuan besar dalam sensitivitas untuk unsur ini adalah tingkat
penghantaran sampel untuk generator hibrida seringkali sepuluh kali
dibandingkan dengan efisiensi 1-5% bila menggunakan nebulizer pneumatic
dan spray chamber.

Gambar 2.7. Sistematika Generator hibrida

4. Torch
Terdiri dari tiga tabung konsertis untuk aliran argon dan injeksi aerosol.
Jarak antara dua tabung luar dipertahankan sempit sehingga gas yang
dihantarkan diantaranya mengalir dengan kecepatan tinggi. Salah satu fungsi
dari gas untuk menjaga dinding kuarsa torch dingin. Aliran gasnya 7-15 L
/menit. Dalam operasi normal torch memiliki aliran gas menengah sekitar 10
L /menit digunakan untuk mengurangi pembentukan karbon pada ujung
tabung injektor ketika sampel organik sedang dianalisis.

27
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Gambar 2.8. Torch

5. Generator RF
Alat yang meyediakan daya untuk pembentukan dan pemeliharaan
plasma discharge. Daya berkisar antara 700-1500 watt, ditransfer ke gas
plasma melalui load coil di sekitar bagian atas torch. Load coil bertindak
sebagai antena untuk mentransfer daya RF ke plasma. Terbuat dari tabung
tembaga didinginkan dengan air atau gas selama pengoprasian. Kebanyakan
digunakan untuk ICP-OES pada frekuensi antara 27 dan 56 MHz.

6. Transfer Optik
Radiasi emisi dari daerah plasma yang dikenal sebagai zona analitis
normal disampel untuk pengukuran spektrometri. Radiasi tersebut biasanya
dikumpulkan oleh fokus optik seperti lensa cembung atau cermin cekung.
Optik ini kemudian memfokuskan plasma ke celah masuk dari alat
pendispersi panjang gelombang atau spectrometer.

Gambar 2.9. Transfer optik

28
Institut Sains dan Teknologi Nasional
7. Pendispersi panjang gelombang
Diferensiasi radiasi emisi suatu unsur dari radiasi yang dipancarkan
oleh unsur dan molekul lainnya. Pemilihan dilakukan dengan beberapa cara.
Yang paling umum diffraction grating (celah difraksi), yang kurang umum
digunakan yaitu Prisma, filter, dan interferometer. Celah adalah sebuah
cermin dengan garis yang berjarak sangat dekat dipermukaannya.
Kebanyakan memiliki garis, atau alur, kepadatan 600-4200 garis per
milimeter. Ketika cahaya mengenainya, cahaya terdifraksi dengan sudut yang
tergantung pada panjang gelombang cahaya dan kepadatan garis, untuk
memisahkan cahaya polikromatik, digabung dalam instrument optik yang
disebut spektrometer. Spektrometer menerima cahaya putih atau radiasi
polikromatik dan mendispersikannya menjadi radiasi monokromatik. Satu
atau lebih celah keluar pada bidang atau lingkaran keluar kemudian
digunakan untuk memungkinkan panjang gelombang tertentu lolos ke
detektor sambil menghalangi panjang gelombang yang lain.

Gambar 2.10. Celah difraksi memisahkan dua panjang gelombang cahaya

Ketika beberapa celah keluar dan detektor digunakan dalam


spektrometer yang sama, perangkat ini disebut polikromator. Setiap celah
keluar di polikromator sejajar dengan garis emisi atom atau ion dari unsur
tententu yang memungkinkan analisis multiunsur secara bersamaan. Disisi
lain, sebuah monokromator biasanya hanya menggunakan satu celah keluar

29
Institut Sains dan Teknologi Nasional
dan detektor. Monokromator digunakan dalam analisis multi unsur dengan
pemindaian secara cepat atau slewing, dari satu garis emisi ke garis emisi
yang lain. Hal ini dapat dilakukan dengan mengubah sudut difraksi dengan
cara memutarnya atau dengan memindahkan detektor dibidang keluar dari
monokromator dan membiarkan celah berada pada posisi tetap.
Gambar 2.11. Polikromator Rowland Circle

Gambar 2.12. Monokromator

Gambar 2.13. Polikatoda dynode dan anoda

8. Detektor
Setelah garis emisi yang tepat diisolasi oleh spektromator, detektor
dan elektronik yang terkait digunakan untuk mengukur intensitas garis emisi.
Sejauh ini detektor yang paling banyak digunakan untuk ICP-OES adalah
tabung photomultiplier atau PMT. PMT adalah tabung vakum yang berisi

30
Institut Sains dan Teknologi Nasional
bahan fotosensitif yang disebut photocathode, yang melepaskan elektron
ketika terkena cahaya. Elektron yang dilepaskan dipercepat menuju dynode
yang melepaskan 2-5 elektron sekunder untuk setiap satu elektron yang
mengenai permukaannya. Elektron sekunder tersebut mengenai dynode yang
lain, sehingga melepaskan lebih banyak lagi elektron yang mengenai dynode
lainnya, menyebabkan efek penggandaan sepanjang perjalanan. PMT
biasanya memiliki 9-16 tahap dynode. Tahap terakhir adalah pengumpulan
elektron sekunder dari dynode terakhir dengan menggunakan anoda sebanyak
106 elektron sekunder dapat dikumpulkan sebagai hasil dari foto tunggal yang
mengenai photocathode PMT yang memiliki 9 dynode.
9. Komputer dan prosessor
Setiap instrumen ICP-OES komersial yang tersedia saat ini
menggunakan beberapa jenis komputer untuk mengendalikan spektrometer
dan untuk mengumpulkan, memanipulasi, dan melaporkan data analisis.

2.9 Karakteristik ICP-OES (Hou dan Jones. 2000)


Dibandingkan dengan teknik lain, ICP-OES memiliki suhu atomisasi
yang lebih tinggi, lingkungan yang lebih inert, dan kemampuan alami untuk
penentuan hingga 70 unsur secara bersamaan. Hal ini membuat ICP lebih
tahan terhadap gangguan matriks, dan lebih mampu untuk mengoreksikanya
ketika terjadi gangguan matriks. ICP-OES menyedikan batas deteksi serendah,
atau lebih rendah dari, GFAAS. Selain itu, ICP tidak menggunakan elektroda,
sehingga tidak kontaminasi dari pengotor yang berasal dari bahan elektroda.
ICP juga relatif lebih mudah dalam perakitannya dan murah, dibandingkan
dengan beberapa sumber lain, seperti LIP (laser - induced plasma). Berikut ini
adalah beberapa sifat yang paling menguntungkan dari sumber ICP.
a. Suhu tinggi (7000-8000 K).
b. Kerapatan elektron tinggi (1014-1016 cm3).
c. Derajat ionisasi yang cukup besar untuk banyak unsur.
d. Kemampuan analisa multiunsur secara bersamaan (lebih dari 70
unsur termasuk P dan S).
e. Emisi background rendah, dan gangguan kimia yang relatif rendah.
31
Institut Sains dan Teknologi Nasional
f. Stabilitas tinggi yang menyebabkan akurasi dan presisi yang sangat
baik.
g. Batas deteksi yang sangat baik untuk sebagian besar unsur (0,1-100
ng/mL)
h. Liniear dynamic range (LDR) yang lebar (4-6 kali lipat)
i. Dapat diterapkan untuk unsur-unsur refraktori
j. Analisis biaya efektif
Kekurangan pada teknik ini bahwa sampel yang dapat diukur dalam
bentuk sampel cair sehingga sampel terlebih dahulu dilakukan destruksi sesuai
dengan sifat zat uji, dan untuk beberapa zat uji yang memiliki sifat tidak tahan
panas, diperlukan sifat khusus dalam pengukuran menggunakan metode ini.

2.10 Metode Destruksi


Destruksi merupakan suatu perlakuan pemecahan senyawa menjadi
unsur-unsurnya sehingga dapat dianalisis. Istilah destruksi ini disebut juga
perombakan, yaitu dari bentuk organik logam menjadi bentuk logam-logam
anorganik. Pada dasarnya ada dua jenis destruksi yang dikenal dalam ilmu
kimia yaitu destruksi basah (oksida basah) dan destruksi kering (oksida
kering) (Raimon. 1993).
1. Destruksi basah
Destruksi basah adalah perombakan sampel dengan asam-asam kuat
baik tunggal maupun campuran, kemudian dioksidasi dengan menggunakan
zat oksidator. Pelarut-pelarut yang dapat digunakan untuk destruksi basah
antara lain asam nitrat, asam sulfat, asam perklorat, dan asam klorida.
Kesemua pelarut tersebut dapat digunakan baik tunggal maupun campuran.
Kesempurnaan destruksi ditandai dengan diperolehnya larutan jernih pada
larutan destruksi, yang menunjukkan bahwa semua konstituen yang ada telah
larut sempurna atau perombakan senyawa-senyawa organik telah berjalan
dengan baik. Senyawa-senyawa garam yang terbentuk setelah destruksi
merupakan senyawa garam yang stabil dan disimpan selama beberapa hari
(Raimon. 1993).
2. Destruksi kering
32
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Destruksi kering merupakan perombakan organik logam di dalam
sampel menjadi logam-logam anorganik dengan jalan pengabuan sampel
dalam muffle furnace dan memerlukan suhu pemanasan tertentu. Pada
umumnya dalam destruksi kering ini dibutuhkan suhu pemanasan antara 400-
800oC, tetapi suhu ini sangat tergantung pada jenis sampel yang akan
dianalisis. Untuk menentukan suhu pengabuan dengan sistem ini terlebih
dahulu ditinjau jenis logam yang akan dianalisis. Bila oksida-oksida logam
yang terbentuk bersifat kurang stabil, maka perlakuan ini tidak memberikan
hasil yang baik, untuk logam Fe, Cu, dan Zn oksidanya yang terbentuk adalah
Fe2O3, FeO, CuO, dan ZnO. Semua oksida logam ini cukup stabil pada suhu
pengabuan yang digunakan. Oksida-oksida ini kemudian dilarutkan ke dalam
pelarut asam encer baik tunggal maupun campuran, setelah itu dianalisis
menurut metode yang digunakan (Sumardi. 1981).

