You are on page 1of 214

PENGELOMPOKAN PULAU KECIL

DAN EKOSISTEMNYA BERBASIS GEOMORFOLOGI


DI INDONESIA

WIKANTI ASRININGRUM

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN
SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengelompokan Pulau Kecil


dan Ekosistemnya Berbasis Geomorfologi di Indonesia adalah karya saya sendiri
dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip
dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Maret 2009

Wikanti Asriningrum
NRP C 561030224
ABSTRACT

WIKANTI ASRININGRUM. Geomorphological Based Small Island and Its


Ecosystems Classification in Indonesia. Under the direction of BUDY
WIRYAWAN, DOMU SIMBOLON, IWAN GUNAWAN, and DANIEL R.
MONINTJA.
Fishing in Indonesia remains as open access. As the largest archipelagic
country in the world mostly comprising of small islands, Indonesia’s big shallow
water area around small islands has an important role as fishing ground area
ecosystem, thus need bordering to control access of fishery. Small islands and its
marine ecosystems have high variety of biogeophysical characteristic which
made it difficult to obtain information from. The use of satellite imagery to identify
small island and marine ecosystem is still constrained by the availability of the
proper image processing technique for the variety of characteristics.
This research aims at selecting remote sensing data processing techniques
in order to analyze the geomorphology of small islands and its marine
ecosystems, classifying island type, designing identification of marine ecosystem
and also designing small islands classification based on geomorphological
characteristics for fishery planning. Study areas selected at small islands of Kota
Batam, Kabupaten Sikka, and Kabupaten Sitaro. Several islands are selected to
represent tectonic, volcanic, and reef type and to represent the main marine
ecosystems such as mangrove, coral reef and sea grass. Landsat, SPOT and
QuickBird images, along with Geological map, Topographic map, Navigation map
and field survey are used to find out geomorphologic data of small islands. Steps
on image processing composed of multispectral fusion, enhancement and
multispatial fusion techniques. Small islands geomorphological analysis method
consists of morphology, morphogenesis, morphochronology, and morpho-
arrangement aspects which are conducted by landforms identification by
landscape approach. Correlation between small island and shore fishery is
analyzed by the number of fish species on seven locations with 3 and 10 meters
depth using diversity, uniformity, and dominancy indexes.
The first result shows three remote sensing data processing procedures for
three types of island (tectonic, volcanic, and reef) and three for three marine
ecosystems (mangrove, coral reef, and sea grass). Those six procedures use
mustispectral fusion, enhancement and certain characteristics where multispatial
function only used on small island. The second research result is morphogenesis-
based small island type classification to ten island classes: fold tectonic, fault
tectonic, intrusive volcanic, extrusive volcanic, stack, monadnock, hummock,
alluvial, reef, and atoll. Each class is completed along with differentiated
morphography for hills and low lands to illustrate ecosystem potential. The third
research result is island type-based identification of marine ecosystem through
visual and digital interpretation. Here, biogeophysical characteristic of small
island and its ecosystem has been proven to be correlated with shore fishery.
The fourth research result is classification of small island, designed through two
phases, applicative phase and explorative phase. In applicative phase, small
islands are classified into small island and group of small islands based on 12
miles radius. Further classification through explorative phase is needed if the
radius factor is not sufficient to classify. Based on geobiophysical characteristics,
small islands and its ecosystem will be classified into three categories: small
islands, group of small islands and small island, and small islands.
Keywords: small island, marine ecosystem, geomorphology, island type,
landforms, remote sensing, classification and identification.
RINGKASAN

WIKANTI ASRININGRUM. Pengelompokan Pulau Kecil dan Ekosistemnya


Berbasis Geomorfologi di Indonesia. Dibimbing oleh BUDY WIRYAWAN, DOMU
SIMBOLON, IWAN GUNAWAN, dan DANIEL MONINTJA.
Penangkapan ikan yang bersifat akses terbuka masih terjadi di Indonesia
yang mempunyai 75% wilayah lautan. Indonesia sebagai negara kepulauan
terluas di dunia, sebagian besar terdiri atas pulau-pulau kecil, tentu mempunyai
wilayah perairan laut dangkal relatif luas. Korelasi antara pulau kecil dan
ekosistemnya terjadi proses alam yang berpengaruh pada daerah penangkapan
ikan. Oleh karena itu, peranan pulau kecil dan ekosistemnya mempunyai arti
penting untuk pengelolaan sumberdaya ikan yang berkelanjutan.
Pulau-pulau kecil terbentuk terkait dengan proses pergerakan lempeng
tektonik dan aktivitas magmatik yang terus berlangsung. Di wilayah tropis
dinamika ini membangun suatu ekosistem laut yang khas. Hal ini menyebabkan
keunikan pulau-pulau kecil dan ekosistemnya menjadi sangat beragam.
Keunikan ini dipahami untuk bahan perencanaan pengelolaan sumberdaya yang
dikandungnya. Namun, informasi karakteristik biogeofisik pulau kecil dan
ekosistemnya masih menemui hambatan karena jumlahnya banyak dan
distribusinya menyebar.
Teknik penginderaan jauh satelit dapat dimanfaatkan untuk identifikasi
pulau kecil karena kriteria sebuah pulau adalah tidak tenggelam saat pasang
tertinggi. Dalam hal ini timbul permasalahan dalam perolehan informasi
karakteristik biogeofisik antara lain disebabkan oleh teknik pengolahan citra
satelit untuk identifikasi karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya
belum terseleksi. Permasalahan lain adalah klasifikasi tipe pulau kecil belum
mencerminkan karakternya dan identifikasi pulau kecil dan ekosistemnya belum
tepat. Beberapa permasalahan tersebut menyebabkan pengelompokan pulau
kecil dan ekosistemnya berbasis karakteristik biogeofisik belum bisa dibangun.
Penelitian ini bertujuan untuk menyeleksi teknik pengolahan data
penginderaan jauh satelit untuk analisis geomorfologi pulau kecil dan
ekosistemnya; serta menyusun klasifikasi tipe pulau kecil. Selain itu, penelitian ini
juga bertujuan untuk mendesain identifikasi ekosistem laut dan mendesain
pengelompokan pulau-pulau kecil berbasis geomorfologi untuk perencanaan
perikanan.
Daerah penelitian dipilih yang mempunyai banyak pulau kecil dan dapat
mewakili tiga tipe pulau dan ekosistem laut utama. Dalam hal ini, Kota Batam,
Kepulauan Riau dipilih untuk mewakili pulau-pulau kecil tipe tektonik dengan
ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun. Kabupaten Sikka, Nusa
Tenggara Timur dipilih untuk mewakili pulau-pulau kecil tipe vulkanik dan tipe
terumbu dengan ekosistem terumbu karang. Kabupaten Sitaro, Sulawesi Utara
dipilih untuk mewakili pulau-pulau kecil tipe vulkanik dengan ekosistem
mangrove, terumbu karang, dan lamun. Model pulau-pulau kecil diseleksi
berdasarkan tipe pulau, kelengkapan data, variasi proses geomorfologis, dan
keragaman ekosistem laut.
Citra Landsat, citra SPOT, dan citra QuickBird; serta Peta Geologi, Peta
Rupa Bumi Indonesia, dan Peta Pelayaran digunakan untuk mendapatkan data
geomorfologi model pulau-pulau kecil yang dikumpulkan di laboratorium. Selain
itu, data lapangan juga dikumpulkan melalui tahap pra survei dan survei untuk
mencapai verifikasi dan validasi yang ditempuh menurut unit lahan. Pengumpulan
data ikan dilakukan pada kedalaman perairan laut 3 m dan 10 m. Stasiun
pengambilan sampel ikan dipilih di tiga tipe pulau kecil pada perairan yang
berhadapan dengan berbagai karakteristik biogeofisik lahan.
Pengolahan data citra meliputi fusi multispektral, penajaman, dan fusi
multispasial yang diseleksi untuk setiap tipe pulau kecil dan ekosistem laut.
Metode analisis geomorfologi meliputi aspek-aspek morfologi, morfogenesis,
morfokronologi, dan morfo-arrangement yang dilakukan secara visual. Analisis ini
digunakan untuk identifikasi tipe pulau, bentuklahan pulau kecil, dan bentuklahan
terumbu yang dilakukan dengan pendekatan bentanglahan. Sementara itu,
metode analisis kerapatan mangrove menggunakan algoritma Normalized
Difference Vegetation Index, sedangkan metode klasifikasi terumbu karang dan
lamun menggunakan algoritma Lyzengga. Uji verifikasi hasil identifikasi
karakteristik biogeofisik substrat dasar perairan laut dangkal dari analisis
geomorfologi daratan ditempuh melalui analisis perikanan pantai. Analisis ini
meliputi indeks keanekaragaman, indeks keseragaman, dan indeks dominansi.
Hasil penelitian pertama diperoleh tiga prosedur pengolahan citra untuk
pulau kecil tipe tektonik, vulkanik, dan terumbu, serta tiga prosedur pengolahan
citra untuk ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun. Pulau kecil tipe
tektonik menggunakan fusi mutispektral 234 dan 345, penajaman autoclip dan
high pass sharpen 2, yang dicirikan oleh bentuk beragam. Pulau kecil tipe
vulkanik menggunakan fusi mutispektral 245, penajaman autoclip, levelslice, dan
equalizer; serta lowpass average 3x3, lowpass diagonal, dan high pass sharpen
2, yang dicirikan oleh bentuk melingkar di samudra. Pulau kecil tipe terumbu
menggunakan fusi mutispektral 257 dan 235, penajaman autoclip dan high pass
sharpen 2, yang dicirikan oleh bentuk beragam dan warna cerah. Prosedur pada
ketiga tipe pulau kecil ini menggunakan fusi multispasial. Mangrove
menggunakan komposit RGB 543 dan dicirikan oleh warna merah bata di pesisir.
Terumbu karang menggunakan komposit RGB 421 dan dicirikan oleh warna biru
terang/kehijauan. Lamun menggunakan komposit RGB 421 dan dicirikan oleh
warna kecoklatan di tempat terlindung. Ketiga ekosistem ini menggunakan
penajaman autoclip dan high pass sharpen 2.
Pulau-pulau kecil terbentuk melalui proses geomorfik berbeda. Untuk itu
klasifikasi tipe pulau kecil disusun menurut morfogenesisnya. Hasil kedua
diperoleh klasifikasi tipe pulau kecil menjadi sepuluh kelas yaitu tektonik lipatan,
tektonik patahan, vulkanik intrusif, vulkanik ekstrusif, stack, monadnock,
hummock, aluvial, terumbu, dan atol. Setiap tipe pulau kecil ditambahkan
informasi morfografi yang dibedakan antara berbukit dan datar.
Pertumbuhan ekosistem laut terkait dengan pulau kecilnya, sehingga
identifikasinya didesain berbasis tipe pulau kecil. Di samping itu, hasil analisis
kondisi ikan diketahui ada kaitan erat antara karakteristik biogeofisik pulau kecil,
pertumbuhan ekosistem laut, dan perikanan pantai. Hasil ketiga adalah
identifikasi ekosistem laut dengan analisis secara visual dan digital yang disusun
sesuai karakteristik biogeofisiknya untuk memperoleh informasi bentuklahan
terumbu, karang hidup, karang mati, lamun, dan mangrove.
Hasil keempat adalah pengelompokan pulau-pulau kecil yang didesain
secara aplikatif dan eksploratif. Secara aplikatif pulau-pulau kecil dikelompokkan
menurut jarak 12 mil dan dibedakan menjadi dua yaitu kelompok pulau kecil dan
kelompok gugus-pulau kecil. Jika dengan ketentuan jarak belum memisahkan
pulau kecil, maka ditempuh cara eksploratif yaitu menurut karateristik biogeofisik;
dan dibedakan menjadi tiga yaitu kelompok gugus-pulau kecil, kelompok pulau
kecil dan gugus-pulau kecil, dan kelompok pulau kecil dan pulau kecil.

Kata kunci: pulau kecil, ekosistem laut, geomorfologi, identifikasi, tipe pulau kecil,
bentuklahan, penginderaan jauh, pengelompokan.
© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009
Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini
tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan
laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian
atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin
IPB
PENGELOMPOKAN PULAU KECIL
DAN EKOSISTEMNYA BERBASIS GEOMORFOLOGI
DI INDONESIA

WIKANTI ASRININGRUM

Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Doktor pada
Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2009
LEMBAR PENGESAHAN

Judul Disertasi : Pengelompokan Pulau Kecil dan Ekosistemnya


Berbasis Geomorfologi di Indonesia
Nama Mahasiswa : Wikanti Asriningrum
Nomor Pokok : C561030224
Program Studi : Teknologi Kelautan

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si
Ketua Anggota

Dr. Ir. Iwan Gunawan, M.Sc Prof. Dr. Daniel R. Monintja


Anggota Anggota

Diketahui,

Program Studi Teknologi Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB


Ketua,

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS

Tanggal Ujian: 4 Maret 2009 Tanggal Lulus:


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 26 November 1959 dari ayah


Nindyo Putranto (alm.) dan ibu Sulastri. Penulis merupakan putri kedua dari tujuh
bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Penginderaan Jauh,
Fakultas Geografi, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta lulus Tahun 1986.
Tahun 1992 lulus dari Diploma Post Graduate program Monitoring the Indonesian
Environment di ITC, The Netherlands. Tahun 2002 lulus Magister Sain bidang
Ilmu Tanah, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB). Tahun 2003
melanjutkan ke program doktor pada Sekolah Pascasarjana IPB,
penyelenggaraan khusus, Program Studi Teknologi Kelautan, Departemen
Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Penulis bekerja di Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)
sejak tahun 1987 di Jakarta. Penulis sebagai Peneliti Madya di bidang
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh dan sebagai pengajar di beberapa
training di antaranya di LAPAN, BPPT, dan BAKOSURTANAL pada Diklat
Technical Cooperation among Developing Country (TCDC) tahun 2001-2005.
Beberapa karya tulis dari penulis telah diterbitkan dan dipresentasikan di
antaranya Pemodelan Klasifikasi Terumbu Berbasis Geomorfologi dan
Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Karang pada Buletin PSP Volume XVI No. 3
Desember 2008. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB. Karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari
program S3 penulis.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah yang dikaruniakan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penulisan disertasi Doktor.
Terimakasih dan penghargaan yang tak terhingga penulis ucapkan kepada
Bapak Dr. Ir. Budy Wiryawan, M.Sc., Bapak Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si., Bapak
Dr. Ir. Iwan Gunawan, M.Sc., dan Bapak Prof. Dr. Daniel R. Monintja selaku
dosen pembimbing. Penghargaan yang tinggi juga disampaikan kepada Bapak
Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc. selaku Ketua Program Studi Teknologi Kelautan
Sekolah Pascasarjana IPB, serta kepada Penguji pada Ujian Tertutup, yakni
Bapak Prof. Dr. Ir. Jacub Rais, M.Sc. dan Bapak Prof. Dr. Ir. Bambang
Murdiyanto, M.Sc. maupun kepada Penguji pada Ujian Terbuka, yakni Bapak
Ir. Mahdi Kartasasmita, Ph.D. dan Bapak Dr. Boedi Tjahjono, DEA.
Penghargaan dan terimakasih yang tulus juga penulis sampaikan kepada
Bapak Prof. Dr. Ir. Rubini Yusuf, M.Sc. (alm.) dan Bapak Dr. Ir. J. Hardanto
Sunarjo, serta Kepada Kepala Instalasi Pengolahan Data, Kepala Pusat
Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh, dan Deputi
Penginderaan Jauh LAPAN, yang telah memberikan semangat dan membantu
untuk menyelesaikan program studi doktor ini. Kepada Bapak Ir. Abang Muzni
selaku Kepala Dinas Perikanan Kota Batam, Bapak Ir. Mauritz T. Da Cunha
selaku Kepala Dinas Perikanan Kabupaten Sikka, Bapak Saeda Achmad, Kepala
Desa Parumaan Kabupaten Sikka, dan Bapak Kepala Kecamatan Tagulandang,
Kabupaten Sitaro, disampaikan terimakasih atas bantuannya selama penulis
melaksanakan survei. Para sahabat di LAPAN serta berbagai pihak yang tidak
dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penyelesaian naskah
disertasi ini, penulis mengucapkan banyak terimakasih.
Pada akhirnya, penghargaan dan ungkapan terimakasih juga disampaikan
kepada ayahanda (alm.), ibunda terkasih, serta seluruh keluarga, khususnya
kepada suami tercinta Wagiran, ananda Sulistyo Unggul Wicaksono dan Kirana
Nuryunita atas segala doa dan kasih sayangnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Maret 2009


Wikanti Asriningrum
Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Jacub Rais, M.Sc.
2. Prof. Dr. Ir. Bambang Murdiyanto, M.Sc.

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Ir. Mahdi Kartasasmita, Ph.D


2. Dr. Boedi Tjahjono, DEA
DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR TABEL……………………………………………………..………. xv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………..……….... xvi
DAFTAR LAMPIRAN……………………………………………..………..... xviii
DAFTAR ISTILAH………………………………………………………….... xix

1 PENDAHULUAN ………………………………..…………………….... 1
1.1 Latar Belakang………………………………………………….…. 1
1.2 Perumusan Masalah …………………………………………..…. 4
1.3 Tujuan dan Manfaat…………………………………………….… 8
1.4 Hipotesis …………………………………………………….…….. 9
1.5 Kerangka Pemikiran..…………………………………………….. 9

2 TINJAUAN PUSTAKA …………..……………………………...….….. 12


2.1 Pulau Kecil ……………………………………………...…….… 12
2.1.1 Definisi pulau kecil ………….............................………… 12
2.1.2 Tipe pulau.……………………………………………….….. 16
2.2 Ekosistem Laut……………..……………...……………………… 19
2.2.1 Mangrove …………...........................................………… 21
2.2.2 Terumbu karang.……………….……………………….….. 23
2.2.3 Lamun.............................................................................. 27
2.3 Geomorfologi ........................................................................... 30
2.3.1 Geomorfologi pulau kecil …………....................………… 32
2.3.2 Geomorfologi terumbu.……………………………….….. 34
2.4 Data Penginderaan Jauh Satelit………………………….……... 38
+
2.4.1 Landsat ETM ………….....................................………… 39
2.4.2 SPOT.…………………..……….……………………….….. 41
2.4.3 QuickBird......................................................................... 44
2.5 Model dan Pengelompokan Pulau Kecil .................................. 45
2.5.1 Model ………………..……….……………………….…..... 45
2.5.2 Pengelompokan pulau kecil berdasarkan 47
tektonogenesis ................................................................

xii
3 METODOLOGI ……….…………………….…………………………… 49
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian …………………….………..…… 49
3.1.1 Kota Batam …………........................................………… 50
3.1.2 Kabupaten Sikka.……………………………………….….. 51
3.1.3 Kabupaten Sitaro............................................................. 52
3.2 Data dan Peralatan Penelitian…………………………………... 55
3.3 Pengumpulan Data …….………………………………………… 56
3.3.1 Data pulau kecil dan ekosistem laut .……………….….. 56
3.3.2 Data perikanan pantai...................................................... 58
3.3.3 Citra penginderaan jauh satelit …………..........………… 60
3.4 Pengolahan Data……............................................................... 61
3.4.1 Fusi multispektral …...……………………………………... 61
3.4.2 Penajaman ……………...………………………………….. 62
3.4.3 Fusi multispasial …………………………………………… 63
3.5 Analisis Data............................................................................. 64
3.5.1 Pulau kecil ....................................................................... 64
3.5.2 Ekosistem laut ................................................................. 64
3.5.3 Perikanan pantai.............................................................. 67

4 HASIL PENELITIAN…………………………………......................... 70
4.1 Pulau Kecil dan Ekosistemnya…………………………...……… 70
4.1.1 Tipe Tektonik ……………………….……………….……... 70
4.1.1.1 Bentuklahan model pulau kecil ........................... 70
4.1.1.2 Karakteristik biogeofisik ...................................... 75
4.1.1.3 Pengolahan data …………………………...…..… 76
4.1.2 Tipe Vulkanik ……………………………………...…...…... 81
4.1.2.1 Bentuklahan model pulau kecil …………….. ….. 81
4.1.2.2 Karakteristik biogeofisik …………. …………….. 91
4.1.2.3 Pengolahan data ………….. …………….. …..… 92
4.1.3 Tipe Terumbu ……………………………………….……... 99
4.1.3.1 Bentuklahan model pulau kecil ……………… … 99
4.1.3.2 Karakteristik biogeofisik ………….. .................... 102
4.1.3.3 Pengolahan data ……………. …………….…….. 104
4.2 Klasifikasi Tipe Pulau Kecil Berbasis Geomorfologi................. 109
4.3 Identifikasi Ekosistem Laut Berbasis Tipe Pulau Kecil............. 113

xiii
4.3.1 Mangrove …………...........................................………… 113
4.3.2 Terumbu karang…..........................................…………... 119
4.3.3 Lamun…………...........................................…………...... 127
4.4 Pengelompokan Pulau Kecil untuk Perikanan.......................... 129
4.4.1 Pulau kecil..…................…................…...................….... 129
4.4.2 Kaitan pulau kecil dengan perikanan pantai ..….............. 130
4.4.3 Pengelompokan pulau kecil berbasis geomorfologi 134
untuk perencanaan perikanan ..….................…..............

5 PEMBAHASAN .................................................................................... 140


5.1 Teknik Pengolahan Data Pulau Kecil dan Ekosistemnya......... 140
5.1.1 Pulau kecil........................................................…………. 140
5.1.2 Ekosistem laut .................................................…………. 143
5.2 Desain Klasifikasi Tipe Pulau Kecil........................................... 146
5.3 Desain Identifikasi Ekosistem Laut .......................................... 147
5.3.1 Pulau kecil..........................................……..............……. 147
5.3.2 Korelasi pulau kecil dan ekosistem laut ..…............……. 150
5.3.3 Identifikasi ekosistem laut berbasis tipe pulau................. 153
5.4 Desain Pengelompokan Pulau Kecil untuk Perikanan .....……. 156

6 KESIMPULAN DAN SARAN................................................................ 158


6.1 Kesimpulan............................................................................... 158
6.2 Saran........................................................................................ 160

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………............................. 161


LAMPIRAN……………………………………………………....................... 168

xiv
DAFTAR TABEL

Halaman
1 Klasifikasi bentuklahan asal marin……………………………….. 31
2 Klasifikasi bentuklahan terumbu menurut skala......................... 36
3 Tingkat perkembangan pulau terumbu...................................... 37
4 Karakteristik kanal Landsat ETM+………………………………... 40
+
5 Spesifikasi Landsat ETM ……………………………………….... 41
6 Spesifikasi SPOT-5……….……………………………………….. 41
7 Karakteristik kanal dan resolusi spasial SPOT-5……….……… 42
8 Data teknis satelit SPOT...……….……………………………….. 43
9 Spesifikasi Quickbird...................................................................... 45
10 Karakteristik kanal Quickbird.......................................................... 45
11 Pengumpulan data ikan…………………………………………… 59
12 Klasifikasi kerapatan vegetasi berdasarkan indeks vegetasi…. 66
13 Kombinasi kanal citra Landsat model pulau kecil tipe tektonik . 77
14 Hasil penajaman pada model pulau kecil tipe tektonik………… 78
15 Hasil pemfilteran pada model pulau kecil tipe tektonik……...… 78
16 Nilai digital mangrove, terumbu karang, dan lamun di Pulau 80
Lengkang...................................................................................
17 Kombinasi kanal citra Landsat model pulau kecil tipe vulkanik. 92
18 Hasil penajaman pada model pulau kecil tipe vulkanik.............. 95
19 Hasil pemfilteran pada model pulau kecil tipe vulkanik.............. 96
20 Nilai OIF ekosistem laut dari citra QuickBird di Pulau Pasighe.. 97
21 Nilai digital mangrove, terumbu karang, dan lamun di Pulau 97
Pasighe......................................................................................
22 Rata-rata nilai digital ekosistem laut di Pulau Pasighe.............. 97
23 Luas bentuklahan Pulau Pomana………………………………... 102
24 Hasil penajaman pada model pulau kecil tipe terumbu............. 107
25 Hasil pemfilteran pada model pulau kecil tipe terumbu............. 107
26 Klasifikasi tipe pulau kecil menurut morfogenesis ….…………... 109
27 Nilai NDVI menurut tipe pulau.................................................... 118
28 Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan.. 131
29 Pengolahan citra menurut tipe pulau dan ekosistem laut.......... 143
30 Matriks korelasi pulau kecil dan ekosistem laut......…...……….. 152
31 Klasifikasi kerapatan mangrove……………………………..…… 155

xv
DAFTAR GAMBAR

Halaman
1 Contoh pulau kecil dari citra Landsat............................. 2
2 Struktur permasalahan pengelompokan pulau kecil dan 7
ekosistemnya…………………………………………………………
3 Diagram alir kerangka pemikiran…………………….……………. 10
4 Klasifikasi terumbu menurut Maxwell......................................... 35
5 Pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis............ 48
6 Citra Kota/Kabupaten Batam, Landsat RGB 543....................... 50
7 Citra Kabupaten Sikka, Landsat RGB 542................................. 53
8 Citra Kabupaten Sitaro, Landsat RGB 542 ............................... 54
9 Lokasi stasiun pengambilan sampel ikan..................................... 60
10 Diagram alir pengolahan dan analisis data penginderaan jauh 69
satelit…..........................................................................................
11 Foto pulau-pulau kecil tipe tektonik …………………..…………… 71
12 Peta bentuklahan Pulau Lengkang................................................ 74
13 Peta kedalaman laut Pulau Lengkang dan sekitarnya................. 74
14 Citra komposit model pulau kecil tipe tektonik............................... 79
15 Foto perairan laut dangkal pulau kecil tipe vulkanik……………… 83
16 Pulau vulkanik terdenudasi dengan morfologi tidak melingkar..... 83
17 Peta bentuklahan Pulau Ruang..................................................... 86
18 Peta bentuklahan Pulau Babi......................................................... 86
19 Peta bentuklahan Pulau Pasighe................................................... 89
20 Peta kedalaman laut Pulau Ruang dan sekitarnya ..................... 90
21 Peta kedalaman laut Pulau Babi dan Pulau Pomana................. 90
22 Citra komposit model pulau kecil tipe vulkanik.............................. 94
23 Citra Landsat hasil penajaman dan fusi multispasial..................... 94
24 Citra Pulau Pasighe........................................................................ 95
25 Skematik penampang melintang Pulau Pomana.......................... 101
26 Foto pulau kecil tipe terumbu di Pulau Pomana............................ 101
27 Peta bentuklahan Pulau Pomana-besar........................................ 103
28 Peta bentuklahan Pulau Pomana-kecil.......................................... 103
29 Citra komposit Landsat dan QuickBird Pulau Pomana................. 106
30 Citra mangrove di pulau kecil tipe tektonik ………………………. 115
31 Mangrove dan non-mangrove di pulau kecil tipe vulkanik............ 115
32 Scattergram ekosistem laut Pulau Pasighe kanal 1 dan 2........... 115

xvi
33 Klasifikasi kerapatan mangrove di Pulau Lengkang...................... 117
34 Klasifikasi NDVI di Pulau Ruang................................................... 117
35 Klasifikasi kerapatan mangrove di Pulau Pasighe........................ 117
36 Breaker zone di Pulau Ruang........................................................ 122
37 Klasifikasi terumbu karang dan lamun di pulau kecil tipe tektonik 1225
38 Klasifikasi terumbu karang di Pulau Babi...................................... 125
39 Klasifikasi terumbu karang di Pulau Pasighe................................ 126
40 Klasifikasi terumbu karang di Pulau Pomana-besar...................... 126
41 Pulau sangat kecil, Pulau Kondo, dan Pulau Gunung-sari…..... 129
42 Grafik indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi 131
ikan...............
43 Pengelompokan pulau kecil........................................................... 135
44 Gugus-pulau kecil dan pulau kecil................................................. 136
45 Teknik pengolahan data pulau kecil tipe tektonik...................... 140
46 Teknik pengolahan data pulau kecil tipe vulkanik...................... 141
47 Teknik pengolahan data pulau kecil tipe terumbu...................... 142
48 Teknik pengolahan data ekosistem mangrove...................... 144
49 Teknik pengolahan data ekosistem terumbu karang................. 145
50 Teknik pengolahan data ekosistem lamun................................. 146
51 Diagram alir identifikasi ekosistem laut.......................................... 154

xvii
DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Daftar nama pulau kecil di Kabupaten Batam …………………. 164

2 Daftar nama pulau kecil di Kabupaten Sikka …………………... 169

3 Daftar nama pulau kecil di Kabupaten Sitaro ………………….. 169

4 Nilai OIF Pulau Lengkang menurut kombinasi kanal ................ 170

5 Nilai OIF Pulau Babi menurut kombinasi kanal ........................ 170

6 Nilai OIF Pulau Pomana-besar menurut kombinasi kanal ........ 171

7 Variasi citra komposit dari tiga kombinasi kanal terseleksi, 171


Pulau Palue ..............................................................................
8 Penajaman spektral, citra komposit RGB 543, Pulau Palue ..... 172

9 Penajaman spasial, (filtering) citra komposit RGB 543, Pulau 172


Palue .........................................................................................
10 Data geomorfologi dan penutup lahan di daerah model pulau- 173
pulau kecil, hasil survei lapangan ……………………………….
11 Data ikan karang hasil survei lapangan dengan teknik 175
penyelaman ………………………………………………………...
12 Klasifikasi bentuklahan 182

xviii
DAFTAR ISTILAH

Algoritma (algorithm) : (1) suatu prosedur tertentu yang dikerjakan tahap demi
tahap untuk menyelesaikan atau mengerjakan sesuatu hingga membuahkan
hasil yang tertentu; biasanya prosedur itu disederhanakan untuk memecahkan
suatu permasalahan yang kompleks. (2) suatu prosedur yang diorientasikan
dengan komputer untuk memecahkan permasalahan (Short, 1982).
Bentuklahan (landform) : konfigurasi khusus suatu permukaan lahan, misalnya
pegunungan, bukit, lembah, dan dataran (Strahler and Strahler, 1987).
Citra (image) : (1) Gambaran dari suatu obyek yang dihasilkan oleh pantulan
atau pembiasan dari cahaya yang difokuskan oleh lensa atau cermin. (2)
gambaran suatu rekaman (umumnya sebagai suatu citra-foto) dari suatu
obyek yang dihasilkan oleh optikal, elektro-optikal, optikal mekanikal, atau
alat-alat elektronik lainnya. Gambaran tersebut umumnya digunakan bila
radiasi elektromagnetik yang dipancarkan atau dipantulkan dari suatu
perujudan yang tidak langsung direkam pada film (Short, 1982).
Ekosistem : kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non
organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk
keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas (Undang-Undang RI No. 27 Th.
2007).
Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+) : sensor dalam Landsat 7 yang
mengambil radiasi matahari yang direfleksikan oleh, atau dipancarkan dari
bumi (EDC DAAC, 1999).
Fusi (fusion): gabungan atau perpaduan. Penggabungan dalam pemanfaatan
citra dapat berupa fusi multispektral (single sensor dan multisensor),
multispasial, dan multi temporal.
Geomorfologi (Geomorphology) : studi yang mendeskripsi bentuklahan dan
proses yang mengakibatkan terbentuknya bentuklahan tersebut, dan
menyelidiki hubungan timbal-balik dari bentuk-bentuk dan proses ini dalam
susunan keruangan (Zuidam, 1985).
Interpretasi citra (image interpretation) : merupakan perbuatan mengkaji foto
udara dan atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek dan
menilai arti pentingnya obyek tersebut (Estes dan Simonett, 1975 yang diacu
dalam Sutanto, 1986).
Kanal (channel): suatu bagian panjang gelombang dari spektrum elektromagnetik
(EDC DAAC, 1999).

xix
Kelas (class): suatu tipe karakteristik permukaan yang menarik bagi seorang
peneliti, seperti hutan dengan tipe dan kondisinya, atau air dengan
sedimennya (Short, 1982).
Kawasan : bagian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang memiliki fungsi
tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial,
dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya (Undang-Undang RI No.
27 Th. 2007).
Klasifikasi (classification) : proses pemberian tanda piksel individual pada citra
multispektral menurut kategori tertentu; pada umumnya atas dasar
karakteristik pantulan spektral (Short, 1982).
Komposit (composite) : paduan dari citra beberapa kanal, bisa berupa komposit
warna asli atau warna semu. Komposit warna asli terbentuk bila masing-
masing kanal biru, hijau, dan merah secara tepat ditempatkan pada filter
merah, hijau, dan biru. Sedangkan komposit warna semu dibentuk dengan
menempatkan sembarang kanal pada filter merah, hijau, dan biru.
Konservasi sumberdaya ikan : upaya perlindungan, pelestarian, dan
pemanfaatan sumberdaya ikan, termasuk ekosistem, jenis dan genetik untuk
menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungannya dengan tetap
memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragaman
sumberdaya ikan (UU RI No. 31 Th. 2004).
Laut teritorial Indonesia : jalur laut selebar 12 (dua belas) mil laut yang diukur dari
garis pangkal kepulauan Indonesia (Undang-Undang RI No. 31 Th. 2004).
Lingkungan sumberdaya ikan : perairan tempat kehidupan sumberdaya ikan,
termasuk biota dan faktor alamiah sekitarnya (Undang-Undang RI No. 31 Th.
2004).
Multispektral (multispectral) : umumnya digunakan untuk penginderaan jauh yang
memanfaatkan dua saluran spektral atau lebih, seperti saluran tampak dan
infra-merah (Short, 1982).
Optimum Index Factor (OIF) : sebuah parameter yang dikembangkan oleh
Chaves (1982) untuk menilai kualitas citra komposit secara statistik (Jensen
1986).
Pankromatik (pancromatic) : kanal yang sensitif untuk semua atau sebagian
besar spektrum visibel, antara 0,4 - 0,7 μm (EDC DAAC, 1999).
Pemrosesan citra (image processing) : meliputi berbagai operasi yang dapat
diterapkan pada foto atau data citra. Hal ini meliputi kompresi citra, restorasi

xx
citra, penajaman citra, pemrosesan awal, kuantisasi, spatial filtering dan
teknik pengenalan pola citra yang lain (Short, 1982).
Penajaman (enhancement) : suatu teknik pengolahan citra untuk memperoleh
kesan kontras citra yang lebih tinggi.
Pengelolaan perikanan : semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam
pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan
keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan
hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang
dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai
kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan yang
telah disepakati (Undang-Undang RI No. 31 Th. 2004).
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil : suatu proses perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil antar sektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah,
antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan
manajemen untuk meningkatkan kesejahtaraan masyarakat (Undang-Undang
RI No. 27 Th. 2007).
Penginderaan jauh (remote sensing) : penginderaan jauh adalah ilmu dan seni
untuk memperoleh informasi tentang obyek, daerah, atau gejala dengan
menganalisis data yang diperoleh dengan menggunakan alat tanpa kontak
langsung terhadap obyek, daerah, atau gejala yang dikaji. (Lillesand dan
Kiefer, 1979 yang diacu dalam Sutanto, 1986).
Perairan Indonesia: laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan
perairan pedalamannya (Undang-Undang RI No. 31 Th. 2004).
Perikanan: semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan sumberdaya ikan lingkungannya mulai dari praproduksi,
produksi, pengolahan, sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam
satu bisnis perikanan (Undang-Undang RI No. 31 Th. 2004).
Peta (map) : suatu gambaran pada suatu bidang datar, pada suatu skala
tertentu, tentang kenampakan fisik (alami, buatan, atau keduanya) dari
sebagian muka bumi, dengan orientasi yang telah ditentukan (Short, 1982).
Pulau kecil : pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2000 km2 (dua ribu
kilometer persegi) beserta kesatuan ekosistemnya (UU RI No. 27 Th. 2007).
Rencana zonasi : rencana yang menentukan arah penggunaan sumberdaya tiap-
tiap satuan perencanaan disertai dengan penetapan struktur dan pola ruang

xxi
pada kawasan perencanaan yang memuat kegiatan yang boleh dilakukan
dan tidak boleh dilakukan serta kegiatan yang hanya dapat dilakukan setelah
memperoleh ijin (Undang-Undang RI No. 27 Th. 2007).
Resolusi (resolution) : suatu ukuran dari sejumlah detail yang dapat dilihat pada
suatu citra; ukuran terkecil obyek yang dapat dikenali dengan menggunakan
detektor (EDC DAAC, 1999).
Scene : suatu kumpulan citra. Setiap scene Landsat berukuran 185x170 km
(EDC DAAC, 1999).
Zona : ruang yang penggunaannya disepakati bersama antara berbagai
pemangku kepentingan dan telah ditetapkan status hukumnya (Undang-
Undang RI No. 27 Th. 2007).
Zonasi : bentuk rekayasa teknik pemanfaatan ruang melalui penetapan batas-
batas fungsional sesuai dengan potensi sumberdaya dan daya dukung serta
proses-proses ekologis yang berlangsung sebagai satu kesatuan dalam
ekosistem pesisir (Undang-Undang RI No. 27 Th. 2007).

xxii
1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pemanfaatan sumberdaya ikan berada pada kondisi akses terbuka karena
adanya anggapan bahwa perairan laut sulit diberi batas atau zonasi. Selain itu, pola
migrasi ikan yang bersifat multi lintas, seperti lintas samudra dan lintas musim, juga
masih menjadi penyebab terjadinya penangkapan ikan yang bersifat akses terbuka.
Namun, pulau-pulau kecil dan ekosistemnya mempunyai area pengaruh yang
terbatas dan menjadi bagian dari proses keberlanjutan ketersediaan sumberdaya
ikan. Di negara kepulauan Indonesia, pulau-pulau kecil dan ekosistemnya dapat
dibangun sebagai suatu bentuk pembatasan pada jarak tertentu.
Informasi karakteristik pulau kecil dan ekosistemnya perlu diketahui terlebih
dahulu agar wilayah yang dibatasi merupakan perairan laut yang memiliki sifat
relatif homogen. Batas ini adalah batas imajiner yang memungkinkan pengelolaan
ekosistem laut menjadi lebih sesuai dengan karakteristik alamiahnya. Perolehan
informasi karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya memerlukan suatu
teknik yang sesuai bagi puluhan ribu pulau kecil dan ekosistemnya yang terdapat
pada wilayah dengan luas sekitar delapan juta kilometer persegi.
Pulau kecil adalah salah satu ekosistem laut (Gambar 1). Pulau kecil memiliki
keunikan geologis dan ekologis sebagai hasil proses dari beberapa ekosistem di
sekitarnya dan membentuk sistem perikanan yang spesifik menurut ruang dan
waktu. Pulau-pulau kecil di Indonesia memiliki nilai penting dari sisi politik, sosial,
ekonomi, budaya, pertahanan, dan keamanan (Dutton, 1998). Di sisi lain, konsep
negara kepulauan telah diperjuangkan melalui deklarasi Juanda tanggal 13
Desember 1957, dan dimanifestasikan ke dalam konsep geopolitik dan geostrategi
yaitu wawasan Nusantara. Nusantara (archipelagic) dipahami sebagai konsep
kewilayahan nasional dengan penekanan bahwa wilayah negara Indonesia terdiri
atas pulau-pulau yang dihubungkan oleh laut (Dephankam dan BPPT, 1999).
Penelitian di bidang perikanan sebagian besar membahas cara mengetahui
posisi ikan dan pola perpindahannya. Sebagai contoh, perikanan internasional
sejak tahun 2002 memiliki dua program yaitu memperkirakan data sumberdaya
yang akurat di daerah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan mengembangkan
teknologi perikanan yang sejalan dengan perkembangan zaman informasi. Dari
kedua program ini dilakukan studi untuk mengkaji tentang aspek ekonomi
sumberdaya ikan dan selanjutnya memperkirakan tangkapan maksimum lestari
(Maximum Sustainable Yield) (Sugimori et al., 2006). Di sini aspek lingkungan yang
terkait dengan ekosistem laut belum menjadi prioritas kajiannya. Siklus hidup
perkembangbiakan ikan tidak terlepas dari substrat dasar sehingga kondisi
biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya perlu mendapat perhatian untuk dikaji.
Pada Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah, Pasal (4), menyebutkan bahwa, kewenangan untuk mengelola sumber
daya di wilayah laut sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua
belas) mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan
kepulauan untuk provinsi dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi
untuk kabupaten/kota. Berdasarkan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, ruang didefinisikan sebagai wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut,
dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai suatu kesatuan wilayah
tempat manusia dan mahluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara
kelangsungan hidupnyaPenataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan terdiri
atas kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kriteria yang perlu disepakati yaitu
“pembagian zonasi (ruang) wilayah kerja“ untuk menetapkan batasan tanggung
jawab masing-masing sektor dan menghindari terjadinya tumpang tindih
kepentingan, tugas, dan wewenang.

a) Pulau Makalehi di Kabupaten b) Pulau-pulau Semangkau, Besar,


Sitaro yang termasuk pulau kecil Nur, Cingam, Par, Terih, Nabi, dan
terluar berbatasan dengan negara Arus di Kota Batam. Contoh pulau-
Filipina. Pulau ini terbentuk di pulau kecil ini dengan jarak
samudra, berbentuk melingkar, dan berdekatan dan secara fisik
terdapat danau di tengahnya. tergabungkan oleh perairan laut
Karakteristik fisik ini mengindikasi- dangkal. Di sini terbentuk gugus-
kan sebagai pulau tipe vulkanik. pulau.

Gambar 1 Contoh pulau kecil dari citra Landsat.

2
Seiring dengan perubahan pendekatan pembangunan yang bergeser dari
pendekatan sektoral ke pendekatan kawasan, maka diperlukan perencanaan
pembangunan secara terpadu dan berkelanjutan di sebuah wilayah kepulauan.
Tata ruang yang dimaksud mencakup penetapan peruntukan lahan yang terbagi
menjadi empat zona yaitu: 1) zona preservasi, 2) zona konservasi, 3) zona
penyangga, dan 4) zona budidaya (zona pemanfaatan) (Dahuri et al., 1996).
Terhadap pulau-pulau kecil di Indonesia perlu dilakukan penataan menurut
kondisi lingkungan alami (natural environment) untuk suatu desain sistem
pembangunan negara maritim berkelanjutan. Di ruang wilayah ekosistem laut
terkandung sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh berbagai sektor
kepentingan yang berbeda. Sumberdaya ikan, saat ini, dijadikan sebagai
penggerak utama di sektor kelautan oleh pemerintah.
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah suatu proses
perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumberdaya pesisir
dan pulau-pulau kecil antarsektor, antara pemerintah dan pemerintah daerah,
antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen
untuk meningkatkan kesejahtaraan masyarakat (UU RI No. 27 Tahun 2007). Tahun
1987, Jawatan Hidro Oseanografi menghitung pulau-pulau di Indonesia sebanyak
17.508 pulau yaitu 5.707 pulau bernama dan 11.801 pulau belum memiliki nama,
yang disahkan oleh Menhankam melalui surat Nomor: B/858/M/IX/1987. Tahun
2006, Pusat Survei Geologi melakukan pengelompokan pulau-pulau kecil
berdasarkan tektonogenesis menjadi empat kelompok. Tahun 2008, Tim Nasional
pembakuan nama rupabumi telah melakukan verifikasi di lapangan terhadap 8.172
pulau untuk 25 provinsi. Proses verifikasi masih berlangsung di delapan provinsi
lainnya, yaitu Nangroe Aceh Darusalam, Banten, Nusa Tenggara Timur,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan.
Kebiasaan masyarakat pulau kecil sebagai nelayan atau petani dalam
mengelola lingkungan dipengaruhi oleh kondisi fisiknya. Nelayan Indonesia
sebagian besar memanfaatkan perairan laut dangkal atau zona neritik. Perairan ini
merupakan daerah ikan yang produktif dan banyak mendapat pengaruh dari
daratan. Pulau-pulau kecil dan ekosistemnya memiliki karakteristik fisik dan potensi
alam yang terkandung di dalamnya yang dapat dimanfaatkan guna pemenuhan
kebutuhan ekonomi dan sosial. Perencanaan pengelolaan pulau kecil dan semua
ekosistem laut yang terkait memerlukan informasi kondisi biogeofisik dan sosial-
ekonomi. Dalam hal ini dapat dimengerti bahwa, pemahaman terhadap karakteristik

3
biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya dapat memengaruhi sikap dan pola tindak
dalam mengelola lingkungan kepulauannya terutama pada pengelolaan berbasis
tradisional.
Saat ini, untuk mengimbangi laju pembangunan yang pesat, maka informasi
karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil dan ekosistemnya sangat diperlukan.
Data penginderaan jauh satelit dapat memberikan informasi secara spasial,
kualitatif, dan kuantitatif serta dapat diperoleh secara cepat dan akurat. Teknologi
penginderaan jauh satelit telah berkembang sejak dekade tujuh-puluhan dan
didukung oleh piranti lunak pengolahan citra dan Sistem Informasi Geografis (SIG)
merupakan salah satu teknologi yang dapat dipakai untuk memenuhi kebutuhan
informasi tersebut. Keunggulan ini sesuai untuk diterapkan di Indonesia, karena
variasi luas cakupan citra dan variasi tingkat kedetailan informasi ekosistem laut
dapat ditampilkan dalam keterkaitan antar obyek secara spasial. Selanjutnya
berbagai komponen terkait dianalisis untuk perencanaan pengelolaan wilayah
ekosistem daerah penangkapan ikan. Salah satu sifat data penginderaan jauh
satelit adalah mempunyai variasi tingkat resolusi spasial, sehingga data ini secara
bertingkat dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan akurasi perolehan informasi
karakteristik fisik permukaan bumi atau bentuklahan suatu pulau kecil. Identifikasi
bentuklahan melalui analisis geomorfologi adalah didasarkan pada relief dan proses
pembentukannya. Pada prakteknya hasil analisis ini banyak dipakai oleh bidang-
bidang aplikasi lain, seperti bidang perencanaan, pengelolaan, dan pengembangan
sumberdaya alam, melalui pengaturan tata ruang wilayah dan daerah.

1.2 Perumusan Masalah


Negara kepulauan Indonesia mempunyai puluhan ribu pulau dimana
sebagian besar adalah pulau kecil. Pulau-pulau ini terbentuk pada suatu wilayah
dengan kondisi sebagai berikut:
(1) Luas wilayah Indonesia adalah sekitar 8.686.000 km2 dengan luas laut
kurang lebih 8 juta km2, pada koordinat antara 94°BT hingga 141°BT dan
6°LS hingga 11°LS.
(2) Posisi Indonesia pada pertemuan tiga lempeng tektonik dan pada busur
magmatik memungkinkan terjadi proses endogen secara aktif, sehingga
sifat fisik pulau-pulau yang terbentuk menjadi beragam,
(3) Posisi Indonesia di daerah tropis memungkinkan terumbu karang,
mangrove, dan lamun berkembang baik. Selain itu, proses pelapukan, erosi,

4
dan pengendapan juga aktif sehingga ekosistem delta, estuari, dan
dinamika pantai menjadi aktif,
Kondisi wilayah perairan dan posisi Indonesia membentuk keragaman
karakteristik pulau-pulau kecil dan ekosistemnya. Permasalahan utama terkait
dengan kondisi pulau-pulau kecil dan ekosistemnya ada empat macam meliputi
cara perolehan informasi pulau kecil dan ekosistemnya, klasifikasi tipe pulau,
identifikasi ekosistem laut, dan pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya.
Cara perolehan informasi pulau kecil dan ekosistemnya yang berupa
karakteristik fisik belum diketahui secara menyeluruh dan sulit dilaksanakan, karena
sulit dibangun metode yang dapat berlaku secara umum bagi keragaman yang ada
di Indonesia. Skala peta yang tersedia sebagian besar masih relatif kasar bagi
sebuah negara kepulauan yang memiliki banyak pulau kecil. Sebagai contoh, Peta
Rupabumi Indonesia skala besar, 1:25.000, yang bersifat regional baru tersedia
untuk Jawa dan Nusa Tenggara Timur. Saat ini, peta skala besar, jika tersedia,
masih bersifat sangat lokal karena peta-peta ini biasanya dibuat untuk memenuhi
permintaan khusus, misalnya peta batimetri detail untuk pelabuhan. Teknologi
penginderaan jauh dapat dimanfaatkan sebagai salah satu pemecahan masalah
ketersediaan data. Data penginderaan jauh satelit sumberdaya alam seperti
Landsat memiliki berbagai tingkat resolusi spasial. Citra ini memiliki cakupan 185
km X 185 km, sehingga ukuran ini sesuai untuk keperluan identifikasi pulau kecil di
Indonesia secara efisien dan efektif. Namun, teknik pengolahan dan bentuk analisis
yang dapat diterapkan belum tersedia khususnya untuk karakteristik biogeofisik
pulau kecil dan ekosistemnya, sehingga dapat menyebabkan kesalahan
interpretasi.
Klasifikasi tipe pulau kecil belum mencerminkan karakter biogeofisiknya.
Klasifikasi tipe pulau perlu didasarkan pada proses terbentuknya agar digunakan
untuk memahami keragaman karakter biogeofisik ekosistem laut di sekitarnya. Di
Indonesia peminat penelitian di bidang geomorfologi relatif masih kurang sehingga
pemahaman proses terbentuknya pulau kecil dan ekosistemnya juga masih rendah.
Bentuk klasifikasi yang didasarkan pada proses terbentuknya pulau juga dapat
digunakan untuk membantu masalah sedikitnya jumlah interpreter dengan latar
belakang ilmu geomorfologi. Perpaduan antara bentuk klasifikasi dan tenaga teknis
dalam bentuk petunjuk kerja atau suatu model berguna untuk meningkatkan akurasi
hasil interpretasi. Bentuk klasifikasi tipe pulau kecil diperlukan karena jumlah pulau
kecil di Indonesia sangat banyak dengan karakteristik sangat beragam.

5
Identifikasi ekosistem laut tanpa memperhatikan pembentuk substrat
dasarnya menyebabkan akurasi informasinya kurang sesuai. Keterkaitan antar
ekosistem laut perlu dikenali secara menyeluruh dan pulau-pulau kecil mempunyai
pengaruh nyata terhadap ekosistem perairan laut di sekitarnya. Pulau-pulau kecil ini
terbentuk pada sebagian besar wilayah Indonesia, yaitu wilayah lautan (75%), oleh
karena itu identifikasi ekosistem laut perlu untuk pengelolaan ekosistem daerah
penangkapan ikan
Pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya diperlukan untuk pengelolaan
ekosistem daerah penangkapan ikan. Laut Indonesia sebagai daerah penangkapan
ikan perlu dilakukan zonasi. Zonasi yang diperlukan adalah yang dapat melokalisir
permasalahan sumberdaya ikan sehingga dapat menuntun kepada bentuk
perlakuan dan pengelolaan yang tepat. Akan tetapi, ekosistem laut daerah
penangkapan ikan di Indonesia mempunyai karakteristik beragam sebagai akibat
kondisi luas wilayah laut dan terbentuknya pulau-pulau kecil seperti disebutkan di
atas. Akibatnya pengelolaan antar ekosistem laut belum terpadu dan pengelolaan
pulau kecilnya juga kurang memperhatikan aspek keberlanjutan. Permasalahan
geografis berupa aspek morfoarrangement adalah menyangkut ”pola” susunan
keruangan setiap ekosistem laut yang belum dipahami. Permasalahan terakhir ini
dapat diselesaikan dari berbagai sudut pandang, tetapi jika identifikasinya belum
tepat, maka hasil informasi biogeofisiknya akan memiliki akurasi rendah.
Dari keempat komponen struktur masalah yang diidentifikasi, secara
mendasar yang menjadi masalah ilmiah dan masalah praktis pada pulau-pulau kecil
dan ekosistemnya adalah:
(1) Pengenalan karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya sulit
dicapai karena belum dibangun metode yang selektif dan sesuai bagi
keragaman yang ada di Indonesia,
(2) Klasifikasi tipe pulau kecil kurang mencerminkan karakteristik
biogeofisiknya,
(3) Ekosistem laut belum dapat dikenali secara menyeluruh karena belum
tersedia metode identifikasinya,
(4) Pengelolaan ekosistem daerah penangkapan ikan kurang
mempertimbangkan sifat alamiahnya, sehingga akan sulit dicapai
pemanfaatan sumberdaya ikan yang berkelanjutan.
Berdasarkan uraian beberapa permasalahan tersebut, penelitian ini
membangun pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya berbasis geomorfologi.

6
Secara ringkas masalah pulau-pulau kecil di Indonesia secara skematik ditunjukkan
pada Gambar 2, dalam bentuk diagram alir struktur masalah.

Kondisi geografis Posisi di busur Posisi di daerah


Kepulauan magmatik dan tiga tropis
Indonesia lempeng tektonik

Klasifikasi tipe pulau Dinamika proses


Identifikasi ekosistem
tidak mencerminkan magmatik & tektonik
laut belum tepat
karakternya aktif tidak dipahami

Pengelolaan Pengelompokan Akurasi informasi


ekosistem laut pulau kecil dan biogeofisik rendah
kurang optimal ekosistemnya tidak
berbasis geomorfologi
Pola
Kaitan kondisi fisik morfoarrangement
antar ekosistem Belum ada pengaturan belum dipahami
laut tidak diketahui pemanfaatan SDA pulau
kecil berkelanjutan

Cara perolehan
informasi Pengelolaan antara Belum ada zonasi
biogeofisik pulau pulau kecil & pulau kecil berbasis
kecil tidak tersedia ekosistemnya belum karakteristik
dipadukan biogeofisik

Teknik pengolahan
citra satelit untuk
pulau kecil belum
terseleksi

Gambar 2 Struktur permasalahan pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya.

Pertanyaan penelitian yang bersifat praktis sehubungan dengan


permasalahan tersebut adalah:
(1) Bagaimana teknik pengolahan citra penginderaan jauh satelit yang sesuai
untuk analisis geomorfologi pulau kecil dan ekosistemnya?
(2) Dasar apa yang sesuai untuk membuat klasifikasi tipe pulau kecil agar
dapat mencerminkan karakternya?

7
(3) Bagaimana bentuk penerapan hasil pengolahan citra penginderaan jauh
satelit yang praktis untuk mendapatkan informasi karakteristik biogeofisik
pulau kecil dan ekosistemnya?
(4) Bagaimana cara mengkaji korelasi kondisi fisik antara pulau kecil dan
ekosistemnya?
(5) Bagaimana penerapan informasi karakteristik biogeofisik pulau kecil untuk
identifikasi karakteristik biogeofisik ekosistem laut?
(6) Bagaimana penerapan informasi karakteristik biogeofisik pulau kecil dan
ekosistemnya dalam kaitannya dengan habitat ikan?
(7) Apakah dasar untuk menentukan pengelompokan pulau-pulau kecil dan
ekosistemnya sehingga terjaga pemanfaatan sumberdayanya secara
berkelanjutan?

1.3 Tujuan dan Manfaat


Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut di atas, maka tujuan
umum penelitian ini adalah menyumbangkan teknik pengolahan data penginderaan
jauh satelit untuk pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya dengan
pendekatan geomorfologi.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
(1) Menyeleksi teknik pengolahan data penginderaan jauh satelit untuk
analisis geomorfologi pulau kecil dan ekosistemnya,
(2) Menyusun klasifikasi tipe pulau kecil berbasis geomorfologi,
(3) Mendesain identifikasi ekosistem laut dan
(4) Mendesain pengelompokan pulau-pulau kecil menurut karakteristik
biogeofisik.
Manfaat penelitian yang diperoleh, yaitu:
(1) Menyediakan pilihan jenis fusi multispektral dan multispasial serta
penajaman yang telah terseleksi menurut tipe pulau,
(2) Menyediakan klasifikasi tipe pulau menurut morfogenesisnya dan cara
identifikasinya dari data penginderaan jauh satelit,
(3) Menyediakan identifikasi ekosistem laut untuk mendapatkan informasi
karakteristik biogeofisik,
(4) Menyediakan pilihan pengelompokan pulau kecil atas dasar karakteristik
biogeofisik.

8
(5) Menyediakan cara zonasi daerah perairan laut dengan batas menurut
pilihan pengelompokan pulau kecil atau karakteristik biogeofisik untuk
pengelolaan ekosistem daerah penangkapan ikan.

1.4 Hipotesis
Pulau kecil dan ekosistemnya merupakan suatu sistem yang kompleks dan
saling terkait. Ekosistem-ekosistem ini berpengaruh pula pada perikanan pantai
terutama sejauh perairan laut dangkal. Upaya untuk mendapatkan karakter
biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya ini tidak dapat dilakukan secara parsial
mengingat sifat antar ekosistem laut yang saling terkait. Pulau kecil yang berjumlah
relatif banyak dapat dimanfaatkan dengan membatasi area pengelolaan ekosistem
daerah penangkapan ikan melalui pengelompokan pulau. Pemanfaatan
sumberdaya ikan yang bersifat akses terbuka (Open Access Free Entry/OAFE),
yaitu melalui pengelompokan pulau kecil dapat dirubah menjadi akses terbatas
(License Access Limiting Entry/LALE). Dalam hal ini, pengolahan citra
penginderaan jauh satelit dapat memberikan pilihan yang optimal untuk identifikasi
karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya.
Berdasarkan hal tersebut maka hipotesis kerja yang digunakan adalah:
(1) Proses geomorfologi pulau kecil dan ekosistemnya yang berbeda memiliki
karakteristik spektral berbeda.
(2) Terbentuknya pulau-pulau kecil melalui proses yang berbeda yang
menjadi karakteristiknya
(3) Ekosistem laut mempunyai nilai spektral yang spesifik sesuai karakteristik
biogeofisiknya
(4) Proses geomorfologi mempengaruhi pengelompokan pulau kecil dan
ekosistemnya.

1.5 Kerangka Pemikiran


Indonesia memiliki wilayah lautan 75% dan terdapat puluhan ribu pulau kecil.
Pulau-pulau kecil ini memiliki bentuk beragam sebagai akibat adanya proses
endogen seperti pergeseran lempeng tektonik dan aktivitas magmatik. Keragaman
bentuk pulau-pulau kecil memiliki variasi sangat kompleks dan terkait dengan
terbentuknya ekosistem laut di perairan laut dangkal sekitarnya. Lokasi pulau-pulau
kecil sulit dijangkau dan distribusinya membentang di sekitar katulistiwa dari
Sabang sampai Merauke.