2.11 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pelepasan logam


Menurut (Blunden dan Wallace. 2003); (Dewi. 2012); dan (Sidiq. 2013).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pelepasan logam pada minuman kaleng adalah
sebagai berikut:
a. Sifat bahan pangan, terutama pH makanan dalam kaleng.
Peristiwa korosi pada kondisi asam, yakni pada kondisi pH<7 semakin
besar, karena adanya reaksi reduksi yang berlangsung pada katoda yaitu:
2H+ + 2e– → H2, reaksi reduksi pada katoda menyebabkan lebih banyak
atom logam yang teroksidasi sehingga korosi pada permukaan logam
semakin besar.
b. Sisa oksigen dalam bahan pangan khususnya pada bagian atas kaleng.
Sisa oksigen dalam bahan pangan khususnya terdapat pada bagian atas
kaleng, adanya oksigen akan menyebabkan korosi pada logam.
c. Faktor yang berasal dari bahan kemasan.
Faktor yang berasal dari bahan kemasan misalnya lapisan timah dan
komposisi lapisan kemasan. Logam yang mudah memberikan elektron
atau yang mudah teroksidasi, akan mudah terkorosi. Pada deret volta Li-
K- Ba- Sr- Ca- Na- Mg- Al- Mn- Zn- Cr- Fe- Cd- Co- Ni- Sn- Pb- H+- Cu-
33
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Ag- Hg- Pt- Au, semakin ke kiri kedudukan suatu logam tersebut semakin
mudah mengalami oksidasi, semakin mudah melepaskan elektron.
Sebaliknya, semakin kekanan kedudukan suatu logam semakin mudah
mengalami reduksi, semakin sulit melepaskan elektron.
d. Waktu penyimpanan.
Waktu penyimpanan berkorelasi dengan jumlah logam yang terlarut,
artinya semakin lama terjadinya kontak, maka semakin banyak logam yang
terlarut.
2.12 Validasi Metode Analisis (Riyanto. 2014)
Validasi adalah konfirmasi melalui bukti-bukti pemeriksaan dan telah
sesuai dengan tujuan pengujian. Validasi harus dilakukan terhadap metode
non- standar dan metode yang dikembangkan laboratorium. Rentang ukur dan
akurasi dapat diperoleh dari hasil validasi metode yang sesuai dengan
kebutuhan customer. Validasi adalah konfirmasi melalui pengujian dan
pengadaan bukti yang objektif bahwa persyaratan tertentu untuk suatu maksud
khusus dipenuhi. Laboratorium harus memvalidasi:
1. Metode tidak baku
2. Metode yang didesain/dikembangkan laboratorium
3. Metode baku yang digunakan diluar lingkup yang dimaksud
4. Metode baku yang dimodifikasi
5. Metode baku untuk menegaskan dan mengkonfirmasi bahwa metode itu
sesuai untuk penggunaan yang dimaksudkan.
Pertimbangan untuk semua komponen estimasi ketidakpastian.
Beberapa sebab metode uji perlu divalidasi yaitu: repeatability dan
reproducibility, akurasi (ketepatan, accuracy), perolehan kembali (recovery),
limit deteksi dan limit kuantitasi, ketidakpastian (uncertainty), daerah linier
pengukuran dan daerah kerja, robustness terhadap pengaruh eksternal,
konfirmasi identitas, selektifitas, spesifisitas, sensitivitas silang gangguan dari
matrik sampel.
Metode yang digunakan di laboratorium kimia analitik harus
dievaluasi dan diuji untuk memastikan bahwa metode tersebut mampu
menghasilkan data yang valid dan sesuai dengan tujuan, maka metode tersebut
34
Institut Sains dan Teknologi Nasional
harus divalidasi. Setiap laboratorium direkomendasikan bahwa metode yang
baik harus divalidasi ulang atau memverifikasi untuk memastikan bahwa
metode tersebut bekerja benar dalam lingkungan lokal. Validasi metode
analisis bertujuan untuk memastikan dan mengkonfirmasi bahwa metode
analisis tersebut sudah sesuai untuk peruntukannya. Validasi biasanya
diperuntukan untuk metode analisa yang baru dibuat dan dikembangkan.
Sedangkan untuk metode yang memang telah tersedia dan baku (misal dari
AOAC, ASTM, dan lainnya), namun metode tersebut baru pertama kali akan
digunakan di laboratorium tertentu, biasanya tidak perlu dilakukan validasi,
namun hanya verifikasi. Tahapan verifikasi mirip dengan validasi hanya saja
parameter yang dilakukan tidak selengkap validasi.

2.13 Parameter Validasi (Riyanto. 2014)


1. Presisi
Presisi atau precision adalah ukuran yang menunjukkan derajat
kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil
individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada
sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Presisi
diukur sebagai simpangan baku atau simpangan baku relatif (koefisien
variasi).
Precision dapat dinyatakan sebagai repeatability (keterulangan)
atau reproducibility (ketertiruan). Repeatability adalah keseksamaan
metode jika dilakukan berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi
sama dan dalam interval waktu yang pendek. Reproducibility adalah
keseksamaan metode jika dikerjakan pada kondisi yang berbeda. Analisis
dilakukan terhadap sampel-sampel yang diduga identik yang dicuplik dari
batch yang sama. Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan
simpangan baku relatif (RSD) atau koefisien variasi (CV) 2% atau
kurang. Akan tetapi kriteria ini sangat fleksibel tergantung pada
konsentrasi analit yang diperiksa, jumlah sampel, dan kondisi
laboratorium. Pada kadar 1% atau lebih, standar deviasi relatif antara
laboratorium adalah sekitar 2,5% ada pada satu per seribu adalah 5%.
35
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Pada kadar satu per sejuta (ppm) RSD-nya adalah 16%, dan pada kadar
part per bilion (ppb) adalah 32%. Pada metode yang sangat kritis, secara
umum diterima bahwa RSD harus lebih dari 2%. Presisi pengukuran
kuantitatif dapat ditentukan dengan menganalisis contoh berulang-ulang
(minimal 6x pengulangan), dan menghitung nilai simpangan baku (SD)
dan dari nilai simpangan baku tersebut dapat dihitung nilai koefisien
variasi dengan rumus:
∑𝑛 ̅ 2
𝑖=1(𝑋𝑖−𝑋 )
SD = √
𝑛−1
𝑆𝐷
KV (%) = × 100%
𝑋̅

Uji presisi berarti kedekatan antar tiap hasil uji pada suatu
pengujian yang sama untuk melihat sebaran diantara nilai benar. Presisi
dipengaruhi oleh kesalahan acak (random error), antara lain
ketidakstabilan instrumen, variasi suhu atau pereaksi, keragaman teknik
dan operator yang berbeda. Presisi dapat dinyatakan dengan berbagai
cara antara lain dengan simpangan baku, simpangan rata-rata atau kisaran
yang merupakan selisih hasil pengukuran yang terbesar dan terkecil
Suatu nilai ketelitian dinyatakan dalam Relative Standar Deviation (%
RSD). Besarnya RSD menyatakan tingkat ketelitian analis, semakin kecil
% RSD yang dihasilkan maka semakin tinggi tingkat ketelitiannya.
Presisi dari metode uji ditentukan dengan rumus :
𝑆𝐷
% RSD = X 100%
𝑋

Keterangan : SD : Standar Deviasi


𝑋̅ : Nilai Rata-rata
n : Ulangan
RSD : Relatif StandarDeviation
Kriteria seksama diberikan jika metode memberikan nilai % RSD ≤ 2%.
Kriteria ini sangat fleksibel tergantung pada konsentrasi analit yang
dianalisis, jumlah sampel dan kondisi laboratorium. Nilai RSD atau koefisien
variasi meningkat dengan menurunnya kadar analit yang dianalisis

2. Akurasi

36
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Accuracy adalah ukuran yang menunjukkan derajat kedekatan hasil
analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Accuracy dinyatakan sebagai
persen perolehan kembali (recovery) analit yang ditambahkan. Accuracy
dapat ditentukan melalui dua cara, yaitu metode simulasi (spiked - placebo
recovery) atau metode penambahan baku (standard addition method). Dalam
kedua metode tersebut, recovery dinyatakan sebagai rasio antara hasil yang
diperoleh dengan hasil yang sebenarnya. Biasanya persyaratan untuk recovery
adalah tidak boleh lebih dari 5%. Perhitungan perolehan kembali dapat juga
ditetapkan dengan rumus sebagai berikut:
𝐶1−𝐶2
% Perolehan kembali (recovery) = x 100 %
𝐶3

Keterangan:
C1 = Konsentrasi dari analit dalam campuran contoh + sejumlah tertentu analit
C2= Konsentrasi dari analit dalam contoh
C3= Konsentrasi dari analit yang ditambahkan kedalam contoh
Akurasi merupakan kemampuan metode analisis untuk memperoleh
nilai benar setelah dilakukan secara berulang. Nilai replika analisis semakin
dekat dengan sampel yang sebenarnya maka semakin akurat metode tersebut.
Rentang kesalahan yang diijinkan pada setiap konsentrasi analit pada matriks
dapat dilihat pada tabel 2.5.