9
Kondisi kepulauan Indonesia tersebut menimbulkan permasalahan dalam hal
upaya menghimpun informasi karakteristik biogeofisik setiap pulau kecil.
Kepentingan yang lebih utama adalah dalam hal pengelolaan pulau-pulau kecil
karena jumlahnya banyak, sifatnya beragam, dan lokasinya berjauhan dan sulit
dijangkau. Informasi karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil bagi negara
kepulauan Indonesia adalah hal penting karena datanya menjadi dasar Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP- 3-K). Dalam Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 tersurat bahwa Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil (WP-3-K) perlu dijaga kelestariannya dan perlu dikelola secara berkelanjutan.
Dalam hal ini, upaya perolehan informasi karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil
dan ekosistemnya adalah bagian dari WP-3-K.
Kerangka pemikiran seperti diilustrasikan pada Gambar 3 menguraikan
secara khusus empat permasalahan pokok pulau-pulau kecil terkait dengan cara
perolehan informasi karakteristik biogeofisiknya menggunakan data penginderaan
jauh satelit. Spesifikasi dan cara pengolahan data penginderaan jauh untuk pulau
kecil dan ekosistemnya merupakan tahap awal kegiatan penelitian. Citra
penginderaan jauh untuk model pulau-pulau kecil yang telah diolah digunakan
sebagai salah satu data untuk mendapatkan informasi karakteristik biogeofisik
pulau kecil dan ekosistemnya. Data lain yaitu Peta Geologi, Peta Rupabumi
Indonesia, Peta Pelayaran, dan data survei lapangan juga digunakan untuk
mengumpulkan informasi geomorfologis pulau kecil dan ekosistemnya. Agar dapat
mewakili keragaman karakter pulau-pulau kecil di Indonesia, model pulau kecil
dipilih untuk mewakili tiga tipe pulau dan tiga ekosistem laut utama yaitu mangrove,
terumbu karang, dan lamun.
Penelitian ini ditujukan untuk membangun pengelompokan pulau kecil dan
ekosistemnya berbasis geomorfologi. Sebagai rangkaian penelitian, dibangun
Klasifikasi tipe pulau kecil berbasis geomorfologi dan identifikasi ekosistem laut
menurut tipe pulau. Rangkaian model ini dapat diaplikasikan secara langsung untuk
menentukan zonasi daerah perairan laut dengan batas tertentu untuk pengelolaan
perikanan.
Pembatasan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
(1) Permasalahan mengenai peningkatan penggunaan citra satelit untuk
pulau kecil dan ekosistemnya.
(2) Permasalahan mengenai perolehan informasi biogeofisik secara efisien
dan efektif

10
(3) Permasalahan mengenai pengelompokan pulau kecil berdasarkan
sarkan
karakteristik biogeofisik.

Permasalahan:
(1) Teknik pengolahan citra satelit untuk
pulau kecil dan ekosistemnya belum Jumlah pulau
terseleksi kecil mencapai
(2) Klasifikasi tipe pulau tidak mencerminkan puluhan ribu
karakternya
(3) Identifikasi pulau kecil dan ekosistemnya
Karakteristik
belum tepat
biogeofisik
(4) Belum ada pengelompokan pulau kecil
pulau kecil
dan ekosistemnya berbasis karakteristik
beragam
biogeofisik

Informasi (karakteristik Pengelolaan pulau kecil


biogeofisik) pulau kecil dan ekosistemnya
dan ekosistemnya sulit kurang sesuai
diperoleh

Diperlukan data dan cara


analisis pulau kecil dan
ekosistemnya

Analisis
(1) Pengumpulan data inderaja
(2) Teknik pengolahan data inderaja
(3) Geomorfologi pulau kecil
(4) Geomorfologi ekosistem laut

(1) Pengolahan data terseleksi


(2) Klasifikasi tipe pulau kecil
(3) Identifikasi ekosistem laut
(4) Pengelompokan pulau kecil
dan ekosistemnya

Gambar 3 Diagram alir kerangka pemikiran.

11
2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pulau Kecil


2.1.1 Definisi pulau kecil
Pulau kecil adalah pulau dengan luas 10.000 km2 atau kurang dan
mempunyai penduduk 500.000 orang atau kurang (Beller et al., 1990). Definisi
pulau secara umum menurut UNCLOS 1982 adalah: An island is a naturally
formed area of land surrounded by water, which is above water at high tide,
artinya pulau adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah,
dikelilingi air dan selalu ada di atas air pada saat air pasang. Para ahli yang
memiliki kepentingan hidrologi, sosial ekonomi, dan demografis mendefinisikan
pulau kecil adalah pulau dengan luas kurang dari 2000 km2 atau pulau dengan
lebar kurang dari 10 km (IHP UNESCO, 1993) dan jumlah penduduk <200.000
jiwa.
Pulau kecil merupakan habitat yang terisolasi dengan habitat lain,
keterisolasian suatu pulau akan menambah keanekaragaman organisme yang
hidup di suatu pulau. Keterisolasian juga akan membentuk kehidupan yang unik
di pulau tersebut. Selain itu, pulau kecil juga memiliki lingkungan yang khusus
dengan proporsi spesifik endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau
kontinen. Secara ekologis, insularitas juga mempunyai konsekuensi keharusan
untuk membuat evaluasi terhadap spesies endemik dan turunnya daya tahan
flora, fauna, dan manusia akibat pendatang dari luar. Di samping adanya
kerentanan ekologis, lingkungan pulau kecil juga banyak mengandung
keuntungan (Hein, 1990).
Pulau kecil yang bersifat insular mempunyai banyak kendala dalam
pengelolaan, khususnya dari aspek ekonomi. Kecilnya ukuran sebenarnya bukan
merupakan kelemahan jika produsen dan konsumen bersifat lokal (Brookfield,
1990). Namun, jarang terdapat kondisi yang demikian di era globalisasi ini
sehingga kecilnya ukuran pulau sering menjadi kendala pembangunan ekonomis
(Hess, 1990).
Pulau kecil biasanya harus menanggung beban kontribusi yang lebih besar
untuk membangun infrastruktur, pendidikan, penelitian, pemasaran, dan lain-lain
agar aktivitas perdagangan berjalan lancar. Jika hal ini tidak dapat dilakukan
maka pembangunan ekonomi di pulau kecil akan lambat. Hal ini juga berarti
bahwa pulau kecil sangat tergantung pada bantuan dari luar pulau. Walaupun
banyak kendala, terdapat beberapa pulau kecil yang berhasil membangun dan
menjadi suatu pulau yang maju (Vernicos, 1990; Webster, 1990; Bheenick, 1990;
Hamnett, 1990).
Ekosistem dan lingkungan suatu pulau kecil mempunyai karakteristik
antara lain sebagai berikut (DKP, 2001):
(1) Berukuran kecil
(2) Sumberdaya alam yang terbatas dan rentan, sehingga diperlukan
ketentuan yang ketat dalam pemanfaatan dan pengelolaannya.
(3) Rentan terhadap bencana alam seperti badai dan siklon.
(4) Bahan organik alami keanekaragaman hayati yang terbatas.
(5) Perubahan keanekaragaman hayati yang tinggi per km2 daratan.
(6) Tempat hidup spesies endemik karena letaknya terpisah dari daratan besar
dan kompetitornya terbatas.
(7) Keseimbangan ekologis akan terganggu jika sifat keterisolasiannya
dilanggar.
(8) Kondisi iklim tidak banyak berfluktuasi, tetapi perubahan iklim yang besar
memberikan dampak negatif yang kuat terhadap pulau kecil.
(9) Keanekaragaman hayati laut berlimpah.
(10) Perubahan di daratan berdampak hampir langsung terhadap lingkungan
pantai dan perairan lautnya.
Berdasarkan fakta di atas, maka dalam mendefinisikan pulau-pulau kecil
tidak hanya berdasarkan pada dua kriteria yang telah disebutkan di atas yaitu
jumlah penduduk dan luas daratan, akan tetapi secara ilmiah dapat membuat
suatu batasan yang dapat mengakomodir berbagai aspek yang dimiliki pulau
kecil, seperti aspek fisik, ekologis, dan sosial ekonomi, yang lebih jauh dapat
digunakan sebagai informasi dengan tujuan pengelolaan (DKP, 2001).
Definisi pulau kecil merupakan pengertian yang terintegrasi satu dengan
yang lain baik secara fisik, ekologis, dan sosial budaya ekonomi yang meliputi
(DKP, 2001 dan 2002) :
(1) Secara Fisik
1) Terpisah dari pulau besar
2) Dapat membentuk satu gugus pulau atau berdiri sendiri
3) Lebih banyak dipengaruhi oleh faktor hidro-klimat laut
4) Luas pulau kurang dari 10.000 km2, dan sangat rentan terhadap
perubahan alam atau manusia seperti: bencana angin badai, gelombang

13
tsunami, letusan gunung berapi, fenomena kenaikan permukaan air laut
(sea level rise) dan penambangan
5) Substrat yang ada di pesisir biasanya bergantung pada jenis biota yang
ada di sekitar pulau, dan biasanya didominasi oleh terumbu karang atau
jenis batuan yang ada di pulau-pulau tersebut
6) Kedalaman laut rata-rata antar pulau-pulau kecil sangat ditentukan oleh
kondisi geografis dan letak pulau-pulau kecil. Pada daerah paparan
benua, kedalaman rata-rata antar pulau adalah di atas atau kurang dari
100 m, contohnya pada Paparan Sunda di wilayah Indonesia bagian
Barat (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan) dan Paparan Arafura di bagian
Utara Australia/bagian Selatan Papua; sedangkan ke arah Timur
Indonesia, pulau-pulau kecil yang terletak di daerah laut terbuka
(Sulawesi, Maluku, dan Papua bagian Utara), memiliki kedalaman laut
yang sangat bervariasi.
(2) Secara Ekologis
1) Habitat/ekosistem pulau-pulau kecil cenderung memiliki spesies endemik
yang tinggi dibanding proporsi ukuran pulaunya.
2) Memiliki risiko perubahan lingkungan yang tinggi, misalnya akibat
pencemaran dan kerusakan akibat aktivitas transpotasi laut dan aktivitas
penangkapan ikan, akibat bencana alam seperti gempa, gelombang
tsunami, penambangan.
3) Memiliki keterbatasan daya dukung pulau (ketersediaan air tawar dan
tanaman pangan)
4) Melimpahnya biodiversitas laut.
(3) Secara Sosial, Budaya, Ekonomi
1) Ada pulau yang berpenghuni dan tidak,
2) Penduduk asli mempunyai budaya dan kondisi sosial ekonomi yang khas,
3) Kepadatan penduduk sangat terbatas/rendah (hal ini berdasarkan daya
dukung pulau dan air tanah),
4) Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau
induk atau kontinen,
5) Keterbatasan kualitas sumberdaya manusia,
6) Aksesibilitas (ketersediaan sarana prasarana) rendah dengan transpotasi
maksimal 1 kali sehari, di samping faktor jarak dan waktu yang terbatas.
Jika aksesibilitasnya tinggi maka keunikan pulau lebih mudah terganggu.

14
Dalam menentukan suatu pulau sebagai pulau kecil, penggunaan ketiga kriteria
di atas harus dipenuhi secara keseluruhan. Daratan yang pada saat pasang
tertinggi permukaannya ditutupi air, tidak termasuk kategori pulau kecil.
Definisi gugus pulau adalah sekumpulan pulau-pulau yang secara
geografis saling berdekatan, di mana ada keterkaitan erat dan memiliki
ketergantungan/interaksi antar ekosistem, kondisi ekonomi, sosial dan budaya
baik secara individual maupun secara kelompok. Batasan dan karakteristik ini
merupakan pengertian bahwa gugus pulau adalah sekumpulan pulau dengan
ciri-ciri fisik meliputi (DKP, 2002):
(1) Secara Fisik
1) Secara geografis merupakan sekumpulan pulau yang saling berdekatan
dengan batas fisik yang jelas antar pulau,
2) Dalam satu gugus pulau, pulau kecil dapat terpisah jauh sehingga bersifat
insular,
3) Lebih banyak dipengaruhi oleh faktor hidro-klimat laut,
4) Pengertian satu gugus pulau tidak terbatas pada luas pulau, jumlah
pulau, dan kepadatan penduduk,
5) Biasanya pada pulau kecil dalam gugus pulau terdapat sejumlah jenis
biota endemik dengan keanekaragaman biota yang tipikal dan bernilai
ekonomis tinggi,
6) Pada wilayah tertentu, gugus pulau dapat merupakan sekumpulan pulau
besar dan kecil atau sekumpulan pulau kecil dengan daratan terdekat
(propinsi/kabupaten/kecamatan) di mana terdapat saling ketergantungan
pada bidang ekonomi, sosial, dan budaya,
7) Gugus pulau dapat terdiri atas sekumpulan pulau, atol atau gosong
(gosong adalah dataran terumbu karang yang hanya muncul di
permukaan air pada saat air surut) dan daratan wilayah terdekat (dapat
terdiri atas propinsi/kabupaten/kecamatan),
8) Kondisi pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan yang bersifat
alamiah (bencana angin, badai, gelombang tsunami, letusan gunung
berapi) atau karena pengaruh manusia (fenomena kenaikan permukaan
air laut, pencemaran/polusi, sedimentasi, erosi dan penambangan).
(2) Secara Ekologis
1) Habitat/ekosistem gugus pulau cenderung memiliki spesies endemik,

15
2) Semakin besar jumlah pulau yang terdapat dalam satu gugus pulau maka
akan lebih besar kecenderungan jumlah biota endemik,
3) Memiliki jenis ekosistem yang sama pada setiap pulau,
4) Melimpahnya biodiversitas/keanekaragaman jenis biota laut.
(3) Secara Sosial, Budaya, Ekonomi
1) Penduduk asli mempunyai adat budaya dan kebiasaan yang hampir sama
dan kondisi sosial ekonomi yang khas,
2) Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau
besar/induk atau kontinen,
3) Aksesibilitas (ketersediaan sarana/prasarana) rendah dengan transpotasi
ke arah pulau induk maksimal 1 kali sehari, di samping faktor jarak dan
waktu yang terbatas.
Selain kriteria di atas, masih banyak kriteria yang dapat dipertimbangkan
dalam merumuskan batasan pulau kecil dan gugus pulau dimana dapat pula
mempertimbangkan ukuran minimal pulau, geologi pulau, kondisi penutupan
vegetasi, dan masih banyak lagi yang dapat dijadikan pertimbangan dalam
menentukan batasan ini.

2.1.2 Tipe pulau


Indonesia kaya akan pulau kecil dengan berbagai tipe, karena terletak
pada zona tektonik dan magmatik aktif. Secara sederhana Dahuri (1998)
membagi tipe pulau menjadi pulau oseanik (pulau vulkanik dan pulau koral) serta
pulau kontinen. Dalam Ensiklopedi Nasional 1990, tipe pulau dibagi menjadi
empat yaitu pulau kontinental, pulau vulkanik, pulau koral, dan pulau barier.
Beller et al., (1990), membagi tipe pulau menjadi dua yaitu pulau tinggi dengan
ketinggian lebih dari 15 kaki dan pulau rendah dengan ketinggian kurang dari 15
kaki. Pulau tinggi terbentuk dari proses gunungapi, agregasi batuan kontinental,
atau pengangkatan batuan terumbu, sedangkan pulau rendah terbentuk di
tengah samudra, di kepulauan, dan berdekatan dengan pulau utama. Namun
sebaliknya, Ongkosongo (1998) mencoba merinci tipe pulau ke dalam 24 dasar
klasifikasi. Dasar klasifikasinya adalah ukuran, elevasi, keterjalan, proses
pembentukan, genesis, perubahan muka laut, kestabilan elevasi, kondisi, litologi,
tutupan biota, pengaruh manusia, bentuk, geomorfologi, aksesibilitas,
keberadaan penduduk, kepadatan penduduk, keaslian, pemanfaatan, keadaan
politik, kesuburan, kepemilikan, kondisi khusus, dan lain-lain.

16
Bentuk lain klasifikasi pulau adalah berdasarkan kriteria fisik yang
mengelompokkan pulau menjadi pulau berbukit dan pulau datar
(Hehanusa,1998; Kantor Mentri Negara LH, 1996; dan Sugandhy, 1998).
Pembagian ini berdasarkan pada morfologi dengan pembagian selengkapnya
adalah:
(1) Pulau Berbukit:
1) Pulau Vulkanik. Pulau ini terbentuk oleh bahan piroklastik, lava maupun
ignimbrit hasil kegiatan gunungapi, misalnya Pulau-pulau Krakatau,
Banda, Gunungapi, dan Adonara.
2) Pulau Tektonik. Pulau yang pembentukannya berkaitan dengan proses
tektonik, terutama pada zona tumbukan antar lempeng, misalnya Pulau-
pulau Nias, Siberut, dan Enggano.
3) Pulau Teras Terangkat. Pulau yang pembentukannya sama dengan pulau
tektonik, namun pada saat pengangkatan disertai dengan pembentukan
teras (koral), maka dihasilkan pulau yang terdiri atas undakan atau teras.
Pulau ini banyak terdapat di Indonesia bagian Timur, misalnya Pulau
Ambon dan Pulau Biak
4) Pulau Petabah (monadnock). Pulau ini terbentuk di daerah yang stabil
secara tektonik, antara lain dijumpai di Paparan Sunda. Litologi
pembentukan pulau ini sering terdiri atas batuan-batuan ubahan
(metamorf), terobosan/intrusi, dan sedimen yang terlipat dan berumur tua,
misalnya Pulau-pulau Batam, Bintan, dan Belitung.
5) Pulau Gabungan. Pulau yang terbentuk dari gabungan dua atau lebih tipe
pulau di atas misalnya Pulau-pulau Haruku, Nusa Laut, Kisar, dan Rote.
(2) Pulau Datar:
Pulau datar adalah pulau yang secara topografi tidak memperlihatkan
tonjolan morfologi yang berarti. Pulau jenis ini pada umumnya memiliki batuan
yang secara geologis berumur muda, yang terdiri atas endapan klastik jenis
fluviatil dengan dasar yang terdiri atas pelapisan endapan masif dangkal atau
pecahan koral.
1) Pulau Aluvial. Pulau ini biasanya terbentuk di depan muara-muara sungai
besar, dimana laju pengendapan lebih tinggi dibandingkan intensitas erosi
oleh arus dan gelombang laut, misalnya pulau-pulau di pantai Timur
Sumatra dan Delta Mahakam di Kalimantan.

17
2) Pulau Koral. Pulau yang terbentuk oleh sedimen klastik berumur kuarter.
Di Indonesia banyak pulau yang memiliki ekosistem terumbu karang,
misalnya pulau-pulau di Kepulauan Seribu, Jakarta.
3) Pulau Atol. Pulau ini memiliki luas daratan lebih kecil daripada 50 km2,
misalnya pulau-pulau di Kepulauan Takabonerate. Banyak yang lebarnya
kurang dari 150 m dengan panjang antara 1.000 m hingga 2.000 m.
Sementara itu DKP (2004) membagi tipe pulau menjadi lima yaitu pulau
benua/kontinen, pulau vulkanik, pulau koral timbul, pulau daratan rendah, dan
pulau atol.
Pulau Benua (Continental Islands), Pulau ini terbentuk sebagai bagian dari
benua dan setelah itu terpisah dari daratan utama. Jenis batuan dari pulau benua
adalah batuan yang kaya dengan silika. Biota yang terdapat di pulau-pulau tipe ini
sama dengan yang terdapat di daratan utama. Contoh dari pulau tipe ini adalah
Madagaskar (dari Afrika), Caledonia Baru (dari Australia), Selandia Baru (dari
Antartika), Seychelles (dari Afrika). Ada pula pulau benua bersatu dengan benua
pada zaman Plistosen, kemudian berpisah pada zaman Holosen ketika muka laut
meninggi. Contoh dari pulau tipe ini adalah Kepulauan Inggris, Srilangka,
Fauklands, Jepang, Tanah Hijau, Filipina, Taiwan, dan Tasmania. Di Indonesia,
pulau tipe ini adalah Kepulauan Sunda Besar (Sumatra, Jawa, dan Kalimantan) dan
Pulau Papua.
Pulau Vulkanik (Volcanic Islands), Pulau ini sepenuhnya terbentuk dari
kegiatan gunungapi yang timbul secara perlahan-lahan dari dasar laut ke
permukaan. Pulau tipe ini tidak pernah merupakan bagian dari daratan benua, dan
terbentuk di sepanjang pertemuan lempeng-lempeng tektonik, dimana lempeng-
lempeng tersebut saling menjauh atau bertumburan. Jenis batuan dari pulau tipe ini
adalah basalt dan silika (kadar rendah). Contoh pulau vulkanik yang terdapat di
daerah pertemuan lempeng benua adalah Kepulauan Sunda Kecil (Bali, Lombok,
Sumba, Sumbawa, Flores, Wetar, dan Timor). Ada pula pulau vulkanik yang
membentuk untaian pulau-pulau dan titik gunungapi (hot spots) yang terdapat di
bagian tengah lempeng benua (continental plate). Contoh dari pulau tipe ini adalah
Kepulauan Austral-Cook, Galapagos, Hawai, Marquesas, Aleutian, Antiles Kecil,
Solomon, dan Tonga.
Pulau Koral Timbul (Raised Coral Islands), Pulau ini terbentuk oleh terumbu
karang yang terangkat ke atas permukaan laut karena adanya gerakan ke atas
(uplift) dan gerakan ke bawah (subsidence) dari dasar laut karena proses geologi.

18
Pada saat dasar laut berada di dekat permukaan laut (kurang dari 40 m), terumbu
karang mempunyai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang di dasar laut yang
naik tersebut. Setelah berada di atas permukaan laut, terumbu karang akan mati
dan menyisakan rumahnya dan membentuk pulau koral. Jika proses ini
berlangsung terus, maka akan terbentuk pulau koral timbul. Pada umumnya, koral
yang timbul ke permukaan laut berbentuk teras-teras seperti sawah di pegunungan.
Proses ini dapat terjadi pada pulau-pulau vulkanik maupun non-vulkanik. Pulau
koral timbul ini banyak ditemui di perairan timur Indonesia, seperti di Laut Seram,
Sulu, Banda, Kepulauan Sangihe, Solor, Alor, Lembata, atau Adonara.
Pulau Daratan Rendah (Low Islands), Pulau dimana ketinggian daratannya
dari muka laut tidak besar. Pulau tipe ini dapat berasal dari pulau-pulau vulkanik
maupun non-vulkanik. Pulau-pulau dari tipe ini paling rawan terhadap bencana
alam, seperti topan atau tsunami. Oleh karena pulau tipe ini relatif datar dan
rendah, maka massa air dari bencana alam yang datang ke pulau akan masuk jauh
ke tengah pulau. Contoh pulau daratan rendah adalah Kepulauan Seribu di utara
Teluk Jakarta.
Pulau Atol (Atolls), Pulau Atol adalah pulau (pulau koral) yang berbentuk
cincin. Pada umumnya pulau atol ini adalah pulau vulkanik yang ditumbuhi oleh
terumbu karang membentuk terumbu tepi (fringing reef) kemudian berubah menjadi
terumbu penghalang (barrier reef) dan akhirnya berubah menjadi pulau atol. Proses
pembentukannya disebabkan oleh adanya gerakan ke bawah (subsidence) dari
pulau vulkanik semula dan oleh pertumbuhan vertikal dari terumbu karang. Contoh
pulau atol di Indonesia adalah Pulau-pulau Tukang Besi.

2.2 Ekosistem Laut


Ekosistem adalah suatu komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, dan
organisme lainnya serta proses yang menghubungkan mereka, membentuk
suatu sistem fungsi dan interaksi yang terdiri atas organisme hidup dan
lingkungannya, seperti ekosistem mangrove, ekosistem estuari, ekosistem
terumbu karang, dan ekosistem padang lamun. Ekosistem laut adalah ekosistem
yang terbentuk dari proses marin atau proses lain, tetapi masih mendapat
pengaruh proses marin. Pada klasifikasi bentuklahan, ekosistem ini mencakup
bentuklahan asal marin dan organik (Lampiran 1). Pakar pesisir membagi
ekosistem ini berdasar sifat alamiah ataupun buatan. Ekosistem alami yang biasa
dijumpai antara lain adalah terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun,

19
pantai berbatu, pantai berpasir, pantai berlumpur, formasi pes-caprea, formasi
baringtonia, estuari, lagun, dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain
berupa kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture), dan kawasan
permukiman. Ekosistem utama adalah terumbu karang, mangrove, dan padang
lamun (Dahuri, 1998).
Keterkaitan antara ketiga ekosistem utama adalah bahwa ekosistem
mangrove merupakan penghasil detritus, sumber nutrien, dan bahan organik
yang akan dibawa ke ekosistem padang lamun oleh arus laut, sedangkan
ekosistem lamun berfungsi sebagai penghasil bahan organik dan nutrien yang
akan dibawa ke ekosistem terumbu karang. Selain itu, ekosistem lamun juga
berfungsi sebagai penjebak sedimen (sedimen trap) sehingga sedimen tersebut
tidak mengganggu kehidupan terumbu karang. Ekosistem terumbu karang dapat
berfungsi sebagai pelindung pantai dari hempasan ombak (gelombang) dan arus
laut. Selain itu ekosistem terumbu karang juga berperan sebagai tempat tinggal
(habitat), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan
pembesaran (nursery ground), dan tempat pemijahan (spawning ground) bagi
organisme yang hidup di padang lamun ataupun hutan mangrove (Kaswadji,
2001). Struktur komunitas dan sifat fisik ketiga ekosistem ini saling mendukung
dan interaksinya sangat erat, sehingga bila salah satu ekosistem terganggu
maka ekosistem yang lain akan terpengaruh. Selain itu, Dahuri (2000)
mengatakan bahwa keterkaitan antar ekosistem utama ini berupa dampak
manusia, migrasi biota, bahan organik partikular, nutrien bahan organik terlarut,
dan fisik.
Keterkaitan antara tiga ekosistem utama dengan ekosistem laut lain adalah
pada syarat tumbuhnya. Terumbu karang menghendaki laut cerah dan
gelombang besar, sehingga pantai berlumpur tidak sesuai. Namun sebaliknya,
pantai berlumpur sesuai untuk ekosistem mangrove, sedangkan ekosistem
lamun sesuai pada ketiga ekosistem pantai meskipun bagus pada pantai lumpur
berpasir (Bengen, 2000).

2.2.1 Mangrove
Mangrove dapat hidup pada jenis pantai berlumpur dan pantai berpasir
dengan berbagai substrat di antaranya adalah pasir, lava gunungapi, atau
sedimen yang bersifat karbonat. Hutan mangrove sanggup beradaptasi terhadap
kadar oksigen yang rendah, terhadap kadar garam yang tinggi, serta terhadap

20
tanah yang kurang stabil dan pengaruh pasang surut. Mangrove merupakan
suatu ekosistem peralihan antara darat dan laut, yang mempunyai gradien sifat
lingkungan yang berat. Susunan spasial formasi penggunaan lahan daerah
kepesisiran di Jawa, dari laut ke arah darat adalah perikanan, mangrove, tambak,
permukiman di pematang gisik, dan sawah, sedangkan untuk daerah kepesisiran
di Sumatra adalah mangrove/nipah, hutan pantai, hutan pasang surut, dan
ladang (Malingreau dan Christiani, 1981).
Penyebaran hutan mangrove dibatasi oleh letak lintang karena mangrove
sangat sensitif terhadap suhu dingin yang dikenal sebagai komunitas vegetasi
pantai tropis dan subtropis. Tanah tempat tumbuhnya berlumpur, berlempung,
dan atau berpasir. Penyebarannya juga terbatas akibat ketergantungannya
terhadap aliran air tawar. Oleh karena itu, mangrove tumbuh pada daerah
intertidal dan supratidal. Hutan mangrove tumbuh di sepanjang pantai-pantai
yang terlindung dari aktivitas gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat,
seperti muara sungai, delta, pantai yang terlindung, dan teluk yang dangkal.
Gelombang yang besar dan arus pasang surut yang kuat tidak memungkinkan
terjadinya pengendapan sedimen yang diperlukan sebagai substrat bagi
tumbuhnya mangrove ini. Ekosistem mangrove di Indonesia mempunyai
keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (Nontji, 1987).
Hutan mangrove merupakan komunitas tumbuhan yang mampu tumbuh
dan berkembang pada daerah pasang surut sesuai dengan toleransinya
terhadap salinitas, lama penggenangan, substrat, dan morfologi pantai. Suksesi
dan kematian mangrove dipengaruhi oleh terganggunya keseimbangan berupa
kondisi, kecepatan pengendapan yang tetap, gerakan air yang minimal, keadaan
pasang surut, dan salinitas air dan tanah tertentu. Sementara itu, ada tiga
parameter lingkungan utama yang menentukan kelangsungan hidup dan
pertumbuhan mangrove yaitu (Nybakken, 1982):
(1) Suplai air tawar dan salinitas
Ketersediaan air tawar dan konsentrasi kadar garam (salinitas)
mengendalikan efisiensi metabolik (metabolic efficiency) dari ekosistem
mangrove. Ketersediaan air tawar tergantung pada: 1) Frekuensi dan
volume air dari sistem sungai dan irigasi dari darat, 2) Frekuensi dan
volume air pertukaran pasang surut, dan 3) Tingkat evaporasi ke atmosfer.
Walaupun spesies hutan mangrove memiliki mekanisme adaptasi terhadap
salinitas yang tinggi (ekstrem), namun tidak adanya suplai air tawar yang

21
mengatur kadar garam tanah dan isi air bergantung pada tipe tanah dan
sistem pembuatan irigasi. Perubahan penggunaan lahan darat
mengakibatkan terjadi modifikasi masukan air tawar yang dapat mengubah
kadar garam serta aliran nutrien dan sedimen.
(2) Pasokan nutrien
Pasokan nutrien bagi ekosistem mangrove ditentukan oleh berbagai proses
yang saling terkait, meliputi input dari ion-ion mineral anorganik dan bahan
organik serta pendaurulangan nutrien secara internal melalui jaring-jaring
makanan berbasis detritus (detrital food web). Konsentrasi relatif dan
nisbah (rasio) optimal dari nutrien yang diperlukan untuk pemeliharaan
produktivitas ekosistem mangrove ditentukan oleh: 1) frekuensi, jumlah,
dan lama penggenangan oleh air asin dan air tawar dan 2) dinamika
sirkulasi internal dari kompleks detritus (Odum, 1992).
(3) Stabilitas substrat
Kestabilan substrat, rasio antara erosi dan perubahan letak sedimen diatur
oleh velositas air tawar, muatan sedimen, semburan air pasang surut dan
gerak angin. Arti penting dari perubahan sedimentasi terhadap spesies
hutan mangrove tergambar dari kemampuan hutan mangrove untuk
menahan akibat yang menimpa ekosistemnya. Pokok-pokok perubahan
sedimentasi dalam ambang batas kritik meliputi: (a) penggumpalan
sedimen yang diikuti dengan kolonisasi oleh hutan mangrove, (b) nutrien,
bahan pencemar dan endapan lumpur yang dapat menyimpan nutrien dan
menyaring bahan beracun (waste toxic).
Hutan mangrove sering disebut sebagai hutan bakau, hutan payau atau
hutan pasang surut. Vegetasi hutan mangrove umumnya terdiri atas jenis-jenis
yang selalu hijau (evergreen plant) dari beberapa famili. Hutan mangrove dapat
meliputi beberapa jenis tanaman yaitu Avicennia, Rhizophora, Ceriops,
Bruguiera, Xylocarpus, Sonneratia, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras,
Aegitalis, Snaeda, Conocarpus (Bengen, 1999). Perakaran mangrove yang
kokoh memiliki kemampuan untuk meredam pengaruh gelombang, menahan
lumpur, dan melindungi pantai dari erosi, gelombang pasang, dan angin topan.
Ekosistem mangrove memiliki fungsi ekologis sebagai tempat pemijahan,
pengasuhan, dan pencari makan bagi berbagai macam hewan perairan seperti
udang, ikan, dan kerang-kerangan, penahan abrasi, amukan bagi topan, dan
tsunami, penyerap limbah, dan pencegah intrusi air laut. Sebagai fungsi

22
ekonomis seperti penyedia kayu, daun-daunan sebagai obat-obatan. Selain juga
sebagai pemasok larva ikan dan udang. Fungsi ekonomis ekosistem mangrove
yang dikembangkan di Indonesia adalah sebagai kawasan wisata alam.
Hutan mangrove merupakan ekosistem pesisir yang mempunyai
produktivitas tinggi. Menurut Lugo dan Snedaker (1974, yang diacu dalam
Supriharyono, 2000), produktivitas primer hutan mangrove cukup tinggi dan
dapat mencapai 5.000 gC/m2/tahun.
Ekosistem hutan mangrove di Indonesia mempunyai keanekaragaman
hayati tertinggi di dunia dengan jumlah total spesies sebanyak 89, terdiri atas 35
spesies tanaman, 9 spesies perdu, 9 spesies liana, 29 spesies epifit, dan 2
spesies parasitik (Nontji, 1987). Di Pasifik, Avicenia tumbuh pada keadaan yang
teduh dan berlumpur tebal yang biasanya terdapat di dalam hutan dan di
belakangnya tumbuh Rhizophora. Zona Ceriops dapat tumbuh bergabung
dengan zona Bruguiera, sedangkan Sonneratia tumbuh menghadap ke arah laut
pada daerah yang senantiasa basah. Kelompok hewan lautan yang dominan
dalam hutan mangrove adalah moluska, udang-udang tertentu, dan beberapa
ikan yang khas.

2.2.2 Terumbu karang


Terumbu karang merupakan masyarakat organisme yang hidup di dasar
laut daerah tropis dan dibangun oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-
jenis karang batu dan alga penghasil kapur (CaCO3) dan merupakan ekosistem
yang cukup kuat menahan gaya gelombang laut. Karang di dunia dibagi dalam
dua kelompok yaitu karang hermatipik dan karang ahermatipik. Perbedaannya
terletak pada kemampuan karang hermatipik dalam menghasilkan terumbu.
Kemampuan ini disebabkan adanya sel-sel tumbuhan yang bersimbiosis dalam
jaringan karang hermatipik. Sel tumbuhan ini dinamakan zooxanthellae. Karang
hermatipik hanya ditemukan di daerah tropis, sedangkan karang ahermatipik
tersebar di seluruh dunia (Nybakken, 1982). Terumbu karang memiliki kadar
CaCO3 (Kalsium Karbonat) tinggi dan komunitasnya didominasi berbagai jenis
hewan karang keras. Kalsium Karbonat ini berupa endapan masif yang
dihasilkan oleh organisme karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo
Madreporaria=Scleractinia), alga berkapur, dan organisme lain yang
mengeluarkan CaCO3 (Guilcher, 1988).

23
Karang dapat hidup berkoloni atau sendiri, tetapi hampir semua karang
hermatipik merupakan koloni. Individu karang disebut polip, terdiri atas bagian
lunak dan bagian keras yang berbentuk kerangka kapur. Jaringan tubuh karang
terdiri atas ektoderm, mesoglea, dan endoderm. Ektoderm merupakan jaringan
terluar yang mempunyai cilia, kantung lendir (mucus), dan sejumlah nematokis.
Mesoglea adalah jaringan yang terletak antara ektoderm dan endoderm dan
berbentuk seperti agar-agar. Endoderm merupakan jaringan yang paling dalam
dan sebagian besar berisi zooxanthellae. Karang hidup menempel pada substrat
seperti batu atau dasar yang keras dan berkelompok membentuk koloni yang
terakumulasi menjadi terumbu (Nybakken, 1982).
Fungsi ekologis terumbu karang adalah sebagai penyedia nutrien bagi
biota perairan, tempat asuhan, tempat pencari makan, tempat pemeliharaan,
tempat pemijahan, dan tempat pelindung fisik bagi berbagai biota (Nybakken,
1982). Terumbu karang selalu hidup bersama-sama dengan hewan lain dan
rangkanya menjadi tempat berlindung berbagai spesies hewan seperti golongan
moluska, crustasea, cacing polichaeta, tiram raksasa (kimah), gastropoda,
echinodermata (terutama bulu babi, teripang, bintang laut, dan lili laut), bakteri,
dan kepiting. Hewan dalam kelompok besar dan ikut dalam membentuk sistem
terumbu adalah ikan baik ikan konsumsi maupun ikan hias yang mempunyai arti
ekonomi penting (Hutabarat dan Evans, 1985; Nybakken, 1982).
Dari sisi sosial ekonomi, terumbu karang adalah sumber devisa negara
yang berasal dari perikanan dan pariwisata. Perikanan yang produktif dapat
meningkatkan pendapatan nelayan dan penduduk pesisir. Terumbu karang
menghasilkan berbagai produk seperti berbagai jenis ikan karang, udang karang,
alga, teripang, dan kerang mutiara. Keindahan yang dimiliki oleh terumbu karang
merupakan salah satu potensi wisata bahari yang belum dimanfaatkan secara
optimal.
Terumbu karang sangat bermanfaat bagi manusia dan sedikitnya ada
empat fungsi yaitu fungsi pariwisata, perikanan, pelindung pantai, dan
keanekaragaman hayati. Fungsi pariwisata adalah keindahan karang, kekayaan
biologi, dan kejernihan air yang membuat kawasan terumbu karang terkenal
sebagai tempat rekreasi, skin diving atau snorkeling, SCUBA dan fotografi.
Fungsi perikanan; sebagai tempat ikan-ikan karang yang harganya mahal
sehingga nelayan menangkap ikan di kawasan ini. Jumlah panenan ikan, kerang,
dan kepiting dari ekosistem terumbu karang secara lestari di seluruh dunia dapat

24
mencapai 9 juta ton atau sedikitnya 12 % dari jumlah tangkapan perikanan dunia
(White dan Cruz-Trinidad, 1998). Perkiraan produksi perikanan tergantung pada
kondisi terumbu karang. Terumbu karang dalam kondisi yang sangat baik
mampu menghasilkan sekitar 18 ton/km2/tahun, terumbu karang dalam kondisi
baik mampu menghasilkan 13 ton/km2/tahun, dan terumbu karang dalam kondisi
yang cukup baik mampu menghasilkan 8 ton/km2/tahun (McAllister, 1998).
Fungsi pelindung pantai; terumbu pinggiran dan terumbu penghalang adalah
pemecah gelombang alami yang melindungi pantai dari erosi, banjir pantai, dan
peristiwa perusakan lain yang diakibatkan oleh fenomena air laut. Terumbu
karang juga memberikan kontribusi untuk akresi (penumpukan) pantai dengan
memberikan pasir untuk pantai dan memberikan perlindungan terhadap desa-
desa dan infrastruktur seperti jalan dan bangunan-bangunan lain yang berada di
sepanjang pantai. Apabila dirusak, maka diperlukan milyaran rupiah untuk
membuat penghalang buatan yang setara dengan bentuklahan terumbu ini.
Fungsi keanekaragaman hayati (biodiversity); ekosistem ini mempunyai
produktivitas dan keanekaragaman jenis biota yang tinggi. Keanekaragaman
hidup di ekosistem terumbu karang per unit area sebanding atau lebih besar
dibandingkan dengan hal yang sama di hutan tropis. Terumbu karang ini dikenal
sebagai laboratorium untuk ilmu ekologi. Potensinya untuk bahan obat-obatan,
anti virus, anti kanker, dan penggunaan lain sangat tinggi.
Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang paling produktif dan
paling tinggi keanekaragaman hayatinya. Produksi primer kotor di daerah
terumbu karang rata-rata bervariasi dari 300-5.000 gram karbon per meter bujur
sangkar per tahun (gC/m2/tahun), sebagai pembanding, produktivitas laut lepas
hanya berkisar 50-100 gC/m2/tahun. Potensi lestari sumberdaya perikanan
karang di perairan Indonesia sebesar 75.875 ton/tahun (Djamali dan Mubarak,
1998), sedangkan potensi perikanan laut (tuna/cakalang, udang, demersal,
pelagis kecil dan lainnya) sekitar 4,948,824 ton/tahun (Dahuri, 2001).
Berdasarkan data yang dikumpulkan selama Ekspedisi Snelius II (1984), di
perairan Indonesia terdapat sekitar 350 spesies karang keras yang termasuk ke
dalam 75 genera (Supriharyono, 2000).
Organisme yang dapat kita temukan di terumbu karang antara lain; Pisces
(berbagai jenis ikan), Crustacea (udang, kepiting), Moluska (kerang, keong, cumi-
cumi, gurita), Echinodermata (bulu babi, bintang laut, timun laut, lili laut, bintang
ular), Polychaeta (cacing laut), Sponge, Makroalga (Sargasum, Padina,

25
Halimeda), dan terutama hewan karang (Anthozoa). Begitu banyak jenis
organisme yang hidup di sana sehingga terumbu karang adalah salah satu
ekosistem di permukaan bumi ini yang memiliki keanekaragaman jenis yang
tinggi.
Kunzmann (2001) menyebutkan bahwa Asia Tenggara merupakan pusat
keanekaragaman hayati dunia karena banyaknya spesies per satuan luas.
Disebutkan bahwa di dunia ini terdapat sekitar 800 jenis karang dan sekitar 4.000
jenis ikan. Total spesies yang ada di terumbu karang adalah sekitar 9 juta
spesies, tidak termasuk mikroba. Dari jumlah ini, 400 jenis karang, 3.000 jenis
ikan karang, dan sekitar 1.700 jenis moluska berada di Asia Tenggara. Dari
genus Acropora saja, Wallace et. al., (2001) mengidentifikasi dan membuat
daftar 91 jenis (spesies) terdapat di Indonesia. Maliskusworo (1991)
menyebutkan bahwa perairan karang di Indonesia adalah terluas di Asia
Tenggara.
Hasil inventarisasi COREMAP-LIPI Tahun 2000, ekosistem terumbu karang
di Indonesia tercatat seluas 20.731 km2. Data luas ini kemungkinan lebih kecil
dari luas terumbu karang yang sebenarnya karena data ini diperoleh dari citra
Landsat sehingga dimungkinkan masih terdapat kawasan terumbu karang pada
kedalaman di luar jangkauan sensor satelit yang tidak tampak seperti yang
terdapat pada tebing sangat curam.
Salah satu parameter kualitas ekosistem terumbu karang adalah tingkat
(persen) penutupan karang batu hidup di daerah terumbu karang. Jika
persentase penutupan karang batu hidup 0 – 24,9% maka termasuk kategori
rusak atau buruk, 25 – 49,9% kategori sedang, 50 – 74,9% termasuk baik, dan
75 – 100% termasuk kategori sangat baik (Gomez dan Yap, 1978). Di Indonesia
pada tahun 1996 kondisi terumbu karang adalah 41,78% rusak, 28,30% sedang,
23,72% baik, dan 6,20% sangat baik (Dahuri, 2000). Hasil penelitian dan
pengamatan COREMAP-LIPI tahun 2000 kondisinya adalah 70% rusak, 24%
baik, dan 6% sangat baik. Data tersebut memperlihatkan bahwa secara umum
kondisinya makin menurun dari tahun ke tahun.
Kehidupan karang dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat dibedakan
menjadi tiga meliputi endogenik, eksogenik, dan antropogenik. Faktor endogenik
berupa gempa bumi, letusan gunungapi, dan aktivitas tektonik. Faktor eksogenik
meliputi kejernihan air, suhu, salinitas, cahaya matahari, arus dan gelombang,
sedimentasi, dan erosi. Faktor antropogenik antara lain meliputi pengerukan

26
pasir di pelabuhan, penggundulan hutan, reklamasi pantai, pengambilan batu
koral, penangkapan ikan dengan menggunakan sianida dan bahan peledak,
aktivitas pelayaran, wisata bahari, pencemaran, dan polusi.

2.2.3 Lamun
Lamun hidup di daerah pesisir atau perairan laut dangkal (2 – 12m) dan
membentuk padang yang luas dan lebat di dasar laut. Lamun tumbuh di dasar
laut berpasir dan jernih di mana sinar matahari masih dapat menembus untuk
memungkinkan ilalang ini berfotosintesis. Umumnya semua tipe dasar laut dapat
ditumbuhi lamun, namun padang lamun yang luas hanya dijumpai pada dasar
laut lumpur berpasir lunak dan tebal. Wilayah ini terdapat antara batas terendah
daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu di mana matahari masih dapat
mencapai dasar laut. Lamun adalah sejenis ilalang laut yang tumbuh tegak,
berdaun tipis yang bentuknya mirip pita dan berakar jalar. Tunas-tunas tumbuh
dari rhizoma, yaitu bagian rumput yang tumbuh menjalar di bawah permukaan
dasar laut. Berlawanan dengan tumbuhan lain yang hidup terendam di dalam laut
seperti ganggang/alga laut, lamun berbuah dan menghasilkan biji. Habitat lamun
merupakan kelompok tumbuhan berbiji tunggal (monokotil) dari kelas
angiospermae (Supriharyono, 2000). Pertumbuhan lamun memerlukan sirkulasi
air yang baik yang menghantarkan zat-zat nutrien dan oksigen serta mengangkut
hasil metabolisme lamun, seperti karbon dioksida (CO2) ke luar daerah padang
lamun (Dahuri, 2004).
Di wilayah perairan Indonesia paling sedikit terdapat 7 marga dan 13
spesies lamun. Penyebarannya meliputi perairan Jawa, Sumatra, Bali,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Irian Jaya. Di Indonesia,
padang lamun sering dijumpai berdekatan dengan ekosistem mangrove dan
terumbu karang (Tomascik et al., 1997, Wibowo et al., 1996 yang diacu dalam
Supriharyono, 2000)
Faktor penting pada distribusi dan stabilitas ekosistem padang lamun:
(1) Kecerahan. Kebutuhan padang lamun akan intensitas cahaya yang tinggi
untuk membantu proses fotosintesis diperlihatkan dengan observasi di
mana distribusinya terbatas pada perairan dengan kedalaman tidak lebih
dari 10 meter. Beberapa aktivitas yang meningkatkan muatan sedimentasi
pada badan air akan berakibat pada tingginya turbiditas residu sehingga

27
berpotensi untuk mengurangi penetrasi cahaya. Hal ini dapat mengganggu
produktivitas primer dari ekositem padang lamun.
(2) Temperatur. Walaupun spesies padang lamun menyebar luas secara
geografis, hal ini mengindikasikan adanya kisaran yang luas terhadap
toleransi temperatur, tetapi spesies lamun daerah tropik mempunyai
toleransi yang rendah terhadap perubahan temperatur. Kisaran temperatur
optimal bagi spesies padang lamun adalah 28ºC - 30ºC dan kemampuan
proses fotosintesis akan menurun dengan tajam apabila temperatur
perairan berada di luar kisaran optimal tersebut.
(3) Salinitas. Walaupun spesies padang lamun memiliki toleransi terhadap
salinitas yang berbeda-beda, tetapi sebagian besar memiliki kisaran yang
lebar terhadap salinitas yaitu antara 10‰ - 40‰. Nilai optimum toleransi
terhadap salinitas di air laut adalah 35‰. Penurunan salinitas akan
menurunkan kemampuan fotosintesis spesies ekosistem padang lamun.
Kerusakan padang lamun disebabkan oleh berkurangnya air tawar dekat
garis pantai yang hilang. Interaksi antara salinitas dan temperatur padang
lamun tropik dimana spesies yang mempunyai toleransi lebih rendah dari
salinitas normal dan pada temperatur yang rendah, tidak mampu
mempertahankan hidupnya pada salinitas yang sama dan dalam kondisi
temperatur yang lebih tinggi.
(4) Substrat. Padang lamun hidup pada berbagai macam tipe sedimen, mulai
dari lumpur sampai sedimen dasar yang terdiri atas 40% endapan lumpur
dan finemud. Kebutuhan substrat yang paling utama bagi pengembangan
padang lamun adalah kedalaman sedimen yang cukup. Peranan
kedalaman substrat dalam stabilitas sedimen adalah sebagai pelindung
tanaman dari arus air laut serta sebagai tempat pengolahan dan pemasok
nutrien.
(5) Kecepatan arus perairan. Produktivitas padang lamun tampak dari
pengaruh keadaan kecepatan arus perairan. Turtle grass mempunyai
kemampuan maksimal menghasilkan standing crop pada saat kecepatan
arus sekitar 0,5m/detik. Dari beberapa contoh padang lamun menunjukkan
produksi standing crop 262 gram berat kering/m2 dimana produksi totalnya
adalah 4.570 gram berat kering/m2.
Padang lamun (seagrass beds) merupakan ekosistem yang memiliki arti
penting secara ekologis dan ekonomis yang pengelolaannya dipengaruhi oleh

28
gangguan yang bersifat antropogenik. Fungsi padang lamun antara lain
(Koesoebiono, 1995; Supriharyono, 2000):
(1) Sebagai perangkap sedimen yang kemudian diendapkan dan distabilkan
serta menjernihkan air,
(2) Lamun segar merupakan makanan bagi ikan duyung (hewan menyusui),
penyu laut, bulu babi, dan beberapa jenis ikan. Padang lamun merupakan
daerah pengembalaan (grazing ground) yang penting artinya bagi hewan-
hewan laut tersebut. Ikan laut lain dan udang tidak makan daun segar tapi
serasah (detritus) dari lamun. Detritus ini dapat tersebar luas oleh arus ke
perairan di sekitar padang lamun,
(3) Merupakan habitat bagi bermacam-macam ikan (umumnya ikan berukuran
kecil) dan udang,
(4) Pada permukaan daun lamun hidup melimpah ganggang-ganggang renik
(biasanya ganggang bersel tunggal), hewan-hewan renik, dan mikroba
yang merupakan makanan bagi bermacam jenis ikan yang hidup di padang
lamun,
(5) Banyak jenis ikan dan udang yang hidup di perairan sekitar padang lamun
menghasilkan larva yang bermigrasi ke padang lamun untuk tumbuh besar.
Bagi larva-larva ini padang lamun memang menjanjikan kondisi lingkungan
yang optimal bagi pertumbuhannya. Dengan demikian perusakan padang
lamun berarti merusak daerah asuhan (nursery ground) larva-larva
tersebut,
(6) Daun lamun berperan sebagai tudung pelindung yang menutupi penghuni
padang lamun dari sengatan sinar matahari, dan
(7) Tumbuhan lamun dapat digunakan sebagai bahan makanan dan pupuk
misal: samo-samo (enhalus acoroides) oleh penduduk Kepulauan Seribu
telah dimanfaatkan bijinya sebagai bahan makanan.
Produktivitas primer komunitas lamun mencapai 1 kgC/m2/th. Namun,
menurut Kirman dan Reid (1979, yang diacu dalam Supriharyono, 2000) dari
jumlah tersebut hanya 3% yang dimanfaatkan oleh herbivora, 37% tenggelam ke
perairan dan dimanfaatkan oleh benthos, dan 12% mengapung di permukaan
dan hilang dari ekosistem. Padang lamun mendukung kehidupan biota yang
cukup beragam dan berhubungan satu sama lain. Jaringan makanan yang
terbentuk antara padang lamun dan biota lain sangat kompleks. Sejumlah
organisme yang dijumpai hidup di sini antara lain adalah invertebrata: moluska

29
(Pinna, Lambis, dan Strombus); Echinodermata (teripang - Holoturia, bulu babi –
Diadema sp.), dan bintang laut (Archaster, Linckia); serta Crustasea (udang dan
kepiting).

2.3 Geomorfologi
Geomorfologi adalah studi yang mendeskripsi bentuklahan dan proses-
proses yang menghasilkan bentuklahan serta menyelidiki hubungan timbal-balik
antara bentuklahan dan proses-proses tersebut dalam susunan keruangan
(Zuidam, 1985). Bentuklahan (landform) adalah suatu bagian dari bentuk
permukaan bumi yang mempunyai karakteristik tertentu dan dihasilkan dari satu
atau gabungan beberapa proses geomorfik dalam kurun waktu tertentu, sedangkan
proses geomorfik (geomorphic processes) adalah suatu proses alami, baik fisik
atau kimiawi, yang mampu merubah bentuk permukaan bumi (Thornbury, 1954).
Berdasarkan batasan tersebut, lingkup studi geomorfologi mencakup tiga
aspek yaitu morfologi, morfogenesis, dan morfokronologi (Thornbury, 1954), dan
sebagian ahli menambahkan aspek morfo-arrangement (Zuidam, 1985). Aspek
morfologi mencakup dua aspek, yaitu morfografi dan morfometri. Morfografi
mendeskripsi bentuk permukaan bumi, baik yang berukuran besar seperti
pegunungan, gunungapi, dataran, maupun yang berukuran kecil seperti bukit,
lembah, dan kipas aluvial. Morfometri membahas tentang ukuran-ukuran
bentuklahan, seperti kemiringan lereng, ketinggian, arah, dan sebagainya. Aspek
morfogenesis mencakup kajian terhadap proses geomorfik atau proses
geomorfologis yang bekerja pada masa lampau dan masa sekarang yang
membentuk bentuklahan aktual. Aspek morfokronologi menyangkut kronologi atau
waktu pembentukan berbagai bentuklahan dan prosesnya, sedangkan aspek
morfo-arrangement, menyangkut analisis hubungan keruangan/spasial dari
berbagai bentuklahan dan prosesnya.
Geomorfologi kepesisiran (coastal geomorphology) adalah studi
geomorfologi yang mengkhususkan perhatiannya pada bentuklahan pesisir,
evolusinya dan proses-proses yang membentuk dan merubahnya (Bird 1969,
yang diacu dalam Sutikno, 1995).
Di Indonesia upaya-upaya kontrol kualitas pemetaan tematik dasar secara
nasional sedang berlangsung dan pembuatan standardisasi klasifikasi bentuklahan
untuk skala 1:250.000 dan 1:50.000 sedang dilakukan (Fakultas Geografi UGM -
Bakosurtanal, 2000). Dalam upaya standardisasi tersebut, informasi sifat dan

30
perwatakan bentuklahan akan memberikan informasi-informasi tentang konfigurasi
permukaan, proses geomorfologis, serta struktur geologis dan jenis batuan/mineral.
Klasifikasi bentuklahan asal proses marin ditunjukkan pada Tabel 1, dan
selengkapnya di Lampiran 11.

Tabel 1 Klasifikasi bentuklahan asal marin

No. Skala 1 : 250.000 Skala 1 : 50.000


Kode Nama Kode Nama Bentuklahan
Bentuklahan
1. M.01 Delta M.01.a Rataan lumpur (Mud flat)
M.01.b Rawa payau (Salt Marsh)
M.01.c Tanggul fluvio deltaik
M.01.d Rawa belakang deltaik
M.01.e Dataran delta
2. M.02 Rataan pasut M.02.a Rataan lumpur (Mud flat)
(tidal flat) M.02.b Rawa payau (Salt marsh)
3. M.03 Kompleks beting M.03.a Gisik (Beach)
gisik M.03.b Beting gisik (Beach ridge)
M.03.c Swale (Swale)
M.03.d Bura (Spit)
M.03.e Tombolo (tombolo)
M.03.f Cuspate foreland
M.03.g Lagun (lagoon)
4. M.04. Dataran Pantai M.04.a Dataran lempung marin
M.04.b Pelataran laut (Marine Platfom)
M.04.c Teras marin
M.04.d Kompleks kuesta
M.04.e Outlier
5. M.05. Cliff M.05.a Cliff
M.05.b Runtuhan batu cliff
M.05.c Pilar laut
Sumber: Zuidam, 1985 dan Fakultas Geografi UGM - Bakosurtanal, 2000.

Untuk studi terapan, geomorfologi dapat menunjang keperluan berbagai


disiplin ilmu-ilmu lainnya, seperti ilmu-ilmu sosial, kebumian, kajian gangguan
lingkungan, pengembangan daerah pedesaan dan perencanaan wilayah, bidang
perkotaan, dan bidang keteknikan (Verstappen, 1983). Geomorfologi terapan di
Indonesia sangat penting dikembangkan, karena hasilnya akan lebih banyak
memberikan manfaat kepada pembangunan masyarakat di Indonesia, di samping
perlunya pengembangan di bidang-bidang lain seperti geomorfologi pantai,
geomorfologi gunungapi, dan geomorfologi fluvial (Sutikno, 1995). Analisis tipe dan
karakteristik pulau kecil dan ekosistem laut adalah studi terapan geomorfologi untuk

31
tujuan tata ruang. Proses marin yang terjadi pada pesisir pulau kecil seperti halnya
pada pesisir pulau besar. Namun, oleh karena luas daratan pulau kecil relatif sempit
sehingga proses marin relatif lebih dominan.
Pantai berbatu adalah pantai yang mempunyai tebing pantai (cliff),
biasanya dicirikan dengan dinding pantai terjal yang langsung berhubungan
dengan laut. Jenis pantai tebing dapat ditemukan dalam dua macam adalah
tebing pantai dengan material lepas yang gampang hancur atau runtuh, dan
tebing koral yang umumnya keras dan tidak mudah hancur. Sementara itu, pantai
berpasir adalah pantai yang material penyusunnya terdiri atas pasir bercampur
batu, yang umumnya berasal dari daratan dibawa oleh aliran sungai ataupun
yang berasal dari hulu daratan. Material yang menyusun pantai ini dapat juga
berasal dari berbagai jenis biota laut seperti terumbu karang yang ada di daerah
pantai itu sendiri. Pantai berlumpur banyak ditemukan di pantai-pantai teluk yang
dangkal, estuari, delta, dan pantai yang terlindung (Nybakken, 1982).
Pantai di Indonesia dibagi menjadi tiga tipe utama meliputi pantai dataran
rendah (mangrove, berpasir, delta), pantai berbatu, dan terumbu karang dan
pulau. Evolusi yang berlangsung dipengaruhi oleh faktor eksogenik dan
endogenik yang terkait dengan lingkungan tropis basah/lembab, situasi
geografis, dan struktur geofisik. Pantai berpasir jarang dijumpai karena pasir dari
material yang dibawa oleh sungai-sungai hingga mencapai laut biasanya sangat
kecil sebagai hasil pelapukan kimia yang hebat dan terkait dengan lingkungan
tropik basah secara umum. Pantai berbatu ditentukan oleh tiga faktor penting
meliputi struktur, neotektonik, dan litologi (Verstappen, 2000).

2.3.1 Geomorfologi pulau kecil


Sumbangan atau peran penting geomorfologi untuk pulau kecil adalah
untuk mengetahui karakteristik biogeofisiknya. Karakteristik di sini diberikan
melalui analisis proses terbentuknya pulau kecil, sehingga tercermin sifat
dasarnya yang menggambarkan potensi sumberdaya alamnya dan potensi
risikonya. Penyajian informasinya secara deskriptif dan spasial dalam bentuk
peta. Analisis geomorfologi berupa tipe pulau dapat memperjelas dan
mempermudah pemahaman karateristik suatu pulau.
Aspek-aspek geomorfologi digunakan untuk identifikasi karakteristik
biogeofisik pulau kecil melalui interpretasi data penginderaan jauh satelit, peta,
ataupun pengamatan lapangan. Geomorfologi adalah studi berdasarkan

32
kenampakan di permukaan bumi, sedangkan data penginderaan jauh menyajikan
kenampakan permukaan bumi pula. Aplikasi data penginderaan jauh untuk
geomorfologi mulanya menggunakan foto udara. Contoh aplikasi data
penginderaan jauh satelit antara lain, analisis geomorfologi untuk mendapatkan
pandangan umum daerah Bandung menggunakan citra SPOT oleh Nossin et al.
(1996); dan analisis geomorfologi daerah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi untuk
mendapatkan kelas-kelas bentuklahan mengunakan citra Landsat oleh
Asriningrum (1997). Adapun penerapannya untuk pulau kecil didasarkan pada
pendekatan yang sama.
Pemanfaatan data penginderaan jauh satelit untuk identifikasi bentuklahan
dapat dilakukan menggunakan aspek morfologi dan morfogenesis. Aspek
morfokronologi hanya dapat mengenali tahap (stage) proses pembentukan namun
tidak dapat mengenali umurnya (Asriningrum, 2002). Pada penelitian ini,
pembedaan tipe pulau didasarkan pada aspek-aspek morfologi dan morfogenesis
untuk mendapatkan informasi proses terbentuknya pulau kecil. Aspek
morfoarrangement juga berperan mengingat data utamanya adalah citra
penginderaan jauh satelit.
Proses geomorfologis dibedakan menjadi endogenik dan eksogenik (Selby,
1985; Bloom, 1979; Strahler and Strahler, 1978; Thornbury, 1954), dan dari dua
proses utama ini diturunkan ke dalam bentuk yang lebih detail dan rinci untuk
mendapatkan klasifikasi tipe pulau. Aspek morfologi pulau kecil dapat dibedakan
menjadi berbukit dan datar. Morfologi dapat dikenali dari citra penginderaan jauh
satelit karena citra yang mempunyai gambaran dua dimensi ini dapat
memunculkan kesan tiga dimensi dari konfigurasi warna yang ditampilkan.
Ada tiga pendekatan dalam analisis geomorfologi yaitu genetik, bentang-
lahan (landscape), dan parametrik (Zuidam, 1985). Pendekatan genetik
perhatiannya ke aspek proses geologis dan geomorfologis dan sedikit perhatian
ke bentuklahan. Pendekatan bentang lahan lebih baik khususnya jika berbasis
proses geomorfologis yang mempertimbangkan bentuklahan, litologi, dan
genesis (proses yang lalu dan sekarang). Bentuklahan mencirikan bentang lahan
cukup baik. Pendekatan parametrik terlalu detail dan akademis sehingga
cenderung tidak berperan dengan jelas untuk mengetahui interaksi sistem
ekologis. Adapun untuk penelitian ini digunakan pendekatan bentanglahan.