Tabel 2.5. Nilai persen recovery berdasarkan nilai konsentrasi sampel


Analit pada matriks sampel Recovery yang diterima (%)
10< A ≤ 100 (%) 98-102
1 < A ≤ 10 (%) 97-103
0,1 < A ≤ 1 (%) 95-105
0,001 < A ≤ 0,1 (%) 90-107
100 ppb < A ≤ 1 ppm 80-110
10 ppb < A ≤ 100 ppb 60-115
1 ppb < A ≤ 10 ppb 40-120
(Sumber: Harmita 2004)

3. Linearitas
Linearitas adalah kemampuan metode analisis memberikan respon
proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang metode

37
Institut Sains dan Teknologi Nasional
adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah ditunjukkan
dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas yang dapat
diterima. Linearitas biasanya dinyatakan dalam istilah variansi sekitar arah
garis regresi yang dihitung berdasarkan persamaan matematik data yang
diperoleh dari hasil uji analit dalam sampel dengan berbagai konsentrasi
analit.
Dalam praktek, digunakan satu seri larutan yang berbeda konsentrasinya
antara 50–150% kadar analit dalam sampel. Di dalam pustaka, sering
ditemukan rentang konsentrasi yang digunakan antara 0–200%. Sebagai
parameter adanya hubungan linier digunakan koefisien korelasi r pada
analisis regresi linier y = a + bx. Hubungan linier yang r = +1 atau –1
bergantung pada arah garis. Sedangkan nilai a menunjukkan kepekaan
analisis terutama instrumen yang digunakan. Parameter lain yang harus
dihitung adalah simpangan baku residual (Sy). Dengan menggunakan
kalkulator atau perangkat lunak komputer, semua perhitungan matematik
tersebut dapat diukur.
Koefisien determinasi adalah rasio dari variasi yang dijelaskan terhadap
variasi keseluruhan. Nilai rasio ini selalu tidak negatif sehingga ditandai
dengan R2. Koefisien korelasi adalah suatu ukuran hubungan linier antara dua
set data dan ditandai dengan r. Hubungan linier yang ideal dicapai jika nilai r
= 0 dan r = +1 atau -1 merupakan hubungan yang sempurna, tanda + dan -
bergantung pada arah garis. (Riyanto. 2014)

4. LOD & LOQ


Batas deteksi adalah jumlah terkecil analit dalam sampel yang dapat
dideteksi yang masih memberikan respon signifikan dibandingkan dengan
blanko. Batas deteksi merupakan parameter uji batas. Batas kuantitasi
merupakan parameter pada analisis renik dan diartikan sebagai kuantitas
terkecil analit dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan
seksama. Penentuan blanko diterapkan ketika analisis blanko memberikan
hasil standar deviasi tidak nol. LOD dinyatakan sebagai konsentrasi analit
yang sesuai dengan nilai blanko sampel ditambah tiga standar deviasi dan
38
Institut Sains dan Teknologi Nasional
LOQ adalah konsentrasi analit yang sesuai dengan nilai blanko sampel
ditambah enam standar deviasi seperti yang ditunjukkan dalam persamaan
berikut:
LOD = 𝑋̅ + 3SD
LOQ = 𝑋̅ + 6 SD
𝑋̅ = konsentrasi rata-rata blanko.
SD = standar deviasi dari blanko.

2.14 Analisis Kuantitatif


Analisis kuantitatif logam dalam sampel dilakukan dengan mengamati
konsentrasi masing-masing sampel pada panjang gelombang terpilih. Setelah
didapatkan konsentrasi logam (mg/L) atau (ng/ml) dalam sampel, dihitung
kadar logam (mg/kg) dalam sampel (FSSAI, 2012 dengan modifikasi).
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 (𝑥) 𝑋 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 (mL)
Kadar (mg/kg) =
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔)

2.15 Batas Maksimum Konsumsi (Maximum Tolerable Intake/ MTI)


(Cahyani, dkk. 2016)
Batas maksimum konsentrasi dari bahan pangan terkonsentrasi logam
berat yang boleh dikonsumsi per minggu (Maximum Weekly Intake)
menggunakan angka ambang batas yang diterbitkan oleh organisasi dan
lembaga pangan internasional World Health Organization (WHO) dan Joint
FAO/WHO Expert Committee on Food Additive (JEFCA). Perhitungan
Maximum Weekly Intake menggunakan rumus:
MWI = Berat Badan (a) x PTWI (b)
Keterangan:
a = Rata-rata berat badan orang dewasa Indonesia 50 kg (Kemenkes RI 2010) dan anak-anak
adalah 15 kg.
b = PTWI (Provisional Tolerable Weekly Intake) atau angka toleransi batas maksimum per
minggu yang dikeluarkan lembaga pangan terkait dalam satuan mg/kg.

Batas maksimum logam berat yang dapat ditolerir untuk dikonsumsi


dalam waktu satu minggu (Maximum Tolerable Intake/MTI) dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut.

39
Institut Sains dan Teknologi Nasional
MTI = MWI/Ct
Keterangan:
MWI = Maximum Weekly Intake (mg untuk berat badan orang dewasa Indonesia 50 kg
dan anak-anak 15 kg per minggu).
Ct = Konsentrasi logam berat yang ditemukan (mg/kg).

40
Institut Sains dan Teknologi Nasional
BAB 3
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan di Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi DKI
Jakarta, Jalan Rawasari Selatan No.2 Cempaka Putih Timur, Jakarta Pusat.
Dengan lama penelitian 30 Juli 2018-10 September 2018.

3.2 Alat dan Bahan


Bahan
1. Sampel terdiri dari 8 susu kental manis: 3 sampel telah mendekati
kedaluwarsa (lama) Mei, Juni, September 2018 dan 3 susu kental manis
kaleng yang belum mendekati kedaluwarsa (baru) sekitar Maret-Mei
2019. Serta 2 susu kental manis kemasan bukan kaleng yang telah
mendekati kedaluwarsa (lama) sekitar September 2018 serta belum
mendekati kedaluwarsa (baru) sekitar April 2019.
2. Larutan standar Cd, Sn, Pb, dan Al (Merck)
3. Asam nitrat pekat (HNO3 p), Asam nitrat 10 %
4. Hidrogen peroksida (H2O2 30%)
5. Aquadem.
Alat
1. Seperangkat alat Inductively Coupled Plasma-Optical Emission
Spectrometry (ICP-OES) (Thermo Scientific ICAP 7000 Series)
2. Microwave digesti dengan vessel (MARS-CEM)
3. Beakerglass
4. Labu ukur 50 ml dan 25 ml
5. Pipet mikro
6. Corong
7. Timbangan Analitik (Sartorius-Quintitix 224-1s)
8. Gelas ukur
9. Kertas saring sartorius 390
10. Kertas indikator pH

41
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
3.3 Prinsip penelitian
Penelitian bertujuan untuk mengetahui kandungan kadar logam Cd, Sn,
Pb, dan Al dalam produk susu kental manis kemasan yang baru (belum
mendekati masa kedaluwarsa) dan lama (dekat dengan masa kedaluwarsa atau
kedaluwarsa) dengan 3 merek serta kemasan yang berbeda. Destruksi basah
dengan HNO3 dan H2O2 digunakan untuk penyiapan sampel, lalu dianalisis
dengan alat ICP-OES. Hasil yang didapat disesuaikan dengan batasan
Peraturan Kepala BPOM Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2018 dan World
Health Organization (WHO) dan Joint FAO/WHO Expert Committee on Food
Additive (JEFCA).

3.4 Prosedur penelitian


3.4.1 Perolehan Sampel
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah susu kental manis
yang diperoleh di Supermarket ataupun Minimarket dari sekitar wilayah
Jakarta Timur yang belum mendekati masa kedaluwarsa dan sudah mendekati
masa kedaluwarsa/sudah kedaluwarsa.
Tabel 3.1 Sampel yang digunakan

Sampel Kondisi Masa kedaluwarsa Kode


AL (kaleng) Lama Mei dan Juni 2018 KL 1
BL (kaleng) Lama September 2018 KL 2
CL (kaleng) Lama September 2018 KL 3
DL (bukan Lama September 2018 KNKL 4
kaleng)
AB (kaleng) Baru April 2019 KB 5
BB (kaleng) Baru Maret 2019 KB 6
CB (kaleng) Baru Maret dan May 2019 KB 7
DB(bukan kaleng) Baru April 2019 KNKB 8

3.4.2 Pemeriksaan organoleptik dan pH


Susu kental manis di deskripsikan secara oraganoleptis meliputi bau,
rasa, warna, dan pH.