33
2.3.2 Geomorfologi terumbu
Terumbu (reefs) adalah bentuklahan (landforms) submarin perairan laut
dangkal yang banyak dijumpai pada pantai-pantai daerah tropik. Bentuklahan ini
dibangun oleh organisme karang (coral) dan alga penghasil kapur (calcareous
algae), meskipun kerang-kerangan, bunga karang, dan organisme marin jenis
lain juga ikut membangun pada situasi tertentu. Terumbu-terumbu karang ini
dapat tumbuh dan berkembang pada perairan laut dengan syarat-syarat tertentu,
yaitu mempunyai kedalaman air kurang dari 100 m, kondisi air cukup jernih
dimana cahaya dapat menembus untuk proses fotosintesis, terdapat batuan
dasar sebagai fondasi pertumbuhan, suhu air tidak kurang dari 18ºC pada musim
dingin, dan salinitas mendekati normal (32 - 35‰) (Selby, 1985; Bloom, 1979).
Ketinggian permukaan terumbu umumnya sama dengan ketinggian rata-rata air
pasang surut, sehingga pada saat air pasang terumbu ini tergenang. Salinitas
yang sesuai dengan pertumbuhan hewan karang adalah sekitar 30- 36 ppt, oleh
sebab itu jarang ditemukan terumbu di sekitar muara sungai yang besar.
Sedimentasi merupakan salah satu pembatas pertumbuhan karang. Daerah yang
memiliki sedimentasi yang tinggi akan sulit untuk menjadi tempat yang baik bagi
pertumbuhan karang. Tingginya sedimentasi menyebabkan penetrasi cahaya di
air laut akan berkurang dan hewan karang (polip) akan bekerja keras untuk
membersihkan partikel yang menutupi tubuhnya. Faktor fisik lain yang turut
mempengaruhi penyebaran terumbu karang adalah gelombang, arus dan
tingginya kisaran antara pasang dan surut. Gelombang dan arus erat kaitannya
dengan penempelan planula serta morfologi karang. Perbedaan pasang dengan
surut, mempengaruhi lamanya karang terpapar sinar matahari saat laut surut.
Pertumbuhan maksimum terumbu dapat dicapai dengan persyaratan
gerakan gelombang yang besar, sirkulasi air yang lancar, dan terhindar dari
proses sedimentasi. Persebaran terumbu-terumbu karang terbatas hanya pada
zona intertropikal saja dan menurut Zuidam (1985) antara 30º Lintang Utara –
30º Lintang Selatan. Kebanyakan terumbu tumbuh pada kedalaman 25 m atau
kurang. Hal ini menerangkan mengapa struktur ini terbatas hingga pinggiran
benua-benua atau pulau-pulau. Terumbu karang lebih berkembang pada daerah-
daerah yang mengalami gelombang besar (Nybakken, 1982).
Bentuklahan terumbu secara umum dikelompokkan menjadi tiga macam,
yaitu terumbu pinggiran (fringing reef) yang berkembang dari daratan ke arah
laut, terumbu penghalang (barrier reef) yang terpisah dari pantai oleh lagun, dan

34
terumbu cincin (atoll) yang terbentuk melingkar dan memiliki lagun di tengahnya
(Selby, 1985; Bloom, 1979). Terbentuknya terumbu cincin umumnya mempunyai
hubungan yang erat dengan proses degradasi gunungapi submarin.
Maxwell (1968, yang diacu dalam Zuidam, 1985), membagi terumbu-
terumbu menjadi dua kelompok yaitu terumbu paparan (shelf reefs) dan terumbu
samudra (oceanic reefs) (Gambar 4). Selanjutnya, oleh Faku-G UGM &
Bakosurtanal Tahun 2000 pembagian ini digunakan pada klasifikasi bentuklahan
asal organik untuk tujuan pemetaan yang didasarkan pada asal mula
pembentukan (genesis) bentuklahan dengan menggunakan parameter-
parameter relief/topografi, struktur geologi/batuan, proses geomorfologi, dan
tingkatan/intensitas proses geomorfologi yang bekerja pada bentuklahan (Tabel
2).

OCEANIC REEFS
SHELF REEFS
Reef
1 Embryonic colony
1 Embryonic
Island
colony Radial
Elongation
growth
Symmetrical 180 m
elongation 2 Platform reef 5 Wall reef

Prong formation
2. Fringing Cuspatio
reef Island
Radial Elongatio n 7 Prong reef
growth n
Submergence Lagoon 6 Cuspate reef Back-reef
Central
Vertical growth 180 m
3 Lagoonal Elongated sedimentation
Expansion platform Back-reef
platform growth
f f 8 Composite apron
Cuspate Meshing
Lagoon inversion reef
3. Barrier reef
Triangular
elongation
Total submergence 180 m Resorbtio
of island n
Lagoonal reef growth 14 Resorbed reef 9 Open ring reef 10 Open mesh
Rim reef flat
Lagoon
4. Atoll 13 Plug reef
180 m Lagoon
180 m

Resorbtion
11 Closed ring reef 12 Closed mesh reef

Gambar 4 Klasifikasi terumbu menurut Maxwell (Sumber: Zuidam, 1985).

Keseimbangan arah perkembangan terumbu organik dikontrol oleh tiga


faktor yaitu hidrologi, batimetri, dan biologi. Jika ketiga faktor itu seimbang,
terumbu berkembang secara radial dan akan terbentuk terumbu paparan dan
apabila pertumbuhan ini berlanjut akan terbentuk terumbu pelataran bergoba
atau berlagun. Namun, jika perkembangan radial dibatasi oleh kondisi batimetri
maka akan terbentuk terumbu paparan lonjong. Terumbu yang terakhir ini tidak

35
membentuk lagun yang benar dan depresi menyudut merupakan penyebaran
pasir. Lagun adalah genangan air laut yang berada di tengah-tengah terumbu.
Sedangkan terumbu paparan dinding terbentuk pada kondisi batimetris dan
hidrologis tidak simetris, di mana perkembangan terumbu terbatas pada satu
atau dua arah. Kondisi ini akan menghasilkan perkembangan terumbu secara
linier, dan membentuk terumbu dinding berupa terumbu dinding tanduk dan
terumbu dinding garpu. Terbentuknya terumbu dinding garpu ini menunjukkan
adanya arus pasang surut yang kuat (Zuidam, 1985).

Tabel 2 Klasifikasi bentuklahan terumbu menurut skala

No Nama Bentuklahan
Skala 1:250.000 Skala 1:50.000
1 Terumbu paparan Terumbu pelataran bergoba (lagoonal platform
pelataran (platform reef)
reef) Terumbu pelataran lonjong (elongate platform
reef)
Terumbu pelataran tapulang (resorbed reef)
2 Terumbu paparan Terumbu dinding tanduk (cuspate reef)
dinding (wall reef) Terumbu dinding garpu (prong reef)
3 Terumbu paparan Terumbu sumbat (plug reef)
sumbat (plug reef)
4 Terumbu samudra Terumbu pinggiran (fringing reef)
(oceanic reef) Terumbu penghalang (barier reef)
Terumbu cincin (atoll)
Sumber: Fakultas Geografi UGM - Bakosurtanal, 2000.

Terumbu dengan pulau memiliki lima tingkat perkembangan. Pertama,


menunjukkan karakter gosong pada tingkat awal perkembangan yaitu berupa
gundukan pasir dengan struktur sederhana. Kondisi gosong pada tingkat ini
masih labil. Tingkat kedua adalah gosong di mana gundukan pasirnya telah
berkembang lebih lanjut, relatif stabil dan sudah ditumbuhi vegetasi. Tingkat
ketiga adalah gosong dengan gundukan berbatu bervegetasi atau berbatu tanpa
vegetasi. Tingkat keempat adalah gosong di mana gundukan pasir yang
bertingkat membentuk penghalang/budus/rampart. Sedangkan tingkat kelima
adalah pulau yang telah berkembang dengan tingkat lanjut membentuk pulau
terumbu dengan paparan batu gamping koral yang muncul dan berumur lebih
tua. Secara singkat kelima tingkat gosong pasir tersebut diuraikan pada Tabel 3.

36
Tabel 3 Tingkat perkembangan pulau terumbu

No Tingkatan pulau
1 Gosong pasir sederhana tak stabil bervegetasi (Simple sand cay,
unstable, unvegetated)
2 Gosong pasir bervegetasi stabil (Sand cay, vegetated stabilized)
3 Gosong berbatu dengan atau tanpa vegetasi (Shingle cay, with or
without vegetation)
4 Gosong pasir dengan penghalang (Sand cay with shingle rampart)
5 Pulau terumbu dengan paparan batu gamping koral muncul lebih tua
(Coral island with older emerged coral limestone platform)
Sumber: Zuidam, 1985.

Weyl (1970) membagi terumbu atas zona fore reef, reef flat, dan back reef.
Reef flat atau dataran terumbu dijumpai ke arah darat yang terbentuk akibat
menurunnya gerakan air sehingga karang yang rapuh bisa bertahan hidup.
Berikutnya akan dijumpai terumbu belakang (back reef) di mana dasar laut
tertutup oleh sedimen karbonat yang berasal dari skeletal berukuran pasir yang
dicirikan dengan keadaan air yang relatif tenang. Kadang-kadang, kelompok
karang yang terisolasi membentuk miniatur terumbu takat (patch reefs) yang
muncul hampir ke permukaan laut. Patch reefs berbentuk lingkaran, tidak terlalu
besar yang muncul di goba atau di belakang terumbu penghalang.
Sedikitnya ada lima cara klasifikasi habitat terumbu karang dengan
pemetaan penginderaan jauh (Mumby et al., 1998; 2000) yaitu:
(1) Klasifikasi untuk pendefinisian habitat secara ad hoc, cara ini lebih sesuai
untuk area yang familier,
(2) Klasifikasi habitat untuk aplikasi studi yang spesifik, contoh: untuk satu
spesies,
(3) Klasifikasi habitat secara geomorfologi, cara ini lebih umum untuk
penginderaan jauh dan sifatnya relatif langsung karena ada standarnya,
(4) Klasifikasi habitat secara ekologi, contoh: dominan alge, dominan lamun,
(5) Klasifikasi ekologis dan geomorfologis yang digabung secara hierarkhies,
contoh: lagun dangkal dengan lamun.
Berhubung penelitian ini berbasis geomorfologi maka dipilih cara klasifikasi
geomorfologi. Namun, untuk mengkaji hubungan antara analisis visual dan analisis
digital terumbu karang maka dilakukan juga cara gabungan klasifikasi ekologis dan
geomorfologis.

37
2.4 Data Penginderaan Jauh Satelit
Data penginderaan jauh merupakan suatu data hasil dari kegiatan
mengindera sebuah obyek tanpa kontak langsung dengan obyek tersebut. Data
ini biasanya dalam bentuk suatu gambar atau image yang menggambarkan
suatu obyek. Sebagai contoh adalah data foto yang diperoleh dari kamera
merupakan suatu contoh data yang diperoleh dengan teknik penginderaan jauh.
Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni dalam mendapatkan informasi
mengenai suatu obyek, daerah, atau fenomena melalui analisa data yang didapat
menggunakan alat yang tidak melakukan kontak langsung dengan obyek,
daerah, atau fenomena yang diamati (Lillesand dan Kiefer, 1994).
Di sisi lain, citra penginderaan jauh menyajikan gambaran muka bumi
secara lengkap, sehingga memungkinkan penggunaannya untuk pelbagai
bidang. Hal ini menguntungkan bagi pendekatan terpadu karena citra dapat
digunakan untuk pelbagai bidang keahlian untuk satu tujuan (Sutanto, 1986).
Analisis data penginderaan jauh satelit dibedakan menjadi dua, yaitu analisis
digital dan visual. Analisis digital adalah klasifikasi piksel berdasarkan nilai
spektralnya, yang dilakukan secara statistik dengan pengenalan obyek secara
teracu (supervised) atau tak teracu (unsupervised). Sedangkan analisis visual
adalah penyadapan data citra berupa pengenalan obyek dan elemen serta
penyajiannya ke tabel, grafik, atau peta tematik (Sutanto, 1986).
Analisis visual data penginderaan jauh satelit dilakukan dengan
menggunakan unsur-unsur interpretasi sebagai kunci pengenalan obyek.
Pengenalan obyek pada citra umumnya didasarkan atas penyidikan
karakteristiknya atau atributnya pada citra. Unsur interpretasi meliputi rona/warna,
bentuk, ukuran, bayangan, tekstur, dan pola; ditambah dengan tiga unsur
tambahan yaitu lokasi, asosiasi, dan resolusi. Unsur-unsur ini dapat digunakan
satu-persatu atau secara gabungan. Selain unsur-unsur tersebut, diperlukan pula
suatu teknik interpretasi citra, yaitu suatu cara ilmiah sebagai cara/alat khusus
dalam metode penginderaan jauh. Cara tersebut antara lain menggunakan data
acuan, kunci interpretasi citra, penanganan data, pengamatan stereoskopik,
metode pengkajian, dan penerapan konsep multi, seperti multispektral, multispasial,
dan multitemporal. Dalam melakukan interpretasi citra, harus dilakukan rangkaian
prosedur secara metodik atau per topik dan dimulai dari obyek umum ke obyek

38
khusus dengan mendahulukan obyek-obyek yang telah diketahui. Saat interpretasi,
hal yang tidak boleh terlupakan adalah bahwa karakteristik citra dan kualitas citra
pra pengolahan harus sudah diketahui oleh penafsir (Zee, 1990).
Pemilihan jenis kanal menjadi pertimbangan dalam penggunaan data
penginderaan jauh satelit yang memiliki sistem sensor multispektral. Pada masing-
masing kanal mempunyai informasi spektral berbeda dan perbedaan ini dapat
dimanfaatkan untuk membedakan antara obyek satu terhadap obyek yang lain.
Untuk mengetahui hubungan antar kanal dalam merepresentasikan obyek yang
sama sering digunakan parameter koefisien korelasi. Nilai koefisien korelasi kedua
kanal dapat dihitung, dan apabila didapatkan nilai yang rendah berarti bahwa kedua
kanal ini mempunyai kecenderungan berbeda dalam merepresentasikan obyek
yang sama. Dalam hal pembentukan citra komposit Red Green Blue (RGB),
Chaves (1982, dalam Jensen, 1986) mengembangkan parameter Optimum Index
Factor (OIF) yang secara statistik menghitung pembagian antara jumlah standard
deviasi nilai-nilai spektral pada tiga kanal dengan jumlah nilai absolut koefisien
korelasi antara tiap dua dari tiga kanal. Nilai OIF yang tinggi merupakan bentuk
komposit yang memiliki keragaman informasi spektral terbanyak. Dalam kegiatan
ini dipergunakan data penginderaan jauh hasil dari perekaman satelit, khususnya
data Landsat, SPOT, dan QuickBird yang akan dibahas lebih lanjut.

2.4.1 Landsat-7
Landsat-7 diluncurkan pada tanggal 15 April 1999 dengan wahana peluncur
roket Delta II. Pada bulan Juli 2003, sensor Scan Line Corrector (SLC) pada
Landsat-7 tidak berfungsi yang mengakibatkan hasil rekamannya terdapat stripping
di sisi kiri dan kanan setiap scene dan hanya 30% citra di bagian tengahnya dalam
keadaan baik. Keunggulan citra Landsat-7 dibandingkan dengan seri sebelumnya
adalah ditambahnya kanal pankromatik (kanal 8) dengan resolusi spasial 15 meter
dan pada kanal 6 terdapat perekaman dengan sistem low gain dan high gain untuk
analisis laut dan darat. Adanya keunggulan ini, maka Landsat-7 disebut juga
Enhanced Thematic Mapper plus (ETM+). Adapun keterbatasan citra ini adalah
adanya liputan awan (sebagai akibat sistem perekaman optik), dan resolusi spasial
15 meter masih termasuk kasar untuk tujuan pemetaan dengan skala besar.
Karakteristik Landsat ETM+ disajikan pada Tabel 4 dan spesifikasinya pada Tabel 5.

39
Tabel 4 Karakteristik kanal Landsat ETM+

Panjang Resolusi
Ka
gelombang spasial Karakteristik
nal
(μm) (m)
1 0,45 – 0,515 30 Penetrasi maksimum pada air berguna untuk
(Biru) pemetaan batimetri pada air dangkal. Berguna
untuk pembedaan antara tanah dan vegetasi.
2 0,525–0,605 30 Sesuai untuk mengindera puncak pantulan
(Hijau) vegetasi dan bermanfaat untuk perkiraan
pertumbuhan tanaman.
3 0,63–0,69 30 Sesuai untuk membedakan absorbsi klorofil
(Merah) yang penting untuk membedakan tipe vegetasi.
4 0,75 – 0,90 30 Berguna untuk menentukan kandungan
(Inframerah biomas, tipe vegetasi, pemetaan garis pantai
dekat) dan mem-bedakan antara tanaman-tanah dan
lahan-air.
5 1,55 – 1,75 30 Menunjukkan kandungan kelembaban tanah
(Inframerah dan vegetasi. Penetrasi awan tipis. Bagus
tengah I) untuk kekontrasan antara tipe vegetasi.
6 10,4 – 12,5 60 Berguna untuk mendeteksi gejala alam yang
(Infra merah berhubungan dengan panas. Citra malam hari
termal) berguna untuk pemetaan termal dan untuk
perkiraan kelembaban tanah.
7 2,09 – 2,35 30 Sama dengan absorbsi kanal yang disebabkan
(Inframerah oleh ion hidroksil dalam mineral. Rasio antara
tengah II) kanal 5 dan 7 berguna untuk pemetaan
perubahan batuan secara hidrotermal yang
berhubungan dengan endapan mineral dan
sensitif terhadap kandungan kelembaban
vegetasi.
8 0,52 – 0,90 15 Resolusi spasial yang tinggi bermanfaat untuk
(Pankromatik) identifikasi obyek lebih detail.
Sumber: disarikan dari EROS Data Centre (1995).
Pemrosesan data Landsat ETM+ dari stasiun bumi hingga sampai ke
pengguna adalah berbentuk data yang langsung diterima dari satelit melalui X band
dalam dua paket data yang masing-masing ditransmisikan dengan laju 75 Mbps
melalui kanal I dan Q. Kanal I membawa data untuk kanal 1 sampai 5 dan kanal 6
untuk low gain, sedang kanal Q membawa data untuk kanal 7 dan kanal 8, serta
kanal 6 untuk high gain (Suhermanto, 2001). Level 0R merupakan raw data,
dilengkapi dengan beberapa informasi di antaranya kalibrasi, radiometris, dan
ketinggian dengan format High Density File (HDF). Level 1R terkoreksi radiometris
dengan format HDF. Level 1G telah dikoreksi radiometris dan diresampling untuk
koreksi geometris dan teregistrasi pada proyeksi peta. Level 1G ini memiliki

40
karakteristik resolusi radiometris 8 bit, tersedia 7 sistem proyeksi peta, tiga pilihan
model resampling, dan dilakukan koreksi sistematik.
Tabel 5 Spesifikasi Landsat ETM+

Tipe Spesifikasi
Karakteristik orbit:
Ketinggian 705 km
Inklinasi 98,2°
Orbit Sinkron matahari hampir polar
Melintas ekuator 9.30 waktu setempat
Periode orbit 99 menit
Periode ulang 16 hari
Karakteristik teknik sensor:
Tipe penyiam Opto–mechanical
Resolusi spasial Pan: 15 m, MS: 30 m, Termal: 60 m
Resolusi radiometrik 8 bit (256 level)
Panjang gelombang 0,45 – 12,5 µm
Jumlah kanal 8
Liputan 183 km x 170 km
Lebar liputan 183 km
Stereo tidak
Dapat diprogram (Programmable) ya
Sumber: disarikan dari EROS Data Center (1995).

2.4.2 SPOT
SPOT (Satellite Pour l’Observation de la Terre) 5 merupakan seri ke-5 dari
satelit SPOT yang memiliki beberapa peningkatan kemampuan dibandingkan seri
sebelumnya. SPOT 5 diluncurkan pada Mei 2002 ke orbitnya dengan wahana
peluncur Ariane 4. Spesifikasi SPOT-5 ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6 Spesifikasi SPOT-5

Tipe Spesifikasi
Karakteristik orbit:
Ketinggian 822 km
Inklinasi 98,7 0
Orbit Sun-synchronous
Melintas ekuator 10.30 waktu setempat
Periode orbit 101,4 menit
Periode ulang 26 hari
Karakteristik teknik sensor:
Resolusi spasial 5/10/20 m
Resolusi radiometrik 8 bit (256 level)
Panjang gelombang 0,49 – 1,75 µm
Jumlah kanal 6
Liputan 60 km x 60 km
Lebar liputan 117 km
Stereo Ya

41
Dapat diprogram (Programmable) Ya
Sumber : disarikan dari http://spot5.cnes.fr/
Sistem satelit SPOT dirancang oleh Centre National d’Etudes Spatiales
(CNES) sebagai kontraktor utama, bekerjasama dengan Astrium dan SPOT
Image. Lama operasi SPOT 5 adalah 5 tahun dan CNES bertanggung jawab atas
operasi pengendalian orbit satelit dan kinerja sistem pengendali ruas bumi.
Karakteristik kanal dan resolusi spasial SPOT 5 ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7 Karakteristik kanal dan resolusi spasial SPOT 5

Panjang Resolusi spasial (m) Karakteristik


Ka
gelom-
nal Vege
bang (μm) HRG HRS
tasi
B0 Penetrasi maksimum pada air
0.43 -0.47
- 1 km - berguna untuk pemetaan
(Biru)
batimetri pada air dangkal.
B1 Sesuai untuk mengindera
0.49 -0.61 puncak pantulan vegetasi dan
10 m - -
(Hijau) bermanfaat untuk perkiraan
pertumbuhan tanaman.
B2 Sesuai untuk membedakan
0.61 -0.68 absorbsi klorofil yang penting
10 m 1 km -
(Merah) untuk membedakan tipe
vegetasi.
B3 Berguna untuk menentukan
kandungan biomas, tipe
0.78 -0.89
vegetasi, pemetaan garis
(Inframerah 10 m 1 km -
pantai serta membedakan
dekat/NIR)
antara tanaman-tanah dan
lahan-air.
B4 Menunjukkan kandungan
1.58 -1.75
kelembaban tanah dan
(Inframerah
20 m 1 km - vegetasi. Penetrasi awan tipis.
tengah I/
Bagus untuk kekontrasan
SWIR)
antara tipe vegetasi.
PA 0.49 -0.69 2,5 m* Resolusi spasial yang tinggi
N (Pankro atau - 10 m bermanfaat untuk identifikasi
matik) 5m obyek lebih detail.
Lebar sapuan 2250 120 -
60 km
km km
Sumber: disarikan dari http://spot5.cnes.fr/

SPOT 5 dilengkapi dengan sensor HRG (High Resolution Geometric) yang


mempunyai ketelitian geometri tinggi yaitu 50 meter. Sensor HRG dapat
menghasilkan citra dengan resolusi spasial 2,5 meter, 5 meter, dan 10 meter
berturut-turut untuk sensor pankromatik dan multi-spektral. Resolusi 2,5 meter
merupakan keunggulan SPOT 5 dengan luas liputan 60 km x 60 km. SPOT 5

42
juga dilengkapi dengan dua instrumen lain yaitu pertama, instrumen HRS (High
Resolution Stereoscopic) untuk menghasilkan pasangan citra stereo yang
diperoleh sepanjang lintasan dengan luas liputan 120 km x 600 km. Sensor HRS
pada SPOT 5 hanya bekerja pada panjang gelombang pankromatik.
Pasangan citra stereo diperoleh dari sensor yang memiliki resolusi spasial
10 meter dengan sudut kemiringan sekitar 200. Citra stereo digunakan untuk
menghasilkan Digital Elevation Models (DEM) dengan ketelitian ketinggian 10
meter atau bahkan lebih baik lagi. Kedua, instrumen VEGETATION untuk
aplikasi vegetasi dan merupakan sensor yang sama seperti yang tersedia pada
SPOT 4. Sensor ini mempunyai resolusi 1km x 1km, lebar cakupan 2.250 km,
dan 4 kanal, yakni kanal yang sama seperti instrumen High Resolution Visible
Infra Red (HRVIR) terdiri atas B2, B3, dan mid-IR dan interval pengulangan
harian (Tabel 8).
Tabel 8 Data teknis satelit SPOT

SPOT 1- 4 SPOT 5
Instrument HRV/HRVIR HRG HRS
Kanal spektrum PAN B1, B2, B3 SWIR VHR PAN B1, B2, B3 SWIR PAN
Lebar sapuan (km) 60 60 60 60 60 60 60 120
Resolusi (m) 10 20 20 2.5 5 10 20 5*10
Akurasi lokasi mutlak
350 350 350 50 50 50 50 20
(tanpa GCP) (m)
Akurasi geometrik (m) 5 5 5 <3 <3 <3 <3 <3
SNR (L2) 260 380 360 170 170 240 230 190
MTF (fn/2) 0.3 0.45 0.35 0.2 0.3 0.4 0.45 0.3
Sumber: disarikan dari http://spot5.cnes.fr/

Data SPOT yang didistribusikan ke pengguna, baik dalam bentuk data


digital atau film-fotografi disediakan dalam beberapa tingkat olahan sebagai
berikut:
Level 1A: Produk level 1A merupakan row data. Untuk itu hanya dilakukan
koreksi radiometrik terhadap signal yang diterima oleh detektor, yakni kalibrasi
data dari detektor untuk masing-masing kanal spektral. Dalam hal ini belum
dilakukan koreksi geometri.
Level 1B: Pada level 1B selain dilakukan koreksi radiometrik, juga dilakukan
koreksi geometrik terhadap penyimpangan geometri secara sistematik. Selain
rotasi bumi dan bentuk kelengkungan bumi, juga dikoreksi pengaruh panorama
yang terjadi akibat kemiringan cara pengambilan data dari instrumen High
Resolution Visible (HRV). Selain itu dilakukan juga koreksi terhadap

43
penyimpangan yang terjadi selama proses pengambilan data akibat perubahan
posisi lintasan. Koreksi dilakukan dengan membuat suatu model lintasan satelit,
namun tanpa menggunakan titik kontrol tanah (Spot Image 1988). Ketelitian
planimetri hasil produk level 1B adalah sekitar + 500 meter.
Level 2A: Prosedur koreksi data untuk level 2A menyerupai prosedur pada level
1B. Namun, dalam menggunakan model lintasan pada prosedur ini masih
ditambahkan suatu sistem proyeksi kartografi (Proyeksi -Lambert, -UTM, -polar, -
stereograf dan -polykonik). Hal ini dilakukan masih tanpa menggunakan titik
kontrol tanah. Ketelitian planimetri masih seperti level 1-B sekitar + 500 meter.
Kemudian dilakukan lagi dua kali transformasi agar produk level 2A dapat
memenuhi proyeksi dari peta topografi. Ketelitian planimetri setelah proses
transformasi di atas sekitar ± 80 meter.
Level 2B: Pengembangan dilakukan pada level ini selain koreksi sistematik
(Level 1B) dan proyeksi kartografi (Level 2A) juga dilakukan koreksi geometrik
yang lebih presisi dengan menggunakan bantuan titik kontrol tanah yang didapat
dari peta topografi. Relief permukaan (ketinggian) dalam hal ini digunakan juga
sebagai parameter koreksi geometrik. Ketelitian planimetri setelah koreksi presisi
tersebut berkisar + 20 meter.
Level S: Produk level S berdasarkan pada sistem koreksi pada level 2B, tetapi
sebagai referensi tidak menggunakan peta topografi melainkan citra SPOT yang
telah terkoreksi sebelumnya (Level 1B atau Level 2), dengan sudut kemiringan
instrumen-HRV (+1.80) (Spot Image 1988). Ketelitian registrasi dari citra ke citra
untuk 2 scene kanal pankromatik sekitar + 0.3 piksel.

2.4.3 QuickBird
QuickBird adalah citra observasi bumi komersial yang mempunyai resolusi
spasial tinggi. Citra ini dihasilkan oleh perusahaan DigitalGlobe. QuickBird
diluncurkan pada tanggal 18 Oktober 2001 menggunakan wahana peluncur roket
Delta II. Citra QuickBird disimpan dalam format GeoTIFF 1.0, NITF 2.1 atau NITF
2.0. Spesifikasi QuickBird disajikan pada Tabel 9.
Data QuickBird terdiri atas 4 kanal multispektral yaitu biru, hijau, merah, dan
infra merah dekat serta satu kanal pankromatik. Data QuickBird dipasarkan dalam
bentuk raw data dan dalam bentuk data terolah yang dikenal dengan sebutan data
pansharpen dengan resolusi spasial 0,61 m. Karakteristik kanal QuickBird
ditunjukkan pada Tabel 10

44
Tabel 9 Spesifikasi QuickBird

Tipe Spesifikasi
Karakteristik orbit:
Ketinggian 450 km
Inklinasi 97,2°
Orbit Sun-synchronous
Melintas ekuator 10.30 waktu setempat
Periode 93,5 menit
Periode ulang 1 – 3,5 hari sesuai posisi lintang (30° off-nadir)
Karakteristik teknik sensor:
Resolusi spasial Pan 0,61 m (nadir) – 0,72 m (25° off-nadir)
MS 2,44 m (nadir) – 2,88 m (25° off-nadir)
Resolusi radiometrik 8 bit dan 11 bit
Panjang gelombang 0,45 µm – 9,0 µm
Jumlah kanal 5
Liputan (Normal swat width) 16,5 km x 16,5 km (pada nadir)
Lebar liputan 544 km
Stereo Tidak
Dapat diprogram Ya
Sumber: disarikan dari http://www.Digitalglobe.com

Tabel. 10 Karakteristik kanal QuickBird

Panjang Resolusi
Ka
gelombang spasial Karakteristik
nal
(μm) (m)
1 0,450 – 0,520 2,44 Penetrasi maksimum pada air berguna untuk
(Biru) identifikasi obyek pada air dangkal.
2 0,520 – 0,600 2,44 Sesuai untuk mengindera obyek pada air
(Hijau) dangkal dan pantulan vegetasi.
3 0,630 – 0,690 2,44 Sesuai untuk membedakan absorbsi klorofil
(Merah) yang penting untuk membedakan tipe
vegetasi.
4 0,760 – 0,900 2,44 Berguna untuk menentukan kandungan
(Inframerah biomas, tipe vegetasi, pemetaan garis pantai
dekat) serta membedakan antara tanaman - tanah
dan lahan - air.
5 0,450 – 0,900 0,61 Resolusi spasial yang tinggi bermanfaat untuk
(Pankromatik) identifikasi obyek lebih detail.
Sumber: disarikan dari http://www.Digitalglobe.com

2.5 Model dan Pengelompokan Pulau Kecil


2.5.1 Model

45
Model atau pola pengelompokan hendaknya memperhatikan karakteristik
wilayah Indonesia yang mempunyai keanekaragaman yang berkaitan dengan
bio-geo-sosio-kultural dan bersifat georeferensi (Sulasdi, 2000). Model dapat
merupakan contoh untuk ditiru, bentuk, pola atau rancangan, serta dapat
merupakan cerminan, gambaran, atau abstraksi (Amirin, 1986). Model menjadi
alat bantu yang baik dalam perumusan dan penentuan solusi, perumusan tujuan
dan pengembangan serta penentuan pilihan alternatif kebijaksanaan.
Model adalah representasi kenyataan yang disederhanakan untuk
menyajikan kenampakan atau hubungan yang jelas dalam suatu bentuk umum,
misalnya perkiraan kenyataan yang selektif. Model dikategorikan menjadi tiga: 1)
model deskriptif, yang menguraikan dunia nyata, seperti peta; 2) model prediktif
mengenai perkiraan yang mungkin terjadi pada kondisi tertentu seperti model
erosi tanah; 3) model keputusan, digunakan untuk menyarankan langkah kasus
tertentu untuk diikuti dalam menanggapi lingkungan tertentu. Model keputusan
dipertimbangkan sebagai rekomendasi terstruktur yang digunakan dalam kaitan
dengan model-model prediktif dan deskriptif (Valenzuela, 1990).
Permodelan dapat diartikan sebagai suatu gugus aktivitas pembuatan
model. Model adalah gambaran dari keadaan nyata. Model dikategorikan atas
jenis, dimensi, fungsi, tujuan pokok pengkajian, dan derajat keabstrakan.
Tahapan dalam pendekatan sistem meliputi: 1) analisis kebutuhan antar pelaku,
2) formulasi permasalahan, 3) identifikasi sistem, 4) permodelan sistem, 5)
verifikasi dan validasi model, dan 6) implementasi model (Eriyatno, 1998). Model
keputusan dengan pendekatan sistem sesuai untuk tujuan pengelolaan pulau-
pulau kecil yang bertujuan untuk pemanfaatan berkelanjutan. Model yang
canggih adalah yang memerlukan input sedikit tetapi mampu menjelaskan proses
yang cukup banyak dengan tingkat ketelitian dan ketepatan yang relatif tinggi.
Citra penginderaan jauh menggambarkan ujud dan letak obyek mirip
dengan ujud dan letaknya di permukaan bumi, sehingga citra dapat disebut
sebagai model medan. Ujud gambar di citra mirip ujud obyek sebenarnya
sehingga citra merupakan model ikonik (Sutanto, 1986). Pada dasarnya model di
dunia tidak pernah tertutup. Database dalam suatu SIG adalah model dunia
nyata yang dapat digunakan untuk meniru aspek-aspek kenyataan tertentu.
Suatu model mungkin disajikan dalam kata-kata, pernyataan-pernyataan
matematis atau sebagai susunan hubungan-hubungan spasial yang disajikan
sebagai suatu peta. Karakteristik terpenting SIG adalah kemampuan untuk fungsi

46
analisis spasial. Fungsi-fungsi ini menggunakan atribut-atribut spasial dan non-
spasial dalam database untuk menjadi pernyataan-pernyataan tentang dunia
nyata.
2.5.2 Pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis
Atlas Pengelompokan Pulau Kecil Berdasarkan Tektonogenesis untuk
Perencanaan Tata Ruang Darat, Laut, dan Dirgantara Nasional dibuat
berdasarkan genesis dan kedudukan terhadap tataan tektonik regional pulau-pulau
dan gugusan pulau di Indonesia saat ini (PSG, 2006). Pengelompokan ini membagi
menjadi empat yaitu:
(1) Kelompok pulau yang terbentuk di luar busur magmatik, disebut kelompok
pulau busur muka,
(2) Kelompok pulau yang terbentuk pada busur magmatk, disebut kelompok
pulau busur magmatik,
(3) Kelompok pulau yang terbentuk pada paparan benua dan busur belakang,
disebut kelompok pulau paparan benua dan busur belakang,
(4) Kelompok pulau yang terbentuk sebagai benua renik, disebut kelompok pulau
benua renik (Gambar 6).
Tektonogenesis digunakan sebagai dasar pengelompokan karena konsep
tektonik lempeng terbukti memiliki kelebihan dan jauh lebih lengkap dibandingkan
dengan teori–teori yang telah dikenal sebelumnya. Dasar pemikiran teori tektonik
lempeng adalah bahwa bumi ini dianggap sebagai suatu benda yang dinamis yang
sedang mengalami pendinginan secara konvektif dan di permukaan tampak
gerakan-gerakan mendatar dengan kecepatan berkisar antara 1 hingga 13 cm per
tahun. Tektonogenesis memberikan ciri khas bagi pulau kecil atau gugusan pulau
yang memperlihatkan adanya keteraturan berdasarkan sifat-sifat geologinya.
Tataan geologi wilayah Indonesia yang dikenal rumit, terjadi sebagai akibat
interaksi 3 lempeng utama dunia, yaitu lempeng Samudera Pasifik yang bergerak
ke arah barat-barat laut dengan kecepatan sekitar 10 cm per tahun, lempeng
Samudera Hindia-Benua Australia (Indo-Australia) yang bergerak ke utara-timurlaut
dengan kecepatan sekitar 7 cm per tahun, serta lempeng Benua Eurasia yang
relatif diam, namun resultante sistem kinematiknya menunjukkan gerakan ke arah
baratdaya dengan kecepatan mencapai 13 cm per tahun.
Pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya berbasis geomorfologi adalah
cara pengelompokan lebih rinci dan lebih detail dibandingkan cara yang berbasis
tektonogenesis. Teknik pengolahan citra penginderaan jauh satelit dikaji sebagai

47
salah satu data untuk mengenali karakteristik pulau kecil dan ekosistemnya.
Pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya ini dibangun untuk pengelolaan
daerah penangkapan ikan dengan mengkaji kondisi perikanan pantai.

48
Gambar 5 Pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis.
Sumber: Pusat Survei Geologi Bandung (2006).

49
3 METODOLOGI

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian


Waktu penelitian adalah dua tahun mulai pertengahan tahun 2006 hingga
pertengahan tahun 2008 yang dibagi menjadi tiga periode meliputi pengumpulan
data, pengolahan data, dan analisis data. Periode pengumpulan data
membutuhkan waktu satu tahun dan paling lama adalah pengumpulan citra
QuickBird karena menunggu saat perekaman yang bebas awan. Pengolahan
data citra penginderaan jauh dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan
perolehan data yaitu antara bulan Juni 2006 sampai Juni 2007. Verifikasi hasil
pengolahan dan analisis sementara di lapangan dilaksanakan dalam kurun waktu
8 bulan antara bulan Februari sampai September Tahun 2007. Periode analisis
data dilaksanakan dalam kurun waktu 10 bulan antara bulan Maret sampai
Desember Tahun 2007. Pada bulan Januari 2008 dimulai penulisan hasil
penelitian.
Lokasi penelitian difokuskan pada tiga kota/kabupaten yang memiliki
banyak pulau kecil agar pemilihan model dapat mewakili tiga tipe pulau beserta
keragaman karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil di Indonesia yaitu 1)
Kota/Kabupaten Batam 2) Kabupaten Sikka, dan 3) Kabupaten Sitaro. Dalam hal
ini, kepulauan di Kota Batam dapat mewakili pulau kecil tipe tektonik, kepulauan di
Kabupaten Sikka dapat mewakili pulau kecil tipe vulkanik dan pulau kecil tipe
terumbu, dan kepulauan di Kabupaten Sitaro dapat mewakili pulau kecil tipe
vulkanik. Ketiga tipe pulau ini dapat mewakili karakteristik biogeofisik secara umum
untuk pulau-pulau kecil di Indonesia.
Selain itu, daerah penelitian juga ditentukan untuk mewakili tiga ekosistem
laut utama. Ekosistem laut yang dimaksud adalah mangrove, terumbu karang, dan
lamun. Pulau kecil dengan karakteristik biogeofisik tertentu akan membentuk
ekosistem laut yang spesifik pula, sehingga pemilihan setiap tipe pulau kecil
sebagai model pulau juga mempertimbangkan keragaman ekosistem lautnya.
Dalam hal ini, kepulauan di Kota Batam dapat mewakili pulau kecil tipe tektonik
dengan ekosistem terumbu karang, mangrove, dan lamun, kepulauan di Kabupaten
Sikka dapat mewakili pulau kecil dengan ekosistem terumbu karang, sedangkan
kepulauan di Kabupaten Sitaro dapat mewakili pulau kecil dengan ekosistem
mangrove dan lamun. Kota Batam merupakan wilayah setingkat kabupaten dimana
wilayah perairannya tersusun atas pulau-pulau kecil.
3.1.1 Kota Batam
Kota/Kabupaten Batam, Provinsi Kepulauan Riau terletak antara 0°55’ – 1°55’
Lintang Utara dan 103°45’ – 104°10’ Bujur Timur dengan pusat kota pada 1°07’
Lintang Utara dan 104°07’ Bujur Timur (Gambar 6). Luas wilayah administrasi Kota
Batam adalah 96.900 Ha.

Gambar 6 Citra Kota/Kabupaten Batam, Landsat RGB 543.

50
Secara administratif Kota Batam berbatasan langsung dengan Kabupaten
Kepulauan Riau dan Kabupaten Karimun, yaitu:
Sebelah Utara : Selat Singapura
Sebelah Timur : Kecamatan Bintan Utara dan Kecamatan Bintan Selatan,
Kabupaten Kepulauan Riau
Sebelah Selatan : Kecamatan Senayang, Kabupaten Kepulauan Riau
Sebelah Barat : Kecamatan Moro dan Kecamatan Karimun, Kabupaten
Karimun

Kota Batam berada di Laut Cina Selatan dan secara geografis mempunyai
posisi yang strategis karena berada pada jalur pelayaran internasional dan berjarak
12,5 mil laut dengan negara Singapura. Jumlah pulau yang bernama adalah 329
buah dan beberapa pulau belum diberi nama (Lampiran 1). Pulau Nipa sebagai
pulau terluar yang terancam lenyap oleh penggalian pasir dapat menimbulkan
kekhawatiran menyangkut batas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Luas pulau-pulau di Kota Batam adalah 100.453 Ha, luas perairan 144.619
Ha, dan luas total wilayahnya adalah 245.073 Ha. Artinya bahwa persentase luas
perairan wilayah Kota Batam adalah sekitar 59%. Sementara itu, panjang garis
pantainya adalah 1.715 km.
Menurut atlas pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis untuk
perencanaan tata ruang darat, laut, dan dirgantara nasional; Kota Batam termasuk
dalam kelompok paparan benua dan busur belakang.

3.1.2 Kabupaten Sikka


Kabupaten Sikka, Provinsi Nusa Tenggara Timur berada di antara 8º05’ –
8º40’ Lintang Selatan dan 121º39’ – 122º39’ Bujur Timur. Daerah administrasi
Kabupaten Sikka terbagi menjadi dua kelompok besar yaitu daerah administrasi
yang berada di pulau besar (Flores) dan daerah administrasi di pulau-pulau kecil
(Gambar 7).
Kabupaten ini merupakan bagian timur sistem Gunungapi Sunda. Aktivitas
vulkanis masih berlangsung intensif pada sistem ini. Aktivitas tersebut
menghasilkan deretan pulau besar dan kecil yang banyak di antaranya merupakan
pulau vulkanik (Bemmelen, 1970). Menurut atlas pengelompokan pulau kecil
berdasarkan tektonogenesis untuk perencanaan tata ruang darat, laut, dan
dirgantara nasional; Kabupaten Sikka termasuk kelompok busur magmatik.
Pulau-pulau kecil yang tercakup dalam kabupaten ini di antaranya adalah
Pulau-pulau Besar, Pangabatang, Dambila, Babi, Pomana-besar, Pomana-kecil,

51
Sukun, Parumaan, Kondo, dan Palue. Di antara pulau-pulau kecil tersebut, pulau
yang didiami adalah Pulau Palue (374,31 Ha), Pulau Parumaan (64,71 Ha),
Pulau Pomana-Besar (50,9 Ha), dan Pulau Sukun (30,77 Ha). Pulau Babi (88,37
Ha) tidak didiami lagi sejak dilanda bencana tsunami tahun 1992, dan kini
penduduknya tinggal di Nangahale, Pulau Flores. Meskipun sebagian dari
nelayan yang berasal dari Pulau Babi masih tetap mencari ikan dan hasil laut lain
di perairan sekitar Pulau Babi (Lampiran 2).
Berdasarkan perhitungan dari citra Landsat, luas daratan Kabupaten Sikka
adalah 285.622,894 Ha yang meliputi luas pulau kecil 28.407,475 Ha (9,9 %) dan
luas wilayah di Pulau Flores adalah 257.215,419 Ha (90,1 %). Luas lautan
adalah 471.569,969 Ha yang diukur dengan batas 4 mil dari garis pantai pulau-
pulau terluar. Dengan kata lain, wilayah lautan dua kali lebih luas dibandingkan
luas daratannya. Panjang garis pantai di Kabupaten Sikka adalah 444.506,777
meter yang meliputi pantai di Pulau Flores bagian Utara adalah 205.659,01 meter
(46,27%), di Pulau Flores bagian Selatan adalah 156.872,168 meter (35,29%),
dan di pulau-pulau kecil (Pulau-pulau Besar, Pangabatang, Dambila, Babi,
Pomana-besar, Pomana-kecil, Sukun, Parumaan, Kondo, dan Palue) adalah
81.975,599 meter (18,44%).

3.1.3 Kabupaten Sitaro


Kabupaten Sitaro, Provinsi Sulawesi Utara terletak antara 2°00’ – 3°00’
Lintang Utara dan 125°10’ – 125°50’ Bujur Timur dengan ibu kota kabupaten dan
pusat kota di Ulu, Pulau Siau. Kabupaten Sitaro, namanya diambil dari nama pulau
utama yang relatif besar yaitu Siau, Tagulandang, dan Biaro (Gambar 8). Jumlah
pulaunya adalah sekitar 22 buah dan Pulau Makalehi sebagai pulau terluar
berbatasan dengan Philipina (Lampiran 3). Kabupaten Sitaro resmi memisahkan
dari Kabupaten Sangihe pada Tahun 2007. Berdasarkan hasil perhitungan dari citra
Landsat, luas wilayah kepulauan Sitaro adalah 33.624,96 Ha (6,76%), luas laut
dengan batas 4 mil adalah 463.969,788 Ha (93,24%), dan panjang garis pantai
adalah 287.207,675 m. Wilayah ini berbatasan dengan Kabupaten Sangihe dan
Kota Manado, yaitu:
Sebelah Utara : Kabupaten Sangihe
Sebelah Timur : Laut Maluku
Sebelah Selatan : Kota Menado
Sebelah Barat : Laut Sulawesi

52
Gambar 7 Citra Kabupaten Sikka, Landsat RGB 542.

53
Gambar 8 Citra Kabupaten Sitaro, Landsat RGB 542.

Kabupaten Sitaro merupakan bagian timur sistem Gunungapi Sunda. Aktivitas


vulkanis masih berlangsung intensif dan menghasilkan deretan pulau besar dan
kecil yang banyak di antaranya merupakan pulau vulkanik (Bemmelen, 1970).
Menurut atlas pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis untuk
perencanaan tata ruang darat, laut, dan dirgantara nasional; Kabupaten Sitaro
termasuk kelompok busur magmatik. Kabupaten Sitaro mempunyai dua gunungapi
aktif yaitu Gunung Karangetang di Pulau Siau dan Gunung Ruang di Pulau Ruang.

54
3.2 Data dan Peralatan Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
(1) Citra Landsat ETM+, Kota Batam, P/R 125/59 tanggal 11 Mei 1996, 15
April 2001, dan 8 Agustus 2002, kanal 1, 2, 3, 4, 5, 7 dan 8,
(2) Citra Landsat ETM+, Kabupaten Sikka, Path/Row 112/066, tanggal 1 Juni
2002, kanal 1, 2, 3, 4, 5, 7 dan 8,
(3) Citra Landsat ETM+, Kabupaten Sitaro, Path/Row 111/58, tanggal 18 Mei
2002 dan Path/Row 111/59, tanggal 7 September 2002, kanal 1, 2, 3, 4,
5, 7 dan 8,
(4) SPOT-4, daerah Sitaro, tanggal 15 Januari 2007 dan daerah Batam,
tanggal 12 Mei 2006, kanal 1, 2, 3, 4 dan SWIR,
(5) SPOT-5, daerah Batam bagian utara, tanggal 7 April 2003, Pansharpen,
(6) Citra QuickBird, Pulau Bokor dan Pulau Mentiang, Kota Batam tanggal
25 Mei 2006, Pansharpen,
(7) Citra QuickBird, Pulau Babi, Kabupaten Sikka tanggal 19 Mei 2005,
kanal 1, 2, 3, 4 dan 5,
(8) Citra QuickBird, Pulau Pomana, Kabupaten Sikka tanggal 25 Mei 2007,
kanal 1, 2, 3, 4 dan 5,
(9) Citra QuickBird, Pulau Ruang dan Pulau Pasighe, Kabupaten Sitaro
tanggal 2 Agustus 2005, kanal 1, 2, 3, 4 dan 5.
(10) Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) lembar Tanjungpinang dan lembar
Tahuna skala 1:250.000 diterbitkan oleh Bakosurtanal,
(11) Peta Rupa Bumi Indonesia: skala 1:25.000, tahun 1999: lembar Uwa
2207-414 (Pulau Palue), lembar Nebe 2207-611 (Pulau Babi), lembar
Koja Besar 2207-521 dan 522 (Pulau Besar, Pulau Parumaan, dan
Pulau Kondo), dan lembar Pomana 2207-523 (Pulau Pomana)
diterbitkan oleh Bakosurtanal,
(12) Peta Geologi skala 1:250.000, lembar Tanjungpinang oleh Kusnama,
dkk, tahun 2004, lembar Ende, Nusa Tenggara Timur oleh N. Suwarna,
dkk., tahun 1989, dan lembar Sangihe dan Siau, Sulawesi oleh Hanang
Samodra, tahun 1994, diterbitkan oleh Puslitbang Geologi, Bandung,
(13) Peta Lingkungan Pantai, skala 1:1.000.000 diterbitkan oleh
Bakosurtanal,
(14) Peta Pulau-pulau Riau dan Air Pelayaran Sekitarnya skala 1:100.000
tahun 2001 dan Pulau-pulau Riau Selat Bulan skala 1:50.000, tahun

55
1999, Peta Laut Sulawesi, Pulau-pulau Sangihe, skala 1:200.000,
1:50.000, dan 1:25.000; Peta Air Pelayaran dan Tempat Berlabuh sekitar
Flores Pantai Utara, Nusa Tenggara, Lembar II, skala 1:100.000,
1:50.000, dan 1:25.000 tahun 2001; diterbitkan oleh Jawatan Hidro-
Oseanografi,
(15) Atlas pengelompokan pulau kecil berdasarkan tektonogenesis untuk
perencanaan tata ruang darat, laut, dan dirgantara nasional, skala 1:
1.000.000 diterbitkan oleh Pusat Survei Geologi, Bandung,
(16) Data ikan karang daerah Batam untuk mewakli tipe pulau tektonik dan
daerah Sikka untuk mewakili tipe pulau vulkanik dan tipe pulau terumbu,
(17) Data geomorfologi dan penutup lahan pulau-pulau model di Batam,
Sikka, dan Sitaro hasil survei lapangan, dan
(18) Data perikanan dari Dinas Perikanan terkait dan wawancara langsung
dengan nelayan.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
(1) Komputer jenis PC, IBM compatible dengan sistem operasi Microsoft
Windows XP,
(2) Software ER-Mapper versi 6.4,
(3) Arc-Info 3.5, Arc-View versi 3.1,
(4) Adobe Photoshop versi 6.0, dan
(5) Peralatan cek lapangan berupa citra, kamera, GPS, peta, kompas geologi,
notebook, dan peralatan selam.

3.3 Pengumpulan Data


3.3.1 Data pulau kecil dan ekosistem laut
Pengumpulan data pulau kecil dan ekosistem laut dimaksudkan sebagai
pengumpulan data selain citra yang dapat dibedakan menjadi dua, yaitu di
laboratorium dan di lapangan. Kegiatan di laboratorium meliputi pengumpulan data
berupa peta-peta dan data sekunder lain. Pengumpulan data di lapangan dilakukan
melalui kegiatan pra-survei dan survei yang bertujuan untuk pengamatan dan
verifikasi hasil interpretasi.
Jenis dan sumber data yang dikumpulkan seperti diuraikan pada sub bab 3.2.
Peta Geologi dan Peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) dengan skala 1:250.000 relatif
tidak sebanding dengan citra Landsat, sehingga dengan kesenjangan ini peran data
lapangan jadi meningkat. Peta Air Pelayaran memiliki skala bervariasi dan terdapat

56
skala detail untuk daerah-daerah tertentu yang berupa pelabuhan. Dari Peta RBI
dikumpulkan data topografis berupa relief, ketinggian, dan kontur; sedangkan dari
Peta Geologi dikumpulkan data geologis berupa jenis dan struktur batuan. Peta Air
Pelayaran digunakan untuk mengetahui kondisi batimetri perairan laut dangkal di
sekitar pulau.
Data lapangan dikumpulkan sebagai dasar verifikasi akhir identifikasi tipe
pulau dan ekosistem laut sehingga bersifat sebagai pengecekan hasil analisis di
laboratorium. Metode pengumpulan data geomorfologi di lapangan dilakukan
menurut unit lahan (landunit) untuk mewakili karakter biogeofisik lahan pulau kecil
dan ekosistem lautnya. Pengumpulan data lapangan meliputi karakteristik
bentuklahan (landforms) dan kualitas lahan, proses geomorfologi (erosi dan
banjir/aliran lava dan piroklastik), tipe batuan, karakteristik tanah, karakteristik air
permukaan dan air tanah, dan vegetasi alami dan lahan budidaya. Data hasil
pengamatan ini disajikan di Lampiran 10.
Kegiatan di lapangan dilakukan dalam dua tahap, yaitu pra-survei dan
survei, yang keduanya dilakukan pada pulau kecil yang dipilih sebagai daerah
model. Pra-survei dilakukan untuk validasi dan penentuan model pulau kecil yang
mewakili tiga tipe dan tiga ekosistem laut utama, sedangkan survei dilakukan
untuk verifikasi dan validasi hasil identifikasi parameter-parameter penelitian yang
dilakukan di laboratorium. Survei ini selain mengumpulkan bukti-bukti kebenaran
atau ketidakbenaran hasil interpretasi di laboratorium juga untuk melakukan
analisis secara rinci di lapangan, terutama untuk obyek-obyek yang sulit
diinterpretasi dan diidentifikasi di laboratorium.
Data pulau kecil dikumpulkan untuk mewakili tiga tipe pulau yang berbeda
yang digunakan sebagai model tipe pulau kecil untuk diteliti lebih rinci dan detail.
Pulau kecil sebagai model tipe pulau memerlukan data morfologi, morfogenesis,
jenis batuan, struktur batuan, dan relief. Dalam hal ini, pertimbangan aspek
morfogenesis menjadi pertimbangan utama, karena aspek ini mewakili proses-
proses geomorfik yang membentuk keragaman tipe pulau kecil di Indonesia. Selain
itu, setiap tipe pulau kecil dipilih beberapa pulau sejenis sebagai verifikasi yang
digunakan untuk membandingkan tingkat akurasi pengolahan dan analisis. Hal ini
dilakukan karena adanya kemungkinan variasi proses geomorfologis dan kondisi
penutup lahan di atas pulau kecil yang setipe di daerah penelitian. Dengan
demikian setiap tipe pulau kecil memiliki pasangan pulau kecil model dan pulau
kecil verifikasi yang sejenis.

57
Setiap tipe pulau yang dikumpulkan datanya digunakan juga sebagai model
yang mewakili variasi ekosistem laut. Model pulau kecil tipe tektonik dipilih dari
lokasi yang berlainan untuk memperoleh variasi kondisi ekosistem laut. Model pulau
kecil tipe vulkanik dipilih berdasarkan perbedaan tingkat aktivitas vulkanik yaitu
pulau kecil dengan gunungapi aktif sampai dengan pulau kecil tipe vulkanik tidak
aktif yang terdenudasi lanjut. Sementara itu, model pulau kecil tipe terumbu dipilih
berdasarkan perbedaan ukuran pulau. Secara garis besar, pulau-pulau kecil yang
dipilih sebagai model diseleksi berdasarkan pada 1) tipe pulau, 2) kelengkapan
data yaitu citra penginderaan jauh dan peta, 3) variasi proses geomorfologis
yang berlangsung, dan 4) keragaman ekosistem laut.
Pengumpulan data pulau kecil tipe tektonik di Kota/Kabupaten Batam
dikelompokkan menjadi lima yaitu model 1 terdiri atas Pulau Bokor dan Pulau
Mentiang; model 2 meliputi Pulau Jandaberhias dan Pulau Lengkang; model 3
mencakup Pulau Dangsi dan Pulau Calang; model 4 terdiri atas Pulau Awi dan
Pulau Ngenang; dan model 5 adalah Pulau Hantu, dan Pulau Ranu (Gambar 6).
Pengumpulan data pulau kecil tipe vulkanik di Kabupaten Sitaro terdiri atas Pulau
Tagulandang, Pulau Pasighe, dan Pulau Ruang (Gambar 7), dan di Kabupaten
Sikka terdiri atas Pulau Besar, Pulau Palue, Pulau Babi, Pulau Parumaan, dan
Pulau Kondo (Gambar 8). Pengumpulan data pulau kecil tipe terumbu di
Kabupaten Sikka terdiri atas Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil
(Gambar 8).

3.3.2 Data perikanan pantai


Pengumpulan data perikanan pantai dimaksudkan untuk verifikasi hasil
identifikasi karakteristik biogeofisik substrat dasar perairan laut dangkal dari analisis
geomorfologi daratan. Verifikasi ditempuh dengan menganalisis kaitan antara
karakteristik biogeofisik pulau kecil dengan kesehatan perikanan pantai.
Data ikan dikumpulkan melalui penyelaman dengan metode pengukuran
visual (visual measurement assesment), wawancara dengan nelayan dan karyawan
Dinas Perikanan setempat dan instansi terkait, dan dari database atau hasil
laporan. Pengamatan langsung di lapangan melalui penyelaman dengan mencatat
jenis spesies, jumlah tiap spesies, dan ukuran spesies yang dijumpai pada
kedalaman 3 m dan 10 m sepanjang 50 m (Tabel 11).. Ukuran species dibedakan
menjadi empat macam yaitu A: 0-10 cm; B: 10-20 cm; C: 20-30 cm, dan D> 30 cm.
Kedalaman penyelaman dibedakan berdasarkan intensitas sinar matahari yaitu 3 m

58
atau pada bagian lereng atas terumbu atau gudus (reef crest) dan 10 m atau pada
bagian lereng bawah terumbu atau tubir (reef slope) (English and Baker, 1997)
untuk mewakili pertumbuhan terumbu yang baik dan yang kurang baik. Cakupan
daerah pengambilan data menurut jarak lebar pandang penyelam. Hasil
pengumpulan data ikan karang disajikan di Lampiran 11.

Tabel 11 Pengumpulan data ikan

Komposisi ikan Lokasi Cara perolehan


a. jenis spesies Di tiga tipe pulau Penyelaman dan
b. jumlah spesies dengan kondisi wawancara
c. ukuran spesies karakteristik
biogeofisik berbeda

Stasiun pengambilan sampel ikan dipilih di tiga tipe pulau di Kabupaten


Sikka yaitu pulau tipe vulkanik, pulau tipe terumbu, dan pulau tipe atol, dengan
jenis bentuklahan berbeda yang berarti pada kondisi karakteristik biogeofisik
berbeda. Stasiun pengambilan sampel ikan untuk pulau kecil tipe vulkanik dipilih
di Pulau Palue dan Pulau Babi. Pulau Palue adalah pulau kecil tipe vulkanik
ekstrusif dengan gunungapi aktif. Stasiun Pulau Palue-Timur berada di pantai
yang relatif lebih rendah dari gangguan endapan piroklastik dan sampel diambil
hanya pada kedalaman 10 meter karena keterbatasan waktu. Pulau Babi adalah
pulau kecil tipe vulkanik yang dikelilingi oleh bentuklahan terumbu pinggiran
bergoba. Stasiun Pulau Babi Selatan berhadapan dengan bentuklahan terumbu
pinggiran yang sempit dengan pengaruh bentuklahan rawa payau dan
bentuklahan rataan pasang surut. Stasiun Pulau Babi Utara berhadapan dengan
bentuklahan terumbu pinggiran yang lebih lebar (Gambar 9 a dan b).
Stasiun pengambilan sampel ikan untuk pulau tipe terumbu dipilih di Pulau
Pomana-besar di bagian selatan dan barat. Stasiun Pulau Pomana-besar
Selatan berhadapan dengan bentuklahan terumbu pinggiran yang mewakili
perkembangan terumbu tahap awal, sedangkan stasiun Pulau Pomana-besar
Barat berhadapan dengan bentuklahan terumbu paparan bergoba yang mewakili
perkembangan terumbu tahap lanjut (Gambar 9 c).
Stasiun pengambilan sampel ikan untuk pulau tipe atol dipilih di Pulau
Gunung-sari pada dua lokasi. Stasiun Gunung-sari Dalam yaitu berada di bagian
dalam terumbu cincin (atol) dan stasiun Gunung-sari Luar yaitu berada di bagian
luar terumbu cincin. Di bagian dalam terumbu cincin, terumbu karang

59
berkembang berbentuk karung terbuka menghadap ke atas dengan kedalaman
sekitar 30 m, sedangkan di bagian luar terumbu cincin, terumbu karang
berkembang membentuk lereng terjal (Gambar 9 d).

b) Pulau Babi
a) Pulau Palue

d) Pulau
c) Pulau Pomana-besar Gunung-sari
Gambar 9 Lokasi stasiun pengambilan sampel ikan di Kabupaten Sikka.
Lokasi stasiun

3.3.3 Citra penginderaan jauh satelit


Jenis data penginderaan jauh satelit yang dikumpulkan meliputi citra resolusi
menengah yaitu Landsat dan SPOT-4 diperoleh dari LAPAN, serta citra resolusi
tinggi yaitu SPOT-5 dan QuickBird dipesan dari agennya. Citra Landsat dipilih pada
kanal multispektral yaitu kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7, dengan resolusi spasial 30
m dan kanal pankromatik yaitu kanal 8 dengan resolusi spasial 15 m. Citra SPOT-4
dipilih kanal 1, 2, 3, 4 dengan resolusi spasial 20 meter, sedangkan citra berupa
pansharpen dengan resolusi spasial 5 meter. Citra QuickBird digunakan seluruh
kanal yaitu kanal multispektral yaitu kanal-kanal 1, 2, 3, dan 4 dengan resolusi
spasial 2,44 m dan kanal pankromatik yaitu kanal 5 dengan resolusi spasial 0,6 m.
Penggunaan citra SPOT-5 difungsikan untuk mendukung analisis visual,
sedangkan citra QuickBird difungsikan untuk validasi dan verifikasi terhadap citra
Landsat karena kedua citra ini memiliki kisaran panjang gelombang yang sama.
Pengumpulan citra diupayakan dengan persentase liputan awan serendah
mungkin dan kendala ini diselesaikan dengan cara menyeleksi citra dari beberapa
tanggal perekaman yang tersedia. Pemilihan tanggal citra atau waktu perekaman
tidak menjadi pertimbangan utama dalam analisis berbasis geomorfologi karena

60
analisisnya memanfaatkan obyek-obyek di permukaan yang relatif statis. Hal ini
berbeda dengan obyek penutup/penggunaan lahan yang relatif dapat berubah lebih
dinamis. Pulau-pulau kecil dan ekosistem laut yang dipilih sebagai model adalah
daerah dimana citranya tanpa awan agar hasil pengolahan citra dapat
mencerminkan nilai spektral obyek yang sebenarnya. Data tersebut dikumpulkan
dengan pemotongan (cropping) citra dan disimpan dalam bentuk data set untuk
citra kanal multispektral dan citra kanal pankromatik. Dengan demikian terdapat tiga
kelompok data set citra meliputi pulau tipe tektonik, vulkanik, dan terumbu termasuk
di dalamnya ekosistem laut utama yaitu mangrove, terumbu karang, dan lamun.
Tiap daerah model disimpan dalam bentuk data set yang dipisahkan antara
kanal-kanal yang memiliki resolusi spasial berbeda, yaitu untuk data Landsat akan
diperoleh satu set data kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7, dengan resolusi spasial 30
meter, dan satu set data kanal 8 yang mempunyai resolusi spasial 15 meter. Bentuk
data set serupa juga dibuat untuk citra SPOT dan QuickBird. Data set daerah model
digunakan untuk permodelan pengolahan data yaitu fusi dan penajaman serta
untuk analisis karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistem laut.

3.4 Pengolahan Data


3.4.1 Fusi multispektral
Fusi dimaksudkan sebagai penggabungan beberapa kanal yang terdapat
pada citra Landsat ETM+, SPOT-4, dan QuickBird untuk mendapatkan tampilan
citra yang tajam. Fusi dilakukan dalam dua bentuk, yaitu fusi multispektral dan fusi
multispasial. Fusi multispektral adalah penggabungan antar kanal dengan resolusi
spasial sama. Dalam hal ini, untuk citra Landsat menggunakan kanal-kanal 1, 2, 3,
4, 5, dan 7 yang masing-masing memiliki resolusi spasial 30 m. Fusi yang sama
dilakukan pada citra SPOT-4 menggunakan kanal-kanal 1, 2, 3, dan SWIR dengan
resolusi spasial 20 m, sedangkan citra QuickBird menggunakan kanal-kanal 1, 2, 3,
dan 4 dengan resolusi spasial 2,44 m.
Fusi multispektral terbaik diseleksi menggunakan algoritma Optimum Index
Factor (OIF) seperti pada persamaan 1 berikut:

(1)
keterangan: Sk : standar deviasi nilai-nilai spektral pada kanal

61
Abs (rj): nilai absolut koefisien korelasi antara tiap dua dari tiga kanal.
Citra Landsat dengan 6 kanal dapat diperoleh kombinasi 3 (tiga) kanal
sebanyak C36 = 6! / (3!) (6-3)! = 20. Menurut Jensen (1986) dari 20 kombinasi
tersebut hasil yang terbaik untuk interpretasi citra adalah yang memiliki nilai OIF
tinggi. Namun Danoedoro (1996) mengemukakan bahwa bentuk kombinasi yang
memakai kanal 1 atau spektrum biru sebaiknya tidak digunakan untuk tujuan
interpretasi obyek, karena kanal 1 mengandung hamburan yang tinggi sehingga
dapat meningkatkan variasi nilai spektral atau meningkatkan nilai OIF. Berdasarkan
pertimbangan tersebut maka pada penelitian ini dilakukan perhitungan OIF untuk
enam kanal citra Landsat, dan dipilih kombinasi yang mempunyai nilai OIF tertinggi
selain kombinasi dengan kanal 1.
Kombinasi dengan nilai tertinggi ini dapat menyajikan keragaman warna
paling banyak sehingga informasi obyek-obyek dapat diidentifikasi secara optimal.
Keragaman warna terbanyak dari tiga kanal, untuk resolusi radiometrik 8 bit, adalah
sebesar (28)3 = 16.777.216 warna. Kombinasi tiga kanal yang terpilih digunakan
untuk membuat citra komposit warna dengan memasukkan setiap kanal ke dalam
filter merah, hijau, dan biru.
Dari kombinasi 3 kanal terpilih, didapatkan P33 = 3! / (3-3)! = 6 kemungkinan
tampilan citra komposit berwarna. Keenam tampilan citra komposit ini berbeda
dalam warna, tetapi jumlah warna atau jumlah kisaran nilai digitalnya tetap sama.
Dengan kata lain, tingkat kedetailan informasi keenam citra komposit adalah sama.
Dalam hal ini, pada dasarnya kombinasi kanal yang optimal ditentukan oleh terain,
iklim, dan sasaran interpretasi (Sabin, 1997).

3.4.2 Penajaman
Penajaman citra dilakukan sebagai tahap lanjutan setelah diperoleh fusi
multispektral terseleksi. Penajaman citra meliputi semua operasi yang
menghasilkan citra ‘baru’ dengan kenampakan visual dan karakteristik spektral
berbeda (Danoedoro, 1996). Pada tahap ini beberapa jenis penajaman dianalisis
dan kemudian dipilih jenis penajaman terbaik. Kisaran nilai digital setiap obyek
diketahui pada saat proses penajaman citra dikerjakan.
Pada pengolahan data penginderaan jauh dikenal dua jenis penajaman, yaitu
penajaman spektral atau kontras dan penajaman spasial atau filtering. Penajaman
spektral adalah manipulasi citra dengan merentangkan histogram untuk
mendapatkan kecerahan citra. Cara ini disebut juga operasi titik, karena di dalam

62
pemrosesan citra, operasi transformasi warna atau kecerahan dipakai pada setiap
piksel (titik) dari suatu set data independen untuk diaplikasikan pada seluruh piksel
lainnya. Proses penajaman spektral dilakukan dengan memakai model penajaman
yang ada pada perangkat lunak ER-MAPPER 6.4., yang meliputi transformasi linier,
transformasi autoclip, transformasi level-slice, equalisasi histogram, equalisasi
gaussian, transformasi logaritmik, transformasi exponential, dan transformasi nilai
aktual. Setiap transformasi ini menghilangkan 0,5% di kanan dan kiri histogram.
Proses penajaman spasial atau filtering dibagi jadi tiga jenis, meliputi low
pass filter, high pass filter, dan edge detection filter. Filter yang pertama digunakan
untuk menghaluskan kenampakan citra dan filter yang kedua digunakan untuk
menonjolkan perbedaan antar obyek atau perbedaan nilai, kondisi, atau sifat antar
obyek (Danoerdoro, 1996). Filter yang kedua ini biasa digunakan untuk
menajamkan detail tanpa berpengaruh pada bagian frekuensi rendah dari citra.
Adapun filter yang ketiga dipakai untuk menajamkan obyek-obyek yang terletak di
sekitar tepi pada citra (ER-MAPPER 5.5, 1997). Untuk penajaman spasial low pass
filter, dipakai tiga jenis yaitu average 7 x 7, average 3 x 3, dan average diagram.
Untuk penajaman spasial high pass filter dipilih tiga algoritma yaitu sharpen-2,
sharpen-11, sharpedge, sedangkan untuk penajaman spasial edge detection filter
dipilih tiga bentuk algoritma yaitu different, gradien in the x direction, dan gradien in
the y direction.
Algoritma-algoritma yang ada pada ketiga jenis penajaman spasial tersebut
kemudian diterapkan pada model-model penajaman spektral yang telah diseleksi
sebelumnya. Hasil dari proses-proses penajaman ini kemudian diseleksi dan dipilih
satu yang memiliki tampilan visual paling jelas untuk setiap model pulau kecil.
Data SPOT-4 dan QuickBird diolah untuk mendapatkan citra komposit
dengan proses penajaman seperti yang dilakukan pada citra Landsat. Citranya
digunakan sebagai pendukung dan pembanding analisis obyek-obyek di pulau kecil
dan ekosistem laut.

3.4.3 Fusi multispasial


Fusi multispasial merupakan penggabungan kanal-kanal yang memiliki
resolusi spasial berbeda. Pada penelitian ini dilakukan penggabungan antara
komposit kanal multispektral dengan kanal pankromatik. Pengolahan ini disebut
juga sebagai penajaman yaitu dengan meningkatkan resolusi spasial. Pada citra
Landsat ETM+ dilakukan penggabungan kanal-kanal 1, 2, 3, 4, 5, dan 7 resolusi

63
spasial 30 m dengan kanal 8 resolusi spasial 15 m. Pada citra QuickBird dilakukan
penggabungan antara kanal-kanal 1, 2, 3, dan 4 resolusi spasial 2,44 m dengan
kanal 5 resolusi spasial 0,6 m. Pada penggabungan ini, kanal 8 dan kanal 5
(pankromatik) ditempatkan pada bagian “intensity”, sehingga diperoleh suatu
kombinasi Red Green Blue Intensity atau disingkat RGBI (ER-MAPPER 5.5, 1997).
Citra SPOT-4 tidak diperoleh kanal pankromatik sehingga tidak dilakukan fusi
multispasial. Demikian halnya untuk citra SPOT-5 dan citra QuickBird daerah
Batam karena citra yang diperoleh telah diolah (bukan data asli) atau disebut citra
pansharpen.

3.5 Analisis Data


3.5.1 Pulau kecil
Karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistem laut diinterpretasi dari
tampilan citra komposit dari hasil pengolahan citra terseleksi. Tahapan interpretasi
dan analisis adalah identifikasi, delimitasi, dan delineasi bentuklahan. Identifikasi
adalah mengenali bentuklahan atau obyek dan memberikan nama bentuklahan
atau obyek. Delimitasi adalah mencari dan mengenali batas antar bentuklahan atau
obyek pada citra yang diasumsikan mendekati keadaan sebenarnya di lapangan,
sedangkan delineasi adalah menarik garis batas antar bentuklahan atau obyek
tersebut (sebagai hasil delimitasi) untuk disajikan ke dalam bentuk peta
bentuklahan dan menjadi suatu unit dalam deskripsi karakteristik biogeofisik. Satu
unit bentuklahan berupa satu poligon.
Analisis pulau kecil berbasis geomorfologi menggunakan aspek-aspek
morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan morfoarrangement. Analisis ini untuk
mendapatkan kelas bentuklahan pada pulau-pulau kecil dan bentuklahan terumbu
yang dilakukan dengan pendekatan bentang lahan (landscape). Cara pendekatan
ini lebih sesuai karena berdasarkan pada prinsip geomorfologi yang menggunakan
bentuklahan, litologi, dan genesis (proses masa kini dan masa lalu) (Zuidam, 1985).
Metode klasifikasi bentuklahan dilakukan menurut kelas-kelas pada skala 1:50.000
sesuai dengan pedoman teknis pemetaan tematik dasar.

3.5.2 Ekosistem laut


Mangrove
Analisis data mangrove dilakukan secara visual menggunakan unsur-unsur
interpretasi dengan pendekatan analisis geomorfologi, sedangkan analisis digital

64
adalah untuk mendapatkan informasi kualitasnya melalui tingkat kerapatan
vegetasi.
Metode analisis geomorfologi untuk mengenali mangrove dari aspek
morfologi adalah dari bentuk topografi pulau kecil yang berupa dataran.
Bentuklahan yang sesuai untuk pertumbuhan mangrove antara lain bentukan
asal marin dan fluvio-marin. Dari aspek morfoarrangement, mangrove tumbuh
pada atau dekat dengan bentuklahan yang memungkinkan terbentuk air payau,
seperti bentuklahan-bentuklahan delta, rataan pasang surut, dataran pantai, dan
dataran aluvial pantai. Sebaliknya pada bentuklahan cliff dan beting gisik,
mangrove jarang dijumpai. Analisis menggunakan aspek morfoarrangement
pulau kecil memberikan informasi mengenai kemungkinan tumbuh atau tidaknya
mangrove di suatu pesisir. Sementara itu, tipe pulau kecil memberikan informasi
morfogenesis perkembangan mangrove.
Vegetasi mangrove dikenali dari citra komposit RGB kanal terseleksi untuk
mendapatkan perbedaan warna yang tegas antara vegetasi mangrove dengan
vegetasi non mangrove. Kanal yang digunakan adalah kanal 3 (merah) dan kanal
4 (infra merah) dari citra Landsat dan QuickBird. Kanal 3 dan kanal 4 masing-
masing bekerja pada panjang gelombang 0,63 – 0,69 µm dan 0,76 – 0,90 µm
dimana pada selang panjang gelombang tersebut perbedaan kurva pantulan dari
obyek vegetasi dan tanah sangat besar sehingga berguna untuk identifikasi
mangrove.
Perbedaan tingkat kerapatan mangrove dapat dilakukan melalui analisis
indeks vegetasi, dengan menggunakan citra yang areanya telah diidentifikasi
sebagai obyek mangrove. Hal ini penting dilakukan agar indeks kerapatan yang
dihasilkan betul-betul berasal dari vegetasi mangrove. Normalized Difference
Vegetation Index (NDVI) merupakan salah satu cara algoritma yang sering
digunakan untuk menggambarkan kondisi vegetasi di antaranya ”kerapatan”.
Indeks vegetasi ditentukan dengan rumus:

(IR – R)
NDVI =
(IR + R) (2)
keterangan:
NDVI = Normalized Difference Vegetation Index
IR = Nilai digital pada kanal infra merah dekat
R = Nilai digital pada kanal merah

65
Nilai NDVI semakin besar menunjukkan bahwa nilai kehijauan vegetasi
permukaan semakin tinggi. Dalam analisis indeks vegetasi, nilai kerapatan
vegetasi ditentukan dengan melakukan pengklasifikasian ulang (reclassification)
dari nilai hasil perhitungan NDVI dengan mempertimbangkan nilai histogram dan
standar deviasinya. Nilai-nilai tersebut kemudian diklasifikasikan sebagaimana
disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12 Klasifikasi kerapatan vegetasi berdasarkan indeks vegetasi

Kelas Kisaran NDVI Keterangan


0 < 0.01 dan > 0.07 tidak bervegetasi
1 0,01 – < 0,18 sangat jarang
2 0,18 – < 0,32 jarang
3 0,01 – < 0,42 sedang
4 0,42 – < 0,42 lebat
5 0,49 – < 0,70 sangat lebat
Sumber : Danoedoro, 1996

Terumbu karang dan lamun


Terumbu karang dan lamun merupakan obyek yang ada di bawah
permukaan air laut. Analisis geomorfologi terumbu dan lamun dilakukan melalui
interpretasi obyek-obyek secara visual menggunakan unsur-unsur interpretasi.
Metode analisis secara geomorfologis dilakukan dengan pendekatan bentang
lahan dengan aspek-aspek morfologi, morfogenesis, morfokronologi, dan
morfoarrangement. Tampilan terumbu karang dan lamun pada citra satelit
seringkali sulit dibedakan dengan substrat dasar perairan laut dangkal,
kedalaman air, kekeruhan, dan pergerakan permukaan air, karena informasi
yang didapat dari citra awalnya masih tercampur dengan informasi lain.
Dari analisis geomorfologis terumbu bermanfaat untuk memandu analisis
ekologisnya. Analisis ekologis terumbu karang dilakukan untuk mendapatkan
informasi kondisi ekologis terumbu karang, berupa karang mati dan karang hidup
serta kondisi lamun. Analisis ekologis yang dimaksud menggunakan algoritma
Lyzengga (1981) yang dilakukan secara digital menggunakan metode yang
didasari oleh “Model Pengurangan Eksponensial” (Exponential Attenuation

66
Model). Algoritms ini menghilangkan efek kolom air untuk ekstraksi informasi
obyek dasar laut dengan persamaan sebagai berikut:
Lyz = Liˆ + (0,54 Lib - Liˆ) exp -2 kiz (3)
keterangan:
Li = radiasi pada panjang gelombang i
Liˆ = radiasi yang diukur pada laut dalam
Lib = radiasi dasar perairan (0 m), panjang gelombang i
z = kedalaman perairan (m)
ki = koefisien atenuasi dari air pada panjang gelombang i
Persamaan ini telah diturunkan dan diperoleh persamaan sebagai berikut:

Y = [ln(TM 1)] − ⎡⎢⎛⎜ ki ⎞⎟(ln(TM 2) )⎤⎥ (4)


⎣⎝ kj ⎠ ⎦

di mana: Y : Hasil klasifikasi algoritma Lyzengga


TM1 dan TM2 : kanal 1 dan kanal 2 Ladsat.
Koefisien ki dan kj diperoleh dengan cara:

ki
= a + a2 +1
kj

a=
[VarTM 1 − VarTM 2 ]
2 × (Co varTM 1TM 2 )

Pada prakteknya, algoritma pada Formula 4 diubah dari tanda negatif ( - )


menjadi positif ( + ) untuk menghasilkan variasi warna lebih banyak, sehingga
dapat mengenali variasi terumbu karang secara tegas.
Operasi algoritma Lyzengga ditampilkan dalam bentuk tingkat gradasi
warna keabuan (gray scale), dan hasilnya ditampilkan dalam bentuk tingkat
gradasi warna pseudo (pseudo colour ) pada kisaran nilai digital antara 0 - 255.
Gambaran ringkas keseluruhan proses pengolahan data dan analisis data
penginderaan jauh satelit secara skematik ditunjukkan pada Gambar 10.

3.5.3 Perikanan pantai


Analisis perikanan pantai dimaksudkan untuk mengetahui hubungan antara
karakteristik biogeofisik pulau kecil dengan kondisi perikanan pantai. Data ikan

67
dikumpulkan di beberapa stasiun yang mewakili variasi karakteristik biogeofisik
pulau kecil, seperti diuraikan pada sub-bab 3.3.2. Analisis menggunakan indeks
keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi (Odum, 1992), adalah untuk
membuktikan korelasi antara proses degradasi pada suatu bentuklahan di
daratan pulau kecil, bentuklahan terumbu, dan kondisi perikanan pantai.

Analisis Indeks Keanekaragaman (H’)


Analisis ini digunakan untuk mengetahui keanekaragaman jenis biota
perairan. Indeks ini juga untuk mengetahui kesehatan perikanan. Persamaan
yang digunakan untuk indeks ini adalah persamaan Shannon-Wiener.
s H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener....(5)
H’ = - ∑ Pi ln Pi H’ < 1 = stabilitas komunitas biota dalam kondisi tidak
i =1
stabil atau kualitas air tercemar berat
Pi = ni/N
1 < H’ < 3 = stabilitas komunitas biota dalam kondisi
sedang atau kualitas air tercemar sedang
H’ > 3 = komunitas biota dalam kondisi stabil (air bersih)

Analisis Indeks Keseragaman (E)


Indeks ini menunjukkan pola sebaran biota ikan yaitu seragam atau tidak
seragam. Jika nilai indeks relatif tinggi maka keberadaan setiap jenis biota di
perairan dalam kondisi seragam. Nilai indeks berkisar antara 0 - 1. Persamaan
yang digunakan untuk menghitung indeks ini adalah persamaan Shannon-
Wiener.
H E = indeks keseragaman Shannon-Wiener …..(6)
E =
H ' maks H’ maks = ln s (s adalah jumlah spesies)
Nilai indeks: 0 – 1 H’ = indeks keanekaragaman
E = 0 berarti keseragaman rendah

Analisis Indeks Dominansi (C)


Menurut Odum (1971) untuk mengetahui adanya dominansi jenis ikan
tertentu di perairan dapat digunakan indeks dominansi Simpson
2 C = indeks dominansi Simpson..............................(7)
s
⎡ ni ⎤
C= ∑ ⎢ ⎥
i =1 ⎣ N ⎦
ni = jumlah individu jenis ke-i
N = jumlah total individu, S = jumlah genera
Nilai indeks: 0 – 1

68
Citra: Peta : Cek
1.Landsat 1. RBI Lapangan
2.SPOT 2. Geologi
3.QuickBird 3. Pelayaran Input

Analisis
visual Penentuan model pulau kecil
multitingkat
Pulau tektonik Pulau vulkanik Pulau terumbu

Algoritma Algoritma Uji fusi multispektral


Lyzengga NDVI

Penajaman Pemfilteran
Kelas: karang Tingkat
hidup, karang kerapatan
mati, lamun mangrove Uji multispasial

Teknik pengolahan
citra terseleksi

Analisis geomorfologi pulau


dan ekosistem laut

Kondisi biofisik/
Kondisi biofisik/
bentuklahan
bentuklahan pulau
ekosistem laut
Analisis kondisi
ekosistem laut Analisis kaitan
(terumbu karang, bentuklahan
lamun, mangrove) Proses

Output

Identifikasi ekosistem laut


berdasarkan tipe pulau

Pengelompokan
pulau kecil

Gambar 10 Diagram alir pengolahan dan analisis data penginderaan jauh satelit.

69
4 HASIL PENELITIAN

4.1 Pulau Kecil dan Ekosistemnya


4.1.1 Tipe Tektonik
Hasil analisis geomorfologi di daerah model, diketahui bahwa pulau-pulau
kecil tipe tektonik dapat diidentifikasi terutama dari aspek morfoarrangement atau
susunan keruangan sekelompok pulau-pulau kecil, berupa pola igir memanjang dan
dari aspek morfologi berupa bentuk yang beragam. Unsur interpretasi pola dari
sekelompok pulau-pulau kecil menjadi petunjuk dalam mengenalinya sebagai
pulau kecil tipe tektonik. Hasil analisis geomorfologi secara keseluruhan diperoleh
bahwa pulau-pulau kecil di kepulauan Kota Batam termasuk kriteria tipe tektonik.
Di kepulauan Kota Batam, dijumpai beberapa pulau kecil berbentuk melingkar
(Gambar 30 b) yang menyerupai bentuk pulau kecil tipe vulkanik, tetapi bentuk
melingkar ini terbentuk oleh mangrove. Beberapa pulau kecil yang melingkar dapat
diidentifikasi dari citra Landsat. Di sisi lain, dari Peta Geologi ditunjukkan adanya
batuan vulkanik yang tersingkap di Pulau Batam bagian utara, berupa granit yaitu
batu beku dalam. Keberadaan batu vulkanik ini bukan indikasi untuk pulau kecil tipe
vulkanik, karena proses magmatik yang pernah berlangsung bukanlah proses
utama terbentuknya pulau. Kedua hal tersebut merupakan contoh yang perlu
diamati secara khusus dalam identifikasi tipe pulau kecil.

4.1.1.1 Bentuklahan model pulau kecil


Hasil analisis geomorfologi dari aspek morfogenesis, bentuklahan yang
berkembang di pulau-pulau Batam, Rempang, dan Galang (Barelang) dapat
dikelompokkan menjadi bentuklahan-bentuklahan asal proses 1) vulkanik/
magmatik, 2) tektonik/struktural, 3) fluvial, 4) marin, 5) organik, dan 6)
antropogenik.
Bentuklahan-bentuklahan magmatik yang berkembang di Pulau Batam
adalah berupa perbukitan berbatuan granit yang persebarannya menempati
daerah Nongsa, Batuampar, dan Pulau Tanjungsauh di sebelah Timur Pulau
Batam. Perbukitan dicirikan dengan relief bergelombang dengan permukaan
yang relatif luas dan tumpul, mempunyai elevasi tidak lebih dari 200 m (169 m,
peta pelayaran Indonesia skala 1:50.000) dari permukaan air laut, dan amplitudo
perbedaan ketinggian yang tidak lebih dari 50 m. Pada daerah ini, permukaan
tanah banyak dicirikan oleh tekstur pasir sebagai hasil proses pelapukan batu
granit berupa disintegrasi yang menghasilkan mineral-mineral lepas. Dari hasil
proses pelapukan membentuk tanah dengan solum tanah bervariasi dari sedang
hingga agak dalam (40 - 60 cm), tetapi kedalaman menjadi agak dangkal pada
bagian puncak (30 cm). Di bagian pesisir pantai endapan pasir kelabu-kehitaman
dari granit ini membentuk gisik pasiran yang sebagian digunakan sebagai tempat
rekreasi di Nongsa.
Bentuklahan-bentuklahan tektonik (struktural) yang paling banyak
ditemukan adalah dari struktur lipatan. Berdasarkan hasil pengamatan lapangan
pola-pola igir yang secara umum memanjang dengan arah Baratlaut merupakan
igir-igir homoklinal atau hogback (Gambar 11 b dan c) dengan kemiringan dip
bervariasi dari 10° - 20°. Bentuklahan ini berselingan dengan lembah-lembah
subsekuen yang mengikutinya. Pola seperti ini berkembang pada wilayah
berbatuan sedimen yang secara umum terdiri atas perselingan antara batupasir,
batulempung, dan konglomerat. Berdasarkan struktur peneplain yang didominasi
oleh lipatan, maka pulau-pulau kecil yang terbentuk di perairan ini lebih banyak
yang berupa igir-igir homoklinal. Pola igir hogback yang membentang dengan
arah Baratlaut ini secara umum juga menunjukkan arah sumbu lipatan yang
terbentuk.
Pulau-pulau yang terdapat di Pelataran Sunda (Sunda shelf) adalah bagian
dari peneplain yang tidak tenggelam oleh air laut. Ini berarti bahwa Barelang juga
merupakan igir-igir peneplain tersebut. Dari peta batimetrik yang dibuat oleh
British Admiralty Chart no. 2757, terlihat bahwa Kepulauan Barelang-Bintan
sebenarnya merupakan salah satu semenanjung purba di pantai Timur Sumatra.
Bentuklahan fluvial di Barelang menempati wilayah yang tidak luas,
terutama berkembang di daerah lembah-lembah sungai dan lembah antar
perbukitan yang terkadang merupakan daerah rawa-rawa. Material yang
diendapkan pada dataran aluvial di kepulauan ini kebanyakan berupa material
pasir yang berasal dari pelapukan batupasir atau batu granit.
Bentuklahan-bentuklahan asal proses marin lebih banyak didominasi oleh
dataran pasang surut (tidal flat) yang banyak ditumbuhi oleh hutan mangrove di
tepian pulau-pulau kecil. Pada bentuklahan ini, yang dinamakan lahan gambut,
material yang diendapkan berbutir halus atau berupa lumpur. Bentuklahan lain
seperti gisik pasir (sand beach) dapat juga dijumpai di beberapa pulau kecil.
Sebagian besar material pasir ini bukan berasal dari kiriman material sungai yang
kemudian dibawa oleh arus sepanjang pantai (longshore current), tetapi lebih

71
sebagai proses abrasi gelombang terhadap batupasir yang tersingkap di tepi
pantai, seperti dijumpai di pantai Pulau Jandaberhias (Gambar 11 e) dimana
pasir-pasir tersebut diendapkan di sepanjang garis pantai tersebut.

a) Mangrove dan permukiman di b) Hogback di bagian Utara


Pulau Lengkang Pulau Bokor

c) Pulau Mentiang dengan dominasi


mangrove yang membentuk pulau d) Ujung penunjaman antiklin di
jadi melingkar, tampak hogback pantai Pulau Abang-kecil

e) Pantai berpasir di Pulau Janda- f) Perairan laut dangkal di Pulau


berhias Hantu

g) Pertumbuhan terumbu karang di h) Mangrove dan lamun jenis


Pulau Lengkang Enhalus di Pulau Air-manis

Gambar 11 Foto pulau-pulau kecil tipe tektonik.

Terumbu karang tampak tumbuh di kepulauan Batam ini meskipun tidak


merata dan terumbu karang yang mati sering muncul ke permukaan pada saat
air laut surut, seperti yang terjadi di Pulau Hantu (Gambar 11 f). Di kepulauan ini

72
terumbu karang tumbuh di atas batuan dasar peneplain yang terendam air laut,
seperti batupasir, batulempung, atau konglomerat, dan terkadang terumbu ini
dapat menghubungkan satu pulau dengan pulau di dekatnya dengan membentuk
sebuah perairan laut dangkal seperti yang terjadi di Pulau Hantu.
Bentuklahan asal proses organik yang dijumpai di pulau-pulau kecil tipe
tektonik adalah bentuklahan terumbu dan lahan gambut. Bentuklahan terumbu
terbentuk oleh karang dan bentuklahan lahan gambut terbentuk oleh mangrove.
Bentuklahan terumbu yang terbentuk merupakan bentuklahan terumbu paparan
dinding yang tumbuh pada batuan dasar peneplain. Perbedaan tingkat
perkembangannya dipengaruhi oleh kondisi hidrologinya.
Bentuklahan asal proses antropogenik banyak ditemukan khususnya di
Pulau Batam, karena pulau ini merupakan pulau yang paling intensif dikelola oleh
manusia. Hasilnya adalah di pulau ini banyak terjadi perubahan bentuklahan dan
penggunaan lahan. Perubahan bentuklahan terutama disebabkan oleh Cut and
Fill atau pemotongan perbukitan dan pengurugan pada daerah cekungan serta
reklamasi daerah pesisir. Kegiatan ini dilakukan berkaitan dengan kebutuhan
lahan untuk penataan ruang seperti yang telah direncanakan khususnya yang
berkaitan dengan kegiatan ekonomi. Hal ini terjadi karena di pulau ini
dicanangkan program percepatan pembangunan Pulau Batam (Otorita Batam)
yang dijadikan sebagai pusat kegiatan ekonomi internasional sejak era tujuh
puluhan. Perataan relief ini untuk memenuhi kemudahan pembangunan
infrastruktur dan kebutuhan lahan untuk permukiman, industri, perkantoran,
perdagangan, dan sebagainya, termasuk pengurugan daerah tepi pantai atau
reklamasi. Oleh sebab itu, bentuklahan di Pulau Batam banyak mengalami
perubahan besar dalam waktu yang relatif singkat (tahunan) oleh manusia
sebagai tenaga geomorfik yang memodifikasi permukaan bumi dibandingkan
oleh proses alami yang dapat memakan waktu ribuan/jutaan tahun.
Analisis geomorfologi untuk memberikan gambaran lebih detail tentang
karakteristik biogeofisik pulau kecil tipe tektonik dipilih Pulau Lengkang dan
sekitarnya yang meliputi Pulau Gerit, Pulau Ladang, Pulau Anakladang, Pulau
Resol, dan Pulau Jagung. Hasil klasifikasi bentuklahan secara visual ditampilkan
dalam bentuk peta bentuklahan seperti yang disajikan pada Gambar 12. Pulau
Lengkang dikelilingi oleh perairan laut dangkal dan di sisi barat menghadap laut
lepas mempunyai kedalaman lebih dari -50 m (Gambar 13).

73
Gambar 12 Peta bentuklahan Pulau Lengkang.

Gambar 13 Peta kedalaman laut Pulau Lengkang dan sekitarnya.

74
Secara deskriptif, geomorfologi Pulau Lengkang dan pulau-pulau kecil di
sekitarnya memiliki morfologi berbukit. Bentuklahan perbukitan antiklinal dijumpai
di Pulau Anak-ladang, sedangkan perbukitan lipatan dijumpai secara dominan
pada daratan pulau-pulau kecil ini. Bentuklahan dataran aluvial pantai terbentuk
dari proses fluvial yang mengendapkan material dari perbukitan yang tererosi,
sedangkan dataran pasang surut terbentuk dari proses marin yang
mengendapkan material lumpur-pasiran hasil dari proses abrasi air laut. Selain
itu juga dijumpai bentuklahan teras marin yang dulunya merupakan bagian
paparan yang terendam air laut. Mangrove dan lamun berkembang dengan baik
meskipun lamun hanya dijumpai di beberapa tempat yang lebih terlindung.
Sementara itu, terumbu karang tumbuh pada batuan dasar peneplain pada
kondisi kurang bagus. Perkembangan ketiga ekosistem laut di sini terganggu
oleh adanya permukiman di Pulau Lengkang dan jalur pelayaran internasional
antara Batam dan Singapura.

4.1.1.2 Karakteristik biogeofisik


Hasil analisis geomorfologis dari aspek morfoarrangement, keadaan umum
Pulau-pulau Batam, Rempang, dan Galang atau disebut sebagai Kepulauan
Barelang dicirikan oleh pola memanjang, dari Pulau Batam hingga Pulau Galang,
dengan arah umum Baratlaut (NW). Pola ini berasal dari bentuklahan struktural
yang berkembang di atas pulau-pulau tersebut dari morfologi igir-igir perbukitan
yang memanjang dengan arah umum ke Baratlaut. Pola ini dapat dilihat dengan
jelas dari citra Landsat yang digunakan.
Secara umum morfologi Kepulauan Barelang didominasi oleh relief
perbukitan, sedangkan daerah dataran relatif sempit, berupa dataran aluvial
antar perbukitan. Namun demikian, pada kenyataannya sekarang di Pulau Batam
banyak dijumpai daerah-daerah yang mempunyai relief datar. Daerah-daerah
datar ini bukan dihasilkan oleh bentukan alam, akan tetapi oleh proses
antropogenik dimana manusia sebagai tenaga perubah bentuk permukaan bumi.
Kegiatan manusia ini berupa pemotongan bukit dengan alat-alat berat.
Pantai yang terbentuk pada pulau-pulau kecil tipe tektonik dipengaruhi oleh
singkapan batuan di pantai. Ada dua hal utama yang membedakan jenis pantai di
sini ditinjau dari singkapan batuannya yaitu kemiringan dip struktur batuan di pantai
dan jenis batuan yang tersingkap. Kondisi tersebut membentuk jenis pantai
bervariasi berupa pantai terjal, landai, dan datar. Pantai terjal biasanya berbatu dan

75
pada perairan laut dangkalnya tumbuh terumbu karang, dimana semakin baik
kondisi hidrologinya/air laut maka semakin baik pula terumbu karangnya. Pantai
landai biasanya berbatu atau berpasir. Pantai landai berbatu pada kondisi hidrologi
yang sesuai akan tumbuh terumbu karang, sedangkan pantai berpasir sesuai untuk
mangrove dan lamun. Pantai datar kemungkinan berbatu, berpasir, atau berlumpur.
Pantai datar berbatu dapat tumbuh terumbu karang, mangrove, atau lamun
tergantung posisi pulau yang berarti kondisi hidrologinya. Pantai berpasir terbentuk
dari abrasi batupasir atau batu granit yang tersingkap di pantai. Secara gradual,
komposisi ukuran butir batuan di pantai datar ini membentuk variasi pertumbuhan
ekosistem laut yaitu antara terumbu karang, mangrove, dan lamun yang
dipengaruhi oleh posisi pulau kecil. Selain itu, pulau-pulau kecil di daerah ini tidak
dijumpai muara sungai dengan muatan sedimen tinggi.
Pantai dengan proses abrasi intensif akan membentuk lahan pasang surut
atau gisik pantai dengan material lumpur ataupun pasir tergantung jenis batuan
yang tersingkap. Jika pantai didominasi oleh endapan aluvial serta endapan
sedimen halus dapat menyebabkan kekeruhan pada perairan laut dangkal.
Faktor lain adalah jalur pelayaran yang dapat memperburuk kondisi terumbu
karang. Contoh, di Pulau Lengkang, Batam bagian utara yang dekat dengan jalur
pelayaran domestik dan internasional menunjukkan bahwa kondisi terumbu
karang lebih buruk dibandingkan dengan di Pulau Abang, Batam bagian selatan
yang jauh dari jalur pelayaran. Aktivitas pelayaran ini mempengaruhi kualitas
perairan.

4.1.1.3 Pengolahan data


Karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil tipe tektonik dapat dimunculkan
dari citra Landsat dengan kombinasi kanal 234 dan 345 (Tabel 13). Hasil
perhitungan OIF, dari 10 model pulau kecil tipe tektonik, diperoleh bahwa
kombinasi kanal 234 dan 345 sering muncul dengan nilai tertinggi. Oleh
karenanya, kombinasi kanal 234 dan 345 ini adalah merupakan hasil fusi
multispektral terseleksi untuk pulau kecil tipe tektonik. Perbedaan kombinasi
kanal, dari 10 model pulau kecil tipe tektonik, secara umum dipengaruhi oleh
perbedaan pertumbuhan ekosistem laut. Perbedaan ekosistem laut ini
dipengaruhi oleh posisi/lokasi pulau kecil serta perbedaan tipe batuan di pantai.
Hal inilah yang menjadikan perbedaan karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil
tipe tektonik di daerah penelitian.

76
Tabel 13 Kombinasi kanal citra Landsat model pulau kecil tipe tektonik

No Nama pulau Kombinasi Posisi pulau


1 Bokor 345 Di bagian utara & terlindung
2 Mentiang 345 Di bagian utara & terlindung
3 Janda-berhias 234 Di jalur pelayaran
4 Lengkang 245 Di jalur pelayaran
5 Dangsi 345 Di tengah-tengah kepulauan
6 Calang 234 Di tengah-tengah kepulauan
7 Awi 234 Di bagian timur
8 Ngenang 234 Di bagian timur
9 Hantu 235 Berada jauh dari pulau-pulau lain
10 Ranu 234 Berada jauh dari pulau-pulau lain
Sumber : Hasil pengolahan data dengan formula 1.

Nilai OIF yang diperoleh pada dasarnya berasal dari kisaran nilai digital
yang merupakan cerminan karakteristik biogeofisik pulau kecil. Contoh urutan
nilai OIF salah satu model yaitu Pulau Lengkang ditunjukkan pada Lampiran 4.
Berdasarkan kombinasi kanal terseleksi dibuat enam citra komposit dan
citra komposit yang dipilih ditunjukkan pada Gambar 14 a dan e untuk Landsat.
Perbandingan antara Gambar 14 a dan e dari citra Landsat dengan Gambar 14 c
dan f dari citra SPOT-5, menunjukkan bahwa morfologi pulau dapat dikenali
dengan jelas dari citra Landsat resolusi spasial 30 m. Bahkan, dari 10 model
pulau kecil, pulau paling kecil yaitu Pulau Mentiang (2,34 Ha) yang berbentuk
melingkar tetap dapat dikenali.
Hasil seleksi jenis penajaman spektral adalah autoclip (Tabel 14),
sedangkan hasil seleksi jenis filter adalah high-pass sharpen 2 untuk model
pulau-pulau kecil tipe tektonik (Tabel 15). Meskipun demikian, perbedaan jenis
filter dan jenis penajaman juga dijumpai di antara model pulau-pulau kecil.
Sebagai contoh, citra komposit hasil penajaman dan pemfilteran autoclip sharpen
2 ditunjukkan pada Gambar 14 d.
Penajaman autoclip dan filter high-pass sharpen 2 terseleksi sebagai jenis
penajaman karena modelnya memiliki penutup lahan relatif homogen. Ukuran
pulau yang kecil dan batuan dasar penyusun pulau kecil tipe tektonik merupakan
faktor yang mempengaruhi homogenitas yang terbentuk. Penajaman autoclip
menghilangkan 0,5% nilai digital di kanan kiri, sedangkan filter high-pass sharpen
2 menggunakan jumlah kernel paling sedikit yaitu 3 kernel. Dengan penajaman
dan pemfilteran ini morfologi pulau kecil tipe tektonik dan obyek-obyek yang ada
di perairan laut dangkal menjadi lebih jelas dan tajam.

77
Tabel 14 Hasil penajaman pada model pulau kecil tipe tektonik

Penajaman
Pulau Linear Auto- Level- Equalizer Gaussian Default
clip slice Log.
Bokor + ++ + + + +
Mentiang + ++ + + + +
Jandaberhias + + + ++ + +
Lengkang + + + + ++ ++
Dangsi + + ++ + + +
Calang ++ ++ ++ + ++ +
Awi + +++ + +++ ++ +
Ngenang ++ +++ + ++ ++ +
Hantu + ++ + ++ ++ ++
Ranu + + + + ++ ++
Keterangan:
- : tidak jelas ++ : jelas ++++: paling jelas
+ : kurang jelas +++ : sangat jelas
Sumber : Hasil pengolahan data dengan Software ER-Mapper 6.4.

Tabel 15 Hasil pemfilteran pada model pulau kecil tipe tektonik

Filter
low pass high pass edge detection
Pulau average average Sharpen Sharp Gradien Gradien
3x3 diagonal 2 edge in the x in the y
direction direction
Bokor + ++ + + + +
Mentiang + ++ + + + +
Jandaberhias ++ ++ ++ + - +
Lengkang +++ + ++ + + +
Dangsi + + ++ + +
Calang + + +++ + - +
Awi ++ ++ +++ + - -
Ngenang ++ ++ +++ + - +
Hantu ++ ++ ++++ + - -
Ranu + ++ ++ - - -
Keterangan:
- : tidak jelas ++ : jelas ++++ : paling jelas
+ : kurang jelas +++ : sangat jelas

Sumber: Hasil pengolahan data dengan Software ER-Mapper 6.4.

Hasil fusi multispasial membuat tampilan morfologi pulau-pulau kecil tipe


tektonik menjadi lebih jelas dan tajam, seperti Gambar 14 b yang lebih jelas
dibandingkan dengan Gambar 14 a. Peningkatan kejelasan dan ketajaman obyek

78
disebabkan oleh perubahan resolusi spasial dari 30 m menjadi 15 m. Pada citra
SPOT-5 pansharpen dengan resolusi spasial 2,5 m, dapat dibandingkan
perbedaan ketajaman antara Gambar 14 c dan 14 d. Hal ini menunjukkan bahwa
fusi multispasial berfungsi meningkatkan kejelasan atau ketajaman tampilan
morfologi dan obyek-obyek pulau kecil tipe tektonik. Namun, fusi multispasial
membuat ketajaman perairan laut dangkal justru berkurang, seperti ditunjukkan
pada perbedaan antara Gambar 14 a dengan 14 b.

a) Pulau Lengkang dan sekitarnya, b) Pulau Lengkang dan sekitarnya,


Landsat RGB 542 resolusi 30 m RGBI 5428, resolusi 15 m

c) Pulau Lengkang, SPOT-5 d) Pulau Lengkang RGB 542


resolusi 2,5 m autoclip sharpen 2, resolusi 30 m
lamun

Dangkalan

e) Pulau Bokor, f) Pulau Bokor, g) Landsat RGB 421, warna


Landsat RGB 543 SPOT-5 biru terang adalah habitat
resolusi 30 m resolusi 2,5 m terumbu karang

Gambar 14 Citra komposit model pulau kecil tipe tektonik.

Citra komposit terseleksi untuk mangrove adalah RGB 453 yang dipilih dari
pengamatan secara visual terhadap 12 citra komposit. Ke-12 citra komposit
dibangun berdasarkan hasil kombinasi kanal terseleksi 234, yaitu RGB 234, 243,

79
342, 324, 423, dan 432. Demikian pula pada kombinasi kanal 345 juga diperoleh
6 komposit. Penempatan kanal 4 yang sensitif terhadap vegetasi pada layer Red,
menampilkan warna merah bata yang diidentifikasi sebagai mangrove. Hasil
seleksi di antara citra komposit RGB 321, 421, 521, atau 721, diketahui bahwa
komposit RGB 421 paling tajam menampilkan obyek-obyek di perairan laut
dangkal. Hasil seleksi citra komposit yang sesuai untuk identifikasi lamun adalah
RGB 421.
Pada data Landsat kanal 1 dan 2, nilai digital lamun berada di antara
terumbu karang dan mangrove (Tabel 16). Berdasarkan nilai digital tidak
diperoleh nilai yang spesifik untuk lamun pada kanal 1, 2, 3, dan 4. Karakteristik
nilai digital mangrove, terumbu karang, dan lamun pada kanal 1, 2, 3, dan 4 citra
Landsat dapat dibedakan seperti ditunjukkan pada Tabel 16. Nilai digital
mangrove pada kanal 4 jauh lebih tinggi dibandingkan terumbu karang dan
lamun. Nilai digital terumbu karang pada kanal 1 dan 2 lebih tinggi daripada
lamun dan nilai keduanya lebih tinggi daripada mangrove.

Tabel 16 Nilai digital mangrove, terumbu karang, dan lamun di Pulau Lengkang

Kanal Mangrove Terumbu karang Lamun


1 77 - 83 90 – 120 84 – 91
2 55 – 66 65 – 108 61 – 68
3 42 – 57 47 – 113 49 – 54
4 62 - 77 14 - 55 17 - 25
Sumber : Hasil pengolahan data Landsat dengan software Er-Mapper.

80
4.1.2 Tipe Vulkanik
Hasil analisis geomorfologi di daerah model, diketahui bahwa dari aspek
morfologi, pulau kecil tipe vulkanik dikenali berupa pegunungan, perbukitan, dan
dataran. Bentuklahan lereng gunungapi terdenudasi dengan pola aliran radial juga
merupakan aspek morfologi untuk identifikasi pulau kecil tipe vulkanik. Sementara
itu, dari aspek morfoarrangement pulau-pulau kecil tipe vulkanik membentuk suatu
kelurusan sebagai cermin dari jalur magmatik. Pulau kecil tipe vulkanik dikenali
terutama dari kunci interpretasi unsur bentuk dan lokasi, yaitu bentuk melingkar
atau bentuk lain dari deformasi melingkar dan lokasi di samudra.
Pulau kecil tipe vulkanik yang tidak berbentuk melingkar adalah hasil proses
denudasi tahap lanjut. Dalam hal ini, identifikasinya dilakukan dengan mengenali
bentuklahan asal vulkanik seperti kawah atau torehan dengan pola radial. Namun,
pulau kecil tipe vulkanik dengan topografi datar, ciri-ciri tersebut sulit diidentifikasi
dari citra satelit. Salah satu solusinya adalah dengan cek lapangan. Kasus ini
diperkirakan banyak dijumpai terutama untuk pulau-pulau sangat kecil.

4.1.2.1 Bentuklahan model pulau kecil


Hasil analisis geomorfologi dari aspek morfogenesis, bentuklahan pulau-
pulau kecil tipe vulkanik yang berkembang di Kabupaten Sikka dan Kabupaten
Sitaro dapat dikelompokkan menjadi bentuklahan-bentuklahan asal proses 1)
vulkanik/magmatik, 2) fluvial, 3) marin, dan 4) organik.
Bentuklahan-bentuklahan magmatik/vulkanik yang berkembang di pulau-
pulau kecil di daerah penelitian adalah gunungapi dengan kondisi dari sangat
aktif sampai kondisi tidak aktif dalam kurun waktu sangat lama. Pulau-pulau di
Kabupaten Sikka berada pada suatu kelurusan, seperti deretan Pulau Palue, atol
Gosong-goni, dan Pulau Babi yang berada pada suatu kelurusan di tengah Laut
Flores. Di sebelah Selatan ada kelurusan yang menghubungkan Pulau Besar
dan deretan gunungapi di Pulau Flores. Pulau-pulau di Kabupaten Sitaro berada
pada suatu kelurusan dengan arah umum ke Utara – Selatan dan membentuk
tiga kelompok pulau yaitu Siau, Tagulandang, dan Biaro. Pulau Makalehi berada
jauh dari kelurusan tersebut yaitu di bagian Barat Pulau Siau. Seperti diuraikan
pada Bab 3, Kabupaten Sitaro mempunyai dua gunungapi aktif yaitu Gunung
Karangetang di Pulau Siau dan Gunung Ruang di Pulau Ruang. Kepulauan Sitaro
adalah bagian dari busur magmatik Kepulauan Sangihe. Morfologi umum pulau-
pulau berupa pegunungan dan perbukitan.

81
Bentuklahan kawah sebagai ciri gunungapi banyak dijumpai yang berada di
ketinggian seperti di Pulau Siau (Gunung Karangetang, 1.827 m), Pulau Ruang
(Gunung Ruang, 868 m), dan Pulau Palue (Gunung Rokatenda, 863 m) dan ada
kawah yang berupa danau seperti di Pulau Sukun, Kabupaten Sikka dan di Pulau
Makalehi, Kabupaten Sitaro. Morfologi kawah yang terdenudasi dapat dikenali
dari citra Landsat seperti di Pulau Besar dan Pulau Tagulandang. Bentuklahan
perbukitan vulkanik banyak dijumpai pada pulau-pulau kecil tipe vulkanik yang
secara umum disebabkan oleh proses deformasi lanjut dari tubuh vulkanik
asalnya. Bentuklahan ini dicirikan oleh pola torehan yang khas pada gunungapi
yaitu bertekstur halus cerminan sedikit torehan untuk material lava, atau
bertekstur kasar cerminan banyak torehan untuk material piroklastik. Sebagai
contoh, Pulau Babi yang tersusun secara dominan oleh batuan breksi andesit
(lava) bertekstur halus dan Pulau Palue yang tersusun secara dominan oleh
batuan tufa dan pasir (piroklastik) bertekstur kasar.
Di Kabupaten Sikka dijumpai Gosong-goni berbentuk melingkar dengan
kedalaman + 30 m dan mempunyai outlet di sebelah Timur. Besar kemungkinan
bentuklahan terumbu karang ini tumbuh mengikuti pola batuan dasarnya
(substrat) yang berupa tubuh vulkanik yang berada di bawah permukaan air laut.
Tubuh gunungapi ini mungkin telah terhenti pertumbuhannya sebelum mencapai
permukaan atau bisa juga berupa bekas tubuh gunungapi yang telah hancur oleh
letusannya sendiri hingga terendam oleh air laut. Terumbu ini secara
morfogenesis disebut atol yang merupakan tahap akhir perkembangan
bentuklahan terumbu samudra. Gosong-goni ini dijumpai pada kelurusan antara
Pulau Palue dan Pulau Konga, dan dengan posisi ini memperkuat dugaan bahwa
Gosong-goni adalah atol. Pulau kecil Gunungsari (0,393 Ha) terbentuk di
Gosong-goni sebagai hasil dari akresi pantai dengan elevasi pulau berkisar
antara 1 – 1,5 meter dpal. Material penyusunnya adalah hancuran koral mati
(rampat).
Bentuklahan fluvial berupa dataran aluvial pantai terbentuk tapi relatif
sempit. Proses fluvial dan fluvio-vulkanik di pulau-pulau yang terbentuk dari
gunungapi aktif jenis strato memiliki proses eksogen yang berlangsung intensif
dan memicu terjadinya longsor lahan. Efek dari aktivitas gunungapi dan longsor
lahan yang intensif menyebabkan pertumbuhan terumbu karang terkendala yang
terjadi di sekeliling pulau.

82
b) Kapal nelayan di pantai berpasir
a) Singkapan batuan breksi andesit hasil rataan pasang surut yang
di sisi Barat Pulau Babi semula permukiman di Pulau Babi

d) Pola pertumbuhan terumbu karang


c) Gisik dan tebing pantai di Pulau di pulau kecil tipe vulkanik
Ruang dari sisi Timur di Pulau Tagulandang, Sitaro

e) Asosiasi mangrove dan lamun f) Padang lamun jenis Thalasia di


jenis Enhalus di Pulau Pasighe Pulau Pasighe

Gambar 15 Foto perairan laut dangkal pulau kecil tipe vulkanik.

b) Pulau Biaro,
a) Pulau Dambila, Landsat Landsat RGB 543
RGB 542 bertekstur halus bertekstur kasar

Gambar 16 Pulau vulkanik terdenudasi dengan morfologi tidak melingkar.

83
Bentuklahan asal proses marin yang banyak dijumpai adalah gisik dengan
material endapan hasil letusan gunungapi berupa batu dan pasir. Bentuklahan
lain seperti rataan pasang-surut dapat dijumpai di beberapa pulau dengan
material hancuran koral. Proses marin ini membentuk pantai berpasir dan pada
pantai ini seringkali tersusun oleh material campuran antara hancuran koral dan
endapan piroklastik.
Bentuklahan asal organik untuk terumbu yang berkembang adalah terumbu
samudra (oceanic reefs) yaitu terumbu pinggiran, terumbu penghalang, dan atol.
Terumbu pinggiran banyak dijumpai di perairan laut dangkal di sebagian besar
pulau vulkanik, sedangkan terumbu penghalang hanya terbatas seperti dijumpai
di Pulau Besar bagian Barat. Perkembangan pembentukan terumbu bervariasi di
antara pulau-pulau kecil tipe vulkanik. Perbedaan tingkat perkembangan
bentuklahan terumbu berkorelasi terbalik dengan tingkat aktivitas vulkanik yaitu
semakin tinggi aktivitas gunungapi semakin terkendala perkembangan terumbu.
Contoh hasil identifikasi bentuklahan terumbu secara visual disajikan pada peta
bentuklahan pulau-pulau model. Sementara itu, bentuklahan asal organik untuk
lahan gambut dijumpai di daerah yang terlindung, seperti halnya dengan lamun.
Ekosistem mangrove dan lamun yang berkembang dengan baik di daerah
penelitian seperti dijumpai di Pulau Pasighe, Kabupaten Sitaro.
Analisis geomorfologi untuk memberikan gambaran variasi bentuklahan
lebih detail dipilih tiga pulau kecil yaitu Pulau Ruang, Pulau Babi, dan Pulau
Pasighe. Ketiga pulau kecil ini dipilih menurut perbedaan tingkat aktivitas
vulkanik. Hasil analisis secara visual dan klasifikasi bentuklahan ditampilkan
dalam bentuk peta yang disajikan pada Gambar 17 sampai Gambar 19. Berikut
uraian analisis geomorfologi secara deskriptif untuk menggambarkan
karakteristik biogeofisik pulau vulkanik.

Pulau Ruang
Pulau Ruang merupakan salah satu pulau kecil tipe vulkanik yang
mempunyai gunungapi aktif. Morfologi pulau ini secara umum berbentuk
melingkar yang merupakan suatu kerucut gunungapi (volcanic cone) tipe
stratovulkano. Pulau Ruang pernah mengalami longsoran dicirikan oleh adanya
tebing longsoran berbentuk tapal kuda yang menghadap ke Utara. Pola ini
tampak jelas dari citra satelit meskipun sebagian besar tubuh dari longsoran ini
telah tertutup oleh endapan vulkanik yang baru dari aktivitas Gunung Ruang.

84
Endapan ini dapat berasal dari aliran piroklastik maupun lahar yang tampak jelas
tersingkap pada bentuklahan tebing pantai (cliff), seperti terlihat di sepanjang
pantai bagian Utara. Hasil pelongsoran tersebut telah menghasilkan bentuklahan
berupa bukit-bukit kecil dan besar (hummock) terdiri atas campuran bongkahan
batu-batuan lava basaltik dan andesitik serta piroklastik. Hummock yang
berukuran kecil telah banyak tertutup oleh endapan vulkanik yang baru,
sedangkan hummock yang besar masih tampak jelas di lapangan yang
menduduki bentuklahan kerucut gunungapi lereng bawah di bagian Utara.
Bentuklahan kerucut gunungapi dapat dipilahkan menjadi tiga yaitu lereng atas
(35°), lereng tengah (20°), dan lereng bawah (5-10°).
Letusan Gunung Ruang Tahun 2002 menghancurkan Desa Pumpete dan
Desa Laingpatehi akibat derasnya jatuhan piroklastik (pyroclastic fall) yang
terjadi. Jarak antara pusat letusan (kawah) dengan kedua desa ini kurang dari 2
km, sedangkan jatuhan piroklastik yang berukuran blok dan lapilli bisa mencapai
radius 5 km. Letusan tersebut juga menghasilkan aliran piroklastik atau awan
panas (nuees ardentes) yang secara umum mengalir ke arah Selatan dan
Tenggara. Hal ini dicirikan oleh banyaknya endapan lapilli di lereng-lereng dan
absennya vegetasi seperti kelapa dan semak belukar. Di bagian puncak Pulau
Ruang terdapat dua kawah yang berdampingan dengan arah Timur-Laut (NE).
Aliran lava hasil letusan Tahun 1949 berasal dari kawah sisi Timur-Laut dan
mengalir ke arah Timur menuruni lereng hingga mencapai tepi pantai di Tanjung
Kulukulu (Gambar 17). Aliran lava ini tampak jelas di citra dan dicirikan dengan
masih sedikitnya vegetasi. Pantai pasir berbatu terbentuk oleh material yang
berasal dari aliran piroklastik dan lahar.
Terumbu karang masih belum banyak tumbuh di sekitar pulau vulkanik ini,
sedangkan mangrove dan lamun juga tidak dijumpai. Gambaran aktivitas
gunungapi tersebut menjadi dasar untuk memahami karakteristik biogeofisik
ekosistem laut. Hasil analisis tersebut juga menjadi dasar untuk analisis digital.
Berdasarkan Peta Geologi daerah penelitian (Samodra, 1994), Pulau
Ruang tersusun atas aglomerat, lava, tuff, timbunan awan panas, endapan
jatuhan, dan lahar. Aglomerat tersusun atas kepingan batuan andesit dan basalt
yang tersebar di sebagian pantai yang curam. Lava andesit hornblende yang
tersingkap di salah satu lereng berselingan dengan aglomerat terkekarkan
membentuk struktur tiang dan melebar. Timbunan awan panas di lembah-lembah
curam mengandung kepingan batuan beku, tuff terkersikkan, kayu terarangkan.