42
Institut Sains dan Teknologi Nasional
3.4.3 Penyiapan larutan sampel
Destruksi basah
Susu kental manis ditimbang 0,6 gram ke dalam tabung vessel,
kemudian ditambahkan 4 ml HNO3 pekat dan 1 ml H2O2 30%
dimasukan ke dalam masing-masing vessel. Pasang tutup insert vessel
kemudian tutup dengan rapat. Kemudian sampel didestruksi
menggunakan microwave digesti pada suhu 190ºC selama 1 jam
dinginkan pada suhu ruang. Lalu dituangkan larutan sampel ke dalam
labu ukur 50,0 ml kemudian larutkan dengan aquadem hingga tanda
batas. Jika terdapat endapan sampel tersebut disaring. Pindahkan
sampel ke dalam tabung ICPS. Kemudian larutan sampel siap di inject
pada alat ICP-OES (AOAC. 2002 dengan modifikasi).

3.4.4 Pembuatan larutan induk


Larutan induk Cd, Pb, Sn, dan Al 1000 ppm dibuat dengan 1 gram
serbuk dilarutkan dengan 1000 ml aquadem, disimpan dalam lemari es
(2-8 ºC).
a. Larutan standar Cd 1 ppm :
Larutan standar Cd 1 ppm dibuat dengan mengambil 50 µL larutan
standar induk Cd 1000 ppm dimasukan ke dalam labu ukur 50,0 ml
ditambahkan HNO3 10% sebanyak 5 ml ditambahkan aquadem
hingga tanda batas homogenkan.
b. Larutan standar Pb 100 ppm :
Larutan standar Pb 100 ppm dibuat dengan mengambil 5 ml larutan
standar induk Pb 1000 ppm dimasukan ke dalam labu ukur 50,0 ml
ditambahkan HNO3 10% sebanyak 5 ml ditambahkan aquadem
hingga tanda batas homogenkan.
c. Larutan standar Sn 100 ppm :
Larutan standar Sn 100 ppm dibuat dengan mengambil 5 ml larutan
standar induk Sn 1000 ppm dimasukan ke dalam labu ukur 50,0 ml

43
Institut Sains dan Teknologi Nasional
ditambahkan HNO3 10% sebanyak 5 ml ditambahkan aquadem
hingga tanda batas homogenkan.
d. Larutan standar Al 100 ppm :
Larutan standar Al 100 ppm dibuat dengan mengambil 5 ml larutan
standar induk Al 1000 ppm dimasukan ke dalam labu ukur 50,0 ml
ditambahkan HNO3 10% sebanyak 5 ml ditambahkan aqudem
hingga tanda batas homogenkan.

3.4.5 Pemilihan panjang gelombang


Pemilihan panjang gelombang diamati menurut intensitas larutan pada
panjang gelombang tersebut. Panjang gelombang untuk analisis Cd, Al, Pb, Sn
dengan ICP-OES dipilih berdasarkan garis emisi panjang gelombang yang
paling sensitif. Terdapat pilihan panjang gelombang pada alat ICP-OES yang
digunakan untuk Cd yaitu 228,802 nm, Al 308.215 nm, Pb 220.353 nm, dan
Sn 189.989 nm (Agilent Technologies. 2017).

3.4.6 Pembuatan kurva kalibrasi (FSSAI. 2012 dengan modifikasi).


1. Larutan standar Cd 1 ppm dipipet sebanyak 0 µL, 50 µL, 250 µL, 500
µL, 750 µL, 1000 µL dimasukan ke dalam 6 buah labu ukur 50,0 ml, di
tambahkan aquadem hingga tanda batas, kemudian dikocok hingga
homogen sehingga didapat larutan standar 0 ppb, 1 ppb, 5 ppb, 10 ppb,
15 ppb, 20 ppb.
2. Larutan standar Pb 100 ppm dipipet sebanyak 0 µL, 50 µL, 100 µL, 150
µL, 200 µL, 300 µL dimasukan ke dalam 6 buah labu ukur 50,0 ml, di
tambahkan aquadem hingga tanda batas, kemudian dikocok hingga
homogen sehingga didapat larutan standar 0 ppm, 0,1 ppm, 0,2 ppm, 0,3
ppm, 0,4 ppm, 0,6 ppm.
3. Larutan standar Sn 100 ppm dipipet sebanyak 0 µL, 50 µL, 100 µL, 150
µL, 200 µL, 300 µL dimasukan ke dalam 6 buah labu ukur 50,0 ml, di
tambahkan aquadem hingga tanda batas, kemudian dikocok hingga
homogen sehingga didapat larutan standar 0 ppm, 0,1 ppm, 0,2 ppm, 0,3
ppm, 0,4 ppm, 0,6 ppm.

44
Institut Sains dan Teknologi Nasional
4. Larutan standar Al 100 ppm dipipet sebanyak 0 µL, 50 µL, 100 µL, 150
µL, 200 µL, 300 µL dimasukan ke dalam 6 buah labu ukur 50,0 ml, di
tambahkan aquadem hingga tanda batas, kemudian dikocok hingga
homogen sehingga didapat larutan standar 0 ppm, 0,1 ppm, 0,2 ppm, 0,3
ppm, 0,4 ppm, 0,6 ppm.
Masing-masing larutan standar disiapkan untuk diinjeksikan ke alat
ICP-OES. Setelah itu di diamati intensitasnya pada panjang gelombang
terpilih. Kurva kalibrasi dibuat dengan menghubungkan antara
konsentrasi dengan intensitas yang diperoleh. Setelah di dapatkan kurva
kalibrasi, ditentukan persamaan garis regresinya (Riyanto. 2014).

3.5 Metode Validasi


3.5.1 Uji linearitas
Uji dilakukan dengan suatu seri larutan standar yang terdiri dari
minimal 4 konsentrasi yang berbeda dengan rentang 0-200 % dari kadar analit
dalam sampel. Setelah pembuatan kurva kalibrasi standar dilakukan uji
linearitas dan didapatkan persamaan garis regresi. Kemudian koefisien
korelasi (r) dihitung dari analisis regresi linier y = a+ bx pada kurva kalibrasi
(Riyanto. 2014).
Keterangan:
y = Intensitas yang terbaca
a = Tetapan regresi dan disebut juga dengan intersep
b = Koefisien regresi (slope/ kemiringan)
x = Konsentrasi

3.5.2 Penentuan Batas Deteksi LOD dan Batas Kuantitas LOQ


Penentuan dilakukan dengan cara penyiapan blanko sebanyak 7 larutan
sampel. Uji dilakukan dengan menggunakan salah satu sampel susu kental
manis yang konsentrasinya rendah. Sampel susu kental manis ditimbang 0,6
gram dalam tabung vessel, kemudian ditambahkan 4 ml HNO3 pekat dan 1 ml
H2O2 30% selanjutnya sampel didestruksi menggunakan microwave digesti

45
Institut Sains dan Teknologi Nasional
selama 1 jam, didinginkan. Setelah itu dipindahkan larutan uji kedalam labu
ukur 25,0 ml ditambahkan aquadem hingga batas kalibrasi. Kocok hingga
homogen bila sampel keruh saring dengan kertas saring. Sampel di injeksikan
ke alat ICP-OES. LOD dinyatakan sebagai konsentrasi analit yang sesuai
dengan nilai blanko sampel ditambah 3 standar deviasi dan LOQ adalah
konsentrasi analit yang sesuai dengan nilai blanko sampel ditambah enam
standar deviasi seperti ditunjukan dalam persamaan berikut: (Riyanto. 2014)
(Harmita. 2004)
LOD = x+ 3 SD
LOQ= x + 6 SD
𝑋̅ = konsentrasi rata-rata blanko.
SD = standar deviasi dari blanko.