85
Gambar 17 Peta bentuklahan Pulau Ruang.

Gambar 18 Peta bentuklahan Pulau Babi.

86
Pulau Babi
Pulau Babi dengan luas 88,37 Ha memiliki morfologi kubah dengan
topografi bergunung dan elevasi tertinggi 338 mdpal. Material yang dominan
adalah lava dan breksi andesit berumur Pleistosen. Kubah lava ini mengalami
denudasi menjadi bentuklahan kubah lava terdenudasi. Kenampakan di lapangan
menunjukkan material ini mempunyai garis-garis kekar hasil proses intrusi.
Berdasar analisis citra Landsat yang didukung oleh cek lapangan serta peta rupa
bumi, menunjukkan bahwa sebagian besar pantai yang terbentuk adalah pantai
berpasir sebagai hasil dari hancuran terumbu karang membentuk bentuklahan
gisik. Namun pada bagian Timur-Laut terbentuk pantai berbatu yang tersusun
secara dominan oleh batuan breksi andesit (Gambar 15 a). Pola aliran yang
terbentuk adalah radial sentrifugal dengan tingkat torehan menengah.
Bagian Selatan Pulau Babi berupa dataran dan dijumpai sumur dengan
kedalaman air tanah berkisar antara 2 - 5 meter. Kedalaman sumur ini
dipengaruhi oleh lapisan batuan tak tembus air yang membatasi akuifer. Bagian
atas perlapisan batuan tersebut tertutupi oleh material pasir yang diidentifikasi
sebagai hasil pelapukan fisik pantai berbatu oleh proses abrasi air laut. Bukti dari
proses abrasi air laut adalah berupa gerong laut (notch) di kaki gunungapi
dengan jarak berkisar 677 meter dari pantai, dan kondisi ini menegaskan bahwa
dataran yang ada merupakan bentuklahan rataan pasang surut. Di bagian
selatan juga dijumpai bentuklahan rawa payau yang ditumbuhi mangrove. Lereng
terjal yang terbentuk di sisi luar terumbu karang mengindikasikan batas dari
terumbu pinggiran (fringing reefs) dan terbentuk bentuklahan goba (Gambar 18).

Pulau Pasighe
Pulau Pasighe dengan luas 1,92 Km2 merupakan bentuklahan dataran sisa
vulkanik yang mempunyai morfologi relatif datar dengan lereng landai (0° – 3°)
serta mempunyai elevasi kurang dari 5 m. Menurut Peta Geologi daerah
penelitian (Samudra, 1994) tipe batuan yang menyusun pulau ini sama dengan
material gunungapi Malingge yang terdiri atas breksi gunungapi, lava, tuf, dan
timbunan awan panas yang disertai adanya sisipan batupasir tufaan. Breksi
vulkanik dan lava bersusunan andesit-basalt, sedangkan endapan awan panas
mengandung kepingan andesit, basalt, diorit, batu apung, dan tuf tersilika yang
menyudut. Sebagai sisipan pada tuff dan breksi gunungapi, tebal batupasir
tufaan yang berbutir kasar hingga sangat kasar sekitar 20 cm.

87
Pulau Pasighe sudah tidak lagi mencerminkan suatu bentukan vulkanik
seperti halnya Pulau Ruang. Hal ini mencerminkan bahwa, kemungkinan besar
bentuklahan vulkanik ini telah hancur akibat letusan yang dahsyat di masa lalu
dari Gunung Pasighe sendiri, sehingga menyisakan tubuh vulkanik yang rata dan
hampir terendam oleh air laut. Dugaan ini diperkuat oleh bentuk dan pola pulau
yang melingkar serta di sebelah utara pulau ini merupakan suatu perairan laut
dangkal berbentuk cekung yang tersusun oleh pasir dan terumbu karang.
Material pasir berasal dari produk vulkanik dan terumbu karang yang ada
tentunya tumbuh di atas substrat batuan vulkanik dari sisa-sisa tubuh vulkanik
lama. Letusan vulkanik yang besar yang umumnya dapat menghacurkan tubuh
vulkanik adalah tipe letusan magmatik, seperti tipe plinian, yang umumnya
mampu menghasilkan suatu kaldera yang didahului dengan semburan piroklastik
abu-batuapung (ignimbrite) yang besar dan diendapkan di sekitar gunungapi.
Jika lapilli batuapung yang ditemukan di Pulau Pasighe tersebut adalah berasal
dari pulau itu sendiri, maka besar kemungkinan pulau ini secara morfogenesis
merupakan suatu pulau vulkano-denudasional atau sebagai sisa-sisa tubuh
vulkanik yang hancur di masa lalu.
Permukaan lahan Pulau Pasighe terdiri atas endapan piroklastik berupa
pasir dan kerikil (lapilli) yang mirip dengan endapan di Pulau Ruang. Besar
kemungkinan jatuhan piroklastik dari letusan terakhir Gunung Ruang mencapai
pulau ini, meskipun ditemukan jenis batuapung yang tidak ditemukan di Pulau
Ruang. Lapili yang berada di atas pulau ini mempunyai bentuk runcing dan
membulat. Yang pertama mencerminkan hasil dari letusan secara langsung
(pyroclastic fall), sedangkan yang kedua mencerminkan hasil kerja dari ombak
pantai terhadap endapan piroklastik yang jatuh di tepi pantai pulau ini.
Di sebelah Utara Pulau Pasighe merupakan suatu perairan laut dangkal
yang membentuk suatu lagun dengan air laut tersalurkan melalui suatu celah
(inlet) yang berada di sisi Timur. Bentuklahan lagun dangkal dengan material
pasir-lumpuran dan terumbu berada di bagian tepi, sedangkan bentuklahan lagun
dalam dengan material pasir dan terumbu berada di bagian tengah. Bentuklahan
gisik dengan material koral berpasir terbentuk mengikuti garis pantai yang
kemudian dihancurkan oleh abrasi gelombang (Gambar 15 e). Sebagian dari
dasar lagun tampak ditumbuhi oleh padang lamun pada substrat lumpur-pasiran
terutama yang terletak di dekat Pulau Pasighe. Massa batuan vulkanik ini

88
merupakan tempat tumbuhnya terumbu karang, lamun, dan berbagai jenis
tanaman bakau (mangrove) dan nonmangrove.
Pulau Pasighe merupakan cagar alam dan sebagai lokasi untuk gerakan
rehabilitasi lahan dan hutan (GERHAN) yang dikelola oleh Departemen
Kehutanan. Di pulau ini kondisi ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun
dijumpai paling bagus dan dapat dijadikan sebagai contoh bentuk asosiasi
pertumbuhan ketiga ekosistem utama yang ideal.
Pulau Ruang, Pulau Pasighe, dan Pulau Tagulandang berada pada satu
area perairan dangkal yang dikelilingi oleh perairan laut dalam dan menghadap
laut lepas dengan kedalaman lebih dari -1.000 m. Di bagian selatan kedalaman
laut mencapai hingga lebih dari -600 m dan dijumpai Gugus-pulau Biaro (Gambar
20). Pulau Babi dikelilingi oleh perairan laut dangkal kecuali di sisi utara
menghadap laut lepas dengan kedalaman lebih dari -500 m. Di perairan laut
dangkal ini dijumpai juga Pulau Pomana dan Gugus-pulau Besar (Gambar 21).

Gambar 19 Peta bentuklahan Pulau Pasighe.

89
Gambar 20 Peta kedalaman laut Pulau Ruang dan sekitarnya.

Gambar 21 Peta kedalaman laut Pulau Babi dan Pulau Pomana.

90
4.1.2.2 Karakteristik biogeofisik
Tipe pulau vulkanik yang dipilih untuk penelitian ini adalah pulau-pulau kecil
di Kabupaten Sikka dan Kabupaten Sitaro. Hasil analisis secara geomorfologis
dari aspek morfoarrangement, pulau vulkanik di Kabupaten Sikka berkembang
mengikuti jalur magmatik yang membentuk kelurusan dengan arah umum ke
barat - timur, seperti ditunjukkan pada kelurusan yang menghubungkan antara
Pulau Palue, atol Gosong-goni, Pulau Babi, dan Pulau Konga (di sebelah barat
Sikka). Sementara itu, di Kabupaten Sitaro pulau-pulau kecil berkembang
memanjang dengan arah umum ke utara - selatan. Pola ini dapat dilihat dengan
jelas dari citra Landsat yang digunakan dalam penelitian (Gambar 7 dan 8).
Pulau-pulau kecil ini berkembang di samudra yaitu di Laut Flores dan di Laut
Sulawesi dan termasuk kategori tipe vulkanik.
Secara geomorfologis, keadaan umum pulau-pulau kecil tipe vulkanik
dicirikan oleh bentuk pola morfologi pulau yang secara umum berbentuk
melingkar seperti Pulau Palue di Kabupaten Sikka atau pola bentuk melingkar
yang menyambung seperti Pulau Siau di Kabupaten Sitaro yang pada dasarnya
merupakan ciri dari gunungapi. Namun, morfologi pulau kecil tipe vulkanik di
daerah penelitian tidak seluruhnya berbentuk melingkar, misal, Pulau Dambila di
Kabupaten Sikka dan Pulau Biaro di Kabupaten Sitaro (Gambar 16). Pulau
vulkanik yang tidak lagi melingkar disebabkan oleh tingkat aktivitas vulkanis lebih
lanjut dan asosiasinya dengan proses eksogenik.
Secara umum morfologi Kepulauan Sikka dan Sitaro didominasi oleh relief
pegunungan dan perbukitan, sedangkan daerah dataran relatif sempit, berupa
dataran aluvial pantai dan rataan pasang surut. Perbedaan relief ini dipengaruhi
oleh dua faktor utama yaitu tingkat aktivitas vulkanis dan komposisi material
vulkanis. Faktor pertama, tingkat aktivitas gunungapi yang tinggi berpotensi
membentuk relief pegunungan, sebaliknya aktivitas gunungapi yang semakin
lama tidak aktif berpotensi membentuk relief perbukitan dan bahkan dataran.
Pola morfologi tersebut hanya berlaku secara relatif terhadap suatu pulau kecil
vulkanik, karena pada dasarnya morfologi pulau kecil yang dijumpai merupakan
akhir aktivitas magmatik saat kini. Faktor kedua adalah komposisi material
vulkanik antara piroklastik dan lava. Material piroklastik lebih rentan terdenudasi
dibandingkan material lava, sehingga pulau vulkanik yang didominasi material
piroklastik relatif lebih cepat terdenudasi membentuk dataran. Proses erosi dan
longsor pada material piroklastik juga lebih intensif yang berpengaruh terhadap

91
ekosistem laut. Morfologi dataran umumnya dimanfaatkan untuk lahan pertanian
dan permukiman, sedangkan morfologi pegunungan dan perbukitan
dimanfaatkan untuk perkebunan.
Pulau-pulau kecil di Sikka dan Sitaro dengan tipe vulkanik mempunyai
substrat dasar yang tersusun atas endapan material vulkanik. Bentuklahan
terumbu samudra akan berkembang di sini. Pada pulau kecil tipe vulkanik yang
berupa gunungapi aktif, terumbu karang secara relatif kurang dapat berkembang
karena terganggu oleh produk letusan, seperti yang terjadi di Pulau Ruang.
Kegiatan gunungapi dengan periode letusan yang sering berpengaruh terhadap
proses pertumbuhannya (banyak getaran, penaikan suhu serta sebaran materi
vulkan yang mengganggu kejernihan air). Namun, secara umum terumbu karang
lebih banyak berkembang dengan baik di pulau kecil tipe vulkanik ternudasi
(tidak aktif) dibandingkan dengan di pulau kecil tipe tektonik.
Pulau-pulau kecil tipe vulkanik di Kabupaten Sikka dijumpai terumbu
karang sangat bagus karena posisinya berada di samudra, sedangkan mangrove
relatif sedikit dan lamun tidak ada. Di Kabupaten Sitaro dijumpai terumbu karang,
mangrove, dan lamun dengan kondisi lebih bervariasi.

4.1.2.3 Pengolahan data


Hasil perhitungan OIF pada citra Landsat diperoleh bahwa kombinasi kanal
245 sering muncul dengan nilai tertinggi pada model pulau-pulau kecil tipe
vulkanik (Tabel 17). Contoh urutan nilai OIF Pulau Babi ditunjukkan pada
Lampiran 5.

Tabel 17 Kombinasi kanal citra Landsat model pulau kecil tipe vulkanik

No Nama pulau Kombinasi Kondisi pulau


1 Tagulandang, Sitaro 245 Vulkanik terdenudasi
2 Pasighe, Sitaro 247 Vulkanik terdenudasi, berlagun
3 Ruang, Sitaro 345 Vulkanik aktif
4 Besar, Sikka 245 Vulkanik terdenudasi
5 Palue, Sikka 345 Vulkanik aktif
6 Babi, Sikka 245 Vulkanik terdenudasi
7 Parumaan, Sikka 234 Vulkanik terdenudasi, sangat kecil
8 Kondo, Sikka 234 Vulkanik terdenudasi, sangat kecil
Sumber: Hasil pengolahan data dengan formula 1, Lampiran 1.

92
Dari 8 model pulau kecil tipe vulkanik, 6 model merupakan gunungapi tidak
aktif dan proses yang terjadi adalah denudasi. Di sisi lain, perbedaan tingkat
proses denudasi yang berlangsung pada batuan vulkanik mempengaruhi
perbedaan penutup lahan yang tercermin pada perbedaan kombinasi kanal
(Tabel 17). Selain itu, perbedaan tingkat aktivitas vulkanik juga berpengaruh
pada pertumbuhan terumbu karang dan bentuklahan terumbu. Dari kombinasi
kanal terseleksi dapat dibuat enam citra komposit (Lampiran 7), seperti pada
Gambar 22 a untuk pulau kecil tipe vulkanik berbukit dan Gambar 22 b untuk
pulau kecil tipe vulkanik datar.
Hasil perhitungan OIF pada citra QuickBird diperoleh bahwa kombinasi
kanal terseleksi adalah 124 untuk Pulau Babi dan 134 untuk Pulau Pasighe dan
Pulau Ruang. Gambar 22 c adalah citra komposit RGB 421 data QuickBird untuk
Pulau Babi. Dari perbandingan antara Gambar 22 a (Landsat RGB 542) dan
Gambar 22 c (QuickBird RGB 421), diketahui bahwa tampilan morfologi pulau
relatif sama tajam. Padahal kedua citra ini memiliki perbedaan resolusi spasial
berbeda yaitu 30 m dan 2,44 m. Hal ini menunjukkan bahwa kanal 1 tidak sesuai
untuk tampilan daratan pulau kecil tipe vulkanik yang berbukit seperti Pulau Babi.
Hasil seleksi jenis penajaman spektral untuk pulau-pulau kecil tipe vulkanik
adalah autoclip, levelslice, dan equalizer (Tabel 18). Sementara itu, hasil seleksi
jenis filternya adalah low-pass average 3X3, low-pass average diagonal, dan
high-pass sharpen 2 (Tabel 19). Artinya, untuk satu pulau dapat digunakan ketiga
jenis penajaman dan ketiga jenis filter tersebut. Berdasarkan kondisi di lapangan
diketahui, hal ini terkait dengan pola radial torehan pada pulau kecil tipe vulkanik.
Hasil penajaman dan pemfilteran berfungsi meningkatkan kejelasan dan
ketajaman morfologi pulau kecil tipe vulkanik berbukit, terutama pada efek kesan
tiga dimensi (Gambar 23 a lebih jelas dibandingkan Gambar 22 a). Namun,
pengaruh penajaman dan pemfilteran kurang berfungsi untuk morfologi pulau
kecil tipe vulkanik datar, seperti ditunjukkan pada perbedaan antara Gambar 22 b
dan 23 b. Contoh variasi citra komposit, penajaman, dan pemfilteran Pulau Palue
ditunjukkan pada Lampiran 7, 8, dan 9.
Hasil fusi multispasial meningkatkan kejelasan dan ketajaman tampilan
morfologi pulau terutama untuk pulau kecil tipe vulkanik berbukit, seperti
perbedaan antara Gambar 23 c dan d. Fusi multispasial juga meningkatkan
kejelasan dan ketajaman tampilan mangrove, tetapi kurang sesuai untuk terumbu
karang dan lamun.

93
a) Pulau Babi, Landsat RGB 542 b) Pulau Pasighe,
Landsat RGB 742

c) Pulau Babi, QuickBird RGB d) Pulau Pasighe,


421 QuickBird RGB 431

Gambar 22 Citra komposit model pulau kecil tipe vulkanik.


Landsat resolusi spasial 30 m dan QuickBird resolusi spasial 2,44 m.

a) Pulau Babi RGB 542 b) Pulau Pasighe RGB 742


equalize, sharpen 2 autoclip, sharpen 2

c) Pulau Babi RGBI 5428 d) P. Pasighe RGBI 7428

Gambar 23 Citra Landsat hasil penajaman dan fusi multispasial.

94
a) RGB 321 b) RGB 321 autoclip c) RGBI 3215
pecahan koral

karang hidup

lamun

lagun
d) QuickBird RGB 421 e) Aplikasi Lyzengga
f) Landsat RGB 421

Gambar 24 Citra Pulau Pasighe.

Tabel 18 Hasil penajaman pada model pulau kecil tipe vulkanik

Penajaman
Pulau Linear Autoclip Level Equalizer Gaussian Default
slice Log
Tagulandang + +++ +++ +++ ++ +
Pasighe ++ +++ ++ ++ + +
Ruang ++ +++ ++ + + +
Besar +++ +++ +++ ++ ++ +
Palue +++ +++ +++ ++ +++ +
Babi + +++ +++ +++ ++ +
Parumaan ++ +++ ++ +++ +++ ++
Kondo ++ +++ ++ +++ +++ ++
Keterangan:
- : tidak jelas ++ : jelas ++++: paling jelas
+ : kurang jelas +++ : sangat jelas

Sumber : Hasil pengolahan data dengan software Er-Mapper

95
Tabel 19 Hasil pemfilteran pada model pulau kecil tipe vulkanik

Filter
low pass high pass edge detection
Pulau average average Sharpen Sharp Gradien Gradien
3x3 diagonal 2 edge in the x in the y
direction direction
Tagulandang +++ +++ ++++ + + -
Pasighe ++ ++ ++ - - -
Ruang ++ ++ +++ - - -
Biaro ++ ++ +++ + - -
Palue ++ ++ +++ + - -
Babi +++ +++ ++++ + + -
Parumaan ++ +++ +++ ++ - -
Kondo ++ +++ +++ ++ - -
Keterangan:
- : tidak jelas ++ : jelas ++++ : paling jelas
+ : kurang jelas +++ : sangat jelas

Sumber : Hasil pengolahan data dengan Software Er-Mapper.

Berdasarkan pengamatan terhadap kombinasi kanal terpilih pada citra


Landsat yaitu 245, 247, dan 345; diketahui bahwa citra komposit RGB 453
menampilkan mangrove dengan jelas. Artinya bahwa ada kesamaan susunan
kanal citra komposit untuk obyek mangrove pada pulau kecil tipe tektonik dan
tipe vulkanik. Hasil perhitungan OIF citra QuickBird di Pulau Pasighe
menunjukkan bahwa nilai tertinggi untuk mangrove adalah kombinasi kanal 134
dan untuk terumbu karang dan lamun adalah kombinasi kanal 124 (Tabel 20).
Tampilan citra komposit RGB 431 citra QuickBird untuk mangrove ditunjukkan
pada Gambar 24 d. Dari tampilan citra komposit ini masih sulit untuk
mengidentifikasi mangrove. Sementara itu, pada citra QuickBird komposit warna
asli (true color) RGB 321, mangrove berwarna coklat kehitaman (Gambar 24 a).
Dari Gambar 14 a dan 22 b, mangrove ditampilkan dengan warna berbeda,
yaitu hijau tua pada RGB 542 di Pulau Lengkang dan kuning pada RGB 742 di
Pulau Pasighe. Contoh kasus ini, menunjukkan bahwa identifikasi obyek yang
hanya didasarkan pada warna citra komposit hasil perhitungan OIF dapat
menimbulkan kesalahan interpretasi.
Karakteristik nilai digital mangrove, terumbu karang, dan lamun dikaji
melalui model Pulau Pasighe karena di pulau ini memiliki ketiga ekosistem laut
terbaik (Tabel 21). Pada kanal 1, 2, dan 3 diketahui bahwa kisaran nilai digital
terumbu karang dan lamun memiliki nilai lebih tinggi. Pada kanal 2 menunjukkan

96
perbedaan kisaran nilai digital paling nyata untuk terumbu karang dan lamun.
Sementara itu, pada kanal 4 dijumpai nilai digital tertinggi adalah mangrove,
disusul lamun, dan terakhir terumbu karang. Hal ini sesuai dengan karakterisitik
kanal 4 yaitu memiliki kepekaan tinggi untuk vegetasi.

Tabel 20 Nilai OIF ekosistem laut dari citra QuickBird di Pulau Pasighe

Kombinasi kanal
Ekosistem laut 123 124 134 234
Mangrove 1,90 13,67 15,69 13,49
Terumbu karang 0,99 9,04 7,24 4,62
Lamun 1,75 3,17 2,95 2,85
Sumber : Hasil pengolahan data QuickBird dengan formula 1.

Tabel 21 Nilai digital mangrove, terumbu karang, dan lamun di Pulau Pasighe

Ekosistem Kanal Landsat Kanal QuickBird


laut 1 2 3 4 1 2 3 4
Mangrove 62-72 44-51 29-36 15-66 25-30 28-44 12-20 9-94
Terumbu 76-83 50-56 30-36 9-13 29-39 35-51 11-25 5-14
karang
Lamun 65-74 39-45 26-33 10-17 25-28 27-32 12-15 6-14
Sumber : Hasil pengolahan data dengan software Er-Mapper

Tabel 22 Rata-rata nilai digital ekosistem laut di Pulau Pasighe

Ekosistem laut Kanal 1 Kanal 2 Kanal 3 Kanal 4


Rata2 SD Rata2 SD Rata2 SD Rata2 SD
Mangrove 69,50 0,69 48,00 0 34,00 1,39 72 0
Karang hidup 81,33 2,78 51,00 4,82 29,67 1,39 10,67 0
Pasir 86,00 1,39 60,50 3,48 35,50 0,69 10,50 0,69
Karang mati 98,00 2,78 76,50 4,87 44,00 1,39 10,00 0
Lamun 69,66 1,14 41,67 1,14 29,33 1,52 11,33 0,57
Sumber : Hasil pengolahan data dengan software Er-Mapper

97
Dari citra Landsat diperoleh rata-rata nilai digital ketiga obyek ekosistem
laut berbeda (Tabel 22). Untuk kanal 1, 2, dan 3 menunjukkan nilai tertinggi
adalah karang mati, kemudian pasir, karang hidup, lamun, dan terendah
mangrove. Pola hubungan ini seperti ditunjukkan pada scattergram antara kanal
1 dan 2 di Pulau Pasighe pada Gambar 32. Sementara itu, pada kanal 4,
mangrove memiliki nilai tertinggi dengan perbedaan yang sangat jauh dengan
obyek lain, berikutnya secara berturut-turut adalah lamun, karang hidup, pasir,
dan karang mati. Berdasarkan pengamatan terhadap nilai digital tersebut, maka
identifikasi mangrove menggunakan kanal 4, sedangkan identifikasi terumbu
karang dan lamun menggunakan kanal 1 dan 2. Sementara itu, klasifikasi
terumbu karang menjadi karang hidup, pasir, dan karang mati dapat dilakukan
menggunakan kanal 1 dan 2.
Nilai digital mangrove dan lamun terdapat nilai yang tumpang tindih yaitu
16 pada Landsat dan 10 -14 pada citra QuickBird (Tabel 21). Hal inilah yang
mempengaruhi kesulitan dalam hal delimitasi antara kedua obyek tersebut.
Namun, rata-rata nilai digital lamun pada kanal 1 dan 2 berbeda dengan terumbu
karang, sedangkan di kanal 3 dan 4 sangat berbeda dengan mangrove (Tabel
22). Kedua kondisi ini memungkinkan untuk identifikasi lamun dengan
memanfaatkan keempat kanal tersebut secara proporsional, serta menggunakan
gabungan analisis visual dan digital.
Terumbu karang tumbuh di perairan laut dangkal tampak berwarna putih
pada citra Landsat RGB 421. Di Pulau Lengkang, obyek berwarna putih ini
merupakan substrat dasar atau peneplain yang terendam yang tersusun oleh
batuan sedimen. Sementara itu, di Pulau Ruang merupakan material produk
letusan Gunung Ruang yang tersusun oleh batuan bekudalam. Jenis substrat
dasar terkait dengan terbentuknya pulau kecil dan informasi ini perlu
dipertimbangkan pada identifikasi dan klasifikasi ekosistem laut secara digital.

98
4.1.3 Tipe Terumbu
Hasil analisis geomorfologi di Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil,
diketahui bahwa pulau kecil tipe terumbu dikenali terutama dari aspek morfologi
dengan bentuk memanjang atau tidak melingkar sebagai hasil dari proses
pengangkatan pada batu gamping terumbu. Proses awalnya adalah biologik yaitu
dari binatang karang. Selain itu, aspek morfoarrangement juga membantu dalam
identifikasi karena susunan keruangan posisi pulaunya terkait dengan pulau-pulau
kecil tipe vulkanik. Aspek-aspek tersebut menjadi lebih berperan jika informasi jenis
batuan belum tersedia.
Pulau kecil tipe terumbu tampak dari citra Landsat RGB 543 dengan warna
lebih cerah dibandingkan dengan pulau kecil tipe vulkanik. Hal ini terkait dengan
batuan gamping terumbu dan vegetasi yang jarang. Interpretasi awal untuk pulau
kecil tipe terumbu adalah dengan unsur warna yang cerah dan bentuk pulau yang
memanjang. Dari tiga daerah penelitian, pulau kecil tipe terumbu yang dijumpai
hanyalah Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil yang berada di antara
pulau-pulau kecil tipe vulkanik.
Warna citra untuk pulau kecil tipe terumbu ada kemiripan dengan pulau kecil
tipe atol. Hal ini disebabkan oleh karena keduanya tersusun oleh batuan gamping
terumbu. Akan tetapi keduanya memiliki morfologi pulau berbeda karena
perbedaan proses terbentuknya. Pulau kecil tipe terumbu berbentuk memanjang,
sedangkan pulau kecil tipe atol berbentuk melingkar. Morfologi pulau kecil tipe atol
berbentuk melingkar atau bentuk lain dari deformasi melingkar sebagai kelanjutan
dari proses pembentukan terumbu akibat tenggelamnya pulau kecil tipe vulkanik.

4.1.3.1 Bentuklahan model pulau kecil


Hasil analisis dari aspek morfogenesis, bentuklahan pulau kecil tipe
terumbu yang berkembang di Kabupaten Sikka dapat dikelompokkan menjadi
bentuklahan-bentuklahan asal proses 1) tektonik/struktural, 2) marin, dan 3)
organik.
Bentuklahan asal proses tektonik atau struktural yang dijumpai adalah
bentuklahan perbukitan plato berupa dua perbukitan memanjang dan
bentuklahan perbukitan mesa berupa bukit kecil. Perbukitan yang luas atau plato
dinamakan Pulau Pomana-besar, sedangkan yang sempit atau mesa dinamakan
Pulau Pomana-kecil. Kedua pulau ini memiliki morfogenesis yang sama yaitu
terbentuk dari hasil pengangkatan terumbu. Perbedaan dijumpai pada ukuran

99
bukit dan kondisi cuspate foreland yang menjadikan perbedaan kategori
bentuklahan.
Proses pengangkatan yang berlangsung membentuk suatu kelurusan dari
Pulau Sukun, Pulau Besar, dan Pulau Flores bagian timur, dimana pada
kelurusan ini secara umum membentuk deretan gunungapi seperti diilustrasikan
oleh Bemmelen (1970) secara skematik pada Gambar 25. Di antara deretan
gunungapi ini juga terangkat terumbu yang terletak di antara Pulau Sukun dan
Pulau Besar dan terbentuklah pulau kecil tipe terumbu yaitu Pulau Pomana-besar
dan Pulau Pomana-kecil. Pulau kecil tipe terumbu ini terbentuk di atas batu
vulkanik yang terangkat
Bentuklahan asal proses marin yang dijumpai adalah bentuklahan cuspate
foreland, bentuklahan tombolo, dan bentuklahan gisik. Bentuklahan cuspate
foreland terbentuk dari hasil pengendapan batu gamping terumbu dari proses
akresi. Bentuklahan tombolo terbentuk dari hasil perluasan cuspate foreland
yang telah menghubungkan dua pulau kecil berbukit yaitu Pulau Pomana-besar.
Bentuklahan gisik terbentuk sebagai hasil dari proses abrasi gelombang terhadap
batu gamping terumbu yang kemudian diendapkan di sekitarnya. Bentuklahan
gisik membentuk dataran pantai dan relatif sangat sempit.
Ketiga bentuklahan asal marin tersebut membentuk dataran. Bentuklahan
tombolo berada di antara dua bukit sedangkan cuspate foreland berada di bagian
selatan dan timur Pulau Pomana-besar. Penduduk menempati tombolo dan
cuspate foreland dan mendapatkan sumber air tawar yang berada di lereng bukit.
Bentuklahan asal proses organik yaitu bentuklahan terumbu yang terbentuk
oleh binatang karang di perairan laut dangkal pulau-pulau kecil tipe terumbu.
Bentuklahan asal proses organik yang dijumpai adalah bentuklahan terumbu
paparan yang terdiri atas bentuklahan terumbu pelataran bergoba dan
bentuklahan terumbu dinding tanduk. Goba atau lagun dijumpai di empat lokasi,
yaitu di bagian timur dan selatan Pulau Pomana-besar dan dua di bagian utara
Pulau Pomana-kecil. Goba dapat menjadi indikasi suatu tahapan perkembangan
bentuklahan terumbu dan merupakan gambaran kondisi hidrologi pada
bentuklahan terumbu.
Pulau Pomana dikelilingi oleh perairan laut dalam dan menghadap laut
lepas dengan kedalaman lebih dari -500 m kecuali di sisi Selatan. Di perairan laut
dangkal ini, Pulau Pomana berada di antara Pulau Babi dan Gugus-pulau Besar,
dimana keduanya termasuk kategori pulau kecil tipe vulkanik (Gambar 21).

100
Gambar 25 Skematik penampang melintang Pulau Pomana, (Bemmelen, 1970).

b) Pulau Pomana-kecil (0,9 Ha),


a) Pulau Pomana-besar dengan
gisik pantai dan cliff dari sisi Barat
tebing pantai yang terjal (cliff)

d) Perairan laut dangkal dengan


c) Perairan laut dangkal di Pulau
terumbu karang di Pulau
Pomana-besar
Pomana-kecil

e) Permukiman di bentuklahan f) Batu gamping terumbu di Pulau


tombolo di antara dua perbukitan Pomana-besar

Gambar 26 Foto pulau kecil tipe terumbu di Pulau Pomana.

101
Hasil analisis geomorfologi berupa peta bentuklahan Pulau Pomana-besar
dan Pomana-kecil disajikan pada Gambar 27 dan 28. Pulau Pomana-besar terdiri
atas bentuklahan-bentuklahan tombolo, cuspate foreland, perbukitan plato,
terumbu pelataran bergoba, dan terumbu dinding tanduk. Pulau Pomana-kecil
terdiri atas bentuklahan-bentuklahan cuspate foreland, gisik, perbukitan mesa,
terumbu pelataran bergoba, dan terumbu dinding tanduk. Pulau Pomana-besar
dan Pulau Pomana-kecil mempunyai ekosistem terumbu karang yang relatif luas
dan luas masing-masing bentuklahan disajikan pada Tabel 23.
Tabel 23 Luas bentuklahan Pulau Pomana

No Bentuklahan Pomana-besar Pomana-kecil


Luas (Ha) % Luas (Ha) %
1 Terumbu pelataran bergoba 9.135 9.70 9.79 48.44
2 Terumbu dinding tanduk 25.657 27.24 4.244 21.00
9 Gisik 0 0.00 1.476 7.30
10 Tombolo 5.406 5.74 0 0.00
11 Cuspate foreland 1.421 1.51 2.252 11.14
13 Lagun 1.678 1.78 1.531 7.58
14 Daratan 50.9 54.04 0.912 4.51
Total 94.19 100.00 20.21 100.00
Total Terumbu 34.79 36.94 14.03 69.42
Sumber : Data primer

4.1.3.2 Karakteristik biogeofisik


Model pulau kecil tipe terumbu, yaitu Pulau Pomana-besar dan Pulau
Pomana-kecil di Kabupaten Sikka terletak di Laut Flores dan berada di antara
pulau-pulau kecil tipe vulkanik (Gambar 7). Di perairan Pulau Pomana-kecil ini
area terumbu karang lebih luas daripada daratannya, dan mangrove dan lamun
tidak dijumpai.
Pulau Pomana-besar dengan luas 50,9 Ha memiliki morfologi perbukitan
dan elevasi tertinggi 300 m dpal. Perbukitan ini dikembangkan untuk perkebunan
jagung dan kacang-kacangan pada bagian lahan yang mempunyai solum tanah
relatif paling tebal (20 – 30 cm) di perbukitan tersebut, terutama pada musim
penghujan. Pulau Pomana-kecil dengan luas 0,9 Ha memiliki morfologi
perbukitan dengan elevasi tertinggi 200 mdpal dan ditutupi oleh semak belukar.
Unsur interpretasi warna yang cerah sebagai refleksi dari batu gamping
terumbu dan vegetasi yang jarang dapat menjadi indikasi pada identifikasi awal
pulau kecil tipe terumbu. Sementara itu, informasi jenis batuan yaitu gamping
terumbu dapat diperoleh melalui Peta Geologi atau cek lapangan.

102
Gambar 27 Peta bentuklahan Pulau Pomana-besar.

Gambar 28 Peta bentuklahan Pulau Pomana-kecil.

103
Secara geomorfologis, keadaan umum Pulau Pomana dicirikan oleh
perbukitan berupa dua punggungan bukit dan satu bukit kecil. Perbukitan ini
dicirikan oleh morfologi bukit berteras dengan arah umum Timurlaut. Pola ini
berasal dari proses tektonik yaitu pengangkatan yang berlangsung pada batu
gamping terumbu. Hasil pengangkatan ini membentuk tiga pulau kecil yang
termasuk pulau kecil tipe terumbu. Morfologi pulau secara umum berbentuk
memanjang atau tidak melingkar. Pulau Pomana diduga merupakan tiga pulau
yang terpisah. Dua pulau yang lebih besar yang telah terhubungkan oleh tombolo
yang dinamakan Pulau Pomana-besar, dan satu pulau lebih kecil yang
dinamakan Pulau Pomana-kecil. Bentuklahan tombolo adalah cuspate foreland
yang telah menghubungkan dua pulau. Saat kini, ketiga pulau kecil ini telah
terhubungkan oleh bentuklahan terumbu sehingga membentuk gugus-pulau.
Secara umum morfologi perbukitan mendominasi Pulau Pomana,
sedangkan daerah dataran relatif sempit, yang berupa bentuklahan tombolo,
cuspate foreland, dan gisik pantai. Dataran terbentuk dari endapan batu gamping
terumbu hasil abrasi air laut. Dataran relatif luas dijumpai di antara dua
perbukitan besar di Pulau Pomana-besar. Sementara itu, dataran sempit
dijumpai di bagian Timur dan Selatan Pulau Pomana-besar. Dataran lain berupa
dataran pantai yang relatif sangat sempit.
Proses abrasi di tepi pantai pulau-pulau kecil ini menyisakan tebing terjal
atau cliff (Gambar 26 a dan b). Pantai dengan tebing terjal mendominasi pantai di
Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil. Tebing pantai ini membentuk
gerong laut (notch) yang mencerminkan kerja gelombang yang kuat. Hal ini
menjadi salah satu penyebab mengapa mangrove dan lamun sulit tumbuh dan
berkembang. Di samping posisi pantainya berhadapan dengan gelombang besar,
sedimentasi lumpur rendah, dan potensi pembentukan air payau yang rendah.
Daerah dataran pantai berupa bentuklahan tombolo dan cuspate foreland dan
dimanfaatkan oleh penduduk sebagai permukiman. Masyarakat menggunakan
sumber air tawar yang muncul di lereng perbukitan.

4.1.3.3 Pengolahan data


Hasil perhitungan OIF pada citra Landsat untuk model pulau kecil tipe
terumbu diperoleh bahwa, kombinasi kanal untuk Pulau Pomana-besar adalah
257 dan untuk Pulau Pomana-kecil adalah 235. Urutan nilai OIF Pulau Pomana-
besar ditunjukkan pada Lampiran 6. Perbedaan yang menyolok dari kedua model

104
pulau kecil ini adalah pada ukuran pulau. Nilai digital Pulau Pomana-kecil banyak
dipengaruhi oleh perairan laut dangkal termasuk terumbu karang yang relatif
luas. Sementara itu, hasil perhitungan OIF pada citra QuickBird diperoleh bahwa
untuk Pulau Pomana-besar adalah kombinasi kanal 124 dan Pulau Pomana-kecil
adalah 234.
Berdasarkan kombinasi kanal terseleksi dibuat enam citra komposit dan
salah satunya ditunjukkan pada Gambar 29 a dan b untuk citra Landsat dan
Gambar 29 e dan f untuk citra QuickBird.
Morfologi Pulau Pomana-besar tampak lebih jelas dari citra Landsat
(Gambar 29 a dan b) dibandingkan dari citra QuickBird (Gambar 29 e dan f),
padahal resolusi spasialnya jauh berbeda yaitu antara 30 m dengan 2,44 m.
Demikian halnya untuk Pulau Pomana-kecil antara Gambar 29 b dan f. Hal ini
menunjukkan bahwa citra Landsat sesuai untuk tampilan morfologi pulau-pulau
kecil tipe terumbu.
Kanal 7 pada kombinasi kanal 257 terseleksi memiliki nilai OIF tertinggi
pada Pulau Pomana-besar. Citra komposit terpilih adalah RGB 752. Di sisi lain,
hasil penelitian Parcharidis et al (1998) yang mempelajari fenomena karst di
pantai utara Selat Corinthian menyebutkan bahwa kanal-kanal terseleksi adalah
1, 4, dan 7. Citra komposit terpilih adalah RGB 471. Adanya perbedaan ini
diperkirakan dipengaruhi oleh perbedaan penutup lahan, akan tetapi pada kedua
peneitian ini ada kesamaan yaitu terpilihnya kanal 7.
Obyek–obyek ekosistem terumbu karang pada Gambar 29 e (QuickBird)
lebih jelas daripada Gambar 29 a (Landsat). Sementara itu, Gambar 29 e (RGB
421) lebih jelas daripada Gambar 29 f (RGB 432), dimana keduanya memiliki
karakteristik biogeofisik yang sama yaitu terumbu karang yang tumbuh pada
batuan gamping terumbu. Kondisi serupa juga dijumpai pada perbandingan
antara RGB 542 dengan RGB 421 pada sesama citra Landsat. Hal ini
menunjukkan bahwa resolusi spektral lebih berperan dibandingkan resolusi
spasial. Kanal 1 dan 2 lebih sesuai dalam menampilkan obyek–obyek ekosistem
terumbu karang.
Hasil penajaman spektral terseleksi untuk model pulau kecil tipe terumbu
adalah autoclip, sedangkan hasil filter terseleksi adalah high-pass sharpen 2
(Tabel 24 dan 25). Model pulau-pulau kecil tipe terumbu mempunyai kondisi
penutup lahan yang relatif sama. Contoh citra hasil penajaman dan pemfilteran
ditunjukkan pada Gambar 29 c dan h.

105
a) Pulau Pomana-besar, b) Pulau Pomana-kecil,
Landsat RGB 752 Landsat RGB 532

c) Pulau Pomana Landsat RGB 752 d) Pulau Pomana


autoclip, sharpen 2 Landsat RGBI 7528

e) Pulau Pomana-besar, f) Pulau Pomana-kecil,


QuickBird RGB 421 QuickBird RGB 432

g) Pulau Pomana,
Citra Landsat RGB 421

h) Pulau Pomana,
QuickBird RGB 421
autoclip, sharpen 2

Gambar 29 Citra komposit Landsat dan QuickBird Pulau Pomana.

106
Tabel 24 Hasil penajaman pada model pulau kecil tipe terumbu

Penajaman
Pulau Linear Autoclip Levelslice Equalizer Gaussian Default
Log
Pomana- ++ ++++ +++ +++ +++ +
besar
Pamana- ++ ++++ +++ +++ +++ +
kecil
Keterangan:
- : tidak jelas ++ : jelas ++++: paling jelas
+ : kurang jelas +++ : sangat jelas

Sumber: Hasil pengolahan data dengan software Er-Mapper 6.4

Tabel 25 Hasil pemfilteran pada model pulau kecil tipe terumbu

Filter
low pass high pass edge detection
Pulau average average Sharpen Sharp Gradien Gradien
3x3 diagonal 2 edge in the x in the y
direction direction
Pomana- ++ ++ ++++ + - -
besar
Pamana- ++ ++ ++++ + - -
kecil
Keterangan:
- : tidak jelas ++ : jelas ++++ : paling jelas
+ : kurang jelas +++ : sangat jelas

Sumber : Hasil pengolahan data dengan software Er-Mapper 6.4

Hasil fusi multispasial dari citra Landsat RGBI 7528 (Gambar 29 d) maupun
dari citra QuickBird meningkatkan kejelasan atau ketajaman tampilan morfologi
dan obyek-obyek pulau kecil tipe terumbu. Namun, fusi multispasial tidak
memperjelas atau tidak mempertajam tampilan obyek-obyek terumbu karang. Hal
ini juga terjadi pada pulau kecil tipe tektonik dan vulkanik yang menunjukkan
bahwa terumbu karang memerlukan kisaran panjang gelombang lebih spesifik.
Pada model pulau-pulau kecil tipe terumbu tidak dijumpai mangrove dan
lamun tetapi dijumpai terumbu karang dengan pertumbuhan sangat baik. Teknik
fusi multispektral berupa citra warna semu (False Color Composite/FCC) seperti
RGB 421 dapat dibangun dari citra Landsat dan QuickBird. Citra komposit RGB
421 ini menampilkan terumbu karang dengan baik (Gambar 29 e dan g) dan
menjadi lebih jelas lagi dengan penajaman autoclip sharpen 2 (Gambar 29 h).

107
Pada analisis bentuklahan terumbu berbasis geomorfologi, citra komposit RGB
421 dari Landsat sudah dapat menampilkan bentuklahan terumbu dengan baik.
Perbandingan antara Gambar 29 g dengan 29 b di perairan Pulau Pomana-kecil,
menunjukkan perbedaan kedetailan tampilan terumbu akibat perbedaan pilihan
kanal; dimana kanal 1 dan 2 lebih baik. Sementara itu, perbandingan antara
Gambar 29 g dengan 29 h menunjukkan bahwa identifikasi bentuklahan terumbu
dan terumbu karang sudah dapat dicapai dari citra Landsat.
Pulau kecil tipe tektonik ditandai terutama oleh bentuklahan tektonik atau
struktural dan di daerah penelitian didominasi oleh struktur lipatan. Aspek
morfoarrangement berupa igir memanjang dan bentuk beragam lebih berperan
untuk identifikasinya. Pulau-pulau kecil yang terbentuk sebenarnya adalah
bagian dari peneplain yang tidak tenggelam. Peneplain ini tersusun oleh
batupasir, batulempung, dan konglomerat, dan di pantainya batuan ini tersingkap
dengan kemiringan dip struktur yang bervariasi. Kondisi luas peneplain yang
tenggelam dan ekosistem laut yang terbentuk membuat karakteristik biogeofisik
pulau kecil bervariasi, sehingga karakter spektralnya beragam yang berpengaruh
pada fusi multispektral. Fusi multispektral terseleksi adalah 234 dan 345. Fusi
multispasial sesuai dalam mempertajam morfologi pulau dan mangrove. penutup
lahannya homogen dan pulaunya kecil, penajaman yang sesuai adalah autoclip
highpass sharpen 2. Jadi teknik pengolahan datanya adalah (Gambar 46).

108
4.2 Klasifikasi Tipe Pulau Kecil Berbasis Geomorfologi
Hasil kajian pulau-pulau kecil di daerah penelitian dapat diketahui bahwa
dasar klasifikasi pullau yang telah ada masih kurang mencerminkan karakteristik
biogeofisik. Klasifikasi tipe pulau seperti diuraikan pada sub-bab 2.1.2; secara
garis besar lebih menekankan pada tiga dasar klasifikasi yaitu 1) ketinggian,
yang membedakan antara tinggi dan rendah, 2) topografi, yang membedakan
antara berbukit dan datar, dan 3) lokasi, yang membedakan antara oseanik dan
kontinen. Berdasarkan ketiga klasifikasi ini maka tampak bahwa karakter
ekosistem laut yang tumbuh dan berkembang belum dapat digambarkan dengan
baik. Dengan kata lain, klasifikasi yang ada belum dapat menggambarkan
potensi pertumbuhan mangrove, terumbu karang, ataupun lamun.
Berdasarkan hal tersebut makadalam penelitian ini klasifikasi tipe pulau
kecil dilakukan berbasis geomorfologi, yaitu mengikuti proses geomorfik. Sistem
klasifikasi tipe pulau kecil diawali dari morfogenesis dan kemudian dilengkapi
dengan morfologi umum berupa morfografi. Hal ini diperlukan agar dalam
pengkelasan tipe pulau kecil sekaligus dapat memberikan gambaran umum
karakteristik biogeofisik ekosistem lautnya.

Tabel 26 Klasifikasi tipe pulau kecil menurut morfogenesis

Morfo- Proses Tipe pulau Morfografi


genesis
Endogenik Tektonik lipatan Tektonik lipatan Berbukit, datar
patahan Tektonik patahan Berbukit, datar
Vulkanik/ intrusif Vulkanik intrusif Berbukit, datar
Magmatik ekstrusif Vulkanik ekstrusif Berbukit, datar
Eksogenik Gradasif degradasif Stack Berbukit
Monadnock Berbukit, datar
aggradasif Hummock Berbukit
Aluvial/delta Datar
Moraine* Datar
Biologik karang Terumbu Berbukit, datar
Atol Datar
mangrove Gambut* Datar, berbukit
Antropogenik manusia Buatan* Datar, berbukit
Sumber: Hasil analisis geomorfologi. *) jarang terjadi di Indonesia.

109
Klasifikasi tipe pulau kecil berbasis geomorfologi dibedakan menurut proses
terbentuknya. Menurut Thornbury (1969), proses geomorfik yang membentuk
muka bumi dibedakan menjadi tiga yaitu proses-proses endogen, eksogen, dan
ekstraterestial. Proses endogen terdiri atas diastrofisme (lipatan dan patahan)
dan magmatik (intrusi dan ekstrusi), sedangkan proses eksogen terdiri atas
gradasi dan hasil kerja organisme termasuk manusia. Proses gradasi sendiri
terdiri atas degradasi (pelapukan, gerakan massa, dan erosi) dan aggradasi (air,
air tanah, gelombang, angin, dan glasial). Proses ekstraterestrial adalah jatuhnya
meteorit dari luar angkasa ke permukaan bumi. Oleh karena proses
ekstraterestrial jarang dijumpai maka konsentrasi studi ini difokuskan pada proses
endogenik dan eksogenik. Pulau-pulau kecil diklasifikasikan dari kedua proses
utama tersebut dan diuraikan ke dalam kelas-kelas yang lebih rinci. Untuk itu
bentuk pembagian tipe pulau kecil disusun menurut morfogenesis dan dibedakan
dari prosesnya, selengkapnya disajikan pada Tabel 26.
Dari 13 tipe pulau kecil, tiga di antaranya yaitu moraine, gambut, dan
buatan diperkirakan sangat jarang terbentuk di Indonesia. Untuk itu, klasfikasi
tipe pulau kecil dapat disederhanakan menjadi 10 meliputi tektonik lipatan,
tektonik patahan, vulkanik intrusif, vulkanik ekstrusif, stack, monadnock,
hummock, aluvial, terumbu, dan atol.
Pulau kecil tipe tektonik terbentuk oleh proses tektonik yang secara umum
berupa lipatan dan patahan. Pulau-pulau ini, pada atlas pengelompokan pulau-
pulau kecil berdasarkan tektonogenesis, berada di daerah kelompok pulau Busur
Muka, Paparan Benua dan Busur Belakang, dan Benua Renik. Di daerah
kelompok pulau Busur Muka struktur geologi sesar naik lazim dijumpai walaupun
jenis sesar lain serta struktur lain seperti sinklin dan antiklin juga sering
ditemukan. Di daerah kelompok pulau Paparan Benua dan Busur Belakang
dijumpai struktur terban dan setengah terban menguasai wilayah ini, tetapi sering
juga dijumpai sesar geser, sesar naik bersudut landai, serta sinklin dan antiklin.
Di daerah kelompok pulau Benua Renik dijumpai sesar geser umumnya
menguasai wilayah ini, meskipun sesar normal dan sesar naik serta sinklin dan
antiklin juga sering dijumpai. Pada struktur sesar berpeluang dijumpai pulau kecil
tipe tektonik patahan, sedangkan pada struktur sinklin dan antikin berpeluang
dijumpai pulau kecil tipe tektonik lipatan.
Pulau kecil tipe vulkanik terbentuk oleh proses magmatik yang secara garis
besar dapat dibedakan menjadi dua yaitu intrusif dan ekstrusif. Pulau kecil tipe

110
vulkanik tidak pernah merupakan bagian dari daratan benua, dan terbentuk di
sepanjang pertemuan antara lempeng benua dan lempeng samudra. Daerah
yang berpeluang untuk dijumpai pulau kecil tipe vulkanik adalah di daerah
kelompok pulau Busur Magmatik. Struktur sembul dan terban umumnya
menguasai wilayah Busur Magmatik. Di daerah struktur sembul diperkirakan
terbentuk pulau kecil tipe vulkanik intrusif, sedangkan pulau kecil tipe vulkanik
ekstrusif diperkirakan dapat dijumpai di seluruh daerah Busur Magmatik.
Pulau kecil tipe terumbu terbentuk oleh proses pengangkatan pada batu
gamping terumbu. Oleh karena batu gamping terumbu terbentuk dari karang,
maka peluang dijumpainya adalah di daerah terumbu karang yang mengalami
proses endogen aktif. Jadi pulau kecil tipe terumbu awalnya terbentuk oleh
proses biologik dan kemudian oleh proses tektonik yaitu pengangkatan. Pada
klasifikasi ini (Tabel 26) dimasukkan ke dalam kelompok proses biologik karena
proses biologik merupakan proses utama.
Pulau kecil tipe atol terbentuk oleh proses penenggelaman (subsidence)
pulau kecil tipe vulkanik yang semula menjadi substrat dasar pertumbuhan
karang dan oleh pertumbuhan vertikal dari terumbu karang. Pulau kecil tipe
vulkanik, dan tipe atol pembentukannya terkait dengan kegunungapian. Daerah
yang berpeluang dijumpai pulau kecil tipe tipe atol adalah di daerah kelompok
pulau Busur Magmatik seperti halnya untuk pulau kecil tipe vulkanik dan tipe
terumbu.
Stack adalah bentuklahan yang merupakan bagian dari suatu lapisan
batuan dimana sebagian di antaranya telah tererosi. Monadnock adalah
bentuklahan yang terbentuk oleh munculnya batuan yang resisten akibat
tererosinya batuan di atasnya yang kurang resisten. Jika kedua bentuklahan
tersebut terbentuk di lautan dan tidak tenggelam saat air laut pasang maka
terbentuklah pulau kecil tipe stack dan monadnock.
Pulau kecil tipe hummock dapat terbentuk di daerah yang relatif labil yang
dapat menyebabkan suatu massa batuan bergeser dan membentuk bentuklahan
hummock. Di daerah penelitian, contoh bentuklahan hummock dijumpai di
daratan Pulau Ruang, dan jika bentuklahan ini terbentuk di lautan maka disebut
pulau kecil tipe hummock. Morfologi pulau kecil tipe hummock berbentuk kubah
atau dapat dikategorikan berbukit. Pulau kecil tipe hummock berpeluang dijumpai
di daerah gempa. Pada Gambar 5, daerah gempa berada di Busur Muka, Busur

111
Magmatik, dan di Laut Jawa. Pulau kecil tipe hummock di Indonesia hanya
dijumpai satu yaitu Pulau Rondo di Sumatra Utara (Rais, 2008).
Pulau kecil tipe aluvial atau delta terbentuk oleh proses fluvial dimana laju
pengendapan lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas erosi oleh arus dan
gelombang laut. Pulau kecil tipe aluvial berpeluang dijumpai di depan muara-
muara sungai besar, seperti di depan muara-muara sungai di pantai Timur
Sumatra dan di Delta Mahakam, Kalimantan.
Analisis tipe pulau kecil melalui pendekatan geomorfologi untuk ekosistem
laut memberikan informasi bentuk pulau, jenis batuan yang terkandung, dan
proses terbentuknya. Dengan kata lain, melalui tipe pulau dapat diduga
karakteristik biogeofisik ekosistem lautnya. Sebagai contoh, pada pulau kecil tipe
tektonik di Kepulauan Batam yang secara umum tersusun dari batupasir dan tuf
dan di lokasi ini tidak dijumpai suatu muara sungai besar yang membawa muatan
sedimen yang tinggi, maka ekosistem pantai yang terbentuk adalah pantai
berbatu dan berpasir.
Pada klasifikasi tersebut hanya membedakan antara morfografi datar dan
berbukit, hal ini dimaksudkan untuk menyederhanakan. Topografi dapat
dibedakan menjadi datar (0 – 100 m), berbukit (>100 – 300 m), dan bergunung
(>300 m). Morfografi pulau kecil bergunung dan berbukit digabung menjadi
morfografi berbukit, sehingga pulau kecil dengan ketinggian >100 m dimasukkan
ke dalam kategori morfografi berbukit. Pada Tabel 25, jenis morfografi setiap tipe
pulau kecil yang tercantum disesuaikan dengan kemungkinan ketinggian pulau
kecil yang terbentuk.
Karakteristik biogeofisik suatu pulau kecil terdapat kaitan yang erat antara
morfografi (datar atau berbukit) dengan perkembangan ekosistem laut. Pola
keterkaitan ini dijumpai pada model pulau-pulau kecil dan salah satu contoh
fenomena yang menonjol dijumpai pada perbedaan karakteristik biogeofisik
antara Pulau Ruang dengan Pulau Pasighe.
Klasifikasi ini masih bersifat umum tetapi dapat dipakai sebagai panduan
yang praktis untuk pembagian tipe pulau kecil dengan menggunakan data
penginderaan jauh satelit atau data lainnya. Selanjutnya dari tipe pulau kecil ini
dilakukan analisis untuk mendapatkan karakteristik biogeofisik melalui
pendekatan geomorfologi ataupun cara lainnya.

112
4.3 Identifikasi Ekosistem Laut Berbasis Tipe Pulau
4.3.1 Mangrove
Pada model pulau-pulau kecil tipe tektonik, secara umum mangrove
berkembang dengan baik. Pada tahap awal interpretasi secara visual, dari citra
komposit warna semu (False Color Composite/FCC) RGB 453, mangrove
diidentifikasi dari unsur interpretasi warna, tekstur, dan lokasi. Warna mangrove
adalah merah bata, bertekstur kasar, dan lokasinya di pantai (Gambar 30 a).
Pada citra QuickBird, interpretasi mangrove dapat diperjelas dengan unsur pola
yaitu bergerombol-gerombol (Gambar 30 c). Pada Gambar 14 b mangrove dapat
dikenali lebih jelas dibandingkan dengan Gambar 14 a. Hal ini menunjukkan
bahwa fusi multispasial berperan dalam identifikasi mangrove yang berada di
atas permukaan air laut. Dengan kata lain, mangrove dapat diidentifikasi tanpa
kendala.
Contoh kasus di Pulau Lengkang menunjukkan bahwa identifikasi
mangrove dapat dilakukan hanya menggunakan unsur warna. Pada citra
komposit RGB 453, mangrove berwarna merah bata (Gambar 30 a), sedangkan
pada citra RGB 542, mangrove berwarna hijau tua (Gambar 14 a). Mangrove
dapat diidentifikasi dengan baik pada kedua citra komposit tersebut. Sebaran
mangrove di sini tidak terlalu luas, hanya terdapat pada sebagian sisi Pulau
Lengkang, tetapi karena perbedaan warna antar obyek tampak kontras maka
identifikasi mangrove dapat dilaksanakan. Warna mangrove yang kontras terkait
dengan nilai digitalnya. Pada data Landsat kanal 4, kisaran nilai digital mangrove
menunjukkan nilai yang tinggi dan berbeda nyata dengan terumbu karang dan
lamun (Tabel 16). Perbedaan nyata atau keterpisahan nilai digital antar obyek-
obyek ekosistem laut ini membuat identifikasi mangrove menjadi lebih mudah.
Contoh kasus di Pulau Jagung (Gambar 14 a bagian utara), dijumpai
mangrove dengan tingkat kerapatan tinggi. Vegetasi ini tumbuh sampai batas
daerah daratan yang dapat dicapai oleh air laut pada saat pasang tertinggi. Pada
model pulau kecil tipe tektonik ini dijumpai keragaman penutup lahan, tetapi
warna merah bata tampak kontras dengan warna lain. Secara umum, mangrove
dapat tumbuh dan berkembang baik di sekeliling pulau-pulau kecil tipe tektonik,
kecuali pada pantai berbatu dengan lereng terjal atau pantai yang telah banyak
mendapat pengaruh aktivitas manusia seperti pencemaran.
Pada model pulau-pulau kecil tipe vulkanik, mangrove dijumpai jika ada
bagian pesisir pulau yang terlindung dari ombak. Hasil komposit RGB 453 citra

113
Landsat di Pulau Pasighe menunjukkan mangrove dengan warna merah bata
juga. Namun, penutup lahan di Pulau Pasighe dominan mangrove sehingga
warna merah bata tidak tampak kontrasnya, hanya sebagian kecil yang berwarna
beda (Gambar 31 c). Kerapatan mangrove yang tinggi membuat tekstur obyek
jadi lebih halus sehingga pola mangrove yang biasanya bergerombol tidak
tampak. Dari unsur lokasi juga sulit digunakan untuk identifikasi. Mangrove di
pulau kecil ini menempati seluruh pulau dan berada di tengah bentuklahan
terumbu yang berbentuk lonjong. Artinya bahwa, pada tahap awal interpretasi
mangrove menggunakan unsur warna, tekstur, dan lokasi masih menemui
kesulitan. Pada kasus tersebut, identifikasi mangrove secara langsung dari RGB
453 menjadi terkendala. Salah satu kesulitannya adalah belum diketahuinya tipe
dan karakteristik biogeofisik pulau kecil.
Sebagai perbandingan fenomena pertumbuhan mangrove di pulau tipe
vulkanik, adalah perbedaan antara Pulau Ruang dan Pulau Pasighe. Pada citra
komposit RGB 453 di Pulau Ruang dan Pulau Pasighe dijumpai warna merah
yang tersebar dari tengah pulau hingga ke pesisir. Keberadaan warna merah
dengan lokasi di pantai mengarah untuk diinterpretasi sebagai mangrove.
Namun, hasil pengamatan langsung di lapangan diketahui bahwa di Pulau Ruang
tidak dijumpai mangrove, dan warna merah di citra adalah pohon kelapa dan
semak belukar. Kesulitan identifikasi mangrove di Pulau Ruang ini disebabkan
oleh warna merah dan warna lain tidak terjadi kekontrasan yang berarti, sehingga
tidak ada pembanding.
Pulau Ruang adalah pulau kecil tipe vulkanik berbukit dengan gunungapi
yang masih aktif. Hasil letusan Gunungapi Ruang berupa piroklastik dan lava.
Pulau vulkanik ini muncul di samudra sehingga semua pantainya berhadapan
langsung dengan gelombang besar. Kedua faktor tersebut, gunungapi aktif dan
posisi di samudra, menjadi kendala pertumbuhan mangrove (Gambar 31 b). Di
sisi lain, Pulau Pasighe adalah pulau kecil tipe vulkanik datar terdenudasi lanjut
yang terlindung dari gelombang besar oleh adanya terumbu yang berbentuk
lonjong di sekelilingnya. Karakteristik fisik Pulau Pasighe ini sesuai untuk
pertumbuhan mangrove dan lamun. Pada kasus dua pulau ini, ditemukan bahwa
identifikasi mangrove memerlukan informasi pemahaman karakteristik biogeofisik
pulau kecil.

114
a) Pulau Lengkang b) Pulau Mentiang, c) Pulau Mentiang
Landsat RGB 453 Landsat RGB 453 QuickBird pansharpen
resolusi 30 m resolusi 0,6 m

Gambar 30 Citra mangrove di pulau kecil tipe tektonik.

a) Pulau Pasighe b) Pulau Ruang c) Pulau Pasighe


QuickBird pansharpen Landsat RGB 453 Landsat RGB 453

Gambar 31 Mangrove dan non-mangrove di pulau kecil tipe vulkanik.

Gambar 32 Scattergram ekosistem laut Pulau Pasighe kanal 1 dan 2.


Km = karang mati, p = pasir, kh = karang hidup, lm = lamun, mgr = mangrove.

115
Analisis digital mangrove di pulau kecil tipe tektonik dipilih di Pulau
Lengkang. Hasil analisis digital mangrove dari algoritma NDVI diperoleh selang
nilai dari negatif sampai positif. Nilai NDVI negatif merupakan obyek air,
sedangkan nilai NDVI positif adalah mangrove. Analisis ini dimaksudkan untuk
mengelompokkan tingkat kerapatannya serta memisahkan antara mangrove
dengan non mangrove. Area mangrove telah diidentifikasi terlebih dahulu secara
visual menggunakan citra Landsat RGB 453. Identifikasi mangrove di sini tidak
dijumpai kesulitan, antara lain disebabkan oleh adanya keragaman obyek,
sehingga warna merah bata tampak lebih nyata dan lebih kontras dibandingkan
dengan warna lain (Gambar 30 a).
Nilai NDVI mangrove di Pulau Lengkang (+ 0,27 Km2) berkisar antara –
0,349 sampai +0,376. Berdasarkan nilai tersebut Pulau Lengkang dibagi menjadi
5 kelas. Dua kelas pertama adalah perairan, dan selanjutnya adalah mangrove
dengan kelas kerapatan dari rendah, sedang, sampai tinggi. Hasil klasifikasi
kerapatan mangrove ditunjukkan pada Gambar 33.
Analisis digital mangrove di pulau kecil tipe vulkanik dipilih di Pulau Ruang
dan Pulau Pasighe untuk mewakili fenomena kaitan antara pulau kecil tipe
vulkanik dengan pertumbuhan mangrove. Hasil pengamatan di Pulau Ruang
dijumpai warna merah dari tengah pulau hingga ke tepi pulau secara merata
(Gambar 31 b). Di bagian tengah pulau memiliki nilai NDVI lebih tinggi daripada
di bagian tepi pulau. Kisaran nilai NDVI adalah -0,135 sampai +0,602. Pengaruh
massa air di tepi pulau lebih tinggi sehingga nilai digital kanal 4 akan rendah dan
nilai NDVI akan lebih kecil dibandingkan di tengah pulau. Hasil cek lapangan
diketahui bahwa, di Pulau Ruang (+ 13,55 Km2) tidak dijumpai mangrove tapi
didominasi oleh kelapa dan semak belukar. Berdasarkan nilai NDVI Pulau Ruang
dibagi menjadi 5 kelas kerapatan vegetasi dari sangat jarang hingga sangat lebat
dan satu kelas perairan (Gambar 34). Hasil klasifikasi NDVI di pulau ini
merupakan klasifikasi kerapatan vegetasi non mangrove.
Hasil pengamatan pada citra Landsat RGB 453 di Pulau Pasighe dijumpai
seluruh pulau berwarna merah bata yang kurang nyata, bertekstur halus yang
mirip dengan padang rumput (Gambar 31 a dan c). Dari citra QuickBird Pulau
Pasighe, mangrove dapat diidentifikasi dengan baik dengan pola vegetasi
bergerombol. Nilai NDVI mangrove di Pulau Pasighe (+ 2 Km2) berkisar antara –
0,451 sampai +0,512. Hasil cek lapangan diketahui bahwa, di Pulau Pasighe
didominasi oleh mangrove dan hanya sedikit area yaitu di tengah pulau yang

116
ditumbuhi oleh non-mangrove. Berdasarkan nilai NDVI tersebut Pulau Pasighe
dibagi menjadi 3 kelas kerapatan mangrove yaitu rendah, sedang, dan tinggi, 2
kelas perairan, dan 1 kelas non-mangrove (Gambar 35). Kelas non-mangrove
dengan NDVI di atas 0,4 adalah berupa hutan sangat lebat.

Warna Nilai NDVI Luas(ha) Kerapatan


Ndvi <= 0 4,14 perairan
0< ndvi<=0,1 2,61 perairan
0,1<ndvi<=0,2 10,98 rendah
0,2<ndvi<=0,3 20,88 sedang
ndvi>0,3 30,69 tinggi

Gambar 33 Klasifikasi kerapatan mangrove di Pulau Lengkang.

Warna Nilai NDVI Luas (ha) Kerapatan:


0< ndvi<=0,1 0 perairan
0,1<ndvi<=0,2 31,95 sangat jarang
0,2<ndvi<=0,3 145,44 jarang
0,3<ndvi<=0,4 249,39 sedang
0,4<ndvi<=0,5 386,91 lebat
ndvi>0,5 162,27 sangat lebat
 
 

Gambar 34 Klasifikasi NDVI di Pulau Ruang.

Warna Nilai NDVI Luas (ha) Kerapatan:


Ndvi <= 0 9,36 perairan
0< ndvi<=0,1 6,30 perairan
0,1<ndvi<=0,2 8,91 rendah
0,2<ndvi<=0,3 27,99 sedang
0,3<ndvi<=0,4 112,05 tinggi
ndvi>0,4 34,56 non-
  mangrove

Gambar 35 Klasifikasi kerapatan mangrove di Pulau Pasighe.

117
Tabel 27 Nilai NDVI menurut tipe pulau

Nama pulau Tipe pulau Nilai NDVI


Lengkang tektonik berbukit - 0,349 sampai 0,376
Pasighe vulkanik datar terdenudasi - 0,451 sampai 0,512
Ruang vulkanik berbukit dengan gunungapi aktif - 0,135 sampai 0,602
Sumber: Hasil pengolahan data dengan formula 2

Klasifikasi tingkat kerapatan vegetasi di Pulau Ruang berbeda dengan


Pulau Pasighe dipengaruhi oleh karakteristik biogeofisik pulau kecilnya.
Sementara itu, analisis NDVI dari data Landsat dan QuickBird di Pulau Ruang
dan Pulau Pasighe menunjukkan kisaran nilai dengan pola yang sama. Hasil
perhitungan NDVI menunjukkan bahwa mangrove memiliki kisaran nilai lebih
sempit dibandingkan vegetasi secara umum, yaitu antara -0,349 sampai 0,376
untuk Pulau Lengkang, -0,451 sampai 0,512 untuk Pulau Pasighe, dan - 0,135
sampai 0,602 untuk Pulau Ruang (Tabel 27). Sebagai perbandingan, nilai NDVI
dari data NOAA untuk hutan adalah 0,7.
Pada model pulau-pulau kecil tipe terumbu mangrove tidak dijumpai. Di
Pulau Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil yang mewakili tipe pulau terumbu,
tidak dijumpai mangrove dan lamun. Pulau ini mempunyai dataran yang
terlindung dari aktivitas gelombang besar berupa tombolo di Pulau Pomana-
besar dan cuspate foreland di Pulau Pomana-kecil bagian Barat. Namun, di
lokasi tersebut tidak dijumpai mangrove dan lamun. Dari model pulau-pulau kecil
tipe terumbu diketahui bahwa suplai air tawar tidak terjadi sehingga tidak sesuai
untuk petumbuhan mangrove dan lamun. Hasil pengamatan diketahui bahwa
hubungan antara bentuklahan dengan tipe pulau atau morfogenesis pulau
menunjukkan bahwa pulau kecil tipe terumbu tidak sesuai untuk mangrove dan
lamun tapi sangat sesuai untuk terumbu karang.
Faktor salinitas, substrat, dan arus di sekeliling pulau kecil tipe terumbu ini
diperkirakan tidak memenuhi syarat untuk pertumbuhan mangrove dan lamun.
Salinitas tidak dapat terpenuhi karena tidak ada suplai air tawar. Faktor substrat
tidak dapat terpenuhi karena pantainya berhadapan dengan laut lepas, sehingga
kurang memungkinkan terbentuknya pengendapan sedimen. Sementara itu,
faktor arus tidak sesuai untuk mangrove dan lamun karena pantainya
berhadapan dengan laut lepas atau tidak ada pantai dengan posisi terlindung.

118
4.3.2 Terumbu karang
Pada model pulau-pulau kecil ketiga tipe, unsur interpretasi warna yaitu
biru terang dan unsur lokasi yaitu di perairan laut dangkal lebih mudah digunakan
untuk identifikasi awal terumbu karang. Terumbu karang tumbuh di perairan laut
dangkal dan pada citra Landsat RGB 421 tampak berwarna biru terang. Namun,
warna biru terang adalah kondisi umum perairan laut dangkal non-mangrove
(Gambar 14 g, 24 f, dan 29 e).
Pada perairan laut dangkal di sekeliling pulau-pulau kecil tipe tektonik,
identifikasi terumbu karang secara visual dapat dibandingkan antara citra RGB
421 dengan RGB 542 (Gambar 14). Jika pada citra RGB 542 obyek tetap tampak
maka obyek ini bukanlah terumbu karang. Obyek berwarna biru terang di pulau
tektonik ini adalah batuan dasar peneplain yang tenggelam dan belum tentu
tumbuh terumbu karang. Hasil cek lapangan diketahui bahwa warna biru terang,
pada area terumbu karang ini, ternyata merupakan pasir, batuan dasar, batu
lempung, konglomerat, kekeruhan atau terumbu karang (Gambar 11 f dan g).
Artinya bahwa identifikasi terumbu karang secara langsung dari unsur-unsur
interpretasi masih mengalami kesulitan.
Tipe pulau dan informasi karakteristik biogeofisik di pulau-pulau kecil tipe
tektonik berperan dalam analisis terumbu karang. Pulau-pulau kecil di Kota
Batam dengan tipe tektonik mempunyai substrat dasar yang secara geologis
tersusun atas batuan bekudalam (igneous rock) dan batuan sedimen
(sedimentary rocks), sehingga bentuklahan terumbu paparan berkembang di
daerah ini. Misalnya, perairan laut dangkal di Pulau Lengkang merupakan
paparan yang tersusun oleh batuan bekudalam dan sedimen. Jenis substrat
dasar ini terkait dengan terbentuknya pulau kecil dan informasi ini bermanfaat
untuk reklasifikasi hasil analisis digital menggunakan algoritma Lyzengga.
Pada model pulau kecil tipe vulkanik dan tipe terumbu, terumbu karang
diidentifikasi menggunakan citra komposit RGB 421 dari data citra Landsat dan
QuickBird dengan penajaman autoclip highpass sharpen 2. Di Pulau Pasighe
(Gambar 24 f) dengan bentuk yang unik memperlihatkan detail perairan laut
dangkal yang mengelilinginya. Gambar 24 f ini secara visual menjelaskan, warna
biru cerah adalah pecahan koral atau karang mati, warna biru kehijauan adalah
karang hidup, warna coklat gelap adalah lamun, dan warna biru adalah lagun.
Untuk obyek terumbu karang Gambar 22 a lebih jelas dibandingkan
Gambar 23 a. Kondisi serupa juga dijumpai pada perbandingan antara citra RGB

119
542 dengan RGB 421 pada sesama citra Landsat (Gambar 22). Hal ini
menunjukkan bahwa resolusi spektral lebih berperan dibandingkan resolusi
spasial dalam menampilkan terumbu karang. Pada kasus ini, terumbu karang
lebih sesuai ditampilkan dengan kanal 1 dan 2 seperti pada citra komposit RGB
421 Gambar 22 c.
Hasil identifikasi terumbu karang pada model pulau kecil tipe vulkanik di
daerah Sikka dan Sitaro diketahui kondisinya berkorelasi terbalik dengan tingkat
aktivitas vulkanik di pulau kecil. Semakin tinggi aktivitas vulkanik semakin
terkendala pertumbuhan karang. Secara berturut-turut contoh tingkat aktivitas
vulkanik, dari paling aktif hingga tidak aktif dan terakhir membentuk atol adalah
Pulau Palue dan Pulau Ruang, Gugus-pulau Besar, Pulau Pasighe, dan Pulau
Gunung-sari. Pulau Babi berbentuk kubah lava terdenudasi hasil intrusi,
sedangkan Pulau Gunung-sari terbentuk oleh tenggelamnya pulau vulkanik atau
disebut atol.
Model Pulau Besar yang merupakan pulau vulkanik denudasional
(didominasi oleh endapan piroklastik dan lava dan tidak ada aktivitas vulkanik
lagi) dijumpai terumbu penghalang, sedangkan model Pulau Palue yang terdapat
gunungapi aktif dijumpai terumbu pinggiran. Terumbu penghalang terbentuk
pada tahap lanjut dari pertumbuhan terumbu pinggiran. Model Pulau Pasighe
yang merupakan pulau vulkanik denudasional (didominasi oleh endapan
piroklastik dan tidak ada aktivitas vulkanik lagi) dijumpai terumbu karang
berkembang jauh lebih bagus (Gambar 24 f), sedangkan model Pulau Ruang
yang terdapat gunungapi aktif dijumpai karang yang masih dalam tahap awal
pertumbuhannya pada substrat dasar batuan vulkanik muda. Aktivitas vulkanik ini
juga mempengaruhi kondisi perairan (hidrologi) yang menjadi salah satu faktor
penentu pertumbuhan karang. Contoh pertumbuhan terumbu karang tahap awal
pada batuan vulkanik ditunjukkan pada Gambar 15 d.
Analisis terumbu karang berikut ini untuk Pulau Babi, Gugus-pulau Besar,
Gosong-goni, dan Pulau Ruang menunjukkan spesifikasi karakteristik biogeofisik
terumbu terkait dengan karakteristik biogeofisik pulaunya.
Terumbu karang di Pulau Babi terbentuk secara terpisah sejauh 75 meter
dari tepi pantai akibat sedimentasi dan secara horizontal lebar terumbu karang
berkembang tidak seragam. Perkembangan terlebar, dari arah tepi pulau menuju
laut lepas adalah 800 meter, dan bagian tersempit adalah 40 meter. Pada bagian
Tenggara dan Barat-Laut, terumbu karang kurang berkembang, dan hanya

120
memiliki lebar berkisar 40-50 meter. Pada jarak 130 meter dari muara, terbentuk
terumbu dengan lebar berkisar 68 meter. Kondisi ini menunjukkan bahwa
terumbu karang dapat berkembang dengan lebih baik pada bagian Barat, Utara,
dan Timur Pulau Babi. Hal ini disebabkan karena pada bagian-bagian tersebut
menghadap ke laut (sea ward), sehingga percikan ombak serta arus pasang naik
dan hangat akan membawa oksigen dan makanan yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan karang.
Terumbu karang pada Gugus-pulau Besar berkembang pada substrat yang
berasal dari material vulkanis tua. Perkembangan terumbu karang tidak merata,
mengikuti topografi dasar laut yang tidak teratur dan dipengaruhi oleh
sedimentasi dari pulau kecil. Terumbu karang pada Pulau Parumaan
berkembang terpisah berkisar 45-120 meter dari tepi pulau. Terumbu karang
pada Pulau Kondo berkembang mengelilingi tepi pulau. Sementara itu, terumbu
penghalang dijumpai di bagian barat Pulau Besar, hal ini wajar karena
merupakan bagian gugus-pulau yang menghadap ke laut lepas (Gambar 44 a).
Terumbu karang pada Gosong-goni (Gambar 41 b) tampak dari citra
berbentuk melingkar yang berkembang dengan topografi menyerupai cekungan
seperti karung yang terbuka. Bagian terumbu karang yang terdalam mencapai 30
m di bawah permukaan air laut. Bentuk topografi demikian, dapat disebabkan
oleh bentuk substrat dasarnya yang menyerupai cekungan. Bentuklahan terumbu
ini disebut atol yang sedang tumbuh (belum muncul ke permukaan).
Di Pulau Ruang terumbu karang tumbuh di batuan vulkanik di luar area
breaker zone dan masih sangat sedikit (Gambar 36). Di dalam wilayah breaker
zone tidak tumbuh terumbu karang, tapi di luar zona itu bisa tumbuh terumbu
karang. Hasil aplikasi algoritma Lyzengga menunjukkan warna kuning dan merah
adalah perairan laut dangkal dan terdapat endapan piroklastik berupa batu dan
pasir. Di sini terumbu karang tidak terdeteksi karena memang masih sangat
sedikit. Pola pertumbuhan terumbu karang pada batuan vulkanik ditunjukkan
pada Gambar 15 d.
Di Pulau Ruang breaker zone tampak dengan jelas dari citra (Gambar 36
a) tapi di Pulau Pasighe kurang jelas. Di Pulau Pasighe terumbu karang tumbuh
di dalam breaker zone yang merupakan perairan laut dangkal, sebaliknya di
Pulau Ruang terumbu karang tumbuh di luar breaker zone. Pulau Pasighe
memiliki area perairan laut dangkal yang berbentuk oval dengan material
vulkanik. Di Pulau Lengkang tidak tampak breaker zone. Kasus ini menunjukkan

121
hubungan antara batimetri substrat dasar dengan nilai digital dan pentingnya
informasi karakteristik biogeofisik terumbu karang pada analisis digital.

b) Landsat RGB 421 c) aplikasi algoritma


a) QuickBird RGB 421 autoclip sharpen 2 Lyzengga

Gambar 36 Breaker zone di Pulau Ruang, warna putih di pesisir.

Pasir
Lamun
Karang
mati
Karang
P. Airmanis hidup
Laut
dangkal
P. Lengkang Laut
a) Landsat RGB 421, dalam
P. Lengkang b) hasil algoritma Lyzengga
B

P. Abang
besar

P. Pasir-buluh

P. Abang
kecil

c) Landsat RGB 421, A


Puau Abang-besar d) Terumbu karang di Pulau Abang

Gambar 37 Klasifikasi terumbu karang dan lamun di pulau kecil tipe tektonik.

122
Hasil pengamatan pada pulau-pulau kecil tipe vulkanik tersebut, diperoleh
perbedaan pola pertumbuhan terumbu karang secara berturut-turut dari pantai ke
arah laut yaitu: a) Pulau Babi adalah pasir kemudian terumbu karang; b) Pulau
Pasighe adalah lamun, terumbu karang kemudian pasir; c) Pulau Ruang adalah
batu berpasir kemudian terumbu karang. Perbedaan urutan ini terjadi terkait
dengan proses terbentuknya pulau kecil.
Hasil pengolahan digital menggunakan algoritma Lyzengga pada model
pulau kecil tipe tektonik di Pulau Lengkang dan sekitarnya menunjukkan bahwa,
warna yang sama mencerminkan beberapa obyek berbeda, misalnya warna
merah merupakan pasir, karang mati, dan dangkalan. Di sisi lain, algoritma
Lyzengga juga menterjemahkan sama antara terumbu karang dan pantai
berpasir. Nilai ki/kj pada model Pulau Lengkang ini adalah 0,77835. Selain itu,
tumpang tindih obyek dalam satu kelas juga dijumpai di model pulau-pulau kecil
tipe tektonik lainnya.
Analisis digital terumbu karang menggunakan algoritma Lyzengga
mengelompokkan obyek-obyek yang dibedakan dalam warna. Berdasarkan
perbedaan warna ini obyek-obyek di perairan laut dangkal atau di bawah
permukaan air dikelompokkan menjadi terumbu karang, lamun, dan obyek lain
seperti pasir, laut dangkal, atau kekeruhan. Penamaan tiap kelompok obyek
menjadi bagian yang penting dan menjadi fokus perhatian penelitian ini karena
berisiko timbul kekeliruan.
Hasil aplikasi algoritma tersebut menunjukkan bahwa identifikasi terumbu
karang dan lamun belum sesuai, meskipun telah menggunakan koefisien ki/kj
yang dimaksudkan untuk mewakili keragaman daerah kajian. Pada kondisi
lapangan memang obyek berwarna biru terang di daerah kajian merupakan
batuan dasar peneplain. Kasus ini identik dengan kasus identifikasi mangrove
dimana identifikasi obyek memerlukan pengetahuan tentang obyeknya. Kondisi
ini menjadi salah satu penyebab rendahnya akurasi klasifikasi terumbu karang
secara digital. Upaya reklasifikasi hanya dapat membedakan antara perairan laut
dangkal dan pasir.
Hasil identifikasi terumbu karang pada model pulau-pulau kecil tipe tektonik
diketahui bahwa, aplikasi algoritma Lyzengga dapat membedakan dengan baik
sampai batas perbedaan antara daratan dan perairan laut dangkal. Namun,
algoritma ini belumlah memuaskan untuk digunakan pada klasifikasi terumbu
karang dan lamun. Berdasarkan temuan tersebut di atas, dilakukan pengujian di

123
Pulau Abang yang memiliki data tentang kondisi terumbu karang. Hasil
perhitungan ki/kj Pulau Abang dengan 30 area sampling adalah
a = varb1-varB2/(2xcovarB1B2) = -0,29593
ki/kj = a+((a^2)+1)^0.5 = 0,741704
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diperoleh klasifikasi terumbu
karang seperti ditunjukkan pada Gambar 37 d. Menurut hasil survei CRITC
(2005) di Pulau Abang menunjukkan bahwa di lokasi A ditemukan 0% karang
hidup; 87,5% pasir dan 12,5% pecahan karang, sedangkan di lokasi B
ditemukan: 29,70% karang hidup; 19,80 karang mati; 9,9% pasir; dan 29,7%
rumput laut (seaweed). Di lokasi A, hasil klasifikasi mendekati hasil survei,
sebaliknya di lokasi B, hasil klasifikasi jauh dari hasil survei. Tingkat akurasi pada
kasus ini menunjukkan bahwa faktor morfologi, yaitu keterjalan pantai,
mempengaruhi akurasi klasifikasi secara digital. Pada pantai terjal di lokasi B,
karang hidup 29,70%, oleh algoritma Lyzengga tidak dapat dikenali. Sebaliknya,
pada pantai landai di lokasi A, pasir teridentifikasi sebagai karang hidup oleh
algoritma Lyzengga.
Hasil aplikasi algoritma Lyzengga di Pulau Babi dibedakan menjadi 6 kelas
yaitu karang mati, karang rusak, pasir, karang hidup, lamun, dan laut/lagun. Hasil
reklasifikasinya menjadi karang hidup, karang mati, dan pasir (Gambar 38).
Sementara itu hasil aplikasi algoritma Lyzengga di Pulau Pasighe menjadi 6
kelas yaitu lamun, daratan pulau, laut dangkal, karang hidup, pasir, dan karang
mati/rubble. Hasil reklasifikasinya menjadi lamun, laut dangkal, karang hidup,
pasir, dan karang mati (Gambar 39). Reklasifikasi dilakukan berdasarkan
informasi bentuklahan terumbu dan karakteristik biogeofisik perairan laut
dangkal.
Hasil analisis digital terumbu karang di pulau kecil tipe terumbu menggunakan
data Landsat, di Pulau Pomana-besar ditunjukkan pada Gambar 40. Klasifikasi
terumbu karang menggunakan algoritma Lyzengga pada Gambar 40 a, kemudian
dilakukan reklasifikasi dengan masukan hasil analisis karakteristik biogeofisik
terumbu karang, dan hasilnya ditunjukkan pada Gambar 40 b. Analisis terumbu
karang secara digital ini termasuk kriteria klasifikasi habitat secara ekologis,
sedangkan informasi karakteristik biogeofisik terumbu karang adalah hasil analisis
secara visual termasuk kriteria klasifikasi geomorfologi. Hasil reklasifikasi dapat
membedakan antara terumbu karang (warna biru muda dan kuning) dan pasir
(warna merah).

124
a) hasil algoritma b) hasil algoritma
Lyzengga Landsat Lyzengga QuickBird
: karang mati
: karang rusak
: pasir
: karang hidup
: lamun
: Laut/lagun
c) Hasil reklasifikasi
Landsat

Gambar 38 Klasifikasi terumbu karang di Pulau Babi.

a) hasil algoritma b) hasil algoritma


Lyzengga Landsat Lyzengga QuickBird

c) Hasil reklasifikasi
Landsat

Gambar 39 Klasifikasi terumbu karang di Pulau Pasighe.

125
Perbedaan data Landsat dan QuickBird untuk klasifikasi terumbu karang
dengan algoritma Lyzengga adalah pada kedetailan hasil yang disebabkan oleh
perbedaan resolusi spasial yaitu antara 15 m dan 2,5 m. Kesamaannya adalah
dalam memanfaatkan kanal 1 dan kanal 2 yang keduanya memiliki kisaran
panjang gelombang sama. Hasil klasifikasi terumbu karang dari data QuickBird
ini dimanfaatkan untuk verifikasi dan validasi hasil klasifikasi dari data Landsat.

a) hasil algoritma Lyzengga citra Landsat

b) hasil algoritma Lyzengga citra QuickBird

Karang hidup
Laut

Pasir
Pulau Pomana-besar
Karang mati

c) hasil reklasifikasi citra Landsat

Gambar 40 Klasifikasi terumbu karang di Pulau Pomana-besar.

126
Berdasarkan hasil analisis digital dari algoritma Lyzengga diperoleh
pengelompokan nilai digital yang dibedakan dalam warna. Setiap warna
diidentifikasi dan dibedakan menjadi terumbu karang, lamun, dan obyek lain
seperti pasir, laut dangkal, atau kekeruhan. Penamaan obyek untuk tiap kelas
pada saat reklasifikasi menjadi bagian yang penting dan fungsi informasi
karakteristik biogeofisik menjadi panduan. Pada kasus terumbu karang di Pulau
Pomana menunjukkan bahwa, warna yang sama mencerminkan beberapa obyek
yang berbeda, misalnya warna merah merupakan pasir, karang mati, dan
dangkalan. Kondisi ini tidak dapat diselesaikan sepenuhnya pada saat
reklasifikasi terumbu karang secara digital. Misalnya terumbu karang (warna
merah) di bagian Tenggara Pulau Pomana-besar masuk ke kelas pasir.
Berdasarkan kasus-kasus tersebut di atas, diperlukan informasi
karakteristik biogeofisik substrat dasar tempat tumbuh terumbu karang. Dari
informasi ini secara tidak langsung juga dapat diperkirakan kedalaman
perairannya. Pulau kecil memiliki perairan laut dangkal di sekelilingnya. Oleh
karena terumbu karang tumbuh dengan baik pada kedalaman maksimum 30 m,
maka area ini perlu dikenali dulu. Uraian di atas menjelaskan fenomena
ekosistem terumbu karang dan tahapan untuk menggabungkan antara klasifikasi
ekologis dan geomorfologis secara hierarkhis.

4.3.3 Lamun
Secara visual, identifikasi lamun sulit dibedakan dengan kekeruhan karena
lamun hidup di bawah permukaan air pada substrat pasir berlumpur. Lamun dan
mangrove mempunyai syarat tumbuh yang terkait erat, sehingga untuk
meyakinkan dalam interpretasi lamun dapat dibantu oleh keberadaan mangrove.
Aspek morfoarrangement atau unsur posisi banyak membantu dalam mengenali
lamun yaitu pada daerah yang terlindung dari gelombang besar (Gambar 14 g).
Hasil pengamatan di Pulau Air-manis dijumpai lamun jenis Enhalus yang tumbuh
di dekat mangrove dan berada pada perairan yang terlindung (Gambar 11 h).
Ekosistem lamun di pulau-pulau kecil di perairan kepulauan Kota Batam memiliki
kondisi kerapatan yang beragam.
Lamun dapat diidentifikasi secara langsung menggunakan teknik fusi
multispektral berupa citra warna semu (False Color Composite/FCC) RGB 421
dari citra Landsat dan QuickBird. Lamun diidentifikasi berdasarkan unsur
interpretasi posisi dan warna. Area lamun yang luas dijumpai di Pulau Pasighe,

127
dan pada citra RGB 321, lamun berwarna kecoklatan dengan posisinya di daerah
yang terlindung (Gambar 24 a, b, dan c). Komposit true color RGB 321 citra
Landsat dan QuickBird menampilkan lamun dengan tajam, tapi komposit lain
dengan kanal 1 dan 2 dapat juga digunakan seperti komposit RGB 421, 521,
atau 721. Penajaman dan pemfilteran untuk lamun sama dengan untuk terumbu
karang yaitu autoclip highpass sharpen 2. Sementara itu, fusi multispasial terjadi
pengkaburan pada penambahan kanal pankromatik.
Ekosistem lamun di Pulau Pasighe memiliki jenis dan kerapatan yang
beragam. Aspek morfoarrangement atau unsur posisi banyak membantu dalam
identifikasi lamun yaitu pada daerah yang terlindung dari gelombang besar
(Gambar 24 f). Lamun di Pulau Pasighe dijumpai berkembang dengan sangat
baik dengan posisi di sekitar mangrove. Persebaran lamun jenis Enhalus
(Gambar 15 e) di Pulau Pasighe berada di dekat mangrove dan kemudian
dijumpai jenis Thalasia (Gambar 15 f) secara berurutan. Sementara itu, lamun
tidak dijumpai di pulau-pulau tipe vulkanik di daerah Sikka. Hal ini diperkirakan
karena pantai-pantainya berhadapan langsung dengan laut lepas, jikapun ada
pantai yang terlindung substrat dasarnya berupa batu.
Lamun biasanya tumbuh pada perairan laut dangkal berlumpur sehingga
dimungkinkan memiliki nilai digital yang sama dengan kekeruhan. Kekeliruan
klasifikasi antara lamun dan kekeruhan pada klasifikasi digital dapat diperbaiki
pada tahap reklasifikasi yaitu dengan memanfaatkan hasil analisis visual.
Permasalahan dan pemecahannya untuk obyek ini sama seperti yang diuraikan
pada klasifikasi terumbu karang. Tingkat akurasi klasifikasi lamun ditentukan
pada saat proses reklasifikasi, yaitu menggunakan kelas-kelas yang dibentuk
algoritma Lyzengga dan disesuaikan dengan kondisi dan karakteristik biogeofisik
yang ada.
Hasil pengamatan pada model pulau-pulau kecil di daerah penelitian
diketahui bahwa untuk identifikasi terumbu karang dan lamun menggunakan
algoritma Lyzengga sebaiknya ditentukan batas daerah daratan pulau kecil
secara visual. Berdasarkan uji coba model pulau, nilai digital batas antara darat
dan perairan laut dangkal berbeda-beda bahkan pada satu pulau kecil sekalipun.
Cara ini sangat berpengaruh pada akurasi klasifikasi terumbu karang dan lamun
secara digital.

128
4.4 Pengelompokan Pulau Kecil untuk Perikanan
4.4.1 Pulau kecil
Pulau kecil adalah salah satu ekosistem laut. Identifikasi karakteristik
biogeofisik ekosistem laut di sekitar pulau kecil akan lebih terarah melalui
identifikasi pulau kecilnya terlebih dahulu. Sedikitnya ada dua kendala pada
identifikasi pulau-pulau kecil yaitu menyangkut ukuran pulau yang kecil dan
liputan awan yang tinggi. Ukuran pulau yang sangat kecil diidentifikasi
menggunakan citra resolusi menengah dan untuk identifikasi lebih detail
menggunakan citra resolusi tinggi. Posisi pulau kecil adalah tidak pernah
tergenang saat pasang tertinggi, atau berada di atas permukaan air laut. Posisi
ini dapat diidentifikasi lebih baik dibandingkan obyek-obyek di bawah permukaan
air laut, karena tidak terpengaruh oleh faktor atenuasi di air yang disebabkan
oleh penyerapan dan hamburan energi matahari. Contoh pulau sangat kecil di
daerah penelitian adalah Pulau Kondo yang termasuk tipe vulkanik ekstrusif
berbukit dengan luas 0,491Ha (14 piksel) dan Pulau Gunung-sari yang termasuk
tipe atol datar dengan luas 0,393 Ha (12 piksel). Keduanya dapat dikenali dari
citra Landsat (Gambar 41).

Pulau Kondo
P. Gunung-sari

Pulau Parumaan

b) Pulau Gunung-sari (0,393 Ha)


di Gosong-goni, tipe atol
a) Pulau Kondo (0,491Ha), tipe
vulkanik

Gambar 41 Pulau sangat kecil, Pulau Kondo dan Pulau Gunung-sari.

129
Bentuk pulau kecil bervariasi dan pada analisis menggunakan citra satelit
dapat menggunakan cara memperbesar (zoom in) dan memperkecil (zoom out)
obyek. Memperbesar citra untuk analisis aspek morfologi dan memperkecil citra
untuk analisis aspek morfoarrangement. Pada saat memperbesar atau
memperkecil juga dapat dibangun variasi citra komposit sesuai dengan kondisi
pulau kecil. Selain itu, hasil analisis pulau kecil dari citra satelit dapat bersifat
melengkapi peta yang telah tersedia. Misal, Pulau Pomana (Gambar 29) dan
Gosong-goni (Gambar 41 b) belum dipetakan pada Peta Rupa Bumi Indonesia
Tahun 1999 skala 1:25.000.

4.4.2 Kaitan pulau kecil dengan perikanan pantai


Hasil perhitungan indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi
ikan disajikan pada Tabel 28. Perhitungan dilakukan tanpa memperhatikan
ukuran, jadi untuk ikan sejenis yang berbeda ukuran dijumlahkan angkanya.
Hasil pengumpulan data jenis dan jumlah ikan disajikan pada Lampiran 11.
Kaitan antara pulau kecil dengan perikanan pantai dianalisis berdasarkan indeks
tersebut.
Berdasarkan hasil perhitungan (Tabel 28) diketahui terdapat nilai yang
kontras antara stasiun Pulau Palue Timur (PT) kedalaman 10 m dan stasiun
Pulau Pomana-besar Selatan (PS) kedalaman 3 m. Di stasiun PT menunjukkan
indeks keanekaragaman (H’) dan keseragaman (E) tertinggi dan indeks
dominansi (C) terendah. Nilai H’ = 2,758 berarti stabilitas komunitas biota dalam
kondisi sedang atau kualitas air tercemar sedang. Nilai E = 0,954 artinya bahwa,
keberadaan setiap jenis biota di perairan ini dalam kondisi seragam atau
keseragaman antar spesies relatif tinggi atau jumlah individu masing-masing
spesies relatif seragam. Nilai C = 0,067 berarti tidak terdapat spesies yang
mendominansi spesies lain atau struktur komunitas dalam keadaan stabil.
Sebaliknya, di stasiun PS pada kedalaman 3 m memiliki indeks keanekaragaman
dan keseragaman terendah dan indeks dominansi tertinggi. Nilai H’ = 0,915
berarti stabilitas komunitas biota dalam kondisi tidak stabil atau kualitas air
tercemar berat. Nilai E = 0,357 artinya bahwa keberadaan setiap jenis biota di
perairan ini dalam kondisi tidak seragam. Nilai C = 0,660 berarti terdapat spesies
yang mendominansi spesies lain, atau struktur komunitas labil karena terjadi
tekanan ekologis (stres).

130
Tabel 28 Indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan

Stasiun pengambilan sampel Keaneka Keseragaman Dominansi


ragaman (H’) (E) (C)
Pulau Palue Timur (PT) 10 m 2,758 0,954 0,067
Pulau Babi Selatan 3m 2,267 0,784 0,168
(BS) 10 m 2,017 0,764 0,211
Pulau Babi Utara 3m 2,205 0,778 0,152
(BU) 10 m 1,428 0,557 0,139
Pulau Pomana-besar 3m 0,915 0,357 0,660
Selatan (PS) 10 m 1,827 0,735 0,238
Pulau Pomana-besar 3m 2,454 0,930 0,100
Barat (PB) 10 m 2,221 0,769 0,166
Gunung-sari Dalam 3m 1,922 0,678 0,197
(GD) 10 m 2,220 0,708 0,131
Gunung-sari Luar 3m 1,795 0,663 0,298
(GL) 10 m 1,666 0,576 0,276

Sumber : Hasil analisis data perikanan dengan formula 5, 6, dan 7.

Indeks

Stasiun

Gambar 42 Grafik indeks keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi ikan.

131
Tabel 28 dan Gambar 42 di atas menjelaskan bahwa kondisi perikanan
pantai di stasiun PT lebih baik dibandingkan dengan stasiun PS. Stasiun PT
dekat dengan bentuklahan terumbu pinggiran yang berkembang pada batuan
vulkanik. Pantai di stasiun PT, relatif rendah kemungkinan terjadinya longsoran
piroklastik produk Gunung Rokatenda. Stasiun PS berhadapan dengan
bentuklahan terumbu dinding tanduk yang berkembang di dekat bentuklahan
tombolo. Pantai ini secara relatif sangat rentan terhadap sedimentasi yang
berasal dari pasir di dataran bentuklahan tombolo yang digunakan sebagai
permukiman. Nilai indeks ini membuktikan bahwa ada kaitan erat antara
karakteristik biogeofisik pulau kecil dengan perikanan pantai.
Nilai indeks dominansi (C) antara BS dan BU hampir sama yang
menunjukkan tidak terdapat spesies yang mendominansi dan struktur komunitas
stabil, tetapi ada sedikit perbedaan nilai yaitu BS lebih tinggi daripada BU. Hal ini
menunjukkan bahwa ekologis di stasiun BS lebih tertekan, dominansi ikan lebih
tinggi, dan struktur komunitas lebih labil.
Kasus di Pulau Babi atau stasiun BS dan BU tersebut menunjukkan
perbedaan kondisi perikanan pantai pada pulau kecil yang sama yang
disebabkan oleh karakteristik biogeofisik bentuklahan yang berlainan. Stasiun BS
berada dekat dengan bentuklahan rawa payau dan rataan pasang surut dengan
karakteristik biogeofisik memiliki tingkat kerentanan sedimentasi lebih tinggi,
sedangkan stasiun BU berada dekat dengan bentuklahan terumbu pinggiran
yang relatif luas dengan tingkat kerentanan sedimentasi lebih rendah. Di sini
diketahui bahwa perikanan pantai yang berhadapan dengan bentuklahan yang
rentan sedimentasi akan kurang baik kualitasnya dibandingkan dengan
perikanan pantai yang berhadapan dengan bentuklahan yang kurang rentan
sedimentasi. Artinya bahwa kondisi perikanan pantai ada korelasi dengan tingkat
sedimentasi bentuklahan di pulau kecil.
Kasus di Pulau Pomana-besar atau stasiun PS dan PB ini menunjukkan
adanya perbedaan tekanan ekologis perikanan pantai akibat perbedaan tingkat
kerentanan sedimentasi dari daratan pulau kecilnya. Stasiun PS berhadapan
dengan bentuklahan tombolo yang digunakan sebagai permukiman, sedangkan
stasiun PB berhadapan dengan bentuklahan perbukitan plato yang digunakan
sebagai perkebunan. Bentuklahan tombolo mempunyai potensi sedimentasi lebih
tinggi dibandingkan dengan bentuklahan perbukitan plato. Perbukitan plato ini
merupakan karst dengan proses pelarutan sehingga sedimentasinya sangat

132
rendah. Pengaruh perbedaan tingkat sedimentasi ini juga ditandai oleh
perbedaan tahap pertumbuhan bentuklahan terumbu. Bentuklahan perbukitan
plato dengan sedimentasi lebih rendah berhadapan dengan bentuklahan
terumbu pelataran bergoba, sedangkan bentuklahan tombolo berhadapan
dengan bentuklahan terumbu dinding. Terumbu pelataran bergoba merupakan
tahap pertumbuhan bentuklahan lebih lanjut dari terumbu dinding.
Kasus di Pulau Gunung-sari atau stasiun GD dan GL menunjukkan bahwa
perbedaan kondisi perikanan pantai terkait dengan karakteristik biogeofisik
antara bagian dalam dan bagian luar bentuklahan terumbu cincin atau atol.
Kondisi perikanan pantai di stasiun GD (bagian dalam atol) lebih baik
dibandingkan dengan stasiun GL (bagian luar atol), dan kedalaman 10 m lebih
baik dibandingkan dengan kedalaman 3 m. Dengan kata lain, bagian dalam atol
lebih terjaga dan semakin dalam kondisinya semakin baik. Hal ini ada
korelasinya dengan kebiasaan nelayan setempat yang biasa mencari udang
galah di bagian dalam atol pada kedalaman lebih dari 10 m.
Perikanan pantai diketahui terdapat perbedaan kondisi menurut kedalaman
perairan seperti ditunjukkan oleh indeks dominansi (C) di stasiun PS dimana nilai
pada kedalaman 3 m lebih tinggi daripada 10 m. Artinya, pada kedalaman 3 m
terjadi tekanan ekologis lebih tinggi sehingga komunitas lebih labil dan dominansi
spesies ikan lebih tinggi. Stasiun PS ini berada di pulau kecil tipe terumbu
berbukit tepatnya berhadapan dengan bentuklahan tombolo, yang berpotensi
tinggi terjadi sedimentasi, dan terdapat bentuklahan terumbu dinding tanduk.
Korelasi yang terjadi adalah pengaruh sedimentasi terhadap tekanan ekologis
pada kedalaman 3 m lebih tinggi dibandingkan dengan 10 m. Di stasiun PB
terjadi kondisi sebaliknya.
Fenomena perikanan pantai menurut kedalaman lebih lanjut diketahui
bahwa, di stasiun PS nilai H’ dan E pada kedalaman 3 m lebih rendah daripada
10 m tapi terjadi sebaliknya pada stasiun PB. Di stasiun PS, pada kedalaman 3
m kondisi keseragaman dan kestabilan lebih rendah dibandingkan dengan 10 m
tapi di stasiun PB terjadi kondisi sebaliknya. Di stasiun PS, menunjukkan bahwa
perikanan pantai yang berhadapan dengan bentuklahan tombolo, semakin dalam
kondisinya semakin baik, dan diduga dipengaruhi oleh sedimentasi. Sebaliknya,
di stasiun PB perikanan pantai yang berhadapan dengan bentuklahan perbukitan
plato, semakin dalam kondisinya semakin buruk.

133
Di stasiun BS dan BU diketahui bahwa nilai H’ dan E pada kedalaman 3 m
lebih tinggi daripada 10 m, berarti kondisi ikan pada kedalaman 3 m lebih
seragam dan kondisi air lebih baik dibandingkan dengan 10 m. Namun, nilai
indeks dominansi (C) pada kedua kedalaman dan di kedua stasiun, termasuk
kategori tidak terdapat spesies yang mendominasi. Di stasiun BS nilai indeks C
pada kedalaman 3 m lebih rendah daripada 10 m. Secara relatif dapat diartikan
bahwa, pada kedalaman 3 m di stasiun BS kurang terjadi dominansi, sebaliknya
di stasiun BU lebh terjadi dominansi.
Di stasiun GD diketahui bahwa nilai indeks H’ dan E pada kedalaman 3 m
lebih rendah daripada 10 m, tapi terjadi sebaliknya pada stasiun GL. Berarti ikan-
ikan di kedalaman 3 m kurang seragam dan kondisi air lebih tercemar
dibandingkan 10 m, meskipun perbedaannya tidak begitu nyata. Nilai indeks C
pada kedalaman 3 m di stasiun GD dan GL lebih tinggi dibandingkan dengan 10
m. Artinya, di pulau tipe tol ini pada kedalaman 3 m terjadi tekanan ekologis lebih
tinggi sehingga komunitas lebih labil dan dominansi spesies ikan lebih tinggi.
Dengan kata lain, kedua stasiun berada pada kategori bahwa tidak terdapat
spesies yang mendominansi dan struktur komunitas stabil, tetapi pada
kedalaman 10 m kondisinya relatif lebih baik.
Secara umum hasil ini menunjukkan bahwa semakin baik kualitas
biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya maka semakin baik pula kondisi ikan
karang. Selain itu juga diketahui bahwa daratan pulau kecil yang terjaga dari
pencemaran alami ataupun buatan maka kualitas ekosistem laut dan
perikanannya lebih baik.

4.4.3 Pengelompokan pulau kecil berbasis geomorfologi untuk


perencanaan perikanan
Pengelompokan pulau kecil adalah penggabungan beberapa pulau kecil ke
dalam satu kelompok yang kepadanya dapat diterapkan satu bentuk
pengelolaan. Cara ini dimaksudkan untuk pengelolaan ekosistem daerah
penangkapan ikan. Pengelompokan pulau kecil bersifat spasial yang didasarkan
pada karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya melalui pengolahan
data penginderaan jauh. Karakteristik biogeofisik pulau kecil dan gugus-pulau kecil
dianalisis menurut proses terbentuknya atau morfogenesis. Klasifikasi tipe pulau
kecil berbasis geomorfologi digunakan sebagai upaya yang terstruktur untuk
mendapatkan karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya. Di sisi lain,

134
kriteria ekologis, untuk identifikasi jenis ekosistem laut, dilakukan analisis dalam
hubungannya dengan tipe pulau.
Pengelompokan pulau kecil dibedakan menjadi dua tahapan, yaitu aplikatif
dan eksploratif. Secara aplikatif, dilakukan menurut jarak 12 mil dan dibedakan
menjadi dua macam yaitu kelompok pulau kecil dan kelompok gugus-pulau kecil.
Secara eksploratif, dilakukan menurut karakteristik biogeofisik dan dibedakan
menjadi tiga macam yaitu kelompok gugus-pulau kecil, kelompok pulau kecil dan
gugus-pulau kecil, dan kelompok pulau kecil dan pulau kecil. Secara skematik
pengelompokan pulau-pulau kecil ditunjukkan pada Gambar 43.
Pengelompokan pulau kecil dilakukan dengan langkah-langkah berikut:
1) identifikasi dan pemilahan antara pulau kecil dan gugus-pulau kecil,
2) pengelompokan pulau kecil atau gugus-pulau kecil dengan jarak 12 mil,
3) identifikasi karakteristik biogeofisik pulau kecil, gugus-pulau kecil, dan
ekosistemnya,
4) pengelompokan gugus-pulau kecil,
5) pengelompokan pulau kecil dan gugus-pulau kecil yang berdekatan,
6) pengelompokan pulau kecil dan pulau kecil.

1) Pulau kecil
I) Aplikatif Pengelompokan menurut
jarak 12 mil
2) Gugus-pulau kecil

3) Gugus-pulau kecil

II) Eksploratif Pengelompokan menurut 4) Pulau kecil dan


karakteristik biogeofisik gugus-pulau kecil

5) Pulau kecil dan


pulau kecil

Gambar 43 Pengelompokan pulau kecil.

Pengelompokan pulau kecil secara aplikatif, dilakukan dengan mengukur


jarak 12 mil. Pulau kecil atau gugus-pulau kecil yang berada jauh di antara pulau-
pulau kecil lain diukur jaraknya dan jika berjarak lebih dari 12 mil maka
merupakan satu kelompok. Kemungkinannya dapat berupa kelompok pulau kecil
atau kelompok gugus-pulau kecil. Contoh di daerah penelitian adalah Pulau

135
Palue dan Pulau Sukun di Kabupaten Sikka serta Pulau Makalehi di Kabupaten
Sitaro (Gambar 1a). Ketiganya termasuk kategori pengelompokan kesatu yaitu
kelompok pulau kecil. Jika pulau kecil yang terpisah membentuk gugus-pulau
maka feomena ini termasuk kategori pengelompokan kedua yaitu kelompok
gugus-pulau kecil
Pulau Palue berjarak 11 mil dengan Pulau (besar) Flores dan berjarak 31
mil dengan Pulau Sukun, sedangkan Pulau Makalehi berjarak 13,5 mil dengan
Pulau Siau. Kasus ini menjadi pertimbangan ketentuan jarak sejauh +12 mil
sebagai cara aplikatif untuk mengelompokkan pulau-pulau kecil. Pulau Palue,
Pulau Sukun, dan Pulau Makalehi adalah pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif
berbukit. Jarak pulau-pulau kecil yang berjauhan berpotensi dijumpai pada pulau
kecil tipe vulkanik, tipe atol, dan tipe terumbu yang proses terbentuknya berada
di daerah samudra dan terkait dengan aktivitas magmatik.

P. Bakau

P. Sekila
P. Moimoi

Landsat RGB 543 Landsat


RGB 421
a) Gugus-pulau Besar P. Awi

b) Pulau Moimoi
P. Buhias Landsat Landsat
RGB 421 RGB 421
P. Ranuh

P. Pahepa P. Behang
P. Masere
P. Laweang P. Hantu

P. Biora P. Abang-kecil

c) Pulau Pahepa d) Pulau Ranuh

Gambar 44 Gugus-pulau kecil dan pulau kecil.

136
Pengelompokan pulau kecil secara eksploratif, dilakukan dengan cara
mengeksplorasi atau mengidentifikasi karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil
dan ekosistemnya. Berdasarkan karakteristik biogeofisik tersebut dilakukan
pengelompokan yang dibedakan menjadi tiga macam yaitu kelompok gugus-
pulau kecil, kelompok pulau kecil dan gugus-pulau kecil, dan kelompok pulau
kecil dan pulau kecil.
Kelompok gugus-pulau kecil atau pengelompokan ketiga. Keterkaitan dan
interaksi pulau-pulau kecil yang termasuk kategori gugus-pulau dikaji dari kondisi
perairan laut dangkalnya. Contoh di daerah penelitian, Gambar 1 b, menunjukkan
pulau-pulau kecil tipe tektonik yang tergabung dalam satu paparan yang dapat
dikategorikan sebagai suatu gugus-pulau. Gambar 44 a menunjukkan warna biru
terang adalah bentuklahan perbukitan sisa vulkanik yang tergenang oleh air laut
dan membentuk bentuklahan terumbu yang menjadi penghubung antara Pulau
Besar, Pulau Kondo, Pulau Parumaan, Pulau Dambila, dan Pulau Pangabatang.
Kumpulan pulau-pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif berbukit dan datar ini
membentuk gugus-pulau kecil. Di sini pertumbuhan terumbu karang semakin
merekatkan pulau-pulau kecil tersebut. Gambar 29 g menunjukkan bentuklahan
terumbu telah menjadi penghubung antara Pulau Pomana-besar dengan Pulau
Pomana-kecil, sehingga kedua pulau kecil tipe terumbu ini juga dapat
dikategorikan sebagai gugus-pulau kecil.
Uraian tersebut menjelaskan bahwa kelompok gugus-pulau kecil
merupakan cara pengelompokan pulau kecil yang mengikuti fenomena proses
alami. Cara pengelompokannya dapat memanfaatkan data penginderaan jauh
seperti diuraikan di atas. Contoh tersebut juga menguraikan fenomena
terbentuknya gugus-pulau kecil yang terbentuk pada satu tipe pulau kecil. Tidak
tertutup kemungkinan, gugus-pulau kecil terbentuk oleh pulau-pulau kecil yang
berlainan tipenya. Metode identifikasinya sama seperti halnya pada satu tipe
pulau kecil yaitu melalui kondisi perairan laut dangkal yang berupa paparan,
peneplain, atau bentuklahan terumbu. Jika gugus-pulau kecil terbentuk pada tipe
pulau kecil yang berlainan maka pengelolaannya perlu mempertimbangkan
adanya karakteristik biogeofisik yang berlainan.
Kelompok pulau kecil dan gugus-pulau kecil atau pengelompokan keempat.
Contoh di daerah penelitian, Gambar 44 d, Gugus-pulau Hantu dan Pulau Ranuh
yang keduanya merupakan pulau kecil tipe tektonik lipatan berbukit. Berdasarkan
karakteristik biogeofisik memungkinkan untuk dijadikan satu kelompok. Pada

137
Gambar 44 c, dijumpai Pulau Buhias, Pulau Pahepa, Pulau Behang, dan Pulau
Masere telah membentuk gugus-pulau kecil yang disatukan oleh bentuklahan
terumbu. Sementara itu, Pulau Laweang dan Pulau Biora merupakan pulau-pulau
kecil yang terpisah dengan jarak berdekatan. Gugus-pulau kecil dan kedua pulau
kecil ini merupakan pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif berbukit terdenudasi. Oleh
karena karakteristik biogeofisik gugus-pulau kecil dan pulau-pulau kecil ini sama
maka dapat dijadikan satu kelompok.
Kelompok pulau kecil dan pulau kecil atau pengelompokan kelima. Pada
Contoh di daerah penelitian, Gambar 44 b, dijumpai pulau-pulau kecil yang
berdekatan dan semuanya merupakan pulau kecil tipe tektonik berbukit dengan
kondisi ekosistem laut serupa. Pulau-pulau kecil ini dapat dijadikan dalam satu
kelompok karena memiliki karakteristik biogeofisik sama.
Sebaliknya, pada Gambar 8 dijumpai Pulau Ruang, Pulau Tagulandang,
dan Pulau Pasighe dengan jarak berdekatan. Ketiga pulau kecil ini berada pada
satu area perairan laut dangkal (Gambar 20). Ketiganya merupakan pulau kecil
tipe vulkanik ekstrusif berbukit dan datar mulai dari sangat aktif hingga tidak aktif.
Meskipun ketiga pulau kecil tersebut berdekatan, tetapi berdasarkan karakteristik
biogeofisik tidak dapat dijadikan dalam satu bentuk pengelolaan. Produk letusan
Gunungapi Ruang yang aktif di Pulau Ruang menyebabkan pertumbuhan
terumbu karang perairan sekelilingnya ketiga pulau tersebut terkendala. Pulau
Tagulandang di sebelahnya mempunyai terumbu pinggiran yang berkembang
baik. Sementara itu, Pulau Pasighe mempunyai hutan mangrove, terumbu
karang, dan padang lamun yang jauh lebih baik. Fenomena ini adalah contoh
pulau-pulau kecil satu tipe yang berdekatan tetapi tidak sesuai dijadikan satu
kelompok.
Jika pulau-pulau kecil dengan jarak berdekatan mempunyai karakteristik
biogeofisik sangat berlainan perlu perhatian khusus dalam pengelolaannya.
Pengelompokan aplikatif dan eksploratif seperti diuraikan di atas, selanjutnya
dibuatkan batas yang menjadi zonasi (ruang) wilayah kerja pengelolaan yaitu
menggunakan jarak, misalnya dengan cara membagi dua.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka pengelompokan pulau kecil
lebih mudah dimulai secara aplikatif kemudian secara eksploratif. Jika (if) pada
jarak 12 mil terdapat pulau-pulau kecil belum terpisahkan, maka (then) ditempuh
cara eksploratif. Penarikan jarak ditentukan menurut kedalaman perairan laut
dangkal yaitu pada batas surut terendah atau batas pecah gelombang (breaker

138
line). Perairan laut dangkal di pulau kecil tipe tektonik berupa paparan, di pulau
kecil tipe vulkanik berupa endapan material hasil letusan, dan di pulau kecil tipe
terumbu berupa bentuklahan terumbu. Jarak ditarik mulai dari sisi paparan atau
terumbu terluar. Dari citra Landsat RGB 421 atau RGB 543 perairan laut dangkal
berwarna biru terang. Pada pulau dengan topografi pantai terjal daerah pecahan
gelombang (breaker zone) dapat dikenali seperti pada Gambar 36. Cara
pengelompokan ini mengandung risiko adanya suatu kelompok pulau berada di
bawah dua daerah kewenangan secara administratif.

139
5 PEMBAHASAN

5.1 Teknik Pengolahan Data Pulau Kecil dan Ekosistemnya


5.1.1 Pulau Kecil
Pulau kecil tipe tektonik ditandai terutama oleh bentuklahan tektonik atau
struktural dan di daerah penelitian didominasi oleh struktur lipatan. Aspek
morfoarrangement berupa igir memanjang dan bentuk beragam lebih berperan
untuk identifikasinya. Pulau-pulau kecil yang terbentuk sebenarnya adalah
bagian dari peneplain yang tidak tenggelam. Peneplain ini tersusun oleh
batupasir, batulempung, dan konglomerat, dan di pantainya batuan ini tersingkap
dengan kemiringan dip struktur yang bervariasi. Kondisi luas peneplain yang
tenggelam dan ekosistem laut yang terbentuk membuat karakteristik biogeofisik
pulau kecil bervariasi, sehingga karakter spektralnya beragam yang berpengaruh
pada fusi multispektral. Fusi multispektral terseleksi adalah 234 dan 345. Fusi
multispasial sesuai untuk mempertajam morfologi pulau dan mangrove. Penutup
lahan yang homogen dan pulau yang kecil sesuai dengan penajaman autoclip
highpass sharpen 2. Teknik pengolahan datanya ditunjukkan pada Gambar 45.

Landsat
(citra sejenis)

Fusi multispektral: 234 atau 345


(komposit RGB 432 atau 543)
Penajaman: Autoclip, highpass sharpen 2
Fusi multispasial

Tidak
Bentuk Pulau kecil tipe
beragam? non-tektonik

Ya
Pulau kecil tipe
tektonik

Identifikasi
karakteristik biogeofisik

Gambar 45 Teknik pengolahan data pulau kecil tipe tektonik.


Pulau kecil tipe vulkanik ditandai terutama oleh bentuklahan vulkanik
seperti kawah. Unsur interpretasi yang sangat membantu adalah bentuk
melingkar atau bentuk lain dari deformasi melingkar, lokasi di samudra pada
suatu kelurusan, dan pola torehan radial. Karakteristik biogeofisik pulau kecil dan
ekosistemnya bervariasi terkait dengan tingkat aktivitas vulkanisme. Morfologi
pulau kecil vulkanik adalah bergunung, berbukit, dan datar. Secara umum,
tekstur torehan kasar adalah dari materi piroklastik, sedangkan torehan halus
adalah dari materi lava. Materi letusan dan tingkat torehan berpengaruh pada
penutup lahan.
Variasi tersebut membuat karakter spektralnya beragam yang berpengaruh
pada fusi multispektral. Fusi multispektral terseleksi adalah kombinasi 245.
Penutup lahannya lebih bervariasi dibandingkan pulau tektonik sehingga
penajaman yang sesuai yaitu autoclip, levelslice, equalizer serta lowpass 3x3
dan diagonal dan highpass sharpen 2. Fusi multispasial sesuai untuk
mempertajam morfologi pulau dan mangrove. Teknik pengolahan data
penginderaan jauh untuk pulau kecil tipe vulkanik ditunjukkan pada Gambar 46.

Landsat
(citra sejenis)

Fusi multispektral: 245 (komposit RGB 542)


Penajaman: Autoclip, levelslice, equalizer;
lowpass average 3x3 dan diagonal;
highpass sharpen 2, & Fusi multispasial

Tidak
Bentuk Pulau kecil tipe
melingkar di non-vulkanik
samudra?

Ya
Pulau kecil tipe
vulkanik

Identifikasi
karakteristik biogeofisik

Gambar 46 Teknik pengolahan data pulau kecil tipe vulkanik.