3.5.3 Uji Presisi


Uji presisi dilakukan dengan membuat 7 larutan sampel menggunakan satu
sampel susu kental manis yang memiliki konsentrasi terendah. Sampel kental
manis ditimbang 0,6 gram dalam tabung vessel, kemudian ditambahkan 4 ml
HNO3 pekat dan 1 ml H2O2 30% selanjutnya sampel didestruksi menggunakan
microwave digesti selama 1 jam, didinginkan. Setelah itu dipindahkan larutan
uji kedalam labu ukur 25,0 ml ditambahkan aquadem hingga batas kalibrasi.
Kocok hingga homogen, bila sampel keruh saring dengan kertas saring.
Sampel di injeksikan ke alat ICP-OES. Presisi dihitung dengan cara sebagai
berikut: (Harmita, 2004)
Hasil analisis adalah x1,x2,x3,x4,....x7 maka simpangan bakunya
∑𝑛 ̅ 2
𝑖=1(𝑋𝑖−𝑋 )
SD = √
𝑛−1

Simpangan baku relatif atau koefisien (KV) adalah


𝑆𝐷
KV (%) = × 100%
𝑋̅

Keterangan:
x = Nilai masing-masing pengukuran
𝑋̅ = Rata-rata pengukuran
n = Frekuensi penentuan

46
Institut Sains dan Teknologi Nasional
3.5.4 Uji akurasi
Uji akurasi dilakukan dengan membuat 7 larutan sampel menggunakan
satu sampel susu kental manis yang memiliki konsentrasi terendah. Sampel
kental manis ditimbang 0,6 gram dalam tabung vessel, kemudian ditambahkan
4 ml HNO3 pekat dan 1 ml H2O2 30% selanjutnya sampel didestruksi
menggunakan microwave digesti selama 1 jam, didinginkan. Setelah itu
dipindahkan larutan uji kedalam labu ukur 25,0 ml ditambahkan aquadem
hingga batas kalibrasi. Kocok hingga homogen bila sampel keruh saring
dengan kertas saring. Sampel di injeksikan ke alat ICP-OES. Persen perolehan
kembali dihitung dengan rumus: (Riyanto. 2014) (Harmita. 2004)
𝐴−𝐵
% PK= x 100%
𝐶

Keterangan:
A = Konsentrasi total sampel dari pengukuran (sampel +analit)
B = Konsentrasi sampel sebenarnya
C = Konsentrasi analit yang ditambahkan

3.6 Analisis Kuantitatif


Larutan sampel hasil destruksi yang telah diencerkan dipindahkan ke
wadah sampel untuk diinjeksikan ke alat ICP-OES. Analisis kuantitatif logam
dalam sampel dilakukan dengan mengamati konsentrasi masing-masing
sampel pada panjang gelombang terpilih. Setelah didapatkan konsentrasi
logam (mg/L) atau (ng/ml) dalam sampel, dihitung kadar logam (mg/kg)
dalam sampel (FSSAI, 2012 dengan modifikasi).
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 (𝑥) 𝑋 𝑉𝑜𝑙𝑢𝑚𝑒 (mL)
Kadar (mg/kg) =
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑒𝑙 (𝑔)

3.7 Batas Maksimum Konsumsi (Cahyani, dkk. 2016)


Sampel yang sudah dianalisis kadar dihitung batas maksimum
konsentrasi dari bahan pangan terkonsentrasi logam berat yang boleh
dikonsumsi per minggu (Maximum Weekly Intake) menggunakan angka
ambang batas yang diterbitkan oleh organisasi dan lembaga pangan
internasional World Health Organization (WHO) dan Joint FAO/WHO

47
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Expert Committee on Food Additive (JEFCA). Perhitungan Maximum Weekly
Intake menggunakan rumus:
MWI = Berat Badan (a) x PTWI (b)
Keterangan:
a = Rata-rata berat badan orang dewasa Indonesia 50 kg (Kemenkes RI 2010) dan anak-anak
adalah 15 kg.
b = PTWI (Provisional Tolerable Weekly Intake) atau angka toleransi batas maksimum per
minggu yang dikeluarkan lembaga pangan terkait dalam satuan mg/kg.

48
Institut Sains dan Teknologi Nasional
3.8 Bagan Alur Penelitian

Perolehan bahan uji susu kental manis kaleng

Pemeriksaan Penyiapan larutan Pemeriksaan pH


organoleptis sampel

(warna , bau rasa)


)

Pembuatan larutan standar Cd, Pb, Al, Sn.

Pemilihan panjang gelombang optimum

Pembuatan standar kurva kalibrasi

Validasi metode analisis

Uji Uji LOD Uji Uji Presisi


Linearitas & LOQ Akurasi

Menetapkan kadar dan


Analisis Kuantitatif membandingkan lama
penyimpanan
Gambar 3.1. Bagan Alur Penelitian

49
Institut Sains dan Teknologi Nasional
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pemeriksaan Organoleptis


Pada analisis ini sampel yang digunakan adalah susu kental manis
kaleng dan susu kental manis bukan kaleng yang diperoleh dari berbagai
supermarket dan minimarket secara acak. Sampel dapat dilihat pada lampiran
3. Pemeriksaan organoleptis dilakukan secara pengamatan visual untuk
mengetahui karakteristik pada sampel meliputi tekstur, warna, dan bau.
Pemeriksaan organoleptis dilakukan agar memastikan sampel yang digunakan
dalam kondisi baik dalam penyimpanan yang telah cukup lama dan sesuai
dengan syarat sampel.

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan organoleptis


KODE PARAMETER
SAMPEL BAU TEKSTUR WARNA
KL 1 Aroma khas susu Agak kental Coklat Pekat
KL 2 Aroma khas susu Sangat kental Kuning kecoklatan
KL 3 Aroma khas susu Agak cair dan mudah Putih kuning pekat
di tuang
KNKL 4 Aroma khas susu Sangat kental Kuning kecoklatan
KB 5 Aroma khas susu Agak kental Putih kekuningan
KB 6 Aroma khas susu Agak kental Kuning kecoklatan
KB 7 Aroma khas susu Agak cair dan mudah Putih kekuningan
di tuang
KNKL 8 Aroma khas susu Agak kental Putih kekuningan

4.2 Pemeriksaan pH
Pada analisis ini sampel yang digunakan dapat dilihat pada lampiran 3.
Pengujian pH dilakukan untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara pH
susu kental manis yang lama dan baru. Pengujian pH tersebut dilakukan
dengan alat kertas indikator pH. Hasil dari pengujian pH tersebut semua
sampel memiliki pH sekitar > 6 sampai < 7 (berbeda-beda) seperti pada
lampiran 4.
Pengukuran pH dilakukan untuk mengetahui apakah nilai pH sampel
memenuhi syarat nilai rentang pH. Berdasarkan persyaratan keputusan Kepala
50
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Badan Karantina Pertanian rentang pH yang memenuhi syarat yaitu 6,5 – 6,75
(Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian. 2008). Hasil pengukuran pH
menunjukkan bahwa memenuhi syarat nilai rentang pH karena memiliki nilai
pH di atas 6. Namun dari pengukuran tidak akurat dikarenakan hanya
menggunakan kertas indikator pH tidak dengan alat pH meter. Pengukuran pH
dilakukan untuk melihat pengaruh lama penyimpan dengan perubahan pH-
nya.

4.3 Pemilihan Panjang Gelombang


Pemilihan panjang gelombang diamati menurut intensitas larutan pada
panjang gelombang tersebut. Panjang gelombang untuk analisis Cd, Al, Pb, Sn
dengan ICP-OES dipilih bedasarkan garis emisi panjang gelombang yang
paling sensitif. Terdapat pilihan panjang gelombang pada alat ICP-OES yang
digunakan untuk Cd 228,802 nm, Al 308,215 nm, Pb 220,353 nm, dan Sn
189,989 nm (Agilent Technologies. 2017).

4.4 Penyiapan Sampel


Penyiapan sampel susu kental manis dilakukan dengan mencampur
kental manis tersebut sesuai dengan merek dan masa kedaluwarsanya dengan
metode destruksi basah. Destruksi basah adalah perombakan sampel dengan
asam-asam kuat baik tunggal maupun campuran, kemudian dioksidasi dengan
menggunakan zat oksidator (Raimon. 1993). Alat yang digunakan dalam
proses destruksi basah yaitu microwave digesti. Metode destruksi basah
menggunakan HNO3 sebagai asam kuat dan H2O2 sebagai oksidator. Fungsi
oksidator untuk mengoksidasi bahan-bahan pembawa yang terkadang di dalam
sampel menjadi CO2 dan H2O. Selain itu dapat menghilangkan senyawa
organik dan melepas unsur logam yang akan diteliti yaitu Cd, Pb, Sn, dan Al.
HNO3 banyak digunakan dalam proses destruksi basah karena diharapkan
dapat mempertahankan komponen dalam sampel yang akan di teliti.