141
Pulau kecil tipe terumbu ditandai terutama oleh batu gamping terumbu.
Proses tektonik pengangkatan pada batu gamping terumbu membentuk pulau-
pulau kecil berupa perbukitan memanjang. Identifikasi awal pulau kecil tipe
terumbu dapat dibantu dari warna cerah sebagai cerminan vegetasi yang jarang
dan bentuk beragam sebagai cerminan dari pengangkatan. Perbukitan di Pulau
Pomana-besar dan Pulau Pomana-kecil relatif gersang. Sementara itu,
ekosistem terumbu karang berkembang sangat baik, tetapi mangrove dan lamun
sulit tumbuh.
Area terumbu karang di Pulau Pomana-besar adalah 36,94%, sedangkan
di Pulau Pomana-kecil adalah 69,42%. Penutup lahannya homogen dan ukuran
pulaunya relatif kecil. Kondisi tersebut berpengaruh pada karakter spektralnya
dan hasil fusi multispektral terseleksi adalah 247 dan 235. Fusi multispasial
sesuai untuk mempertajam morfologi pulau. Penajaman yang sesuai adalah
autoclip highpass sharpen 2. Teknik pengolahan data penginderaan jauh untuk
menampilkan pulau kecil tipe terumbu ditunjukkan pada Gambar 47.

Landsat
(citra sejenis)

Fusi multispektral: 257 atau 235


(komposit RGB 752 atau 532)
Penajaman: Autoclip, highpass sharpen 2
& Fusi multispasial

Tidak
Bentuk Pulau kecil tipe
beragam, non-terumbu
warna cerah

Ya
Pulau kecil tipe
terumbu

Identifikasi
karakteristik biogeofisik

Gambar 47 Teknik pengolahan data pulau kecil tipe terumbu.

142
Tabel 29 Pengolahan citra menurut tipe pulau dan ekosistem laut

Tipe pulau & Fusi Penajaman Penajaman spasial Fusi


ekosistem laut multispektral spektral (filtering) multispasial
Tektonik 234 dan 345 Autoclip Highpass sharpen 2 4328 dan
5438
Vulkanik 245 Autoclip, Lowpass: 5428
Levelslice, average 3x3 dan
equalizer diagonal serta
highpass sharpen 2
Terumbu 257 dan 235 Autoclip Highpass sharpen 2 7528 dan
5328
Mangrove 453 Autoclip Highpass sharpen 2 4538
Terumbu 421 Autoclip Highpass sharpen 2 -
karang
Lamun 421 Autoclip Highpass sharpen 2 -

Teknik pengolahan data berupa fusi multispektral, penajaman spektral,


penajaman spasial, dan fusi multispasial untuk pulau kecil dan ekosistemnya
disajikan pada Tabel 29. Teknik ini bermanfaat untuk tujuan analisis visual,
seperti analisis karakteristik biogeofisik dengan pendekatan geomorfologi.
Berdasarkan hasil tampilan citra komposit terseleksi diketahui bahwa citra
Landsat lebih jelas dan tajam atau mempunyai kemampuan relatif tinggi
dibandingkan dengan citra QuickBird. Peranan kanal 5 dan 7 dari citra Landsat
berfungsi secara baik untuk tampilan morfologi pulau kecil. Hal ini menunjukkan
bahwa resolusi spektral lebih berperan dalam menampilkan morfologi pulau kecil
dibandingkan dengan resolusi spasial.

5.1.2 Ekosistem laut


Mangrove merupakan vegetasi yang tumbuh di atas permukaan air. Di
daerah penelitian, mangrove dijumpai di pulau kecil tipe tektonik dan vulkanik.
Mangrove diidentifikasi dari warna yang spesifik dan lokasinya di pesisir. Fusi
multispektral terseleksi dari citra Landsat adalah 345, dan citra komposit
terseleksi untuk mangrove adalah RGB 453. Dari citra komposit RGB 453
mangrove berwarna merah bata, sedangkan dari RGB 543 berwarna hijau. RGB
453 dipilih karena tampilan warna merah lebih tegas untuk membedakan dengan
vegetasi lain. Fusi multispasial sesuai untuk mempertajam obyek mangrove
karena permukaannya sebagian besar berada di atas permukaan air laut.
Penajaman yang sesuai adalah autoclip highpass sharpen 2. Teknik pengolahan

143
data untuk menampilkan mangrove ditunjukkan pada Gambar 48. Mangrove
kemungkinan dapat dijumpai di pulau kecil tipe delta/aluvial, karena pulaunya
tersusun oleh materi berlumpur atau berpasir hasil pengendapan proses fluvial.
Terumbu karang dan lamun seluruh bagiannya berada di bawah
permukaan air. Karakteristik ini berpengaruh pada pilihan kanal yang digunakan
untuk membangun citra komposit. Terumbu karang diidentifikasi secara visual
dan digital, sedangkan bentuklahan terumbu secara visual, tetapi sasaran
obyeknya sama. Hasil perhitungan OIF tertinggi untuk terumbu karang dan lamun
adalah kombinasi kanal 124 (Tabel 20) dan sesuai ditampilkan dengan citra RGB
421. Kanal 1 dan 2 memiliki pantulan tertinggi untuk obyek-obyek di air.
Penajaman yang sesuai adalah autoclip, highpass sharpen 2. Fusi multispasial
akan menggaburkan obyek-obyek di bawah permukaan air, artinya terumbu
karang dan lamun memerlukan kanal dengan panjang gelombang lebih spesifik.
Selain itu, gradasi perbedaan antar obyek-obyek terumbu karang dan lamun
relatif lebih kecil dan pola obyek kurang tegas dibandingkan dengan obyek-obyek
di daratan, misalnya permukiman. Teknik pengolahan data penginderaan jauh
untuk terumbu karang dan lamun ditunjukkan pada Gambar 49 dan 50.

Landsat
(citra sejenis)

Komposit RGB 435


Penajaman: Autoclip, highpass sharpen 2
& Fusi multispasial

Tidak
Warna non-mangrove
merah bata,
di pesisir?

Ya

Mangrove

Identifikasi
karakteristik biogeofisik

Gambar 48 Teknik pengolahan data ekosistem mangrove.

144
Perbedaan karakteristik biogeofisik tipe pulau kecil memberikan perbedaan
ketajaman tampilan terumbu karang pada citra. Pulau kecil tipe vulkanik dan tipe
terumbu lebih tajam dibandingkan dengan pulau kecil tipe tektonik karena
struktur batuannya lebih miskin akan sedimen halus. Di daerah penelitian,
terumbu karang dijumpai di ketiga tipe pulau kecil, sedangkan lamun dijumpai di
pulau kecil tipe tektonik dan vulkanik. Berdasarkan karakteristik fisik, terumbu
karang kemungkinan dapat dijumpai di pulau-pulau kecil tipe stack, monadnock,
hummock, dan atol karena pantainya berbatu dengan proses sedimentasi relatif
rendah. Lamun diperkirakan dapat dijumpai di semua tipe pulau kecil jika ada
bagian pulau yang terlindung dan terjadi proses fluvial atau marin yang
membentuk substrat berlumpur.
Aplikasi algoritma pada Gambar 45 sampai 50 bersifat umum dan
merupakan tahap awal prosedur interpretasi, sehingga perlu memperhatikan
karakteristik biogeofisik umum setiap tipe pulau kecil dan ekosistem laut seperti
diuraiakan di atas. Anomali morfologi pulau kecil adalah salah satu contoh yang
perlu dicermati.

Landsat
(citra sejenis)

Komposit RGB 421


Penajaman: Autoclip, highpass sharpen 2

Tidak
Warna non-terumbu
biru terang/ karang
kehijauan?

Ya
Terumbu
karang

Identifikasi
karakteristik biogeofisik

Gambar 49 Teknik pengolahan data ekosistem terumbu karang.

145
Landsat
(citra sejenis)

Komposit RGB 421


Penajaman: Autoclip, highpass sharpen 2

Tidak
Daerah
terlindung, Bukan lamun
warna
kecoklatan

Ya

Lamun

Identifikasi
karakteristik biogeofisik

Gambar 50 Teknik pengolahan data ekosistem lamun.

5.2 Desain Klasifikasi Tipe Pulau Kecil


Klasifikasi tipe pulau kecil menurut morfogenesis (Tabel 26) bersifat
mempertajam dari klasifikasi sebelumnya dan menarik benang merahnya melalui
pendekatan geomorfologi. Beberapa nama tipe pulau kecil tetap digunakan
dengan tambahan istilah proses geomorfik lebih spesifik, yaitu tektonik lipatan,
tektonik patahan, vulkanik intrusif, dan vulkanik ekstrusif. Tipe pulau yang
sebelumnya tidak tercantum pada tinjauan pustaka adalah stack, hummock,
moraine, gambut, dan buatan. Pulau kecil tipe hummock terdapat di Indonesia,
sedangkan tipe lainnya kemungkinan dijumpainya relatif rendah. Selain itu, istilah
”koral” seperti yang dikemukakan oleh Dahuri (1998) diubah menjadi ”terumbu”
untuk lebih mencerminkan asal terbentuknya pulau kecil yaitu dari terumbu.
Peranan informasi morfografi, yang dibagi menjadi datar dan berbukit,
dapat memberikan gambaran kemungkinan jangkauan gelombang laut menuju
daratan pulau kecil. Informasi ini berfungsi sebagai parameter untuk analisis
potensi perkembangan ekosistem laut serta untuk analisis pemulihan ekosistem

146
yang mengalami kerusakan. Oleh karena itu, cara klasifikasi yang tidak
mempertimbangkan morfografi atau topografi, misalnya berdasarkan lokasi,
kurang menggambarkan potensi perkembangan ekosistem laut.
Informasi morfografi pada pulau kecil memberi arti penting karena dapat
menggambarkan karakteristik biogeofisik ekosistem laut yang terbentuk,
misalnya, hubungan antara proses denudasi di daratan dengan proses marin.
Informasi morfologi dapat diperoleh dari identifikasi berbagai sumber data yang
telah tersedia, seperti citra penginderaan jauh dan peta Rupabumi. Contoh
klasifikasi tipe pulau kecil sesuai Tabel 26, untuk Pulau Ruang adalah termasuk
kelas pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif berbukit, sedangkan Pulau Pasighe
termasuk kelas pulau kecil tipe vulkanik ekstrusif datar. Perbedaan ekosistem
laut yang terbentuk diuraikan pada sub-bab 4.1.2.
Pulau-pulau kecil yang diketahui tipenya dapat memberikan informasi
karakteristik biogeofisik ekosistem lautnya. Informasi ini bermanfaat untuk menjaga
kesehatan perairan laut dangkal yang menjadi daerah penangkapan ikan yang
potensial. Pada penelitian ini, karakteristik biogeofisik pulau kecil dan ekosistemnya
digunakan untuk pengelompokan pulau kecil. Pulau-pulau kecil yang mempunyai
tipe sama dapat dikelompokkan menjadi satu, dan secara lebih detail
pengelompokannya lebih mempertimbangkan karakteristik biogeofisiknya.

5.3 Desain Identifikasi Ekosistem Laut


5.3.1 Pulau kecil
Jumlah pulau kecil di Indonesia tercatat lebih dari 10.000 buah dan
perairan di sekelilingnya merupakan ekosistem daerah penangkapan ikan.
Pemanfaatan data penginderaan jauh satelit pada penelitian ini adalah untuk
mendapatkan informasi karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil dan
ekosistemnya. Guna mendapatkan informasi tersebut sedikitnya ada dua kendala
yaitu menyangkut ukuran pulau yang kecil dan liputan awan yang tinggi.
Wilayah Indonesia mempunyai area sekitar 14% yang sering tertutup awan.
Kondisi ini sering menjadi masalah buat sebagian pengguna citra penginderaan
jauh satelit yang memanfaatkannya untuk interpretasi sumberdaya alam. Namun,
tidaklah demikian pada analisis berbasis geomorfologi, karena yang diamati
adalah bentuklahan dan proses-proses yang berlangsung. Bentuk kajian ini
mengamati perubahan dalam kurun waktu lama karena dinamika endogen dan
eksogen yang dikaji berlangsung dalam hitungan tahun geologi. Oleh karenanya,

147
kondisi liputan awan tersebut dapat diatasi dengan memilih citra yang rendah
liputan awannya, sehingga tidak terikat pada tanggal perekaman. Sebagai
contoh, citra Kota Batam (Gambar 6) merupakan mozaik citra Landsat Tahun
2001 dan 2002, dan analisis beberapa pulaunya menggunakan citra Tahun 1996
karena adanya tutupan awan. Artinya prospek pemanfaatan data penginderraan
jauh untuk pulau kecil dan ekosistemnya cukup menjajikan.
Ada empat aspek yang digunakan pada analisis geomorfologi pulau kecil
dan ekosistemnya meliputi morfologi (morfografi dan morfometri), morfogenesis,
morfokronologi, dan morfoarrangement. Ukuran pulau mempengaruhi bentuk
pilihan jenis citra penginderaan jauh yang digunakan. Pulau dengan ukuran kecil
dapat menggunakan citra resolusi menengah, sedangkan pulau dengan ukuran
sangat kecil dapat menggunakan citra resolusi tinggi. Pengolahan citra terseleksi
disiapkan untuk mempercepat proses analisis geomorfologi pulau kecil. Pilihan
ini mempengaruhi hasil analisis aspek morfologi pulau kecil. Pada morfografi
pulau yang berukuran besar seperti gunungapi yang tinggi dan dataran yang
luas, serta morfometri yang mempunyai variasi besar, seperti ukuran
bentuklahan yang luas dan beda tinggi yang mencolok, maka citra resolusi
menengah dapat berperan cukup baik. Dari empat aspek geomorfologi, aspek
morfogenesis menjadi pertimbangan utama, karena aspek ini mewakili proses-
proses geomorfik yang membentuk keragaman tipe pulau kecil.
Pulau kecil tipe vulkanik yang berbukit diidentifikasi dari aspek morfologi
yaitu melingkar dari bentuklahan kawah, kaldera, atau lereng kaki gunung.
Morfologi yang khas berupa kerucut atau gabungan beberapa kerucut
menunjukkan suatu jalur magmatik. Dikenalinya pulau tipe terumbu di jalur
magmatik (Kabupaten Sikka) adalah dari morfologi pulau berbentuk memanjang
dari perbukitan yang relatif datar di permukaannya. Sebaliknya, dijumpainya
morfologi pulau kecil berbentuk melingkar pada jalur tektonik, bukanlah indikasi
pulau tipe vulkanik, melainkan vegetasi mangrove yang berkembang pada
habitat yang sesuai sehingga berbentuk melingkar. Morfologi pulau kecil tipe
tektonik dicirikan oleh relief perbukitan.
Untuk aspek morfogenesis, peranan citra bervariasi tergantung pada
morfologi pulau kecil. Morfologi Pulau Ruang misalnya yang berbentuk kerucut
melingkar bisa memberi petunjuk bahwa morfogenesis pulau tersebut adalah
vulkanik. Meskipun, morfologi Pulau Lengkang dan Pulau Pasighe sulit dilakukan
interpretasi morfogenesisnya, karena pola atau bentuk dari pulau tidak

148
mencerminkan suatu proses geomorfik tertentu. Artinya, interpretasi tipe pulau
pada kedua morfologi tersebut sulit dilakukan secara langsung dari citra dan
perlu didukung oleh data lain seperti peta Geologi, peta Rupabumi Indonesia,
dan pemahaman geomorfologi. Di sini aspek morfoarrangement menjadi
berperan, misalnya Pulau Pasighe terletak di kompleks gunungapi, sehingga
besar kemungkinan pulau ini juga merupakan tubuh gunungapi, tapi yang telah
terdegradasi.
Dari aspek morfogenesis, bentuklahan yang berkembang di pulau-pulau
kecil tipe tektonik dapat dikelompokkan menjadi bentuklahan-bentuklahan asal
proses (1) magmatik/vulkanik, (2) tektonik/struktural, (3) fluvial, (4) marin, (5)
organik, dan (6) antropogenik. Bentuklahan yang berkembang di pulau-pulau
kecil tipe vulkanik dapat dikelompokkan menjadi bentuklahan-bentuklahan asal
proses (1) magmatik/vulkanik, (2) fluvial, (3) marin, (4) dan organik. Bentuklahan
yang berkembang di pulau-pulau kecil tipe terumbu dapat dikelompokkan
menjadi bentuklahan-bentuklahan asal proses (1) tektonik/struktural (2) marin,
dan (3) organik. Bentuklahan asal proses marin dan organik adalah bentuklahan
yang banyak dijumpai di pulau-pulau kecil di Kepulauan Indonesia.
Analisis geomorfologi pada aspek morfokronologi adalah untuk mengenali
keterkaitan proses berbagai bentuklahan secara relatif dan absolut. Proses
terbentuknya bentuklahan secara relatif seperti tahapan proses geomorfik, maka
peranan citra banyak dipakai; tetapi untuk mengenalinya secara absolut
diperlukan dukungan informasi dari peta geologi dan peta Rupabumi Indonesia.
Contoh Pulau Ruang (Gambar 36 b), ada dua tanjung yang berseberangan, di
sebelah Timur dan Barat. Tanjung di Timur berwarna hitam yaitu lahan tanpa
vegetasi; sedangkan tanjung di Barat, pantainya berwarna hijau-kemerahan, dan
ke arah puncak terdapat warna merah yaitu vegetasi dan warna hijau-kemerahan
yaitu lahan terbuka. Interpretasi menduga bahwa kronologis atau tahap
pembentukan tanjung di Timur terjadi lebih akhir dibandingkan dengan tanjung di
Barat. Hal ini disebabkan tanjung di Timur dibentuk oleh aliran lava muda
(dicirikan oleh tiadanya vegetasi), sedangkan tanjung di Barat kemungkinan
besar dibentuk oleh aliran lava lebih tua, yang telah tertutup oleh endapan-
endapan piroklastik muda. Endapan ini saat sekarang telah ditumbuhi oleh
vegetasi. Tanjung di Barat ini, pada bagian dasar tanjung tersusun atas bongkah-
bongkah batu besar yang diduga berasal dari bongkah-bongkahan batu dari
aliran lava tua. Tanjung di Timur adalah produk letusan tahun 1949, sedangkan

149
tanjung di Barat tidak tercatat tahun terbentuknya. Namun diduga bahwa,
terbentuknya tanjung di Barat melalui proses yang identik dengan tanjung di
Timur. Unsur warna lebih berperan dalam interpretasi untuk menduga perbedaan
tahap pembentukan antara kedua tanjung melalui penutup lahannya. Unsur pola
(seperti torehan) juga banyak membantu pada analisis morfokronologi.
Untuk aspek morfoarrangement, atau mengenali hubungan antar
bentuklahan dalam susunan keruangannya, banyak didukung oleh citra satelit
terutama pada citra resolusi menengah seperti Landsat dan SPOT. Di Kepulauan
Batam, morfoarrangement pulau-pulau kecil banyak ditunjukkan oleh hubungan
pola igir-igir perbukitan struktural yang memanjang dan banyak dijumpai di
Pulau-pulau Batam, Rempang, hingga Galang. Hasil analisis tipe pulau di
Kepulauan Batam menunjukkan adanya pulau kecil tipe tektonik dan diperkirakan
tipe ini mendominasi keseluruhan pulau yang ada. Di Kepulauan Sikka dan
Sitaro, morfoarrangement pulau-pulau kecil dengan morfologi berbentuk
melingkar, menunjukkan suatu pola yang serupa, yaitu berada pada suatu
kelurusan di tengah samudra. Hasil analisis di Kepulauan Sikka dan Sitaro
menunjukkan adanya pulau-pulau kecil tipe vulkanik dan satu pulau kecil tipe
terumbu. Aspek morfoarrangement di sini paling berperan untuk analisis tipe
pulau, yaitu untuk identifikasi tipe pulau kecil pada skala makro.

5.3.2 Korelasi pulau kecil dan ekosistem laut


Pulau kecil dan ekosistem laut di sekelilingnya merupakan satu kesatuan
yang membentuk karakteristik biogeofisik yang khas. Karakteristik biogeofisik
substrat dasar perairan laut dangkal memiliki korelasi erat dengan pulaunya.
Perkembangan ekosistem laut juga dipengaruhi oleh posisi pulau dan jenis
pantai. Posisi pulau terkait dengan sirkulasi gelombang laut, sedangkan jenis
pantai terkait dengan singkapan batuan. Pulau-pulau kecil tipe tektonik, vulkanik,
dan terumbu dapat membentuk pantai terjal, landai, dan datar dengan material
berbatu, berpasir, dan berlumpur.
Pulau-pulau kecil tipe tektonik, variasi jenis pantainya dipengaruhi oleh
singkapan batuan di pantai, dimana pantai terjal berbatu, pantai landai berpasir,
dan pantai datar akan berlumpur. Mangrove berkembang lebih baik pada pantai
datar dan landai dan pada posisi terlindung; demikian halnya dengan lamun.
Sementara itu, terumbu karang berkembang lebih baik pada pantai terjal berbatu
dengan posisi pantai menghadap laut lepas. Pantai landai dan datar dengan

150
material berbatu juga berpotensi untuk perkembangan terumbu karang. Di
daerah penelitian, pulau kecil tipe tektonik lipatan berbukit sangat berpotensi
untuk dijumpai terumbu karang, sedangkan pada morfologi datar sangat
berpotensi untuk dijumpai mangrove.
Pulau-pulau kecil tipe vulkanik, variasi jenis pantainya dipengaruhi oleh
material letusan gunungapi dan perbedaan tingkat aktivitas vulkanis yang
berlangsung. Di daerah penelitian, mangrove dan lamun dijumpai pada
bentuklahan dataran sisa vulkanik di Pulau Pasighe, yaitu pada pantai datar di
tengah sisa tubuh gunungapi dan mangrove dijumpai pula pada bentuklahan
rawa payau di Pulau Babi. Keduanya berada pada pantai dengan posisi
terlindung. Terumbu karang berkembang baik di pulau-pulau kecil pada semua
tingkat aktivitas vulkanik mulai dari bentuklahan terumbu pinggiran, terumbu
penghalang, sampai atol. Hal tersebut terutama disebabkan, pulau kecil tipe
vulkanik muncul di samudra dimana kondisi perairannya relatif lebih jernih karena
sirkulasi arus dan gelombang laut lebih baik. Perkembangan bentuklahan
terumbu berkorelasi terbalik dengan tingkat aktivitas vulkanis; demikian halnya
dengan terumbu karang. Semakin rendah aktivitas vulkanik semakin lanjut
pertumbuhan bentuklahan terumbu.
Pulau-pulau kecil tipe terumbu, variasi jenis pantainya dipengaruhi oleh
posisi pantai. Pantai terjal berbatu posisinya berhadapan dengan laut lepas,
sedangkan pantai landai berpasir atau berlumpur posisinya terlindung. Mangrove
sulit berkembang karena pantainya berhadapan dengan laut lepas dan proses
solusional yang ada tidak membentuk air payau. Lamun juga sulit berkembang
disebabkan oleh ketiadaan mangrove. Di Pulau Pomana yang berbatuan
gamping terumbu, air hujan turun melalui celah-celah batuan sehingga
sedimentasi di pantai rendah dan kondisi ini kurang mendukung bagi
pertumbuhan mangrove dan lamun. Perkembangan bentuklahan terumbu sangat
bagus dan terdapat perbedaan terkait posisi pantai, yang dalam hal ini
berhubungan dengan arus dan gelombang laut, demikian halnya dengan
terumbu karang. Bentuklahan terumbu berkembang lebih baik pada sisi pulau
yang lebih terbuka mendapat arus dan gelombang laut. Hal ini ditunjukkan oleh
kondisi lagun, dimana semakin lancar arus laut semakin luas terbentuk lagun. Di
Pulau Pomana dijumpai bentuklahan terumbu paparan berupa terumbu pelataran
bergoba dan terumbu dinding tanduk. Korelasi antara tipe pulau kecil dan
ekosistem laut disajikan pada Tabel 30.

151
Tabel 30 Matriks korelasi pulau kecil dan ekosistem laut

Ekosistem Tipe pulau kecil


laut Tektonik Vulkanik Terumbu
Mangrove lebih baik di pantai tumbuh pada sisi sulit tumbuh
landai dan datar pulau yang datar
yang lebih dan terlindung
terlindung
Terumbu lebih baik pada aktivitas vulkanik Lebih baik pada
karang pantai terjal semakin rendah posisi perairan laut
berbatu yang terumbu karang yang lebih terbuka
menghadap laut semakin baik
lepas
Lamun lebih baik di tumbuh pada sisi sulit tumbuh
daerah yang lebih pulau yang
terlindung terlindung
Sumber : Hasil analisis geomorfologi model pulau-pulau kecil

Suatu pulau kecil dimana seluruh bagiannya merupakan wilayah pesisir,


maka mangrove bisa mendominasi seluruh pulau, dengan kata lain, tidak hanya
terbatas pada daerah yang dekat dengan laut. Kondisi ini terutama banyak
dijumpai pada pulau kecil dengan morfologi datar. Di sisi lain, pada lingkungan
fisik yang sama, pulau kecil datar lebih berpotensi untuk pertumbuhan mangrove
daripada pulau kecil berbukit, contoh, Pulau Pasighe (tipe vulkanik ekstrusif
datar) dan Pulau Lengkang (tipe tektonik lipatan datar). Sementara itu di pulau-
pulau besar, mangrove dapat dijumpai di sekitar muara sungai. Kasus ini
menjelaskan perbedaan fenomena pertumbuhan mangrove antara pulau besar
dan pulau kecil. Keterkaitan antara mangrove dan karakteristik biogeofisik pulau
kecil ini mengarahkan untuk lebih mencermati pada klasifikasi tipe pulau yang
membedakan morfologi pulau kecil antara pulau berbukit dan pulau datar.
Pada pulau tektonik seperti di Batam, terumbu karang mulanya tumbuh dan
berkembang pada substrat dasar perairan laut dangkal yang merupakan
peneplain (Gambar 11 g). Pada pulau vulkanik, terumbu karang mulanya tumbuh
dan berkembang pada batu vulkanik yang terendapkan di perairan sekeliling
pulau (Gambar 15 d) dan selanjutnya berkembang dan bergabung membentuk
terumbu pinggiran. Di pulau-pulau vulkanik denudasional yaitu dengan
gunungapi yang telah lama mati, terumbu karang dapat berkembang lebih baik.
Sementara itu, pada pulau kecil tipe terumbu diperkirakan proses pertumbuhan
terumbu karang merupakan tahap lanjut yang semula berawal pada batuan
vulkanik.

152
5.3.3 Identifikasi ekosistem laut berbasis tipe pulau
Identifikasi ekosistem laut didesain berbasis tipe pulau untuk mendapatkan
informasi obyek-obyek ekosistem laut meliputi bentuklahan terumbu, terumbu
karang, lamun, dan mangrove. Informasi bentuklahan terumbu membantu dalam
identifikasi antara karang hidup dan karang mati. Data tipe pulau kecil dan peta-
peta digunakan untuk mendapatkan informasi karakteristik biogeofisik pulau kecil
dengan pendekatan analisis geomorfologi. Obyek-obyek tersebut diidentifikasi
menggunakan data penginderaan jauh satelit dengan citra komposit dan
penajaman tertentu.
Korelasi antara pulau kecil dan ekosistemnya yang beragam membutuhkan
suatu kerangka identifikasi yang terstruktur. Selain diperlukan pula informasi
ekosistem laut yang bersifat kualitatif, kuantitatif, dan spasial. Informasi kualitatif
diperoleh dari karakteristik biogeofisik pulau kecil dan bentuklahan terumbu,
sedangkan informasi kuantitatif dan spasial diperoleh dari data penginderaan jauh
satelit. Diagram alir identifikasi ekosistem laut disajikan pada Gambar 51.
Identifikasi ekosistem laut dilakukan secara visual dan digital. Analisis
visual adalah untuk identifikasi karakteristik biogeofisik pulau kecil, bentuklahan
terumbu, lamun, dan mangrove. Analisis digital adalah untuk identifikasi antara
karang hidup, karang mati, dan lamun; serta klasifikasi kerapatan mangrove.
Hasil analisis visual bentuklahan terumbu digunakan sebagai dasar reklasifikasi
terumbu karang dari hasil algoritma Lyzengga. Identifikasi obyek-obyek
ekosistem laut secara digital akan lebih akurat jika dilakukan pemisahan secara
visual terlebih dahulu antara daratan dan perairan laut dangkal dan antara
mangrove dan non-mangrove. Hal ini terkait dengan tingginya keragaman
karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil di Indonesia.
Pemetaan bentuklahan terumbu dari data penginderaan jauh satelit
dilakukan melalui analisis visual. Klasifikasi bentuklahan terumbu secara
geomorfologis dapat digunakan kriteria menurut Maxwell (Zuidam, 1985) yang
telah dinyatakan sebagai standar (Tabel 2). Klasifikasi terumbu karang secara
digital termasuk kriteria klasifikasi habitat secara ekologis, sedangkan analisis
secara visual termasuk kriteria klasifikasi geomorfologis. Analisis terumbu karang
secara digital dapat menggunakan algoritma Lyzengga seperti dirumuskan pada
persamaan 3 dan 4 Bab 3. Tahap penggabungan antara klasifikasi terumbu
berbasis geomorfologis secara visual dengan klasifikasi terumbu karang berbasis
ekologis dilakukan saat reklasifikasi.

153
Peta Rupa Bumi,
Tipe pulau kecil, Landsat (citra sejenis)
Peta Geologi,
cek lapangan kanal multispektral dan
& Peta Pelayaran
kanal pankromatik
input

citra komposit pulau kecil: proses


tipe tektonik: 4328 & 5438, tipe vulkanik: 5428,
tipe terumbu: 7528 & 5328; penajaman dan fusi multispasial
mangrove 4538, terumbu karang 421, lamun 421
& penajaman autoclip sharpen 2

Analisis geomorfologi Pemisahan


laut & darat/pesisir

Karakteristik biogeofisik Laut dangkal Laut dalam Darat/pesisir


pulau kecil & ekosistemnya

Y= ln (TM1) + ki/kj . ln (TM2) Klasifikasi visual

Bentuklahan
terumbu output
Karang Karang Lamun Mangrove Non
hidup mati mangrove

Gambar 51 Diagram alir identifikasi ekosistem laut.

154
Berdasarkan hasil penelitian ini maka dirasakan perlu ada pra analisis
sebelum dilakukan analisis digital terumbu karang; seperti kasus identifikasi
mangrove yang tidak dapat sepenuhnya hanya dengan membatasi warna merah
bata di daerah pesisir. Informasi tipe pulau dan karakteristik biogeofisiknya dapat
memandu interpreter dalam identifikasi mangrove, terumbu karang, dan lamun.
Sementara itu, karakteristik ekosistem laut pada pulau kecil tipe vulkanik perlu
dicermati terlebih dahulu tingkat aktivitas gunungapi yang ada karena perbedaan
ini memberi pengaruh yang nyata.
Tahapan/proses secara ringkas identifikasi obyek-obyek ekosistem laut
utama berbasis geomorfologi menggunakan data penginderaan jauh secara
skematik disajikan pada Gambar 51 dengan rincian sebagai berikut:
1) Mengenali tipe pulau kecil. Informasi ini belum tersedia dan masih perlu
dianalisis sesuai dengan klasifikasi tipe pulau kecil pada Tabel 26,
2) Membangun citra komposit dan penajamannya sesuai dengan tipe pulau kecil,
untuk identifikasi karakteristik biogeofisik pulau kecil dan bentuklahan
terumbu. Selain itu juga dilakukan analisis geomorfologi untuk mendapatkan
karakteristik biogeofisik mangrove, terumbu karang, dan lamun,
3) Mendelineasi secara visual batas antara daratan dan perairan laut dangkal
serta mangrove dan non mangrove, menggunakan citra komposit RGB 421
untuk terumbu karang dan lamun dan RGB 453 untuk mangrove,
4) Klasifikasi kerapatan mangrove menggunakan algoritma NDVI dengan kelas
kerapatan seperti tercantum pada Tabel 31.
5) Klasifikasi terumbu karang menggunakan algoritma Lyzengga; serta
reklasifikasi untuk mendapatkan kelas karang hidup, karang mati, dan lamun
menggunakan informasi klasifikasi bentuklahan terumbu.

Tabel 31 Klasifikasi kerapatan mangrove

Kelas Penutup lahan dan kerapatan


1 perairan dangkal, non hutan
2 mangrove kerapatan rendah
3 mangrove kerapatan sedang
4 mangrove kerapatan tinggi
5 hutan non mangrove
Sumber: Hasil pengolahan data dengan formula 2 dan cek lapangan.

155
5.4 Desain Pengelompokan Pulau Kecil untuk Perikanan
Pengelompokan pulau kecil dilakukan menurut karakteristik biogeofisik
untuk pengelolaan ekosistem daerah penangkapan ikan. Informasi karakteristik
biogeofisik pulau-pulau kecil dan sangat kecil dapat diperoleh menggunakan citra
penginderaan jauh satelit serta peta-peta dan cek lapangan. Kaitan antara pulau
kecil dan ekosistemnya dengan kondisi ikan terbukti menunjukkan korelasi yang
erat. Pulau kecil dan ekosistemnya merupakan suatu kesatuan dalam rangkaian
siklus hidup ikan pantai, sehingga pengelompokan pulau kecil juga dapat menjadi
bentuk zonasi ekosistem daerah penangkapan ikan. Jadi pengelompokan pulau
kecil dapat merupakan suatu cara untuk pengelolaan perikanan pantai yang
bersifat akses terbatas untuk mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan yang
berkelanjutan. Desain pengelompokan pulau kecil untuk perikanan ini menjawab
tujuan penelitian yang keempat atau terakhir.
Pulau-pulau kecil tipe tektonik di Kota Batam memiliki karakteristik
biogeofisik relatif homogen dibandingkan dengan pulau-pulau kecil tipe vulkanik,
demikian pula ekosistemnya. Karakteristik biogeofisik pulau kecil tipe tektonik di
daerah Batam mempunyai potensi pertumbuhan mangrove lebih baik
dibandingkan tipe vulkanik dan tipe terumbu. Mangrove dan lamun juga dapat
tumbuh bagus pada pantai berbatu disebabkan oleh posisi pulau yang terlindung
dari sirkulasi gelombang laut. Variasi pertumbuhan ekosistem laut dipengaruhi
oleh singkapan batuan dan posisi pulau. Mangrove dan posisi pantai dapat
dikenali dengan baik dari citra satelit. Berdasarkan karakteristik biogeofisik
tersebut maka faktor ekosistem laut perlu lebih dipertimbangkan dalam
pengelompokan pulau-pulau kecil tipe tektonik.
Pulau-pulau kecil tipe vulkanik memiliki karakteristik biogeofisik relatif
heterogen, sehingga pola perkembangan ekosistemnya juga relatif berlainan.
Pulau-pulau yang berdekatan dimungkinkan memiliki karakteristik biogeofisik
yang sangat berbeda. Tingkat perkembangannya bervariasi dari kondisi
gunungapi aktif seperti Pulau Ruang dan Pulau Palue hingga proses denudasi
lanjut pada bebatuan gunungapi seperti Pulau Pasighe dan Pulau Besar. Proses
vulkanisme pada suatu pulau kecil berpengaruh terhadap perkembangan
ekosistemnya. Berdasarkan karakteristik biogeofisik tersebut maka faktor jarak
antar pulau dan korelasi antar ekosistem laut perlu dipertimbangkan dalam
pengelompokan pulau kecil tipe vulkanik.

156
Pulau-pulau kecil tipe terumbu memiliki karakteristik biogeofisik relatif
spesifik terkait dengan proses pelarutan atau solusional pada batuan gamping
terumbu. Di daerah penelitian, proses tektonik berlangsung pada batuan
gamping terumbu yang membentuk tiga pulau kecil tipe terumbu dan kini
terhubungkan oleh bentuklahan terumbu (Gambar 29). Berdasarkan karakteristik
biogeofisik tersebut maka faktor kondisi ekosistem laut perlu dipertimbangkan
dalam pengelompokan pulau kecil tipe terumbu. Di Kabupaten Sikka, dijumpai
Pulau Gunung-sari, Pulau Pomana, dan Pulau Besar yang jarak antar ketiganya
kurang dari 12 mil. Secara berturut-turut pulau-pulau tersebut adalah tipe atol
datar, terumbu berbukit, dan vulkanik ekstrusif berbukit. Pengelompokan pulau-
pulau yang berbeda dari tipe tersebut perlu dipisahkan karena masing-masing
memerlukan bentuk pengelolaan yang berlainan.
Implikasi pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya terhadap
pengelolaan ekosistem daerah penangkapan ikan adalah pada efisiensi dana.
Hal ini karena pemahaman karakteristik biogeofisik akan mengarahkan pada
sasaran lebih tepat dan waktu lebih singkat. Secara khusus, bentuk
pengelompokan ini ditujukan untuk mengelola ekosistem daerah penangkapan
ikan, akan tetapi pengaruhnya akan meluas hingga ke perairan laut dalam di
sekelilingnya. Dengan kata lain, pengelompokan ini dapat memberi pengaruh
bagi kelestarian ikan dan biota laut lainnya di seluruh wilayah lautan negara
Kepulauan Indonesia.

157
6 KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat diperoleh dari hasil analisis dan
pembahasan penelitian ini adalah:
(1) Dalam pengolahan data penginderaan jauh satelit terdapat perbedaan
teknik antara pulau-pulau kecil tipe tektonik, vulkanik, dan terumbu; serta
antara ekosistem mangrove, terumbu karang, dan lamun. Hal ini
disebabkan oleh adanya perbedaan karakteristik spektral setiap pulau kecil
dan ekosistemnya yang terjadi akibat proses terbentuknya masing-masing
tipe pulau kecil tersebut.
(2) Klasifikasi tipe pulau kecil dibangun menurut morfogenesis dan untuk
Indonesia disederhanakan menjadi sepuluh kelas yaitu tektonik lipatan,
tektonik patahan, vulkanik intrusif, vulkanik ekstrusif, stack, monadnock,
hummock, aluvial, terumbu, dan atol. Setiap tipe pulau kecil ditambahkan
informasi morfografi yaitu berbukit, datar, atau keduanya. Bentuk klasifikasi
ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan proses identifikasi karakteristik
biogeofisik pulau kecil, serta dapat dimanfaatkan sebagai dasar untuk
menggambarkan potensi pertumbuhan ekosistem laut.
(3) Identifikasi karakteristik biogeofisik ekosistem laut didesain berbasis tipe
pulau kecil karena lebih terarah dalam teknik pengolahn data dan lebih
fokus dalam mengenali karakteristiknya. Langkah selanjutnya berupa
analisis visual dan analisis digital ditempuh secara selektif untuk
mengakomodir keragaman karakteristik biogeofisik ekosistem laut, tetapi
bisa diperoleh hasil yang lebih akurat dan waktu yang lebih cepat. Hasilnya
adalah informasi yang bersifat spasial, kualitatif, dan kuantitatif, sehingga
bermanfaat bagi penentuan kebijakan pengelolaan pada masing-masing
ekosistem laut.
(4) Pengelompokan pulau kecil dan ekosistemnya yang berbasis geomorfologi
berupa kelompok pulau kecil, gugus-pulau kecil, pulau kecil dan gugus-
pulau kecil, dan beberapa pulau kecil. Pada desain pengelompokan ini
telah tercakup di dalamnya kondisi homogenitas kualitas ikan pantai. Oleh
karena itu, cara pengelompokan ini merupakan upaya secara langsung
untuk membatasi atau membuat zonasi suatu wilayah pengelolaan
ekosistem daerah penangkapan ikan.
6.2 Saran
Beberapa saran sehubungan dengan penelitian ini adalah:
(1) Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia perlu lebih
memperhatikan arti penting pulau-pulau kecil dari semua bidang. Dalam hal
ini, identifikasi karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil dan ekosistemnya
merupakan awal yang perlu diprioritaskan. Saat ini telah ada Atlas
pengelompokan pulau kecil berbasis tektonogenesis yang diterbitkan oleh
Pusat Survei Geologi, Kementrian Energi Sumberdaya Alam dan Mineral,
yang memberikan informasi pola umum karakter pulau-pulau kecil.
Informasi karakteristik biogeofisik pulau-pulau kecil ini belum tersedia.
Untuk itu pemerintah perlu memprioritaskan perolehan informasi tersebut
agar rencana pengelolaan ekosistem daerah penangkapan ikan yang
berkelanjutan dapat lebih mendekati harapan.
(2) Ekosistem laut merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan dari pulau
kecilnya. Sementara itu, proses-proses antropogenik ataupun eksogenik
yang berlangsung padanya mempengaruhi kualitas habitat ikan dan
kualitas ikan pantai. Untuk itu, rencana pengelolaan ekosistem daerah
penangkapan perlu informasi yang terpadu antara pulau kecil dan
ekosistemnya. Dalam hal ini, teknologi penginderaan jauh merupakan
alternatif cara perolehan informasi karakteristik biogeofisik yang lebih
efisien dan efektif.
(3) Penelitian ini menemui adanya keterbatasan saat pemanfaatan kanal 1
(biru) dan kanal 2 (hijau) untuk identifikasi terumbu karang dan lamun. Data
yang digunakan belum mampu membedakan keragaman terumbu karang
yang ada sesuai dengan keinginan agar dapat memerinci lebih detail lagi.
Di sisi lain, Indonesia terletak di daerah tropis dan memiliki garis pantai
terpanjang kedua di dunia, dimana daerah ini bagus untuk pertumbuhan
karang. Untuk itu, perlu ditinjau kembali hasil-hasil pengembangan
teknologi sensor penginderaan jauh multispektral yang mempunyai kisaran
panjang gelombang lebih sempit terutama pada kanal-kanal 1 dan 2.
(4) Saran secara khusus untuk penelitian lanjutan terutama yang tidak dapat
diselesaikan dalam penelitian ini meliputi:
1) Penelitian tentang pengolahan citra suatu tipe pulau kecil yang
memberikan ukuran kuantitatif bagi setiap pilihan teknik pengolahan
data.

159
2) Penelitian yang berkaitan dengan pengembangan perangkat lunak
pengolahan data dan algoritma untuk identifikasi obyek ekosistem laut
secara terstruktur. Algoritma Lyzengga perlu modifikasi, mengingat
bahwa substrat dasar pada setiap tipe pulau kecil menentukan
keragaman nilai spektral terumbu karang.
3) Penelitian teknik pengolahan citra untuk pulau-pulau kecil di daerah lain
yang mengkaji penerapan Tabel 29 dan algoritma Gambar 45 sampai
50.
4) Penelitian menyangkut ekosistem mangrove dan lamun yang berbasis
geomorfologi, seperti kaitan mangrove dengan bentuklahan gambut
serta korelasi antara tipe pulau kecil dengan lamun.
5) Penelitian serupa untuk tipe pulau kecil lain yang tersisa yaitu tujuh dari
sepuluh tipe pulau kecil.
6) Penelitian yang berfokus pada pemanfaatan sumberdaya pulau kecil
dan ekosistemnya menurut tipe pulau kecil, yang mengkaji faktor sosial
dan ekonomi, terutama untuk pulau kecil yang berpenghuni dan pulau
kecil terluar.

160
DAFTAR PUSTAKA

Amirin, TM. 1986. Pokok-pokok Teori Sistem. Rajawali. Jakarta. 95 hal.

Asriningrum, W. 2002. Studi Kemampuan Landsat ETM untuk Identifikasi


Bentuklahan (Landforms) di Daerah Jakarta-Bogor, Tesis S-2, Program
Pasca Sarjana. IPB. Bogor. 124 hal.

Asriningrum, W., Kushardono, D., Indratmo, H W., Dasanto. B D. 1997. Analisis


Geomorfologi Daerah Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi dengan Citra
Landsat, Prosiding Mapin ITB Bandung. Hal 1-12.

Beller, W., d’Ayala, P., and Hein, P. 1990. Observation and Recommendations of
The Interoceanic Workshop. Dalam Beller, W., d’Ayala, P., and Hein, P.
(editor): Sustainable Development and Environmental Management of
Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The
Parthenon Publishing Groups, Paris. p: 365 – 396.

Bemmelen, RW. van. 1970. The Ecology of Indonesia. Vol. 1 A. General Geology.
Martinus Nijhoff. The Hague. 732 p.

Bengen, DG. 2000. Penentuan dan Pengelolaan Kawasan Lindung di Pesisir,


Laut, dan Pulau-pulau Kecil. Lokakarya Pendekatan Penataan Ruang
dalam Menunjang Pengembangan Wilayah Pesisir, Pantai, dan Pulau-
pulau Kecil. Ditjen Pesisir, Pantai, dan Pulau-pulau Kecil. DKP. Jakarta. 14
hal.

Bheenick, R. 1990. Sustainable Development and Environmental Management in


Mauritus- or a Tale of Two Birds. Dalam Beller, W., P. d’Ayala, and P. Hein.
(editor): Sustainable Development and Environmental Management of
Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The
Parthenon Publishing Groups, Paris. p: 215 – 226.

Bloom, AL. 1979. Geomorphology. A Systematic Analysis of Late Cenozoic


Landforms. Prentice Hall of India. New Delhi. 510 p.

Brookfield, HC. 1990. An Approach to Islands. Dalam Beller, W., P. d’Ayala, and P.
Hein. (editor): Sustainable Development and Environmental Management
of Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The
Parthenon Publishing Groups, Paris. p: 23 – 33.

[CRITC] Coral Reef Information and Training Centre - LIPI. 2004. Studi Baseline
Ekologi Batam. Jakarta. Kerjasama COREMAP dan LIPI. 143 hal.

Dahuri, R. 1998. Kebutuhan Riset untuk Mendukung Implementasi Pengelolaan


Sumberdaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Jurnal Pesisir dan Lautan.
Vol. 1 No. 2.

Dahuri, R., Rais, J., Ginting, SP., Sitepu, MJ. 2004. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
328 hal.
Danoedoro, P. 1996. Pengolahan Citra Digital (Teori dan Aplikasinya dalam Bidang
Penginderaan Jauh). Fakultas Geografi UGM. Yogyakarta. 254 hal.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001. Pedoman Umum Pengelolaan


Pulau-pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat. Direktorat
Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta. 21 hal.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2002. Pedoman Umum Penataan


Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil. Jakarta. 108 hal.

[DKP] Departemen Kelautan dan Perikanan. 2004. Profil Pulau-pulau Kecil di


Indonesia. Jilid 1 Direktorat Jendral Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta.
104 hal.

Dewan Hankamnas dan BPP Teknologi. 1996. Benua Maritim Indonesia. Jakarta.
Dit. TISDA – PKA BPP Teknologi. 169 hal.

Dutton, IM. 1998. Sambutan Chief of Party Proyek Pesisir. Prosiding Seminar
dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di Indonesia. Jakarta, 7-10
Desember 1998. Kerjasama Depdagri- BPPT-CRMP (USAID), Jakarta. vi-vii.

English, S.C., and Baker, V. 1997. Survey Manual for Tropical Marine Resources
(2nd edition). ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal
Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville.

Eriyatno. 1998. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB
Press. Bogor. 145 hal.

ER Mapper 1997. ER Mapper 5.5 Level One Training Workbook. Western Australia.
Earth Resorce Mapping. 285 p.

EDC DAAC User Services. 1999. Applications of Landsat Data. http://caster.


gsfc.nasa.gov/lps/ExtIntFaces/satellite.html. [2 April 1999].

EROS Data Center. 1995. Landsat-7 Technical Working Group. Sioux Falls, USA
South Dakota. October 31 – November 2, 1995.

Fakultas Geografi UGM - Bakosurtanal. 2000. Pembakuan Spek Metodologi Kontrol


Kualitas Pemetaan Tematik Dasar dalam Mendukung Perencanaan Tata
Ruang. Yogyakarta. 113 hal.

Ginting, SP. 1998. Konflik Pengelolaan Sumberdaya Kelautan di Sulawesi Utara


dapat Mengancam Kelestarian Pemanfaatannya. Jurnal Pesisir dan
Lautan. Vol.1 No. 2.

Guerschman, JP., Paruelo, J M., Di Bella C., Giallorenzi, Mc., and Pacin, F..
2003. Land Cover Classification in The Argentine Pampas Using Multi-
temporal Landsat TM Data. Int. Journal of Remote Sensing. Vol 24 Nu. 17,
10 September 2003. p:3318- 3402.

Guilcher, A. 1988. Coral Reef Geomorphology. John Willey & Sons. Chichester
228 p.

162
Hamnett, MP. 1990. Pacific Island Resources Development and Environmental
Management. Dalam Beller, W., P. d’Ayala, and P. Hein. (editor):
Sustainable Development and Environmental Management of Small
Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The
Parthenon Publishing Groups, Paris. p: 227 – 257.

Hein, PL. 1990. Economic Problems and Prospects of Small Islands. Dalam Beller,
W., P. d’Ayala, and P. Hein. (editor): Sustainable Development and
Environmental Management of Small Islands. Man and The Biosphere
Series, Vol. 5. UNESCO and The Parthenon Publishing Groups, Paris. p:
35 – 42.

Hess, AL. 1990. Overview: Sustainable Development and Environmental


Management of Small Islands. Dalam Beller, W., P. d’Ayala, and P. Hein.
(editor): Sustainable Development and Environmental Management of
Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The
Parthenon Publishing Groups, Paris. p: 3 – 14.

Hehanussa, PE., Haryani, G.S., Fakhrudin, M., dan Wibowo, H 1998.


Ketersediaan Air Sebagai Dasar Perencanaan Pengembangan Kapet di
Pulau Biak, Irian Jaya. Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-
pulau Kecil di Indonesia, Jakarta, 7-10 Desember 1998. Kerjasama Depdagri-
BPPT-CRMP (USAID), Jakarta. Hal: B32 - B42.

Hutabarat, S dan Evans, SM. 1985. Pengantar Oseanografi. UI-Press. Jakarta.


159 hal.

Jensen, JR. 1986. Introductory Digital Image Processing. A Remote Sensing


Perspective. Second Edition. Prentice Hall, New Jersey.

Kaswadji, R. 2001. Keterkaitan Ekosistem didalam Wilayah Pesisir. Sebagian


bahan kuliah SPL.727 (Analisis Ekosistem Pesisir dan Laut). Fakultas
Perikanan dan Kelautan IPB. Bogor, Indonesia.

Katili, JA. 1973. Geochronology of West Indonesia and Its Implication On Plate
Tectonics. LIPI. Jakarta. p:195-212.

Kenchington, R. 1995. Future Prospect for Coastal Zone Management. Dalam


Hotta, K. dan Dutton, IM. (Editor): Coastal Management in The Asia-Pacific
Region: Issues and Approaches. Japan International Marine Science and
Technology Federation, Tokyo. p: 385 -392.

Koesoebiono, 1995. Ekologi Wilayah Pesisir. PPLH-LP-IPB Bogor. 111 hal.

Kompas, 2005. Nelayan Pulau Rempang Beralih ke Arang Bakau. 27-7-2005.

Kunzmann, A. 2001. Corals, Fishermen and Tourists. Jurnal Pesisir & Lautan, Vol.
4(1): 17 – 23.

Lillesand, TM. dan Kiefer, RW. 1994. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra
(Terjemahan). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 612 hal.

163
Lyzengga, DR. 1981. Remote Sensing of Bottom Reflectance and Water
Attenuation Parameters in Shallow Water Using Aircraft and Landsat Data.
International Journal of Remote Sensing, 2:71-82.

Malingreau, JP. and Christiani, R. 1981. A Land Cover/Land Use Classification for
Indonesia. The Indonesian Journal of Geography. Vol. 11(41): 13 - 50.

Maliskusworo, H., Hadisubroto, I., Wahyono MM. dan Prahoro, P. 1991. Potensi
dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Karang. Potensi dan Penyebaran
Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Puslitbang Oseanologi, LIPI.
Jakarta. 25 hal.

Martosubroto, P., Naamin, N., Abdul Malik, BB. 1991. Potensi dan Penyebaran
Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Puslitbang Oseanologi, LIPI.
Jakarta. 104 hal.

Maxwell, WGH. 1968. Atlas of The Great Barrier Reef. Elsevier, Amsterdam. 20 p.

Mumby PJ, Clark CD, Green EP, Edwards AJ. 1998. Benefits of water colomn
correction and contextual editing for mapping coral reefs. Int. Jounal of
Remote Sensing 19. p: 203-210.

Mumby PJ, Green EP, Clark CD, Edwards AJ. 2000. Remote sensing handbook
for tropical coastal management. In: 3 (ed) Coastal management
sourcebooks. UNESCO, Paris, p: 316.

Naamin, N., Farid, A., Sumiono, B., Suman, A. dan Subagyo, W. 1991. Potensi dan
Penyebaran Sumberdaya Udang. Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan
Laut di Perairan Indonesia. Puslitbang Oseanologi, LIPI. Jakarta. 25 p.

Narayanan, R.M., M.K. Desetty and S.E. Reichenbach. Effect of Spatial


Resolution on Information Content Characterization in Remote Sensing
Imagery Based on Classification Accuracy. Int. Journal of Remote Sensing.
Vol 23 Nu. 3, 10 Februari 2002. p:537- 554.

Nontji, A. 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 368 hal.

Nossin, JJ., Voskuil, PGA. and Dam, RMC. 1996. Geomorphologic Development of
The Sunda Volcanic Complex. West Java, Indonesia. ITC Journal. 1996-2,
p:157-165.

Nybakken, JW. 1982. Marine Biology. An Ecological Approach. Penerjemah: M.


Eidman dkk. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 459 hal.

Odum, EP. 1992. Fundamental of Ecology. W.B.Saunder Company.


Philadelphia,USA. 574p.

Ongkosongo, OSR., 1998. Permasalahan dalam Pengelolaan Pulau Kecil.


Prosiding Seminar dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-pulau Kecil di
Indonesia. Jakarta, 7-10 Desember 1998. Kerjasama Depdagri- BPPT-CRMP
(USAID), Jakarta. Hal. B34 - B47.

164
Parcharidis, I., Psomiadis, E. and Stamatis, G. 1998. Using Landsat TM Images To
Study The Karstic Phenomenon. ITC Journal 1998-2. Enschede-Netherlands.
P:118-123.

[PSG] Pusat Survei Geologi. 2006. Atlas Pengelompokan Pulau Kecil Berdasarkan
Tektonogenesis untuk Perencanaan Tata Ruang Darat, Laut, dan Dirgantara
Nasional. Bandung. 29 hal.

Rais, J., Sulistiyo, B., Diamar, S., Gunawan, T., Sumampouw, M., Soeprapto, TA.,
Suhardi, I, Karsidi, A., Widodo, S. 2004. Menata Ruang Laut Terpadu.
Pradnya Paramita. Jakarta. 251 hal.

Rais, J. 2008. Toponimi, Sejarah Budaya Bangsa yang Panjang dari Permukiman
Manusia dan Tertib Administrasi. Pradnya Paramita. Jakarta. 250 hal.

Sabins, FFJR. 1987. Remote Sensing, Principles and Interpretation 2nd ed. W.H
Freeman and company, New York, 449 p.

Selby, MJ. 1985. Earth’s Changing Surface. An Introduction to Geomorphology.


Oxford University Press. New York. 607 p.

Short, NM. 1982. Landsat Tutorial Workbook-Basics of Satellite Remote Sensing.


Washington DC : NASA.

Simbolon, D. 2006. Daerah penangkapan ikan sebagai salah satu faktor penentu
keberhasilan operasi penangkapan ikan; Kumpulan Pemikiran tentang
Teknologi Perikanan Tangkap yang Bertanggungjawab. Kenangan
Purnabhakti Prof Dr. Ir. Daniel R. Monintja. Departemen PSP-FPIK-IPB Bogor
hal 67-70.

Snedaker, SC. and Getter, CD. 1985. Coastal Resources Management Guidelines.
Research Planning Institut, Inc., Columbia, SC, USA. 251 p.

Strahler, AN. and Strahler, AH. 1978. Modern Physical Geography. John Willey &
Sons. New York. 502 p.

Subani, W., Marzuki, S., Kastoro, WW., Azis, A. dan Nuraini, S. 1991. Potensi dan
Penyebaran Sumberdaya Moluska dan Teripang di Perairan Indonesia.
Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia.
Puslitbang Oseanologi, LIPI. Jakarta. 23 hal.

Sugandhi, A. 1998. Pengelolaan Lingkungan Pulau-pulau Kecil. Prosiding Seminar


dan Lokakarya Pengelolaan Pulau-pulau Kecil di Indonesia, Jakarta, 7-10
Desember 1998. Kerjasama Depdagri-BPPT-CRMP (USAID), Jakarta. Hal.
B32 - B42.

Sugimori, Y., Moriyama T., Tedjasukmana, B., Soesilo, I. dan Swardika, K. 2006.
Estimation of Fishery Resources by M-F GIS Using Satellite Data and Its
Application to TAC for Sustainable Fishery Production. International Journal of
Remote Sensing and Earth Sciences. Vol. 3 September 2006 IReSES
publishing. p: 59-79.

165
Suhermanto. 2001. Teknis Operasionalisasi Data Landsat 7. LAPAN, Jakarta. 20 p
.(belum diterbitkan).

Sulasdi, WN. 2000. Potensi Sumberdaya Kelautan Non-Perikanan di Indonesia


serta Pola Pemanfaatannya dalam Perspektif Penataan Ruang Wilayah
Pesisir dan Laut. Temu Pakar: Konsep Pengembangan Wilayah Pesisir,
Pantai, dan Pulau-pulau Kecil melalui Pendekatan Penataan Ruang. 10
Oktober 2000. Jakarta, Direktorat Jendreral Urusan Pesisir, Pantai, dan
Pulau-pulau Kecil, DKP. 10 hal.

Supriharyono. 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah


Pesisir Tropis. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 108 hal.

Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh (Jilid 1). Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 168 hal.

Sutikno. 1995. Geomorfologi dan Prospeknya di Indonesia, Pidato Pengukuhan


Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada.
Fakultas Geografi, UGM, Yogyakarta. 30 hal.

Thornbury, WD. 1954. Principles of Geomorphology. 2nd ed. John Wiley & Sons,
Inc. New York. 594 p.

Tjia, HD. 1980. Zeithschrift fur Geomorfology; The Sunda Shelf, Southeast Asia.
Gerbruder Borntraeger, Berlin. p: 405-427.

Tomascik T, Mah AJ, Nontji A, Moosa MK. 1997. The Ecology of Indonesia Series.
Volume VII. The Ecology of Indonesian Seas. Part One: vii-xiv, 1-642. Volume
III, Part two: iii-v, 643-1388. Periplus Edition.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.


51 hal.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan


Ruang. 43 hal.

Valenzuela, CR. 1990. Data Analisis and Modelling. Introduction to Geographic


Information Systems. ITC, Enschede. The Netherlands. p: 31-53.

Vernicos, N. 1990. The Islands of Greece. Dalam Beller, W., P. d’Ayala, and P.
Hein. (editor): Sustainable Development and Environmental Management
of Small Islands. Man and The Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The
Parthenon Publishing Groups, Paris. p: 141 – 168.

Verstappen, HTh. 1983. Applied Geomorphological Surveys for Environmental


Development. Elsevier Sci., Publ., Comp. Amsterdam. 73 p.

Verstappen, HTh. 2000. Outline of The Geomorphology of Indonesia. ITC,


Enschede. The Netherlands. 212 p.

166
Wallace CC .2001. Wallace’s Line and Marine Organism: The Distribution of
Staghorn Corals (Acropora) in Indonesia. In: Metcalf I (ed) Faunal and Floral
Mitigations and Evolution in SE Asia-Australasia. Balkema, Rotterdam p: 168-
178.