4.5 Validasi Metode Analisis


4.5.1. Uji Linearitas
51
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Linearitas adalah kemampuan metode analisis yang memberikan
respon yang secara langsung atau dengan bantuan transformasi matematik
yang baik, proporsional terhadap konsentrasi analit dalam sampel. Rentang
metode adalah pernyataan batas terendah dan tertinggi analit yang sudah
ditunjukkan dapat ditetapkan dengan kecermatan, keseksamaan, dan linearitas
yang dapat diterima. Uji dilakukan dengan suatu seri larutan standar yang
terdiri dari minimal 4 konsentrasi yang berbeda dengan rentang 0-200 % dari
kadar analit dalam sampel. Setelah pembuatan kurva kalibrasi standar Cd, Pb,
Sn, dan Al dilakukan uji linearitas dan didapatkan persamaan garis regresi.
Kemudian koefisien korelasi (r) dihitung dari analisis regresi linier y = a+ bx
pada kurva kalibrasi. Nilai koefisien korelasi (r) harus mendekati 1
(Anantasinkul. 2008).
Tabel 4.2 Hasil uji linearitas
Logam Nilai r Syarat Kesimpulan
Cd 0,998 Nilai koefisien korelasi (r) harus √
mendekati 1
Pb 0,9994 Nilai koefisien korelasi (r) harus √
mendekati 1
Sn 0,9941 Nilai koefisien korelasi (r) harus √
mendekati 1
Al 0,9986 Nilai koefisien korelasi (r) harus √
mendekati 1
Keterangan:
√ = valid dan memnuhi persyaratan linearitas

Berdasarkan pada tabel 4.2. Hasil yang didapat logam Cd, Pb, Sn, dan Al
memiliki nilai r mendekati 1 yang berarti bahwa terdapat hubungan linier
antara konsentrasi dengan intensitas yang baik. Data kurva kalibrasi dapat
dilihat pada tabel 4.3. Hasil linearitas dapat dilihat pada Gambar 4.1. Kurva

Kurva Kalibrasi Standar Cd


100
y = 3.7388x + 2.1666
80 R² = 0.998
IR (Cts/s)

60
40
20
0 52
0 5 10 Institut
15 Sains20dan Teknologi
25 Nasional
konsentrasi (ng/ml)
Kalibrasi Standar Kadmium (Konsentrasi VS Intensitas)
Gambar 4.1. Kurva Kalibrasi Standar Cd (Konsentrasi VS Intensitas)

Tabel 4.3. Data


IR(Intensitas Ratio)
kurva Konsentrasi (ng/mL) kalibrasi
(Cts/s)
Cd 0 0,83
1 6,4100
5 22,7100
10 39,3300
15 56,5800
20 77,8200

Data kurva kalibrasi Pb dapat dilihat pada tabel 4.4. Hasil linearitas
dapat dilihat pada Gambar 4.2 Kurva Kalibrasi Standar Pb (Konsentrasi VS
Intensitas)

Kurva Kalibrasi Standar Pb

250
200 y = 379.32x - 1.6181
IR (Cts/s)

R² = 0.9994
150
100
50
0
0 0.2 0.4 0.6 0.8
konsentrasi (mg/L)

Gambar 4.2. Kurva Kalibrasi Standar Pb (Konsentrasi VS Intensitas)

Tabel
4.4. Data IR(Intensitas Ratio) kurva
Konsentrasi (mg/L)
(Cts/s)
kalibrasi Pb
0 0,0000
0,1 33,3700
0,2 76,8400
0,3 111,0000
0,4 149,2000
0,6 226,8000

53
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Data kurva kalibrasi Sn dapat dilihat pada tabel 4.5. Hasil linearitas
dapat dilihat pada Gambar 4.3. Kurva Kalibrasi Standar Sn (Konsentrasi VS
Intensitas)

Kurva Kalibrasi Standar Sn


80.00
60.00
IR (Cts/s)

y = 110.92x + 2.6374
40.00 R² = 0.9941
20.00
0.00
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
Konsentrasi (mg/L)

Gambar 4.3. Kurva Kalibrasi Standar Sn (Konsentrasi VS Intensitas)

Tabel 4.5. Data kurva kalibrasi Sn


Konsentrasi IR(Intensitas Ratio)
(ng/mL) (Cts/s)
0 0,5991
0,1 13,6300
0,2 28,1300
0,3 36,4900
0,4 45,8800
0,6 68,5600
Data kurva kalibrasi Al dapat dilihat pada tabel 4.6. Hasil linearitas
dapat dilihat pada Gambar 4.4. Kurva Kalibrasi Standar Al (Konsentrasi VS
Intensitas).

Kurva Kalibrasi Standar Al


y = 176.2x + 18.136
140 R² = 0.9986
120
100
IR (Cts/s)

80
60
40
20
0
0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7
Konsentrasi (mg/L)
54
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Gambar 4.4. Kurva Kalibrasi Standar Al (Konsentrasi VS Intensitas)

Tabel 4.6 Data kurva kalibrasi Al

IR(Intensitas Ratio)
Konsentrasi (mg/L)
(Cts/s)
0 18,7400
0,1 33,7000
0,2 55,0150
0,3 70,1600
0,4 89,9300
0,6 123,2000

4.5.2. Penentuan Batas Deteksi LOD dan Batas Kuantitas LOQ [20]
LOD (Limit of Detection) atau batas deteksi adalah jumlah terkecil
analit dalam sampel yang dapat dideteksi yang masih dapat memberikan
respon signifikan dibandingkan dengan blanko. LOQ (Limit of
Quantification) atau batas kuantitasi merupakan kuantitas terkecil analit
dalam sampel yang masih dapat memenuhi kriteria cermat dan seksama. LOD
dan LOQ dihitung secara statistik melalui garis regresi linier dari kurva
kalibrasi (Harmita. 2004) Berikut hasil dari pengujian validasi LOD dan
LOQ.

Logam LOD LOQ


Cd 0,0002 mg/kg 0,0002 mg/kg
Pb 0,0352 mg/ kg 0,0451 mg/kg
Sn 0,8473 mg/kg 1,0449 mg/kg
Al 0,0903 mg/kg 0,1160 mg/kg
Tabel 4.7 Hasil uji LOD & LOQ

55
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Nilai LOD dan LOQ yang diperoleh menunjukkan bahwa metode
dalam penelitian ini dapat digunakan untuk analisis logam Cd, Pb, Sn, dan Al.
Nilai terendah yang dapat terdeteksi oleh alat dapat dilihat pada tabel LOD.
Tabel perhitungan hasil dari LOD dan LOQ logam tersebut dapat dilihat pada
lampiran 5. Contoh hasil perhitungan penentuan LOD dan LOQ tercantum
dalam lampiran 6.

4.5.3. Uji Presisi


Presisi atau keseksamaan adalah ukuran yang menunjukkan derajat
kesesuaian antara hasil uji individual, diukur melalui penyebaran hasil
individual dari rata-rata jika prosedur diterapkan secara berulang pada
sampel-sampel yang diambil dari campuran yang homogen. Keseksamaan
dapat dinyatakan sebagai keterulangan (repeatability) atau ketertiruan
(reproducibility) (Harmita. 2004). Uji presisi yang dilakukan yaitu uji
keterulangan. Keterulangan adalah keseksamaan metode jika dilakukan
berulang kali oleh analis yang sama pada kondisi sama dan dalam interval
waktu yang pendek (Harmita. 2004). Uji presisi dilakukan dengan
menggunakan salah satu sampel kental manis yang dibuat menjadi 7 larutan
sampel dengan tiga konsentrasi low, medium, dan high. Uji presisi ditentukan
terhadap sampel sebenarnya untuk melihat pengaruh matriks pembawa
terhadap presisi (Harmita. 2004). Nilai CV yang diperoleh dibandingkan
dengan CV horwitz yaitu suatu kurva yang menghubungkan reproducibilitas
(presisi yang dinyatakan % CV) dengan konsentrasi analit.
CV horwitz = 21-0,5log c

Nilai yang diperoleh menunjukkan presisi yang baik karena CV (%)


yang lebih kecil dari 2/3 CV Horwitz maka dapat disimpulkan bahwa metode
memiliki presisi yang baik. Hal tersebut berarti matriks pembawa tidak terlalu
berpengaruh terhadap presisi dapat dilihat pada tabel 4.8. Tabel hasil
perhitungan uji presisi logam tersebut dapat dilihat pada lampiran 9; 11; 13
dan 15. Contoh perhitungan data presisi dapat dilihat pada lampiran 18.

56
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Tabel 4.8 Hasil uji presisi logam
2/3 Nilai
Level Logam % CV Horwitz Kesimpulan
horwitz Standar
Cd 1,825% 45,255 30,170 Syarat √
Pb 1,378% 22,627 15,085 CV(%) ≤ √
Low
Sn 4,433% 22,627 15,085 2/3 √
Al 4,995% 22,627 15,085 Horwitz √

Cd 0,718% 32,000 21,333 Syarat √


Pb 2,632% 19,179 12,786 CV(%) ≤ √
Medium
Sn 3,070% 19,179 12,786 2/3 √
Al 1,631%. 19,179 12,786 Horwitz √

Cd 1,308% 28,830 19,220 Syarat √


Pb 2,100% 17,279 11,519 CV(%) ≤ √
High
Sn 2,166% 17,279 11,519 2/3 √
Al 1,346% 17,279 11,519 Horwitz √
Keterangan:
√ = memenuhi syarat presisi.
Syarat CV(%) ≤ 2/3 Horwitz.
Kesimpulan : diperoleh CV(%) yang lebih kecil dari 2/3 CV Horwitz maka dapat disimpulkan
bahwa metode memiliki presisi yang baik.

4.5.4. Uji akurasi


Akurasi atau kecermatan adalah ukuran yang menunjukkan derajat
kedekatan hasil analis dengan kadar analit yang sebenarnya. Kecermatan
dinyatakan sebagai persen perolehan kembali (recovery) analit yang
ditambahkan. Uji akurasi dilakukan dengan metode penambahan baku
(standard addition method) atau metode adisi. Metode adisi dilakukan dengan
57
Institut Sains dan Teknologi Nasional
menambahkan sejumlah analit dengan konsentrasi tertentu pada sampel yang
diperiksa, lalu dianalisis dengan metode tersebut. Persen perolehan kembali
ditentukan dengan menentukan berapa persen analit yang ditambahkan tadi
dapat ditemukan (Harmita. 2004). Tujuan pemilihan metode adisi untuk uji
akurasi yaitu untuk mengetahui apakah metode destruksi dalam penelitian ini
dapat digunakan untuk preparasi sampel atau tidak. Sehingga dari uji akurasi,
metode destruksi yang digunakan dalam penelitian ini dapat diterapkan untuk
preparasi sampel. Contoh perhitungan akurasi logam-logam tersebut dapat
dilihat pada lampiran 21.
Tabel
Level Logam % Recovery Nilai Standar Kesimpulan
4.9
Low Cd 96,80 % 40-120 %. √
Hasil Pb 97,38 % 80 %-110 %. √
uji Sn 101,67 % 80 %-110 %. √
akuras Al 106,66 % 80 %-110 %. √
i
Medium Cd 100,63 % 40-120 %. √
(Reco Pb 102,06 % 80 %-110 %. √
very) Sn 101,87 % 80 %-110 %. √
K Al 111,09 % 80 %-110 %. X
eterang
an:
High Cd 100,70 % 60-115%. √

= Pb 103,00 % 80 %-110 %. √
Memen Sn 97,31 % 80 %-110 %. √
uhi
Syarat
Al 114,20 % 80 %-110 %. X
Recovery
X= tidak memenuhi persyaratan Recovery

Hasil pengujian diatas memenuhi persyaratan, kecuali pada logam Al


dengan tingkatan medium dan high dikarenakan melebihi nilai standar yang
ditetapkan, namun masih dinyatakan baik karena pada konsentrasi low akurasi
masih memenuhi persyaratan, dan tidak berpengaruh signifikan karena
tingkatan yang dibuat hanya untuk melihat konsentrasi dengan nilai recovery
yang paling baik.

4.6 Analisis Kuantitatif


58
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Setelah dilakukan penyiapan sampel, tahapan selanjutnya adalah
analisis kuantitatif logam dalam sampel. Larutan sampel hasil destruksi yang
telah diencerkan dipindahkan ke wadah sampel untuk diinjeksikan ke alat
ICP-OES. Mengikuti prosedur penggunaan pereaksi yang telah disesuaikan
dengan jenis alat ICP-OES serta disesuaikan dengan teknik penghantaran
sampel yang digunakan (teknik generasi hidrida). Teknik penghantaran
sampel yang digunakan yaitu teknik hydride generation (generasi hidrida).
Dengan teknik ini, sampel dalam asam encer, dicampur dengan zat pereduksi
yaitu H2O2. Reaksi zat pereduksi dengan asam akan menghasilkan atom
hidrogen. Atom hidrogen kemudian bereaksi dengan Cd, Pb, Sn, dan Al dalam
larutan dan membentuk hidrida stabil. Senyawa gas ini kemudian dipisahkan
dari sisa campuran reaksi dan dibawa ke plasma (Boss & Fredeen. 1997).
Alasan pemilihan sistem penghantaran sampel dengan teknik generasi
hidrida ini yaitu tingkat penghantaran sampel lebih tinggi dibandingkan
nebulizer pneumatik dan efisiensi dengan hidrida yang mudah menguap yang
dihantarkan ke plasma mendekati 100%, dibandingkan dengan efisiensi 1-5%
bila menggunakan nebulizer pneumatik dan spray chamber (Boss & Fredeen.
1997). Dalam uji kuantitatif yang diamati adalah konsentrasi masing-masing
sampel yang ditampilkan oleh alat ICP-OES. Dalam penelitian ini tidak
dilakukan penghitungan konsentrasi sampel berdasarkan persamaan regresi
sebab alat ICP-OES yang digunakan telah terprogram untuk hanya
menampilkan data konsentrasi sampel (tanpa menampilkan data intensitas)
pada proses running sample. Oleh karena itu, setelah didapatkan data
konsentrasi Cd, Pb, Sn, dan Al dalam sampel dilakukan penghitungan kadar
logam tersebut (mg/kg). Rangkuman hasil uji kuantitatif logam Cd, Pb, Sn,
dan Al dapat dilihat pada tabel 4.10 sampai 4.12. Rincian tabel penetapan
kadar dan contoh perhitungan penetapan kadar tercantum dalam lampiran 22
dan 23.

Tabel 4.10 Analisis kuantitatif susu kental manis kaleng lama

59
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Logam Kadar rata- rata sampel (mg/kg ) Batas maksimum
kesimpulan
berat KB 5 KB 6 KB 7 (mg/kg)
Tidak Tidak Tidak 0,05 mg/kg* BPOM Tidak melebihi
Cd
terdeteksi terdeteksi terdeteksi RI No.5 tahun 2018 batas aman
Tidak Tidak Tidak 0,02 mg/kg* BPOM Tidak melebihi
Pb
terdeteksi terdeteksi terdeteksi RI No.5 tahun 2018 batas aman
250 mg/kg BPOM Tidak melebihi
Sn 7,53 0,45 1,96
RI No.5 tahun 2018 batas aman
PTWI 1 mg/kg bb
Tidak Tidak Tidak melebihi
Al 4,92 peraturan (WHO)
terdeteksi terdeteksi batas aman
dan (JEFCA).

Tabel 4.11 Analisis kuantitatif susu kental manis kaleng baru

Tabel 4.12 Analisis kuantitatif susu kental manis bukan kaleng lama & baru

Logam Kadar rata- rata sampel (mg/kg ) Batas maksimum


kesimpulan
berat KNKL 4 KNKB 8 (mg/kg)
0,05 mg/kg* BPOM Tidak melebihi
Cd Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi
RI No.5 tahun 2018 batas aman
0,02 mg/kg* BPOM Tidak melebihi
Pb Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi
RI No.5 tahun 2018 batas aman
40 mg/kg BPOM RI Tidak melebihi
Sn Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi
No.5 tahun 2018 batas aman
Logam Kadar rata- rata sampel (mg/kg ) Batas maksimum
kesimpulan
berat KL 1 KL 2 KL 3 (mg/kg)
Tidak Tidak 0,05 mg/kg* BPOM Tidak melebihi
Cd 0,025
terdeteksi terdeteksi RI No.5 tahun 2018 batas aman
Tidak Tidak Tidak 0,02 mg/kg* BPOM Tidak melebihi
Pb
terdeteksi terdeteksi terdeteksi RI No.5 tahun 2018 batas aman
250 mg/kg* BPOM Tidak melebihi
Sn 3,31 7,73 13,66
RI No.5 tahun 2018 batas aman
PTWI 1 mg/kg bb
Tidak Tidak melebihi
Al 10,11 0,81 peraturan (WHO)
terdeteksi batas aman
dan (JEFCA).
PTWI 1 mg/kg bb
Tidak melebihi
Al 0,32 0,40 peraturan (WHO) dan
batas aman
(JEFCA).
Keterangan :
Cd, Pb dan Sn *dihitung terhadap produk siap konsumsi.
60
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Al = dihitung terhadap konsentrasi yang boleh di konsumsi perminggu (MWI)

4.7 Pengaruh lama penyimpanan sampel susu kental manis kaleng


Berdasarkan hasil pengujian sampel kental manis kaleng yang lama
(mendekati masa kedaluawarsa atau yang telah kedaluwarsa), kadar logam Cd
yang terdeteksi yaitu 0,025 mg/kg pada sampel KL 1, sedangkan pada sampel
KL 2 dan KL 3 tidak terdeteksi adanya kadar logam, hal ini mungkin terjadi
karena kandungan logam yang ada pada sampel kecil. Hasil dari pengujian
10,11 mg/kg, 0,81 mg/ kg, dan 4,92 mg/kg, sedangkan kadar Al pada
sampel susu kental manis kaleng lainnya tidak terdeteksi dikarenakan kadar
terlalu kecil di bawah deteksi limit alat ICP-OES. Hasil pengujian tersebut
menunjukan bahwa kadar Al yang terdeteksi memiliki nilai yang cukup tinggi
pada sampel yang telah lama (mendekati masa kedaluwarsa atau sudah
kedaluwarsa) pada sampel KL 1 dengan kadar 10,11 mg/kg disini juga
menunjukan pengaruh lama (masa kedaluwarsa) penyimpanan terhadap
besarnya kadar logam Al.

4.8 Pengaruh lama penyimpanan sampel susu kental manis bukan kaleng
Berdasarkan hasil pengujian sampel susu kental manis bukan kaleng
yang lama (mendekati masa kedaluwarsa atau yang telah kedaluwarsa), kadar
logam Cd pada sampel lama KNKL 4 dan sampel susu kental manis baru (tidak
mendekati masa kedaluwarsa) KNKB 8 tidak terdeteksi, hal ini mungkin terjadi
karena kadar logam yang ada pada sampel terlalu kecil sehingga tidak
terdeteksi oleh alat ICP-OES. Berdasarkan hasil pengujian sampel susu kental
manis bukan kaleng yang lama dan baru kadar logam Pb pada sampel KNKL 4
dan KNKB 8 juga tidak terdeteksi, hal ini mungkin terjadi karena kadar logam
yang ada pada sampel terlalu kecil sehingga tidak terdeteksi oleh alat ICP-
OES.