Webster, J. 1990. The Ecological Sustainability of Economic Growth in The Isle of


Maan. Dalam Beller, W., P. d’Ayala, and P. Hein. (editor): Sustainable
Development and Environmental Management of Small Islands. Man and
The Biosphere Series, Vol. 5. UNESCO and The Parthenon Publishing
Groups, Paris. Hal.: 183 – 196.

Weyl, PK. 1970. Oceanography. An Introduction to The Marine Environment.


John Wiley & Sons, Inc. New York. 254 p.

Wiryawan, B. 2006. Kawasan Konservasi Laut Sebagai Alat Pengelolaan


Perikanan Tangkap: Pembelajaran dari Kabupaten Berau, Kalimantan
Timur. Kumpulan Pemikiran tentang Teknologi Perikanan Tangkap yang
Bertanggungjawab. Kenangan Purnabhakti Prof Dr. Ir. Daniel R. Monintja.
Departemen PSP-FPIK-IPB Bogor. hal: 95-113.

Zee, D. van der. 1990. Introduction to Airphoto Interpretation, Landcover Land Use
Classification and Settlement Analysis. ITC, Enschede. The Netherlands. 23
p.

Zuidam RA. van. 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and


Geomorphologic Mapping. ITC, Enschede. The Netherlands. 442 p.

167
LAMPIRAN
Lampiran 1: Daftar nama pulau kecil di wilayah Kota Batam

No Nama Pulau Posisi No Nama Pulau Posisi


Lintang Bujur Lintang Bujur
1 Jandaberhias 1o6.6’ 103o54.0’ 42 Kubang 1o1.2’ 104o8.4’
2 Seraya 1o7.2’ 103o54.6’ 43 Menjing 1o0.6’ 104o9.0’
3 Semangkau 1o8.4’ 103o64.2’ 44 Raja 1o1.2’ 104o9.0’
Besar
4 Saloko 1o6.0’ 103o51.6’ 45 Lapang 1o1.2’ 104o 8.4’
5 Dangas 1o9.0’ 103o57.0’ 46 Lukus 1o2.4’ 104o 9.0’
6 Pucong 1o9.0’ 103o56.4’ 47 Ngenang 1o0.0’ 104o 9.6’
7 Bokor 1o9.0’ 103o56.4’ 48 Tanjung 1o2.4’ 104o 9.6’
Sauh
8 Mentiang 1o8.4’ 103o59.4’ 49 Tubu 1o4.8’ 104o10.2’
9 Tanjung Man 1o7.2’ 103o55.2’ 50 Sau 1o4.2’ 104o10.8’
10 Sali 1o5.4’ 103o55.8’ 51 Limau Kuras 1o1.8’ 104o6.6’
11 Teritip 1o6.0’ 103o54.6’ 52 Bulan 0o58.2’ 103o53.4’
12 Pakcui 1o7.2’ 103o54.6’ 53 Buluh 1o1.2’ 103o55.8’
13 Arus 1o7.2’ 103o54.6’ 54 Tengah 0o58.2’ 103o58.8’
Kencang
14 Baka 1o7.2’ 103o54.6’ 55 Boyan 1o1.8’ 103o55.2’
15 Dodik 1o7.2’ 103o54.6’ 56 Melat 1o3.6’ 103o54.0’
16 Makminah 1o7.2’ 103o54.6’ 57 Tanjung 1o1.8’ 103o54.6’
Kubu
17 Mengkudu 1o6.6’ 103o54.6’ 58 Bulang 1o1.2’ 103o52.8’
18 Kapo 1o6.0’ 103o54.6’ 59 Jello 0o58.2’ 103o51.0’
19 Selat Lanjut 1o6.0’ 103o54.0’ 60 Cengkui 0o56.4’ 103o53.4’
20 Capak 1o5.4’ 103o53.4’ 61 Bedari 0o55.2’ 103o54.6’
Karang
21 Burung 1o5.4’ 103o53.4’ 62 Cungkul 0o57.0’ 103o53.4’
22 Batu 1o5.4’ 103o53.4’ 63 Luing Darat 0o53.4’ 103o57.0’
23 Timun 1o6.0’ 103o52.8’ 64 Selat Nenek 0o54.6’ 103o57.0’
24 Gelam 1o5.4’ 103o52.8’ 65 Ladi 0o55.2’ 103o57.0’
25 Dongkol 0o59.4’ 104o2.4’ 66 Luing Laut 0o52.2’ 103o58.2’
26 Asa Besar 0o58.8’ 104o 4.8’ 67 Temoyong 0o55.8’ 103o57.6’
27 Asa Kecil 0o59.4’ 104o 4.2’ 68 Resam Besar 0o55.2’ 103o58.2’
28 Sekenah 1o0.6’ 104o 6.0’ 69 Nipis 0o56.4’ 103o58.8’
29 Trailing 1o1.2’ 104o 5.4’ 70 Melintang 0o52.8’ 103o58.2’
30 Betingan 1o1.2’ 104o 4.8’ 71 Tengah 1o1.8’ 103o55.2’
31 Dumping 0o59.4’ 104o 2.4’ 72 Kojok 0o57.0’ 103o58.8’
32 Piayu 0o59.4’ 104o 6.0’ 73 Seraya 0o58.2’ 103o59.4’
33 Meregah 1o1.2’ 104o 7.2’ 74 Mengkada 0o59.4’ 103o57.6’
34 Kasem 1o1.8’ 104o 7.2’ 75 Cole 1o0.6’ 103o57.6’
35 Semangkau 1o7.8’ 104o 3.6’ 76 Tebuan 1o00.0’ 103o57.6’
Kecil
36 Putri 1o12.0’ 104o 4.2’ 77 Lembu 1o00.0’ 103o58.2’
37 Moi Moi 0o59.4’ 104o 7.8’ 78 Air 1o00.0’ 103o58.2’
38 Sekila 0o59.4’ 104o 8.4’ 79 Biawak 1o00.0’ 103o57.0’
39 Cuma 1o0.6’ 104o 8.4’ 80 Linau 1o00.0’ 103o58.8’
40 Matang 1o0.6’ 104o 8.4’ 81 Dangsi 1o00.0’ 104o00.0’
41 Sekikir 0o56.4’ 104o0.6’ 82 Selat 1o1.8’ 103o52.8’
Gantang

169
No Nama Pulau Posisi No Nama Pulau Posisi
Lintang Bujur Lintang Bujur
83 Kurah Besar 0o57.6’ 104o6.0’ 127 Teluk Pasir 1o1.8’ 103o53.4’
84 Kurah Kecil 0o57.6’ 104o0.0’ 128 Teluk Dalam 1o2.4’ 103o53.4’
85 Lance 0o58.8’ 104o1.2’ 129 Kecik 0o59.4’ 103o58.2’
86 Panjang 0o57.6’ 104o1.8’ 130 Labu 1o00.0’ 103o58.2’
Darat
87 PanjangLaut 0o57.6’ 104o1.8’ 131 Kuyung 0o59.4’ 103o58.8’
88 Akar 0o58.2’ 104o1.8’ 132 Kecil Bakau 0o58.8’ 103o59.4’
89 Mentima 0o57.0’ 104o1.8’ 133 Kecil Krupa 0o58.8’ 103o59.4’
90 Aur 0o58.2’ 104o1.8’ 134 Bulat semut 0o55.8’ 104o3.0’
91 Tonton 0o58.8’ 104o2.4’ 135 Gua 0o56.4’ 104o 2.4’
92 Nipa 0o58.2’ 104o3.0’ 136 Babi 0o57.6’ 104o 4.2’
93 Setoko 0o56.4’ 104o3.6’ 137 Tembuan 0o58.2’ 104o 2.4’
94 Bulat 0o55.2’ 104o1.8’ 138 Tenga 0o58.8’ 104o 4.2’
95 Bukit 0o55.2’ 104o2.4’ 139 Jambul 0o57.6’ 104o 2.4’
96 Sepak 0o52.8’ 104o2.4’ 140 Anak Mati 0o58.2’ 104o 5.4’
97 Laut 0o55.2’ 104o1.8’ 141 Perca 1o3.0’ 103o53.4’
98 Penjahit 0o54.0’ 104o2.4’ 142 Tanjung 103o50.4’
Layar Butun 1o1.2’
99 Kaloh 0o53.4’ 104o1.8’ 143 Cula 1o2.4’ 103o42.6’
100 Kayu Angin 0o58.2’ 104o5.4’ 144 Kepala Jerih 1o1.2’ 103o46.8’
Arang
101 Lotong 0o58.2’ 104o5.4’ 145 Penyalan 1o0.6’ 103o46.2’
102 Mati 0o59.4’ 104o57.6’ 146 Anak Pulau 0o58.2’ 103o48.6’
103 Penyalan 1o04.2’ 103o53.4’ 147 Buntung 1o2.4’ 103o48.0’
104 Bulat 1o01.8’ 103o55.2’ 148 Ketapa 1o2.4’ 103o49.8’
105 Jerambang 1o03.0’ 103o54.0’ 149 Serai Cudung 1o3.0’ 103o49.2’
Besar
106 Terendak 1o03.0’ 103o53.4’ 150 Batu Ampar 1o3.6’ 103o48.6’
107 Sebalok 1o03.0’ 103o53.4’ 151 Lumbabesar 1o3.0’ 103o51.0’
108 June 0o55.2’ 103o55.2’ 152 Kasu 1o4.2’ 103o49.2’
109 Luing Sempal 0o52.8’ 103o58.2’ 153 Bertam 1o4.2’ 103o51.6’
110 Luing 0o52.8’ 103o58.2’ 154 Semangkau 1o5.4’ 103o49.8’
Sengkek Besar
111 Luing Lamat 0o52.8’ 103o58.2’ 155 Lingke 1o5.4’ 103o52.2’
112 LuingBendera 0o53.4’ 103o58.2’ 156 Pasir 1o5.4’ 103o52.2’
113 Luing Bakau 0o53.4’ 103o58.8’ 157 Tandur 1o2.4’ 103o48.0’
114 Bukit 0o54.6’ 103o57.0’ 158 Buntong 1o2.4’ 103o48.0’
115 Biawak Kecil 0o55.2’ 103o57.0’ 159 Bulat 1o5.4’ 103o52.2’
116 Resam Bakau 0o55.2’ 103o58.8’ 160 Belakang 1o9.0’ 103o52.8’
Padang
117 Resam Laut 0o55.2’ 103o58.2’ 161 Sambu 1o9.6’ 103o54.0’
118 Borek Bakau 1o01.2’ 103o51.0’ 162 AnakSambu 1o10.2’ 103o53.4’
119 Kobek 1o2.4’ 103o52.8’ 163 Bontot 1o9.0’ 103o54.0’
Mariam
120 Sungai 1o2.4’ 103o52.8’ 164 Lengkana 1o9.6’ 103o52.8’
Kobek
122 Nipong 1o4.2’ 103o53.4’ 165 Tolop 1o9.6’ 103o52.2’
123 Kapal Besar 1o8.4’ 103o50.4’ 166 Lotong 0o57.0’ 103o46.2’
124 Kapal Kecil 1o8.4’ 103o50.4’ 167 Sayak 0o57.0’ 103o45.6’
125 Catur 1o8.4’ 103o49.8’ 168 Telan 0o56.4’ 103o47.4’
126 Manek 1o7.8’ 103o50.4’ 169 Air Manis 1o7.2’ 103o52.8’

170
No Nama Pulau Posisi No. Nama Pulau Posisi
Lintang Bujur Lintang Bujur
170 Layang 1o7.8’ 103o50.4’ 215 Air Asam 1o7.8’ 103o52.2’
171 Mecan 1o7.2’ 103o50.4’ 216 Mariam 1o8.4’ 103o49.8’
172 Nirup 1o7.8’ 103o49.8’ 217 Combon 0o58.8’ 103o49.2’
173 Anak Ladang 1o7.8’ 103o52.8’ 218 Terong 0o57.0’ 103o46.2’
174 Gerit 1o8.4’ 103o52.8’ 219 Seret 1o5.4’ 103o51.0’
175 Sekila 1o7.2’ 103o53.4’ 220 Saban 1o5.4’ 103o51.0’
176 Timbul/Timba 1o6.0’ 103o52.8’ 221 Resoi 1o7.2’ 103o53.4’
177 Kramat Tolop 1o9.6’ 103o52.2’ 222 Anak Ladan 1o1.2’ 103o45.0’
178 Lengkang 1o7.2’ 103o52.2’ 223 Udang 1o1.2’ 103o45.0’
Kecil
179 Jagung 1o7.2’ 103o53.4’ 224 Tanjung 1o0.6’ 103o45.6’
Ladan
180 Pemping 1o6.0’ 103o47.4’ 225 Panjang 1o0.6’ 103o45.6’
Besar
181 Nipa 1o8.4’ 103o39.6’ 226 Kote 1o00.0’ 103o46.2’
182 Pelampong 1o7.8’ 103o42.0’ 227 Buca Kecil 1o0.6’ 103o46.8’
183 Tokong Besar 1o7.2’ 103o42.6’ 228 Labu 1o0.6’ 103o48.0’
184 Tokong Kecil 1o6.6’ 103o43.2’ 229 Siali 1o1.2’ 103o48.6’
185 Babon Besar 1o6.0’ 103o46.8’ 230 Bulat 1o1.8’ 103o48.0’
186 Babon Kecil 1o5.4’ 103o46.8’ 231 Mamat 1o3.6’ 103o48.6’
187 Kujam 1o6.6’ 103o49.2’ 232 Kera 1o3.6’ 103o48.6’
188 Bolak 1o6.0’ 103o51.6’ 233 Sememal 1o3.6’ 103o49.2’
189 Jerpit 0o57.6’ 103o49.2’ 234 Pelangi 1o3.0’ 103o49.2’
190 Berunuk 0o58.8’ 103o49.2’ 235 Teluk Garam 1o1.0’ 103o49.8’
191 Siantu 0o58.2’ 103o49.2’ 236 Bajang 1o1.8’ 103o50.4’
192 Semukit 0o58.8’ 103o48.6’ 237 Galang 1o2.4’ 103o50.4’
193 Nangka 0o58.8’ 103o49.2’ 238 Busuk 1o1.8’ 103o49.8’
194 Panjang 0o59.4’ 103o49.2’ 239 Betina Besar 1o 3.0’’ 103o49.2’
195 Dongdang 1o00.0’ 103o48.6’ Betina Kecil 1o3.6’ 103o49.2’
240
196 Pecong 1o00.0’ 103o49.2’ 241 Keramba 1o3.6’ 103o49.2’
197 Pecong Kecil 1o6.0’ 103o49.2’ 242 Panjang 1o1.8’ 103o48.0’
198 Miang 1o6.0’ 103o49.8’ 243 Bosing Besar 1o3.6’ 103o49.8’
199 Combon 0o58.2’ 103o49.2’ 244 Bosing Kecil 1o3.6’ 103o49.8’
200 Serapat 1o6.0’ 103o52.2’ 245 Renjis 1o5.4’ 103o51.0’
205 Dongkan 0o58.2’ 103o42.6’ 246 Rawa 1o4.2’ 103o48.6’
206 Daun 0o58.8’ 103o45.6’ 247 Amin 1o2.4’ 103o49.8’
207 Geranting 1o0.6’ 103o46.2’ 248 Puaka 1o1.8’ 103o49.8’
208 Katumba 0o58.2’ 103o47.4’ Tanjung 1o1.8’ 103o49.8’
249 Kramat
209 Kelapa 0o58.2’ 103o48.0’ Siondok 1o3.0’ 103o52.8’
Gading 250
210 Kucing 1o3.6’ 103o52.8’ Lengkang 1o7.2’ 103o52.8’
251 Besar
211 Gondeng 1o4.8’ 103o52.2’ Mat Belanda 1o9.0’ 103o52.8’
Besar 252
212 Gondeng 1o4.8’ 103o52.2’ TanjungPana 1o6.6’ 103o47.4’
Kecil 253
213 Sudin 1o4.8’ 103o52.2’ 254 AnakAirJohor 1o6.0’ 103o48.0’
214 Padi 1o4.8’ 103o52.8’ Semangkau 1o5.4’ 103o49.2’
255 Arus

171
No Nama Pulau Posisi No Nama Pulau Posisi
Lintang Bujur Lintang Bujur
256 Penembuk 1o4.8’ 103o52.2’ 296 S. Ketem 1o5.4’ 103o48.6’
257 TanjungMide 1o5.4’ 103o52.2’ 297 Pangkalan 1o5.4’ 103o49.2’
Tudak
258 Mat Aim 1o5.4’ 103o51.6’ 298 Dua 0o59.4’ 103o48.6’
259 Serapat 1o5.4’ 103o51.6’ 299 Bakau 0o56.4’ 103o46.2’
Malang
260 Merah 1o4.8’ 103o49.8’ 300 Tengah 0o57.6’ 103o49.8’
261 Batu Majid 1o4.8’ 103o49.8’ 301 Sisik 0o56.4’ 103o49.2’
262 Lebah 1o2.4’ 103o49.2’ 302 Belerang 0o56.4’ 103o49.8’
263 Semangkau 1o5.4’ 103o49.8’ 303 Tanjung Jati 1o1.8’ 103o49.8’
Nabi
264 S. Cingam 1o6.0’ 103o49.8’ 304 Tanahmerah 0o58.2’ 103o42.6’
265 S. Pari 1o6.0’ 103o49.8’ 305 Katumba 0o58.2’ 103o46.8’
Kecil
266 Injin Beras 1o6.0’ 103o49.8’ 306 Akar 0o56.4’ 103o46.2’
267 S. Mempela 1o5.4’ 103o49.8’ 307 Labun 0o40.2’ 104o13.8’
268 S. Terih 1o6.0’ 103o49.8’ 308 Nguan 0o39.0’ 104o14.4’
269 S. Nur 1o6.0’ 103o49.8’ 309 Cingam 0o39.0’ 104o14.4’
270 S. Pulau 1o5.4’ 103o49.8’ 310 Len 0o37.8’ 104o17.4’
271 Lontok 1o5.4’ 103o50.4’ 311 TelejikBesar 0o37.2’ 104o17.4’
272 Perahak 1o6.0’ 103o51.0’ 312 Telijik Kecil 0o36.0’ 104o17.4’
273 Tumba 1o6.0’ 103o51.0’ 313 GalangBaru 0o39.6’ 104o15.6’
274 Tanjung 1o6.6’ 103o51.6’ 314 Dempo 0o36.0’ 104o18.0’
Lombok
275 Montoh 1o6.6’ 103o51.6’ 315 Udik 0o31.8’ 104o18.0’
276 Kabe 1o6.0’ 103o51.6’ 316 Pengalap 0o30.0’ 104o17.4’
277 Seduduk 1o6.0’ 103o51.6’ 317 Kalo 0o28.2’ 104o18.0’
278 Terumbu 1o9.0’ 103o53.4’ 318 Tukil 0o27.6’ 104o18.6’
Lebar
279 Subar 1o9.0’ 103o49.8’ 319 Pelintang 0o28.2’ 104o16.2’
280 Catuk 1o7.8’ 103o50.4’ 320 Dedap 0o28.8’ 104o16.2’
281 AnakLayang 1o7.8’ 103o51.0’ 321 Sawang Apil 0o30.6’ 104o15.6’
282 Kajang 1o7.2’ 103o51.0’ 322 SawangBesar 0o30.6’ 104o15.0’
283 Anak Mecan 1o7.2’ 103o49.8’ 323 SepintuBesar 0o30.6’ 104o14.4’
284 Piring 1o7.2’ 103o50.4’ 324 Abang Besar 0o34.8’ 104o12.6’
285 Sarang 1o6.6’ 103o51.0’ 325 Abang Kecil 0o32.4’ 104o13.8’
286 Cukus 1o6.6’ 103o50.4’ 326 Sekate 0o34.8’ 104o10.8’
287 Payung 1o6.6’ 103o50.4’ 327 Pasir Buluh 0o33.6’ 104o12.6’
288 Lumut 1o7.2’ 103o51.0’ 328 Ranoh 0o33.6’ 104o13.8’
289 Taman 1o6.0’ 103o51.0’ 329 Hantu 0o32.4’ 104o15.0’
290 Perincit 1o7.8’ 103o51.0’ 330 Petong 0o37.8’ 104o 5.4’
291 Derkat 0o37.8’ 104o6.6’ 331 Melor Besar 0o44.4’ 104o10.8’
Besar
292 Muntigi 0o36.6’ 104o 6.0’ 332 Melor 0o44.4’ 104o10.8’
Besar Harimau
293 Segayang 0o37.8’ 104o 2.4’ 333 Melinik 0o44.4’ 104o11.4’
294 Anak 0o37.2’ 104o 1.8’ 334 Anak Melinik 0o43.8’ 104o11.4’
Segayang
295 Cucu Petong 0o38.4’ 104o 0.6’ 335 Tanjung 0o43.8’ 104o12.0’
Kompak

172
No Nama Pulau Posisi No Nama Pulau Posisi
Lintang Bujur Lintang Bujur
336 Pumpun 0o48.0’ 104o13.2’ 375 Penempan 0o42.0’ 104o13.8’
337 Semantar 0o47.4’ 104o11.4’ 376 Bedempan 0o39.6’ 104o14.4’
338 Melor 0o44.4’ 104o10.8’ 377 Samak 0o39.6’ 104o14.4’
339 Penyabung 0o42.6’ 104o12.6’ 378 Tanjung 0o40.2’ 104o14.4’
Gemuk
340 Mubut Darat 0o49.2’ 104o16.8’ 379 Baralukut 0o37.8’ 104o15.0’
341 Mubut Laut 0o49.2’ 104o18.0’ 380 Burus 0o39.0’ 104o14.4’
342 Bunaki 0o46.2’ 104o16.8’ 381 Singa 0o38.4’ 104o15.6’
343 Karas Besar 0o46.2’ 104o19.8’ 382 Berkat Kecil 0o37.8’ 104o 6.6’
344 Karas Kecil 0o48.6’ 104o19.8’ 383 Cek Dulah 0o36.6’ 104o 6.6’
345 Sembur 0o40.8’ 104o17.4’ 384 Cekukur 0o36.6’ 104o 6.0’
346 Ende 0o40.8’ 104o16.2’ 385 Mentigi Kecil 0o36.0’ 104o 6.0’
347 Teluk Nipa 0o40.2’ 104o19.2’ 386 Buaya 0o36.0’ 104o 6.0’
348 Nanga 0o40.2’ 104o18.0’ 387 Ujung Baran 0o32.4’ 104o12.0’
349 Sembibing 0o40.8’ 104o18.0’ 388 Air Saka 0o33.6’ 104o13.2’
350 Bunta 0o40.8’ 104o18.0’ 389 Ranoh Kecil 0o33.6’ 104o14.4’
351 Korek 0o40.8’ 104o19.8’ 390 Tanjung 0o33.0’ 104o13.8’
Busung Siadan
352 Korek Rapat 0o40.8’ 104o20.4’ 391 Supu 0o32.4’ 104o15.0’
353 Tanjung 0o40.8’ 104o19.2’ 392 Aki 0o32.4’ 104o15.0’
Dahan
354 Pakaul 0o52.2’ 104o14.4’ 393 Sambang 0o31.8’ 104o15.0’
355 Probas 0o48.0’ 104o13.2’ 394 Sepintu Kecil 0o32.4’ 104o13.8’
356 Perantau 0o48.0’ 104o13.2’ 395 Sawang Kecil 0o30.6’ 104o14.4’
357 Nibung 0o45.0’ 104o10.8’ 396 Taher 0o28.2’ 104o16.8’
358 Subangmas 0o57.0’ 104o 9.6’ 397 Akop 0o28.2’ 104o16.8’
359 Kinun 0o55.2’ 104o10.2’ 398 Nurdin 0o28.2’ 104o16.8’
360 Tunjuk 0o56.4’ 104o12.0’ 399 Kalo Kecil 0o28.2’ 104o18.0’
365 Air Raja 0o58.2’ 104o 9.6’ 400 Buntar 0o40.8’ 104o18.0’
366 Manjaras 0o58.2’ 104o10.2’ 401 Galang 0o41.4’ 104o15.6’
367 Rempang 0o51.6’ 104o 9.6’ 402 Uku 0o55.8’ 104o 9.0’
368 Combang 0o57.0’ 104o 8.4’ 403 Bama 0o56.4’ 104o 9.0’
369 Jemara 0o54.6’ 104o12.6’ 404 Nilir 0o55.8’ 104o 9.0’
370 Kera 0o53.4’ 104o11.4’
371 Semukit 0o48.0’ 104o12.6’
372 Dapur Tiga 0o47.4’ 104o12.6’
373 Gong 0o53.4’ 104o55.8’
374 Petang 0o47.4’ 104o 9.6’

173
Lampiran 2: Daftar nama pulau kecil di wilayah Kabupaten Sikka

No Nama Pulau Posisi


Lintang Bujur
1 Palue 8o18’ 121o42.0’
o
2 Babi 8 25.2’ 122o30.0’
3 Parumaan 8o26.4’ 122o27.0’
4 Kondo 8o25.6’ 122o27.0’
5 Sukun 8o07.2’ 122o07.2’
6 Dambila 8o28.2’ 122o25.6’
7 Besar 8o25.4’ 122o21.0’
8 Pomana besar 8o25.4’ 122o18.0’
9 Pomana kecil 8o21.0’ 122o25.6’
10 Pangabatang 8o28.4’ 122o28.2’

Lampiran 3: Daftar nama pulau kecil di wilayah Kabupaten Sitaro

No Nama Pulau Posisi No Nama Pulau Posisi


Lintang Bujur Lintang Bujur
1 Apeng 2o05.4’ 125o21.0’ 17 Makalehi 2o44.24’ 125o09.6’
Binuni
2 Apeng Dalal 2o04.8’ 125o20.4’ 18 Tagulandang 2o12.6’ 125o13.8’
3 Batu Darua 2o06.0’ 125o20.4’ 19 Masare 2o39.6’ 125o28.2’
4 Batu Salana 2o06.6’ 125o23.4’ 20 Mundung 2o06.6’ 125o21.6’
5 Batu Sele 2o05.4’ 125o23.4’ 21 Pahepa 2o49.8’ 125o27.6’
(Palida)
6 Batu 2o22.2’ 125o20.4 Pasighe 2o21.6’ 125o18.0’
Singgelohi 22
7 Batutikus 2o40.2’ 125o25.2 23 Ruang 2o19.2 125o22.2’
8 Biaro 2o16.2’ 125o22.2’ 24 Salangka 2o07.2’ 125o22.2’
9 Buhias 2o40.8’ 125o27.6’ 25 Seha Besar 2o07.2’ 125o21.0’
10 Kaluhaghi 2o06.0’ 125o30.6’ 26 Seha Kecil 2o07.2 125o21.0’
11 Kalukuohi 2o04.2’ 125o21.6’ 27 Siau 2o43.2’ 125o24.6’
12 Kapuliha 2o40.4’ 125o28.8’ 28 Tambonan 2o06.0’ 125o21.0’
Besar
13 Kemboling 1o50.4’ 125o05.4’ 29 Tambonan 2o06.0’ 125o20.4’
Kecil
14 Laweang 2o39.0’ 125o28.8’ 30 Tandukuhang 2o05.4’ 125o19.8’
15 Lumontang 2o05.4’ 125o22.2’ 31 Tonggeng 2o06.0’ 125o21.6’
Napoto
16 Mahoro 2o39.6’ 125o29.4’

174
Lampiran 4: Nilai OIF Pulau Lengkang menurut kombinasi kanal

Kombinasi Jumlah Standar Korelasi Niai OIF


Deviasi
145 61.335 0.51 120.26
147 48.511 0.495 98.002
245 63.955 0.682 93.776
124 52.603 0.631 83.364
134 57.461 0.722 79.586
247 51.131 0.656 77.944
345 68.813 0.939 73.283
234 60.081 0.842 71.355
125 54.589 0.811 67.311
135 59.447 0.893 66.570
347 55.989 0.902 62.072
157 50.497 0.814 62.036
235 62.067 1.001 62.005
257 53.117 0.963 55.158
357 57.975 1.2 48.312
137 46.623 1.071 43.532
237 49.243 1.168 42.160
127 41.765 1 41.765
457 59.863 2.573 23.266
127 78.555 2.722 28.859

Lampiran 5: Nilai OIF Pulau Babi menurut kombinasi kanal

Kombinasi Jumlah Standar Korelasi Niai OIF


Deviasi
145 65.972 0.933 70.710
147 50.331 0.938 53.658
157 59.152 1.151 51.392
134 49.034 1.122 43.702
135 57.855 1.345 43.015
125 56.702 1.363 41.601
245 68.788 1.678 40.994
124 47.881 1.184 40.440
257 61.968 1.833 33.807
247 53.147 1.653 32.152
235 60.671 1.958 30.986
234 51.85 1.768 29.327
137 42.214 1.448 29.153
345 69.941 2.452 28.524
127 41.061 1.459 28.143
457 71.238 2.802 25.424
357 63.121 2.658 23.748
347 54.3 2.434 22.309
237 45.03 2.031 22.171
123 39.764 2.118 18.774

175
Lampiran 6: Nilai OIF Pulau Pomana-besar menurut kombinasi kanal

Kombinasi Jumlah Standar Korelasi Niai OIF


Deviasi
157 76.424 1.438 53.146
145 74.457 1.414 52.657
125 73.221 1.646 44.484
135 74.729 1.696 44.062
147 59.112 1.393 42.435
257 80.38 1.951 41.199
245 78.413 1.946 40.294
235 78.685 2.15 36.598
127 57.876 1.653 35.013
137 59.384 1.699 34.952
134 57.417 1.708 33.616
124 55.909 1.672 33.438
247 63.068 1.914 32.951
357 81.888 2.677 30.590
345 79.921 2.662 30.023
237 63.34 2.142 29.570
234 61.373 2.17 28.282
457 81.616 2.895 28.192
347 64.576 2.626 24.591
123 56.181 2.4 23.409

Lampiran 7: Variasi citra komposit dari kombinasi kanal terseleksi, Pulau Palue

543 534 453

435 354 345

176
Lampiran 8: Penajaman spektral, citra komposit RGB 543, Pulau Palue

linear transform autoclip transform Level slice transform

Histogram equalize Gaussian equalize default logaritmic

Lampiran 9: Penajaman spasial, (filtering) citra komposit RGB 543, Pulau Palue

edge/different edge/gradien x edge/gradien y

Highpass/sharpe edge Highpass/Sharpen 11 Highpass/sharpen2

lowpass/ average 3 lowpass/average 7 lowpass/average diagonal

177
Lampiran 10 Data geomorfologi dan penutup lahan di daerah model pulau-pulau kecil, hasil survei lapangan

No Pulau Koordinat Bentuk- Penutup Relief Proses geomorfologi Tipe batuan Tanah
lahan lahan Erosi Banjir/ Batuan Kedalaman Tekstur Solum
aliran lava/ pelapukan (cm)
piroklastik (cm)
1 Bokor 103:58BT; Dataran mangrove datar Sheet tanpa Tufa, sand- < 30 Pasir & 30
1:9:1.7LU aluvial stone lem-
pantai pung
2 Menti-ang 103:59 BT; Dataran mangrove Ber-bukit Sheet tanpa Tufa, sand- < 30 Pasir & 30
1:8:6.9LU aluvial stone lem-
pantai pung
3 Janda 103.91 BT Dataran Mangrove, datar Sheet tanpa Tufa, sand- < 30 pasir 30
berhias 1.1070 LS aluvial Lahan stone
pantai terbuka,
4 Lengkang 103.87 BT Dataran Mangrove datar Sheet tanpa Tufa, sand- < 20 Pasir- 20
1.1180 LU aluvial stone berlum
pantai pur
5 Dangsi 104.04 BT Dataran Mangrove, datar Sheet tanpa Tufa, sand- < 30 Pasir& 30
0.9893 LU Aluvial kebun stone lem-
pantai kelapa pung
6 Calang 104.097 BT Dataran mangrove datar Sheet tanpa Tufa, sand- < 30 Lem- 30
0.9873 LS Aluvial stone pung
pantai
7 Awi 104.152 BT Perbukitan Mangrove ber-bukit sheet tanpa Tufa, sand- < 30 pasir 30
1.0217 LU lipatan stone
8 Nge-nang 104.156 BT Perbukitan Mangrove, berbukit Sheet- tanpa Tufa, sand- < 30 Lem- 30
1.0022 LU lipatan belukar riil stone pung,
pasir
9 Hantu 104.25 BT Perbukitan Lahan datar sheet tanpa Tufa, sand- < 30 pasir 30-40
0.5444 LU lipatan terbuka stone
10 Ranu 104.24 BT Perbukitan Mangrove, datar sheet tanpa sedimen < 30 pasir 30-40
0.556 LU lipatan semak

178
No Pulau Koordinat Bentuk-lahan Penutup Relief Proses geomorfologi Tipe batuan Tanah
lahan Erosi Banjir/ Batuan Kedalaman Tekstur Solu
aliran lava/ pelapukan m
piroklastik (cm) (cm)
11 Tagulanda 125.37 BT Dataran Semak, Bergu sheet, tanpa Andesit < 50 Pasir < 40
ng 2.36 LU vulkanik perkebun-an nung riil berbatu
12 Pasi-ghe 125.29 BT Dataran sisa mangrove datar sheet tanpa Pasir < 30 Pasir < 30
2.3633 LU vulkanik vulkanik, berlem
pumice pung
13 Ruang 125.37 BT Lereng bawah Semak, bergu sheet, Lava, Pasir < 50 Pasir < 25
2.3153 LU gunungapi kebun kelapa nung riil, gully piroklastik vulkanik, berbatu
strato aktif andesit
14 Besar 8.26 BT Lereng bawah Semak bergu sheet, tanpa Andesit 50-100 Debu & 25-
122.35 LU gunungapi belukar nung riil, gully lem- 50
strato pung
15 Palue 122.23 BT Lereng atas Semak, bergu sheet, tanpa Pasir 50-100 Pasir 25-
8.38 LS gunungapi hutan, nung riil, gully vulkanik, berbatu 50
strato permu-kiman pumice
16 Babi 122.51 BT Kubah Singkapan bergu riil tanpa Diorit < 50 Debu & < 25
8.42 LS gunungapi tua batuan, nung lem-
terintrusi semak pung
17 Paru-maan 122.45BT Gunungapi Semak, bergu Sheet, tanpa Andesit < 50 Debu & < 25
8.45 LS strato singkapan nung riil lem-
batuan pung
18 Kondo 122.43 BT Gunungapi semak berbu Sheet, Banjir Andesit tanpa pasir < 25
8.44 LS strato tidak kit riil periodik
aktif terintrusi
19 Poma-na- 122.28BT Perbukitan semak berbu Sheet tanpa Lime- 50-100 Debu & <25
besar 8.37 LS plato kit stone lem-
pung
20 Poma-na- 122.28 BT Cliff, semak berbu Sheet, tanpa Lime- < 50 Debu & <25
kecil 8.46 LS kit riil stone lem-
pung
21 Gosong- 122.23 BT Dataran pantai Lahan berom Sheet Banjir rampat tanpa kerikil <25
goni 8.38 LS terumbu kosong bak periodik
Keterangan: Air tanah hanya dijumpai pada model 11 (<50 m bening), 14, dan 15 (>500 cm agak bening).

179
Lampiran 11 Data ikan karang hasil survei lapangan dengan teknik penyelaman

Babi Babi Pomana Pomana Gosong Goni Gosong-goni Palue


Selatan Utara Selatan Barat Dalam Luar Timur
3m 10 m 3m 10 m 3m 10 m 3m 10 m 3m 10 m 3m 10 m 3m
No Jenis Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U
Pomacentrus 7 A - - - - - - - - 2 A 7 A 12 A 19 A 5 A - - - - - -
1 moluccensis
Labroides 4 A - - - - 1 A 2 A 2 A 7 A 1 A - - 3 A - - 1 B - -
2 dimidiatus
Neoglyphidodon 2 A - - - - - - - - 1 A - - 2 A - - - - - - - - -
3 melas
4 Thalassoma lunare 19 B 1 B 2 B - - - - - - - - - - 1 B 3 A 11 B 1 B 10 B
Pomacentrus 48 A - - 30 A 82 A 140 A 15 A - - - - 40 A 17 A 4 A - - - -
5 coelestis
Chromis 6 A 2 B 8 A - - - - - - - - - - 2 B - - 1 A - - - -
6 Margaritifer
7 Parapercis sp 2 C 2 B - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
8 Dascyllus arvanus 14 A - - - - - - - - - - - - 4 A - - 3 A - - - - - -
Apogon 4 A - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
9 nigrofasciatus
10 Scolopsis lineate 4 B - - 2 C 1 B 3 A 1 A 1 C 2 A 8 D
Hemiglyhidodon 3 B - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
11 plagimetopon
Chromis 3 A 2 A 12 B 1 B 7 A 2 A - - - - 1 A 4 A 2 A - - - -
12 Lepidolesis
13 Pseudanthias 3 B 12 A 2 A - - 4 A 50 A 3 A - - 2 B 13 A 10 B 2 B - -
bicolor
Pseudanthias 10 A - - 20 A - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
14 squamipinnis
Pascyllus 1 A - - - - 3 A - - - - - - - - - - - - - - - - - -
15 trimaculatus

180
Lampiran 11 lanjutan

Babi Babi Pomana Pomana Gosong Goni Gosong-goni Palue


Selatan Utara Selatan Barat Dalam Luar Timur
3m 10 m 3m 10 m 3m 10 m 3 m 10 m 3m 10 m 3 m 10 m 3m
No Jenis Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U
16 Parupeneur reticulates 1 C - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
17 Dascillus reticulates 5 A - - - - - - 10 A - - - - - - - - - - - - - -
18 Acanthurus blochii 1 B 2 B 5 B 10 B 3 A 2 A - - 1 A - - 6 B 5 B 10 D
19 Holichoeres chrysus - - 5 A - - - - - - 13 A 2 A - - - - - - - - - - - -
20 Chaetodon kleini - - 21 A - - - - - - 5 A 1 A - - - - 1 A - - - - - -
21 Chaetodon kleini - - 2 B - - - - 1 B 1 B - - - - - - - - 1 B - -
22 Scarus SP - - 2 B - - 10 B 1 B - - - - - - - - - - - - - - - -
24 Cephhalopholis miniata - - 1 B - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
25 Chaetodon decussates - - 1 B - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
26 Pygoplites - - 1 B - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
27 Gamphosus varius - - - - 2 B - - - - 7 B - - - - - - 1 A - - - -
28 Hemygymnus fasciatus - - - - 1 B - - - - - - - - - - - - - - - - - -
29 Parupeneus barberinus - - - - 3 B 2 B - - - - - - - - - 2 B 2 B 1 B - -
30 Chromis analis - - - - 20 A - - - - - - - - - - - - - - 3 B - -
31 Pterocaesio randalii - - - - 3 C - - - - - - - - - - - - - - - - - -
32 Scarus ghobban - - - - 1 C 1 B - - - - - - - - - - - - - - - - - -
33 Balitapus undulatus - - - - 1 B - - - - - - - - - - - - - - - - 8 D
34 Genicanthus lamarck - - - - 1 B - - - - - - - - - - - - - - - - - -
35 Chaetodon Jagabundus - - - - 1 B 4 B - - - - - - - - - - - - - - - - - -
36 Scarus sp - - - - - - 21 C - - - - - - - - - - - - - - - - - -
37 Scarus ghobban - - - - - - 2 C - - - - - - - - - - - - - - - - - -

181
Lampiran 11 lanjutan

Babi Babi Pomana Pomana Gosong Goni Gosong-goni Palue


Selatan Utara Selatan Barat Dalam Luar Timur
3 m 10 m 3 m 10 m 3m 10 m 3m 10 m 3m 10 m 3m 10 m 3m
No Jenis Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U
38 Chromis caudalis - - - - - - 3 A 1 A - - - - - - - - - - - - - - - -
39 Amphiprion clarkia - - - - - - 1 A - - - - - - - - - - - - - - - - - -
40 Chromis lepidolepsis - - - - - - - - 2 B - - - - - - - - - - - - - - - -
Plectroglyphidodon - - - - - - - - 3 A 1 B - - - - - - - - - - - - - -
41 dickii
Parapercis - - - - - - - - 1 B - - - - - - - - 7 B - - - - - -
42 hexopthalma
Pomacentrus - - - - - - - - 5 A - - - - - - - - - - - - - - - -
43 Amboinensis
44 Halichaeres hortulanus - - - - - - - - 1 B - - - - - - - - - - - - - - - -
45 Zebrasoma scopus - - - - - - - - 1 A - - - - - - 1 A 1 A - - - - - -
46 Dascyllus trimalatus - - - - - - - - - - 13 A - - - - - - - - - - - - - -
47 Chantigaster valencii - - - - - - - - - - 2 A - - - - - - - - - - - - - -
48 Pomacentrus smithi - - - - - - - - - - - - 2 A 2 A - - 2 A - - - - - -
49 Sigarus vulpinus - - - - - - - - - - - - 2 B - - - - - - - - - -
50 Heniochus varius - - - - - - - - - - - - 3 B - - - - - - - - - -
51 Heniochus varius - - - - - - - - - - - - 1 A - - - - - - - - - -
52 Chaetodon trifascialis - - - - - - - - - - - - 3 B - - - - - - - - - -
53 Neoniphon sammaru - - - - - - - - - - - - 1 B 1 B - - - - - - - - - -
Sargocentron - - - - - - - - - - - - 1 B - - - - - - - - - -
54 cudimaculatum
55 Scolopsis trilineata - - - - - - - - - - - - - - 1 A - - 2 A - - - - - -
56 Epinephelus guoyanus - - - - - - - - - - - - - - 1 A - - - - - - - - - -
57 Apogon compressus - - - - - - - - - - - - - - 2 A - - - - - - - - - -

182
Babi Babi Pomana Pomana Gosong Goni Gosong-goni Palue
Selatan Utara Selatan Barat Dalam Luar Timur
3 10
10 m 3m
3m 10 m 3m 10 m 3m 10 m 3m 10 m 3m 10 m m m
No Jenis Σ U Σ U Σ U Σ Σ U Σ U Σ U Σ Σ U Σ U Σ U Σ
Diproctacanthus - - - - - - - - - - - - - - 29 A - - - - - - - - - -
58 Xanthurus
59 Dascyllus aruanus - - - - - - - - - - - - - - 1 B - - - - - - - - - -
Amblyglyphidoden - - - - - - - - - - - - - - 2 A - - - - - - - - 10 A
60 curacao
Amblyglyphidoden - - - - - - - - - - - - - - 2 B - - - - - - - -
61 curacao
Chaetodontoplus - - - - - - - - - - - - - - 2 B - - - - - - - -
62 mesoleucus
Amblyglyphidodon - - - - - - - - - - - - - - 12 A - - - - - - - - 10 A
63 leucogaster
64 Centropyge bicolor - - - - - - - - - - - - - - 1 A - - 1 B - - - - - -
65 Chromis tertanensis - - - - - - - - - - - - - - 1 B - - - - 1 B 10 C - -
66 Anthias sp - - - - - - - - - - - - - - - - 6 A - - - -
67 Chromis lepidolepsis - - - - - - - - - - - - - - - - 1 B - - - -
68 Thalassoma hardwickii - - - - - - - - - - - - - - - - 1 B - - 1 C - -
Paracaesio xanthura - - - - - - - - - - - - - - - - 3 A - - - 5 A - -
69 -
70 Paracaesio xanthura - - - - - - - - - - - - - - - - 36 B - - - - - - - -
71 Pomacentrus coelestis - - - - - - - - - - - - - - - - 2 B - - - - - - - -
72 Abudefdud vaigiensis - - - - - - - - - - - - - - - - 30 B - - - - - - - -
73 Pygoplites diacanthus - - - - - - - - - - - - - - - - 1 B - - 2 B - - 1 D
74 Cheilodipterus lineatus - - - - - - - - - - - - - - - - 1 B - - - - - - - -
75 Cabroides dimidiatus - - - - - - - - - - - - - - - - 2 A - - - - - - - -
76 Pterocaesio tile - - - - - - - - - - - - - - - - 2 C 1 B - - 110 B - -
77 Pascyllus reticularus - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 A - - - - - -

183
Lampiran 11 lanjutan

Babi Babi Pomana Pomana Gosong Goni Gosong-goni Palue


Selatan Utara Selatan Barat Dalam Luar Timur
3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3m 10 m 3m 10 m 3m
No Jenis Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U
78 Chromis viridis - - - - - - - - - - - - - - - - - - 4 A - - - - - -
79 Chantigaster valencii - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 A - - - - - -
Cheilodipterus - - - - - - - - - - - - - - - - - - 30 B - - - - - -
80 quinquelineatus
81 Apogon cyanosoma - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 B - - - - - -
82 Ctonochaetus striatus - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 A - - - - - -
83 Dascyllus verticulatus - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 B - - - -
84 Chromus ternatensis - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 A - - - -
85 Thalassoma hardwickii - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 A - - - -
86 Scarus tricolor - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 B - - - -
87 Scarus tricolor - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 B - - - -
88 Halichueres purpureum - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 B - - - -
89 Caesio pisang - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 50 B - - - -
90 Ambliglyphidodon melas - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 B - -
91 Dascyllus reticulates - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 A - -
92 Dascyllus reticulates - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 74 B - -
93 Chaetodon tritascialis - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 10 B - -
94 Amblyglyphidodon aureus - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 B - -
95 Plectorhincus orientalis - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 5 A - -
96 Pterocaesio randalii - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 B - -
97 Pterocaesio randalii - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 1 D - -
98 Pterocaesio randalii - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 30 B - -
99 Lutianus deeussatus - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 C

184
Lampiran 11 lanjutan

Babi Babi Pomana Pomana Gosong Goni Gosong-goni Palue


Selatan Utara Selatan Barat Dalam Luar Timur
3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3 m 10 m 3m 10 m 3 m 10 m 3m
No Jenis Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U Σ U
100 Lutianus deeussatus - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 8 D
101 Lutjanus tuluiflama - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 10 D
102 Caesio teres - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 10 D
103 Caesio lunaris - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 10 D
104 Lethrinus erythhropterus - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 4 D
105 Scolopsis margaritifer - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 8 D
106 Acanthurus lineatus - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 10 D
107 Dascyllus trimaculatus - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 10 A
108 Chaetodon vagabundus - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 B
109 Chaetodon raflesi - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 B
110 Chaetodon citrinellus - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 2 B

Keterangan:

Σ : Jumlah Di stasiun Pulau Babi Selatan banyak Juvenil, kemungkinan merupakan tempat nursery ground.
U : ukuran Di stasiun Gosong-goni dalam, pada kedalaman 3 m karang lebih bagus daripada kedalaman 10 m. Dijumpai karang
A = 0 - 10 cm massive yang besar sekali pada beberapa titik dan dijumpai pasir di beberapa tempat. Pada kedalaman 10 m banyak
B = 10 - 20 cm karang, tapi banyak juga yang rusak, serta ditemukan binatang pemakan karang (COT) 9 ekor.
C = 20 - 30 cm Di stasiun Gosong-goni luar, terumbu membentuk dinding terjal. Pada kedalaman > 20 m kondisi karang sangat baik.
D = > 30 cm Di stasiun Pulau Palue hanya diambil sampel pada kedalaman 10 m.

185
Lampiran 12 Klasifikasi bentuklahan
1 Bentuklahan Asal Struktural (S)
No. Skala 1 : 250.000 Skala 1 : 50.000
Kode Nama Bentuklahan Kode Nama Bentuklahan
1. S.01. Pegunungan lipatan S.01.a Pegunungan lipatan
(Fold Mountains)0 S.01.b Pegunungan antiklinal
S.01.c Pegunungan sinklinal
S.01.d Pegunungan homoklinal
2. S.02. Pegunungan Dome S.02.a Pegunungan dome
(Dome mountains) S.02.b Peg. igir strike dome
3. S.03. Pegunungan blok sesar S.03.a Pegunungan blok sesar
S.03.b Pegunungan sembul (horst)
S.03.c Terban pegunungan blok
S.03.d Gawir sesar peg. blok
S.03.e Faset segitiga peg. blok
4. S.04. Pegunungan plato S.04.a Pegunungan plato
S.04.b Pegunungan plato karbonat
S.04.c Peg.plato sedimen klastik
S.04.d Pegunungan plato basal
5. S.05 Perbukitan lipatan S.05.a Perbukitan lipatan
S.05.b Perbukitan antiklinal
S.05.c Perbukitan sinklinal
S.05.d Perbukitan homoklinal
S.05.e Perbukitan monoklinal
S.05.f Lembah antiklinal
S.04.g Lembah sinklinal
6. S.06 Perbukitan dome S.06.a Perbukitan dome
S.06.b Igir strike peg. dome
S.06.c Lembah strike peg. dome
S.06.d Perbukitan inti dome
S.06.e Cekungan inti dome
S.06.f Flatiron
7. S.07 Perbukitan blok sesar S.07.a Perbukitan blok sesar
S.07.b Perbukitan sembul
S.07.c Terban per. blok sesar
S.07.d Gawir sesar perb.blok sesar
S.07.e Faset segitiga perb. blok
S.07.f Flatiron perbukitan blok
8. S.08 Perbukitan plato S.08.a Perbukitan plato
S.08.b Perbukitan mesa
S.08.c Perbukitan bute
9. S.09 Pegunungan kompleks S.09.a Bergantung bentuklahan yg
ada pada peg. kompleks
10. S.10. Perbukitan kompleks S.10.a Bergantung bentuklahan yg
ada pada perb. kompleks
11. S.11. Perbukitan dike/sill S.11.a Perbukitan dike
S.11.b Perbukitan sill

186
2 Bentuklahan Asal Gunungapi/Vulkanik (V)
No. Skala 1 : 250.000 Skala 1 : 50.000
Kode Nama Bentuklahan Kode Nama Bentuklahan
1. V.01. Gunungapi strato V.01.a Gunungapi strato aktif
V.01.b Gunungapi strato tidak aktif
2. V.02. Kawah/danau kawah V.02.a Kawah aktif
V.02.b Danau kawah aktif
V.02.c Kawah tidak aktif
V.02.d Danau kawah tidak aktif
3. V.03. Kaldera/danau kaldera V.03.a Kaldera aktif
V.03.b Danau kaldera aktif
V.03.c Kaldera tidak aktif
V.03.d Danau kaldera tidak aktif
4. V.04. Kerucut gunungapi V.04.a Kerucut gunungapi cinder
. V.04.b Kerucut gunungapi piroklastik
V.04.c Kerucut gunungapi abu vulkan
V.04.d Kerucut parasiter
5. V.05 Lereng gunungapi V.05.a Lereng gunungapi
V.05.b Lereng gunungapi atas
V.05.c Lereng gunungapi tengah
V.05.d Lereng gunungapi bawah
V.05.e Lembah baranco
6. V.06 Kaki gunungapi V.06.a Kaki gunungapi
V.06.b Dataran kaki gunungapi
V.06.c Kipas fluvio gunungapi
7. V.07 Dataran gunungapi V.07.a Dataran gunungapi
V.07.b Dataran fluvio gunungapi
V.07.c Dataran antar gunungapi
8. V.08 Medan lava/lahar V.08.a Medan lava
V.08.b Medan lahar
9. V.09 Gunungapi perisai V.09.a Puncak gunungapi perisai
V.09.b Lereng gunungapi perisai
V.09.c Kaki gunungapi perisai
V.09.d Plato lava basalt
V.09.e Aliran lava basalt
10. V.10. Gunungapi bocca V.10.a Gunungapi bocca
V.10.b Kaki gunungapi bocca
11. V.11. Sumbat lava V.11.a Sumbat lava
(Lava plugs)
12. V.12. Leher gunungapi V.12.a Leher gunungapi
(Volcanic necks)

187
3 Bentuklahan Asal Denudasional (D)
No. Skala 1 : 250.000 Skala 1 : 50.000
Kode Nama Bentuklahan Kode Nama Bentuklahan
1. D.01. Pegunungan Denudasional D.01.a Peg. Denud. Terkikis kuat
(bervariasi menurut batuan
beku, sedimen dan
metamorf)
D.01.b Peg. Denud. Terkikis
sedang (bervariasi menurut
batuan beku, sedimen dan
metamorf)
D.01.c Peg. Denud. Terkikis ringan
(bervariasi menurut batuan
beku, sedimen dan
metamorf)
2. D.02. Perbukitan denudasional D.02.a Perb. Denud. Terkikis kuat
(bervariasi menurut batuan
beku, sedimen dan
metamorf)
D.02.b Perb. Denud. Terkikis
sedang (bervariasi menurut
batuan beku, sedimen dan
metamorf)
D.02.c Perb. Denud. Terkikis
ringan (bervariasi menurut
batuan beku, sedimen dan
metamorf)
3. D.03 Kompleks perbukitan sisa D.03.a Perbukitan sisa
dan terisolir (Residual hills)
(Inselberg/Residual hills) D.03.b Perbukitan terisolir
(Isolated hills)
D.03.c Perbukitan monadnocks
D.03.d Inselberg
4. D.04. Permukaan planasi D.04.a Permukaan planasi
. D.04.b Dataran nyaris (Peneplains)
5. D.05. Kipas koluvial dan kerucut D.05.a Kipas koluvial
koluvial D.05.b Kerucut koluvial

6. D.06. Lereng Kaki (Footslopes) D.06.a Lereng kaki rombakan


D.06.b Lereng kaki erosi
D.06.c Piedmonts
7. D.07. Dinding Terjal (scarps) D.07.a Dinding terjal

8. D.08. Lahan Rusak (Badlands) D.08.a Lahan Rusak

188
4 Bentuklahan Asal Fluvial (F)
No. Skala 1 : 250.000 Skala 1 : 50.000
Kode Nama Kode Nama Bentuklahan
Bentuklahan
1. F.01 Dataran Aluvial F.01.a Dataran Aluvial
(Alluvial Plains) F.01.b Dataran Banjir (Flood plains)
F.01.c Cekungan Fluvial (fluvial basin)
F.01.d Rawa air tawar (fresh water swamp)
F.01.e Tanggul alam aktif
(Active natural leeves)
F.01.f Tanggul alam tidak aktif
(Inactive natural leeves)
F.01.g Rawa belakang (back swamp)
F.01.h Meander Terpenggal (Oxbow)
F.01.i Danau tapal kuda (Oxbow lake)
F.01.j Gosong sungai (sand bar)
F.01.k Gosong sungai lengkung dalam
(point bar)
F.01.l Endapan fluvial di luar tanggul
(Creavasse splay)
F.01m Dasar sungai mati
(Abandoned river bottom)
F.01.n Dataran lembah isian
(Infilled valley plain)
F.01.o Estuari (Estuary)
F.01.p Dataran aluvial pantai
(Coastal aluvial plains)
2. F.02 Teras Sungai F.02.a Teras Sungai Deposisional
(Fluvial terraces) F.02.b Teras Sungai erosional
3. F.03. Kipas Aluvial F.03.a Kipas aluvial aktif
(Alluvial fans) Kipas aluvial tidak aktif
Gabungan kipas aluvial (pedimen)

5 Bentuklahan Asal Solusional (K)


No. Skala 1 : 250.000 Skala 1 : 50.000
Kode Nama Bentuklahan Kode Nama Bentuklahan
1. K.01 Perbukitan Karst K.01.a Perbukitan karst
(Karstic hills) K.01.b Karst sinoidal
K.01.c Karst kerucut (Cone Karst)
K.01.d Karst menara (Tower
Karst)
2. K.02 Kompleks Depresi Karst K.02.a Dolin (Dolines)
(Karst Depression K.02.b Uvala (Uvalas)
complexs) K.02.c Polje (Poljes)
K.02.d Lembah buta (blind valley)
3. K.03. Dataran Aluvial Karst K.03.a Dataran aluvial karst
(Karst Alluvial Plains) K.03.b Dataran aluvial dolin
K.03.c Dataran aluvial uvala
K.03.d Dataran aluvial polje

189
6 Bentuklahan Asal Marin (M)
No. Skala 1 : 250.000 Skala 1 : 50.000
Kode Nama Bentuklahan Kode Nama Bentuklahan
1. M.01 Delta M.01.a Rataan lumpur (Mud flat)
M.01.b Rawa payau (Salt Marsh)
M.01.c Tanggul fluvio deltaik
M.01.d Rawa belakang deltaik
M.01.e Dataran delta
2. M.02 Rataan pasut (tidal flats) M.02.a Rataan lumpur (Mud flat)
M.02.b Rawa payau (Salt marsh)
3. M.03 Kompleks beting gisik M.03.a Gisik (Beach)
(Beach ridges complexs) M.03.b Beting gisik (Beach ridges)
M.03.c Swale (Swales)
M.03.d Bura (Spit)
M.03.e Tombolo (tombolo)
M.03.f Cuspate foreland
M.03.g Lagun (lagoons)
4. M.04. Dataran Pantai M.04.a Dataran lempung marin
. M.04.b Pelataran laut
M.04.c (Marine Platfoms)
M.04.d Teras marin (Marine terraces)
M.04.e Kompleks kuesta
Outlier
5. M.05. Cliff M.05.a Cliff
M.05.b Runtuhan batu cliff
M.05.c Pilar laut (Stack)

7 Bentuklahan Asal Angin (A)


No. Skala 1 : 250.000 Skala 1 : 50.000
Kode Nama Bentuklahan Kode Nama Bentuklahan
1. A.01. Gumuk Pasir A.01.a Gumuk pasir normal (hummoky)
A.01.b Gumuk pasir melintang
A.01.c Gumuk pasir sejajar
A.01.d Gumuk pasir bintang (star dune)
A.01.e Gumuk pasir parabola
A.01.f Gumuk pasir sabit (barchan)
A.01.g Gumuk pasir sisir
A.01.h Gumuk pasir gabungan barkhan
A.01.i Blow out hollow

190
8 Bentuklahan Asal Glasial (G)
N0 Skala 1 : 250.000 Skala 1 : 50.000
Kode Nama Bentuklahan Kode Nama Bentuklahan
1. G.01 Glasial Erosional G.01.a Horn
G.01.b Arete
G.01.c Col
G.01.d Truncated spur
G.01.e Tarn
G.01.f Dasar cirqui berombak
G.01.g Dasar cirqui bergelombang
2. G.02 Glasial Deposisional G.02.a Medan firm
G.02.b Drumlin
G.02.c Moraine
G.02.d Dasar lembah
G.02.e Crevasse glacial
G.02.f Dataran Fluvio-glacial
G.02.g Pinggos
G.02.h Kerucut talus glacial
G.02.i Dinding terjal aliran salju
G.02.j Danau-danau kecil glasial
G.02.k Finger lakes (danau glasial menjari)

9 Bentuklahan Asal Organik (O).


NO Skala 1: 250.000 Skala 1: 50.000
Kode Nama Bentuklahan Kode Nama Bentuklahan
1 O.01 Terumbu paparan O.01.a Terumbu pelataran bergoba
pelataran (lagoonal)
(platform reef) O.01.b Terumbu pelataran lonjong
(elongated)
O.01.c Terumbu pelataran
tapulang (resorbed)
2 O.02 Terumbu paparan O.02.a Terumbu dinding tanduk
dinding (wall reef) (cuspate)
O.02.b Terumbu dinding garpu
(prong reef)
3 O.03 Terumbu paparan O.03.a Terumbu sumbat
sumbat(plug reef) (Plug reef)
4 O.04 Terumbu samudra O.04.a Terumbu pinggiran
(Oceanic reef) O.04.b (fringing reef)
O.04.c Terumbu penghalang
(barrier reef)
Terumbu cincin (atoll)
5 O.05 Lahan gambut O.05.a Lahan gambut (Peat land)
(peat land) O.05.b Kubah gambut (Peat dome)
Sumber: F-G UGM & Bakosurtanal, 2000

191

You might also like