61
Institut Sains dan Teknologi Nasional
BAB 5
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
1. Berdasarkan hasil validasi metode tersebut, dapat disimpulkan bahwa
metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini valid karena
memenuhi syarat linearitas yaitu nilai koefisien korelasi (r) mendekati 1.
Nilai LOD dan LOQ memenuhi batas deteksi dan batas kuantitasi logam
Cd, Pb, Sn dan Al. Nilai recovery memenuhi syarat nilai perolehan
kembali yaitu 40-120 %, 60-115%, 80-110 %, dan nilai presisi memenuhi
syarat CV(%) ≤ 2/3 Horwitz.
2. Hasil penelitian yang didapat dari delapan sampel susu kental manis
menunjukan kadar rata-rata logam Cd adalah 0,025 mg/kg pada sampel
pertama. Kadar rata - rata Sn secara berturut- turut adalah 3,31 mg/kg;
7,73 mg/kg; 13,66 mg/kg; 7,53 mg/kg; 0,45 mg/kg; 1,96 mg/kg. Kadar
rata-rata Al secara berturut- turut adalah 10,11 mg/kg; 0,81 mg/kg; 0,32
mg/kg; 4,92 mg/kg; 0,40 mg/kg. Kadar rata- rata logam Pb tidak
terdeteksi.
3. Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa adanya pengaruh antara
wadah dan lama penyimpanan terhadap besarnya kadar logam. Waktu
penyimpanan berkorelasi dengan jumlah logam, artinya semakin lama
terjadinya kontak, maka semakin banyak jumlah logam. Seperti pada
sampel pertama kadar logam Cd 0,025 mg/kg, kadar Al 10,11 mg/kg, dan
pada sampel ketiga kadar Sn terbesar 13,66 mg/kg.

62
Institut Sains dan Teknologi Nasional
5.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel lain dengan
wadah kaleng atau bukan kaleng dari berbagai keadaan setelah
penyimpanan. Logam yang diuji lebih banyak lagi agar lebih representatif
dan dengan alat yang lebih kecil batas deteksi limitnya.

63
Institut Sains dan Teknologi Nasional
DAFTAR PUSTAKA

Agilent Technologies. (2017). Inductively Coupled Plasma Optical Emission


Spectroscopy (ICP-OES). Application handbook.

Anantasinkul, Nawaporn Dan Hansa Chaivanit. (2008). Journal Guidance For


Method Validation In Chemical Analysis. Bureau Of Cosmetics And Hadzardous
Substances, Departemen Of Medical Sciences, Ministry Of Public Health.
Thailand. Hal:1.

Anonim. (1994). Kumpulan Peraturan Perundang-undangan di Bidang Makanan


Edisi III, Depkes RI Dirjen POM, Yogyakarta. Hal 317-325.

Anonim. (2008). Safety Of Aluminium From Dietary Intake: Scientific Opinion Of


The Panel On Food Additives, Flavourings, Processing Aids and Food Contact
Materials (AFC). EFSA European Food Safety Authority. The EFSA Journal 754,
1-34.

Blunden, S. dan Wallace, T. (2003). Journal Tin In Canned Food: A Review And
Understanding Of Occurrence and Effect. Food and Chemical Toxicology: United
Kingdom. 41: 1651-1662.

Boss, C, B dan kenneth J. F. (1997). Concepts, Intrumentation And Techniques In


Inductively Coupled Plasma Opthical Emission Spectrometry, Second Edition.
USA. Perkin Elmer.

Buckle, K.A dkk. (2013). Ilmu Pangan. Terjemahan oleh Hari purnomo dan
Adiono. UI Press: Jakarta. Hal: 269, 273-277, 290-291.

Cahyani. Nica, Batu, Djamar T. F Lumban, dan Sulistiono. (2016) Kandungan


Logam Berat Pb, Hg, Cd, Dan Cu Pada Daging Ikan Rejung (Sillago Sihama) Di
Estuari Sungai Donan, Cilacap, Jawa Tengah. JPHPI 2016, Volume 19 Nomor 3.
Kampus IPB Darmaga: Bogor Jawa Barat.

Darmono. (1995). Logam Dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI Press.


Jakarta. Hal: 5,130.

Dewi, D.C. (2012). Determinasi Kadar Logam Timbal (Pb) Dalam Makanan
Kaleng Menggunakan Destruksi Basah dan Destruksi Kering. Jurnal Alchemy.
Vol. 2. Hal. 12.

Direktorat Pengawasan Produk dan Bahan Berbahaya Deputi Bidang Pengawasan


Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya Badan Pengawas Obat Dan Makanan
RI, (2010). Mengenal Logam Beracun. BPOM RI. Jakarta.

64
Institut Sains Dan Teknologi Nasional
Food And Enviromental Hygiene Departement. (2009). Aluminium In Food.
Center For Food Safety: Hongkong.

Food Safety and Standards Authority of India. (2012). Manual of Methods of


Analysis of Foods, Metals. Ministry of Health and Family Welfare: New Delhi.

Harmita. (2004). Petunjuk Pelaksanaan Validasi Metode Dan Cara


Perhitungannya. ISSN: 1693-9883. Majalah Ilmu Kefarmasian. Jakarta.

Hou, X dan Bradley T, J. (2000). Inductively Coupled Plasma Optical, Emission


Spectrometry. Chichester : John Wiley & Sons Ltd.

Keputusan Kepala Badan Karantina Pertanian. (2008). Petunjuk Teknis


Pemeriksaan Dan Pengujian HPHK Pada Susu Dan Hasil Olahannya.
Departemen Pertanian. Nomor 344.a/kpts/PD.670.320/L/9/2008. Jakarta.

Muchtadi.R Tien, dan Sugiyono. (2014). Prinsip Proses Dan Teknologi Pangan.
Alfabeta: Cetakan Kedua. Bandung

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia No. 5.
(2018). Batas Maksimum Cemaran Logam Berat Dalam Pangan Olahan. Jakarta.

Raimon. (1993). Perbandingan Metoda Destruksi Basah dan Kering Secara


Spektrofotometri Serapan Atom. Lokakarya Nasional.Jaringan Kerjasama Kimia
Analitik Indonesia. Yogyakarta.

Rasyid, Roslinda , Humairah dan Zulharmitta. (2013). Analisis Kadmium (Cd),


Seng (Zn) Dan Timbal (Pb) Pada Susu Kental Manis Kemasan Kaleng Secara
Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Jurnal Farmasi Higea, Vol. 5, No. 1.
Padang.

Rini, Dwiari. Sri, dkk. (2008). Teknologi Pangan jilid 1. Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta.

Rini, Dwiari. Sri, dkk. (2008). Teknologi Pangan jilid 2. Direktorat Pembinaan
Sekolah Menengah Kejuruan. Jakarta.

Riyanto. (2014). Validasi & Verifikasi Metode Uji Sesuai Dengan Iso/Iec 17025
Laboratorium Pengujian Dan Kalibrasi. Edisi 1. Deepublish. Yogyakarta.

Saiyed, S.A., dan Yokel, R.A. (2005). Journal Aluminium Content Of Some
Foods and Food Products In The USA, With Aluminium Food Additives. Taylor
And Francis Group. 22(3): 234-244.

Samani, K.G., Farokhi, E., Samani, N.M., Moradi, H. (2015). The Effect Of
Aluminium On The Increasing Risk Of Developing Anemia Among Workers Of

65
Institut Sains dan Teknologi Nasional
Tile Production Plants. International Journal Of Epidemiologic Research. 2(1):
24-29.

Sidiq, M.F. (2013). Analisa Korosi dan Pengendaliannya. Jurnal Foundry. Vol. 3.
No. 1. hal.25.

Standar Nasional Indonesia 7387-2009. (2009). Batas Maksimum Cemaran


Logam Berat Dalam Pangan . Badan Standarisasi Nasional. Jakarta.

Standar Nasional Indonesia 01- 2971-2011. (2011) . Susu Kental Manis. Badan
Standarisasi Nasional. Jakarta.

Surtipanti, S. (1994). Penentuan Logam Berat dalam Bahan Pangan. Pusat


Aplikasi Isotop dan Radiasi, Batan. Jakarta.

Sumardi. (1981) . Metode Destruksi Contoh Secara Kering Dalam Analisa Unsur-
Unsur Fe-Cu-Mn dan Zn Dalam Contoh-Contoh Biologis. Proseding Seminar
Nasional Metode Analisis. Lembaga Kimia Nasional. Jakarta: LIPI.

Syarief, R., S. Santausa, Ismayana. B. (2009). Teknologi Pengemasan Pangan.


Laboratorium Rekayasa Proses Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB.

Tjahjadi, C dan Herlina, Marta. (2011). Pengantar Teknologi Pangan. Universitas


Padjajaran . Bandung.

Wulandari, Nadia., Afkar, zul, Kurniawati, Desy. (2012). Analisis Kadar Logam
Timah (Sn) dan Kromium (Cr) pada Susu Kental Manis Kemasan Kaleng dengan
Metoda Spektrofotometri Serapan Atom. Chemistry Journal of State University of
Padang, Periodic , Vol 1 No 2. Padang.

66
Institut Sains dan Teknologi Nasional

You might also like